PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheriae yang sangat mudah menular dan berbahaya karena
dapat menyebabkan kematian akibat obstruksi larings atau miokarditis akibat
aktivasi eksotoksin. Pada kejadian luar biasa (KLB), selain difteri farings, tonsil,
dan larings, telah pula dilaporkan terjadinya difteri hidung dan difteri kulit.
Difteri sangat menular melalui droplet dan penularan dapat terjadi tidak
hanya dari penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun
dewasa yang tampak sehat kepada orang-orang di sekitarnya².
Pemeriksaan yang khas menunjukkan pseudomembran yang khas yang
terdapat pada daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan.
Membran tampak kotor dan berwarna putih yang dapat menyebabkan penyumbatan
karena peradangan tonsil. Perdarahan dapat terjadi jika dilakukan pengangkatan
membran¹.
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri di Indonesia menempati urutan ketiga
terbanyak di dunia setelah India dan Nepal dengan 421 kasus hingga bulan
November. Jumlah Kasus penyakit Difteri di Indonesia mengalami peningkatan
dari tahun 2010 hingga tahun 2012, dan mengalami penurunan pada tahun 2013 dan
2014³.
B. TUJUAN PENULISAN
Penulisan tinjauan putaka ini diharapkan dapat :
1. Mengetahui etiologi dan morfologi Corynebacterium diphteriae
2. Mengetahui epidemiologi Corynebacterium diphteriae
3. Mengetahui pathogenesis dan patofisiologi Corynebacterium diphteriae
4. Mengetahui manifestasi klinis penyakit difteri
1
5. Mengetahui dan dapat melaksanakan pemeriksaan bakteri Corynebacterium
diphteriae
6. Mengetahui komplikasi, diagnosis banding, terapi penyakit difteri
7. Mengetahui cara pencegahan penyakit difteri
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. MORFOLOGI
Corynebacterium merupakan bakteri batang Gram positif kecil, langsing
dan pleomorfik dengan morfologi khas yang cenderung terpulas tidak merata.
Mereka tidak bergerak aktif dan tidak bercapsul, dan tidak membentuk spora.
Corynebacterium adalah suatu genus besar dengan habitat yang beragam.
Kebanyakan spesies bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal
didapat pada suasana aerob, dan yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah
patogen, yang tumbuh aerobik di dalam media agar darah di laboratorium⁴.
Corynebacterium berdiameter 0,5-1µm dengan panjang beberapa
mikrometer. Karakteristik pada bakteri ini adalah mereka memiliki bentuk
menggelembung tidak teratur pada salah satu ujungnya yang akan menyebabkan
gambaran club-shaped atau penampakan seperti pentungan. Granula-granula yang
tampak jelas pada pengecatan anilin ( granula metakromatik ) tersebar tidak merata
pada batang, yang menyebabkan batang tampak berisis pita-pita melintang⁵.
Secara umum dikenal 4 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius, mitis dan belfanti, namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya
3
bakteri ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa
mendapatkan kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheria. Ciri khas
Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik
in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (amino terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag,
toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium diphtheria yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toksigen⁹.
B. EPIDEMIOLOGI
Difteri adalah salah satu penyebab kematian masa kanak-kanak di era pra-
vaksin. Namun, setelah vaksin toxoid difteri ditemukan pada tahun 1923, dan
kemudian digunakan dalam skala besar di Amerika Serikat dan negara-negara
industri lainnya pada tahun 1940-1950-an, kejadian di negara-negara ini dengan
cepat menurun. Ada penurunan yang berlanjut setelah peluncuran Program
Peningkatan Imunisasi (EPI) pada tahun 1977. Akibatnya, dokter di banyak negara
tidak pernah melihat kasus difteri dan mungkin tidak mengetahui bahwa ada sekitar
5000 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya⁶.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa terdapat 939 kasus difteri
telah dilaporkan sepanjang Januari hingga Desember 2017, ada 95 Kab/kota dari 20
provinsi melaporkan kasus difteri. Sementara pada kurun waktu Oktober November
2017 ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Difteri di wilayah
kabupaten/kota-nya, yaitu 1) Sumatera Barat, 2) Jawa Tengah, 3) Aceh, 4)
Sumatera Selatan, 5) Sulawesi Selatan, 6) Kalimantan Timur, 7) Riau, 8) Banten, 9)
DKI Jakarta, 10) Jawa Barat, dan 11) Jawa Timur.
