Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

DILEMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

OLEH:
RESTU LESTARIANINGSIH - 1806248305

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN EKONOMI DAN KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN
JAKARTA
2018
STATEMENT OF AUTHORSHIP

“Saya/kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas


terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang
lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya”.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk
makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas
bahwa saya/kami menyatakan menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme”.

Nama/NPM : Restu Lestarianianingsih/1806248305

Mata Ajar : Ekonomi Kelembagaan

Tanggal : Desember 2018

Dosen : Ainul Huda, //////

Jakarta, Desember 2018

(Restu Lestarianianingsih)

1
PENDAHULIAN

1. Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan sehat memudahkan
seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga kesehatan menjadi aspek
penting dalam kehidupan yang dapat merefleksikan tinggi rendahnya standar hidup
seseorang (Saptutyaningsih, 2015). Ketika seseorang mengalami gangguan kesehatan
baik ringan maupun berat, maka pengobatan merupakan sesuatu yang sangat
dibutuhkan.
Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (1) bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
dan ayat (2) bahwa Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Dalam rangka
mewujudkan amanat yang diberikan undang-undang tersebut pemerintah memberikan
solusi penanganan masalah pemeliharaan kesehatan dengan jaminan sosial pelayanan
kesehatan yang universal bagi seluruh rakyat Indonesia.
BPJS sebagai badan hukum publik merupakan transformasi dari Badan Usaha
Milik Negara yaitu PT. Askes (Persero) merupakan badan penyelenggaran jaminan
social dalam bidang kesehatan. Melalui tranformasi tersebut berbagai perubahan
terjadi dalam pengelolaan jaminan kesehatan diantaranya peserta jaminan, peserta
penyedia pelayanan kesehatan. Namun dalam kurun waktu 4 tahun pelaksanaannya
terdapat beberapa permasalah timbul diantaranya terkait pelayan yang deficit
anggaran. Sehingga hal ini menajdi menarik untuk dibahas terutama dalam sudut
pandang ekonomi kelembagaan.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut dalam makalah ini penulis ingin mengetahui :
- bagaimana intervensi pemerintah dalam bentuk kerjasama pemerintah dan swasta
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan;
- bagaimana principal dan agent problem yang diahadapi dalam jaminan pelayanan
kesehatan.
2
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adaalah untu :
- menegetahui intervensi pemerintah dalam jaminan pelayanan kesehatan;
- mengetahui bentuk kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan;
- menegetahui bagaimana principal dan agent problem yang diahadapi dalam
jaminan pelayanan kesehatan.

