Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheriae yang sangat mudah menular dan berbahaya karena
dapat menyebabkan kematian akibat obstruksi larings atau miokarditis akibat
aktivasi eksotoksin. Pada kejadian luar biasa (KLB), selain difteri farings, tonsil,
dan larings, telah pula dilaporkan terjadinya difteri hidung dan difteri kulit.
Difteri sangat menular melalui droplet dan penularan dapat terjadi tidak
hanya dari penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun
dewasa yang tampak sehat kepada orang-orang di sekitarnya².
Pemeriksaan yang khas menunjukkan pseudomembran yang khas yang
terdapat pada daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan.
Membran tampak kotor dan berwarna putih yang dapat menyebabkan penyumbatan
karena peradangan tonsil. Perdarahan dapat terjadi jika dilakukan pengangkatan
membran¹.
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri di Indonesia menempati urutan ketiga
terbanyak di dunia setelah India dan Nepal dengan 421 kasus hingga bulan
November. Jumlah Kasus penyakit Difteri di Indonesia mengalami peningkatan
dari tahun 2010 hingga tahun 2012, dan mengalami penurunan pada tahun 2013 dan
2014³.

B. TUJUAN PENULISAN
Penulisan tinjauan putaka ini diharapkan dapat :
1. Mengetahui etiologi dan morfologi Corynebacterium diphteriae
2. Mengetahui epidemiologi Corynebacterium diphteriae
3. Mengetahui pathogenesis dan patofisiologi Corynebacterium diphteriae
4. Mengetahui manifestasi klinis penyakit difteri

1
5. Mengetahui dan dapat melaksanakan pemeriksaan bakteri Corynebacterium
diphteriae
6. Mengetahui komplikasi, diagnosis banding, terapi penyakit difteri
7. Mengetahui cara pencegahan penyakit difteri

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. MORFOLOGI
Corynebacterium merupakan bakteri batang Gram positif kecil, langsing
dan pleomorfik dengan morfologi khas yang cenderung terpulas tidak merata.
Mereka tidak bergerak aktif dan tidak bercapsul, dan tidak membentuk spora.
Corynebacterium adalah suatu genus besar dengan habitat yang beragam.
Kebanyakan spesies bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal
didapat pada suasana aerob, dan yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah
patogen, yang tumbuh aerobik di dalam media agar darah di laboratorium⁴.
Corynebacterium berdiameter 0,5-1µm dengan panjang beberapa
mikrometer. Karakteristik pada bakteri ini adalah mereka memiliki bentuk
menggelembung tidak teratur pada salah satu ujungnya yang akan menyebabkan
gambaran club-shaped atau penampakan seperti pentungan. Granula-granula yang
tampak jelas pada pengecatan anilin ( granula metakromatik ) tersebar tidak merata
pada batang, yang menyebabkan batang tampak berisis pita-pita melintang⁵.

Gambar 1 : Corynebacterium diphtheria

Secara umum dikenal 4 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius, mitis dan belfanti, namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya

3
bakteri ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa
mendapatkan kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheria. Ciri khas
Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik
in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (amino terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag,
toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium diphtheria yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toksigen⁹.