Dimana, 66 persen dari jumlah prevalensi tidak melakukan imunisiasi.
Kemudian, 31 persen melakukan imunisasi, tetapi tak sampai tahap final. Padahal,
untuk terbebas dari difteri, setidaknya individu harus mendapatkan tiga kali
imunisasi. Sementara itu, sisanya yang sebesar 3 persen telah mendapatkan
4
imunisasi lengkap. Januari hingga November tercatat lebih dari 590 kasus dengan
prosentase kematian sekitar 6%.
5
Gambar 3 : Kasus difteri Indonesia 2010-2018
6
Corynebacterium diphteriae type gravis tanah 139-208 hari
pasir 159-189 hari
Corynebacterium diphteriae type mitis Cotton 159 hari
Linen 159-175 hari
wool 159-170 hari
Corynebacterium diphteriae type intermedius Cotton 175 hari
Linen 175 hari
wool 139-175 hari
Corynebacterium diphteriae type gravis Cotton 159 hari
Linen 159-175 hari
wool 159-175 hari
7
komplikasi kardiologis dan neurologis dari difteri. Begitu toxin difteri berlekatan
dengan sel host melalui ikatan antara heparin-binding epidermal growth factor dan
receptor binding region subunit B, regio translokasi disisipkan ke dalam membrane
endosome yang kemudian memungkinkan pergerakan region katalitik subunit A ke
dalam sitosol. Kemudian subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis
protein sel host. Subunit A memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah
Nikotinamida dari Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD) dan kemudian
mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil pemecahan tadi menuju Elongation Factor-2
(EF-2). EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini kemudian menjadi inaktif. EF-2
merupakan faktor yang penting dalam translasi protein, sehingga sintesis protein
seluler menjadi terganggu. Proses ini kemudian menyebabkan nekrosis sel disertai
dengan inflamasi dan eksudat fibrin yang memberikan gambaran pseudomembrane.
Bentukan pseudomembrane ini dapat menghambat jalan napas, sehingga kematian
akibat difteri timbul karena sumbatan jalan napas⁷.
D. MANIFESTASI KLINIS
8
Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi
dari tanpa gejala sampai keadaan atau penyakitt yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi
serta toksigenitas Corynebacterium diphtheriae (kemampuan kuman membentuk
toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis⁸ʼ⁹.
Manifestasi klinis difteri biasanya dimulai dua sampai tujuh hari setelah
infeksi. Gejala klinis difteri meliputi demam 38°C (100,4 °F) atau di atas,
menggigil, kelelahan, pewarnaan kulit kebiruan (sianosis), sakit tenggorokan,
batuk, sakit kepala, nyeri telan, susah bernafas, bernapas cepat dan limfadenopati.
Gejala juga dapat mencakup aritmia jantung, miokarditis, dan kelumpuhan saraf
kranial dan perifer¹º.
Difteria Hidung
Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala klinis
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur
menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares
dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Absorsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga
diagnosis lambat dibuat⁹.
9
atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak
leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi
toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun bilateral,
disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi
dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan
sempurna.
10
Gambar 8 : Difteri laring
Diphtheria croup
Diphtheria croup sangat jarang terjadi di negara-negara di mana vaksinasi difteri
adalah kebiasaan. Akibatnya, istilah "croup" saat ini paling sering merujuk pada
penyakit virus yang tidak terkait yang menghasilkan gejala pernafasan serupa namun
lebih ringan¹º.
1. Ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan gejala hanya
nyeri menelan.
2. Sedang
11
Pseudomembran menyebar luas sampai dindin posterior faring dengan edema
ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.
3. Berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan
trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis paralisis, atau pun nefritis dapat
menyertainya.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Suspected diphteriae
Terdapatnya faringitis, nasofaringitis, tonsillitis, lanringitis, trakeitis (atau
kombinasi diantaranya), tanpa demam atau subfebris
Terbentuknya pseudomembran berwarna putih keabu-abuan pada hidung,
faring, tonsil atau laring, dimana membrane mudah berdarah jika
dimanipulasi atau terlepas.