STUDI LITERATUR

1. Institution Change

2. Public-Private Partnership
Peran pemerintah diperlukan ketika kepentingan masyarakat sedang
dipertaruhkan. Menurut sudut pandang Static Neoclassical, kepentingan masyarakat
didefinisikan sebagai ketidaksempurnaan pasar yang tidak dapat diatasi oleh pihak
swasta. Sedangkan dalam sudut pandang Transacton Cost Economics, kapan dan
bagaimana intervensi pemerintah dilihat dari tata kelola organisasi yand lebih disukai.
Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan intervensi karena kepentingan
masyrakat mungkin sedang dipertaruhkan dan konsekuensinya adalah kesejahteraan
tidak maksimal, intervensi dari pemerintah dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan deadweight loss sehingga dapat meingkatkan efisiensi. Pemerintah
hanya akan mengintervensi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah akan memilih bentuk intervensi untuk melayani masyarakat dengan
meminimalisasi total biaya termasuk biaya transaksi.
Sector Spesific State Intervention in case of Information Imperfections
Intervensi pemerintah juga dapat dilakukan di sector atau profesi yang lebih spesifik,
karena barang-barang yang mereka supply sangat penting bagi masyarakat luas.
Untuk profesi seperti notaris, pengacara, dan dokter; untuk sector seperti asuransi
kesehatan, industry farmasi, dan sector keuangan. Pemerintah melakukan intervensi
terhadap beberapa profesi karena pada saat tertentu warga negara menjadi tergantung
pada jasa dari para praktisi tersebut ketika timbulnya asimetri informasi yang sangat
3
luas. Jasa dari para profesi/praktisi yang ditawarkan berdasarkan kepercayaan, jadi
klien/pasien hanya harus percaya terhadap jasa yang ditawarkan adalah kualitas yang
baik. Mengawasi profesi-profesi tersebut dapat diatur oleh negara atau dengan
peraturan tersendiri dari pihak swasta yang terdapat untung dan rugi sendiri bila
dibandingkan dengan di awasi oleh pemerintah.
Alasan pemerintah melakukan intervensi, karena ada sebuah kemungkinan
dimana para praktisi tersebut menyalahgunakan asimetri informasi dengan
menciptakan permintaan yang sebenarnya tidak perlu dan meyakinkan kliennya untuk
mengeluarkan asuransi tambahan atau dengan menaikkan biaya jasa kepada
konsumen untuk membebankan biaya dari pembuat aturan di tempatnya berusaha.
Alasan utama pemerintah melakukan intervensi di industry farmasi adalah untuk
melindungi kesehatan masyarakat luas karenan berdampak pada peretumbuhan
ekonomi. Pada sector finansial, alasan dari intervensi pemerintah adalah untuk
menstimulus pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan transparansi keuangan dan
membangun keamanan dalam berfinansial.
Intervensi pemerintah dibenarkan hanya dalam kasus adanya posisi dominan
yang menyalahgunakan posisi, atau dalam kasus penciptaan kekuatan pasar dengan
cara anti-persaingan. Aspek ini menyiratkan bahwa intervensi pemerintah harus
berfokus pada tujuan, alasan dan efek dari integrase yang mungkin memiliki efek
positif dan negative dari sudut pandang kesejahteraan ekonomi. Intervensi pemerintah
biasanya disebut dengan kebijakan persaingan yang secara umum ditetapkan oleh
otoritas persaingan (Lembaga di Indonesia adalah KPPU).
Competition Authority
Secara umum, otoritas persaingan hanya akan dapat mengintervensi dalam tiga
situasi yaiyu:
1. Ketika kekuatan pasar disalahgunakan oleh perusahaan dominan yang ada.
Dalam kasus perusahaan dominan, penyalahgunaan dapat didefinisikan secara
longgar sebagai perilaku yang bermanfaat bagi perusahaan, namun berdampak
buruk pada pelanggan dan/atau supplier yang pada akhirnya konsumen.
2. Dalam mencegah kemungkinan penyalahgunaan posisi dominan ketika
penggabungan beberapa perusahaan.
Otoritas persaingan akan mencoba untuk menilai apakah penggabungan beberapa
perusahaan (integrase vertikal, horizontal, akuisisi atau merger bentuk lainnya)
akan mengubah struktur pasar sedemikian rupa sehingga persaingan dapat
4
dikurangi secara substansial. Otoritas persaingan dapat memblokir merger, salah
satunya dengan mengenakan sanksi dan memaksa perusahaan menjual sebagian
dari bisnis mereka.
3. Ketika kekuatan pasar diberikan sebagai akibat dari kolusi eksplisit oleh kartel.
Dalam kasus kolusi eksplisit (kartel), memungkinkan penetapan harga yang lebih
tinggi, kuantitas yang lebih rendah atau penetapan wilayah geografis yang diberikan
kepada anggota dari kartel. Ini akan selalu mengarah pada harga yang lebih tinggi,
karena perjanjian dimaksud untuk menciptakan kekuatan pasar dengan tidak bersaing
pada harga, kuantitas atau area operasi