B. EPIDEMIOLOGI
Difteri adalah salah satu penyebab kematian masa kanak-kanak di era pra-
vaksin. Namun, setelah vaksin toxoid difteri ditemukan pada tahun 1923, dan
kemudian digunakan dalam skala besar di Amerika Serikat dan negara-negara
industri lainnya pada tahun 1940-1950-an, kejadian di negara-negara ini dengan
cepat menurun. Ada penurunan yang berlanjut setelah peluncuran Program
Peningkatan Imunisasi (EPI) pada tahun 1977. Akibatnya, dokter di banyak negara
tidak pernah melihat kasus difteri dan mungkin tidak mengetahui bahwa ada sekitar
5000 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya⁶.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa terdapat 939 kasus difteri
telah dilaporkan sepanjang Januari hingga Desember 2017, ada 95 Kab/kota dari 20
provinsi melaporkan kasus difteri. Sementara pada kurun waktu Oktober November
2017 ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB Difteri di wilayah
kabupaten/kota-nya, yaitu 1) Sumatera Barat, 2) Jawa Tengah, 3) Aceh, 4)
Sumatera Selatan, 5) Sulawesi Selatan, 6) Kalimantan Timur, 7) Riau, 8) Banten, 9)
DKI Jakarta, 10) Jawa Barat, dan 11) Jawa Timur.
Dimana, 66 persen dari jumlah prevalensi tidak melakukan imunisiasi.
Kemudian, 31 persen melakukan imunisasi, tetapi tak sampai tahap final. Padahal,
untuk terbebas dari difteri, setidaknya individu harus mendapatkan tiga kali
imunisasi. Sementara itu, sisanya yang sebesar 3 persen telah mendapatkan

4
imunisasi lengkap. Januari hingga November tercatat lebih dari 590 kasus dengan
prosentase kematian sekitar 6%.

Gambar 2 : Peta KLB Difteri di Indonesia 2017

5
Gambar 3 : Kasus difteri Indonesia 2010-2018

Gambar 4 : Sebaran kasus difteri bulanan di Indonesia 2017

Table 1: Ketahanan hidup Corynebacterium diphtheria :

Corynebacterium diphteriae Air panas 58°C < 10 menit


Mainan 180 hari

Corynebacterium diphteriae type mitis tanah 110-125 hari


pasir 139-175 hari
Corynebacterium diphteriae type intermedius tanah 104-159 hari
pasir 139-159 hari

6
Corynebacterium diphteriae type gravis tanah 139-208 hari
pasir 159-189 hari
Corynebacterium diphteriae type mitis Cotton 159 hari
Linen 159-175 hari
wool 159-170 hari
Corynebacterium diphteriae type intermedius Cotton 175 hari
Linen 175 hari
wool 139-175 hari
Corynebacterium diphteriae type gravis Cotton 159 hari
Linen 159-175 hari
wool 159-175 hari

C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Bakteri patogen utama pada manusia dari kelompok ini adalah
Corynebacterium diphtheria. Di alam, Corynebacterium diphtheria ditemukan pada
saluran nafas, pada luka atau kulit orang yang terinfeksi atau karier normal. Bakteri
ini menyebar melalui droplet atau kontak dengan orang yang diduga kuat sebagai
sumber infeksi, simana kemudian bakteri ini tumbuh pda selaput lendir atau kulit
yang lecet, dan kemudian di tempat tersebut bakteri Corynebacterium diphtheria
akan mengeluarkan toksin⁵.
Toxin ini dikode oleh gen tox yang dibawa oleh suatu bakteriofaga lisogenik
yaitu Beta-faga. Hanya galur Corynebacterium diphtheriae yang memiliki gen tox
ini lah yang dapat menimbulkan penyakit. Galur lain yang tidak memiliki gen ini
tidak bersifat patogenik, akan tetapi galur ini dapat berubah menjadi patogenik bila
ditransduksi oleh bakteriofaga lisogenik beta-faga.
Toxin difteria memiliki 2 subunit dan 3 regio. Subunit A memiliki regio
katalitik, sedangkan subunit B memiliki regio pengikat reseptor (receptor-binding
region), dan regio translokasi (translocation region). Reseptor untuk toxin ini adalah
heparin-binding epidermal growth factor yang terdapat pada permukaan banyak sel
eukariotik, termasuk sel jantung dan sel saraf. Hal ini yang mendasari terjadinya

