Anda di halaman 1dari 15

Pengertian Qada dan Qadar

Iman kepada Qada dan Qadar berarti percaya dan yakin sepenuh hati bahwa Allah SWT
mempunyai kehendak, ketetapan, keputusan atas semua makhluk-Nya termasuk segala
sesuatu yang meliputi semua kejadian yang menimpa makhluk. Kejadian itu bisa berupa hal
baik atau buruk, hidup atau mati, kemunculan atau kemusnahan. Semua menjadi bukti dari
kebesaran Allah SWT. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah.

Qada berarti:

1. hukum atau keputusan (Q.S. Surat An- Nisa’ ayat 65)


2. mewujudkan atau menjadikan (Q.S. Surat Fussilat ayat 12)
3. kehendak  (Q.S. Surat Ali Imron ayat 47)
4. perintah  (Q.S. Surat Al- Isra’ ayat 23)

Qadar berarti:

1. mengatur atau menentukan sesuatu menurut batas-batasnya (Q.S. Surat Fussilat ayat
10)
2. ukuran (Q.S. Surat Ar- Ra’du ayat 17)
3. kekuasaan atau kemampuan (Q.S. Surat Al- Baqarah ayat 236)
4. ketentuan atau kepastian (Q.S. Al- Mursalat ayat 23)
5. perwujudan kehendak Allah swt terhadap semua makhluk-Nya dalam bentuk-bentuk
batasan tertentu (Q.S. Al- Qomar ayat 49)

Macam-Macam takdir
1. Taqdir muallaq yaitu takdir yang masih digantungkan pada usaha dan ikhtiar
manusia. Misalnya seseorang ingin kaya, pintar, dll berarti orang ini harus melalui
proses usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

Allah SWT berfirman:


2. Taqdir Mubrom yaitu takdir yang sudah tidak bisa dirubah oleh manusia walaupun
ada ikhtiar dan tawakal. Misalnya adalah kematian manusia.
Allah SWT berfirman:

Dalil Iman Kepada Qada dan Qadar

Artinya :”Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.”

D. Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Kepada Qada dan Qadar

Seorang muslim yang yakin kepada ketentuan Allah SWT pasti akan mempunyai tingkat
ketaatan yang tinggi. Ciri-ciri orang yang beriman kepada qada dan qadar:

1. Selalu sadar dan menerima kenyataan.


2. Senantiasa bersabar.
3. Rajin dalam berusaha dan tidak mudah menyerah.
4. Bersikap optimis, bukan pesimis.
5. Senantiasa bersikap tawakal.
6. Menaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya
7. Bertawakal kepada Allah SWT
8. Mengisi kehidupan dengan hal positif untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak

Hikmah dan Fungsi Iman Kepada Qada dan Qadar

Hikmah iman kepada qada dan qadar:

1. Melatih diri untuk lebih bersyukur kepada Allah swt.


2. Mendekatkan diri kepada Allah swt.
3. Melatih seseorang menjadi orang yang giat berusaha dan tidak cepat putus asa.
4. Menghindarkan dari sifat sombong.
5. Menenangkan jiwa.
6. Membiasakan diri untuk bersabar dan bertawakal kepada Allah swt.

Fungsi iman kepada qada dan qadar:

1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT (Q.S. Al Hadid ayat 22)


2. Mendidik manusia untuk senantiasa berusaha / ikhtiar (Q.S. Ar Ra’du ayat 11 dan An
Najm ayat 39 – 42)
3. Mendidik manusia untuk senantiasa sabar dan tawakal (Q.S. Al  Baqarah ayat 155 –
156 dan Ali Imran ayat 159)
4. Mendidik manusia untuk tidak besikap sombong /takabur (Q.S. Lukman ayat 18)

F. Contoh Qada dan Qadar

Bejo merupakan murid yang cerdas, dia jarang belajar. Bejo belajar hanya beberapa menit
sebelum ulangan dimulai. Ketika menerima hasil ulangan, bejo mendapat nilai yang bagus.

