Anda di halaman 1dari 12

BEKERJA UNTUK DUNIA SEPERTI AKAN HIDUP

SELAMANYA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kritis Analitis Hadits dan Ilmu
Hadits
Dosen Pengampu Dr. H. Ridwan. M.Ag.

Disusun oleh:
Isnaini Nur „Afiifah (201766010)

1 MPAI A
PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2020
Latar Belakang Masalah

Kita seringkali mendengar Hadits yang menyebutkan bahwa kita


dianjurkan bekerja untuk kepentingan dunia seolah-olah kita akan hidup di dunia
selama-lamanya, dan kita dianjurkan untuk bekerja demi kepentingan akhirat
seolah-olah kita akan mati besok. Hadits ini mengesankan bahwa kita diperintah
untuk mengejar-ngejar dunia seolah-olah akan hidup selamanya, sementara
terdapat keterangan-keterangan bahwa mengejar-ngejar serta menggandrungi
dunia itu perbuatan yang tercela dalam agama Islam. 1

Manusia yang hidup memerlukan makan, minum, dan kebutuhan-


kebutuhan lainnya sebagai penunjang kehidupan mereka sehari-hari. Allah
memang menjamin rezeki bagi apa-apa yang hidup di muka bumi ini, manusia,
hewan, tumbuhan, dan mahluk-mahluk yang lain. Akan tetapi untuk mencapai
rizki Allah juga diperlukan usaha dari mahluk tersebut. Misalnya, hewan mencari
makan dengan cara berburu mangsanya, manusia bekerja untuk memenuhi
kebutuhannya.

Setelah berusaha dan bekerja selanjutnya kita menyerahkan diri kepada


Sang Pemberi Kehidupan agar diberi kecukupan dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Jika kita hanya mengejar dunia tanpa memikirkan bekal untuk di
akhirat maka kita akan kehilangan ketenangan dalam menjalani kehidupan. Kita
selalu disibukkan dengan urusan dunia seakan kita akan hidup selamanya,
mengumpulkan harta benda hanya untuk kesenangan semata. Padahal semua yang
hidup juga ada masanya. Maka dari itu hendaknya kita mencari dunia secukupnya
dan semua yang kita kerjakan diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT.

Ada berbagai pendapat ketika kita berbicara tentang hadits populer yang
membahas tentang bekerja untuk dunia seakan hidup selamanya, baik dari kritik
sanad dan matannya, kredibilitasnya untuk dijadikan hujjah, hingga penafsiran
yang salah tentang hadits tersebut. Selanjutnya dalam makalah ini penulis
berusaha menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan hadits “Bekerja untuk dunia

1
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 34.
seakan hidup selamanya”. Semoga penjabaran penulis mengenai hadits tersebut
dapat menambah khazanah keilmuan para pembaca maupun untuk penulis sendiri,
sekaligus dapat dijadikan bahan diskusi yang bermanfaat bagi kita semua.

Hadits Bekerja Untuk Dunia Seperti Akan Hidup Selamanya

ِِ ِ ِ َ َ‫ْاع َم ْل لِ ُدنْي‬
‫ت َغ ًدا‬ َ ‫ك َكأَن‬
ُ ‫َّك َتَُْو‬ َ ‫ َو ْاع َم ْل ِلخَرت‬،‫يش أبَ ًدا‬
ُ ‫اك َكأنَّك تَع‬

“Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu akan hidup


selamanya, dan bekerjalah kamu untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah kamu
akan mati besok.”

ُ ‫ا ْع َو ْل ِلد ُ ًْ ٍَاكَ مَأًَّل تَع‬


Penggalan pertama dari hadits di atas, yakni: ‫ٍِش أ َبدًا‬
dipahami secara berbeda oleh berbagai orang. Ada sebagian orang yang
memahaminya sebagai perintah supaya dalam bekerja untuk mencari dunia kita
hendaknya melakukannya sebaik dan sekeras mungkin supaya mendapatkan hasil
sebanyak-banyaknya sehingga mencukupi seluruh kebutuhan karena akan hidup
selamanya.