7
komplikasi kardiologis dan neurologis dari difteri. Begitu toxin difteri berlekatan
dengan sel host melalui ikatan antara heparin-binding epidermal growth factor dan
receptor binding region subunit B, regio translokasi disisipkan ke dalam membrane
endosome yang kemudian memungkinkan pergerakan region katalitik subunit A ke
dalam sitosol. Kemudian subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis
protein sel host. Subunit A memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah
Nikotinamida dari Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD) dan kemudian
mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil pemecahan tadi menuju Elongation Factor-2
(EF-2). EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini kemudian menjadi inaktif. EF-2
merupakan faktor yang penting dalam translasi protein, sehingga sintesis protein
seluler menjadi terganggu. Proses ini kemudian menyebabkan nekrosis sel disertai
dengan inflamasi dan eksudat fibrin yang memberikan gambaran pseudomembrane.
Bentukan pseudomembrane ini dapat menghambat jalan napas, sehingga kematian
akibat difteri timbul karena sumbatan jalan napas⁷.

Gambar 5 : Patogenesis difteri

D. MANIFESTASI KLINIS

8
Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi
dari tanpa gejala sampai keadaan atau penyakitt yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi
serta toksigenitas Corynebacterium diphtheriae (kemampuan kuman membentuk
toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis⁸ʼ⁹.
Manifestasi klinis difteri biasanya dimulai dua sampai tujuh hari setelah
infeksi. Gejala klinis difteri meliputi demam 38°C (100,4 °F) atau di atas,
menggigil, kelelahan, pewarnaan kulit kebiruan (sianosis), sakit tenggorokan,
batuk, sakit kepala, nyeri telan, susah bernafas, bernapas cepat dan limfadenopati.
Gejala juga dapat mencakup aritmia jantung, miokarditis, dan kelumpuhan saraf
kranial dan perifer¹º.

Difteria Hidung

Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala klinis
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur
menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares
dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Absorsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga
diagnosis lambat dibuat⁹.

Gambar 6 : Difteria hidung

Difteria Tonsil Faring


Gejala difteri tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri
menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih
kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle

9
atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak
leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi
toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun bilateral,
disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi
dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan
sempurna.

Gambar 7 : Difteri tonsil faring


Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang
rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas
lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe
infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau
dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan
nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke
percabangan trakeobrongkial.Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obsruksi dan
toksemia⁹.

10
Gambar 8 : Difteri laring

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga


Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga merupakan tipe difteria yang
tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan
lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, oedem dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

Gambar 9 : Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga

Diphtheria croup
Diphtheria croup sangat jarang terjadi di negara-negara di mana vaksinasi difteri
adalah kebiasaan. Akibatnya, istilah "croup" saat ini paling sering merujuk pada
penyakit virus yang tidak terkait yang menghasilkan gejala pernafasan serupa namun
lebih ringan¹º.

Gejala klinis berdasarkan derajad beratnya penyakit :

1. Ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan gejala hanya
nyeri menelan.
2. Sedang

11
Pseudomembran menyebar luas sampai dindin posterior faring dengan edema
ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.
3. Berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan
trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis paralisis, atau pun nefritis dapat
menyertainya.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis difteri harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis karena keterlambatan


pengobatan akan membahayakan nyawa pasien. Selain dari klinis, diagnosis difteri juga
didapat dari isolasi kuman Corynebacterium diphtheriae. Klasifikasi kasus difteri ¹6,¹7.

1. Suspected diphteriae
 Terdapatnya faringitis, nasofaringitis, tonsillitis, lanringitis, trakeitis (atau
kombinasi diantaranya), tanpa demam atau subfebris
 Terbentuknya pseudomembran berwarna putih keabu-abuan pada hidung,
faring, tonsil atau laring, dimana membrane mudah berdarah jika
dimanipulasi atau terlepas.
 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring.
2. Probable diphteriae
Gejala suspek Difteri ditambah dengan salah satu gejala berikut :
 Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu).
 Imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster.
 Berada didaerah endemis Difteri.
 Stridor, Bullneck.
 Pendarahan submukosa atau petechiae pada kulit.
 Gagal jantung toxic, gagal ginjal akut
 Myocarditis
 Meninggal
 Belum ada confirm laboratorium
3. Confirmed