Saat kelas 7 SMP Arul adalah murid yang mempunyai prestasi biasa saja. Tetapi karena
ketekunan dan usaha nya, dia bisa mengejar teman-temannya. Sehingga saat ujian akhir
sekolah Arul menjadi murid yang terbaik.

Suparjo berusia 14 tahun, sekarang dia duduk di kelas 8. Kehidupan Suparjo jika berdasarkan
usia hidup rata-rata penduduk Indonesia yaitu sekitar 64 tahun. Tetapi menginjak usia 15
suparjo sakit keras, berbagai pengobatan telah dijalani, tetapi akhirnya suparjo meninggal
dunia.

Setelah mengetahui pengertian, dalil, fungsi, hikmah beriman kepada qada dan qadar,
semoga bisa menambah keyakinan kita kepada ketetapan Allah SWT sehingga kita bisa
menerima apa adanya ketentuan yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa tanpa
menggugat yang telah di tetapkannya.

https://www.yuksinau.id/iman-kepada-qada-dan-qadar/#!
Kasus Menyalahkan Allah

“Jika Allah menimpakan suatu mudharat


kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah sendiri” (QS. Al
An’am: 17)

Seorang pemuda selamat dari kecelakaan kapal yang mengerikan. Tubuhnya


terombang-ambing di atas bongkahan kayu pecahan kapal, ia pun terdampar di sebuah pulau
tak berpenghuni. Dalam ketakutannya, ia berdoa pada Tuhan agar seseorang datang
menjemputnya dari pulau sepi itu, namun nihil. Pemuda itu pun berputus asa dan mulai
membangun gubuk semacam tenda sementara, agar ia bisa bernaung di malam hari.Esoknya,
sang pemuda merasa lapar, ia pun mencoba berburu di pulau tersebut, barangkali ada
binatang yang bisa dijadikannya santapan.Akan tetapi betapa terkejutnya ia ketika balik ke
gubuknya, ternyata terjadi kebakaran hebat akibat api unggun yang menghanguskan seluruh
kayu yang membangun gubuk tersebut.Hanya tersisa asap hitam tebal yang bergumpal
membumbung ke cakrawala. Pemuda tersebut telah kehilangan segalanya.

Dengan kesal, sang pemuda memaki ke langit. “Tuhaaan, mengapa Engkau


memperlakukan aku tidak adil seperti ini!”Ia berteriak tanpa henti hingga lelah dan tertidur
dalam keputusasaan dan air mata yang mengering di pelupuknya.Besoknya, pemuda tersebut
dikejutkan dengan kehadiran sebuah kapal yang merapat di bibir pantai.

“Mengapa kalian tahu ada seseorang di pulau tak berpenghuni ini?” tanya sang pemuda.

Para penolongnya itu menjawab, “Karena kemarin kami melihat isyarat SOS mu!”

“Isyarat SOS apa?” pemuda itu justru kebingungan karena merasa tak pernah mengirim
isyarat apapun.
“Asap hitam pekat yang membumbung tinggi yang engkau buat kemarin itulah yang
membuat kami tahu ada seseorang di sini!”

Pemuda itu baru menyadari bahwa Tuhan bukan memperlakukannya tidak adil,
ternyata Tuhan justru sedang menolongnya, dengan cara yang tidak ia mengerti.Sahabat,
jangan pernah menyalahkan Allah, karena Ia selalu punya cara untuk menolong kita,
meskipun kita tak paham jalan pikiranNya. Kita dengan segala keterbatasan dan kebodohan
sering mengira Allah memberi ujian untuk mempersulit, menghinakan, dan menyusahkan
kita, padahal bisa jadi ujian tersebut justru penyelamat hidup kita.