Pemaknaan seperti itu sesungguhnya tidak tepat meskipun dengan dalih


sebagai perimbangan terhadap penggalan kedua dari hadits tersebut, yakni: ‫َّا ْع َو ْل‬
َ ُ‫َخِ َرتِلَ َمأ َ ًَّلَ ت َ ُو ْْث‬.ِ Di antara kaum Muslimin tidak ada perbedaan pendapat
‫غدًا‬
tentang makna penggalan kedua ini. Mereka sepakat bahwa bekerja untuk
kepentingan akhirat harus dilakukan sesegera mungkin dan sebaik-baiknya karena
kita dianjurkan berpikir seolah-olah besok kita akan mati. 2

Berikut merupakan penjelasan Gus Baha mengenai tafsir hadits atau lebih
tepatnya maqalah di atas terlepas dari kritik terhadap sanad dan matan haditsnya.
Mengenai penafsiran hadits tersebut, sepertinya tidak mungkin jika Nabi
menanamkan keduniaan seperti itu. Beramal untuk dunia maka seolah-olah seperti
hidup selamanya. Maksud dari beramal dunia seperti hidup selamanya yaitu

2
Muhammad Ishom, “Makna Hadits: Bekerjalah untuk duniamu seolah kau hidu
selamanya”, https://islam.nu.or.id/post/read/122105/makna-hadits--bekerjalah-untuk-duniamu-
seolah-kauhidup-selamanya-, diakes pada 21 Desember 2020.
contohnya jika kita punya urusan dunia, tenang saja besok masih hidup. Jadi tidak
tergesa-gesa selesai, karena besok masih hidup. Contoh lain, misalnya ada
seseorang yang ingin membeli mobil, maka tidak perlu tergesa-gesa membeli
mobil pada hari itu juga, karena berpikiran hari besok masih hidup. Sehingga
hidupnya tenang-tenang saja karena tidak merasa terburu-buru dengan urusan
duniawi.

Akan tetapi jika demi akhirat, berpikirlah seperti besok akan mati. Harus
menyegerakan, tidak perlu ditunda, atau harus sekarang karna besok sudah mati.
Misalnya seseorang terlintas ingin melaksanakan sholat tahajud, harus
dilaksanakan sekarang juga karna besok sudah mati. Ingin bersedekah, harus
sekarang karena besok sudah mati. Tapi kalau demi dunia, misalnya lupa juga
tidak apa-apa, besok masih hidup. Kesimpulannya, untuk urusan akhirat
sebaiknya kita segerakan seolah-olah besok kita akan mati, sedangkan untuk
urusan dunia tidak perlu terburu-buru karena masih ada hari esok, seolah kita akan
hidup selamanya. Jadi waktu kita tidak terbuang sia-sia hanya untuk mengejar
dunia.

Pemahaman yang Benar Dari Hadits Di Atas

“Berbuatlah seperti perbuatan orang yang mengira tidak akan mati


selamanya dan khawatirlah seperti khawatirnya seseorang yang takut mati diesok
hari” Artinya: Mendahulukan amal perbuatan dan perkara yang berkaitan dengan
akhirat karena khawatir tidak dapat lagi menjalankannya saat meninggal atas amal
duniawi dan mengakhirkan perkara dunia karena benci disibukkan dengannya
hingga mengalahkan amal perbuatan akhirat. Sedang apa yang dipahami oleh
sebagian orang tentang “Berbuatlah untuk duniamu seolah kamu hidup selamaya
dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah kamu mati esok hari” yang menurut
mereka pemahamannya memberi motivasi agar mencari duniawi agar bermanfaat
bagi generasi berikutnya dan memberi motivasi agar semangat dalam beramal
akhirat maka tidaklah benar karena pada umumnya perintah-perintah dan
larangan-larangan syara‟ berkaitan dengan berprilaku zuhud dengan dunia,
menyedikitkan berhubungan dengannya, memberi ancaman membangun
kemewahan dan sebagainya, maka yang dikehendaki darinya adalah
sesungguhnya manusia saat menyangka ia hidup didunia selamanya maka sifat
loba-nya menjadi sedikit dan ia yakin bahwa yang ia kehendaki tidak akan hilang
kesempatan mendapatkannya lantaran tidak terlalu tamak dan bersegera dengan
meraih duniawi maka saat hilang kesempatan meraihnya dihari ini kesempatan
hari esoknya masih terbuka lebar karena ia akan hidup selamanya. (Faidh al-
Qadiir II/12, Maktabah Syamilah)