94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring.
2. Probable diphteriae
Gejala suspek Difteri ditambah dengan salah satu gejala berikut :
Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu).
Imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster.
Berada didaerah endemis Difteri.
Stridor, Bullneck.
Pendarahan submukosa atau petechiae pada kulit.
Gagal jantung toxic, gagal ginjal akut
Myocarditis
Meninggal
Belum ada confirm laboratorium
3. Confirmed
12
Gejala Probable diphteriae, dikonfirmasi dengan hasil Corynebacterium
diphtheriae positif.
Pemeriksaan Elek test untuk uji toksisitas.
4. Carrier diphteriae
Seseorang yang mengandungkuman difteri di tenggorokannya, namun
yang bersangkutan tidak sakit.
Tetap menular ke sekitarnya
Perlu diberikan pengobatan untuk menghilangkan Corynebacterium
diphtheria dari tenggorokannya.
Masa penularan dari carrier berlangsung hingga 6 bulan.
5. Contact diphteriae
Siapapun yang kontak erat dengan kasus dalam waktu 7 hari terakhir
dianggap beresiko tertular.
Kontak erat penderita dan karier meliputi :
– Anggota keluarga serumah
– Teman, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah
– Kontak cium / seksual
– Teman di sekolah, teman les, teman mengaji, teman sekerja
– Petugas kesehatan di lapangan dan di Rumah Sakit
Handling Spesimen
Pengambilan spesimen dari swab tenggorok pada pasien difteri ini, dilakukan pada saat
fase akut, dan akan tampak pseudomembran yang mudah berdarah saat pengambilan.
Cara swab tenggorok :
13
Gambar 10 : Prosedur swab tenggorok
Pengecatan
Dapat dilakukan dengan beberapa metode pengecatan, antara lain :
– Gram
– Neisser
– Alberts stain
– Methylene blue
Sediaan langsung diambil dari pseudomebran dan usap tenggorok
14
Gambar 11 : Mikroskopik Corynebacterium diphtheria
Kultur / Biakan
Pembiakan kuman dengan media blood agar tidak spesifik, digunakan untuk mendeteksi
adanya kuman Streptococcus, dan apabila terdeteksi kuman difteri harus dilakukan tes
produksi toxin. Media terbaik untuk pertumbuhan kuman difteri yaitu Tellurite atau
Loeffler¹6(CDC).
15
Gambar 12 : Kultur Corynebacterium diphtheria
Uji Biokimia
Hal yang menjadi perhatian dalam interpretasi minimal untuk uji biokimia difteri
dengan menyatakan hasil specimen pemeriksaan negatif Corynebacterium diphtheria
adalah dengan uji pyrazinamidase dan cystinase. Uji ini untuk membedakan
Corynebacterium diphtheria dengan Corynebacterium lainnya. Jika uji pyrazinamidase
dan cystinase tidak tersedia dapat dilakukan dengan uji biokimia konvensional.
16
Teteskan NIT sampai ESC sebanyak 6 tetes (100-150µl)
Untuk URE teteskan sampai batas leher strip, untuk GEL tetskan sampai penuh
GLYG teteskan sampai batas leher strip
Tutup tray dan tambahkan URE dan GLYG dengan mineral oil
Inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C
Pembacaan tes : pada tes NIT ditambahan 1 tetes reagen NIT 1 dan NIT 2, pada
test PYZ tambahkan 1 tetes reagen PYZ
Pada test PyrA, PAL, βGUR, βGAL, αGLU, βNAG. Tambahkan masing-masing
1 tetes reagen ZYM A dan ZYM B, tunggu 10 menit, kemudian baca perubahan
warna yang terjadi, catat hasil yang didapat, diiput dan dibaca pada software¹⁹.
17
Tes Produksi Toxin
Sementara itu, terdapat pemeriksaan lain yaitu dengan vero cell membutuhkan biaya
yang sangat tinggi dan hanya bisa dilakukan di laboratorium tertentu.