12
Gejala Probable diphteriae, dikonfirmasi dengan hasil Corynebacterium
diphtheriae positif.
Pemeriksaan Elek test untuk uji toksisitas.
4. Carrier diphteriae
 Seseorang yang mengandungkuman difteri di tenggorokannya, namun
yang bersangkutan tidak sakit.
 Tetap menular ke sekitarnya
 Perlu diberikan pengobatan untuk menghilangkan Corynebacterium
diphtheria dari tenggorokannya.
 Masa penularan dari carrier berlangsung hingga 6 bulan.
5. Contact diphteriae
 Siapapun yang kontak erat dengan kasus dalam waktu 7 hari terakhir
dianggap beresiko tertular.
 Kontak erat penderita dan karier meliputi :
– Anggota keluarga serumah
– Teman, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah
– Kontak cium / seksual
– Teman di sekolah, teman les, teman mengaji, teman sekerja
– Petugas kesehatan di lapangan dan di Rumah Sakit

Handling Spesimen
Pengambilan spesimen dari swab tenggorok pada pasien difteri ini, dilakukan pada saat
fase akut, dan akan tampak pseudomembran yang mudah berdarah saat pengambilan.
Cara swab tenggorok :

13
Gambar 10 : Prosedur swab tenggorok
Pengecatan
Dapat dilakukan dengan beberapa metode pengecatan, antara lain :
– Gram
– Neisser 
– Alberts stain
– Methylene blue
Sediaan langsung diambil dari pseudomebran dan usap tenggorok

14
Gambar 11 : Mikroskopik Corynebacterium diphtheria

Kultur / Biakan
Pembiakan kuman dengan media blood agar tidak spesifik, digunakan untuk mendeteksi
adanya kuman Streptococcus, dan apabila terdeteksi kuman difteri harus dilakukan tes
produksi toxin. Media terbaik untuk pertumbuhan kuman difteri yaitu Tellurite atau
Loeffler¹6(CDC).

15
Gambar 12 : Kultur Corynebacterium diphtheria

Uji Biokimia

Hal yang menjadi perhatian dalam interpretasi minimal untuk uji biokimia difteri
dengan menyatakan hasil specimen pemeriksaan negatif Corynebacterium diphtheria
adalah dengan uji pyrazinamidase dan cystinase. Uji ini untuk membedakan
Corynebacterium diphtheria dengan Corynebacterium lainnya. Jika uji pyrazinamidase
dan cystinase tidak tersedia dapat dilakukan dengan uji biokimia konvensional.

API Coryne Test

 Siapkan kultur murni Corynebacterium diphtheria tersangka yang telah ditanam


pada agar darah dan inkubasi selama 24 jam
 Label tray API, tambahkan air pada dasar tray, ratakan tanpa berlebihan
 Buat suspense bakteri tersangka dengan McFarland
 Inokulasika suspense bakteri tersebut ke dalam strip dengan menggunakan pipet
steril
 Teteskan pada lubang NIT sampai GEL sampai batas tanda garis strip

16
 Teteskan NIT sampai ESC sebanyak 6 tetes (100-150µl)
 Untuk URE teteskan sampai batas leher strip, untuk GEL tetskan sampai penuh
 GLYG teteskan sampai batas leher strip
 Tutup tray dan tambahkan URE dan GLYG dengan mineral oil
 Inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C
 Pembacaan tes : pada tes NIT ditambahan 1 tetes reagen NIT 1 dan NIT 2, pada
test PYZ tambahkan 1 tetes reagen PYZ
 Pada test PyrA, PAL, βGUR, βGAL, αGLU, βNAG. Tambahkan masing-masing
1 tetes reagen ZYM A dan ZYM B, tunggu 10 menit, kemudian baca perubahan
warna yang terjadi, catat hasil yang didapat, diiput dan dibaca pada software¹⁹.