Pemaknaan yang benar terhadap penggalan pertama dari hadits di atas


adalah sebagaimana dijelaskan Muhammad Mutawalli asy-Sya‟rawi dalam Tafsir
asy-Sya‟rawi (Akhbarul Yaum, 1991, jilid 3 hal. 1752) terkait dengan tafsir surat
Ali Imran ayat 133 sebagai berikut: ‫ اعول‬:‫الٌاس تفِوِا فِوا ً ٌؤدي هطلْباتِن الٌفسٍت بوعٌى‬
‫ ّلٍس ُذا فِوا ً صحٍحا ً لني‬،‫ ٌعًٌ اجوع النثٍر هي الدًٍا مً ٌَنفٍل حتى ٌْم القٍاهت‬:ً‫لدًٍاك مأًل تعٍش أبدا‬
‫ أ َّها أهر اَخرة فعلٍل أى‬،ً‫الصحٍح ُْ أى ها فاتل هي أهر الدًٍا الٍْم فاعتبر أًل ستعٍش طٌْالً ّتأخذٍ غدا‬
َ‫تعجل ب‬ Artinya: “Manusia memahami penggalan hadits yang berbunyi
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya” dengan
pemahaman yang menuntut terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang bersifat
psikologis, yakni pemahaman supaya mendapatkan sebanyak-banyaknya dari
dunia ini untuk mencukupi kebutuhan hidup hingga hari kiamat. Pemahaman
seperti itu tidak benar, akan tetapi yang benar adalah bahwa jika engkau tidak bisa
meraih sesuatu dari dunia ini pada hari ini, maka berpikirlah sesungguhnya
engkau akan hidup lama dan akan dapat meraihnya esok hari. Sedangkan terhadap
apa yang terkait dengan akhirat, engkau hendaknya bersegera meraihnya.” Jadi
berdasarkan penjelasan dari Imam asy-Sy‟rawi di atas, pemaknaan yang benar
adalah bahwa kita bekerja untuk mendapatkan hal-hal duniawi cukup seperlunya
saja. Hal ini karena kita dianjurkan untuk berpikir bahwa kita akan hidup
selamanya sehingga hari esok masih ada dan masih banyak waktu untuk
melakukannya.

Dalam kaitan ini ada pepatah Jawa yang sejalan dengan pemaknaan seperti
itu, yakni: “Ana dina ana upa (ada hari ada nasi).” Artinya selama masih ada
kehidupan, rejeki selalu tersedia setiap hari sehingga tidak perlu bekerja mencari
dunia secara “ngoyo” atau bekerja terlalu keras hingga lupa ibadah dan lupa waktu
untuk istirahat.

Takhrij

Ibnu Qutaibah meriwayatkan atsar di atas dalam gharib al-Hadis, dari Abu
Hatim As Sijistani, dari Al Ashma‟i, dari Hammad bin Salamah, dari Ubaidullah
bin „Aizar, dari Abdulah bin „Amr radhiyallahu „anhu.3

Skema Sanad

Cacat Dalam Sanad

Sanad di atas terputus, sebab Ubaidullah bin Al „Aizar tidak pernah


berjumpa dengan sahabat Abdullah bin Amr bin Al „Ash. Imam Ibnu Hibban

3
Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, HADITS PALSU TENTANG BERAMAL UNTUK
DUNIA DAN AKHIRAT, https://almanhaj.or.id/5851-hadits-palsu-tentang-beramal-untuk-dunia-
dan-akhirat.html#_ftn3, diakses pada 21 Desember 2020.
dalam Ats-Tsiqat (karya Ibnu Hibban), telah mengkategorikan Ubaidullah bin Al
„Aizar sebagai Tabi‟at-Tabi‟in, yang hanya menjumpai para tabi‟in. 4