18
Gambar 16 : PCR difteri
F. DIAGNOSA BANDING
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala,
sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada
pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring,
gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut yang
berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
b. Mononukleosis Infeksiosa
19
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba
(Reaksi Paul Bunnel).
c. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari Tuberkulosis paru. Keadaan umum pasien adalah
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di
tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher¹⁴.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi difteri terjadi akibat inflamasi lokal dan eksotoksin yang beredar.
Komplikasi tersebut diantaranya. 15
20
2. Miokarditis
Biasanya terjadi pada minggu kedua. Manifestasi klinis dari miokarditis adalah
takikardi, suara jantung melemah, terdengar bising jantung atau terjadi aritmia.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan elevasi segmen S-T, pemanjangan interval
P-R dan heart block
3. Neuritis
Terjadi lambat, bilateral. Kelumpuhan dapat terjadi pada palatum mole, paralisis
otot mata, paralisis ekstremitas bilateral bahkan paralisis diafragma
H. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksing yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Tatalaksana umum⁹
Pasien dirawat di ruang isolasi hingga 2 kali kultur menunjukkan hasil negatif.
Pada umunya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Tirah baring untuk mencegah komplikasi-komplikasi seperti miokarditis
Pemberian cairan serta diet yang adekuat untuk mencegah dehidrasi, dapat
diberikan dengan makanan cair
21
Khusus untuk difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembab
udara engan menggunakan humidifier.
Tatalaksana khusus⁹
22
Gambar 21 : Dosis ADS
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau mata terlebih dahulu karena
dapat terjadi reaksi anafilaktik. Uji kulit dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 ml
ADS dalam larutan NaCl 0,9% 1;1000 secara intrakutan pada volar lengan bawah dan
0,1 ml NaCl 0,9% pada sisi berlawanan. Dikatakan hasil positif jika terdapat indurasi
>10 mm pada tempat ADS atau lebih dari 3 mm dibandingkan kontrol. Uji mata
dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan 1:10 ADS dengan NaCl 0,9%. Mata yang
berlawanan diberikan 1 tetes garam fisiologis. Hasil positif apabila dalam 20 menit ada
hiperemi konjungtiva dan lakrimasi15
Apabila pasien alergi maka pemberian ADS dengan cara bedreska. Apabila tidak ada
alergi, maka diberikan secara intravena dalam waktu 1-2 jam
23
2. Antibiotika
Penggunaan antibiotika bertujuan untuk eradikasi kuman penyebab sehingga
produksi toksin berhenti. Antibiotika yang digunakan adalah penisilin prokain
dengan dosis 50.000-100.000 IU/kgBB/hari secara intramuskuler selama 10 hari.
Apabila alergi penisilin dapat diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari. 15
Salah satu jurnal menyebutkan pemberian dapat sampai 14 hari dengan 10 hari
secara intramuscular dan 4 hari diberikan per oral. 2 minggu setelah injeksi
antibiotic selesai hendaknya penderita kembali diperiksa swab dan kultur
tenggorok.⁹˒15
3. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid pada difterin sampai saat ini belum jelas.
Kortikosteroid diberikan pada keadaan : 1,2
Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai bullneck atau tidak)
Apabila terdapat penyulit miokarditis
Dosis yang diberikan 2mg/kgBB/hari kemudian tapering off
I. PROGNOSIS
Angka kematian difteri saluran pernafasan sekitar 10-15%. Prognosis tergantung dari
tingkat virulensi kuman, status imunitas pasien, umur, lokasi difteri, komplikasi yang
terjadi dan kecepatan pemberian ADS. Pada pasien tidak terjadi komplikasi yang
serius dan ADS telah diberikan sehingga prognosis quo ad vitam, quo ad sanam dan
quo ad fungsionam adalah ad bonam.
24
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk.
Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang
diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada
penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia
megakariositik atau miokarditis yang disertai kelainan atrioventrikuler
menggambarkan prognosis yang lebih buruk⁸.