Gambar 13 : API Coryne Test

Gambar 14 : Uji biokimia Corynebacterium diphtheria

17
Tes Produksi Toxin

Gold standard untuk pemeriksaan toksigenisitas Corynebacterium diphtheria adalah


dengan metode konvensional Elek tes. Elek tes, yang juga dikenal sebagai teknik difusi
immuno, adalah tes virulensi in vitro yang dilakukan pada Corynebacterium
diphtheriae. Hal ini digunakan untuk menguji toxigenicity Corynebacterium diphtheria.
Elek tes mempunyai variasi hasil yang cukup beragam sehingga memerlukan
laboratorium terstandard dan teknisi yang berpengalaman serta membutuhkan waktu
yang cukup lama. Selain itu ketersediaan reagen standard untuk pemeriksaan
merupakan masalah tersendiri di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Gambar 15 : Elek tes

Sementara itu, terdapat pemeriksaan lain yaitu dengan vero cell membutuhkan biaya
yang sangat tinggi dan hanya bisa dilakukan di laboratorium tertentu.

Salah satu alternatif pemeriksaan toksigenisitas Corynebacterium diphtheriae adalah


teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknik PCR memiliki beberapa keuntungan,
yaitu lebih cepat, sederhana dan mudah diinterpretasi. Hanya dengan beberapa koloni
bakteri dapat dideteksi adanya kuman difteri Corynebacterium diphtheriae dalam
sampel. Teknik PCR sangat bermanfaat untuk skrining dan untuk konfi rmasi
laboratorium terutama pada saat terjadi wabah. Kelemahan teknik PCR adalah tidak
dapat memberi informasi tentang kemampuan bakteri untuk menghasilkan toksin yang
biologis berfungsi mempunyai gen yang menyandi toksin difteri. Teknik PCR juga tidak
dapat memberi informasi kerusakan atau mutasi pada gen struktural atau pada gen yang
menyandi elemen yang dibutuhkan untuk ekspresi toksin difteri. Masih diperlukan
deteksi fenotip untuk melengkapi informasi hasil PCR¹².

18
Gambar 16 : PCR difteri

F. DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding tonsilitis difteri diantaranya yaitu


a. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)

Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala,
sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada
pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring,
gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut yang
berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.

Gambar 17 : Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)

b. Mononukleosis Infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa bilateral. Membran semu yang


menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran
kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu
terdapat lekosit mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah

19
kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba
(Reaksi Paul Bunnel).

Gambar 18 :Mononukleosis Infeksiosa

c.   Faringitis Tuberkulosa

Merupakan proses sekunder dari Tuberkulosis paru. Keadaan umum pasien adalah
buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di
tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher¹⁴.

G. KOMPLIKASI

Komplikasi difteri terjadi akibat inflamasi lokal dan eksotoksin yang beredar.
Komplikasi tersebut diantaranya. 15

1. Obstruksi jalan nafas


Terjadi karena edema pada tonsil, faring maupun karena pseudomembran
Kriteria Jackson
 Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi
suprasternal, tanpa sianosis.
 Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai
retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai
gelisah.
 Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi
interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas.
 Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak
tegang, dan terkadang gagal napas

20
2. Miokarditis
Biasanya terjadi pada minggu kedua. Manifestasi klinis dari miokarditis adalah
takikardi, suara jantung melemah, terdengar bising jantung atau terjadi aritmia.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan elevasi segmen S-T, pemanjangan interval
P-R dan heart block

Gambar 19 : EKG Miocarditis difteri

3. Neuritis
Terjadi lambat, bilateral. Kelumpuhan dapat terjadi pada palatum mole, paralisis
otot mata, paralisis ekstremitas bilateral bahkan paralisis diafragma