Sama dengan pemuda dalam kisah di atas yang telah ditulis ulang dengan beberapa
perubahan, kita sering berputus asa dalam menjalani ujian. Sedikit himpitan ekonomi, ada
yang tak tahan dan melakukan bunuh diri. Diuji dengan lilitan utang, alih-alih meminta Allah
untuk menghapuskan utang tersebut malah mengandalkan gali lobang tutup lobang sana-sini.
Betapa seringnya kita tak percaya bahwa Allah Maha Kuasa membalik keadaan.

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu
ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS.
An Nahl: 53)

Sahabat, apapun kesulitan yang sedang kita rasakan saat ini, sesungguhnya hanya
Allah saja yang mampu menghapuskannya. Maka, mengapa menyalahkan Allah padahal Dia-
lah yang mampu menunjukkan jalan keluar dari tiap permasalahan? Semoga kita tidak
menjadi orang yang menyalahkan Allah atas kesalahan yang sebenarnya dilakukan oleh diri
kita sendiri.
Kasus Pemuda Menyalahkan Allah setelah Kehidupannya Berubah Usai di PHK

Dalam sebuah ayat di dalam Al-Qur'an, Surah Baqarah : 245, Allah SWT telah berjanji akan
melipat gandakan rezeki dari hamba-Nya yang gemar bersedekah.

Sayangnya, tidak sedikit yang justru meragukan janji Allah tersebut.

Padahal keajaiban sedekah sudah sering kali kita dengar, dan terbukti kebenarannya pada
mereka yang benar-benar ikhlas membelanjakan hartanya di jalan Allah.

ontohnya seperti kisah dalam film pendek ‘Salah Sedekah’ karya Want Production dan
DAQU Movie berikut ini.

Kisah dalam video ini bercerita  tentang seorang pemuda yang di PHK karena perusahaannya
bangkrut.

Selama 6 bulan semenjak dirinya di PHK, pria ini bahkan belum juga mendapatkan pekerjaan
baru yang ia impikan.

Padahal, ia menjadi tulang punggung di keluarga, karena sang ayah  juga di PHK sebulan
sebelumnya dan sedang dalam kondisi sakit-sakitan.

Ibunya telah tiada, dan Ia masih memiliki tanggung jawab merawat dan menjaga dua orang
adik perempuannya yang masih kuliah dan sekolah.

Untuk menghidupi kebutuhan hidupnya disaat ia tak punya pemasukan, pria ini terpaksa
menjual motor satu-satunya yang ia miliki.

Bahkan, ia dan keluarganya  juga memutuskan untuk pindah ke kontrakan yang lebih murah
karena sudah tak memiliki cukup uang.

Awalnya, pemuda ini yakin dengan sedekah maka Allah akan menolongnya.

Namun setelah 6 bulan berlalu dan merasa pertolongan Allah tidak kunjung datang
kepadanya, ia justru mulai meragukan Allah

Dalam salah satu adegan saat makan malam, pemuda tersebut bahkan merasa emosi setelah
kedua adiknya meminta uang untuk kebutuhan sekolah dan kuliah, sementara uang hasil
penjualan motor sudah tidak banyak.

Dengan berteriak penuh amarah, pemuda tersebut bahkan menyebut jika Allah yang salah
karena telah membuat keadaan keluarganya menjadi tidak memiliki uag dan penghasilan
sama sekali.

Sampai suatu ketika pemuda tersebut melihat seorang petugas kebersihan yang
mensedekahkan seluruh gajinya ke sebuah Rumah Tahfiz Al-Qur'an.
etika pemuda tersebut bertanya kepada petugas kebersihan tersebut, jawabannya sungguh luar
biasa.

“Terkadang kita beribadah kurang ikhlas ketika yang kita pinta kepada Allah tidak terkabul.

Bukannya Allah enggak ngasih tapi Dia lagi siapkan surprise buat Mas.

Allah juga enggak harus balas dengan uang juga lho.

Bisa juga dengan umur panjang dan keluarga harmonis.

Kita saja yang enggak sadar,” ungkap petugas kebersihan itu bijak.