Imunisasi
Imunisasi merupakan cara terbaik dalam pencegahan difteri. Proteksi vaksinasi sebesar
95%.8 9CDC) Namun, level anti toksin dalam darah tersebut akan menurun seiring waktu
sehingga booster tetap harus diberikan setiap 10 tahun. Jadwal imunisasi adalah sebagai
berikut :
25
Gambar 24 : Jadwal imunisasi anak IDAI
26
Penanganan kontak
Setiap orang kontak erat dengan penderita difteri yaitu mereka yang terpapar
sekresi pernafasan, harus diawasi selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak
dengan kasus.
Orang yang kontak erat dengan penderita difteri, yang menunjukkan gejala
difteri harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk evaluasi lanjut
Orang yang terpapar tersebut harus dilakukan kultur dari hidung atau tenggorok
tanpa memperhatikan status imunisasi
Setelah kultur diperoleh, orang yang kontak erat tersebut harus mendapatkan
injeksi benzatil penisilin intramuscular single dose atau eritromisin selama 7-10
hari tanpa memandang status imunisasi
Berikan dosis booster difteri toksoid apabila imunisasi terakhir sudah lebih dari
5 tahun. 15
Dimana pada kontak atau karier ini, sebaiknya dilakukan kultur dari swab
tenggorok sebelum dan sesudah pemberian antibiotik. Jika kultur masih positif,
lanjutkan antibiotik 7 hari lagi, dan jika kultur setelah 7 hari pengulangan masih
positif, antibiotik diganti dengan yang sesuai dengan uji sensitifitas.
27
1. Strategi jangka pendek
Untuk wilayah resiko tinggi dengan ORI ( Outbreak Respons Immunization )
dengan cara :
Meningkatkan kualitas pelayanan imunisasi
Meningkatkan imunisasi rutin untuk bayi dengan vaksinasi DPT-HB
Untuk anak usia 1-7 tahun dengan vaksinasi DPT-HB atau DT
Untuk anak usia > 7 tahun dengan vaksinasi Td
Supplementary Immunization Activity ( SIA ), yaitu imunisasi tambahan
terutama pada anak SD kelas 4, 5 dan 6
2. Strategi jangka panjang
Strengthening imunisasi DPT-HB pada bayi dan booster
Program BIAS imunisasi DT pada anak kelas 1 dan Td pada anak kelas 2
dan 3
Penyelidikan karier atau kontak dengan kasus difteri diberi eritromisin
sebagai pencegahan dosis 30-50 mg/kgBB/hari selama 14 hari
3. Menguatkan surveilans PD3I secara umum dan khususnya difteri, termasuk
KIPI yang ditimbulkannya
28
– Kepmenkes No. 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi
– Kepmenkes No. 1626/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman
Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
(KIPI)
ORI menurut Permenkes No. 12 tahun 2017 :
ORI dilakukan di daerah yang ditemukan minimal 1 kasus tersangka difteri
atau daerah KLB
Diberikan 3 dosis, dengan jenis vaksin sesuai kelompok umur, dengan
interval dosis 1 ke 2 = 1 bulan dan dosis 2 ke 3 = 6 bulan
Kelompok sasaran sesuai dengan kajian epidemioogi Dinkes Kabupaten atau
Kota setempat, yang sudah dikonsultasikan dengan P2PL
Luas wilayah setidaknya 1 Kecamatan
Biaya operasional bersumber pada APBD Provinsi, kabupaten atau Kota
Vaksin yang digunakan dalam ORI adalah :
1. Vaksin DPT – Hep B – HiB untuk usia 1-<5 tahun
2. Vaksin DT untuk usia <5-<7 tahun
3. Vaksin Td untuk usia <5-<19 tahun
29
DAFTAR PUSTAKA
30
13. Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM. Management of adenotonsillar disease. In:
Current diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck surgery. USA
: McGraw-Hill Companies Inc; 2004.p. 355 – 7
14. Kole AK, Roy R, Kar SS. Cardiac involvement in diphtheria: Study from a
tertiary referral infectious disease hospital. Ann Trop Med Public Health
2012;5:302-6
15. Difteri pada anak. Edisi 2009. Diunduh dari
www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912, 21 September
2012.
16. Washington state departement of health
20. Mitscherlich, E., Marth, E.H. Microbial Survival in the Environment: Bacteria
and Rickettsiae Important in Human and Animal Health. 1984. Halaman 140-
144
31