Anda di halaman 1dari 2

“Konflik Batin Seorang Janda”

Githa Putri Lukman, Muhammad Rajabbani Muttaqin, Muhammad Untung, Niken


Gustia Gunawan, Nurul Mutia Rahmah

Menurut Roekhan (dalam Endraswara, 2003:9) psikologi sastra merupakan disiplin ilmu yang
ditopang oleh tiga pendekatan studi. Pendekatan tersebut antara lain: pendekatan tekstual, yaitu
mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra. Pendekaran representatif
pragmatic, yaitu mengkaji aspek psikologi pembaca sebagai penikmat karya sastra yang
terbentuk dari pengaruh karya sastra yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam
menikmati karya sastra. Pendekatan ekspresif, yaitu aspek psikologi sang penulis ketika
melakukan proses kreatif yang terproyeksi melalui karyanya, baik penulis sebagai pribadii
maupun wali masyarakat. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni, sama-sama
berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, adalah bahwa
gejala kejiwaan yang terdapat dalam sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia
imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia riil (Aminuddin, 1990:93).
Menurut Hardjana (1994:23) mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala hubungan
antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang
lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Konflik adalah percekcokan,
perselisihan atau pertentangan. Dalam satra, diartikan bahwa konflik merupakan ketegangan atau
pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama yakni pertentangan antara dua kekuatan,
pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh dan sebagainya. Selain itu,
menurut Alwi, dkk. (2005:587) konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua
gagasan atau lebih, atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga
mempengaruhi tingkah laku.
Dalam pengertian-pengertian tersebut menunjukan bahwa konflik merupakan keadaan perbedaan
pandangan antara manusia satu dengan lainnya. Freud (dalam Kusumawati, 2003:33)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang memegang peranan penting dalam beberapa gangguan
batin antara lain: teori agresi, teori kehilangan, teori kepribadian, teori kognitif, teori
ketidakberdayaan, dan teori perilaku. Salah satunya terdapat teori kehilangan dalam cerpen yang
berjudul Nyai Sobir karya A. Mustofa Bisri terdapat beberapa konflik batin yang terjadi dilihat
dari kisah seorang janda muda Nyai Sobir memiliki konflik batin yang terdapat dalam kutipan
“Kemudian kedua orangtuaku sendiri dengan hati-hati menanyakan kepadaku apakah aku
memang sudah ingin menyudahi status jandaku. Ingin didampingi oleh seorang suami. Namun
ketika aku tanya “kawin dengan siapa?” kedua orangtuaku tidak bisa menjawab. Dan sejak itu
mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu lagi” dan “tapi dengan memikul
tanggung jawab memelihara pesantren tinggalan abah, aku butuh seorang penopang”.
Penyebab munculnya konflik tersebut karena Nyai Sobir ditinggalkan oleh Kiai Sobir
yang menyebabkan tekanan batin. Selain itu, terdapat pengaruh lain yang menyebabkan
munculnya konflik yaitu Nyai Sobir terus mendengar pembicaraan masyarakat, beberapa tokoh
masyarakat diam-diam membicarakan Nyai Sobir dan juga pondok pesantren milik kiai Sobir.
Mereka merasa iba terhadap nasib karena Nyai sobir masih muda dan di sisi lain, pesantren
butuh kiai laki-laki seperti umumnya pesantren-pesantren yang lain.
Dalam cerita pendek berjudul Nyai Sobir karya Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), dicerpen ini
penulis membicarakan dan mengantarkan pembacanya kepada dunia melalui karya yang
diciptakannya. Dalam cerpen Nyai Sobir ini berbagai persoalan seperti sosial, budaya, dan yang
paling jelas ialah psikologis ditulis dan disampaikan pengarang dalam sebuah karya sastra.
Munculnya konflik semakin berkembang karena banyaknya pandangan serta pergunjingan dari
masyarakat akibat ditinggalkannya Nyai Sobir oleh sang Kiai dengan begitu cepat.
Hal tersebut dibuktikan dari kutipan kalimat “Abah, telingaku tersebar dimana-mana,
terus mendengar pembicaraan masyarakat. Beberapa tokoh masyarakat diam-diam
membicarakan diriku dan pesantren kita.” Perasaan yang membuat diri Nyai Sobir menjadi
sangat terbebani sehingga merasa batin dalam diri karena begitu cepat Abah (panggilan untuk
Kiai Sobir) meninggalkan sang Nyai, dan mau tak mau status janda disematkan untuk sang Nyai.
Lantas kebatinan sang Nyai semakin tak terbendung saat dirinya merasa tidak berhak untuk
menentukan nasibnya sendiri, hal itu dibuktikan dengan kalimat “Apakah karena menjadi
jandanya Kiai seperti Abah, lalu aku hanya dianggap objek yang tidak berhak menentukan nasib
sendiri?.”
Kian hari sang Nyai semakin merasa tidak kuat sepeninggal sang suami, sang istri harus kuat
untuk mengurus segala hal peninggalan Kiai Sobir, mulai dari pesantren hingga status
dimasyarakat yang seakan akan seolah menjadi Jaksa di kehidupan si Nyai hanya karena rasa iba
serta peduli. Mengomentari hidup orang lain di dalam lingkup masyarakat sudah menjadi budaya
yang sulit dihilangkan, meskipun pembicaraan yang dibahas adalah bentuk rasa iba atau kasihan.
Hal yang sedang dirasakan oleh Nyai Sobir saat ditinggal sang suami, selain mengurus Pesantren
peninggalan sang Kiai yang begitu dihormati itu, masyarakat ternyata mempunyai pernyataan
lain tentang kriteria dan syarat-syarat siapa yang boleh mengawini sang janda muda tersebut.
Hal tersebut ada dalam kutipan kalimat di dalam cerpen yaitu “Mereka tidak rela kalau
aku dipersunting orang biasa yang tidak selevel abah. Mana ada orang yang selevel abah mau
mendampingiku?.” Dalam cerpen Nyai Sobir pula tergambarkan perasaan teramat bimbang dan
batin dalam kehidupannya Nyai Sobir sepeninggal sang Kiai Sobir di dalam cerpen tersebut.
Menurut konsep Freud, konsep insting ialah konsep psikologis dan biologis, suatu konsep
perbatasan pada batas antara gejala tubuh dan gejala mental (Yustinus, 2006:69). Di dalam
cerpen ini salah satu yang paling dirasakan sang tokoh “aku” yaitu Nyai Sobir sendiri, ialah
tekanan mental serta konflik batin dalam hatinya, karena status janda yang terlalu cepat ia dapat,
dan juga pergunjingan dari masyarakat sekitar yang sering memperhatikan sang Nyai.

Anda mungkin juga menyukai