Bukan Sabda Nabi

Menurut Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani, Hadits dengan


redaksi seperti di atas tidak memiliki sanad sama sekali (la ashla lah) artinya tidak
berasal dari Nabi SAW (Hadits Marfu’), meskipun diakui ia sangat popular di
kalangan masyarakat, terutama pada masa-masa belakangan. Syeikh „Abd al
Karim al-„Amiri al-Ghazzi, pengarang kitab al-Jidd al-Hatsis fi Bayan Ma Laisa
bi Hadits, yaitu kitab yang memuat ungkapan-ungkapan yang diklaim sebagai
Hadits padahal bukan Hadits, ternyata tidak memasukkan Hadits di atas itu di
dalam kitabnya. Dengan kata lain, Hadits tersebut bukanlah Hadits Nabawi
(berasal dari Nabi SAW) atau Hadits Marfu’.5

Hadits Mauquf

Dalam beberapa sumber, misalnya kitab Gharib al-Hadits karya Ibn


Qutaibah, kitab Zawaid Musnad al-Harits karya al-Haitsami, kitab Tsiqat Atba’
al-Tabi’in karya Ibn Hibban, dan kitab al-Zuhd karya Ibn al-Mubarak, Hadits
tersebut ditemukan dengan sanadnya, hanya saja tidak bersumber dari Nabi SAW,
melainkan dari seorang sahabat yang bernama „Abdullah bin „Amr bin al-„Ash.
Dalam disiplin Ilmu Hadits, Hadits yang hanya bersumber dari sahabat Nabi SAW
disebut Hadits Mauquf, bukan Hadits Marfu’. Dan tentu saja nilainya juga tidak
sama dengan Hadits yang bersumber dari Nabi SAW (Hadits Marfu’). Karenanya,
secara umum ia tidak dapat disebut Hadits, sebab secara umum, yang disebut
Hadits adalah sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa
ucapan, perbuatan, maupun sifat-sifat beliau.

4
Abu Hurairah, Bekerjalah untuk Duniamu Seakan Kau Hidup Selamanya,
https://hamalatulquran.com/bekerjalah-untuk-duniamu-seakan-kau-hidup-selamanya/, diakses ada
21 Desember 2020.

5
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 56.
Hadits mauquf dapat memiliki status sama dengan Hadits marfu’ apabila ia
berkaitan dengan turunnya al-Qur‟an, misalanya seorang menerangkan bahwa
ayat ini diturunkan dalam peristiwa ini, dan sebagainya, dan atau hal itu tidak
berkaitan dengan masalah ijtihadiyah. Masalah ijtihadiyah adalah hal-hal yang
merupakan pemikiran para sahabat sendiri, baik yang berkaitan dengan hukum
atau yang lain. Masalah yang tidak termasuk ijtihadiyah adalah masalah-masalah
yang berkaiatan dengan hal-hal ghaib (umur ghaibiyah), misalnya tentang surga,
neraka, dan lain-lain. 6

Hadits di atas tadi, atau tepatnya ungkapan „Abdullah bin „Amr, hanyalah
berkaitan dengan pemikiran beliau sendiri tentang masalah keduniaan. Karenanya,
ia tidak dapat memperoleh status sebagai Hadits marfu’, dan pada gilirannya
gugurlah ia sebagai hujjah (argumen).

Kualitas Hadits

Setelah diketahui bahwa ungkapan tersebut bukan Hadits Nabi SAW,


maka sebenarnya tidak perlu lagi diteliti apakah ia memiliki orientasitas sebagai
Hadits Nabi. Karenanya, ia tidak perlu dibahas terlalu jauh. Namun sebagai
ungkapan sahabat, apakah ia memiliki orientasitas? Ternyata tidak demikian.
Dalam sumber-sumber yang telah disebutkan di atas tadi, sanad, atau tranmisi
ungkapan „Abdullah bin „Amr itu ternyata munqati’ (terputus). Karenanya ia
dalam kapasitasnya sebagai ungkapan atau pendapat sahabat juga tidak shahih.