Petugas kebersihan itu juga membuat contoh saat anaknya ngambek karena setelah capek
membantu ayah ibunya, dia mengeluh tidak mendapatkan apa-apa.

Padahal ayah dan ibunya sedang menabung untuk membelikan anaknya sebuah sepeda
sebagai hadiah.

Apa yang dituturkan petugas kebersihan tersebut kemudian menyadarkannya untuk lebih
ikhlas melakukan sedekah dan beribadah.

Saat itu juga, Ia sedekahkan semua uang yang ada di dompetnya ke Rumah Tahfiz Al-Qur'an.

Pemuda tersebut kemudian pulang tanpa membawa uang sepeser pun

Sesaat sebelum sampai di rumah, Ia dipanggil-panggil oleh salah satu adiknya yang tampak
panik

Sang adik mengabarkan bahwa ayah mereka pingsan di rumah.

Pemuda tersebut segera melarikan ayahnya ke rumah sakit.

Sang ayah diminta oleh dokter untuk di rawat di rumah sakit.

Sementara si pemuda harus membayar biaya awal di rumah sakit yang mencapai Rp. 2 juta.

Ia lalu pergi ke beberapa temannya untuk meminjam uang tapi hasilnya nihil.

Di tengah kegalauannya, pertolongan Allah itu datang. Keajaiban sedekah datang ke


hadapannya bahkan tanpa Ia harus mencari-carinya.
Hukum mencela Allah SWT

Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan haram yang merupakan kekufuran
(kufur akbar). Ini adalah ijma’ di kalangan ulama. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
memiliki pembahasan tentang ini, menukilkan penjelasan para ulama seperti Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya. Lihat Fatawa Ibnu Baz (1/91—94).

        Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/270,
terbitan Darul Atsar), “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mencaci Allah
subhanahu wa ta’ala atau menyifati-Nya dengan aib/celaan, dan celaan yang paling keji
adalah melaknat Allah subhanahu wa ta’ala atau memprotes/mengkritik hukum-hukum Allah
subhanahu wa ta’ala berupa kejadian-kejadian yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan
atau aturan-aturan syariat yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, meski kritikan itu dalam
bentuk isyarat dan sindiran; sesungguhnya pelakunya kafir.

        Sebab, ini adalah penghinaan terhadap kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai
satu-satunya Rabb, Penguasa yang mencipta, memberi rezeki dan mengatur alam ini. Ini
adalah perkara besar.

        Barang siapa mencaci Allah subhanahu wa ta’ala, sama saja baik dengan ucapan atau
dengan isyarat, dengan serius atau hanya bercanda–bahkan dengan bercanda lebih keji,
karena menjadikan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bahan candaan dan ejekan–lalu
mencari alasan agar tidak disalahkan, dia kafir berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta’ala,

ُ ۚ ‫وض َونَ ۡل َع‬


ُ ‫ب قُلۡ َأبِٱهَّلل ِ َو َءا ٰيَتِ ِۦه َو َر‬
          ‫رتُم‬Wۡ Wَ‫د َكف‬Wۡ Wَ‫ ِذ ُرو ْا ق‬Wَ‫ اَل ت َۡعت‬٦٥ َ‫سولِ ِهۦ ُكنتُمۡ ت َۡست َۡه ِزءُون‬ ُ ‫سَأ ۡلتَ ُهمۡ لَيَقُولُنَّ ِإنَّ َما ُكنَّا نَ ُخ‬
َ ‫َولَِئن‬
‫َأ‬ َ ۢ ِّ ۚ
٦٦ َ‫بَ ۡع َد ِإي ٰ َمنِ ُكمۡ ِإن نَّ ۡعفُ عَن طَٓاِئفَ ٖة ِّمن ُكمۡ نُ َعذ ۡب طَٓاِئفَة بِ نَّ ُهمۡ َكانُو ْا ُم ۡج ِر ِمين‬

        ”Jika engkau (wahai Nabi) menanyakan kepada mereka (tentang perbuatan mereka
mengolok-olok sahabat radhiallahu ‘anhum), mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya
bersenda gurau.’ Katakan (kepada mereka):