3. Principal-Agent Problem
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham
(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi
kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus
mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham. Prinsip
utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi
wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi)
yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract”.
Didalam hubungan kerjasama ini meskipun prinsipal adalah pihak yang
memberikan wewenang kepada agen, namun prinsipal tidak boleh mencampuri
urusan teknis dalam operasi perusahaan. Didik J. Rachbini di dalam bukunya
mengatakan bahwa masalah-masalah yang terjadi di dalam teori prinsipal agen/ teori
keagenan ini disebabkan oleh informasi yang asimetri (asymmetric information).
Asimetri informasi merupakan suatu kondisi dimana pihak manajemen lebih banyak
mengetahui kondisi internal perusahaan dibandingkan principal yang dalam hal ini
adalah shareholder.
Karena kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui
oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat
melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak
dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan hal ini
merupakan Moral Hazard (J).
Untuk mengatasi hal tesebut maka prinsipal harus mengeluarkan biaya diluar
biaya produksinya yang jumlahnya tidak sedikit, hal ini guna memberikan insentif
5
kepada agen agar bertindak sesuai dengan yang diinginkan prinsipal. Gaji yang besar
yang diberikan oleh prinsipal tidak serta merta membuatnya percaya kepada agen
akan menjalankan tugas seperti yang diinginkan prinsipal,yaitu mendapatkan
keuntungan yang besar untuk perusahaan miliknya. Hal ini terjadi karena masing-
masing pihak berusaha untuk memaksimalkan utilitinya.
Kontrak dan Kompensasi
a. Kontrak Kerja
Perusahaan sebagai prinsipal yang mempekerjakan agen akan berpikir berulang-
ulang kali untuk mengatur desain kontrak yang sesuai dan restruktukrisasi sistem
insentif. Hal ini dapat dilakukan wawancara yang intens pemeri kerja dengan
pekerja sehingga informasi yang didapatkan cukup memadai, terutama dalam hal
kinerja pekerja dan kompensasi untuk pekerjanya. Perbedaan kuantitas dan
kualitas informasi mengenai kinerja pekerjanya akan berpengaruh juga didalam
menentukan wujud kontraknya.
b. Kompensasi Non Finansial
Sistem insentif yang diberikan kepada pekerja tidak harus selalu berupa uang,
insentif atau kompensasi non-finansial merupakan bagian yang tidak kalah
penting dibandingkan dengan insentif finansial. Bahkan apabila prinsipal
mengembangkan sistem insentif non-finansial maka harapan agen dapat bertindak
sesuai dengan keinginan prinsipal dapat lebih terlaksana.

Evaluasi Objektif dan Subjektif


a. Evaluasi Objektif
Kinerja yang dihasilkan dari kontrak atau mekanisme insentif perlu diukur secara
kuantitatif. Ukuran tersebut dapat memperlihatkan dengan jelas dampak dari
desain kontrak terhadap kinerja yang diemban para pekerja. Dalam melakukan
evaluasi secara objektif terhadap kinerja pekerja dimana nantinya akan digunakan
sebagai dasar dalam menentukan besarnya kompensasi atau insentif dari pekerja,
maka prisipal dapat menggunakan jasa konsultan yang dapat menggunakan
instrumen penelitian dan alat ilmiah dalam mengukur kinerja pekerja. Evaluasi ini
dapat dilakukan berulang setiap akhir tahun.
b. Evaluasi Subjektif
Evaluasi objektif mempunyai keterbatasan oleh karena itu maka perlu dilakukan
metode penilaian dan evaluasi kinerja yang sifatnya subjektif hal ini untuk
6
memperkuat hasil dari evaluasi objektif. Jika evaluasi objektif menggunakan
metode dan instrument ilmiah makan evaluasi subjektif ini dilakukan dengan
pengalaman yang dalam atas organisasi dan kegiatan yang digeluti oleh
prinsipalnya.