H. TATALAKSANA
Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksing yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Tatalaksana umum⁹
 Pasien dirawat di ruang isolasi hingga 2 kali kultur menunjukkan hasil negatif.
Pada umunya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
 Tirah baring untuk mencegah komplikasi-komplikasi seperti miokarditis
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat untuk mencegah dehidrasi, dapat
diberikan dengan makanan cair

21
 Khusus untuk difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembab
udara engan menggunakan humidifier.

Gambar 20 : Tatalaksana umum

Tatalaksana khusus⁹

1. Pemberian ADS (Anti Difteria Serum)


Anti toksin harus segera diberikan setelah diagnosis difteri ditegakkan. Dosis
ADS ditentukan bukan berdasarkan berat badan tetapi berdasarkan berat dan
lama sakit. Dosis ADS dapat dilihat dalam table berikut :

22
Gambar 21 : Dosis ADS

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau mata terlebih dahulu karena
dapat terjadi reaksi anafilaktik. Uji kulit dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 ml
ADS dalam larutan NaCl 0,9% 1;1000 secara intrakutan pada volar lengan bawah dan
0,1 ml NaCl 0,9% pada sisi berlawanan. Dikatakan hasil positif jika terdapat indurasi
>10 mm pada tempat ADS atau lebih dari 3 mm dibandingkan kontrol. Uji mata
dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan 1:10 ADS dengan NaCl 0,9%. Mata yang
berlawanan diberikan 1 tetes garam fisiologis. Hasil positif apabila dalam 20 menit ada
hiperemi konjungtiva dan lakrimasi15

Apabila pasien alergi maka pemberian ADS dengan cara bedreska. Apabila tidak ada
alergi, maka diberikan secara intravena dalam waktu 1-2 jam

Gambar 22: Cara pemberian ADS

23
2. Antibiotika
Penggunaan antibiotika bertujuan untuk eradikasi kuman penyebab sehingga
produksi toksin berhenti. Antibiotika yang digunakan adalah penisilin prokain
dengan dosis 50.000-100.000 IU/kgBB/hari secara intramuskuler selama 10 hari.
Apabila alergi penisilin dapat diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari. 15

Gambar 23 : Pemberian antibiotik

Salah satu jurnal menyebutkan pemberian dapat sampai 14 hari dengan 10 hari
secara intramuscular dan 4 hari diberikan per oral. 2 minggu setelah injeksi
antibiotic selesai hendaknya penderita kembali diperiksa swab dan kultur
tenggorok.⁹˒15

3. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid pada difterin sampai saat ini belum jelas.
Kortikosteroid diberikan pada keadaan : 1,2
 Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai bullneck atau tidak)
 Apabila terdapat penyulit miokarditis
 Dosis yang diberikan 2mg/kgBB/hari kemudian tapering off

I. PROGNOSIS
Angka kematian difteri saluran pernafasan sekitar 10-15%. Prognosis tergantung dari
tingkat virulensi kuman, status imunitas pasien, umur, lokasi difteri, komplikasi yang
terjadi dan kecepatan pemberian ADS. Pada pasien tidak terjadi komplikasi yang
serius dan ADS telah diberikan sehingga prognosis quo ad vitam, quo ad sanam dan
quo ad fungsionam adalah ad bonam.

24
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk.
Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang
diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada
penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia
megakariositik atau miokarditis yang disertai kelainan atrioventrikuler
menggambarkan prognosis yang lebih buruk⁸.

J. PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KONTAK


Umum 16
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada
umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit
ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Khusus Terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan carrier.
Kekebalan pasif :
 Diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteri (sampai 6
bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).
Kekebalan aktif :
 Diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteri.