        ‘Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok? Janganlah
kalian minta uzur, sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman’.” (at-Taubah: 65—
66)

        Demikian pula, mencaci Allah subhanahu wa ta’ala berarti merendahkan Allah
subhanahu wa ta’ala. Jadi, setiap yang merendahkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan
ucapan, perbuatan, atau kalbunya, dia kafir. Sebab, iman adalah beriman kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan rububiyah-Nya (bahwa
Allah subhanahu wa ta’ala berkuasa, mencipta, memberi rezeki, dan mengatur alam) yang
sempurna.”

        Penyesalannya setelah amarahnya mereda menunjukkan bahwa dia telah mengetahui
haramnya perbuatan tersebut. Itu cukup untuk menghukumi bahwa dia kafir (murtad),
meskipun dia tidak tahu kalau hal itu adalah kekafiran[1].
        Oleh karena itu, dia wajib bertobat dengan sebenar-benarnya dan bersyahadat kembali.
Apabila tidak ada orang lain yang mengetahuinya, ia cukup bertobat dan bersyahadat sendiri.
Hendaklah dia merahasiakan kesalahan itu yang merupakan aib dirinya.[2]

        Adapun apabila sudah diketahui oleh kaum muslimin, dia harus mempersaksikan
tobatnya dan syahadatnya kembali di hadapan hakim dan kaum muslimin. Setelah itu, ia
diberi muamalah sebagai seorang muslim. Sebab, menurut pendapat yang rajih (paling kuat),
tobatnya diterima.

        Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata setelah menyebutkan pendapat yang
mengatakan bahwa tobatnya tidak diterima,

        “Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tobatnya diterima jika dia benar-benar
jujur bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengakui kesalahan yang
dilakukannya, serta menyifati Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat pengagungan
yang pantas bagi (keagungan dan kesempurnaan) Allah subhanahu wa ta’ala.

        Hal itu berdasar keumuman dalil-dalil tentang diterimanya tobat secara umum (tanpa
kecuali), seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

          ‫ َّر ِحي ُم‬W‫و ُر ٱل‬Wُ‫ َو ۡٱل َغف‬Wُ‫ا ِإنَّ ۥهُ ه‬Wۚ ‫وب َج ِمي ًع‬ ُّ ‫س ِهمۡ اَل ت َۡقنَطُو ْا ِمن َّر ۡح َم ِة ٱهَّلل ۚ ِ ِإنَّ ٱهَّلل َ يَ ۡغفِ ُر‬
َ ُ‫ٱلذن‬ ِ ُ‫ي ٱلَّ ِذينَ َأ ۡس َرفُو ْا َعلَ ٰ ٓى َأنف‬
َ ‫قُلۡ ٰيَ ِعبَا ِد‬
٥٣

        Katakan (wahai Nabi), “Wahai hamba-hamba Allah yang telah berlebih-lebihan
melakukan dosa (yang berakibat) terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus
asa dari rahmat Allah. Sesunggguhnya Allah Maha Mengampuni seluruh dosa (bagi siapa
saja yang bertobat).” (az-Zumar: 53)

        Di antara orang-orang kafir ada yang mencaci maki Allah subhanahu wa ta’ala dan
tobatnya diterima. Inilah pendapat yang benar (dalam masalah ini).” (al-Qaulul Mufid, 2/268)

        Kegagalan dan persoalan hidup yang dialami orang tersebut adalah bagian dari seluruh
urusan yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tuliskan takdirnya dalam al-Lauhul Mahfudz,
sejak 50.000 tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Hal ini disebutkan dalam hadits
Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim.