PEMBAHASAN

1. Tranformasi Institusi Penyedia Layanan Jaminan Kesehatan


Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Jaminan kesehatan merupakan salah
satu dari 5 (lima) jaminan sosial seperti yang diamanatkan Undang-Undang No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jaminan Kesehatan tersebut
dinamakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
sebagaimana amanat Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Kesehatan).
BPJS Kesehatan merupakan hasil transformasi PT Askes (Persero), PT. ASKES
(Persero) didirikan memlaui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 16)
yang bersifat wajib bagi PNS/ penerima pensiun/ Perintis kemerdekaan/ veteran dan
anggota keluarganya. Selajutnya terjadi perubahan kebijakan dalam system jaminan
sosial nasional ditetapkan bahwa PT. ASKES (Persero) merupakan salah satu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial menurut UU No. 40 Tahun 2009. Melalui
peraturan baru tersebut pemerintah dalam pasal 14 mengenai
kepesertaan memasukan fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai
tambahan penerima bantuan iuaran.
Melalui UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS mengubah bentuk badan hukum
dari PT. Askes (Persero) yang semula merupakan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang berbentuk persero menjadi badan hukum publik dan langsung
bertanggung jawab kepada presiden. Karakteristik dari BPJS Kesehatan berbeda
7
dengan BUMN yang lain yaitu untuk mengejar keuntungan sedangkan BPJS
Kesehatan berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat, dana yang terkumpul dari
iuran peserta merupakan dana amanat yang dikelola dengan sebaik-baiknya untuk
kesejahteraan peserta (Hartati, 2015).
Selanjutnya transformasi mendasar adalah cakupan kepesertaan. Sebelum menjadi
BPJS Kesehatan, PT Askes (Persero) hanya melayani jaminan kesehatan untuk PNS,
penerima pensiun, veteran dan perintis kemerdekaan beserta keluarganya (Veny
Afrilia, 2017). Saat ini, seluruh jaminan kesehatan masyarakat Indonesia ditangani
oleh BPJS Kesehatan termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
buan di Indonesia yang telah membayar iuran.
Institusi penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan oleh negara berubah
seiring dengan perubahan pemegang kekuasaan (politik) atau rezim. Masing-masing
pemangku kekuasaan memiliki arah dan prioritas yang berbeda, namun menunjukan
kepada arah yang lebih baik. Terlihat dari latar belakang perubahan yang terjadi,
dimana pemerintah berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat terutama
dalam bidang kesehatan melalui lembaga yang sudah ada berusaha mencakup
keseluruhan masyarakat sebagai penerima manfaat.
Pada era sebelum reformasi layanan jaminan kesehatan yang diselenggarakan
pemerintah masih terbatas kepada pegawai negeri sipil dan tenaga kerja sektor formal
(Thabrany, 2014). Setelah reformasi layanan jaminan kesehatan diperluas dengan
memasukan masyarakat miskin sebagai penerima bantuan iuran dari pemerintah,
hingga terakhir layanan jaminan diwajibkan bagi seluruh masyarakat baik melalui
iuran pribadi maupun penerima bantuan dari pemerintah. Dalam hal ini juga telah
terjadi perubahan status property right, jaminan pelayanan kesehatan yang pada
awalnya merupakan club goods, menjadi socialized property.

2. Intervensi Negara dama Pelayanan Jaminan Kesehatan


Dalam rangka memberikan jaminan kesehatan demi kesejahteraan seluruh
masyarakat Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dari waktu ke waktu
mengalami penyempurnaan. Perubahan terbaru dalam jaminan pelayanan kesehatan
adalah tranformasi dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan
BPJS. Sebagaimana diketahui pada masa PT. Askes fasilitas pelayanan yang dapat
digunakan oleh peserta jaminan terseut hanyalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
dimiliki oleh pemerintah seperti Puskesmas dan Rumah Sakit milik pemerintah.
8
Dengan cakupan peserta yang luas dan besar maka dalam penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah harus menambah jumlah fasilitas pelayanan
kesehatannya. Namun dikarenakan keterbatasan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan
milik pemerintah maka dengan dikeluarkannya peraturan…… pemerintah
mewajibkan rumah sakit milik swsata juga untuk menyediakan …… bagi anggota
peserta BPJS. Secara status property right telah berubah dari private domain property
menjadi public domain peoperty.