Imunisasi

Imunisasi merupakan cara terbaik dalam pencegahan difteri. Proteksi vaksinasi sebesar
95%.8 9CDC) Namun, level anti toksin dalam darah tersebut akan menurun seiring waktu
sehingga booster tetap harus diberikan setiap 10 tahun. Jadwal imunisasi adalah sebagai
berikut :

25
Gambar 24 : Jadwal imunisasi anak IDAI

Gambar 25 : Jenis vaksin difteri di Indonesia

26
Penanganan kontak

 Setiap orang kontak erat dengan penderita difteri yaitu mereka yang terpapar
sekresi pernafasan, harus diawasi selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak
dengan kasus.
 Orang yang kontak erat dengan penderita difteri, yang menunjukkan gejala
difteri harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk evaluasi lanjut
 Orang yang terpapar tersebut harus dilakukan kultur dari hidung atau tenggorok
tanpa memperhatikan status imunisasi
 Setelah kultur diperoleh, orang yang kontak erat tersebut harus mendapatkan
injeksi benzatil penisilin intramuscular single dose atau eritromisin selama 7-10
hari tanpa memandang status imunisasi
 Berikan dosis booster difteri toksoid apabila imunisasi terakhir sudah lebih dari
5 tahun. 15

Pilihan antibiotik untuk kontak atau karier ini adalah :

 Eritromisin selama 7 hari, dengan dosis :


– Anak 40 mg/ kgBB dibagi 4 dosis
– Dewasa 1 gr/ hari dibagi dalam 4 dosis
 Azitromisin, single dose selama 7 hari, dengan dosis :
– Anak 10 – 12 mg/ kgBB, maksimal 500 mg
– Dewasa 500 mg

Dimana pada kontak atau karier ini, sebaiknya dilakukan kultur dari swab
tenggorok sebelum dan sesudah pemberian antibiotik. Jika kultur masih positif,
lanjutkan antibiotik 7 hari lagi, dan jika kultur setelah 7 hari pengulangan masih
positif, antibiotik diganti dengan yang sesuai dengan uji sensitifitas.

Program Penanggulangan KLB difteri


Tujuan adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita difteri, terutama untuk
memutus mata rantai penularan penyakit. Strategi ini terbagi menjadi :

27
1. Strategi jangka pendek
Untuk wilayah resiko tinggi dengan ORI ( Outbreak Respons Immunization )
dengan cara :
 Meningkatkan kualitas pelayanan imunisasi
 Meningkatkan imunisasi rutin untuk bayi dengan vaksinasi DPT-HB
 Untuk anak usia 1-7 tahun dengan vaksinasi DPT-HB atau DT
 Untuk anak usia > 7 tahun dengan vaksinasi Td
 Supplementary Immunization Activity ( SIA ), yaitu imunisasi tambahan
terutama pada anak SD kelas 4, 5 dan 6
2. Strategi jangka panjang
 Strengthening imunisasi DPT-HB pada bayi dan booster
 Program BIAS imunisasi DT pada anak kelas 1 dan Td pada anak kelas 2
dan 3
 Penyelidikan karier atau kontak dengan kasus difteri diberi eritromisin
sebagai pencegahan dosis 30-50 mg/kgBB/hari selama 14 hari
3. Menguatkan surveilans PD3I secara umum dan khususnya difteri, termasuk
KIPI yang ditimbulkannya

Outbreak Respons Immunization ( ORI )


 Tujuan
Diberikannya ORI adalah untuk memberikan perlindungan pada kelompok
rentan sehingga dapat memutuskan rantai penularan.
 Sasaran
Sasaran pemberian imunisasi diberikan pada golongan umur sesuai dengan
kajian epidemiologi di lokasi KLB, yaitu 1 - <19 tahun
 Dasar hokum
– UU No. 4 tahun 1984 tentang KLB Penyakit Menular
– PP No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan KLB Penyakit
Menular
– Permenkes No. 949,2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan SKD
KLB