        Kita wajib mengimani hal tersebut. Selain itu, kita harus menyadari bahwa kita tidak
akan meraih apa yang kita dambakan, begitu pula kita tidak akan mampu mengelak dari apa
yang kita khawatirkan, kecuali sebatas apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan.
Meskipun seluruh manusia dan jin bersatu-padu membantu kita, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang
diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi.[3]

        Ketahuilah, setiap hukum yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, baik hukum syariat
maupun kejadian-kejadian yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan, mesti memiliki suatu
hikmah. HIkmah ini menunjukkan kebijaksanaan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah
menetapkan sesuatu sebagaimana mestinya.

        Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,


‍َٔۡ ُ‫س ُل َع َّما َي ۡف َع ُل َوهُمۡ ي‬
          ٢٣ َ‫سلُون‬ َٔ‍ۡ ُ‫اَل ي‬

        “Tidak dipertanyakan apa yang Allah perbuat (karena kesempurnaan hikmah-Nya),
sedangkan hamba-hamba Allah akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka.”
(al-Anbiya: 23)

        Di antara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan musibah dan cobaan hidup
kepada seseorang adalah agar dia mengoreksi diri dan mengoreksi maksiat-maksiat yang
telah dilakukannya, berupa kelalaian dalam menunaikan kewajiban-kewajiban syariat yang
dibebankan kepadanya atau kelancangan melanggar larangan-larangan Allah subhanahu wa
ta’ala.

        Hal ini sebagai hukuman dan pelajaran baginya agar dia bertobat, kembali ke jalan Allah
subhanahu wa ta’ala dan memperbaiki kembali agamanya yang selama ini telah dia
sepelekan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          ٤١ َ‫ض ٱلَّ ِذي َع ِملُو ْا لَ َعلَّ ُهمۡ يَ ۡر ِجعُون‬ َ ‫سا ُد فِي ۡٱلبَ ِّر َو ۡٱلبَ ۡح ِر بِ َما َك‬
ِ ‫سبَ ۡت َأ ۡي ِدي ٱلنَّا‬
َ ‫س لِيُ ِذيقَ ُهم بَ ۡع‬ َ َ‫ظَ َه َر ۡٱلف‬

        “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah perbuatan manusia
sendiri (kemaksiatan yang mereka lakukan) yang mana Allah melakukan dalam rangka
mengazab mereka agar mereka (sadar) kembali ke jalan Allah.” (ar-Rum: 41)

        Itupun sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah banyak mengampuni


sebagaimana firman-Nya,

ٖ ِ‫سبَ ۡت َأ ۡي ِدي ُكمۡ َويَ ۡعفُو ْا عَن َكث‬


          ٣٠ ‫ير‬ َ ‫صيبَ ٖة فَبِ َما َك‬ َ ٰ ‫َو َمٓا َأ‬
ِ ‫صبَ ُكم ِّمن ُّم‬

        “Tidaklah menimpa kalian suatu musibahpun kecuali akibat perbuatan kalian sendiri
dan sesungguhnya Allah banyak mengampuni kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)

        Jadi, seharusnya kita mengoreksi diri, apakah kita telah mensyukuri nikmat-nikmat
Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak terhitung banyaknya, yang telah kita rasakan dan
sedang kita rasakan?

        Ingatlah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

          ِ ۖ ‫َو َما بِ ُكم ِّمن نِّ ۡع َم ٖة فَ ِمنَ ٱهَّلل‬

        “Tidak ada satu nikmat pun yang kalian rasakan melainkan dari Allah.” (an-Nahl: 53)

        Jangan kita justru mengoreksi Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala
tidak menzalimi siapa pun, sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits. Bukankah
alam ini dan seluruh isinya adalah ciptaan-Nya, milik-Nya, dan kekuasaan-Nya? Adalah hak
Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberi dan menahan apa yang Dia inginkan.