3. Permasalahan Pelayanan Jaminan Kesehatan


Beberapa permasalahan yang terjadi :
1. Pemerintah seolah memaksa bahwa seluruh masyarakat harus menjadi
anggota atau peserta BPJS Kesehatan, hal ini berdampak buruh terhadap
perusahaan jasa jaminan kesehatan swasta. Pasar jasa ini menjadi dipersempit
karena, masyarakat perusahaan diharuskan menjadi peserta BPJS, pemerintah
seperti memaksakan BPJS untuk memonopoli pasar jasa penjamin kesehatan.
Beberapa perusahaan mengganti partner kerjasama penyedia jaminan
kesehatannya dengan BPJS, sebagain lainnya tidak atau memiliki jaminan
kesehatan double. Hal ini tergantung skala perusahaan dan kemampuan
finasnsial perusahaan.
2. Karena skala besar peserta menimbulkan tata cara pelayanan yang berbelit-
belit sehingga meningkatkan transaction cost dari sisi konsumen. Hal ini
menjadi tidak efisien
3. Adanya keharusan rumah sakit swasta bekerja sama sebagai penyedia fasilitas
pelayanan kesehatan membrikan peluang bagi fasilitas pelayanan kesehatan
swasta untuk menaikan pendapatannya, namun hal ini juga menimbulkan
beberapa masalah moral hazard seperti :
a. Oknum fasilitas pelayanan kesehatan dalam penyediaan pelayanan rawat
inap kelas BPJS, dijumlai beberapa kasus dimana peserta BPJS kesulitan
mendapatkan kamar rawat inap yang sesuai kelas pelayanan BPJS
sehingga diharuskan menggunakan pelayanan dengan kelas diatasnya
dengan biaya tanggungan dari BPJS yang didak berimbang. Asimetric
information ini menyebabkan kerugian finansial bagi peserta.

9
b. Dalam hal penyediaan obat generic, terkadang tidak semua rumah sakit
menyediakan seluruh obat generic yang terdapat dalam daftar oebat yang
ditanggung oleh BPJS. Dengan alasan ketidak tersediaan obat pihak
penyedia layanan kesehatan yang seharusnya dapat menyediakan obat
yang akan ditanggung BPJS membebankan biaya pembelian obat
terhadap peserta , sehingga lagi-lagi peserta BPJS menjadi pihak yang
ditugikan padahal mereka sudah membayar iuran kepesertaan tetapi
manfaat yang dirasakan tidak maksimal.
4. Kasus defisit anggaran dan keterlambatan pembayaran tanggungan dari PT.
BPJS Kesehatan. Data tahun …… menjukan bahwa keuangan PT. BPJS
mengalami defisit, hal ini mungkin yang menjadi penyebab kasus
keterlambatan pembayaran tanggungan BPJS kepada fasilitas pelayanan
kesehatan yang muncul akhir-akhir ini. Hal ini menimbulkan ekternalitas
negatif bagi para penyedia jasa layanan kesehatan baik lembaga pelayanan
kesehatan itu sendiri, dokter, perawat dan komponen pelayanan kesehatan
lainnya. Masaah deficit anggaran dan keterlambatan pembayaran secara
finansial mengancam keberlangsungan PT. BPJS Kesehatan itu sendiri
maupun Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Keterlambatan pembayaran
mengancam terselenggaranya pelayanan kesehatan terutama di fasilitas
pelayanan kesehatan milik pemerintah yang sebagian besar pasien yang
ditangani adalah masyarakat peserta BPJS dan mengandalkan pendaan dari
pemerintah.

10
KESIMPULAN & REKOMENDASI KEBIJAKAN

11

Anda mungkin juga menyukai