28
– Kepmenkes No. 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi
– Kepmenkes No. 1626/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman
Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
(KIPI)
ORI menurut Permenkes No. 12 tahun 2017 :
 ORI dilakukan di daerah yang ditemukan minimal 1 kasus tersangka difteri
atau daerah KLB
 Diberikan 3 dosis, dengan jenis vaksin sesuai kelompok umur, dengan
interval dosis 1 ke 2 = 1 bulan dan dosis 2 ke 3 = 6 bulan
 Kelompok sasaran sesuai dengan kajian epidemioogi Dinkes Kabupaten atau
Kota setempat, yang sudah dikonsultasikan dengan P2PL
 Luas wilayah setidaknya 1 Kecamatan
 Biaya operasional bersumber pada APBD Provinsi, kabupaten atau Kota
Vaksin yang digunakan dalam ORI adalah :
1. Vaksin DPT – Hep B – HiB untuk usia 1-<5 tahun
2. Vaksin DT untuk usia <5-<7 tahun
3. Vaksin Td untuk usia <5-<19 tahun

29
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2015. Difteria Data Sheet In Indonesia. Sitasi 11 Juli 2015


2. Difteria Reported Case . Diunduh dari http://www.idai.or.id/about-idai/idai-
statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri
WHO. 2015. Sitasi 11 Juli 2015.
3. Cynthia Nau Cornelissen, Bruce d. Fisher, Richard A. Harvey. Ilustrasi
Berwarna Mikrobiologi. Edisi Ketiga Jilid Satu. Lippincott’s. 2015;148
4. Karen C. Carrol, Stephen A.Morse, Timothy Mietzner, Steve Miller. Medical
Mikrobiology. 27th Edition.Lange. Jawetz, Melnick,& Adeiberg’s.2016
5. US CENTERS FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION (CDC).
REVIEW OF THE EPIDEMIOLOGY OF DIPHTHERIA – 2000-2016. Kristie
E. N. Clarke, MD MSCR, FAAP
6. Difteri. 2016. Diunduh dari http://hmpd.fk.ub.ac.id/difteria
7. Buescher, E Stephen. 2007. Diphtheria in Nelson Textbook of Pediatrics 18th
Chapter 186. USA: Saunders
8. Anonim. 2010. Difteria pada Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Hal 312-21 .
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
9. MurtazaMustafa, IM.Yusof, MS, Jeffree, EM.Illzam, SS.Husain, AM.Sharifa.
Diphtheria: Clinical Manifestations, Diagnosis, and Role of ImmunizationIn
Prevention. 2016. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Dan
Pengendalia Difteri Edisi I/2017 Hal 8
11. Sunarno, Kambang Sariadji dan Holly Arif Wibowo. Potensi Gen dtx dan dtxR
sebagai marker untuk Deteksi dan Pemeriksaan Toksigenitas Corynebacterium
diphtheriae. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan. 2013
12. Sarwo Handayani. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain Reaction
(PCR). Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI Jakarta,
Indonesia. CDK-191/ vol. 39 no. 3, th. 2012

30
13. Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM. Management of adenotonsillar disease. In:
Current diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck surgery. USA
: McGraw-Hill Companies Inc; 2004.p. 355 – 7
14. Kole AK, Roy R, Kar SS. Cardiac involvement in diphtheria: Study from a
tertiary referral infectious disease hospital. Ann Trop Med Public Health
2012;5:302-6
15. Difteri pada anak. Edisi 2009. Diunduh dari
www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912, 21 September
2012.
16. Washington state departement of health

17. Kansas disease investigation guidelines


18. https://www.cdc.gov/diphtheria/index.htm Alberta
19. Kambang Sariadji,SSi.M.Biomed, Sunarno,Skep, MSi Med, dr.
Roselinda,M.Epid. Corynebacterium diphtheriae: Diagnosis Laboratorium
Bakteriologi. Buku Obor. 2014

20. Mitscherlich, E., Marth, E.H. Microbial Survival in the Environment: Bacteria
and Rickettsiae Important in Human and Animal Health. 1984. Halaman 140-
144

31

Anda mungkin juga menyukai