        Seharusnya kita malu dan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kita masih
kurang memuji dan mengagungkan-Nya, dibandingkan dengan nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya.
        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita agar menyadari besarnya nikmat
dan tidak meremehkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

        “Hendaklah engkau memandang kepada orang yang diberi nikmat yang lebih sedikit
darimu, dan janganlah memandang kepada orang yang diberi nikmat lebih darimu. Hal itu
akan lebih menjadikan kamu tidak meremehkan nikmat Allah atasmu.”
Hukum Marah Dalam Islam dan Dalilnya

Hukum marah dalam islam sebenarnya memiliki aturan yang harus diperhatikan. Hendaknya
kita disarankan untuk menahan marah apalagi karena mengikuti hawa nafsu yang ujung –
ujungnya tidak membawa manfaat apapun bagi diri kita bahkan orang lain. Marah bisa jadi
justru menimbulkan penyakit seperti darah tinggi.

Marah dalam Islam

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan
marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” (HR al-Bukhari)

Di dalam kitab suci Al-Qur’an sudah terdapat penjelasan mengenai kemarahan dari Allah
Swt. Kemarahan tersebut beralasan karena hanya ditujukan kepada mereka – mereka yang
tidak taat seperti halnya orang-orang kafir, oarang – orang yang senang berbuat musyrik,
orang – orang munafik, dan juga orang-orang yang sudah melampaui batas-Nya. Kemudian
Allah Swt berfirman pada surat Al Fath ayat 6 dengan penjelasan sebagai berikut :

“Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang
musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan
mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk
mereka, serta menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Fath/48 : 6)

Pada artikel kali ini saya akan membahas lebih dalam mengenai hukum marah yang mungkin
bisa anda jadikan sebagai referensi. Hukum marah dalam islam terbagi dalam beberapa
kategori, tentunya sesuai dengan situasi dan juga kondisi, yuk simak penjelasannya bersama –
sama sebagai berikut :

1. Wajib

Terkadang marah memang wajib untuk dilakukan, apalagi jika agama kita dilecehkan bahkan
dihina, maka sudah sewajarnya kita marah. Kemudian bisa juga ketika kita dihadapkan
dengan perbuatan maksiat yang dilakukan terang – terangan, kita juga wajib marah dan
sebagai sesama muslim harus saling mengingatkan.

“Apabila kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan/kekuasaanya, apabila


tidak mampu, maka ubahlah dengan ucapan/lisan (nasihat), apabila tidak mampu, maka
ubahlah dengan hati. Dan yang terakhir, inilah wujud serendah-rendahnya iman. (H. R.
Muslim).

2. Sunnah
Marah bisa dikategorikan ke dalam perbuatan sunnah karena adanya perbedaan pendapat di
masyarakat terhadap suatu tindakan seperti contohnya pada saat sedang menjadi imam shalat
melafalkan ayat – ayat suci Al – Qur’an dengan memanjangkannya.

Tentunya tidak semua orang berkenan dengan perbuatan tersebut. Marah karena tindakan
yang dilakukan oleh imam tersebut bisa dikatakan dalam kategori sunnah. Tapi jika hal
tersebut menyangkut bacaan ayat suci Al – Quran yang dilantunkan sesuai selera orang yang
melantunkan, saya kira tidak perlu dipermasalahkan.

Beda lagi jika pelantunan ayat suci Al Qur’an tersebut tidak memperhatikan tajwid, kita
berhak marah untuk mengingatkan.

3. Mubah

Mubah dalam islam sendiri mempunyai hukum yang masih boleh untuk dilakukan. Untuk
penjelasan mengenai dalil bisa ditemukan pada suatu hal yang memang pernah terjadi pada
sahabat Rasulullah Saw yakni Abu Bakar RA. Pada saat itu beliau sedang meluapkan
ketidaksukaannya dengan marah kepada anaknya.

Hal tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya anaknya belum memberikan makan pada tamu.
Sedangkan tamu yang datang itu dengan sengaja tidak mau makan terlebih dahulu sebelum
Abu Bakar datang. Dan beliau harus makan dulu kemudian tamu tersebut baru makan.