Dari segi matan atau subsatansinya, ungkapan di atas juga perlu ditinjau
kembali. Sebab ungkapan tadi mengandung perintah agar kita mencari harta dunia
dengan luar biasa seperti kita akan hidup di dunia ini selama-lamanya. Hal ini
sangatlah berlawanan dengan ajaran Islam secara umum yang menghendaki agar
manusia bersikap zuhud dan agar selalu ingat mati serta tidak melamun untuk

6
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 57.
hidup di dunia ini selama-lamanya. Dalam al-Qur‟an maupun Hadits-hadits shahih
tidak ada satupun perintah agar manusia mencari harta dunia. 7

Dalam al-Qur‟an misalnya, ada dua ayat yang disebut-sebut sebagai


berkaitan dengan mencari dunia. Tetapi apabila dicermati, masalahnya tidaklah
seperti itu. Surah al-Qashash ayat 77 mengatakan,

َ ‫اَّللُ إِلَْي‬
‫ك ۖ َوََل‬ َّ ‫َح َس َن‬ ِ ‫صيبك ِمن الدُّنْيا ۖ وأ‬
ْ ‫َحس ْن َك َما أ‬
ْ َ َ َ َ َ َ‫س ن‬
ِ ‫اَّلل الدَّار ْاِل ِخرةَ ۖ وََل تَْن‬
َ َ َ َ َُّ ‫آَت َك‬ َ ‫َوابْتَ ِغ فِ َيما‬

‫ين‬ ِِ ُّ ‫اَّللَ ََل ُُِي‬


َّ ‫ض ۖ إِ َّن‬
ِ ‫تَْب ِغ الْ َف َس َاد ِِف ْاْل َْر‬
َ ‫ب الْ ُم ْفسد‬

“Carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk kebahagiaan
negeri akhirat, dan janganlah kamu lupa bagianmu di dunia.”

Ayat ini yang pada mulanya merupakan ucapan umat Nabi Musa kepada
Qarun, justru menyuruh manusia untuk mencari bekal untuk kebahagiaan hidup di
akhirat, sementara untuk masalah dunia hanya dikatakan “dan janganlah kamu
lupa.” Banyak orang sekarang yang terbalik pemahamannya, sehingga ia sering
memberi nasihat, “Carilah dunia sebanyak-banyaknya, tetapi jangan lupa
kepentingan akhiratmu.”

Dalam Surah al-Jumu‟ah ayat 10 menyebutkan,

‫اَّللَ َكثِ ًريا لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُُو َن‬


َّ ‫اَّللِ َواذْ ُك ُروا‬ ْ َ‫ض َوابْتَ غُوا ِم ْن ف‬
َّ ‫ض ِل‬ ِ ‫الص ََلةُ فَانْتَ ِش ُروا ِِف ْاْل َْر‬
َّ ‫ت‬ِ ‫ضي‬
ِ ِ
َ ُ‫فَإ َذا ق‬

“Dan apabila salat telah selesai dikerjakan, maka kamu menyebarlah di muka
bumi, dan carilah kemurahan Allah.”

Ayat ini tidaklah menyebutkan “Carilah harta” atau “Carilah dunia”,


melainkan ia hanya menyebut “ Carilah kemurahan Allah”, sesuatu hal yang tetap
berkonotasi ukhrawi. Hadits-hadits Nabi justru sarat dengan peringatan-peringatan
agar manusia hati-hati dan waspada terhadap harta dan dunia. Dan kenyataannya,
tanpa ada satu ayat atau Hadits pun yang menyuruh manusia untuk mencari dunia,

7
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 57.
manusia ternyata sudah menggebu-gebu dalam mencari dunia. Oleh karenanya,
ungkapan yang tidak otentik dari „Abdullah bin „Amr yang oleh kebanyakan
orang diklaim sebagai Hadits itu sesungguhnya sangat berlawanan dengan ajaran
Islam. 8

Pendapat Ulama Banyumas

Pandangan hadits ini yang disampaikan oleh Farah Nuril Izza, Lc, M.A
salah satu putri dari pengasuh Pondok Pesantren Darussalam dan juga merupakan
dosen Tafsir Hadits di IAIN Purwokerto. Beliau berpendapat sebagai berikut:

Dalam melakukan kritik hadis, paling tidak ada 2 tahap yang harus kita
lakukan: pertama, melakukan kritik sanad untuk mengetahui validitas hadis
tersebut, mengetahui kutub mu'tabarah yang memuatnya serta mengetahui kualitas
hadis sehingga kita dapat mempertimbangkan apakah hadis itu nantinya dapat kita
jadikan sebagai argument dan dasar hukum atau tidak.