Itulah yang sudah menjadi keputusan tamu itu sendiri dan bukan salah dari anaknya Abu
Bakar. Namun Abu Bakar tetap saja marah kepada anaknya karena dianggap mengabaikan
seorang tamu. Oleh karena Abdurrahman sempat menghindar dari Abu Bakar dan
bersembunyi karena sangat takut apabila dimarahi.

4. Makruh

Arti dari perbuatan makruh ialah suatu tindakan yang jika dilakukan dengan sengaja atau pun
tidak sengaja maka  tidak akan mendapatkan berdosa, namun apabila menjauhinya justru
akan mendapatkan pahala. Tentunya keduanya bukanlah pilihan yang sulit untuk dilakukan.
Bisa kita lihat dari suatu kejadian antara Sa’ad dengan Rasulullah Saw. Pada saat itu Sa’ad
memang sengaja mengajuka pertanyaan kepada Rasulullah Saw untuk memastikan saja
perihal seumpama ada seorang lelaki yang sedang melakukan zina dengan istrinya.

Kemudian ia bermaksud akan langsung membunuh lelaki tersebut tanpa melalui proses
mendatangkan empat orang saksi terlebih dahulu. Berarti tindakan marah yang dilakukan
oleh Sa’ad ini merupakan tindakan yang masuk dalam kategori makruh karena ucapan yang
ia lontarkan baru saja hanyalah sebuah pengandaian belaka.

5. Haram

Perbuatan atau tindakan meluapkan emosi dan juga kemarahan dengan menggunakan
perkataan kotor, caci maki yang melampaui batas, hinaan yang menyakiti hati seseorang dan
juga berbagai kata keji yang tidak pantas diucapkan bisa tergolong dalam kategori marah
yang hukumnya diharamkan.
Hal seperti itu bisa terjadi karena kita tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dan selanjutnya
setan pun ikut campur di dalamnya, sehingga timbulah perbuatan yang melampaui batas.
Padahal perbuatan tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan, dan hanya ke depannya hanya
akan merugikan kedua belah pihak saja.

Ayat – Ayat Di Dalam Al Qur’an Yang Menjelaskan Tentang Marah

Berikut ini adalah beberapa dalil Al-quran yang menjelaskan tentang sifat marah yang
dimiliki setiap manusia, diantaranya adalah:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian
Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”, maka merekapun
bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.” (QS. Al – Araf : 11)

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari
api sedang dia Engkau ciptakan dari Tanah.” (QS. Al – Araf : 12)

Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan
diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.”
(QS. Al – Araf : 13)

Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.” (QS. Al –
Araf : 14)

Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.” (QS. Al –
Araf : 15)

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,” (QS. Al – Araf : 16)

kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan
dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(taat).” (QS. Al – Araf : 17)

Allah berfirman: “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir.
Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan
mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya.” (QS. Al – Araf : 18)

(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta
makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu
berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang
zalim.” (QS. Al – Araf : 19)

Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada
keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu
tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi
malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).” (QS. Al – Araf : 20)
Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang
yang memberi nasehat kepada kamu berdua.” (QS. Al – Araf : 21)

maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala
keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka
menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku
katakan kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
berdua?” (QS. Al – Araf : 22)

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al – Araf : 23)

Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi
sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat
mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan.” (QS. Al – Araf : 24)

Allah berfirman: “Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu
(pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS. Al – Araf : 25)

Dapat diambil kesimpulan bahwa artikel mengenai hukum marah dalam islam di atas yang
diulas secara detail dan dikemas dengan menarik, diharapkan bisa membantu memudahkan
dalam mempelajari serta memahaminya lebih dalam lagi.

Sehingga nantinya mungkin bisa dijadikan sebagai bahan referensi yang bisa diterapkan
dalam kehidupan sehari – hari dan menambah wawasan bagi anda. Sampai disini dulu ya
artikel kali yang membahas mengenai hukum marah dalam islam. Semoga bisa bermanfaat
bagi anda dan terima kasih sudah meluangkan sedikit waktu untuk membaca artikel saya ini.

Anda mungkin juga menyukai