Kedua, setelah hadis itu kita ketahui dan diterima sebagai hujjah
(Sahih/Hasan. Adapun hadis dhaif statusnya debatable), langkah selanjutnya
adalah melakukan kritik matan (dalam rangka mengetahui maksud dari hadis baik
tekstual maupun kontekstual) dengan memperhatikan beberapa hal, diantaranya,
membandingkan dengan ayat al-Qur'an dan hadis lain yang memiliki kesamaan
tema, memperhatikan asbab wurud hadis, konteks sosio historis masyarakat
dimana hadis tersebut muncul, dll (lihat pembahasan Heremenutika hadis,
pemahaman hadis, bagaimana berinteraksi dengan hadis dll). Setelah ditelusuri
dalam beberapa sumber hadis, ...‫ اعول لدًٍاك‬bukanlah hadis marfu' (tidak berasal
dari Rasulullah).

‫احتاف اخلرية‬

‫حدثنا أبو عبد الرمحن املقرىء ثنا أبو عمرو الصفار عن عبد هللا بن العيزار قال لقيت شيخا ابلرمل‬
‫من اْلعراب كبريا فقلت له لقيت أحدا من أصُاب رسول هللا صلى هللا عليه و سلم قال نعم‬
8
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 58.
‫ احرز‬: ‫فقلت من فقال عبد هللا بن عمرو بن العاص فقلت له فما مسعته يقول قال مسعته يقول‬
‫لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل ِلخرتك كأنك َتوت غدا‬

‫مائة حديث من اْلحاديث الضعيفة و املوضوعة‬

‫ َل يصح‬:‫ قال اْللباين‬.))ً‫ واعمل ِلخرتك كأنك َتوت غدا‬، ً‫((اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا‬
ً‫مرفوعا‬

‫السلسلة الضعيفة‬

‫ ( َل أصل له ) وإن اشتهر على‬. ‫اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل ِلخرتك كأنك َتوت غدا‬
‫اْللسنة‬

Dalam tiga sumber disebutkan bahwa hadis tersebut tidak marfu', tidak
bersumber dari Rasulullah meski masyhur. Jadi bisa dianggap sebagai kata-kata
hikmah saja.

Penutup

Kesimpulan

Hadits tersebut ditemukan dengan sanadnya, hanya saja tidak bersumber


dari Nabi SAW, melainkan dari seorang sahabat yang bernama „Abdullah bin
„Amr bin al-„Ash. Dalam disiplin Ilmu Hadits, Hadits yang hanya bersumber dari
sahabat Nabi SAW disebut Hadits Mauquf, bukan Hadits Marfu’. Dan tentu saja
nilainya juga tidak sama dengan Hadits yang bersumber dari Nabi SAW (Hadits
Marfu’). Karenanya, secara umum ia tidak dapat disebut Hadits, sebab secara
umum, yang disebut Hadits adalah sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun sifat-sifat beliau.

Kesimpulannya, terkait maqalah di atas ulama berpendapat bukan hadis /


hadis palsu (maudu'), lebih tepatnya disebut hadis mauquf (tidak sampai kepada
Rasul) / atsar (ucapan sahabat). Sanad di atas hanya sampai kepada sahabat
Abdullah bin „Amr (Atsar / Mauquf). Statusnya pun lemah/dhaif, sebab rantai
sanadnya terputus. Sehingga tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.

DAFTAR PUSTAKA

Akhbarul Yaum, 1991, jilid 3 hal. 1752.

Al-Buthoni, Abdullah bin Taslim. “Hadits Palsu Tentang Beramal Untuk Dunia

Dan Akhirat”. https://almanhaj.or.id/5851-hadits-palsu-tentang-

beramal-untuk-dunia-dan-akhirat.html#_ftn3.

Faidh al-Qadiir II/12, Maktabah Syamilah.

Hurairah, Abu. “Bekerjalah untuk Duniamu Seakan Kau Hidup Selamanya”.

https://hamalatulquran.com/bekerjalah-untuk-duniamu-seakan-kau-

hidup-selamanya/.

Ishom, Muhammad. “Makna Hadits: Bekerjalah untuk duniamu seolah kau hidu

selamanya”. https://islam.nu.or.id/post/read/122105/makna-hadits--

bekerjalah-untuk-duniamu-seolah-kauhidup-selamanya-.

Yaqub, Ali Mustafa. 2003. Hadis-Hadis Bermasalah. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai