Anda di halaman 1dari 137

1

STRATEGI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN


INDUSTRI PRODUK OLAHAN MINYAK PALA DALAM
RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI
KABUPATEN BOGOR

LUSIANAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
2

STRATEGI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN


INDUSTRI PRODUK OLAHAN MINYAK PALA DALAM
RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI
KABUPATEN BOGOR

LUSIANAH

Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
3

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi dan Prospek
Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Mei 2009

Lusianah
F 352064015
4

Judul Tugas Akhir : Strategi dan Prospek Pengembangan Industri Produk


Olahan Minyak Pala dalam Rangka Pemberdayaan
Masyarakat di Kabupaten Bogor
Nama : Lusianah
NRP : F 352064015

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhammad Syamsun, MSc Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Industri Kecil Menengah

Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Prof.Dr.Ir. H. Khairil A Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 11 Mei 2009 Tanggal Lulus :


5

RINGKASAN

LUSIANAH. Strategi dan Prospek Pengembangan Industri Produk Olahan


Minyak Pala dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh MUHAMMAD SYAMSUN dan NURHENI SRI
PALUPI.

Minyak pala (nutmeg oil) sebagai salah satu produk minyak atsiri
merupakan salah satu produk ikutan (by product) komoditas pala yang banyak
memiliki produk olahan, diantaranya untuk industri makanan dan minuman,
parfum dan kosmetika, sabun, farmasi dll. Biji dan fuli pala sebagai penghasil
minyak atsiri serta produk olahannya belum banyak mendapatkan perhatian serius
untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di Kabupaten
Bogor. Bertolak dari hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk (1) menentukan
bahan baku minyak pala yang baik bagi industri produk olahan unggulan minyak
pala di lokasi yang potensial di Kabupaten Bogor; (2) menganalisis kelayakan dan
potensi pengembangan industri; serta (3) merumuskan strategi pengembangan
industri tersebut. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa
Barat.
Salah satu cara menentukan bahan baku minyak pala yang baik bagi
industri produk olahan unggulan minyak pala di lokasi yang potensial di
Kabupaten Bogor adalah melalui pemilihan metode destilasi, pemilihan produk
unggulan, dan pemilihan lokasi potensial pengembangan industri, yang ketiganya
dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE) untuk
penyaringan alternatif dengan metode brain storming dan teknik wawancara
langsung dengan pakar serta jajak pendapat melalui alat bantu pengisian
kuesioner. Untuk menilai kelayakan investasi industri produk olahan minyak pala
adalah dengan menggunakan tolok ukur finansial yang meliputi net present value
(NPV), internal rate of return (IRR), net B/C ratio, pay back period (PBP), dan
analisis sensitivitas. Untuk menentukan posisi industri produk olahan minyak pala
digunakan analisis evaluasi faktor internal dan eksternal, dan matriks internal
eksternal. Bobot dan nilai akhir dari setiap faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi pengembangan industri juga ditentukan oleh responden pakar
melalui alat bantu pengisian kuesioner dengan menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis SWOT digunakan untuk merumuskan
strategi alternatif dalam pengembangan industri produk kosmetik dan parfum, dan
metode analytical hierarchy process (AHP) berguna untuk menentukan strategi
prioritas. Kedua alat analisis terakhir tersebut juga menggunakan data yang
diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner oleh pakar, dan dibantu
sofware expert choice 2000 untuk pengolahan data.
Penyaringan alternatif dan kriteria dengan metode MPE menentukan
metode destilasi minyak pala yang terpilih berdasarkan pendapat responden pakar
adalah metode uap langsung, dengan kriteria kemudahan proses dan sesuai
dengan dana yang tersedia sebagai kriteria dengan bobot tertinggi. Sedangkan
produk kosmetik dan termasuk parfum di dalamnya sebagai produk olahan
unggulan terpilih, dengan kriteria kemudahan pasar, nilai ekonomis, dan
kemudahan sebagai kriteria dengan peringkat bobot tertinggi dalam penentuan
produk unggulan, serta Kecamatan Ciomas terpilih sebagai lokasi paling potensial
6

berdasarkan kriteria yang telah ditentukan untuk pengembangan industri, dengan


kriteria kemudahan transportasi, akses konsumen, keamanan berusaha, dan luas
lahan sebagai kriteria dengan bobot tertinggi dalam penentuan lokasi industri.
Industri kosmetika dan parfum berbahan dasar minyak pala sebagai
produk olahan terpilih dinilai layak dan menguntungkan untuk dikembangkan
lebih lanjut berdasarkan kriteria kelayakan investasi. Diperoleh nilai NPV sebesar
Rp4 362 473 952.00 pada tingkat suku bunga 16,5% per tahun lebih besar
daripada nilai sekarang investasi. IRR 47,2% dengan tingkat discount rate 16,5%
dan 8%, IRR lebih besar dari nilai discount rate. Nilai Net B/C sebesar 1,11,
nilai Net B/C lebih dari satu.
Berdasarkan analisa matriks IFE dan EFE diperoleh hasil bahwa faktor
yang menjadi kekuatan bagi pengembangan industri produk olahan minyak pala
adalah budidaya pala yang telah lama ada/turun temurun (0,315) dan tersedianya
sumber daya lahan yang cukup luas (0,248). Sedangkan faktor kelemahan yang
penting diperhatikan adalah sistem informasi yang belum memadai (0,316) dan
aspek kelembagaan yang belum efektif (0,316). Dari sisi faktor eksternal, yang
menjadi peluang terbesar adalah kebijakan pemerintah yang mendukung
pengembangan agroindustri (0,620), dilain pihak ancaman yang berpengaruh
paling besar adalah banyaknya pungutan-pungutan liar (0,801) yang merugikan
dan menghambat industri untuk berkembang. Hasil akhir analisa matrik IFE dan
EFE adalah posisi industri produk olahan minyak pala berada pada kuadran II
atau posisi sel dua (pertumbuhan).
Dari hasil analisis matriks SWOT dapat dirumuskan beberapa alternatif
strategi yaitu perluasan areal kebun pala, pembangunan sentra produk olahan
minyak pala, pola kemitraan, pemberdayaan lembaga keuangan dan permodalan
yang ada di Kabuapten Bogor, peningkatan kualitas SDM dan teknologi,
pembangunan pusat informasi pala, serta perbaikan kebijakan dan kelembagaan.
Sedangkan tujuan akhir dari penelitian yakni alternatif strategi diatas yang
menjadi prioritas diperoleh hasil bahwa perluasan areal kebun pala dan pola
kemitraan sebagai strategi yang harus diprioritaskan dalam rangka pengembangan
industri.

Kata kuci : minyak pala, Kabupaten Bogor, prospek pengembangan industri,


prioritas strategi
7

ABSTRACT

LUSIANAH. Developing Strategy and Prospect of Nutmeg Oil Downstream


Industry in order to Empower The Bogor Regency’s Society. Under direction
of MUHAMMAD SYAMSUN and NURHENI SRI PALUPI.

Nutmeg oil is one of essential oil products of economically important


nutmeg commodities. Many of nutmeg oil’s product were used for food’s
industry, astringent, cosmetics, soap, medicines, and so on. The purpose of this
research, was to get a good quality nutmeg oil as raw material for nutmeg oil’s
downstream industry, to analize the feasibility of the construction of the industry,
and to formulate developing strategy of nutmeg oil’s downstream industry in
Bogor Regency.
The datas were collected by experts use exponential comparisons method
(MPE) to choose appropriate destilation method of nutmeg oil, a product that will
be develop in Bogor and also potential location to develop the industry’s fabric.
To know appropriate strategy to empower the Bogor Regency’s society by means
of the industry, first it was necessary to know the position of downstream industry
using SWOT analysis and to formulate appropriate strategy using Analytical
Hierarchy Process (AHP).
The appropriate destilation method of nutmeg oil that were choosen by
experts is direct steam method, the product that were choosen by experts is
cosmetic’s product, and the potential location is Ciomas Regency. Based on
feasibility analysis nutmeg oil downstream industry has potencial prospect in
Bogor Regency. Market aspect shows that the industry is very needed in Bogor.
The human resource aspect also shows that there are a lot of productive ages that
can be required in the industry. Financial aspect signed that investation of the
industry bring profit based on NPV that is Rp4 362 473 952.00 , IRR 47,2% per
year with discount rate 16,5% and 8% per year, PBP 11,5 month, and B/C ratio
1,11. SWOT analysis showed that nutmeg oil downstream industry located at
second quadrant. It means that the industry supported aggressive strategy, and by
used this analysis we can formulate seven alternative strategies. The appropriate
strategy to empower The Bogor Regency’s society by means cosmetic’s industry
is extensification of nutmeg area and corporate community relationship.

Keywords: nutmeg oil, Bogor, prospect industry, developing strategy


8

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 04 Nopember 1970 dari ayah


Achmad Sumantri dan ibu Sunayah (Alm). Penulis merupakan putri ke tujuh dari
duabelas bersaudara.
Tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri 65 Jakarta dan pada tahun
yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) ke
Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Penulis memilih Program Studi
Ekonomi Moneter, Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas
Ekonomi, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2007 penulis diterima di Program
Studi Magister Profesional Industri Kecil Menengah IPB.
Berbekal Ijazah Strata I, penulis diterima bekerja pada Bank BNI dan
ditempatkan di Kantor Cabang Jakarta Kota sejak 1996 dan di Sentra Kredit Kecil
Jakarta Kota sejak 2001 hingga 2005 berpangkat Asisten Manajer pada Unit
Kredit. Sejak tahun 2005 hingga April 2009 penulis menempati posisi sebagai
Analis Pembiayaan Besar pada Unit Pemasaran Bisnis Bank BNI Divisi Usaha
Syariah Kantor Besar Sudirman.
9

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha
Menguasai dan Menggenggam seluruh mahluk-Nya, karena hanya dengan
pertolongan dan karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Judul
dari tugas akhir ini adalah “STRATEGI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN
INDUSTRI PRODUK OLAHAN MINYAK PALA DALAM RANGKA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT di KABUPATEN BOGOR”
Dengan selesainya tugas akhir ini, Penulis tidak lupa mengucapkan terima
kasih yang tulus kepada pihak-pihak yang turut membantu, yaitu :
1. Bapak Dr. Ir. Muhammad Syamsun, MSc dan Ibu Dr. Ir.Nurheni Sri Palupi,
MSi selaku Komisi Pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku
Penguji Luar Komisi yang telah dengan sabar meluangkan waktu untuk
membimbing, menguji, memberi pengarahan, membuka wawasan Penulis,
serta memberi semangat dan motivasi bagi Penulis untuk segera
menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Seluruh staff pengajar di MPI IPB yang telah memberikan ilmu sebagai modal
Penulis untuk mengamalkan ilmu yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
3 Responden Pakar yang telah bermurah hati menyediakan waktu dan pemikiran
untuk mengisi kuesioner dan membantu dalam pengumpulan data yang
diperlukan, Ibu Ir. Prasetiowati ; Bapak Ir. Dedi Supriadi, MSc; Bapak Edy
Wibowo, STP,MP; Ibu Diah S.R, S.Hut; Bapak Drs. Edy Sapto Hartanto,
Bapak Drs. Ma’mun, BSc; dan Bapak Drs. M. Hadad. E.A.
4. Khusus kepada Ibu Ir. Nanan Nurdjannah, Bapak. Yudi R, STP atas
sumbangsih pemikiran yang demikian besar, Mbak Widi, Bpk. Acep atas
inspirasinya serta bantuannya diawal penyusunan tugas akhir ini, serta tidak
lupa Mas Haryanto atas segala bantuan moril dari awal hingga akhir
penyusunan tugas akhir ini.
5. Mama (Alm, semoga Allah selalu menyayangi Beliau, sebagaimana kasih
sayang dan didikannya sejak Penulis kecil hingga dewasa), Abah, Bapak, Ibu,
selaku orang tua dan mertua Penulis yang tidak henti-hentinya berdoa.
Kakak, adik, putera-puteri tercinta (Hanum dan Bagas) dan seluruh keluarga
besar yang penulis miliki, atas kasih sayang dan persaudaraan yang tulus dan
ikhlas.
6. Seluruh teman-teman MPI Angk-9 termasuk Mbak Vera dan Mas Haer atas
segala support dan dukungannya, seluruh rekan-rekan di BNI Divisi Usaha
Syariah atas pengertian dan kesempatan yang diberikan selama proses
perkuliahan dan penyusunan tugas akhir.
7. Semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan dalam bentuk
sekecil apapun, yang karena keterbatasan Penulis sebagai manusia, terlupa
menyebutkannya disini dan juga karena keterbatasan tempat, Penulis mohon
maaf atas kealpaan ini
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2009

Penulis
10

DAFTAR ISI :

DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv


DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 8


2.1 Tanaman Pala ................................................................................. 8
2.1.1 Mengenal Tanaman Pala ....................................................... 8
2.1.2 Pemanfaatan Tanaman Pala .................................................. 9
2.1.3 Minyak Pala (Nutmeg Oil) .................................................... 11
2.2 Manajemen Teknologi Agribisnis .................................................. 12
2.2.1 Teori Manajemen Teknologi Agribisnis ................................. 12
2.2.2 Metode Perbandingan Eksponential (MPE) ........................... 14
2.3 Analisis Kelayakan Proyek Investasi ............................................ 15
2.3.1 Definisi Proyek ...................................................................... 15
2.3.2 Analisis Finansial ................................................................... 16
2.4 Manajemen Strategis ...................................................................... 20
2.4.1 Teori Manajemen Strategis ................................................... 20
2.4.2 Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal ........................ 22
2.4.3 Analisis Matrik SWOT ......................................................... 23
2.5 Perencanaan Industri ...................................................................... 23
2.5.1 Teori Perencanaan Industri .................................................... 23
2.5.2 Metode Proses Hierarki Analisis (AHP) ............................... 24
2.6 Profil Kabupaten Bogor .................................................................. 25
2.6.1 Geografi ................................................................................. 25
11

2.6.2 Pemerintahan ......................................................................... 26


2.6.3 Demografi .............................................................................. 27
2.6.4 Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan ........................... 27
2.6.4.1 Visi dan Misi .............................................................. 27
2.6.4.2 Strategi dan Arah Kebijakan ...................................... 27

III METODOLOGI ...................................................................................... 33


3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................... 33
3.1.1 Penentuan Metode Destilasi .................................................. 33
3.1.2 Penentuan Produk Olahan Unggulan Minyak Pala ............... 33
3.1.3 Penentuan Lokasi Industri Produk Olahan Unggulan
Minyak Pala .......................................................................... 34
3.1.4 Analisa Kelayakan Industri ................................................... 34
3.1.5 Penentuan Posisi Industri ...................................................... 35
3.1.6 Perumusan Strategi Sesuai dengan Posisi Industri ................ 35
3.1.7 Pemilihan Strategi Prioritas ................................................... 35
3.2 Pengumpulan Data .......................................................................... 37
3.3 Analisis Data dan Pengolahan Hasil ……........................................ 39
3.3.1 Analisis Kelayakan Usaha ..................................................... 39
3.3.2 Analisis Permintaan ............................................................... 39
3.3.3 Analisis Aspek Teknis dan Teknologis ................................. 40
3.3.4 Pengolahan Hasil ................................................................... 40

IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 42


4.1 Metode Destilasi, Produk Unggulan, dan Lokasi Industri ………. 42
4.1.1 Metode Destilasi Minyak Pala …..………..............………. 42
4.1.2 Produk Olahan Unggulan Minyak Pala .......………………. 45
4.1.3 Lokasi Potensial Pengembangan Industri Produk Olahan
Minyak Pala ........................................................................ 50
4.2 Analisis Kelayakan Industri Produk Olahan Minyak Pala …….... 55
4.2.1 Aspek Pasar dan Pemasaran …............................................. 55
4.2.2 Aspek Teknis dan Teknologis .............................................. 58
4.2.3 Aspek Sumber Daya Manusia .............................................. 59
12

4.2.4 Aspek Ekonomi dan Keuangan ............................................. 60


4.2.4.1 Biaya Investasi ..................................................... 60
4.2.4.2 Biaya Operasional ................................................ 61
4.2.4.3 Sumber dan Struktur Pembiayaan ........................ 62
4.2.4.4 Harga dan Prakiraan Penerimaan ......................... 63
4.2.4.5 Proyeksi Arus Kas ............................................... 64
4.2.4.6 Break Event Point (BEP) ..................................... 66
4.2.4.7 Pay Back Period (PBP) ….................................... 66
4.2.4.8 Kelayakan Investasi ............................................. 66
4.2.4.9 Analisis Sensitivitas ............................................. 67
4.3 Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala 68
4.3.1 Penentuan Posisi Industri Produk Olahan Minyak Pala . 68
4.3.1.1 Faktor Internal ...................................................... 68
4.3.1.2 Faktor Eksternal ................................................... 71
4.3.1.3 Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal ................ 73
4.3.1.4 Matriks Internal Eksternal .................................... 75
4.3.1.5 Matriks SWOT ..................................................... 77
4.3.2 Prioritas Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan
Minyak Pala ......................................................................... 78

V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 90


7.1 Kesimpulan ................................................................................... 90
7.2 Saran .............................................................................................. 90

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 91


LAMPIRAN ....................................................................................... 95
13

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1 Volume dan Nilai Ekspor Lima Komoditas Minyak Atsiri


Terbesar Indonesia tahun 2002 ........................................................ 2
2 Volume dan Nilai Ekspor serta Harga FOB Minyak Pala Indonesia
Tahun 1998 – 2002 ………………………………………………. 3
3 Luas dan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Bogor ……. 4
4 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Pala Rakyat di Kabupaten
Bogor Menurut Kecamatan Tahun 2006 ……………………......... 5
5 Nilai dan Definisi Skala Perbandingan Pada AHP ……………..... 25
6. Tahap Penelitian Berdasarkan Target Keluaran .............................. 36
7 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala ..................................... 42
8 Penentuan Produk Olahan Unggulan Minyak Pala ………….…… 47
9 Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Industri Produk
Olahan Minyak Pala ....................................................................... 52
10 Kesesuaian Lingkungan Tanaman Pala .......................................... 52
11 Kebutuhan Biaya Investasi ............................................................ 60
12 Kebutuhan Biaya Operasional Per Bulan ........................................ 61
13 Struktur Pembiayaan Industri Kosmetik ....................................... 62
14 Angsuran Pembiayaan Investasi dan Modal Kerja Industri
Kosmetik ....................................................................................... 63
15 Asumsi Proyeksi Arus Kas ........................................................... 65
16 Proyeksi Pendapatan Industri Kosmetik yang Merupakan Produk
Olahan Minyak Pala ...................................................................... 65
17 Rekapitulasi Perhitungan NPV, IRR, PBP, dan B/C Ratio ........... 67
18 Analisis Sensitifitas Industri Kosmetik ......................................... 68
19 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ……………………… 73
20 Matriks External Factor Evaluation (EFE) ……………………... 75
21 Matrik SWOT Industri Produk Olahan Minyak Pala .................... 77
22 Bobot dan Prioritas Elemen Faktor Pemberdayaan Masyarakat
14

Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk


Olahan Minyak Pala ……..…..................................................... 80
23 Bobot dan Prioritas Elemen Aktor Pemberdayaan Masyarakat
Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk
Olahan Minyak Pala ……..…..................................................... 83
24 . Bobot dan Prioritas Elemen Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk
Olahan Minyak Pala ……..…..................................................... 84
25 Bobot dan Prioritas Elemen Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk
Olahan Minyak Pala ……..…..................................................... 85
15

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................... 38


2 Posisi Industri Produk Olahan Minyak Pala ........................ 77
3 Hirarkhi Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan
Minyak Pala ............................................................................ 81
16

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Daftar Responden Pakar ............................................... 96


2. Perhitungan Bobot Kriteria Pemilihan Metode
Destilasi, Pemilihan Produk Unggulan, dan Pemilihan
Lokasi Industri Produk Olahan Minyak Pala ................ 97
3. Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan
Metode Destilasi ............................................................ 98
4. Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan
Produk Unggulan ........................................................... 99
5. Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan
Lokasi Industri .............................................................. 101
6. Biaya Variabel Industri Kosmetik yang Merupakan
Produk Olahan Minyak Pala .......................................... 103
7. Biaya Tetap Industri Kosmetik yang Merupakan
Produk Olahan Minyak Pala .......................................... 103
8. Perhitungan Titik Impas / BEP pada Industri
Kosmetik ........................................................................ 103
9. Biaya Tenaga Kerja Industri Kosmetik yang Merupakan
Produk Olahan Minyak Pala ............................................ 104
10. Penentuan Harga Pokok Produksi dan Harga Jual Produk
Kosmetik dan Minyak Pala pada Kapasitas Penuh....... 105
11. Perhitungan Pokok dan Margin Pembiayaan Investasi
Industri Kosmetik ......................................................... 106
12. Perhitungan Pokok dan Margin Pembiayaan Modal Kerja
Industri Kosmetik ........................................................... 106
13. Perhitungan Jadwal Angsuran Industri Kosmetik
Pembiayaan Modal Kerja & Investasi yang Disepakati
di Awal dengan Bank ..................................................... 106
14. Arus Kas Industri Kosmetik Pada Tingkat Margin
17

Setara 16,5% dan Kondisi Normal .................................. 107


15. Arus Kas Industri Kosmetik Pada Tingkat Margin
Setara 16,5% dan Kondisi Harga Jual Turun 5% ........... 108
16. Arus Kas Industri Kosmetik Pada Tingkat Margin
Setara 16,5% dan Kondisi Harga Bahan Baku Naik 10% 109
17 Arus Kas Industri Kosmetik Pada Tingkat Margin
Setara 16,5% dan Kondisi Harga Jual Turun 5% dan
Harga Bahan Baku Naik 10% ......................................... 110
18. Pembobotan terhadap Faktor Internal Kekuatan dan
Kelemahan Industri Produk Olahan Minyak Pala ........ 111
19. Hasil Penggabungan Pembobotan Faktor Internal
Kekuatan dan Kelemahan .............................................. 113
20. Pembobotan terhadap Faktor Eksternal Peluang dan
Ancaman Industri Produk Olahan Minyak Pala .......... 114
21. Hasil Penggabungan Pembobotan Faktor Eksternal
Peluang dan Ancaman ................................................... 115
22. Perhitungan Rating Kekuatan, Kelemahan, Peluang,
dan Ancaman Industri Produk Olahan Minyak Pala ... 116
23. Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas
Faktor dengan Metode AHP ............................................ 117
24. Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas
Aktor dengan Metode AHP ............................................ 118
25. Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas
Tujuan dengan Metode AHP ............................................ 119
26. Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas
Alternatif Strategi dengan Metode AHP ........................... 120
18

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Strategi pembangunan Indonesia seharusnya didasarkan pada keunggulan


komparatif yang dimiliki Indonesia. Hal ini berarti pembangunan perekonomian
nasional harus dikembangkan dengan bertumpu pada sektor yang didukung oleh
sumberdaya domestik dan memiliki peluang usaha, yang merupakan sinergi
antara pertanian, agroindustri, dan jasa-jasa yang menunjang pertanian.
Membangun sistem dan usaha-usaha pertanian dan agroindustri yang kuat berarti
membangun pertumbuhan sekaligus pemerataan sehingga terjadi keseimbangan
antar sektor dan antar wilayah. Salah satu sektor yang sangat ditunjang oleh
sumber daya domestik adalah sektor agroindustri. Membangun agroindustri yang
kuat berarti membangun pertumbuhan sekaligus pemerataan dan keseimbangan
antar sektor dan antar wilayah. Manfaat yang diperoleh dari pengembangan
agroindustri salah satunya adalah meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan
petani melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah serta akan
menumbuhkan industri di pedesaan dan memperluas lapangan pekerjaan di desa
(Erlina 2006).
Alasan yang kuat untuk mengangkat agroindustri sebagai sektor utama
dalam industrialisasi di Indonesia adalah untuk membantu komoditas pertanian
dimana sebagai barang primer, yang apabila produksi tinggi maka harga menjadi
rendah atau sebaliknya. Jadi untuk menjadi sektor yang akan menyambung antara
petani dengan pasar diperlukan suatu industri yang akan memberikan nilai tambah
serta mampu menekan kehilangan yang lebih baik. Salah satu sub sektor pada
sektor pertanian adalah sub sektor perkebunan. Sub sektor ini semakin penting
dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat makin
terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini merupakan sumber utama
devisa negara. Salah satu keunggulan komparatif sub sektor perkebunan
dibandingkan dengan sub sektor lain adalah tersedianya lahan yang belum
termanfaatkan secara optimal dan berada di kawasan dengan iklim menunjang,
serta ketersediaan tenaga kerja, sehingga bisa secara kompetitif dimanfaatkan.
19

Kondisi tersebut merupakan hal yang dapat memperkuat daya saing harga produk
perkebunan Indonesia di pasaran dunia.
Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan salah satu komoditi
perkebunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, disamping berjenis-jenis
komoditi perkebunan ekonomis lainnya. Sebagai tanaman rempah-rempah, pala
dapat menghasilkan minyak etheris (minyak atsiri) dan lemak khusus yang
berasal dari biji dan fuli. Biji pala menghasilkan 2 – 15% minyak etheris dan 30 –
40% lemak, sedangkan fuli menghasilkan 7 – 18% minyak etheris dan 20-30%
lemak (fuli adalah arie yang berwarna merah tua dan merupakan selaput jala yang
membungkus biji). Daging buah pala dapat digunakan sebagai manisan, asinan,
atau jelly. Biji dan fulinya bermanfaat dalam industri pembuatan sosis, makanan
kaleng, pengawetan ikan, dan lain-lainnya. Minyak pala merupakan salah satu
dari lima jenis minyak atsiri yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total
nilai ekspor minyak atsiri nasional. Kontribusi kelima jenis minyak atsiri tersebut
mencapai angka 70% dari total nilai ekspor minyak atsiri nasional. Volume dan
nilai ekspor lima jenis minyak atsiri terbesar Indonesia pada tahun 2002 dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Volume dan Nilai Ekspor Lima Komoditas Minyak Atsiri terbesar
Indonesia tahun 2002 (BPS 2003).
Jenis Minyak Atsiri 2002
Volume (kg) Nilai (US $)
Minyak Nilam 1 295 379.00 $ 22 526 142.00
Minyak Pala 295 089.00 $ 9 273 112.00
Minyak Serai Dappres 106 315.00 $ 775 564.00
Minyak Akar Wangi 75 714.00 $ 1 078 451.00
Minyak Kayu Manis 176.00 $ 3 276.00

Hasil pala Indonesia mempunyai keunggulan dipasaran dunia karena


memiliki aroma yang khas dan memiliki rendemen minyak yang tinggi. Hanya
sekitar 40% kebutuhan pala dunia dipenuhi dari Granada, India dan beberapa
negara penghasil pala lainya sedangkan 60% kebutuhan pala dunia dipenuhi
Indonesia, yakni berupa biji pala dan selaput biji (fuli) kering, yang dapat
menghasilkan devisa cukup besar (Sunanto 1993).
Minyak pala (nutmeg oil) sebagai salah satu produk minyak atsiri
merupakan salah satu produk ikutan (by product) komoditas pala yang juga
20

banyak memiliki kegunaan. Dari pemaparan diatas, beragam produk dapat


dihasilkan melalui penggunaan minyak pala. Belum diketahui secara pasti berapa
banyak kebutuhan bahan minyak pala yang diperlukan oleh kalangan industri
dalam negeri. Minyak pala pada umumnya digunakan dalam industri makanan
dan minuman, industri parfum dan kosmetik, industri sabun, industri farmasi dan
lain-lain (Purseglove et al. 1981), melihat cukup banyaknya produk yang
dihasilkan oleh bahan ini di berbagai industri, merupakan faktor yang
menunjukkan potensi yang dimiliki oleh minyak pala.
Nilai ekspor minyak pala Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun.
Volume dan nilai ekspor serta harga FOB minyak pala Indonesia selama lima
tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Volume dan Nilai Ekspor serta Harga FOB Minyak Pala Indonesia
Tahun 1998 – 2002 (BPS 2003)
Tahun Volume Ekspor Nilai Ekspor Harga FOB
(Kg) (US $) (US $ / Kg)
1998 382 100 $ 10 014 413.00 26.21
1999 383 725 $ 10 046 165 .00 26.18
2000 350 544 $ 9 109 814.00 25.99
2001 495 021 $ 14 782 076.00 29.86
2002 295 089 $ 9 273 112.00 31.42

Minyak pala diperoleh dengan cara melakukan penyulingan terhadap biji


dan fuli pala. Metode penyulingan yang digunakan dapat berupa penyulingan uap
(steam destillation) maupun penyulingan dengan uap dan air (steam and water
distillation). Kadang-kadang juga dilakukan penyulingan dengan air atau
kohobasi. Penyulingan dengan air dan uap menghasilkan minyak dengan mutu
yang paling baik, sedangkan cara kohobasi menghasilkan minyak pala dengan
mutu yang bervariasi dan berada dibawah standar mutu yang ada (Purseglove et
al. 1981).
Khusus industri rumah tangga penghasil minyak atsiri menurut Yohono
dan Suhirman (2004) yang perlu mendapat perhatian lebih serius dari industri-
industri semacam ini adalah, mutu dan rendemen yang dihasilkan masih rendah,
karena pada umumnya petani menggunakan bahan konstruksi alat penyuling
(teknologi pengolahan) yang masih sederhana. Penyiapan/penanganan bahan
baku dan proses penyulingan juga turut menjadi faktor penentu. Untuk
21

stakeholders terkait perlu berperan aktif mensosialisasikan teknologi pasca panen


anjuran kepada para petani/pengrajin minyak atsiri termasuk minyak pala.
Di Kabupaten Bogor, hasil perkebunan juga turut menyumbangkan hasil
dalam rangka peningkatan pendapatan daerah disamping sektor industri
pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dilihat dari sektor
pembentuk PDRB pada tahun 2005, tiga sektor terbesar penyumbang PDRB di
Kabupaten Bogor adalah sektor industri pengolahan (51.07%), sektor
perdagangan, hotel restoran (16.76%) dan sektor pertanian termasuk perkebunan
(9.31%) (PDRB Kab Bogor 2006). Hasil perkebunan Kabupaten Bogor
dibedakan menjadi Perkebunan Besar negara. Perkebunan Besar Swasta. dan
Perkebunan Rakyat. Adapun luas dan produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten
Bogor dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3 Luas dan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Bogor (Dispertan


Kab. Bogor 2007)
No Jenis Luas (Ha) Produksi (Ton Olahan) Keterangan
1 Cengkeh 1 111.21 294.14
2 Kopi 2 193.15 1 278.31
3 Pala 595.50 137.87
4 Kelapa 8 409.21 7 757.42
5 Kelapa Hibrida 162.00 151.20
6 Karet 349.00 352.09
7 Aren 130.00 97.21
8 Vanili 35.00 13.05
9 Lada 38.00 38.70
10 Kapolaga 34.50 8.26
11 The 119.50 82.70
12 Kayu Manis 19.00 -
13 Melinjo 299.00 315.00
14 Kakao 4.80 0.41 Bahan mentah
15 Kemiri 40.00 -
Jumlah 13 499.87 10 526.34

Kekuatan sumber daya luas lahan perkebunan pala rakyat yang cukup
besar pada Tabel 3 tersebut tidak diimbangi dengan nilai ekonomi yang
seharusnya diperoleh para petani pala khususnya dan masyarakat di Kabupaten
Bogor pada umumnya. Pala merupakan salah satu komoditas perkebunan tahunan
dan banyak ditemukan di Kecamatan Cijeruk, Cigudeg, Taman Sari, dan lain -
22

lain. Sepuluh kecamatan yang memiliki luas areal dan produksi perkebunan pala
rakyat terbesar di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Pala Rakyat di Kabupaten Bogor
menurut Kecamatan Tahun 2006 (Dispertan Kab Bogor 2006)
Kecamatan Luas/ Luas Areal Tanaman (Ha) Produksi (Ton) Banyak
Baku/ Tanaman Tanaman Tanaman Bahan Hasil Pemilik
Lahan yg belum Menghasilkan Tua/Rusak Mentah Olahan (KK)
ditempati Menghasilkan (TM)
(Ha) (TBM)
Cigudeg 54.00 8.30 38.94 7.06 51.40 12.85 543
Dramaga 37.00 5.54 25.99 4.51 34.30 8.58 363
Ciomas 43.00 6.63 31.09 5.64 41.04 10.26 433
Taman Sari 46.00 7.39 34.13 6.08 45.05 11.26 503
Caringin 15.68 17.91 32.12 5.68 42.40 10.60 472
Cijeruk 103.35 26.13 75.14 13.44 99.18 24.80 1 060
Ciawi 31.00 4.91 23.00 4.17 30.37 7.59 320
Nanggung 21.00 3.22 15.12 2.74 19.96 4.99 211
Sukajaya 19.00 2.15 10.06 1.82 13.28 3.32 140
Sukaraja 16.50 2.53 11.87 2.15 15.67 3.92 165

Pala merupakan salah satu komoditas yang tidak diatur tata niaganya oleh
pemerintah, sehingga harga pala di tingkat petani ditentukan mekanisme pasar
bebas. Petani pala di Kabupaten Bogor bebas menjual hasil panennya kepada para
pedagang pengumpul, baik berupa buah pala (gelondong) maupun biji berikut
fuli. Dari informasi pendahuluan di salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor
yakni Desa Sukamantri Kecamatan Taman Sari, para pemilik kebun biasa menjual
hasil pala tanpa mempertimbangkan dengan lebih fokus pada alternatif
pemanfaatannya untuk dijadikan sebagai suatu produk agroindustri yang memiliki
nilai ekonomi lebih tinggi, seperti produk minyak atsiri salah satunya.
Pengolahan Pala di Kabupaten Bogor masih sederhana, pemanfaatan buah
pala sebagai manisan dan bahan makanan lain adalah pengolahan yang banyak
dijumpai pada industri rumah tangga di Kabupaten Bogor. Biji dan fuli pala
sebagai penghasil minyak atsiri serta pengolahannya belum banyak mendapatkan
perhatian serius untuk dikembangkan. Diversifikasi pengolahan perlu dilakukan
untuk meningkatkan nilai tambah tidak hanya buah pala sebagai produk manisan,
tetapi juga minyak pala yaitu dengan memanfaatkannya menjadi produk yang
bernilai tinggi, melalui industri produk olahannya yang berlokasi di Kabupaten
Bogor.
23

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan


produksi minyak atsiri terutama untuk tujuan ekspor, antara lain produk yang
dihasilkan terjamin mutunya, harganya kompetitif, dan adanya kontinuitas
produksi. Sementara faktor lain yang perlu diperhatikan dalam rangka
pengembangan produk olahan yaitu peningkatan teknologi, rekayasa proses,
teknik analisis, serta rancang bangun alat yang tepat guna yang ditunjang secara
kuat dengan penelitian dan pengembangan terapan (Lutony & Rahmayati 2002).
Oleh karena itu perlu adanya suatu perencanaan agroindustri produk
olahan minyak pala (nutmeg oil) yang dapat memberdayakan masyarakat di
Kabupaten Bogor. Diharapkan dengan adanya agroindustri produk olahan minyak
pala ini akan meningkatkan peran pala sebagai penghasil devisa negara, nilai
tambah produk serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat Kabupaten Bogor.

1.2 Rumusan Masalah

Dari hasil identifikasi masalah, maka hal penting yang harus diketahui dan
dikaji dalam perencanaan agroindustri produk olahan minyak pala di Kabupaten
Bogor adalah :
1. Bagaimana menentukan bahan baku minyak pala yang baik bagi industri
produk olahan unggulan minyak pala, di lokasi yang potensial di Kabupaten
Bogor?
2. Bagaimana analisis kelayakan dan potensi usaha pengembangan industri
produk olahan minyak pala di Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana strategi pengembangan industri produk olahan minyak pala di
Kabupaten Bogor?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka


ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Menentukan bahan baku minyak pala yang baik bagi industri produk olahan
unggulan minyak pala, di lokasi yang potensial di Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis kelayakan dan potensi usaha pengembangan industri produk
olahan minyak pala di Kabupaten Bogor.
24

3. Merumuskan strategi pengembangan industri produk olahan minyak pala di


Kabupaten Bogor.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini difokuskan pada pemilihan metode


destilasi minyak pala, pemilihan produk olahan unggulan minyak pala, dan
pemilihan lokasi paling potensial untuk mendirikan industri produk olahan
minyak pala. Pemilihan metode destilasi, pemilihan produk unggulan, dan lokasi,
didasarkan pada penilaian orang-orang yang kompeten dalam pengembangan
industri produk olahan minyak pala di Kabupaten Bogor. Selain itu ruang lingkup
penelitian ini juga difokuskan pada analisa kelayakan usaha berdasarkan aspek
pasar/permintaan, aspek teknis dan teknologi, aspek sumber daya manusia, dan
aspek kelayakan finansial. Fokus terakhir dari ruang lingkup penelitian ini adalah
penentuan posisi industri produk olahan minyak pala, perumusan alternatif
strategi pengembangan industri, serta pemilihan strategi prioritas dalam
pengembangan industri produk olahan minyak pala yang berlokasi di Kabupaten
Bogor.
Analisa kelayakan usaha berdasarkan aspek kelayakan finansial dalam
penelitian ini dibatasi untuk jenis produk olahan unggulan minyak pala yang
belum spesifik, karena keterbatasan sumber data dengan belum adanya industri
produk olahan minyak pala di Kabupaten Bogor maupun di luar Kabupaten
Bogor.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti terutama dalam


menerapkan ilmu yang telah dipelajari. Hasil keluaran dari penelitian ini juga
dapat membantu peneliti selanjutnya dalam melakukan kajian yang lebih spesifik
mengenai pengembangan industri produk olahan minyak pala sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat Kabupaten Bogor.
25

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Pala

2.1.1 Mengenal Tanaman Pala

Menurut pendapat para ahli, pala adalah tanaman asli Indonesia yang
berasal dari Malaise Archipel yaitu gugusan kepulauan Banda dan Maluku.
Kemudian menyebar dan berkembang ke pulau-pulau lain yang berada di
sekitarnya, bahkan sekarang telah mencapai Aceh, Sulawesi Utara dan Irian Jaya
(Deptan Irian Jaya 1986). Tanaman pala menyebar ke Pulau Jawa, pada saat
perjalanan Marcopollo ke Tiongkok yang melewati pulau Jawa pada tahun 1271
sampai 1295 pembudidayaan tanaman pala terus meluas sampai Sumatera
(Sunanto 1993).
Pala adalah tanaman daerah tropis yang memiliki 200 spesies, dan
seluruhnya tersebar di daerah tropis. Jenis pala yang banyak diusahakan adalah
terutama Myristica fragrans, sebab jenis pala ini mempunyai nilai ekonomi lebih
tinggi daripada jenis lainnya. Disusul jenis Myristica argentea dan Myristica
fattua. Jenis Myristica specioga, Myristica sucedona, dan Myristica malabarica
produksinya rendah sehingga nilai ekonomisnya pun rendah pula. Pala Indonesia
lebih disukai oleh pasar dunia, karena mempunyai beberapa kelebihan dibanding
pala dari negara lain, kelebihannya antara lain rendemen minyaknya yang tinggi
dan memiliki aroma yang khas.
Buah pala berasal dari keluarga Myristicaceae. Pohon berkayu yang
tingginya bisa mencapai 15 meter. Jika musim berbuah, pohon ini akan muncul
bunga disetiap ujung ranting dan menjadi buah bergerombol berwarna hijau
kekuningan. Tanaman pala memiliki buah berbentuk bulat, berwarna hijau
kekuning-kuningan, apabila masak buah akan terbelah dua. Garis tengah buah
berkisar antara 3 – 9 cm, daging buahnya tebal berwarna keputihan, buah ini
berasa getir terkadang asam dan mengandung banyak getah. Biji berbentuk
lonjong sampai bulat, panjangnya berkisar antara 1.5 – 4.5 cm dengan lebar 1 –
2.5 cm. Kulit biji berwarna coklat dan mengkilat pada bagian luarnya. Kernel biji
berwarna keputih-putihan. Setelah buah dan biji pala ada fuli, berupa selaput tipis
26

kemerahan yang menyelimuti biji pala menyerupai jala. Warna fuli kadang-
kadang putih kekuning-kuningan
Dalam keadaan pertumbuhan yang normal, tanaman pala memiliki
mahkota yang rindang, dengan tinggi batang 10 – 18 m. Mahkota pohonnya
meruncing ke atas, dengan bagian paling atasnya agak bulat serta ditumbuhi
daunan yang rapat. Daunnya berwarna hijau mengkilat, panjangnya 5 – 15 cm,
lebar 3 – 7 cm dengan panjang tangkai daun 0.7 – 1.5 cm.
Tanaman pala mulai berbuah pada umur 7 tahun, dan pada umur 10 tahun
sudah berproduksi secara menguntungkan. Produksinya akan terus meningkat dan
pada umur 25 tahun mencapai produksi tertinggi. Hal tersebut berlangsung terus
sampai tanaman berumur 60 – 70 tahun. Dalam setahun tanaman pala dapat
dipetik dua kali, yang setiap daerah biasanya waktunya tidak sama. Umumnya
buah pala dipanen setelah cukup tua, yang ditandai dengan merekahnya buah,
umurnya +/- 6 bulan sejak berbunga (Deptan Irian Jaya 1986).

2.1.2 Pemanfaatan Tanaman Pala

Berdasarkan hasil riset penelitian yang dilakukan National Science and


Technology Authority, dalam bukunya Guidebook on the proper use of medicinal
plants, buah pala mengandung senyawa-senyawa kimia yang bermanfaat untuk
kesehatan. Kulit dan daging buah pala misalnya, terkandung minyak atsiri dan zat
samak. Sedangkan fuli atau bunga pala mengandung minyak atsiri, zat samak dan
zat pati. Sedangkan dari bijinya sangat tinggi kandungan minyak atsiri, saponin,
miristisin, elemisi, enzim lipase, pektin, lemonena dan asam oleanolat (Sutomo
2006). Batang/kayu pohon pala yang disebut dengan “kino” hanya dimanfaatkan
sebagai kayu bakar. Kulit batang dan daun tanaman pala juga menghasilkan
minyak atsiri.
Fuli disebut juga dengan “bunga pala”. Bunga pala ini dalam bentuk
kering banyak dijual didalam negeri, seperti halnya biji pala, namun biji pala tidak
pernah dimanfaatkan oleh orang-orang pribumi sebagai rempah-rempah. Daging
buah pala selain mengandung minyak atsiri dan zat samak, juga sangat baik dan
sangat digemari oleh masyarakat jika telah diproses menjadi makanan ringan,
misalnya: asinan pala, manisan pala, marmelade, selai pala, dan kristal daging
27

buah pala. Minyak atsiri yang dihasilkan tanaman pala sendiri banyak digunakan
dalam industri pengalengan, minuman dan kosmetik.
Hampir semua bagian buah pala mengandung senyawa kimia yang
bermanfaat bagi kesehatan, diantaranya dapat membantu mengobati masuk angin,
insomnia (gangguan susah tidur), bersifat stomakik (memperlancar pencernaan
dan meningkatkan selera makan), karminatif (memperlancar buang angin),
antiemetik (mengatasi rasa mual mau muntah), nyeri haid, rematik dll (Sutomo
2006).
Pala sebagai salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa negara
perlu terus didorong peningkatannya baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Prospek pengembangan komoditi pala untuk masa depan cukup baik, mengingat
beberapa hal yang mendukungnya seperti:
a. Sebagai salah satu komoditas penghasil minyak atsiri, minyak pala sangat
berpeluang untuk dikembangkan mengingat peruntukan penggunaannya
masih terbuka luas dengan berkembangnya industri makanan, obat-obatan,
aromaterapi, dan lain sebagainya. Menurut Kemala (1999) proyeksi nilai
impor minyak atsiri dunia dan nilai ekspor minyak atsiri Indonesia dengan
menggunakan persamaan regresi menunjukkan bahwa nilai ekspor minyak
atsiri Indonesia semakin jauh dari nilai impor minyak atsiri dunia, yang
artinya bahwa pangsa pasar Indonesia semakin kecil, pada tahun 2010 pangsa
pasar Indonesia hanya 1.7%. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar
minyak atsiri Indonesia di pasaran luar negeri (Internasional) masih terbuka
luas dan laju ekspor Indonesia saat ini masih dapat dan harus ditingkatkan.
b. Permintaan pasar dunia akan pala setiap tahun terus meningkat, tidak kurang
dari 60% kebutuhan pala dunia didatangkan dari Indonesia.
c. Lahan potensial untuk pengembangan tanaman pala masih tersedia cukup
luas. Dengan potensi sumberdaya alam yang besar serta umur tanaman pala
yang relatif masih muda atau tanaman belum menghasilkan masih cukup luas,
disamping dimilikinya potensi kesesuaian lahan (lingkungan), maka di masa
mendatang Indonesia dapat menjadi produsen utama pala dunia.
d. Penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa, merupakan pasar
dalam negeri yang potensial bagi produsen pala. Hal ini perlu diantisipasi
sedini mungkin supaya pala lokal tidak kalah bersaing dengan pala dari luar
28

negeri. Adanya kecenderungan industri skala kelompok tani/rumah tangga


antara lain karena investasi dan biaya produksi lebih rendah, lebih efisien,
lebih fleksibel dan dapat melayani permintaan pasar baru.
e. Pala Indonesia lebih disukai oleh pasar dunia, karena mempunyai beberapa
kelebihan dibanding pala dari negara lain, kelebihannya antara lain rendemen
minyaknya yang tinggi dan memiliki aroma yang khas.
Berdasarkan kondisi diatas, pengusahaan pala di Indonesia mempunyai prospek
untuk ditingkatkan. Upaya pengembangan pala yang dilaksanakan kiranya harus
memenuhi kualitas yang telah menjadi standar dunia, sehingga pala Indonesia
mempunyai daya saing yang lebih baik bila dibandingkan dengan negara
produsen lainnya.

2.1.3 Minyak Pala (Nutmeg Oil)

Nutmeg Oil yaitu minyak hasil sulingan serbuk biji pala, sedangkan
penyulingan fuli menghasilkan mace oil. Didalam dunia perdagangan, kedua jenis
minyak ini tidak dibedakan karena terdapat kesamaan unsur-unsur penyususn
yang dikandungnya. Rendemen nutmeg oil dan mace oil sekitar 7 – 15%, antara
lain mengandung unsur-unsur eugenol, iso-eugenol, terpineol, borneol, linalol,
geraniol, safrole, terpene, aldehid, dan unsur lain yang berupa cairan bebas
(Lutony & Rahmayati 2002).
Minyak pala diperoleh dengan cara melakukan penyulingan terhadap biji
dan fuli pala. Biji yang biasa digunakan dalam penyulingan biji pala adalah biji
muda karena mempunyai kandungan minyak yang lebih tinggi. Minyak pala
berwarna kuning pucat sampai tak berwarna, mudah menguap, dan mempunyai
bau khas pala (Nurdjanah et al. 1990). Sifat-sifat minyak dari biji tidak berbeda
dengan minyak dari fuli pala. Bahkan, kebanyakan minyak pala dihasilkan dari
campuran biji dan fuli pala. Minyak pala jika dibiarkan di udara terbuka akan
berubah menjadi kental karena terjadi peristiwa polimerasi dan berbau terpentin
atau berbau campuran yang tidak menyenangkan (Lutony & Rahmayati 2002).
Minyak pala pada umumnya digunakan dalam industri makanan dan
minuman, industri parfum dan kosmetik, industri sabun, industri farmasi dan lain-
lain (Purseglove et al. 1981). Oleoresin dan mentega pala juga merupakan produk
olahan biji dan fuli pala. Oleoresin ini terdiri dari minyak atsiri dan resin serta
29

komponen-komponen pembentuk flavor lainnya. Selain mengandung minyak


atsiri yang mengandung aroma, oleoresin juga mnegandung resin dan senyawa-
senyawa yang tidak mudah menguap yang menentukan rasa khas rempah.
Penggunaan oleoresin pada industri pangan mempunyai beberapa keuntungan
sebagai berikut : (1) mutu produk lebih seragam dan terkontrol, (2) pemakaian
lebih ekonomis dan efisien karena sudah berbentuk ekstrak rempah, dan (3)
mudah dalam penanganannya (Risfaheri & Mulyono 1992).
Berdasarkan laju peningkatan ekspor, minyak pala merupakan jenis
minyak atsiri yang menunjukkan laju peningkatan nilai ekspor Indonesia tertinggi
yaitu 34.6% per tahun, atau rata-rata meningkat 1 722 849 US dollar per tahun
(BPS 2000). Amerika Serikat saat ini masih merupakan negara tujuan ekspor
utama minyak pala Indonesia dengan nilai ekspor rata-rata sebesar 60% dari total
nilai ekspor minyak pala Indonesia, atau rata-rata mencapai 2 992 621 US dollar
per tahun. Selain Amerika Serikat, negara tujuan ekspor Indonesia lainnya adalah
Jerman, Perancis, Singapura, Australia, Switzerland, India, Singapura, dan
Malaysia (BPS 2000).
Pada tahun 2002 volume ekspor minyak pala Indonesia ke Amerika
Serikat sebesar 185 346 kg atau senilai US$ 6 266 476. Jumlah tersebut
merupakan 62% dari total ekspor minyak pala Indonesia pada tahun 2002 yang
mencapai volume sebesar 295 089 kg atau senilai US$ 9 273 112 (BPS 2003).

2.2 Manajemen Teknologi Agribisnis

2.2.1 Teori Manajemen Teknologi Agribisnis

Manajemen teknologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang dibutuhkan


untuk memaksimumkan nilai tambah suatu teknologi dengan melakukan proses
manajemen yang tepat. Adanya fungsi manajemen tersebut, maka ruang lingkup
penerapan manajemen teknologi dalam bidang agribisnis menjadi sangat luas,
mulai dari perencanaan teknologi sampai dengan pengawasan teknologi dalam
rangka mencapai nilai tambah yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dan
harapan konsumen (Gumbira Said 2001).
Adapun elemen-elemen kunci manajemen teknologi di suatu industri
meliputi lima komponen yaitu : 1) identifikasi dan evaluasi mengenai opsi-opsi
30

teknologi, 2) manajemen litbang yang juga menentukan kelayakan suatu proyek,


3) integrasi teknologi ke dalam operasi perusahaan secara keseluruhan,
4) implementasi teknologi-teknologi baru pada suatu produk atau proses, dan
5) keusangan/obsolescence dan penggantian/replacement (Gaynor 1991, diacu
dalam Gumbira Said 2001).
Pengertian teknologi selama ini sering dikonotasikan sebagai peralatan
fisik yang digunakan oleh industri atau perusahaan untuk melakukan kegiatan
operasionalnya. Padahal, fasilitas fisik tersebut tidak akan bernilai apa-apa tanpa
campur tangan manusia dan kondisi lingkungan kerja. Teknologi secara utuh
terdiri dari empat komponen (Sharif 1993, diacu dalam Gumbira Said 2001) yaitu
1. Perangkat keras (fasilitas berwujud fisik), misalnya berupa mesin atau
peralatan yang digunakan dalam suatu industri. Komponen tersebut
disebut juga technoware yang memberdayakan fisik manusia dan
mengontrol kegiatan operasional transformasi.
2. Perangkat manusia (berwujud kemampuan manusia); misalnya
ketrampilan, pengetahuan, keahlian, dan kreativitas dalam mengelola
ketiga komponen teknologi lainnya di bidang agribisnis. Komponen
tersebut disebut juga humanware yang memberikan ide pemanfaatan
sumber daya alam dan teknologi untuk keperluan produksi.
3. Perangkat informasi (berwujud dokumen fakta); misalnya website di
internet, informasi yang diperoleh melalui media elektronik lain dan juga
media cetak. Komponen di atas disebut juga infoware yang mempercepat
proses pembelajaran, mempersingkat waktu operasional, dan penghematan
sumber daya.
4. Perangkat organisasi (berwujud kerangka kerja organisasi); misalnya
fasilitas kerja yang dibutuhkan, metode pendanaan, jaringan kerja.
Komponen tersebut disebut juga orgaware yang mengkoordinasikan
semua aktifitas produksi di suatu perusahaan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
31

2.2.2 Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)

Metode perbandingan eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode


untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak.
Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambilan keputusan
untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik
pada tahapan proses. MPE ini akan menghasilkan nilai alternatif yang
perbedaannya kontras. Langkah-langkah dalam menggunakan MPE sebagai
berikut :
a. Menyusun kriteria yang akan dikaji.
b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan
pada setiap kriteria keputusan.
c. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan
pada setiap kriteria keputusan.
d. Menentukan total skor pada setiap alternatif.
e. Mengurutkan total skor pada setiap alternatif
f. Mengurutkan total skor setiap alternatif dari nilai tertinggi sampai
nilai terendah.
Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam MPE adalah :

krit j
Skor 1 = Σ (Nilai ji) .................................................................... (1)

Skor i = nilai skor dari alternatif ke-1

Nilai ij = nilai dari alternatif ke-I pada kriteria ke-j


Krit j = Tingkat kepentingan kriteria ke-j
i = 1,2,3,.....,n : jumlah alternatif
j = 1,2,3,.....,m : Jumlah kriteria
m TKK j
Total nilai (Tni) = Σ (RK ij) ...................................................(2)
j=1
Keterangan :
RK ij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i
TKK j = derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j
n = jumlah pilihan keputusan
m = jumlah kriteria keputusan
32

Penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi


nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif,
semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif
keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena danya fungsi eksponensial.
Kelebihan Metode MPE :
1. Terukur, karena MPE memberikan suatu skala untuk mengukur hal-
hal yang menggambarkan nilai urutan prioritas menjadi besar (fungsi
eksponensial).
2. Tidak rumit, karena MPE mudah dimengerti bagi yang
menggunakannya untuk memecahkan suatu persoalan.
3. Konsisten, karena MPE melacak konsistensi logis dari alternatif-
alternatif yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas.
4. Penilaian dan konsensus, karena MPE tidak memaksakan konsensus,
dalam memperoleh hasil yang representatif dari berbagai penilaian
yang berbeda (Marimin 2005).
Kekurangan Metode MPE :
1. Hasil akhir untuk mengambil keputusan yang dihasilkan oleh MPE
diperoleh dari pertimbangan beberapa depertemen yang terkait,
tetapi sering yang menanggapi kuesioner bukan orang yang tepat.
2. Keputusan yang diambil dari responden yang lebih dari satu orang
pakar dengan pengalaman dan padangan/ilmu yang berbeda-beda
tentang obyek permasalahan dapat memberikan hasil bias (Marimin
2005).

2.3 Analisis Kelayakan Proyek Investasi

2.3.1 Definisi Proyek

Proyek didefinisikan sebagai rencana dan disain yang spesifik dan


merupakan kegiatan yang tidak berulang (Puri 1976, diacu dalam Marimin 1993).
Menurut Gittinger (1986), proyek adalah kegiatan usaha yang menggunakan
sumberdaya untuk memperoleh keuntungan atau manfaat. Perencanaan proyek
yang baik tergantung pada tersedianya berbagai informasi mengenai adanya
investasi yang potensial dan informasi mengenai pengaruhnya terhadap
33

pertumbuhan dan tujuan-tujuan lainnya. Analisis proyek menyediakan informasi


proyek-proyek yang dipilih untuk dilaksanakan lalu menjadi alat agar penggunaan
sumberdaya tersebut dapat menciptakan pendapatan.

2.3.2 Analisis Finansial

Analisis finansial merupakan suatu analisis yang membandingkan antara


biaya dengan manfaat yang diperoleh untuk menentukan apakah suatu proyek
akan menguntungkan selama proyek tersebut dijalankan/umur ekonomis proyek
(Gittinger 1986). Pada analisis finansial, variabel yang digunakan adalah harga riil
dari apa yang benar-benar terjadi. Analisis dilakukan dengan membuat aliran kas
atau jumlah pengeluaran dan jumlah penerimaan, baik yang telah terjadi maupun
yang diproyeksikan di masa mendatang.
Evaluasi manfaat dan biaya dimasa lalu, harus dikonversikan terlebih
dahulu dengan menggunakan compound factors yaitu (1+i)t. Sedangkan manfaat
dan biaya yang diproyeksikan di masa mendatang, dikonversikan kedalam nilai
saat ini atau present value dengan menggunakan discount factors (1+i)-t.
Selanjutnya dilakukan uji sensitivitas untuk menguji kelayakan finansial usaha.
Kriteria kelayakan usaha dilihat dari beberapa parameter yaitu Net Present Value
(NPV), rasio biaya manfaat (Benefit Cost Ratio/BCR), dan tingkat pengembalian
internal (Internal Rate of Return/IRR).
Analisis aliran kas dilakukan untuk mengetahui besarnya arus kas yang
diperoleh dari selisih manfaat dan biaya. Sedangkan nilai manfaat sekarang neto
(NPV) merupakan nilai selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai
sekarang penerimaan kas bersih di masa mendatang (Husnan dan Suwarsono,
1999).
Gittinger (1986) mengemukakan bahwa rasio manfaat biaya (BCR)
merupakan perbandingan antara Present Value manfaat dan Present Value biaya.
Jadi dengan kata lain, maka BCR dapat menunjukkan manfaat yang diperoleh
setiap penambahan satu rupiah pengeluaran.
Tingkat pengembalian internal (IRR) merupakan tingkat bunga maksimum
yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha untuk sumberdaya yang digunakan yang
dinyatakan dalam persen dan merupakan tolok ukur keberhasilan proyek
(Gittinger 1986). IRR adalah tingkat bunga yang membuat nilai NPV dari
34

kegiatan usaha sama dengan nol. Rincian formula masing-masing analisis


financial adalah sebagai berikut :

a. NPV (Net Present Value)

NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari keuntungan dan


biaya. Formulasi yang digunakan untuk menghitung NPV adalah:
n t
NPV = Σ (Bt - Ct) / (1 + i)
t =1
Keterangan : Bt = Penerimaan kotor tahun ke – t
N = Umur ekonomi
Ct = Biaya kotor tahun ke-t
I = tingkat suku bunga

b. Internal Rate of Return (IRR)

IRR tingkat investasi adalah tingkat suku bunga (discount rate) yang
menunjukkan nilai sekarang nettp (NPV) sama dengan jumlah keseluruhan
investasi proyek. Formulasi dari IRR adalah :
n t
Σ (Bt - Ct) / (1 + IRR) = 0
t =1
Keterangan : Bt = Keuntungan kotor tahun ke – t
N = Umur ekonomi
Ct = Biaya kotor tahun ke-t
Jika nilai Net B/C lebih besar dari satu maka proyek atau industri dinyatakan
layak (Husnan & Suwarsono 1999).

c. Waktu Pengembalian Modal (Payback Period)

Secara sederhana PBP dapat diartikan sebagai jangka waktu pada saat
NPV sama dengan nol. Formula PBP adalah :

PBP = Investasi awal X 1 Tahun


Penerimaan Periode
35

d. Analisis Sensitivitas

Apabila suatu rencana proyek sudah diputuskan untuk dilaksanakan


dengan didasarkan pada perhitungan-perhitungan dan hasil evaluasi (NPV, BC
Ratio, IRR), dalam kenyataannya terjadi perhitungan yang meleset yang
disebabkan oleh fluktuasi harga baik pada saat proyek ini mulai dikerjakan (in the
implementation stage) maupun pada saat proyek mulai berproduksi (in the
operation period). Dengan adanya kemungkinan tersebut harus diadakan analisis
kembali untuk mengetahui sampai dimanakah dapat dilakukan penyesuaian-
penyesuaian (adjustment) sehubungan dengan adanya perubahan tersebut.
Tindakan ini dinamakan analisis sensitivitas (Gittinger 1993).
Analisis sensitivitas adalah kegiatan meneliti kembali suatu analisis untuk
dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-
ubah. Tujuan dari analisis sensitivitas adalah untuk melihat apa yang akan terjadi
dengan hasil analisis proyek jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam
dasar-dasar perhitungan biaya dan benefit. Dalam analisis sensitivitas setiap
kemungkinan dicoba, yang berarti bahwa tiap kali harus diadakan analisis
kembali. Hal ini sangat penting, karena analisis proyek didasarkan pada proyeksi-
proyeksi yang mengandung ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu
yang akan datang.

e. Metode Peramalan

Kapasitas permintaan produk di pasar perlu diketahui terlebih dahulu


sebelum mengembangkan produk baru. Bila permintaan produk di masa depan
cukup memadai, perlu diperoleh gambaran situasi kecenderungan permintaan
produk tersebut di masa lampau hingga dewasa ini. Penyusunan perkiraan jumlah
permintaan produk pada masa operasi nantinya dilakukan dalam tiga tahap yaitu
(1) melakukan riset pasar dan pemasaran, (2) menyusun demand forecast produk
menggunakan metode demand forecast, dan (3) menyusun demand forecast akhir,
yang digunakan sebagai bahan masukan evaluasi aspek pemasaran serta
kegunaaan lainnya. Riset pasar dan pemasaran dapat dilakukan dengan
menganalisis data sekunder atau dengan melakukan pengamatan dan wawancara
36

dengan sumber data dan informasi yang kredibel dan pengumpulan data primer
lainnya (Sutojo 2000).
Sering terdapat waktu senjang (time lag) antara kesadaran akan peristiwa
atau kebutuhan mendatang dengan peristiwa itu sendiri. Adanya waktu tenggang
(lead time) ini merupakan alasan utama bagi perencanaan dan peramalan. Jika
waktu tenggang ini nol atau sangat kecil, maka perencanaan tidak diperlukan. Jika
waktu tenggang ini panjang dan hasil peristiwa akhir bergantung pada faktor-
faktor yang dapat diketahui, maka perencanaan dapat memegang peranan penting.
Dalam situasi seperti itu peramalan diperlukan untuk menetapkan kapan suatu
peristiwa akan terjadi atau timbul, sehingga tindakan yang tepat dapat dilakukan
(Makridakis et al. 1998).
Makridakis et al. (1998) juga menyatakan bahwa peramalan merupakan
bagian integral dari kegiatan pengambilan keputusan manajemen. Organisasi
selalu menentukan sasaran dan tujuan, berusaha menduga faktor-faktor
lingkungan, lalu memilih tindakan yang diharapkan akan menghasilkan
pencapaian sasaran dan tujuan tersebut. Kebutuhan akan peramalan meningkat
sejalan dengan usaha manajemen untuk mengurangi ketergantungannya pada hal-
hal yang belum pasti.
Peramalan memainkan peranan yang penting karena berkaitan dengan :
1. Penjadwalan sumber daya yang tersedia. Penggunaan sumber daya yang
efisien memerlukan penjadwalan produksi, transportasi, kas, personalia, dan
sebagainya. Input yang penting untuk penjadwalan seperti itu adalah ramalan
tingkat permintaan untuk produk, bahan, tenaga kerja, finansial, atau jasa
pelayanan.
2. Penyediaan sumber daya tambahan. Waktu tenggang untuk memperoleh
bahan baku, menerima pekerja baru, atau membeli mesin dan peralatan dapat
berkisar antara beberapa hari sampai beberapa tahun. Peramalan diperlukan
untuk menentukan kebutuhan sumber daya di masa mendatang.
3. Penentuan sumber daya yang diinginkan. Setiap organisasi harus menentukan
sumber daya yang ingin dimiliki dalam jangka panjang. Keputusan semacam
itu bergantung pada kesempatan pasar, faktor-faktor lingkungan, dan
pengembangan internal dari sumber daya finansial, manusia, produk, dan
37

teknologis. Semua penentuan ini memerlukan ramalan yang baik dan manajer
yang dapat menafsirkan pendugaan serta membuat keputusan yang tepat.
Menurut Russel dan Taylor (2003), pemilihan metode peramalan
tergantung kepada beberapa hal yaitu jangka waktu peramalan (time frame),
perilaku permintaan (behavior of demand), dan pola dari permintaan (tren,
musiman, dll). Lamanya jangka waktu yang akan diramal terdiri dari dua macam
yaitu jangka pendek (harian, mingguan, bulanan, sampai kurang lebih dua tahun
mendatang) dan jangka panjang (lebih dari dua tahun). Peramalan jangka pendek
biasanya digunakan untuk menentukan jadwal produksi dan delivery serta
mengatur jumlah persediaan. Sedangkan peramalan jangka panjang bersifat lebih
menyeluruh yang berkaitan dengan perencanaan strategik misalnya untuk
perencanaan produk, memasuki pasar baru, membangun fasilitas baru, mendesain
rantai pasokan dan implementasi program-program strategik contohnya Total
Quality Management (TQM).
Secara garis besar, metode peramalan dibagi menjadi tiga jenis yaitu
metode time series, metode regresi, dan metode kualitatif. Metode time series
mempertimbangkan data-data permintaan di masa lalu sehingga faktor yang lebih
diperhatikan adalah waktu. Metode ini berasumsi bahwa pola di masa lalu akan
terulang kembali di masa yang akan datang. Apabila keadaan pada masa yang
akan datang diperkirakan relatif stabil, maka metode trend linier akan
menghasilkan prakiraan yang cukup akurat.
Metode regresi mencoba untuk mengetahui dan membangun hubungan
matematis antara permintaan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam
bentuk regresi. Sedangkan metode kualitatif menggunakan opini, penilaian, dan
pengalaman dari orang-orang yang berkompeten untuk meramalkan permintaan di
masa mendatang (Russel & Taylor 2003).

2.4 Manajemen Strategis

2.4.1 Teori Manajemen Strategis

Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan


pencapaian sasaran suatu organisasi atau perusahaan, untuk itu pengelola
organisasi harus dapat mengantisipasi perubahan lingkungan yang sangat cepat
38

dewasa ini dan dapat menetapkan alternatif kebijakan yang akan diambil dalam
rangka penyesuaian dengan perubahan lingkungan tersebut. Dalam menghadapi
perubahan yang dihadapi maka seorang manajer strategi harus melakukan analisa
yang dalam terhadap semua sumber daya organisasi. Perubahan lingkungan juga
akan dihadapi oleh instansi pemerintahan sehingga memaksa mereka untuk dapat
melakukan penyesuaian dalam rangka menghadapi perubahan tersebut.
Menurut Jauch dan Glueck (1988), strategi merupakan suatu rencana yang
dipadukan secara menyeluruh dan terpadu dengan mengkaitkan keunggulan
strategi perusahaan terhadap tantangan lingkungan yang dirancang sesuai dengan
lingkungan, agar tujuan perusahaan dapat tercapai melalui pelaksanaan yang tepat
oleh perusahaan. Selanjutnya Jauch dan Glueck (1988) mengatakan untuk
menentukan strategi maka perlu analisis lingkungan. Analisis lingkungan adalah
suatu proses yang digunakan dalam perencanaan strategik dalam upaya memantau
sektor lingkungan untuk menentukan peluang dan ancaman terhadap usaha.
Purnomo dan Zulkieflimansyah (1999) merinci beberapa manfaat dari
manajemen strategi, yaitu :
1. Dapat menentukan batasan usaha/bisnis yang akan dilakukan
2. Membantu proses identifikasi, pemilihan prioritas, dan eksploitasi
3. Memberikan kerangka kerja sehingga dapat meningkatkan koordinasi dan
pengendalian
4. Mengarahkan dan membentuk budaya perusahaan
5. Kebijakan yang diambil akan taat azas
6. Mengintegrasikan perilaku individu ke dalam perilaku kolektif
7. Meminimalkan adanya resiko karena adanya perubahan
8. Menciptakan kerangka kerja dalam komunikasi internal
9. Memberikan disiplin dan formalitas manajemen
Tahap kegiatan manajemen strategi menurut Wheelan dan David (2000)
dalam Sihkadarmanti (2006) mencakup empat tahap, yaitu :
1. Environmental scanning, yaitu melakukan monitoring, menghimpun dan
evaluasi terhadap faktor-faktor lingkungan internal dan lingkungan eksternal
yang mempengaruhi perusahaan atau organisasi.
2. Formulasi strategi, yaitu menyusun suatu perencanaan dengan prinsip
manajemen yang efektif berdasarkan analisa terhadap ancaman dan peluang
39

kemudian meminimalkan ancaman dan memanfaatkan peluang. Selanjutnya


dilakukan analisa terhadap kekuatan dan kelemahan dan berupaya seoptimal
mungkin untuk memanfaatkan kekuatan serta mengeliminir kelemahan. Dalam
kegiatan ini termasuk mendefinisikan misi perusahaan, menetapkan tujuan
yang spesifik, menyusun strategi dan menciptakan kebijakan yang dapat
mendukung pencapaian sasaran.
3. Implementasi strategi, yaitu dalam hal ini strategi dan kebijakan yang dibuat
kemudian dijabarkan ke dalam suatu program, anggaran pendanaan dan
membuat uraian tugas.
4. Evaluasi dan kontrol, yang merupakan kegiatan monitoring terhadap
pelaksanaan dan melakukan tindakan korektif bila ditemukan penyimpangan.
Dari hasil analisis lingkungan dapat ditentukan formulasi strategi, yaitu
merupakan cara atau arah suatu perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kemudian menurut Certo dan Peter dalam Purnomo dan
Zulkieflimansyah (1999), bahwa sebelum menentukan formulasi strategi, maka
beberapa pertanyaaan mendasar yang harus dijawab oleh manajer perusahaan,
dimana pertanyaaan tersebut harus mampu menyediakan kerangka umum untuk
menganalisa situasi perusahaan-perusahaan secara obyektif sehingga dapat
menentukan formulasi strategi secara efektif.

2.4.2 Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal

Tujuan dilakukan analisis lingkungan menurut Purnomo dan


Zulkieflimansyah (1999) adalah untuk menilai lingkungan organisasi yang berada
di dalam (internal) atau di luar (eksternal) suatu organisasi/perusahaan yang
mempengaruhi kemajuan organisasi tersebut dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Lingkungan eksternal adalah segala kekuatan yang berada di luar
organisasi/perusahaan, yang mana pengaruh perusahaan tidak ada sama sekali.
Lingkungan eksternal organisasi/perusahan sangat berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan dalam suatu industri. Lingkungan eksternal tersebut terdiri dari
lingkungan umum dan lingkungan industri. Lingkungan umum merupakan suatu
lingkungan eksternal suatu organisasi yang ruang lingkupnya luas. Faktor-faktor
yang termasuk dalam lingkungan umum ini antara lain faktor ekonomi, faktor
sosial, faktor politik dan hukum, dan faktor teknologi.
40

Lingkungan internal suatu organisasi/perusahaan merupakan hasil analisa


dari nilai atau identifikasi segala faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi.
Suatu organisasi/perusahaan merupakan kumpulan dari berbagai macam sumber
daya, kapabilitas dan kompetensi yang dapat digunakan untuk membentuk posisi
pasar tertentu. Analisis lingkungan mencakup analisis sumber daya, kapabilitas
dan kompetensi yang dimiliki yang mampu memanfaatkan peluang dengan cara
efektif dan secara bersama mampu mengatasi ancaman.

2.4.3 Analisis Matrik SWOT

Analisis matrik SWOT merupakan salah satu alat analisis yang dapat
menggambarkan secara jelas keadaan yang dihadapi oleh perusahaan. Rangkuti
(2000) menyatakan analisis SWOT adalah mengidentifikasi berbagai faktor yang
secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika untuk
memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang ada dan secara
bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan ancaman yang timbul yag
berasal dari intern dan ekstern perusahaan.
Alat analisis untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahan dengan
menggunakan matrik SWOT dapat menggambarkan dengan jelas peluang dan
ancaman dari luar yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki perusahaan. Matrik ini menghasilkan empat set alternatif
strategis, yaitu strategi SO, strategi ST, strategi WO, dan strategi WT.

2.5 Perencanaan Industri

2.5.1 Teori Perencanaan Industri

Perencanaan suatu industri terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap


persiapan, tahap konstruksi, tahap implementasi dan tahap operasi. Tahap
persiapan meliputi formulasi ide, prastudi kelayakan dan penyiapan dana
(financing phase). Tahap implementasi merupakan tahap konstruksi, sedangkan
tahap operasi meliputi tahap uji coba operasi dan tahap operasi secara penuh
(Unido 1978, diacu dalam Marimin 1993). Prastudi kelayakan merupakan proses
persiapan dan perkembangan proyek, memberikan laporan tentang proyek-proyek
yang potensial, serta pendekatan mengenai biaya proyek dan faktor-faktor yang
41

diduga mempunyai dampak terhadap usaha yang diusulkan. Tujuan prastudi


kelayakan adalah untuk memberikan fakta-fakta yang digunakan pada proses
pembuatan keputusan dalam rangka menyediakan sumber daya yang lebih untuk
penyelidikan lebih jauh dan persiapan studi kelayakan (Puri 1976, diacu dalam
Marimin 1993).
Menurut Simarmata (1984) dalam Marimin (1993), proses perencanaan
industri meliputi tahap prakonstruksi, tahap konstruksi dan tahap operasi. Studi
kelayakan merupakan bagian dari suatu proyek investasi dan merupakan langkah
terakhir prakonstruksi. Firman dan Martin (1982) dalam Marimin (1993)
menyatakan bahwa tahapan perencanaan proyek meliputi (1) Identifikasi dan
pembatasan proyek, (2) Perumusan persiapan dan analisis, (3) Perancangan atau
disain, (4) Penganggaran, (5) Penggiatan dan pengorganisasian, (6) Pelaksanaan,
(7) Pengawasan dan pencatatan, dan (8) Penilaian dan tindakan lanjut.
Kotler (1997) menyatakan bahwa secara mikro, strategi pengembangan
industri harus memperhatikan fungsi-fungsi di dalam industri, yaitu fungsi
finansial, pemasaran, teknologi, persediaan, sumberdaya manusia dan manufaktur.
Sutojo (2000) menambahkan bahwa evaluasi proyek meliputi aspek pasar, aspek
teknis dan teknologis, aspek manajemen operasi proyek dan aspek ekonomis
keuangan. Edris (1983) dalam Risnandar (2002) menyatakan bahwa studi
kelayakan industri merupakan suatu analisis yang sistematis dan mendalam atas
setiap faktor yang ada pengaruhnya terhadap kemungkinan proyek mencapai
sukses atau sintesis dari berbagai macam aspek yang terpisah-pisah, yang
mencakup aspek pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek manajemen
operasional dan aspek finansial.

2.5.2 Metode Proses Hierarki Analisis (AHP)

Metode AHP membantu membuat keputusan untuk memecahkan masalah


yang kompleks dan banyak kriteria. AHP mempunyai prinsip-prinsip
dekomposisi, nilai perbandingan (comparative judgment) dan sisntesis prioritas
(syntesis of priorities). Langkah-langkah pemecahan masalah menggunakan AHP
dan pemakaianya (Saaty 1993) sebagai berikut :
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
42

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum,


dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan alternatif-alternatif pada
level hirearki paling bawah (proses dekomposisi).
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan.
4. Menghitung nilai pembobot keseluruhan hirearki dan menentukan
rangking alternatif dari pembobot yang didapatkan.
5. Memeriksa konsistensi matrik penilaian.
6. Mencari nilai pembobot keseluruhan hirearki dan menentukan
rangking alternatif dari pembobot yang didapatkan.
7. Mengkalikan nilai pembobot alternatif dengan pembobot kriteria.
8. Memilih nilai pembobot alternatif paling tinggi dari hasil perkalian
tersebut.

Tabel 5 Nilai dan Definisi Skala Perbandingan Pada AHP


Nilai Keterangan
1 Kriteria/alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 A mutlak lebih penting dari B
2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Nilai perbandingan A dengan B adalah satu (1) dibagi dengan nilai perbandingan
B dengan A.

2.6 Profil Kabupaten Bogor

2.6.1 Geografi

Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara 6º18”0” - 6º47”10”


Lintang Selatan dan 106º 23”45” - 107º 13”30” Bujur Timur, yang berdekatan
dengan Ibukota Negara sebagai pusat pemerintahan. Kabupaten Bogor
mempunyai luas sekitar 298.838,304 Ha. Wilayah ini berbatasan dengan : Sebelah
Utara : Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten/Kota Bekasi, dan
Kota Depok ; Sebelah Barat : Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) ; Sebelah
Timur : Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta ;
Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur ; Sebelah Tengah:
Kotamadya Bogor.
43

Tipe morfologi wilayah Kabupaten Bogor terdiri dari dataran yang relatif
rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, dengan 6 daerah
aliran sungai (DAS) yang membentang dan mengalir dari daerah pegunungan di
bagian selatan ke arah utara. Sebagian besar morfologi tersebut berupa dataran
tinggi, perbukitan, dan pegunungan dengan batuan penyusun didominasi oleh
hasil letusan gunung. Jenis tanah yang dimiliki cukup subur untuk kegiatan
pertanian, perkebunan dan kehutanan, namun karena jenis tanah penutup
didominasi oleh material vulkanik lepas yang agak peka dan sangat peka terhadap
erosi sehingga beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor. Kondisi morfologi
ini menunjang fungsi sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor sebagai wilayah
lindung (non budidaya dan budidaya terbatas) dan wilayah yang dapat digunakan
untuk kegiatan budidaya terbatas yakni wilayah dataran rendah bagian utara.
Dilihat dari sisi klimatologis, terdapat kestabilan kualitas lingkungan yang
ditandai dengan tidak adanya perubahan yang berarti pada temparatur udara (20º -
30º C) atau rata-rata tahunan sebesar 25º C.

2.6.2 Pemerintahan

Dilihat dari sisi administrasi pemerintahan Kabupaten Bogor relatif sudah


mapan. Hal ini disebabkan telah dilaksanakannya beberapa arah kebijakan
pemerintahan yang ada, yang dijabarkan dengan Perda maupun Surat Keputusan
serta Instruksi Bupati.
Kabupaten Bogor memiliki 411 desa dan 17 kelurahan (428
desa/kelurahan), 3 639 RW dan 14 403 RT yang tercakup dalam 40 kecamatan.
Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah
adanya hasil pemekaran 5 (lima) kecamatan ditahun 2005, yaitu Kecamatan
Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjung Sari
(pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari
Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan
Bojonggede), dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea).
Pada akhir tahun 2006 telah dibentuk pula sebuah desa baru, yaitu Desa Wirajaya,
sebagai pemekaran dari Desa Curug Kecamatan Jasinga.
44

2.6.3 Demografi

Menurut data Sensus Daerah (SUSDA) tahun 2006 jumlah penduduk


Kabupaten Bogor sebesar 4 215 585 jiwa dan berdasarkan penyempurnaan hasil
SUSDA melalui Coklit 2007 jumlah penduduk Kabupaten Bogor telah mencapai
4 237 962 jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 2 988.38 km2 sehingga
secara rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 1 418 jiwa per
km2. Akibat tingginya laju pertumbuhan alami dan migrasi masuk ke Kabupaten
Bogor, laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Kabupaten Bogor selama periode
2000 – 2007 rata-rata telah mencapai 4% per tahun.

2.6.4 Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan

2.6.4.1 Visi dan Misi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten


Bogor Tahun 2005 – 2025 yang berisi visi, misi, dan arah pembangunan
merupakan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Bogor di dalam
penyelenggaraan pembangunan daerah 20 tahun kedepan. Visi pembangunan
Kabupaten Bogor tahun 2005 – 2025 adalah ”Kabupaten Bogor Maju dan
Sejahtera Berlandaskan Iman dan Takwa”.
Kabupaten Bogor disamping itu memiliki misi pembangunan jangka
panjang pertama untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Misi
kedua adalah untuk mewujudkan perekonomian rakyat yang maju. Misi ketiga
adalah untuk mewujudkan Kabupaten Bogor yang TEGAR BERIMAN (Tertib,
Segar, Bersih, Indah, Aman, dan Nyaman) dan berkelanjutan, dan misi keempat
adalah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

2.6.4.2 Strategi dan Arah Kebijakan

a. Sektor Pertanian

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB pada semester I tahun 2007


sebesar Rp 1 223.01 milyar dan Semester II meningkat menjadi Rp 1 307.20
milyar atau 4.9% terhadap total PDRB Kabupaten Bogor, padahal kontribusi
sektor pertanian terhadap total PDRB masih berkisar 9.01% pada tahun 2005.
Komposisi sumbangan hasil pertanian terhadap PDRB ini terdiri dari sub sektor
45

tanaman bahan makanan senilai 52.6%, tanaman perkebunan senilai 4.5%,


peternakan dan hasil-hasilnya senilai 36.4%, kehutanan senilai 0.3%, dan
perikanan senilai 6.2% terhadap total PDRB sektor pertanian. Sedangkan Jumlah
penduduk di Kabupaten Bogor yang bekerja pada sektor pertanian kurang lebih
72 221 orang atau hanya sekitar 5.95%.
Pertanian di Kabupaten Bogor terdiri dari pertanian pangan, sayuran dan
hortikultura, dan perkebunan. Tanaman pangan padi menyebar hampir di semua
kecamatan, dengan variasi luasan yang berbeda. Padi sawah terdapat di
Kecamatan diantaranya di Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan,
Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur, Cariu, dan lainnya.
Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa kecamatan dalam luasan
terbatas. Produktivitas tanaman padi sawah adalah berkisar 4 – 5 ton per Ha,
sedangkan produktivitas padi gogo 2 – 3 ton per Ha.

b. Sektor Tanaman Pangan dan Holtikultura

Kontribusi sub sektor ini terhadap total PDRB sektor pertanian menduduki
peringkat pertama dibanding sub sektor lainnya yakni senilai 52.6%.
Sumbangannya sendiri terhadap total PDRB Kabupaten Bogor tahun 2007 senilai
2.6%. Kendala utama dalam komoditas lahan kering (semusim dan tahunan)
adalah masih rendahnya produktivitas yang terkait dengan manajemen usaha tani,
dan pemasaran. Khususnya untuk tanaman buah, sebenarnya ada varietas lokal
yang sudah dikenal tapi produksi masih rendah. Upaya pengembangan komoditas
komoditas bersifat lokal perlu dilakukan.

c. Sektor Peternakan

Kabupaten Bogor memiliki potensi cukup baik di bidang peternakan.


Kontribusi sub sektor peternakan terhadap total PDRB Kabupaten Bogor tahun
2007 senilai 1.8%. Perkembangan populasi ruminansia dan unggas pada
umumnya meningkat setiap tahun, terutama berkembang di Bogor Barat dan
Bogor Timur, yang didukung oleh sumber daya alamnya sebagai daerah pertanian
yang sangat sesuai untuk berkembangnya kegiatan usaha peternakan, terutama
dipandang dari segi ketersediaan pakan, dimana kegiatan usaha tersebut
46

merupakan kegiatan yang saling bersinergi. Produksi peternakan berupa daging,


telur, dan susu pada kurun waktu 5 tahun (2000 – 2005) rata-rata peningkatan per
tahun untuk daging 9.25%, telur 1.01% dan susu 5. 90%.

d. Sektor Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Bogor mempunyai daerah kawasan hutan yang terdiri dari


hutan lindung atau produksi. Daerah hutan lindung umumnya terdapat di daerah
dataran tinggi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sedangkan hutan
produksi relatif terbatas dan menyebar terutama di daerah Cigudeg dan
Klapanunggal. Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor seluas 84 047.02 Ha atau
sebesar 28.12% dari luas seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan
fungsinya sebesar 8.67% atau sebesar 25 912.29 Ha merupakan Hutan Produksi
dan sisanya sebesar 19.45% atau sebesar 58 134.73 Ha merupakan Hutan
Lindung. Daerah kawasan hutan tersebut saat ini cenderung berkurang tutupan
hutannya. Dari data citra Landsat 1999, diketahui kawasan yang bervegetasi hutan
adalah seluas 110 720.03 ha atau 37.05%, sedangkan sisanya sebesar 62.95% atau
188 118.27 Ha merupakan kawasan hutan yang tidak berhutan (non hutan yang
merupakan sawah, pemukiman, tegalan, tanah terbuka), semak dan belukar. Jika
dilihat kondisi citra landsat 2002 (Marisan 2006), maka daerah kawasan lindung
yang berhutan tinggal 60%, sedangkan daerah berhutan di kawasan hutan
produksi tinggal 20%. Kontribusi sub sektor kehutanan tidak besar dibanding sub
sektor lainnya terhadap total PDRB tahun 2007 hanya senilai 0.01%.

e. Sektor Perikanan dan Kelautan

Usaha perikanan di Kabupaten Bogor cukup potensial untuk


dikembangkan, baik budidaya ikan hias, pembenihan, maupun pembesaran ikan
konsumsi. Untuk ikan konsumsi antara lain : mas, lele, nila, gurame, dan patin,
yang dapat dikembangkan hampir di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor. Saat
ini perkembangan usaha perikanan terutama di Bogor Barat dan sebagian wilayah
Bogor Tengah. Produksi perikanan pada kurun waktu 5 tahun (2000 – 2005) rata-
rata peningkatannya per tahun untuk ikan hias 7%, ikan konsumsi 4%, benih ikan
3%. Produksi ikan konsumsi diperoleh dari cabang usaha Kolam Air Tenang
47

61.74%, Kolam Air Deras 27.89%, Perikanan Sawah 6.84%, Jaring Apung
1.44%, Karamba 0.62% dan Perikanan Tangkap di Perairan Umum 1.34%.
Sumbangan sub sektor perikanan terhadap PDRB sektor pertanian
menduduki peringkat ketiga setelah sub sektor tanaman bahan makanan dan
peternakan atau 6.2%, sedangkan kontribusinya terhadap total PDRB Kabupaten
Bogor tahun 2007 hanya senilai 0.3% saja. Gambaran umum potensi perikanan
diatas dapat menjadi pendorong bagi calon investor untuk membuka usaha
perikanan, baik komoditas ikan hias, usaha pembenihan maupun pembesaran ikan
konsumsi. Untuk usha budidaya pembesaran ikan konsumsi peluang besar
terutama masih terdapat pada cabang usaha perikanan Kolam Air Tenang (KAT)
dan cabang usaha Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan umum (setu).

f. Sektor Industri dan Perdagangan

Pembangunan industri telah mampu mendorong peningkatan laju


pertumbuhan ekonomi serta menjadi penggerak perkembangan pembangunan
daerah. Hal ini juga membuka peluang perluasan kesempatan kerja bagi
masyarakat. Sektor industri merupakan komponen utama pembangunan daerah
yang mampu memberikan kontribusi ekonomi yang cukup besar, tingkat
penyerapan tenaga kerja yang banyak, dan terjadinya transformasi kultural daerah
menuju ke arah modernisasi kehidupan masyarakat.
Kinerja sektor industri pada tahun 2007, dengan nilai investasi
Rp2 158 725 511 039.00 menyerap 80 280 orang tenaga kerja terdiri dari 62 305
orang pada industri menengah dan besar dan 17 975 orang pada industri kecil,
dengan kontribusi sebesar 64.41% terhadap PDRB tahun 2007 (merupakan sektor
dengan kontribusi tertinggi). Kendala utama dalam pembangunan industri adalah
dukungan infrastruktur masih belum memadai terutama jalan, dan terminal (dry
port), rendahnya kemampuan dalam pengembangan teknologi, rendahnya
kemampuan dan keterampilan sumber daya industri serta pencemaran limbah
industri. Potensi industri Kabupaten Bogor selama kurun waktu 5 tahun
mengalami peningkatan. Nilai Investasi pada tahun 2001 sebesar
Rp1 601 477 936 000.00 sedangkan tahun 2005 meningkat menjadi
Rp2 151 193 861 415.00 Jumlah unit usaha di sektor industri hingga tahun 2005
48

sebesar 1 783 buah terdiri dari 538 buah usaha menengah dan besar serta 1 245
unit usaha kecil.
Sumbangan sektor perdagangan, hotel, dan restoran terhadap PDRB tahun
2007 sebesar 15.5%. Untuk sub sektor perdagangan 82.07% terhadap proporsi
PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran tahun 2007. Pengembangan
perdagangan di Kabupaten Bogor difokuskan pada pengembangan sistem
distribusi barang dan peningkatan akses pasar baik pasar dalam negeri maupun
pasar luar negeri. Bila dilihat dari pertumbuhan setiap sektor usaha di Kabupaten
Bogor, sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki tingkat pertumbuhan
terbesar kedua setelah sektor industri pada tahun 2005, yaitu sebesar 8.01 %.

g. Pengembangan Dunia Usaha

Realisasi kegiatan penanaman modal yang telah mendapat persetujuan


sampai dengan tahun 2007 adalah sebanyak 388 perusahaan PMA dengan nilai
investasi US$ 9 064 562 826 358.00 sedangkan untuk PMDN berjumlah 187
perusahaan dengan nilai investasi Rp5 555 733 117 530.00 Apabila didasarkan
pada jenis usahanya, terdapat 33 usaha primer PMA dengan nilai investasi
Rp1 045 148 937 200.00 ; 300 usaha sekunder pada PMA dengan nilai investasi
sebesar Rp6 819 616 078 958.00 dan US$ 1 795 681.57, sedangkan untuk jenis
usaha tersier PMA sebanyak 55 perusahaan dengan nilai investasi sebesar
Rp23 881 600 000.00 dan US$ 1 811 400.00 Sedangkan untuk PMDN, terdapat 8
usaha primer dengan nilai investasi sebesar Rp67 942 057 991.00, 162 sekunder
dengan nilai investasi sebesar Rp1 390 660 605 025.00 dan 17 usaha tersier
dengan nilai investasi sebesar Rp256 303 341 936.00.

h. Sektor Pariwisata

Potensi pariwisata di Kabupaten Bogor cukup menjanjikan, namun belum


dikelola secara optimal, proporsional, dan profesional, serta belum ditempatkan
sebagai kegiatan industri pariwisata. Potensi pariwisata yang saat ini dimiliki oleh
Kabupaten Bogor antara lain : wisata alam, wisata budaya, dan wisata belanja.
Kawasan Puncak (di sepanjang koridor jalan) pada waktu-waktu tertentu menjadi
daya tarik wisata. Hal ini terlihat dari kunjungan wisatawan domestik (sebagian
49

besar berasal dari penduduk Kota Jakarta) yang jumlahnya cukup signifikan,
terutama pada waktu akhir pekan atau libur nasional. Upaya yang sudah dilakukan
oleh Pemerintah Daerah dan para pelaku pariwisata belum memberikan dampak
signifikan terhadap kemajuan industri pariwisata Kabupaten Bogor. Jumlah
kunjungan wisatawan tahun 2007 sebanyak 2 120 019 orang, yang terdiri dari
96.86% wisatawan nusantara dan 1.13% wisatawan asing.

i. Pertambangan dan Energi

Kabupaten Bogor mempunyai sumberdaya galian baik non logam maupun


logam. Untuk bahan non logam terutama untuk galian C, berupa bahan piroklastik
dan lava atau batuan terobosan dari gunung berapi, yang menghasilkan bahan
seperti pasir gunung, tanah urug, zeolit, dan seterusnya. Sedangkan bahan galian
logam yang utama adalah emas. Bahan galian non logam ini menyebar terutama
di bagian barat dan timur kabupaten, dan sangat sedikit di bagian tengah.
Sedangkan bahan galian logam seperti emas dan besi menyebar di daerah Bogor
Barat di sekitar Nanggung dan Leuwiliang.
Kontribusi lapangan usaha pertambangan dan penggalian terhadap PDRB
Kabupaten Bogor tahun 2007 senilai 1.16%, dengan komposisi sub sektor migas
0.2%, pertambangan non migas 50.2%, dan penggalian 49.6% terhadap PDRB
sektor pertambangan dan penggalian.
50

III METODOLOGI

3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

3.1.1 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala

a. Penentuan Kriteria dan Alternatif :


Diperlukan data primer berupa kriteria yang digunakan dalam pemilihan
produk unggulan dan alternatif produk unggulan atau data produk olahan
minyak pala, melalui wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden
pakar, serta studi literatur.
b. Pemilihan alternatif
Dilakukan justifikasi melalui penentuan bobot tiap aternatif berdasarkan
kepentingannya melalui pengisian kuesioner, dan menyeleksi bobot.
c. Pemilihan kriteria
Pengolahan data hasil pengisian kuesioner dengan menggunakan teknik
Metode Perbandingan Eksponensial melalui pembobotan kriteria
berdasarkan alternatifnya serta penggabungan pendapat pakar.
Pihak-pihak yang dimintakan pendapat dan saran sebagai pakar adalah
sebagai berikut :
(1) Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Bogor, (2) Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor, (3) Anggota Komisi B di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Bogor (4) Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Bogor, dan (5) Peneliti Utama pada Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.

3.1.2 Penentuan Produk Olahan Unggulan Minyak Pala

a. Penentuan Kriteria dan Alternatif :


Diperlukan data primer berupa kriteria yang digunakan dalam pemilihan
lokasi industri, alternatif lokasi sesuai kriteria berupa profil kecamatan,
dan data luas dan produksi kebun pala rakyat di Kabupaten Bogor melalui
wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden pakar, serta studi
literatur.
51

b. Pemilihan Alternatif
Dilakukan justifikasi melalui penentuan bobot tiap aternatif berdasarkan
kepentingannya melalui pengisian kuesioner, dan menyeleksi bobot.
c. Pemilihan kriteria
Pengolahan data hasil pengisian kuesioner dengan menggunakan teknik
Metode Perbandingan Eksponensial melalui pembobotan kriteria
berdasarkan alternatifnya serta penggabungan pendapat pakar.
Pihak-pihak yang dimintakan pendapat dan saran sebagai pakar, sesuai
kegiatan penelitian pada point 3.2.1

3.1.3 Penentuan Lokasi Industri Produk Olahan Unggulan Minyak Pala

a. Penentuan Kriteria dan Alternatif :


Diperlukan data primer berupa kriteria yang digunakan dalam pemilihan
metode destilasi dan alternatif metode sesuai kriteria, melalui wawancara
dan pengisian kuesioner oleh responden pakar, serta studi literatur.
b. Pemilihan alternatif
Dilakukan justifikasi melalui penentuan bobot tiap aternatif berdasarkan
kepentingannya melalui pengisian kuesioner, dan menyeleksi bobot.
c. Pemilian kriteria
Pengolahan data dengan menggunakan teknik MPE melalui pembobotan
kriteria berdasarkan alternatifnya serta penggabungan pendapat pakar.
Pihak yang dimintakan pendapat dan saran sebagai pakar untuk
mengidentifikasi macam metode destilasi serta pemilihan alternatif metode
destilasi paling sesuai, yakni salah seorang peneliti pada Balai Besar Industri
Agro (BBIA) dan Peneliti Utama pada Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.

3.1.4 Analisis Kelayakan Industri Produk Olahan Minyak Pala

a. Kelayakan Finansial
Diperlukan data sekunder seperti kapasitas produksi, kebutuhan bahan
baku, jumlah tenaga kerja, fasilitas pendukung, dan proyeksi harga-harga,
serta asumsi-asumsi yang menjadi dasar perhitungan proyek, melalui
telaah literatur dengan menggunakan teknik analisis finansial terdiri dari
52

penentuan komponen cashflow industri dan asumsinya, menghitung IRR,


NPV, B/C Ratio, BEP, serta analisis sensitivitas.
b. Peluang Pasar, Infrastruktur, dan SDM
Diperlukan data sekunder melalui telaah literatur dengan menggunakan
teknik peramalan dan deskriptif.

3.1.5 Penentuan Posisi Industri Produk Olahan Minyak Pala

Diperlukan data primer yaitu faktor-faktor internal kekuatan dan


kelemahan serta faktor-faktor eksternal peluang dan ancaman melalui pengisian
kuesioner oleh Pakar dalam rangka Evaluasi Faktor Internal (IFE) dan Evaluasi
Faktor Eksternal (EFE) dan menentukan bobot dan rating.
Pihak yang dimintakan pendapat dan saran sebagai pakar untuk
mengidentifikasi faktor internal dan eksternal, yakni seorang Peneliti pada Balai
Besar Industri Agro, Manager Teknik Laboratorium Pengujian Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik, serta Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Aneka Tanaman Industri.

3.1.6 Perumusan Strategi Sesuai dengan Posisi Industri

Diperlukan data primer berupa faktor internal dan eksternal industri dari
hasil pengisian kuesioner dan analisa peneliti dengan menggunakan metode
SWOT (alternatif SO, ST, WO, dan WT), sehingga diperoleh hasil pengolahan
IFE dan EFE.

3.1.7 Pemilihan Strategi Prioritas

Diperlukan data primer berupa penentuan sasaran (goal), faktor, tujuan,


strategi, dan data penilaian responden pakar terhadap tingkat pengaruh masing-
masing elemen, melalui pengisian kuesioner dan wawancara dengan Pakar.
Melalui teknik AHP dibantu Expert Choice diperoleh hasil pengolahan berupa
prioritas strategi yang diperlukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
Kabupaten Bogor melalui pengembangan industri produk olahan minyak pala.
Pihak-pihak yang dimintakan pendapat dan saran sebagai pakar dalam rangka
pemilihan prioritas strategi, sesuai kegiatan penelitian pada point 2.1.
53

Tabel 6 Tahap Penelitian Berdasarkan Target Keluaran


Tujuan Kegiatan Penelitian Tipe dan Sumber Teknik Target Ouput
Penelitian Data Pengolahan
Data
1. Penentuan metode
destilasi.

a. Menentukan Data Primer Merangkum Kriteria &


berbagai kriteria dan melalui pengisian hasil hasil alternatif
alternatif metode kuesioner dengan kuesioner dan metode destilasi
destilasi minyak pakar dan data menelaah data minyak pala
pala: sekunder melalui literatur
telaah literatur
b. Memilih alternatif Data Primer Justifikassi Berbagai kriteria
dengan pembobotan melalui pengisian dan alternatif
kuesioner oleh memiliki bobot
Pakar & terseleksi
c. Memilih kriteria Data primer dan MPE dan Metode
berdasarkan sekunder melalui penggabungan destilasi
Tujuan 1
Menentukan alternatifnya pengisian pendapat pakar minyak pala
bahan baku masing-maing kuesioner, terpilih,
minyak pala wawancara dan
yang baik bagi telaah literatur
industri 2. Penentuan produk
produk olahan olahan unggulan
unggulan minyak pala
minyak pala di a. Menentukan Data Primer Merangkum Kriteria &
lokasi yang berbagai kriteria dan melalui pengisian hasil hasil alternatif produk
potensial di alternatif produk kuesioner dengan kuesioner dan olahan minyak
Kabupaten olahan minyak pala pakar dan data menelaah data pala
Bogor sekunder melalui literatur
telaah literatur
b. Memilih alternatif Data Primer Justifikassi Berbagai kriteria
dengan pembobotan melalui pengisian dan alternatif
kuesioner oleh memiliki bobot
Pakar & terseleksi

c. Memilih kriteria Data primer dan MPE dan Produk olahan


berdasarkan sekunder melalui penggabungan unggulan
alternatifnya pengisian pendapat pakar minyak pala
masing-maing kuesioner, terpilih.
wawancara dan
telaah literatur
3. Penentuan lokasi
industri yang
berpotensi
a. Menentukan berbagai Data Primer Merangkum Kriteria &
kriteria dan alternatif melalui pengisian hasil hasil alternatif lokasi
lokasi industri kuesioner dengan kuesioner dan industri
pakar dan data menelaah data
sekunder melalui literatur
telaah literatur
b. Memilih alternatif Data Primer Justifikasi Berbagai kriteria
dengan pembobotan melalui pengisian dan alternatif
kuesioner oleh memiliki bobot
Pakar & terseleksi
c. Memilih kriteria Data primer dan MPE dan Lokasi industri
berdasarkan sekunder melalui penggabungan terpilih.
alternatifnya pengisian pendapat pakar
masing-maing kuesioner,
wawancara dan
telaah literatur
54

Tabel 6 Tahap Penelitian Berdasarkan Target Keluaran (lanjutan)


Tujuan Kegiatan Penelitian Tipe dan Sumber Teknik Target Ouput
Penelitian Data Pengolahan
Data
4. Menganalisis
kelayakan industri
Tujuan 2
produk olahan
Menganalisis
minyak pala
kelayakan dan
a. Menganalisis Data sekunder Cashflow, IRR, Kelayakan
potensi usaha
kelayakan financial melalui telaah NPV, B/C Ratio, financial industri
pengembangan
literatur. BEP, & analisis produk olahan
industri
sensitivitas. minyak pala
produk olahan
minyak pala di b. Menentukan peluang Data sekunder Peramalan dan Kelayakan non
Kabupaten pasar, infrastruktur melalui telaah deskriptif financial industri
Bogor. dan SDM literatur. produk olahan
minyak pala
5. Menentukan posisi Data primer Matrik Internal Evaluasi faktor
industri produk melalui pengisian dan Eksternal internal (IFE)
olahan minyak pala kuesioner dan dan eksternal
wawancara dengan (EFE) dan
pakar penentuan bobot
Tujuan 3
rating
Merumuskan 6. Merumuskan strategi Data primer dari Metode SWOT Hasil
strategi sesuai dengan posisi hasil analisa dan (alternatif SO, pengolahan IFE
pengembangan industri produk intuisi peneliti ST, WO, dan dan EFE
industri olahan minyak pala WT)
produk olahan 7. Memilih strategi Data primer AHP dibantu Aktor, faktor,
minyak pala prioritas dalam melalui pengisian dengan Expert tujuan, dan
di Kabupaten pengembangan kuesioner dan Choice 2000 alternatif
Bogor. industri produk wawancara dengan strategi,
olahan minyak pala pakar pembobotan
masing-masing,
serta hasil
pengolahan
SWOT dan hasil
wawancara

3.2 Pengumpulan Data

Dalam membahas dan menganalisis masalah pada kajian ini dibutuhkan


data primer dan sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data
yang digunakan adalah :
1. Data produk olahan minyak pala yang digunakan untuk menentukan pilihan
terhadap produk olahan dari minyak pala.
2. Data produksi dan lokasi berupa luas lahan dan potensi lahan kebun pala per
kecamatan
3. Data mengenai metode berupa pilihan metode dalam destilasi minyak pala,
kelebihan dan kekurangan masing-masing metode.
4. Data finansial berupa biaya investasi industri, biaya-biaya produksi,
pemasaran dan administrasi, penyusutan dan sebagainya.
55

5. Data penduduk wanita usia 15 – 64 tahun di Kabupaten Bogor, data jumlah


apotik, salon, dan klinik kecantikan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.
6. Data potensi minyak atsiri di Kabupaten Bogor, data perkembangan industri
dan jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri di Kabupaten Bogor.
7. Data kontribusi masing-masing sektor terhadap PDRB atas dasar harga
berlaku dan harga konstan di Kabupaten Bogor.

Pengembangan Kabupaten Bogor

Strategi pengembangan Kab. Bogor

Penentuan alternatif dan kriteria metode destilasi MPE


minyak pala, produk olahan & lokasi

Penentuan metode
destilasi, produk unggulan, MPE
dan lokasi industri

NPV, IRR,
Peramalan dan PBP, B/C
Peluang pasar, Kelayakan finansial
Deskriptif Ratio,
infrastruktur, SDM
Analisis
Sensitivitas

Penentuan posisi industri produk olahan Matrik Internal-


minyak pala Eksternal

Perumusan alternatif strategi Analisis SWOT

Penentuan elemen faktor, aktor, tujuan, strategi prioritas dalam


AHP
pengembangan industri produk olahan minyak pala

Pengembangan industri produk olahan minyak


pala

Keterangan : = ruang lingkup penelitian


Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
56

Untuk mendapatkan data tersebut digunakan teknik pengumpulan data berikut :


a. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur ini dilakukan untuk mendapatkan data primer langsung
dari sumbernya dengan menggunakan suatu instrumen penelitian kuesioner
(Sihkadarmanti 2006). Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang ahli
dalam bidang agroindustri produk olahan minyak pala.
b. Observasi
Teknik ini digunakan untuk melakukan pencatatan secara teliti dan sistematis
terhadap penelitian untuk melengkapi teknik wawancara (Sihkadarmanti
2006).
c. Dokumentasi
Teknik ini terutama digunakan untuk mendapatkan data sekunder maupun
informasi yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data sekunder
diperoleh dari telaah literatur, kajian pustaka, jurnal, dan artikel hasil
penerbitan sumber karya ilmiah (Sihkadarmanti 2006).

3.3 Analisis Data dan Pengolahan Hasil

3.3.1 Analisis kelayakan usaha

Perencanaan kebutuhan dana dilakukan secara kuantitatif terhadap


kebutuhan dana modal tetap dan dana modal operasional. Perhitungan perkiraan
kebutuhan dana investasi dilakukan berdasarkan standar harga pasar. Perencanaan
kebutuhan dana juga berkaitan dengan analisis secara deskriptif mengenai
sumber-sumber penyediaan dana yang dapat dimanfaatkan. Analisis kelayakan
menggunakan instrumen seperti NPV, BCR, dan IRR (Sutojo 2000).

3.3.2 Analisis Permintaan

Metode prakiraan produksi dan permintaan pemasaran dihitung dengan


menggunakan metode peramalan kualitatif yaitu berupa studi literatur (Sutojo
2000).
57

3.3.3 Analisis Aspek Teknis dan Teknologi

Analisis aspek teknis dan teknologi meliputi penentuan kapasitas produksi


ekonomis, pemilihan teknologi, bahan baku, bahan pembantu dan pendukung lain
serta penentuan lokasi proyek dan letak pabrik (Ariyoto 1986, diacu dalam
Marimin 1993). Faktor yang diperlukan untuk menentukan lokasi adalah faktor
ketersediaan bahan mentah, letak pasar yang dituju, tenaga listrik dan air,
ketersediaan tenaga kerja serta fasilitas transportasi yang cukup memadai perlu
dijadikan dasar analisis (Husnan & Suwarsono 1999).

3.3.4 Pengolahan Hasil

Pengisian bobot untuk masing-masing kriteria (pada pemilihan metode


destilasi, produk olahan unggulan minyak pala, dan lokasi potensial
pengembangan industri) menggunakan skala 1-5 yaitu mulai dari paling tidak
penting sampai paling penting. Sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria
tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai
kriterianya. Pemberian bobot pada kriteria dan penentuan skor pada alternatif
menggunakan skala 1-5. Skala 1 berarti paling tidak berpotensi, skala 2 artinya
tidak berpotensi, skala 3 artinya agak berpotensi, skala 4 artinya berpotensi, dan
skala 5 berarti paling berpotensi. Dasar pembagian ke dalam lima skala ini adalah
pendapat yang menyatakan bahwa kemampuan manusia untuk membuat
perbedaan kualitatif secara baik disajikan dalam lima atribut yaitu equal, weak,
strong, very strong, dan absolut (Saaty 1990). Data hasil pengisian kuesioner
oleh ahli diolah dengan menggunakan metode MPE untuk penyaringan alternatif
pemilihan metode destilasi, produk olahan agroindustri minyak pala , dan
penentuan lokasi industri. Untuk mendapatkan agregat dari pendapat pakar untuk
nilai alternatif berdasarkan kriterianya adalah dengan cara menggunakan rataan
geometrik.
Untuk mengetahui kelayakan finansial dari agroindustri produk olahan
minyak pala yang sudah terpilih sebelumnya melalui Metode Perbandingan
Eksponensial, maka digunakan beberapa asumsi. Penentuan posisi agroindustri
produk olahan minyak pala didapat dari hasil pengisian dan pengolahan kuesioner
berupa analisis faktor internal dan eksternal. Selanjutnya analisis faktor internal
58

dan eksternal tersebut diolah dengan memakai Internal-Eksternal Matrik dan


analisis SWOT yang selanjutnya menghasilkan alternatif strategi pengembangan
agroindustri produk olahan minyak pala. Untuk menentukan strategi prioritas
dalam rangka pemberdayaan masyarakat Kabupaten Bogor melalui
pengembangan agroindustri produk olahan minyak pala, maka alternatif strategi
yang telah dihasilkan sebelumnya diolah dengan menggunakan metode AHP
dibantu software Expert Choice 2000. Nama-nama responden pakar yang
dimintakan saran dan pendapat baik melalui wawancara langsung maupun melalui
pengisian kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1.
59

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Metode Destilasi, Produk Unggulan, dan Lokasi Industri.

4.1.3 Metode Destilasi Minyak Pala

Dalam menentukan metode destilasi minyak pala, ada beberapa kriteria


yang menjadi acuan dalam memilih alternatif metode destilasi dalam rangka
mencukupi kebutuhan akan minyak pala. Untuk itu dilakukan wawancara dan
pengisian kuesioner terhadap pakar. Untuk mengetahui metode destilasi minyak
pala yang menjadi prioritas, diidentifikasi tiga alternatif metode destilasi yakni
metode perebusan, metode pengukusan, dan metode uap langsung.
Dari hasil pengisian kuesioner oleh responden dan pengolahan data
melalui metode MPE maka didapatkan hasil seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala


Nilai Alternatif Metode
Uap
No. Kriteria Bobot Perebusan Pengukusan Langsung
1 Kemudahan 5 4.00 3.50 4.00
2 Sesuai dana yang 5 3.50 4.00 4.00
tersedia
3 Sesuai tingkat 4 3.50 4.00 3.50
penerimaan masyarakat
4 Sesuai tingkat 4 2.50 4.50 4.50
pengetahuan masyarakat
5 Kebutuhan lahan 3 3.50 4.00 3.50
minimum
6 Pencemaran minimum 3 3.00 3.00 3.00
TOTAL 1.808 2.306 2.678
RANKING 3 2 1

Metode perebusan dilakukan melalui langkah-langkah bahan direbus di


dalam air mendidih, minyak atsiri akan menguap bersama uap air, kemudian
dilewatkan melalui kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan dalam hal
ini alat suling perebus. Metode pengukusan dilakukan melalui langkah-langkah
bahan dikukus dalam ketel yang konstruksinya hampir sama dengan dandang.
Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap air yang dialirkan ke
kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan alat suling pengukus. Metode
60

uap langsung dilakukan melalui langkah bahan dialiri dengan uap yang berasal
dari ketel pembangkit uap. Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran
uap air yang dialirkan ke kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan alat
suling uap langsung. Pada Tabel 7 terlihat responden memberikan bobot paling
tinggi terhadap kriteria kemudahan dan sesuai dengan dana yang tersedia.
Kemudahan. Berdasarkan wawancara dengan salah satu responden pakar
kendala yang selama ini dihadapi dalam pengembangan industri minyak pala
selain kurangnya bahan baku adalah masih terbatasnya sumber daya manusia
yang mengerti betul tentang metode destilasi minyak pala. Hal ini juga terkait
dengan pengetahuan dan keterampilan dari pelaku industri tersebut. Untuk
industri pengolahan skala kecil kemudahan metode penyulingan dan harga alat
yang tidak terlalu mahal biasanya menjadi pilihan.
Sesuai dengan dana yang tersedia. Pertimbangan akan ketersediaan dana
akan menentukan kelancaran pengembangan industri produk olahan minyak pala.
Dana ini berfungsi sebagai modal awal bagi pengembangan industri terutama
dalam hal investasi baik itu untuk sewa/beli tanah dan bangunan, fasilitas dan
alat-alat yang diperlukan, gaji bagi pegawai/pekerja, biaya administrasi, biaya
bahan baku dan pembantu, serta biaya operasional lainnya. Besarnya dana ini
bergantung kepada rencana anggaran dan belanja daerah yang disetujui oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Dari besarnya dana yang tersedia ini akan
menentukan kapasitas industri yang akan dikembangkan.
Sesuai dengan penerimaan masyarakat. Kriteria ini menempati prioritas
ketiga dari bobot yang diberikan oleh responden. Pemilihan metode destilasi
minyak pala harus sesuai dengan tingkat penerimaan masyarakat terutama dalam
hal penerimaan terhadap dampak, penerimaan terhadap biaya dan keuntungan
yang diperoleh dari masing-masing pilihan metode tersebut. Oleh karena itu
metode destilasi yang akan dipilih harus disosialisasikan/diperkenalkan kepada
masyarakat Kabupaten Bogor yang akan terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dari rencana pengembangan industri produk olahan minyak pala ini.
Sesuai dengan pengetahuan masyarakat. Pengetahuan masyarakat akan
metode destilasi minyak pala penting untuk dipertimbangkan, karena masyarakat
nantinya akan menjadi pelaku utama. Selain itu, pengetahuan ini akan
61

memudahkan dalam pelaksanaan operasional dan teknis dalam penyediaan


minyak pala sebagai bahan baku industri.
Kebutuhan akan lahan yang minim. Dua kriteria terakhir yang
memperoleh bobot paling rendah dari responden adalah kebutuhan akan lahan
yang minim dan tingkat pencemaran yang minim. Kebutuhan lahan berpengaruh
terhadap biaya terutama biaya sewa atau beli lahan. Selain itu kebutuhan akan
lahan juga harus disesuaikan dengan kapasitas industri produk olahan minyak pala
yang akan dikembangkan. Metode destilasi juga menentukan seberapa luas lahan
yang dibutuhkan. Namun sesuai penilaian responden kriteria ini bukan merupakan
prioritas yang didahulukan.
Tingkat Pencemaran yang minim. Kriteria tingkat pencemaran yang
minim menunjukkan seberapa besar dampak pencemaran terhadap lingkungan
baik itu tanah, air, dan udara serta gangguan-gangguan lain yang akan merugikan
masyarakat sekitar industri. Dengan semakin minimnya pencemaran lingkungan
yang ditimbulkan, akan semakin meningkatkan kualitas lingkungan sekitar dan
juga akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat, dan pada akhirnya
masyarakat semakin berperan secara aktif sehingga tujuan untuk memberdayakan
masyarakat Kabupaten Bogor akan tercapai. Kriteria ini menduduki peringkat
terkahir dari pembobotan responden karena ketiga alternatif metode destilasi
memang tidak menimbulkan dampak pencemaran yang serius dan merugikan,
kecuali sisa ampas penyulingan yang tentunya memerlukan tempat pembuangan
tersendiri namun tidak mencemari lingkungan.
Metode destilasi uap langsung menjadi prioritas pilihan dari responden
karena metode uap langsung dianggap paling efisien dibandingkan metode
lainnya, selain itu karena hasil minyak pala yang diharapkan berupa mutu dan
rendemen menjadi lebih baik. Apabila dibandingkan dengan metode pengukusan
harga alat memang tidak terlalu mahal dibandingkan dengan metode uap
langsung, namun metode uap langsung tetap paling efisien dan relatif lebih
banyak digunakan untuk skala usaha besar, sedangkan pengukusan banyak
digunakan untuk skala usaha kecil seperti yang banyak dilakukan oleh petani.
Tentu saja untuk mencukupi kebutuhan industri diperlukan minyak pala yang
banyak, sehingga dapat dibayangkan jika menggunakan metode pengukusan,
efisiensi dan mutu minyak yang baik kurang dari yang diharapkan. Selain itu
62

dengan metode uap langsung proses destilasinya juga lebih cepat/lebih pendek
dibanding metode yang lain dan komponen yang diinginkan dengan destilasi
tersebut dapat dihasilkan dengan kadar yang lebih tinggi.
Metode perebusan memperoleh prioritas paling rendah karena selain
metode ini adalah cara lama dan sederhana, metode ini juga mempunyai
kelemahan, sehingga rendemen dan mutunya terutama kadar myristisinnya
rendah. Namun demikian terdapat banyak variasi dari model dan sistim
penyulingan yang dipakai oleh pengrajin minyak pala. Pada studi kasus di salah
satu tempat penyulingan di Bogor yang memakai boiler terpisah telah dilakukan
usaha perbaikan diantaranya pada sistem supplai air, cara penempatan bahan, dan
sistem penyebaran uapnya. (Nurdjanah 2007).
Sesuai pengujian yang pernah dilakukan oleh pakar Nurdjannah N dan
Hidayat (2005) pada penggunaan alat penyuling dengan metode uap langsung
yang telah mengalami perbaikan diketahui bahwa total produksi minyak biji pala
dengan waktu penyulingan 24 jam adalah rendemen 8,5%, v/b. Pengujian
laboratorium menunjukkan bahwa sisa minyak dalam ampas penyulingan sebesar
0,8%, b/v. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada penyulingan selama 24 jam
hampir seluruh minyak dalam biji pala sudah tersuling (91,4%) sehingga secara
teknis kinerja alat penyuling dengan metode uap langsung yang sudah diperbaiki
cukup memadai. Bila pada penyulingan tradisional lama penyulingan bisa lebih
dari 30 jam, dengan metode ini waktu penyulingan yang masih dianggap
ekonomis yaitu penyulingan sampai 22 jam. Kadar myristisin dalam minyak hasil
penyulingan 24 jam menjadi cukup tinggi (9,37%).

4.1.1 Produk Olahan Unggulan Minyak Pala

Minyak pala memiliki banyak sekali kegunaan. Minyak pala dan fuli
digunakan sebagai penambah flavor pada produk-produk olahan daging, pikel,
saus, dan sup, serta untuk menetralkan bau yang tidak menyenangkan dari
rebusan kubis (Lewis, diacu dalam Librianto 2004). Pada industri Parfum,
minyak pala digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi dan penyegar
ruangan. Minyak pala yang berasal dari biji, fuli dan daun banyak digunakan
untuk industri obat-obatan, serta parfum dan kosmetik. Akhir-akhir ini ada
63

perkembangan baru pemanfaatan minyak atsiri pala, yaitu sebagai bahan baku
dalam aromaterapi. Di Jepang beberapa perusahaan menyemprotkan aroma
minyak pala melalui sistem sirkulasi udara untuk meningkatkan kualitas udara
dan lingkungan. Untuk tujuan yang sama akhir-akhir ini banyak dijumpai
penggunaannya dalam bentuk lain yaitu dalam bentuk potpourri, lilin beraroma,
atomizer, dan produk-produk pewangi lainnya (Nurdjannah 2007).
Dengan beragamnya produk olahan yang dapat dihasilkan dari minyak
pala maka diadakan penyaringan melalui jajak pendapat dengan alat bantu
kuesioner dengan responden. Berdasarkan hasil pendapat para responden pakar,
terdapat empat produk yang paling potensial untuk dikembangkan di Kabupaten
Bogor dengan melihat kondisi sosial ekonomi khususnya pemakai produk olahan
yang berkembang di Bogor. Pemilihan keempat produk berdasarkan suara
terbanyak dari responden terhadap setiap produk olahan minyak pala. Produk
olahan minyak pala itu sendiri memilki batasan, bahwa minyak pala yang
dihasilkan dari bahan baku yang baik akan menghasilkan kadar myristicin
tertentu, biasanya langsung diekspor karena langsung memiliki nilai ekonomi
yang tinggi, sepanjang memenuhi kualitas/standar yang sudah ditentukan.
Sementara itu hasil produksi minyak pala yang berada dibawah kualitas ekspor,
nantinya akan dikembangkan lebih lanjut pemanfaatannya melalui strategi dan
prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala.
Setelah dilakukan inventarisasi terhadap produk-produk unggulan dari
minyak pala, selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap produk-produk unggulan
olahan minyak pala yang diperkirakan dapat dikembangkan dan dijadikan andalan
dan berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Bogor yaitu daging olahan,
sabun, parfum dan kosmetik, serta obat-obatan. Pendekatan yang digunakan
adalah Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dengan menggunakan kriteria-
kriteria melalui pertimbangan pendapat responden. Penentuan tingkat kepentingan
kriteria dilakukan juga melalui pengisian kuesioner dengan menggunakan metode
justifikasi yaitu pemberian bobot terhadap kriteria diberikan secara langsung oleh
pakar tanpa melakukan perbandingan relatif terhadap kriteria lainnya. Pemberian
bobot dengan metode ini sesuai dilakukan apabila responden adalah orang yang
mengerti, paham, dan berpengalaman dalam menghadapi masalah keputusan yang
64

dihadapi (Ma’arif 2001). Hasil pengisian bobot kriteria kemudian digabungkan


dengan menggunakan rataan geometrik.
Untuk mengetahui bobot pada kriteria, maka hasil perbandingan
berpasangan dari seluruh responden digabungkan (Tabel 8). Melalui hasil
pengolahan dengan metode MPE maka pendapat para responden dapat
dikuantifikasikan berdasarkan skala yang sudah ditentukan. Dari hasil
pengolahan, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 8. Penentuan Produk Olahan Unggulan Minyak Pala


Nilai Alternatif Produk
No Kriteria Bobot Daging Parfum & Obat-
Olahan Sabun Kosmetik obatan
1 Kemudahan Pasar 5 2.75 3.00 4.25 4.00
2 Nilai Ekonomis 5 3.00 3.25 4.25 4.25
3 Kegunaan 3 2.75 3.50 4.00 4.25
4 Kemudahan menyerap TK 3 3.00 3.50 3.75 3.75
5 Kemudahan dalam Proses 3 2.50 3.00 2.75 2.75
6 Ketersediaan Bahan Baku 3 3.00 3.50 3.50 3.50
TOTAL 491 761 2.954 2.604
RANKING 4 3 1 2

Kriteria-kriteria yang digunakan dalam pemilihan produk olahan unggulan


dari minyak pala yang berpotensi dikembangkan di Kabupaten Bogor merupakan
hasil jajak pendapat dengan para pakar yang telah disebutkan sebelumnya, dan
ditetapkan sebagai kriteria yang penting untuk dievaluasi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat Kabupaten Bogor. Hasil pengagregasian
kuesioner/pendapat pakar menunjukkan bahwa kriteria kemudahan pasar, nilai
ekonomis, kegunaan, dan kemudahan menyerap tenaga kerja merupakan kriteria
yang menduduki peringkat empat teratas.
Kemudahan pasar. Kriteria ini melihat dua aspek yaitu pasar lokal dalam
arti Kabupaten Bogor khususnya maupun pasar non lokal yaitu permintaan
produk olahan minyak pala diluar Kabupaten Bogor. Kemudahan pasar juga
menunjuk pada sisi persaingan dari produk yang sejenis atau hampir sama.
Kemudahan pasar akan memacu industri untuk terus berproduksi sehingga
production cost yang disebabkan oleh barang rusak atau menumpuk bisa
diminimalkan atau bahkan dieliminir. Apabila pasar tidak ada, maka akan terjadi
kerugian karena hasil olahan dari minyak pala tidak ada yang menyerap akibatnya
65

justru akan menambah biaya terutama biaya yang berkaitan dengan penyimpanan
dan kerugian karena terjadi produk rusak/cacat.
Nilai ekonomis. Nilai ekonomis yang dimaksudkan adalah keuntungan
yang bisa diperoleh apabila produk tersebut dikembangkan. Keuntungan dalam
hal ini diartikan dalam bentuk uang yang bisa didapatkan. Nilai ekonomis
menyangkut masalah kesejahteraan masyarakat terutama petani pala sebagai
pemasok utama dan juga pada akhirnya menentukan pemberdayaan masyarakat
dan peningkatan perekonomian Kabupaten Bogor secara keseluruhan. Strategi
dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala didasarkan atas
seberapa besar kontribusi produk ini terhadap pendapatan masyarakat terutama
petani pala dalam upaya meningkatkan taraf hidup, sekaligus sebagai Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Berdasarkan hasil diskusi dengan pihak terkait, bahwa selama
ini di Kabupaten Bogor sendiri terjadi kelangkaan/ kekurangan bahan baku biji
dan fuli pala untuk memenuhi industri minyak pala yang sudah ada. Harga bahan
baku itu sendiri juga tinggi ditingkat pedagang pengumpul, sehingga
menyebabkan beberapa industri pengolahan minyak pala harus menghentikan
produksinya karena bahan baku sudah sulit didapat. Menurut data dari Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2006 luas kebun pala rakyat di
Kabupaten Bogor masih memiliki prospek untuk dikembangkan. Kebun pala
rakyat masih memilki potensi kedepannya, disamping buah pala adalah tanaman
khas Bogor selain talas dan kenari. Jika ditangani dengan baik oleh berbagai
pihak, komoditas ini dapat menjadi andalan Kabupaten Bogor dengan
pemanfaatan setiap bagian dari buahnya melalui diversifikasi produk, misalnya
sirup pala dapat dijadikan “welcome drink” bagi Kabupaten Bogor. Pala adalah
salah satu komoditas yang tidak diatur tata niaganya oleh pemerintah. Di Desa
Sukamantri Kecamatan Taman Sari misalnya, para pemilik kebun biasa menjual
hasil panennya kepada para pedagang pengumpul baik berupa buah pala
gelondong maupun biji berikut fuli, tanpa mempertimbangkan pada alternatif
pemanfaatannya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Ketiadaan dan harga
yang tinggi dari biji dan fuli pala sebagai bahan baku minyak pala tentunya dapat
dicari akar permasalahan dan ditemukan solusi untuk mengatasinya.
66

Kegunaan. Kriteria ini merujuk pada produk yang akan dikembangkan


harus memiliki nilai guna baik bagi konsumen lokal yaitu masyarakat Bogor dan
juga konsumen secara luas yaitu industri di Indonesia.
Kemudahan menyerap tenaga kerja. Dengan kriteria ini diharapkan
melalui industri yang akan dikembangkan banyak masyarakat terserap khususnya
bagi mereka yang telah menganggur atau sedang mencari pekerjaan, mengingat
dari tahun ke tahun angkatan kerja di Kabupaten Bogor terus mengalami
peningkatan. Selain itu, pengangguran juga bertambah karena beberapa sebab
diantaranya kebijakan PHK oleh perusahaan yang mengalami kelesuan industri.
Kemudahan dalam proses. Kriteria ini perlu ditinjau karena hal ini
berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan dalam industri
yang akan dikembangkan terutama tingkat pendidikan, keterampilan, dan
pengetahuan. Kemudahan dalam proses nantinya akan menentukan kebutuhan
akan sumber daya manusia dalam pengembangan industri produk olahan minyak
pala. Kriteria ketersediaan bahan baku mengacu pada kemudahan mendapatkan
bahan baku, karena akan menentukan kontinuitas produksi.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa parfum dan kosmetik menempati
prioritas produk olahan minyak pala di rangking pertama. Hasil ini jelas terlihat
melalui metode MPE karena nilai masing-masing alternatif berdasarkan kriteria,
dipasangkan (eksponensial) dengan bobot dari masing-masing kriteria sehingga
nilai yang dihasilkan berbeda nyata. Hasil pemilihan terhadap parfum dan
kosmetik disebabkan menurut para responden, kemudahan pasar, nilai ekonomis,
dan kegunaan dimiliki oleh produk parfum dan kosmetik. Parfum dan Kosmetik
dari segi harga (keuntungan) maupun permintaan pasar lebih banyak diminati
konsumen akhir/pemakai produk, terutama banyaknya usaha jasa perawatan
kecantikan (salon dan klinik kecantikan) maupun perumahan elit dan menengah di
Kota Bogor dan sekitarnya. Dengan akses transportasi yang murah dan mudah ke
Ibukota Negara diharapkan pemasaran untuk lokal maupun untuk luar daerah
dapat menjamin kontinuitas permintaan. Begitu pula merebaknya pemberitaan
akhir-akhir ini tentang kosmetik berbahan kimia berbahaya, alternatif kosmetik
berbahan dasar herbal akan menjadi pilihan lain bagi pengguna/konsumen, begitu
pula produk parfum aromaterapi yang banyak diminati karena manfaatnya bagi
relaxasi tubuh. Konsumen juga lebih mudah bereksplorasi dalam menggunakan
67

produk ini dengan mudahnya berganti merk dan mencoba merk-merk baru,
namun dianggap lebih cocok dan aman bagi perawatan kecantikan dan
kebugarannya.
Produk obat-obatan lebih jarang digunakan mengingat fungsinya yang
hanya dikonsumsi pada waktu-waktu tertentu disaat seseorang menderita sakit.
Produk sabun dan daging olahan berturut-turut menempati prioritas produk olahan
minyak pala di rangking ketiga dan keempat. Dilihat dari keenam kriteria yang
telah ditetapkan dalam pemilihan produk olahan unggulan minyak pala, nilai
akhir kedua produk ini berada dibawah dua produk unggulan sebelumnya yakni
parfum dan kosmetik serta obat-obatan, yang menjadi pilihan responden. Hal ini
juga dipengaruhi oleh permintaan pasar yang biasanya lebih menyenangi produk
sabun dan daging olahan yang sejak lama telah beredar dipasaran, jika
dibandingkan produk baru yang akan dikembangkan yakni produk olahan minyak
pala, terkecuali produk sabun yang memang masuk dalam jenis kosmetik seperti
sabun-sabun yang tergolong produk perawatan kecantikan.

4.1.2 Lokasi Potensial Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala

Kabupaten Bogor terdiri dari 40 Kecamatan. Namun berdasarkan data


awal luas lahan dan produksi perkebunan pala di Kabupaten Bogor tahun 2006,
dan berdasarkan jajak pendapat dengan responden yang sama melalui kuesioner,
ada lima lokasi yang dinilai memenuhi kriteria. Kriteria yang digunakan juga
telah disepakati responden untuk ditetapkan menjadi pertimbangan dalam strategi
dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala. Kelima lokasi
tersebut adalah Taman Sari, Dramaga, Cijeruk, Ciomas, dan Caringin.
Kecamatan Taman Sari terletak pada ketinggian 500 m dpl dengan kisaran
suhu antara 23 – 33˚ C dan curah hujan 3.300 mm/tahun. Luas perkebunan pala di
Kecamatan Taman Sari tahun 2006 kurang lebih 46 ha dan banyaknya pemilik
pohon sejumlah 503 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini tidak mengalami
perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya berdasarkan data Monografi
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2006 (sejak 2002 hingga
2006).
68

Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 m dpl dengan suhu udara
antara 20 – 29˚C. Sedangkan hari hujan sebanyak 172 hari dan curah hujan 350
mm/tahun. Luas perkebunan pala di Kecamatan Dramaga ini kurang lebih 37 ha
dan banyaknya pemilik pohon sejumlah 363 kepala keluarga. Luas lahan kebun
pala ini juga tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kecamatan Cijeruk berada pada ketinggian 549 m dpl, suhu antara
20 - 27˚C, dengan jumlah hari hujan sebanyak 18 hari, dan curah hujan 3 328
mm/tahun. Luas perkebunan pala di Kecamatan Cijeruk kurang lebih 103.35 ha
dan banyaknya pemilik pohon sejumlah 1 060 kepala keluarga. Luas lahan kebun
pala ini sudah jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya yakni kurang
lebih 132.5 ha pada tahun 2002 berdasarkan data Dinas Kehutanan dan
perkebunan Kabupaten Bogor tahun 2003.
Kecamatan Ciomas berada pada ketinggian 200 m dpl dengan suhu rata-
rata 29˚C, jumlah hari hujan sebanyak 19 hari dan curah hujan 415 mm/tahun,
dengan bentuk wilayah datar sampai berbukit. Luas perkebunan pala di
Kecamatan Ciomas kurang lebih 43 ha dan banyaknya pemilik pohon sejumlah
433 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini juga tidak mengalami perubahan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kecamatan Caringin berada pada ketinggian 556 m dpl dengan suhu
minimum atau maksimum 18 - 30˚C, dan curah hujan 664 mm/tahun. Luas
perkebunan pala di Kecamatan Caringin kurang lebih 15.68 ha dan banyaknya
pemilik pohon sejumlah 472 kepala keluarga. Luas lahan kebun pala ini sudah
jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya yakni kurang lebih 45 ha pada
tahun 2002.
Hasil analisis untuk pemilihan lokasi industri produk olahan minyak pala
dapat dilihat pada Tabel 9. Kriteria-kriteria pada Tabel 9 ditetapkan dengan
mempertimbangkan kontinuitas industri produk olahan minyak pala yang
mengacu kepada kecukupan bahan baku (luas lahan, kesesuaian agroklimat
tanaman pala), kelancaran produksi dari industri tersebut yang bergantung kepada
fasilitas penunjang, keamanan berusaha, dan juga pemasaran produk olahan
minyak pala nantinya yang bergantung kepada kemudahan transportasi, dan akses
konsumen.
69

Tabel 9 Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Industri Produk Olahan


Minyak Pala
Nilai Alternatif Lokasi
Taman
No Kriteria Bobot Sari Dramaga Cijeruk Ciomas Caringin
1 Kemudahan Transportasi 5 4.00 4.00 3.50 3.75 3.75
2 Akses Konsumen 5 3.75 4.00 2.50 4.25 2.75
3 Keamanan Berusaha 4 4.25 4.25 3.75 4.25 4.00
4 Luas Lahan 4 4.00 3.25 4.25 4.00 3.50
5 Ketersediaan Fasilitas 4 4.00 4.25 3.50 4.25 3.75
6 Kesesuaian Agroklimat 3 3.50 3.25 3.50 3.25 4.00
TOTAL 2.647 2.846 1.340 3.071 1.567
RANKING 3 2 5 1 4

Luas lahan. Kriteria ini mengacu kepada luas lahan kebun pala,
mengingat bahwa pala sebagai bahan baku dari industri yang akan dikembangkan.
Luas lahan kebun pala mempengaruhi berapa banyak pohon pala yang bisa
tumbuh/ditanam dan pada akhirnya akan menentukan banyaknya fuli dan biji pala
yang dihasilkan, sehingga secara langsung akan mempengaruhi kecukupan akan
bahan baku dan kelangkaan akan bahan baku dapat dihindari.
Kesesuaian agroklimat. Kriteria ini menentukan produktivitas tanaman
pala. Agroklimat yang dimaksud adalah kondisi tanah, kelerengan, dan iklim.
Hal-hal tersebut perlu dikaji karena menyangkut masalah persyaratan tumbuh
tanaman pala yang tentu saja berbeda dengan tanaman perkebunan lainnya, agar
tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik.

Tabel 10 Kesesuaian Lingkungan Tanaman Pala (Rosman et.al, 1989)


Kriteria Lokasi
Variabel Amat Sesuai Sesuai Hampir Sesuai
Ketinggian (d.p.l) 0 – 700 m 700 – 900 m 900 m
Curah hujan (mm/th) 2000 – 3500 1500 – 2000 1500 – 4500
Hari hujan 100 – 160 80 – 100 atau 80 atau 180
160 – 180
Temperatur (ºC) 25 – 28 20 – 25 25 atau 31
Kelembaban nisbi (%) 60 – 80 55 – 60 55 atau 85
Drainase Baik Agak baik s/d baik Agak baik
Tekstur tanah Barpasir Liat berpassir/ Liat atau berpasir
lempung berpasir
Kemasaman (pH) Netral Agak masam/netral

Transportasi. Transportasi merupakan bagian utama dari sarana dan


prasarana terutama sangat membantu dalam penyediaan bahan baku, akses
konsumen dan pemasaran produk olahan minyak pala. Biaya transportasi yang
terlalu tinggi seperti kurangnya fasilitas angkutan ataupun jalan atau jarak dengan
70

bahan baku yang terlalu jauh, akan menyebabkan biaya operasional yang terlalu
tinggi. Pada akhirnya biaya yang dikeluarkan dengan nilai ekonomis yang
didapatkan tidak seimbang.
Fasilitas penunjang. Fasilitas yang dimaksudkan dalam salah satu kriteria
penentuan lokasi potensial pengembangan industri industri produk olahan minyak
pala adalah sarana komunikasi, listrik, dan air. Sarana komunikasi yang utama
adalah saluran telepon dan kemudahan untuk mengakses informasi yang
disediakan oleh Pemerintah baik informasi mengenai daerah pemasaran ataupun
informasi lainnya. Ketersediaan air dan listrik merupakan kebutuhan dasar bagi
pengelolaan industri karena energi dari listrik menjadi input untuk mesin-mesin
pengolahan atau alat-alat lain.
Akses konsumen. Kriteria ini menggambarkan kedekatan daerah penjualan
dengan konsumen utama dan menentukan kelancaran dari pemasaran produk
olahan minyak pala tersebut. Kurangnya akses konsumen akan merugikan bagi
produsen/pelaku industri khususnya karena terjadi penumpukan produk,
kerusakan produk, dan tingginya biaya penyimpanan. Akses konsumen juga harus
mempertimbangkan ruang lingkup pemasaran, apakah hanya untuk pasar lokal
atau juga akan menjangkau pasar internasional.
Keamanan berusaha. Keamanan berusaha menggambarkan kondisi iklim
usaha yang didukung oleh penerimaan masyarakat terhadap keberadaan industri
produk olahan minyak pala. Keberadaan industri harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya kepada masyarakat terutama masyarakat sekitar sehingga
mereka akan terus berperan aktif membangun industri tersebut. Dukungan
masyarakat sangat penting bagi kelanjutan usaha industri. Industri yang tidak
memperhatikan kepentingan masyarakat akan menimbulkan konflik-konflik yang
akan mengganggu jalannya industri secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner melalui metode MPE, maka
didapatkan hasil bahwa sebaiknya industri produk olahan minyak pala
dikembangkan di daerah Ciomas. Memang dari segi potensi industri unggulan
kecamatan, Kecamatan Caringin saat ini memiliki potensi dengan adanya industri
minyak resin pala dan industri minyak nilam. Namun apabila industri yang akan
dikembangkan ditempatkan di Kecamatan Caringin, maka faktor kendala utama
yang menjadi bahan pertimbangan serius adalah akses konsumen dan kecukupan
71

akan bahan baku. Dibutuhkan waktu tempuh yang lebih lama untuk mencapai
Caringin dari pusat kota dibandingkan alternatif kecamatan lainnya. Disamping
itu saat ini luasan kebun pala di Kecamatan Caringin sudah jauh berkurang
dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sedangkan jika dilihat dari kesesuaian lingkungan (agroklimat) tanaman
pala dan luas kebun pala yang benar-benar ada saat ini, Kecamatan Cijeruk dan
Kecamatan Taman Sari amat sesuai untuk tempat tumbuh tanaman pala. Namun
keduanya juga terletak cukup jauh dari pusat kota, disamping kemudahan
transportasi dan akses konsumen kedua kecamatan ini yang masih berada dibawah
kecamatan Ciomas. Hal ini juga dikhawatirkan menjadi kendala utama dalam hal
biaya transportasi dan jangkauan pasar terhadap industri produk olahan minyak
pala yang akan dikembangkan. Fasilitas penunjang di kedua tempat ini juga
kurang memadai dibandingkan Kecamatan Ciomas. Sehingga pilihan responden
adalah daerah Ciomas yang relatif masih terdapat kebun pala cukup luas kurang
lebih 43 Ha.
Jarak Ciomas dari pusat kota maupun kecamatan lain seperti Dramaga
yang memiliki potensi industri manisan pala relatif lebih dekat. Dengan
pemanfaatan biji dan fuli pala yang berasal dari Dramaga dapat menjadi solusi
pemenuhan kelangkaan bahan baku industri yang akan dikembangkan nantinya.
Batas wilayah Kecamatan Ciomas secara administratif adalah sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Dramaga dan Kota Bogor, sebelah Timur
berbatasan dengan Kota Bogor, sebelah Barat dengan kecamatan Dramaga, dan
sebelah selatan dengan kecamatan Taman Sari. Dilihat dari batas wilayah
tersebut, Kecamatan Ciomas berbatasan langsung dengan akses pasar yakni Kota
Bogor dan otomatis Ibu Kota Negara. Sementara itu Kecamatan Ciomas juga
berbatasan langsung dengan Dramaga dan Taman Sari yang masih memiliki
luasan kebun pala masing-masing kurang lebih 37 Ha dan 46 Ha, dengan tingkat
kesesuaian agroklimat amat sesuai untuk lingkungan tumbuh tanaman pala, secara
teknis apabila Kecamatan Ciomas mengalami kelangkaan bahan baku,
kekurangan itu dapat dipenuhi dari kedua wilayah ini dengan biaya transportasi
yang relatif murah. Selain itu Kecamatan Ciomas juga memiliki wilayah terluas
dibanding empat alternatif wilayah lainnya, sehingga jika perluasan areal tanaman
72

pala diperlukan, Ciomas menjadi pilihan prioritas dengan luas wilayah saat ini
kurang lebih 6 373.62 Ha atau 63.73 Km.
Sarana transportasi di Kecamatan Ciomas didukung oleh Jalan dan
Jembatan dengan kondisi jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat
sepanjang 58 km, dan relatif lengkapnya sarana jaringan telpon (10 824
pelanggan), listrik PLN (23.891 pelanggan), jumlah telepon umum (175 unit),
serta wartel (73 unit) berdasarkan survei lapang tahun 2005 (BAPPEDA Kab
Bogor 2005). Iklim usaha di daerah Ciomas juga cukup kondusif dalam arti
penerimaan masyarakat akan industri cukup baik, tenaga kerja juga cukup tersedia
terutama dari penduduk setempat. Industri yang tumbuh di kecamatan ini
berdasarkan survei lapang tahun 2005 adalah industri dalam skala industri besar 3
buah, industri sedang 4 buah, dan industri kecil 1 064 buah dengan potensi
unggulan kecamatan saat ini adalah industri sandal dan sepatu serta budidaya ikan
hias, yang ditunjang oleh lembaga perbankan setingkat BPR.

4.2 Analisis Kelayakan Industri Produk Olahan Minyak Pala

4.2.1 Aspek Pasar dan Pemasaran

Produk olahan minyak pala yang terpilih melalui metode MPE yaitu
kosmetik sehingga analisis kelayakan yang dilakukan adalah untuk industri
kosmetik termasuk parfum di dalamnya sebagai produk olahan minyak pala.
Kosmetik termasuk produk parfum berupa aromaterapi didalamnya dipakai oleh
konsumen individu yang diperoleh melalui pembelian langsung di apotik atau
toko kosmetik, atau melalui jasa salon kecantikan, klinik kecantikan, perawatan,
dan kebugaran tubuh. Kosmetik digunakan untuk mempercantik dan merawat
wajah serta bagian tubuh lainnya, sedangkan parfum dalam hal ini produk
aromaterapi digunakan untuk memberi kesegaran atau relaxasi pada tubuh yang
sedang lelah atau bersifat menghilangkan stres. Pada industri parfum minyak pala
juga dapat digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi dan penyegar
ruangan. Jika melihat dari kebutuhan masyarakat Kabupaten Bogor, Kodya
Bogor, dan dengan relatif dekatnya dari Ibu Kota Jakarta, dimana banyak
menjamur lokasi perumahan mulai kelas biasa, menengah hingga kelas atas
dengan penghuni para pendatang dan sebagian besar dari mereka adalah pekerja
73

di Jakarta, maka industri kosmetik berikut parfum didalamnya tepat untuk


dikembangkan.
Selama ini belum ada data yang memperlihatkan secara langsung besarnya
kebutuhan akan kosmetik termasuk parfum di Kabupaten Bogor. Namun besarnya
kebutuhan akan produk kosmetik dan parfum dapat diperkirakan dengan asumsi
jumlah pengguna atau konsumen akhir yakni penduduk wanita dewasa yang ada
di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data tahun 2007 jumlah penduduk usia 15 – 64
tahun di Kabupaten Bogor adalah 2 879 380 jiwa, sedangkan jumlah penduduk
berdasarkan jenis kelamin adalah 2 178 831 laki-laki dan 2 059 131 wanita. Jika
rasio perbandingan antara jumlah penduduk wanita dibandingkan total jumlah
penduduk dan dikalikan dengan jumlah penduduk usia 15 – 64 tahun, maka
diperoleh prakiraan jumlah penduduk wanita usia 15 – 64 tahun di Kabupaten
Bogor yakni sebanyak 1 399 026 jiwa. Dari jumlah tersebut diasumsikan sekitar
80% orang mengkonsumsi kosmetik olahan dasar minyak pala ini, dengan rata-
rata konsumsi 15 gram per orang per bulannya.
Berdasarkan asumsi diatas, kebutuhan kosmetik rata-rata di Kabupaten
Bogor sebesar 16 788 kg per bulan. Kosmetik dengan jumlah tersebut tidak
termasuk kosmetik yang khusus dibeli oleh konsumen di Kodya Bogor atau lebih
luas lagi daerah-daerah sekitarnya seperti Jakarta dan Sukabumi. Sehingga dari
hasil peramalan tersebut, maka sebenarnya industri kosmetik yang rencana akan
dikembangkan harus memproduksi sedikitnya 700 kg per hari, namun dengan
keterbatasan dana yang dimiliki, maka industri yang akan dikembangkan
direncanakan hanya akan memproduksi sekitar 70 kg kosmetik per hari. Dengan
diketahuinya kapasitas produksi per harinya, maka dapat dihitung kebutuhan biji
dan fuli pala untuk memenuhi kebutuhan sebanyak itu adalah sekitar 823 kg biji
dan fuli pala (rendemen mesin penyulingan adalah 13.33% dengan waktu
penyulingan 8 jam, penyulingan minyak 2 kali/hari, mesin dapat menghasilkan
165 liter atau 110 kg minyak pala per harinya).
Rencananya kebutuhan akan biji dan fuli pala tersebut dipenuhi dari
luasan kebun pala rakyat yang ada di Kabupaten Bogor, tepatnya pada tahap awal
di Kecamatan yang ada di sekitar lokasi industri terpilih yakni di Kecamatan
Ciomas, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Taman sari dengan luasan masing-
masing 43 ha, 37 ha, dan 46 ha. Kekurangan luasan dipenuhi seluas 14 ha dari
74

103.35 ha luasan yang ada di Kecamatan Cijeruk, berdasarkan data luas areal dan
produksi perkebunan pala rakyat di Kabupaten Bogor tahun 2006. Berdasarkan
data yang sama produksi pala per hektarnya rata-rata bisa mencapai 7.92 ton.
Total luasan yang dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang akan
dikembangkan sekitar 140 ha. Kebun pala ini dapat dibuat dari 14 000 bibit pohon
pala, yang mungkin bisa diperoleh melalui bantuan Pemerintah Daerah Kabupaten
Bogor.
Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal Propinsi Maluku, hasil
rata-rata dari 1 pohon pala adalah masing-masing biji pala sebanyak 8 kg dan fuli
sebanyak 2 kg. Dari 140 ha tanah yang ditanami 14 000 pohon pala memperoleh
hasil untuk 2 kali panen dalam 1 tahun, yaitu biji pala 201 600 kg dan fuli 50
400 kg (umur pohon yang menghasilkan atau siap panen adalah 8 tahun). Berat
biji pala adalah sekitar 1/5,5 bagian dari berat keseluruhan buah pala, sedangkan
fuli adalah sekitar 1/22 bagian dari berat keseluruhan buah pala. Jumlah ini
diperkirakan cukup untuk keperluan industri dalam satu tahun.

Jika dilihat dari sisi persaingan, maka hal yang paling mengancam adalah
produk kosmetik yang berasal dari bahan kimia. Pengusaha salon atau konsumen
perorangan masih banyak yang belum memperhatikan efek samping penggunaan
kosmetik berbahan dasar kimia untuk jangka panjang, terutama bahan kimia yang
disinyalir badan sertifikasi dan badan stadarisasi produk kosmetik sangat
berbahaya baik bagi kulit maupun organ tubuh lainnya seperti ginjal. Hal ini juga
disebabkan belum terlalu meluasnya atau tersosialisasinya produk kosmetik
berbahan dasar herbal seperti minyak pala misalnya. Padahal jika dilihat dari segi
keamanan maka minyak pala lebih aman dibandingkan dengan bahan kimia yang
biasanya terdapat dalam kosmetik dan parfum berbahan dasar kimia.
Menurut data terbaru dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor jumlah
apotik, salon kecantikan, dan klinik perawatan wajah di Kabupaten Bogor
berjumlah 172 buah, terdiri dari 170 buah apotek, dan 2 diantaranya adalah satu
salon di Kecamatan Citereup dengan ijin terdaftar di Dinas Kesehatan, dan satu
klinik perawatan kecantikan di wilayah Kecamatan Gunung Puteri. Sedangkan
data salon-salon berskala kecil atau rumahan belum terdapat data yang pasti,
mengingat usaha ini biasa berdiri tanpa disertai ijin resmi dari Dinas Kesehatan
75

maupun Disperindag. Dari jumlah tersebut, dapat diperkirakan industri yang akan
dikembangkan kurang lebih dapat memasok 10 kg kosmetik per bulan untuk satu
apotik, salon atau klinik kecantikan. Jika diasumsikan produk ini rata-rata
dikemas 15 gr per wadah kemasan, maka jumlah yang dapat dipasok rata-rata 27
buah wadah kemasan 15 gr per hari, atau 648 wadah kemasan per bulan. Asumsi
tersebut belum menyentuh pasar yang ada di Kodya Bogor, atau toko obat dan
toko kosmetik yang belum terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.

4.2.2 Aspek Teknis dan Teknologi

Rencana pengembangan industri kosmetik dengan parfum didalamnya


yang merupakan produk olahan minyak pala membutuhkan dua buah mesin
penyulingan dengan metode destilasi. Mesin ini terdiri dari komponen tungku
pemanas, ketel, pendingin, dan tabung pemisah. Untuk penyulingan berkapasitas
besar bahan di dalam ketel disusun secara difraksi (diberi antara) agar uap air
dapat berpenetrasi dengan merata sehingga penyulingan lebih singkat dan
rendemennya lebih tinggi. Penyulingan cara itu membutuhkan waktu 8 jam
dengan rendemen minyak 13.33% (Hernani dan Risfaheri 1990, diacu dalam
Hadad M EA et.al 2006). Dari hasil analisis aspek teknologi, maka mesin
destilasi yang dibutuhkan adalah sebanyak 2 buah dengan rendemen sebesar
13.33%, lama penyulingan 8 jam per ketel, penyulingan minyak 1 kali/hari, satu
bulan 24 hari kerja dan mesin dapat menghasilkan 110 kg minyak pala per hari.
Dari penyulingan tiap harinya diasumsikan hasil produk dengan kadar myristicin
yang memenuhi kualitas untuk diekspor rata-rata sebesar 36%, sedang 64%
merupakan kualitas lokal yang akan menjadi bahan baku pembuatan kosmetik.
Dalam proses pembuatan kosmetik dibutuhkan alat pemanas pada suhu
tertentu untuk fasa air dan fasa minyak, mixer dan pengaduk untuk memperoleh
emulsi. Setelah pendinginan sampai mencapai suhu tertentu ditambah emulgator,
pewarna dan pewangi (parfum). kemudian diemulsikan kembali. Setelah
dilakukan viskositas dan pewarnaan yang sesuai standar, produk disimpan dalam
drum untuk kemudian diisi dalam wadah dan dikemas. Sehingga dari hasil
analisis sebelumnya, kapasitas kosmetik yang akan dibuat adalah sebanyak 70 kg
per hari, untuk mencukupi kebutuhan toko kosmetik, salon kecantikan, klinik
perawatan, dan apotek di Kabupaten Bogor.
76

4.2.3 Aspek Sumber Daya Manusia

Strategi dan prospek pengembangan industri kosmetik yang merupakan


produk olahan minyak pala di Kabupaten Bogor membutuhkan sumber daya
manusia yang mengetahui tentang minyak pala dan juga tenaga-tenaga khusus
untuk menjemur dan melepas biji kering dari cangkangnya, serta menimbang dan
menggiling biji pala yang akan disuling. Tenaga kerja yang direncanakan terbagi
menjadi dua jenis yaitu tenaga kerja langsung dan tidak langsung. Tenaga kerja
tidak langsung terdiri dari satu orang direktur, satu orang manajer produksi dan
pengendalian mutu serta satu orang manajer sumber daya manusia (HRD), lima
orang karyawan serta dua orang mandor lapang. Sedangkan tenaga kerja langsung
terdiri dari 41 orang khusus pra penyulingan biji dan fuli pala, dengan asumsi
setiap orang mampu mengerjakan tugas tersebut sebanyak 20 kg per hari selain
juga bertugas menjemur, empat orang operator mesin destilasi minyak pala, 7
orang bertugas membuat kosmetik kemudian 5 orang pada bagian pengemasan
dan distribusi.
Kebutuhan akan tenaga kerja ini dipenuhi dari masyarakat Kabupaten
Bogor dan juga dari luar. Tenaga khusus pra penyulingan minyak pala diambil
dari masyarakat sekitar Kabupaten Bogor terutama masyarakat yang hidup dekat
dengan lokasi industri kosmetik. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
memberdayakan masyarakat Kabupaten Bogor, selain itu dengan adanya industri
kosmetik dan prospek lain dari minyak pala ini diharapkan dapat merekrut tenaga
kerja produktif yang masih menganggur.
Dalam rangka meningkatkan kualitas dari produk kosmetik yang akan
dihasilkan, maka perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia/tenaga
kerja yang terkait dengan industri. Kerjasama dengan lembaga-lembaga atau
instansi-instansi yang berkaitan diharapkan mampu mewujudkan peningkatan
kualitas tersebut. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian terutama bagi direktur
dan manajer HRD nantinya. Pelatihan mengenai minyak pala maupun produk-
produk turunannya perlu diadakan secara rutin terutama mengingat bahwa minyak
pala termasuk hal yang masih baru bagi masyarakat Kabupaten Bogor. Pelatihan
lain yang perlu diadakan adalah mengenai pengendalian dan peningkatan mutu
produk atau tentang teknologi.
77

4.2.4 Aspek Ekonomi dan Keuangan

4.2.4.1 Biaya investasi

Biaya investasi diperlukan untuk memulai usaha/proyek, yang meliputi


biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan, fasilitas penunjang, serta perizinan
yang diperlukan. Biaya investasi ini bersifat tetap (fixed) dan harus dikeluarkan
ditahun ke-0 sebelum melakukan usaha/proyek. Jumlah biaya investasi yang
diperlukan pada tahun ke-0 untuk mendirikan industri kosmetik yang merupakan
produk olahanminyak pala sebesar Rp493 206 000.00. Secara lebih rinci jenis
investasi dan kebutuhan biaya masing-masing investasi dapat dilihat pada Tabel
11 berikut.

Tabel 11 Kebutuhan Biaya Investasi


No. Komponen Investasi Jumlah Biaya (Rp.)
1 Perizinan 1 175 000
2 Tanah/Lahan 37 500 000
3 Bangunan 90 000 000
4 Mesin dan Peralatan 229 476 000
5 Fasilitas Penunjang 25 055 000
6 Mobil 110 000 000
Jumlah 493 206 000

Komponen biaya investasi yang paling besar digunakan untuk mesin dan
peralatan yang besarnya mencapai 46.53% dari seluruh kebutuhan biaya investasi
industri kosmetik yang merupakan produk olahanminyak pala. Komponen ini
terdiri dari mesin dan peralatan pengolahan bahan baku minyak pala senilai
Rp119 070 000.00 dan mesin dan peralatan pengolahan kosmetik senilai Rp110
406 000.00 Menurut Nurdjannah (2007) pada proses pengolahan minyak pala
dengan tenggang waktu 10 tahun dibutuhkan biaya investasi mesin dan peralatan
Rp119 070 000.00 dengan kapasitas 21.5 ton minyak per tahun, sesuai dengan
kapasitas industri pengolahan bahan baku minyak pala yang akan didirikan.
Sedangkan mesin dan peralatan pengolahan kosmetik diasumsikan sesuai dengan
industri kosmetik dan jamu tradisional yang ada di Kulonprogo (SIPUK BI 2008),
mengingat belum ada data industri kometik yang merupakan produk olahan
minyak pala. Fasilitas penunjang yang dimaksud adalah instalasi telepon, listrik,
air, komputer, dan perlengkapan kantor lainnya.
78

4.2.4.2 Biaya Operasional

Biaya operasional merupakan biaya yang diperlukan dalam


memproduksi kosmetik olahan dasar minyak pala. Besarnya biaya operasional ini
tergantung pada jumlah yang akan diproduksi. Semakin banyak bahan baku yang
akan diproduksi maka biaya operasional akan semakin tinggi. Oleh karena itu
biaya operasional umumnya merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang
terdiri dari biaya bahan baku dan tenaga kerja langsung. Selain biaya tidak tetap,
biaya operasional juga meliputi biaya overhead yang merupakan biaya tetap yang
harus dikeluarkan setiap bulannya dan sifatnya tidak langsung.
Biaya variabel diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama
usaha beroperasi pada kapasitas 85%, pada tahun kedua beroperasi pada kapasitas
95%, dan baru pada tahun ketiga dan seterusnya industri beroperasi pada
kapasitas penuh (100%). Kebutuhan biaya operasional untuk industri kosmetik
pada kapasitas 100% besarnya mencapai Rp1 076 250 788.00. Besarnya biaya
operasional untuk masing masing komponen sebagaimana tergambar pada
Tabel 12 berikut.

Tabel 12 Kebutuhan Biaya Operasional Per Bulan


No. Biaya Operasional Jumlah Biaya (Rp.)
1 Biaya bahan baku dan TK langsung 759 340 000
2 Biaya bahan pembantu dan penunjang 322 002 920
3 Biaya Overhead 41 114 788
Jumlah 1 122 457 708

Asumsi harga biji dan fuli pala per kilo adalah Rp35 000.00 Jika industri
memiliki 2 buah ketel dan masing-masing ketel dapat beroperasi 1 kali sehari dan
hari kerja 24 hari per bulan, maka diperlukan biaya bahan baku sebesar 412 kg x 1
penyulingan x 2 ketel x 24 hari x Rp35 000.00/ kg = Rp692 160 000.00 per bulan.
Tenaga kerja langsung terdiri dari tenaga pra penyulingan dengan upah
Rp2 000.00 untuk setiap kilogram proses pra penyulingan biji dan fuli yang
dikerjakan ditambah uang makan Rp5 000.00 per hari, sedangkan operator mesin
penyulingan minyak pala dan mesin kosmetik dengan upah per bulan
Rp1 750 000.00, pembuat kosmetik dengan upah Rp45 000.00 perhari juga
ditambah uang makan Rp5 000.00 per hari, serta pengemasan dan distribusi
79

dengan upah per bulan Rp1 500 000.00. Biaya keseluruhan untuk ketiga
kelompok tenaga kerja ini adalah sebesar Rp67 180 000.00. Biaya bahan
pembantu dan penunjang yaitu bahan emulgator bagi kosmetik, pewangi,
pewarna, dan sebagainya, serta bahan bakar dan kemasan. Biaya overhead yang
bersifat tetap (fixed cost) meliputi biaya tenaga kerja tidak langsung (direktur,
manajer, karyawan, mandor lapang), biaya pemasaran, administrasi, perawatan,
biaya margin bank, penyusutan, dan pemeliharaan yang jumlah totalnya adalah
Rp 41 114 788.00.

4.2.4.3 Sumber dan Struktur Pembiayaan

Biaya investasi yang diperlukan dalam industri kosmetik yang merupakan


produk olahan minyak pala bersumber dari modal sendiri dan pembiayaan
perbankan. Pembiayaan dari perbankan terdiri dari pembiayaan investasi dan
pembiayaan modal kerja. Diasumsikan bahwa besarnya margin pembiayaan
perbankan yang berlaku setara 16.5% per tahun. Jangka waktu pengembalian
modal sesuai dengan umur industri/proyek yaitu selama lima tahun. Struktur
pembiayaan investasi dan modal kerja dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Struktur Pembiayaan Industri Kosmetik


No. Sumber Pembiayaan Tahun ke-0 (Rp.)
1. Dana Investasi
a. Pembiayaan (65%) 320 583 900
b. Dana Sendiri (35%) 172 622 100
Jumlah Dana Investasi 493 206 000
2. Dana Modal Kerja
a. Pembiayaan (65%) 754 020 150
b. Dana Sendiri (35%) 406 010 850
Jumlah Dana Modal Kerja 1 160 031 000
3. Total Biaya Proyek
a. Pembiayaan (65%) 1 074 604 050
b. Dana Sendiri (35%) 578 632 950
Jumlah Biaya Proyek 1 653 237 000

Besarnya jumlah angsuran adalah dari pengembalian pokok pembiayaan


ditambah margin pembiayaan. Adapun perhitungan lebih rinci mengenai jadwal
pengembalian pembiayaan dapat dilihat pada Tabel 14.
80

Tabel 14 Angsuran Pembiayaan Investasi & Modal Kerja Industri Kosmetik


Tahun Jumlah Margin Pembayaran Angsuran Outstanding
Pembiayaan (16,5%) Pokok (Rp) (Rp) (Rp)
1 1 074 604 050 132 982 251 179 100 675 312 082 926 762 521 124
2 895 503 375 132 982 251 179 100 675 312 082 926 583 420 449
3 716 402 700 88 654 834 179 100 675 267 755.509 448 647 191
4 537 302 025 88 654 834 268 651 013 357 305 847 179 996 178
5 268 651 013 88 654 834 268 651 013 357 305 847 0

4.2.4.4 Harga dan Prakiraan Penerimaan

Sesuai dengan asumsi semula bahwa dari total minyak pala yang
diproduksi setiap harinya sebesar 36% adalah minyak pala berkualitas baik sesuai
standar yang ditentukan, sehingga tidak perlu diolah menjadi produk olahan
berupa kosmetik, dan sisanya sebesar 64% dijadikan bahan baku produk olahan
kosmetik. Harga minyak pala berkualitas dan harga kosmetik ditentukan dengan
menggunakan metode full costing. Berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan metode ini didapatkan harga pokok untuk satu kilogram minyak
pala adalah Rp294 468.00, sedangkan harga pokok untuk 15 gram kosmetik
adalah Rp7 384.00 Nilai tersebut dihitung pada saat pabrik berproduksi pada
kapasitas penuh. Harga jual ditentukan dengan cara menambahkan harga pokok
dengan keuntungan sebesar masing-masing 20% untuk kosmetik dan 2% untuk
minyak pala, sehingga harga jual untuk produk minyak pala kualitas baik adalah
Rp300 000.00 (pembulatan) per kg dan harga jual untuk produk kosmetik adalah
Rp8 860.00 (pembulatan) per 15 gr atau Rp590 725.00 per kg. Besarnya mark up
ini ditentukan atas pertimbangan perkiraan keuntungan yang ingin didapatkan dari
hasil penjualan agar industri menguntungkan secara finansial khususnya bagi
petani pala di Kabupaten Bogor yang selama ini mengalami kelesuan.
Besarnya keuntungan yang diharapkan tidak akan mengurangi
kemampuan bersaing dari produk kosmetik olahan dasar minyak pala. Harga jual
tersebut berada dibawah pasaran kosmetik non brand saat ini yang berkisar
Rp10 000.00 hingga Rp15 000.00 untuk kemasan 15 gr, sehingga diharapkan
dengan kualitas yang tidak kalah dengan kosmetik olahan dasar kimia dan harga
yang lebih murah, konsumen lebih tertarik dengan produk ini. Penerimaan pada
industri kosmetik ini diasumsikan konstan setiap tahunnya (tidak ada perubahan
harga). Pada tahun pertama sampai kedua, penerimaan didapatkan belum pada
81

kapasitas yang penuh. Pada kapasitas penuh, prakiraan penerimaan dari hasil
penjualan kosmetik ini adalah Rp11 909 007 552.00
Untuk produk minyak pala kualitas baik yang tidak diolah kembali
menjadi produk kosmetik, namun langsung dijual ke pasaran dinilai kurang
memiliki prospek baik untuk kondisi saat ini. Jika melihat dari harga pokok dan
harga jual yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya, produk tersebut tidak
akan memiliki kemampuan bersaing pada kapasitas produksi penuh, karena
tingkat harga rata-rata pasaran minyak pala berkisar Rp270 000.00 per kg, bahkan
harga pokoknya masih berada diatas harga pasaran yakni Rp294 468.00. Hal ini
disebabkan tingkat harga bahan baku biji dan fuli pala yang masih tinggi berkisar
Rp35 000.00 hingga Rp65 000.00 per kg. Seperti yang telah dibahas pada bab
sebelumnya, bahwa kondisi beberapa industri pengolahan minyak pala di
Kabupaten Bogor saat ini sedang mengalami kelesuan, dan beberapa sudah tidak
berproduksi lagi memang menjadi bahan pemikiran untuk mencari alternatif
pengolahan lebih lanjut dari minyak pala menjadi produk-produk yang memilki
prospek kedepan lebih baik. Selain itu dengan adanya krisis global yang dialami
dunia saat ini, beberapa komitment ekspor dari Indonesia mengalami pembatalan
dan berimbas pada lesunya situasi ekspor saat ini. Tidak menutup kemungkinan
juga dialami komoditi minyak pala. Sementara menunggu situasi ekspor
membaik, faktor ketahanan dari minyak pala itu sendiri kurang mendukung,
hingga diperlukan proses lebih lanjut menjadi produk olahan atau mencari solusi
agar minyak yang dihasilkan dapat lebih tahan lama. Dengan mark up harga
pokok 2% pada kapasitas penuh, prakiraan penerimaan dari hasil penjualan
minyak pala ini adalah Rp3 456 000 000.00.

4.2.4.5 Proyeksi Arus Kas

Aliran kas dihitung dengan mengurangkan kas masuk dengan kas keluar.
Aliran kas masuk dalam industri kosmetik ini berasal dari modal sendiri, modal
pinjaman (pembiayaan), dan pendapatan hasil penjualan. Aliran kas keluar terdiri
dari biaya modal tetap dan modal kerja pada saat awal proyek dan angsuran
pinjaman (pembiayaan) yang harus dikembalikan. Asumsi yang dipergunakan
82

dalam perhitungan aspek keuangan, dan proyeksi pendapatan industri kosmetik


yang merupakan produk olahan minyak pala disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15 Asumsi Proyeksi Arus Kas


No. Asumsi Satuan Jumlah
1 Periode Proyek tahunan 5
2 Bulan kerja per tahun bulan 12
3 Hari kerja per bulan hari 24
4 Kapasitas usaha kg / hari 110
5 Jumlah Bahan Baku kg / hari 823
6 Produksi minyak pala kg / bln 2 640
7 Volume penjualan minyak pala kg / bln 960
8 Volume penjualan kosmetik Kg / bln 1 680
9 Rendemen produksi minyak pala % (persen) 13.33 *)
10 Discount rate/Eqv. rate margin bank % (persen) 8 / 16.5
11 Tingkat margin minyak pala % (persen) 2
12 Tingkat margin kosmetik % (persen) 20
13 Kapasitas produksi % (persen) 85% tahun I, 95%
tahun II, 100%
tahun III, 100%
tahun IV, dan
100% tahun V
*) Sumber : Hernani dan Risfaheri 1990, diacu dalam Hadad M EA et.al 2006

Analisis proyeksi arus kas usaha industri kosmetik yang merupakan


produk olahan minyak pala ini digunakan untuk memperoleh gambaran finansial
mengenai pendapatan dan biaya usaha, kemampuan usaha untuk membayar
pinjaman (pembiayaan), dan kelayakan usaha.
Tabel 16 Proyeksi Pendapatan Industri Kosmetik yang Merupakan Produk
Olahan Minyak Pala
No Komponen Tahun
Pendapatan 1 2 3 4 5
A Kapasitas
Produksi 85% 95% 100% 100% 100%
B Penerimaan
Penjualan 2 937.60 3 283.20 3 456.00 3 456.00 3 456.00
MinyakPala
(Jutaan Rp)
C Penerimaan
Penjualan 10 112.66 11 .313.55 11.909.00 11 .909.00 11 .909.00
Kosmetik
(Jutaan Rp)

Perhitungan tersebut memerlukan dasar-dasar perhitungan yang


diasumsikan berdasarkan hasil studi literatur dengan mempertimbangkan
83

kapasitas produksi yang sama atau perhitungan secara proporsional, mengingat di


Kabupaten Bogor belum terdapat industri kosmetik yang merupakan produk
olahan minyak pala. Proyeksi pendapatan industri ini disajikan dalam Tabel 16.
Pada awal tahun pertama, arus kas sudah menunjukkan angka positif
berarti sejak tahun pertama hingga tahun ke lima industri mengalami surplus dan
tidak mengalami kesulitan likuiditas. Proyeksi arus kas industri kosmetik yang
merupakan produk olahan minyak pala dapat dilihat pada Lampiran 14.

4.2.4.6 Break Event Point (BEP)

Hasil perhitungan titik impas menunjukkan bahwa perusahaan akan


mencapai titik impas pada tingkat penjualan sebesar Rp. 1.758.125.427,-
per tahun, seluruh biaya produksi dapat tertutup. Supaya industri produk olahan
minyak pala dapat menguntungkan maka tingkat penjualannya harus lebih dari
angka tersebut. Perhitungan titik impas/BEP dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.2.4.7 Pay Back Period (PBP)

Pay Back Period disebut juga periode pengembalian adalah suatu periode
yang menunjukkan lamanya modal yang ditanam dalam proyek tersebut dapat
kembali dan menggambarkan lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan
dapat dikembalikan (Rangkuti 2000). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
industri bisa mengembalikan modal dalam jangka waktu 11 bulan 15 hari.

4.2.4.8 Kelayakan Investasi

Kriteria investasi yang digunakan dalam menilai kelayakan industri


kosmetik ini adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio). Rekapitulasi nilai kriteria kelayakan
investasi untuk industri kosmetik ini dapat dilihat pada Tabel 17.
Nilai NPV untuk industri kosmetik ini dihitung pada tingkat suku bunga
16.5% per tahun yakni sebesar Rp4.362 473 952.00 Proyek industri dinilai
menguntungkan sehingga dinyatakan layak, karena nilai sekarang penerimaan-
penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai
sekarang investasi.
84

Tabel 17 Rekapitulasi Perhitungan NPV, IRR, PBP, dan B/C Ratio


Kriteria Kelayakan Investasi Satuan Ratio/Nilai
NPV Rp 4 362 473 952
IRR % 47.2
PBP bln 11.5
B/C Ratio kali 1.11

Nilai IRR dari hasil perhitungan didapatkan sebesar 47.2% pertahun


dengan tingkat discount rate 16.5% dan 8%, yang berpedoman pada tingkat suku
bunga pembiayaan yang berlaku dan tingkat suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia. Proyek industri ini dinyatakan layak untuk dilaksanakan, karena
memiliki nilai IRR yang lebih besar dari nilai discount rate, artinya investasi
tersebut lebih memberikan manfaat dibanding manfaat yang diberikan tingkat
suku bunga bank yang relevan.
Net Benefit Cost Ratio sering disebut sebagai profitability index yang
merupakan perbandingan antara keuntungan yang diperoleh terhadap biaya yang
dikeluarkan. Industri kosmetik ini mempunyai nilai Net B/C sebesar 1.16. Hasil
perhitungan ini menunjukkan bahwa industri tersebut layak untuk dilaksanakan
karena nilai Net B/C lebih dari satu.

4.2.4.9 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap kondisi paling umum yang


mungkin terjadi yaitu penurunan harga jual produk, kenaikan harga bahan baku,
dan penggabungan kedua kondisi tersebut. Analisis sensitivitas dilakukan dengan
asumsi biaya lainnya tetap.
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap kondisi pada saat bahan
baku mengalami kenaikan sebesar 10% industri kosmetik yang merupakan produk
olahanminyak pala masih layak. Hal ini disebabkan kenaikan bahan baku sebesar
itu tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan jika
dibandingkan dengan penerimaan yang diterima. Pada kondisi harga jual produk
turun sebesar 5%, industri ini masih layak dipertimbangkan karena berkurangnya
penerimaan masih dapat mengcover biaya-biaya yang ada sehingga tidak
menimbulkan dampak yang terlalu buruk terhadap profit yang diterima
perusahaan. Pada kondisi gabungan yaitu bahan baku naik 10% dan harga jual
85

produk turun 5%, maka industri juga masih layak untuk dipertimbangkan karena
baik turunnya harga jual maupun naiknya harga bahan baku tetap tidak dapat
mempengaruhi kuatnya posisi profit industri. Kondisi tersebut dapat terlihat pada
Tabel 18.

Tabel 18 Analisis Sensitivitas Industri Kosmetik


Kriteria Kondisi Harga Jual Bahan Baku Bahan Baku
Kelayakan Normal Turun 5% Naik 10% Naik 10% dan
Proyek Harga Jual
Turun 5%
NPV (Rp.) 4 362 473.952 2 587 818 971 2 446 138 574 671 483 594
IRR (%) 47.2 44.52 44.17 33.90
PBP (tahun) 11.5 bulan 1.5 1.6 3.3
B/C Ratio 1.16 1.10 1.09 1.04
Status
Kelayakan Layak Layak Layak Layak

Dari Tabel 18 diatas, jika dilakukan perbandingan dua skenario arus kas,
industri kosmetik ini lebih sensitif terhadap kenaikan harga bahan baku daripada
penurunan harga jual, sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi industri untuk
memilih strategi pemasaran melalui “perang harga”, karena turunnya harga jual
produk tidak terlalu memberikan pengaruh negatif bagi industri.

4.3 Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala

4.3.1 Penentuan Posisi Agroindustri Produk Olahan Minyak Pala

4.3.1.1 Faktor Internal

Untuk mengetahui faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan


dari industri yang akan dikembangkan dilakukan jajak pendapat melalui alat bantu
pengisian kuesioner terhadap pakar.
Faktor internal yang menjadi kekuatan.
a. Potensi sumber daya lahan
Lahan-lahan kosong di pedesaan yang masih cukup luas merupakan
sebuah potensi yang sangat besar apabila dimanfaatkan sebagai area untuk
pembudidayaan tanaman pala yang sangat penting artinya bagi kontinuitas
industri produk olahan minyak pala, maupun sebagai tempat/lokasi industri.
b. Tersedianya tenaga kerja yang cukup
86

Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah seiring dengan


meningkatnya angka kelahiran, akan berpengaruh pada angka usia produktif
terutama pencari kerja. Disamping itu dengan kondisi global yang sedang
mengalami krisis sedikit banyak berpengaruh pada industri dan perusahaan dalam
negeri untuk melakukan pemangkasan jumlah tenaga kerja, dan berakibat
banyaknya usia produktif yang menganggur. Tersedianya tenaga kerja ini juga
merupakan kekuatan bagi kelancaran usaha dan berkembangnya industri produk
olahan minyak pala.
c. Kesesuaian tempat tumbuh tanaman pala
Tanaman pala memerlukan tanah yang subur dan gembur, terutama tanah-
tanah vulkanis dan miring (Heyne 1927, diacu dalam Hadad et.al 2006). Pala
akan tumbuh baik pada tanah yang bertekstur dari pasir sampai lempung. Keadaan
tanah dengan reaksi sedang sampai netral (pH 5.5 – 7) merupakan rata-rata yang
baik untuk pertumbuhan tanaman pala, karena keadaan kimia maupun biologi
tanah berada pada titik optimum. Tanah di Indonesia didominasi oleh tanah
Latosol dan Podsolik juga mengandung berbagai biota tanah yang bermanfaat
bagi kesuburan tanah (Poerwowidodo, 2000). Dengan adanya tingkat kesuburan
tanah tersebut pada akhirnya akan menunjang ketersediaan biji dan fuli pala
sebagai bahan baku dari industri produk olahan minyak pala.
d. Kesesuaian agroklimat tanaman pala
Tanaman pala memerlukan iklim tropis yang panas dengan curah hujan
yang tinggi tanpa adanya periode kering yang nyata, dengan curah hujan sekitar
2.656 mm/th ( didaerah asal tanaman pala yaitu Banda) dengan jumlah hari hujan
167 hari merata sepanjang tahun. Meskipun terdapat bulan-bulan kering, tetapi
selama bulan kering tersebut masih terdapat 10 hari hujan dengan sekurang-
kurangnya ±100 mm. (Deinum, 1949 diacu dalam Hadad et.al 2006). Tanaman
pala dapat tumbuh baik pada ketinggian 0 – 700 m diatas permukaan laut (Flach
1966, diacu dalam Hadad et.al 2006). Deinum (1949) mengatakan bahwa suhu
yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman pala antara 25°C - 30°C, dan semua
kondisi ini terdapat di Indonesia, sehingga industri produk olahan minyak pala
memungkinkan untuk tetap dan terus berkembang melihat kondisi yang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman pala.
87

e. Budidaya pala yang turun temurun


Faktor kekuatan ini akan memudahkan dalam hal pengadaan bahan baku.
Para petani pala tidak asing lagi dengan cara pembudidayaan yang benar untuk
menghasilkan tanaman yang berkualitas tinggi sehingga akan didapatkan biji dan
fuli serta produk olahan dari minyak pala tersebut yang berkualitas baik.
f. Kedekatan dengan potensi pasar
Jumlah penduduk yang banyak dan daya beli yang tinggi merupakan
faktor kekuatan bagi jaminan pemasaran hasil industri yang nantinya akan
dikembangkan. Konsumen yang memiliki daya beli tinggi biasanya banyak
berdiam di ibukota negara sebagai kota metropolitan, yang notabene letaknya
berdampingan.
g. Kelancaran transportasi dan ketersediaan fasilitas penunjang
Transportasi yang murah dan mudah serta infrastruktur yang dimiliki
merupakan faktor kekuatan internal, begitu pula fasilitas penunjang lain seperti
telekomunikasi, listrik dan air yang telah menjangkau hingga ke pelosok juga
menjadi faktor kekuatan tersendiri dalam mendukung pengembangan industri.
h. Kedekatan dengan Pelabuhan dan Airport sebagai jalur transportasi antar
daerah dan antar negara
Faktor kekuatan ini menunjang baik dalam hal akses pasar, dan
kemudahan dalam menjangkau fasilitas transportasi darat, laut, dan udara apabila
industri berkembang dan menjangkau pasar eksport.
Faktor internal yang menjadi kelemahan.
a. Terbatasnya sumber daya yang memiliki keahlian tentang minyak pala
Sampai dengan saat ini tidak banyak orang yang mengerti betul tentang
minyak pala, mulai dari metode destilasinya, kegunaannya, proses
pengolahannya, dan prospeknya. Kebanyakan yang ahli tentang minyak pala
biasanya bukan orang-orang yang berada di industri ataupun masyarakat awam
seperti petani pala melainkan orang-orang dalam bidang penelitian. Hal ini dapat
menyulitkan bagi industri produk olahan terutama yang baru untuk berdiri.
b. Teknologi masih sederhana
Teknologi destilasi dan pengolahan yang ada sangatlah sederhana dimana
hal ini berbeda jauh dengan kondisi industri di luar negeri dengan alat-alat yang
serba canggih. Hal ini menyangkut masalah pengadaan dana.
88

c. Sistem informasi yang belum memadai


Sistem informasi yang berkembang saat ini belumlah memadai, terutama
bagi industri yang kesulitan untuk mencari pasar karena tidak adanya sistem
informasi yang tertata rapi.
d. Aspek kelembagaan yang belum efektif
Kelembagaan yang dimaksud adalah kelompok petani pala sebagai
pemasok utama bahan baku dan juga pemerintah terutama pemerintah kabupaten.
Yang terjadi saat ini adalah pemerintah berada pada pihak yang menunggu, jika
ada kemauan dari para petani pala, maka barulah pemerintah memfasilitasi.
e. Kurangnya bahan baku akibat kurangnya gairah petani pala.
Kelanjutan dari usaha petani pala kurang mendapat perhatian pemerintah.
Akibatnya yang terjadi adalah secara luasan kebun pala memang masih
menjanjikan, namun dari segi produksi/hasil panen sangat jauh dari yang
diharapkan. Bahkan beberapa industri pengolahan minyak pala harus gulung tikar
dengan konsekuensi banyaknya alat suling yang idle karena kurangnya bahan
baku biji dan fuli pala yang dibutuhkan. Kalaupun ada, mengharuskan industri
membelinya dengan harga tinggi atau mencari keluar kabupaten bahkan luar
propinsi yang otomatis tidak akan menutup biaya produksi.
f. Terbatasnya modal petani pala
Biasanya petani pala mengusahakan tanamannya dalam skala yang relatif
kecil, demikian juga modal yang dimiliki. Akibatnya usaha untuk melakukan
diversifikasi khususnya pengolahan minyak pala relatif sulit untuk diwujudkan.
g. Tidak adanya pola bapak angkat
Belum adanya investor atau lembaga yang benar-benar serius untuk
membina petani pala atau bekerjasama menngusahakan diversifikasi produk pala
melalui pengolahan minyak pala menjadi produk yang memiliki nilai tambah
lebih tinggi.

4.3.1.2 Faktor Eksternal

Untuk mengetahui faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman


dari industri yang akan dikembangkan dilakukan jajak pendapat melalui alat bantu
pengisian kuesioner terhadap pakar.
89

Faktor eksternal yang menjadi peluang.


a. Prospek pasar dalam negeri dan luar negeri
Dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan produk-produk olahan
minyak pala, maka hal ini merupakan peluang bagi industri produk olahan minyak
pala untuk melakukan diversifikasi produk dan memperluas pemasaran.
b. Kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan agroindustri
Kebijakan pemerintah selama ini mendukung pengembangan produk-
produk agroindustri. Sub sektor perkebunan semakin penting dalam
meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat makin
terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini merupakan sumber utama
devisa negara. Hal ini merupakan peluang untuk dapat memanfaatkan buah sejati
ataupun semu dari pala termasuk biji dan fulinya yang menghasilkan minyak pala.
c. Adanya perhatian dari litbang untuk pengembangan minyak pala.
Saat ini ada beberapa balai penelitian yang sudah melihat peluang pasar
dari produk olahan minyak pala. Hal ini merupakan peluang yang sangat baik
bagi industri tersebut untuk dapat berkembang dan melakukan diversifikasi
produk, karena selain menyumbangkan ilmu, pihak tersebut biasanya akan
menyumbangkan finansial.
d. Meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap produk agroindustri
Dengan meningkatnya kesadaran terhadap kesehatan, maka banyak
kalangan masyarakat tertentu yang melirik produk-produk agroindustri karena
dianggap lebih baik dan aman untuk kesehatan tubuh.
Faktor eksternal yang menjadi ancaman.
a. Banyaknya pungutan-pungutan liar
Banyaknya pungutan-pungutan liar merupakan suatu ancaman karena
akan menaikkan biaya operasional industri yang sebenarnya tidak memeberi
manfaat bagi industri. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka akan
menimbulkan kelesuan untuk berusaha bagi industri karena industri akan merasa
dirugikan.
90

b. Kebijakan pemerintah daerah atau pusat yang tidak konsisten antara satu
dinas/instansi dengan lainnya.
Kebijakan yang saling tidak konsisten ini akan menyebabkan
ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam berusaha bagi industri dan
selanjutnya akan mengancam kelangsungan industri.

4.3.1.3 Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal

Dalam Evaluasi ini digolongkan faktor-faktor lingkungan yang dihadapi


oleh suatu industri sebagai kombinasi atas faktor kekuatan dan peluang,
kelemahan dan ancaman seperti yang disajikan dalam Tabel 19 dan Tabel 20.
Pembobotan terhadap faktor internal menggunakan perbandingan berpasangan.
Hasil pengisian perbandingan berpasangan dan penggabungan bobot untuk ketiga
responden dapat dilihat pada Lampiran 19.

Tabel 19 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)


Faktor-Faktor Internal Bobot Rating Skor
I. Kekuatan
a.Potensi sumber daya lahan 0.124 2 0.248
b.Tersedianya tenaga kerja yang cukup 0.117 2 0.234
c.Kesesuaian tempat tumbuh tanaman pala 0.045 4 0.180
d.Kesesuaian agroklimat tanaman pala 0.037 4 0.148
e.Budidaya pala yang turun temurun 0.105 3 0.315
f.Kedekatan dengan potensi pasar 0.019 3 0.057
g.Kelancaran transportasi dan ketersediaan fasilitas 0.033 2 0.066
penunjang
h.Kedekatan dengan Pelabuhan dan Airport sebagai 0.033 2 0.066
jalur transportasi antar daerah dan antar negara
Jumlah (I) 0.513 1.314
II Kelemahan
a.Terbatasnya sumber daya yang memiliki keahlian 0.098 3 0.297
tentang minyak pala
b.Teknologi pengolahan masih sederhana 0.089 3 0.267
c. Sistem informasi yang belum memadai 0.079 4 0.316
d. Kelembagaan belum efektif 0.079 4 0.316
e. Kurangnya bahan baku biji dan fuli pala 0.101 3 0.303
f. Terbatasnya modal petani pala 0.008 4 0.032
g. Tidak adanya pola bapak angkat 0.033 2 0.066
Jumlah (II) 0.487 1.594
Total (I + II) 1.000 2.908

Berdasarkan Tabel 19, dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi


kekuatan bagi pengembangan industri produk olahan minyak pala adalah
91

budidaya pala yang turun temurun (0.315). Hal ini berpengaruh besar karena akan
memudahkan dalam hal pengadaan bahan baku pala. Para petani pala tidak asing
lagi dengan cara pembudidayaan yang benar untuk menghasilkan tanaman yang
berkualitas tinggi sehingga akan didapatkan biji dan fuli serta produk olahan dari
minyak pala yang berkualitas baik. Tersedianya sumber daya lahan yang cukup
luas (0.248) juga menjadikan kekuatan apabila dimanfaatkan sebagai area untuk
pembudidayaan tanaman pala yang sangat penting artinya bagi kontinuitas
industri produk olahan minyak pala, maupun sebagai tempat/lokasi industri.
Faktor kelemahan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah sistem
informasi yang belum memadai (0.316) dan aspek kelembagaan yang belum
efektif (0.316). Langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kelemahan tersebut
adalah memfungsikan kelompok-kelompok tani pala sebagai pemasok bahan
baku, dan selanjutnya perlu diadakan kerjasama dengan lembaga investor /
lembaga-lembaga penelitian. Selain itu juga perlu menata dan menyediakan data
dan sistem informasi yang mutakhir dan akurat misal mengenai produksi,
kebutuhan pasar, kecenderungan pasar, dan informasi harga minyak pala.
Pembuatan peta perwilayahan untuk usaha pengolahan minyak pala juga
diperlukan untuk memberikan informasi keberadaan usaha minyak pala dan atau
produk turunannya yang umumnya terdapat di pedesaan dan berskala kecil.
Kelemahan yang penting juga untuk dikaji selain dua kelemahan diatas
yang memiliki skor berimbang adalah kurangnya bahan baku pala (0.303) akibat
kurangnya gairah petani pala. Hal ini terkait dengan kurangnya perhatian
pemerintah daerah akan kelangsungan usaha tani pala yang notabene merupakan
tanaman khas Bogor, selain talas dan kenari. Sehingga yang terjadi adalah
kelangkaan produksi pala sementara luasan tanaman masih cukup menjanjikan.
Langkah yang perlu diambil untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah
pemerintah lebih mengintensifkan penyuluhan-penyuluhan mengenai budidaya
pala yang benar, pemberian bantuan benih/bibit tanaman pala yang baik,
mengorganisir pasar dan melakukan pengawasan hasil produksi petani sehingga
tidak jatuh ke tangan tengkulak yang hanya ingin mengambil keuntungan sepihak
dari hasil panen petani pala, sehingga kelangkaan bahan baku dan tingginya harga
bahan baku akan dapat dihindari.
92

Berdasarkan Tabel 20 dibawah maka yang menjadi peluang terbesar


adalah kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan agroindustri
(0.620). Dukungan dari pemerintah melalui kebijakannya merupakan peluang
yang sangat baik bagi industri untuk dapat berkembang dengan pemberian
subsidi, atau program-program pelatihan mengenai pengembangan usaha
agroindustri, untuk meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan mutu,
harga yang kompetitif dan keberlanjutan suplai melalui pembinaan yang
terintegrasi oleh instansi terkait.
Ancaman yang berpengaruh paling besar adalah banyaknya pungutan-
pungutan liar (0.801). Dengan banyaknya pungutan-pungutan liar akan
menaikkan biaya operasional industri yang sebenarnya tidak memberi manfaat
bagi industri. Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka akan menimbulkan
kelesuan untuk berusaha bagi industri karena industri akan merasa dirugikan. Hal
ini harus diatasi dengan dilakukannya penertiban-penertiban oleh aparat terkait,
namun secara berkesinambungan dan bukan sesaat, atau berupa pembinaan dan
sangsi terhadap oknum-oknum yang melanggar sehingga memberikan efek jera.

Tabel 20 Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)


Faktor-Faktor Eksternal Bobot Rating Skor
I. Peluang
a.Prospek pasar dalam negeri dan luar negeri 0.022 5 0.110
b.Kebijakan pemerintah yang mendukung 0.155 4 0.620
pengembangan agroindustri
c.Adanya perhatian dari Litbang untuk 0.267 2 0.534
pengembangan minyak pala
d.Bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap 0.100 4 0.400
produk agroindustri
Jumlah (I) 0.544 1.664
II Ancaman
a. Banyaknya pungutan liar 0.267 3 0.801
b. Kebijakan pemerintah daerah/pusat yang tidak 0.189 3 0.567
konsisten antar satu dinas/instansi dengan lainnya
Jumlah (II) 0.456 1.368
Total (I + II) 1.000 3.032

4.3.1.4 Matriks Internal-Eksternal


Berdasarkan analisis faktor-faktor internal dan eksternal, diperoleh hasil
berupa nilai matriks yang akan menentukan posisi industri produk olahan minyak
pala, untuk menjadi acuan didalam memformulasikan alternatif strategi yang
93

diperoleh. Formulasi strategi ini tidak terlepas dari aspek lingkungan internal dan
eksternal. Setelah matrik IFE dan EFE dibuat, langkah selanjutnya adalah
menyusun matriks IE yang merupakan pemetaan dari skor total matriks IFE dan
EFE.
Total Skor IFE
4.0 Kuat 3.0 Rata-rata 2.0 Lemah 1.0

Tinggi I II III
Pertumbuhan
3,0
Total Skor EFE

Sedang IV V VI

2,0

Lemah VII VIII IX

1.0
Gambar 2 Posisi Industri Produk Olahan Minyak Pala

Matriks diatas menggambarkan nilai skor IFE sebesar 3.032 dan EFE
2.908 sehingga posisi industri produk olahan minyak pala berada pada kuadran II
atau posisi sel dua (pertumbuhan) yang menunjukkan posisi strategi pertumbuhan
melalui integrasi horizontal dengan kata lain industri produk olahan minyak pala
mempunyai tingkat keunggulan dalam faktor eksternal yang merupakan
kontribusi dari tingginya faktor-faktor peluang. Strategi yang disarankan pada
kondisi tersebut adalah bahwa industri merumuskan strategi pemasaran untuk
menembus pasar, melakukan diversifikasi produk dan mengembangkan wilayah
pasar yang dikuasainya. Kuadran I, II, dan IV dikenal dengan grow and build,
kuadran III, V, dan VII adalah hold and maintain, sedangkan VI, VII, dan IX
adalah Harvest and divesture.
94

4.3.1.5 Matriks SWOT

Berdasarkan kombinasi faktor-faktor internal dan eksternal, dapat disusun


berbagai kemungkinan alternatif strategi yang dapat diterapkan oleh industri
menurut matriks SWOT.

Tabel 21 Matriks SWOT Industri Produk Olahan Minyak Pala


Kekuatan (S) Kelemahan (W)
1. Tersedianya SD lahan yang 1. Terbatasnya SD ahli
Internal
cukup luas 2. Teknologi pengolahan
2. Tersedianya tenaga kerja masih sederhana
yang cukup 3. Sistem informasi belum
3. Kesesuaian tempat tumbuh memadai
4. Kesesuaian agroklimat 4. Kelembagaan belum
5. Budidaya pala yang telah efektif
lama ada (turun temurun) 5. Kurangnya bahan baku
6. Kedekatan dengan potensi akibat kurangnya
pasar. gairah petani pala
7. Ketersediaan transportasi 6. Terbatasnya modal
dan fasilitas penunjang 7. Tidak adanya pola bapak
Eksternal
8. Kedekatan dengan angkat.
pelabuhan dan airport

Peluang (O) S-O W-O


1. Peluang pasar DN dan 1. Perluasan areal kebun pala 1. Peningkatan kualitas
LN 2. Pembangunan sentra produk SDM & teknologi
2. Perhatian dari Litbang akhir minyak pala melalui pelatihan ttg
3. Kebijakan yang 3. Pola kemitraan (petani pala, minyak pala
mendukung pengemb pemda, pelaku industri, 2. Pembangunan pusat
agroindustri lembaga penelitian) informasi pala
4. Meningkatnya keb 4. Memperluas jaringan 3. Penataan kelembagaan
masyarakat thd produk pemasaran di sekitar sentra 4. Mengintensifkan
agroindustri bisnis penyuluhan budidaya,
subsidi benih &
pengawasan hasil
produksi petani pala
5. Pembentukan LK dan
permodalan
Ancaman (T) S-T W-T
1. Banyaknya pungutan liar 1. Perbaikan kebijakan yang 1. Penertiban pungutan liar
2. Kebijakan pemda atau mendukung industri oleh instansi terkait.
pusat yang tidak 2. Kerjasama yang saling 2. Perbaikan kualitas SDM
konsisten antar satu mendukung antar pelaku dan teknologi
dinas/instansi dgn industri maupun dinas terkait 3. Perbaikan kebijakan dan
lainnya dalam pemanfaatan tiap kelembagaan
bagian dari buah pala.

Hasil formulasi dikelompokkan menjadi empat kelompok formulasi


strategi yang terdiri dari strategi Kekuatan – Peluang (S–O) merupakan strategi
95

Agresif, strategi Kekuatan – Ancaman (S–T) merupakan strategi Diferensiasi,


strategi Kelemahan – Peluang (W–O) merupakan strategi Diversifikasi dan
strategi Kelemahan – Ancaman (W–T) merupakan strategi Defensif (Tabel 21).
Dari hasil analisis matriks SWOT dapat dirumuskan beberapa alternatif
strategi yaitu :
1. Perluasan areal kebun pala
2. Pembangunan sentra produk olahan minyak pala
3. Pola kemitraan, termasuk di dalamnya mengintensifkan penyuluhan budidaya,
subsidi benih, pengawasan hasil produksi petani pala dan kerjasama yang
saling mendukung antar pelaku industri dalam pemanfaatan tiap bagian dari
buah pala.
4. Pemberdayaan lembaga keuangan dan permodalan
5. Peningkatan kualitas SDM dan teknologi melalui pelatihan-pelatihan
khususnya tentang minyak pala dan produk olahannya.
6. Pembangunan pusat informasi pala, termasuk di dalamnya perluasan jaringan
pemasaran di sekitar sentra bisnis melalui pemanfaatan kemajuan teknologi.
7. Perbaikan kebijakan dan kelembagaan, khususnya yang mendukung industri,
termasuk di dalamnya penertiban pungutan-pungutan liar.

4.3.2 Prioritas Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak


Pala

Untuk memilih prioritas strategi pengembangan industri produk olahan


minyak pala digunakan metode yang disebut Analytical Hyrarkhi Process (AHP).
Dalam memformulasikan strategi ini dilakukan wawancara dan diskusi secara
terpisah dengan masing-masing dua orang responden pakar. Selain itu dilakukan
jajak pendapat melalui alat bantu pengisian kuesioner dengan enam responden
pakar.
Dalam menyusun strategi pengembangan industri produk olahan minyak
pala di Kabupaten Bogor ada beberapa permasalahan yang perlu
dipertimbangkan. Permasalahan tersebut dikelompokkan dalam lima elemen,
masing-masing elemen terdiri dari beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yang
merupakan hasil jajak pendapat dengan alat bantu pengisian kuesioner oleh para
96

responden, dalam rangka pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Bogor melalui


strategi dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala.
Fokus/ Tujuan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah pemberdayaan masyarakat di
Kabupaten Bogor. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses pendidikan
dalam rangka merubah pola pikir masyarakat khususnya petani pala di Kabupaten
Bogor, sehingga dari hasil perubahan pola pikir tersebut terjadi
peningkatan/perubahan tingkah laku dan peningkatan kualitas SDM.

Faktor.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka pemberdayaan
masyarakat melalui strategi dan prospek pengembangan industri produk olahan
minyak pala yaitu ketersediaan bahan baku, mutu bahan baku, penguasaan
teknologi, permintaan/kondisi pasar, ketersediaan fasilitas dan sarana
produksi, SDM yang berkualitas, harga menguntungkan, dan ketersediaan
dana dan modal.
Aktor
Aktor-aktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan industri
produk olahan minyak pala di Kabupaten Bogor adalah petani pala, pemerintah
daerah, investor, pelaku industri, konsumen, lembaga keuangan, serta
lembaga penelitian dan pengembangan (litbang).
Tujuan
Tujuan yang diidentifikasi adalah membuka lapangan pekerjaan,
memaksimalkan keuntungan, perluasan/diversifikasi usaha, perluasan
pangsa pasar, dan peningkatan pendapatan daerah/devisa.
Alternatif Strategi.
Alternatif strategi berkenaan dengan kebijakan-kebijakan spesifik yang
diprioritaskan untuk mencapai sasaran utama yaitu perluasan areal kebun pala,
pembangunan sentra produk olahan minyak pala, pola kemitraan,
pemberdayaan lembaga permodalan dan keuangan yang ada di Kabupaten
Bogor, peningkatan kualitas SDM dan teknologi, pembangunan pusat
informasi pala dan produk-produknya, dan perbaikan kebijakan dan
kelembagaan.
97

Berdasarkan elemen-elemen diatas, disusun suatu hirarki untuk


memformulasikan strategi pengembangan industri produk olahan minyak pala di
Kabupaten Bogor. Berdasarkan hirarki ini dilakukan penyusunan kuesioner yang
diajukan kepada para responden. Setelah itu kuesioner tersebut dianalisis
menggunakan metode AHP dengan syarat hanya pendapat responden yang
memilki rasio konsistensi ≤ 10% yang akan dianalisa lebih lanjut. Dari 6
responden yang mengisi kuesioner, hanya 4 pendapat yang bisa dianalisa karena
rasio konsistensi ≤ 10%. Hasil pengolahan dengan menggunakan sofware Expert
Choice 2000 dapat dilihat melalui hirarki pada Gambar 3.
Hasil pembobotan dan pemberian prioritas pada elemen faktor dapat
dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Bobot dan Prioritas Elemen Faktor Pemberdayaan Masyarakat


Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk Olahan
Minyak Pala
Elemen Faktor Bobot Prioritas
Ketersediaan Bahan Baku 0.171 1
Mutu Bahan Baku 0.140 4
Penguasaan Teknologi 0.151 3
Permintaan/Kondisi Pasar 0.154 2
Ketersediaan Fasilitas dan Sarana 0.083 8
SDM Berkualitas 0.098 6
Harga Menguntungkan 0.109 5
Ketersediaan Dana/Modal 0.093 7

Dari tabel diatas faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam strategi
dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala dalam rangka
pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Bogor adalah ketersediaan bahan baku
sebagai prioritas pertama dengan bobot 0.171. Bahan baku yang mencukupi yaitu
berupa biji dan fuli pala sangat penting bagi industri produk olahan minyak pala.
Dari hasil wawancara dengan seorang peneliti maupun seorang staf di Pemerintah
Daerah Kabupaten Bogor sebenarnya strategi dan prospek pengembangan industri
produk derrvatif minyak pala di Kabupaten Bogor untuk kondisi saat ini dinilai
belum visible dan masih belum menjadi prioritas kebijakan pengembangan
agroindustri di Kabupaten Bogor, meskipun keuntungan bagi masyarakat besar.
81

Goal : Pemberdayaan Masyarakat Kab. Bogor melalui Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala

Ketersediaan Mutu Bahan Penguasaan Permintaan/ Ketersediaan Fasilitas SDM yang Harga yang Ketersediaan
Faktor : Bahan Baku Baku Teknologi Kondisi Pasar dan Sarana Produksi Berkualitas Menguntungkan Dana & Modal
(0,171) (0,140) (0,151) (0,154) (0,083) (0,098) (0,109) (0,093)

Petani Pala Pemda Investor Pelaku Industri Konsumen Lembaga Keuangan Litbang
Aktor : (0,205) (0,362) (0,051) (0,239) (0,048) (0,036) (0,058)

Membuka Lapangan Memaksimalkan Perluasan/ Perluasan Peningkatan Pendapatan


Sub-tujuan : Pekerjaan Keuntungan Diversifikasi Usaha Pangsa Pasar Daerah &Devisa
(0,269) (0,289) (0,230) (0,100) (0,113)

Perluasan Pembangunan Pola Pemberdayaan Peningkatan Pembangunan Pusat Perbaikan


Areal Sentra Produk Kemitraan Lembaga Permodalan Kualitas SDM dan Informasi Pala dan Kebijakan dan
Strategi : Kebun Pala olahan Minyak Pala & Keuangan Teknologi Produk-produknya Kelembagaan
(0,185) (0,180) (0,183) (0,116) (0,120) (0,130) (0,084)

Gambar 3 Hirarkhi Strategi Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala


82

Hal ini karena luasan kebun pala rakyat yang benar-benar ada saat ini jauh
berkurang dan dikhawatirkan tidak mampu mencukupi kebutuhan industri produk
olahan minyak pala. Selain itu kondisi di lapangan saat ini beberapa industri
pengolahan minyak pala yang sudah ada sebagian tidak lagi berproduksi. Hal ini
sebenarnya sudah mendapat perhatian dari pihak litbang dengan memberi bantuan
barupa penyempurnaan alat destilasi dan penyuluhan kepada pelaku industri
untuk memperoleh hasil minyak pala yang efisien. Namun karena kurangnya
bahan baku berupa biji dan fuli pala serta tingginya harga kedua bahan baku
tersebut mengakibatkan produksi terganggu dan akhirnya berhenti sama sekali.
Beberapa alat penyulingan saat ini dalam kondisi menganggur (idle), selain
kurangnya perencanaan yang cermat dalam pendirian industri minyak pala
tersebut, menurut Peneliti dari Balai Besar Litbang Pasca Panen adalah kurangnya
perhatian yang serius dari Pemerintah akan pengembangan industri minyak atsiri
di Kabupaten Bogor. Karena beberapa alat destilasi yang saat ini menganggur
sebenarnya dapat juga dimanfaatkan untuk penyulingan minyak atsiri lainnya
selain minyak pala seperti minyak nilam dan minyak cengkeh misalnya. Untuk itu
dalam rangka mencukupi kebutuhan akan bahan baku biji dan fuli pala perlu
dibuat sebuah sentra perkebunan pala. Sentra tersebut sebaiknya dibuat di dekat
lokasi potensial pengembangan industri produk olahan minyak pala atau industri
pengolahan bagian buah pala lainnya, agar terjadi efisiensi waktu dan biaya dalam
hal penyediaan bahan baku, dan transportasi.
Faktor permintaan atau kondisi pasar menjadi prioritas kedua setelah
ketersediaan bahan baku dengan bobot 0.154. Dengan adanya pasar maka industri
akan terus dapat beroperasi dan tidak kesulitan untuk memasarkan produknya.
Apabila produk dari industri terus dapat diserap pasar maka industri semakin
berkembang, maka akan semakin membuka peluang bagi masyarakat untuk
bekerja pada industri atau ikut serta dalam pengembangan industri melalui
kemampuannya masing-masing.
Dari Tabel 23 dibawah diketahui bahwa aktor yang menduduki prioritas
pertama adalah Pemerintah Daerah dengan bobot sebesar 0.362. Berdasarkan
penilaian beberapa responden pakar aktor yang dinilai berperan sangat penting
dalam strategi dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak pala
yang akan dikembangkan di Kabupaten Bogor adalah Pemerintah Daerah.
83

Tabel 23 Bobot dan Prioritas Elemen Aktor Pemberdayaan Masyarakat


Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk Olahan
Minyak Pala
Elemen Aktor Bobot Prioritas
Petani Pala 0.205 3
Pemerintah Daerah 0.362 1
Pelaku Industri 0.239 2
Lembaga Penelitian dan Pengembangan 0.058 4
Konsumen 0.048 6
Investor 0.051 5
Lembaga Keuangan 0.036 7

Hal ini mengingat bahwa Pemda yang nantinya mampu meningkatkan dan
menumbuhkan upaya kreatif masyarakat untuk membidik potensi daerah dan
mengelolanya, seperti uraian yang telah dipaparkan perihal faktor prioritas
terpenting yaitu ketersediaan bahan baku pala. Peran terpenting Pemerintah
Kabupaten Bogor adalah bagaimana agar mampu membangkitkan kembali minat
masyarakat untuk menanam dan membudi dayakan tanaman pala, karena itu perlu
adanya publikasi tentang industri produk olahan minyak pala dan pengarahan-
pengarahan yang berkaitan dengan hal tersebut, termasuk pengembangan industri
pengolahan bagian tanaman pala lainnya, sehingga secara keseluruhan
pengembangan kebun pala rakyat dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Disamping itu Pemerintah diupayakan lebih mengintensifkan penyuluhan-
penyuluhan mengenai budidaya pala yang benar, pemberian bantuan benih/bibit
tanaman pala yang baik, mengorganisir pasar dan melakukan pengawasan hasil
produksi petani sehingga tidak jatuh ke tangan tengkulak yang hanya ingin
mengambil keuntungan sepihak dari hasil panen petani pala, sehingga kelangkaan
bahan baku dan tingginya harga bahan baku akan dapat dihindari. Pemda juga
merupakan jalan untuk terbukanya industri tersebut di Kabupaten Bogor karena
Pemda yang nantinya akan menentukan kebijakan-kebijakan serta peraturan-
peraturan yang kemungkinan dapat melancarkan jalannya industri atau malah
sebaliknya yaitu menghambat. Artinya Pemda sangat menentukan iklim usaha
bagi industri produk olahan minyak pala.
Pelaku industri menduduki prioritas kedua dengan bobot 0.239, yang
dimaksudkan pelaku industri adalah masyarakat Kabupaten Bogor yang terjun
langsung dalam industri produk olahan minyak pala. Pelaku industri berperan
84

dalam menghidupkan industri terutama dalam rangka peningkatan nilai tambah


produk pala yang dihasilkan oleh petani pala. Pelaku industri juga berperan
sebagai roda operasional dalam industri produk olahan minyak pala.

Tabel 24 Bobot dan Prioritas Elemen Tujuan Perberdayaan Masyarakat


Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk Olahan
Minyak Pala
Elemen Sub-Tujuan Bobot Prioritas
Membuka Lapangan Pekerjaan 0.269 2
Memaksimalkan Keuntungan 0.289 1
Perluasan/Diversifikasi Usaha 0.230 3
Perluasan Pangsa Pasar 0.100 5
Peningkatan Pendapatan Daerah/Devisa 0.113 4

Dari tabel diatas diketahui bahwa tujuan pengembangan industri dalam


rangka pemberdayaan masyarakat, berdasarkan hasil penilaian responden dan
pengolahan data adalah memaksimalkan keuntungan (0.289). Apabila setiap pihak
terutama petani pala dapat merasakan keuntungan yang diperoleh dengan adanya
pengembangan industri produk olahan minyak pala, maka akan timbul semangat
untuk memperbaiki kualitas kehidupan dan juga memacu pembangunan
Kabupaten Bogor. Hal ini juga akan memicu pihak-pihak lain untuk mendukung
sepenuhnya pengembangan industri tersebut sehingga setiap pihak juga akan
memperoleh nilai tambah dari industri.
Dengan semakin tumbuhnya semangat dan gairah dari para pihak yang
terkait dalam upaya pengembangan industri ini, maka akan terbuka lapangan
pekerjaan khususnya bagi masyarakat Kabupaten Bogor baik bagi petani pala
maupun pelaku industri, hal tersebut juga tergambar dari prioritas kedua tujuan
pengembangan industri peroduk olahan minyak pala yakni membuka lapangan
pekerjaan dengan nilai terbobot 0.269. Dengan adanya industri ini diharapkan
angkatan kerja ataupun pengangguran khususnya dapat terserap dalam industri
sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing.
Strategi yang menjadi prioritas dalam pengembangan industri produk
olahan minyak pala dalam rangka pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Bogor
berdasarkan hasil pengolahan kuesioner responden adalah perluasan areal kebun
pala (0.185). Perluasan areal penting untuk dilakukan mengingat tanaman ini
merupakan penghasil utama bahan baku industri produk olahan minyak pala.
85

Luasan areal kebun pala yang ada pada saat ini sudah mulai menyempit
disebabkan adanya alih lahan atau kegiatan lain yang disebabkan kurang adanya
jaminan prospek untuk kemudahan pasar dari pohon pala dan produk-produknya,
sehingga pemerintah perlu bekerjasama dengan petani pala untuk pengembangan
areal kebun pala. Namun untuk pengusahaan tanaman pala di daerah baru perlu
sekali diperhatikan tentang kesesuaian iklim, jenis tanah, suhu, pH tanah,
drainase, dan sebagainya agar tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan
baik, karena berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh para ahli curah hujan,
kelembaban, pH tanah, dan drainase memiliki peranan besar terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman pala. Dalam upaya meningkatkan pendapatan
petani, salah satu upaya adalah dengan memanfaatkan lahan seoptimal mungkin
dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan memperhatikan syarat tumbuh
dari setiap tanaman itu sendiri. Peluang tanaman pala sebagai tanaman pokok
ataupun sebagai tanaman sela sangat memungkinkan karena banyak lahan
diantaranya belum dimanfaatkan secara optimal.

Tabel 25 Bobot dan Prioritas Elemen Strategi Pemberdayaan Masyarakat


Kabupaten Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk Olahan
Minyak Pala
Elemen Alternatif Strategi Bobot Prioritas
Perluasan areal kebun pala 0.185 1
Pembangunan sentra produk olahan minyak pala 0.180 3
Pola kemitraan 0.183 2
Pemberdayaan lembaga permodalan dan keuangan 0.116 6
Peningkatan kualitas SDM 0.120 5
Pembangunan pusat informasi tanaman pala 0.130 4
Perbaikan kebijakan dan kelembagaan 0.084 7

Strategi yang menjadi prioritas kedua dalam pengembangan industri


produk olahan minyak pala dalam rangka pemberdayaan masyarakat Kabupaten
Bogor adalah melalui pola kemitraan (0.183). Pola kemitraan akan melibatkan
petani pala dan stakeholder lainnya yaitu Pemda, pelaku industri, dan lembaga
penelitian melalui sistem dan usaha agribisnis. Kerjasama ini diwujudkan melalui
kontribusi masing-masing. Petani pala membentuk kelompok-kelompok tani dan
melakukan budidaya pala melalui pengarahan dari Pemda dan juga bantuan
modal/subsidi dari Pemda. Selain itu pengawasan juga tetap diperlukan bagi
petani pala dan pelaku industri. Pelaku industri diharapkan tidak hanya
86

mementingkan keuntungan yang ingin diraih tetapi juga memberi arahan


khususnya bagi petani pala dan bekerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas
produk. Keuntungan/marjin yang diperoleh dibagikan kepada ketiganya dengan
peraturan yang ditetapkan dalam pola kemitraan tersebut. Peranan lembaga
penelitian dalam pola kemitraan juga sangat penting yaitu sebagai penyalur ilmu,
pengembangan teknologi, dan peningkatan kualitas SDM. Kerjasama dengan
lembaga penelitian dapat diwujudkan khususnya yang memiliki program untuk
pengembangan daerah. Lembaga ini dapat menjadi penyokong dan pendukung
dalam membantu masyarakat mengelola potensi daerah, peningkatan pengetahuan
dan keterampilan, pengembangan teknologi, maupun pengembangan produk baru.
Prinsip utama yang harus dipegang oleh masing-masing pihak dalam
kerjasama ini adalah saling percaya, kerjasama, hidup dan membiarkan hidup
sehingga harus dihindarkan adanya rasa saling curiga, melainkan bekerjasama
mencari keuntungan bersama dengan melakukan kendali mutu. Kemitraan ini juga
harus bertumpu pada budaya masyarakat sekitar. Hambatan yang akan ditemui
dalam pola kemitraan sebagaimana tersebut diatas diantaranya masing-masing
elemen sebagai stakeholder memiliki watak yang berbeda bahkan cenderung
berlawanan. Agar mendapatkan keuntungan yang maksimal, petani pala pasti
ingin mematok harga jual yang tinggi, sebaliknya bagi pelaku industri
mengharapkan harga murah dari bahan baku berupa biji dan fuli pala, agar biaya
produksi juga rendah. Begitu juga dengan elemen yang lain, masing-masing akan
memperjuangkan keuntungan bagi dirinya. Sebab itu masing-masing pihak harus
kembali pada tujuan awal yaitu pemberdayaan masyarakat sehingga semuanya
harus dibicarakan terlebih dahulu, termasuk pembagian keuntungan, hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Selain itu diperlukan keseriusan dan kesiapan
dari masing-masing pihak.
Peningkatan produktivitas dan mutu tanaman pala sebagai bahan baku
dapat diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan antara lain pengembangan dan
pemanfaatan teknis bercocok tanam yang baik sesuai kondisi lahan, penyediaan
sarana produksi, peningkatan sumber daya petani agar mampu mengadopsi
teknologi serta penerapan pola tanam tumpang sari. Pengembangan dan
pemanfaatan teknis bercocok tanam yang sesuai merupakan tugas utama dari
Pemda, sedangkan peningkatan SDM petani dalam hal teknologi dapat dilakukan
87

melalui kerjasama dengan pelaku industri atau lembaga penelitian yang lebih
mengerti tentang teknologi tersebut. Penerapan pola tanam tumpang sari
dimaksudkan untuk menjaga kesuburan tanah pada sentra perkebunan pala karena
dengan adanya pola tanam yang tidak monoton, maka unsur hara tertentu dalam
tanah bisa terus berotasi/tidak hilang sehingga kesuburan lahan terjaga. Melalui
pola kemitraan Pemda dapat memberi kebebasan untuk petani pala menanam
tanaman sela sepanjang itu tidak mengganggu produktivitas lahan dan tanaman
pokok itu sendiri, sehingga tetap diperlukan pengarahan dari Pemda khususnya
Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Menurut Hadad et. al (2006) untuk
menentukan atau mendapatkan jenis tanaman apa yang tepat bergandengan
dengan tanaman pala, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut
:
a) Kesesuaian lingkungan yang diartikan sebagai kecocokkan lahan untuk
tanaman tersebut.
b) Tidak bersifat saling merugikan baik terhadap tanaman sela ataupun tanaman
pokok.
c) Tidak menimbulkan persaingan, terutama dalam pengambilan zat makanan.
d) Tidak memiliki kesamaan sebagai inang timbulnya hama atau penyakit.
e) Memiliki kemampuan saling menguntungkan.
f) Tanaman tersebut memiliki nilai ekonomis.
g) Berwawasan lingkungan, artinya berkemampuan mengawetkan alam,
sehingga kelestariannya tetap terjamin sesuai konsep ekologi yang diinginkan
bersama. Sebagai contoh upaya menekan sekecil mungkin tingkat erosi tanah
yang kelak dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah.
Peluang tanaman pala sebagai tanaman sela, jumlahnya tergantung umur
tanaman pokok, pada tanaman kelapa berumur 10 tahun, tanaman pala dapat
tumbuh dan berproduksi cukup baik sebagai tanaman sela diantara tanaman
kelapa. Sedangkan sebagai tanaman pokok, tanaman pala dapat dipola tanamkan
dengan berbagai jenis tanaman palawija, tanaman temu-temuan, serta berbagai
jenis tanaman obat. Jarak tanam pala yang biasa dipergunakan adalah 10 X 10 m,
dengan jarak tanam tersebut banyak lahan yang kosong, terutama pada saat
tanaman pala berumur dibawah 4 – 5 tahun, lahan ini dapat dimanfaatkan untuk
ditanami berbagai jenis tanaman semusim misalnya tanaman palawija. Hasil
88

panen dari tanaman sela sebaiknya menjadi hak sepenuhnya bagi petani pala
dalam rangka menambah penghasilan dan juga meningkatkan minat petani pala di
Kabupaten Bogor untuk bercocok tanam pala secara lebih baik.
Teknik bercocok tanam yang dipilih sebaiknya tetap disesuaikan dengan
kondisi masyarakat sekitar. Pemerintah Daerah tetap wajib memberikan wawasan
dan pengarahan tanpa melupakan pengetahuan lokal masyarakat khususnya petani
pala yang akan mengolah sentra tanaman pala. Selain itu juga Pemda khususnya
Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta
Dinas Penanaman Modal Kabupaten Bogor, dapat bekerjasama dalam hal
pemasaran produk olahan minyak pala yaitu kosmetik dan parfum.
Sedangkan prioritas ketiga dari strategi alternatif pemberdayaan
masyarakat Kabupaten Bogor melalui pengembangan industri produk olahan
minyak pala adalah pembangunan sentra produk olahan minyak pala (0.180).
Sentra produk olahan minyak pala dimaksudkan untuk menampung dan
mendistribusikan produk-produk tersebut kepada konsumen. Dengan adanya
sentra ini diharapkan ada jaminan yang pasti mengenai pemasaran produk olahan
minyak pala. Selain itu pembangunan sentra produk ini dapat menjadi daya tarik
dalam pengembangan daerah seperti yang sudah ada yaitu Perkampungan Industri
Kecil di Jakarta Timur (PIK). Adanya sentra produk ini akan memberikan gairah
kepada industri untuk terus beroperasi karena adanya jaminan pasar bahwa ada
tempat untuk menampung dan memasarkan produk yang sudah dibuat. Dalam hal
ini, Pemda harus mampu membuka saluran-saluran distribusi dan kerjasama
seluas-luasnya agar sentra ini bukan hanya menjadi tempat penampungan yang
akhirnya tidak mampu mendistribusikan produk-produk yang sudah ada.
Pembangunan pusat informasi pala mendapat prioritas keempat (cukup
kecil) dengan bobot 0.130 karena menurut pakar pembangunan pusat informasi
ini hanya menjadi alat bantu saja bagi petani pala khususnya juga masyarakat
Kabupaten Bogor pada umunya tentang peluang-peluang yang dapat “dibidik”
untuk perluasan usaha namun tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap
kesejahteraan masyarakat terutama petani pala. Petani pala lebih membutuhkan
suatu perwujudan yang nyata seperti yang terdapat dalam pola kemitraan.
Peningkatan kualitas SDM serta teknologi menempati prioritas rendah (0.120)
89

karena strategi ini secara otomatis akan terus berproses sebagai hasil dari pola
kemitraan yang dijalankan secara sungguh-sungguh.
90

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a) Salah satu cara menentukan minyak pala yang baik adalah melalui
pemilihan metode destilasi untuk menghasilkan bahan baku bagi industri
produk unggulan olahan minyak pala di lokasi potensial di Kabupaten
Bogor. Metode destilasi terpilih adalah metode uap langsung, sedangkan
produk unggulan terpilih adalah kosmetik, serta lokasi industri terpilih
adalah Kecamatan Ciomas.
b) Berdasarkan analisis kelayakan pasar dengan kriteria peluang pasar yakni
kebutuhan konsumen akan produk kosmetik dan sisi persaingan; analisis
aspek teknologi dengan kriteria manajemen teknologi dan ketersediaan
infrastruktur; analisis aspek sumber daya manusia dengan kriteria
penyerapan tenaga kerja produktif dan peningkatan kualitas SDM; dan
kelayakan finansial dengan kriteria kelayakan investasi diperoleh nilai NPV
Rp4 362 473 952, IRR 47.2%, PBP 11.5 bulan, dan B/C ratio 1.11 kali,
maka strategi dan prospek pengembangan industri produk olahan minyak
pala memungkinkan untuk dikembangkan, khususnya bagi pemberdayaan
masyarakat di Kabupaten Bogor.
c) Strategi yang tepat untuk dikembangkan dalam rangka memberdayakan
masyarakat Kabupaten Bogor melalui pengembangan industri kosmetik
yang menggunakan minyak pala adalah perluasan areal kebun pala dan pola
kemitraan.

5.2 Saran

Untuk melengkapi kekurangan penelitian ini, bagi Peneliti selanjutnya agar


dapat melakukan kajian kelayakan dengan lebih terfokus dan mendalam mengenai
potensi pengembangan industri produk olahan minyak pala sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat Kabupaten Bogor. Analisa kelayakan yang dilakukan
hendaknya sudah spesifik mengenai produk olahan unggulan minyak pala yang
dimaksud dengan pendefinisian jenis produk dengan jelas.
91

DAFTAR PUSTAKA

[BAPPEDA Kab Bogor] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten


Bogor. 2005a. Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) Kabupaten Bogor Tahun 2005–2025.[terhubung berkala].
http://www.bogorkab.go.id [ 22 Agt 2008]
__________. 2005b. Profil Kecamatan Kab Bogor Survey Lapang Tahun 2005.
Bogor: BAPPEDA Kab Bogor.
[BKPMD Prov. Maluku] Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Maluku.
2006. Analisa Kelayakan Budidaya Pala Maluku. [terhubung berkala].
http://www.bkpmd-maluku.com/indonesia. [18 Feb 2009].
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia.
Ekspor. Jakarta: Biro Statistik
__________. 2003. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. Jakarta:
Biro Statistik
[BPS Kab Bogor dan BAPPEDA Kab Bogor] Biro Pusat Statistik Kabupaten
Bogor dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor.
2007. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku dan
Atas Dasar Harga Konstan. Indikator Ekonomi Daerah 2007. Bogor: BPS
dan BAPPEDA Kab Bogor.
[Dispertan Kab Bogor] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2007.
Profil Perkebunan Kabupaten Bogor Luas dan Produksi Perkebunan
Rakyat. [terhubung berkala]. http://www.bogorkab.go.id. [10 Apr 2008].
__________. 2006. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Kabupaten
Bogor Jenis Tanaman Pala Monografi Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor III-3 Tahun 2006. Bogor: Dispertan Kab Bogor.
__________. 2003. Laporan Tahunan Tahun 2002. Bogor: Dispertan Kab Bogor.
[Deptan Irian Jaya] Departemen Pertanian Irian Jaya Dinas Perkebunan Propinsi
Tk I Bagian Proyek Informasi Pertanian Irian Jaya. 1986. Pala dan
Pengolahannya.[terhubung berkala]. http://www.deptan.go.id/ditbangbun/
prospek.htm.[06 Apr 2008].
[Disperindag Kab Bogor] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor.
2007a. Data Potensi Minyak Atsiri Tahun 2007. Bogor: Disperindag Kab
Bogor.
__________. 2007b. Data Perkembangan Industri Kabupaten Bogor Tahun 2003
s/d 2007. Bogor: Disperindag Kab Bogor.
Deinum H. 1949. Nootsmuskaat en Foelie. Di dalam : CJJ Van Hallen C Van de
Koppel, editor. De Landbouw in de Indishe Archiple. Ed ke-3. W Van
Hoevs Gravenhage. hlm 665 – 685.
Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen.
Bogor: IPB Press.
92

Erlina. 2006. Analisis Perancangan Agroindustri Olahan Karet [Catatan


Penelitian]. Jurnal Bisnis & Manajemen 3:73-92.
Flach M. 1966. Nutmeg Cultivation and Its Sex Problem. Mede Lnd Hegeschool
Wageningen. Wageningen: v Veenmann and Zemen NV. Ned 66-1
Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek Pertanian. Ed Terjemahan. Jakarta:
UI Press
Gittinger JP, Adler H. 1993. Evaluasi Proyek. Ed Terjemahan. Jakarta: Rineksa
Cipta.
Gumbira-Said E, Intan AH. 2001. Manajemen Agribisnis. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Gumbira-Said E, Rachmayanti MZ, Muttawin. 2001. Manajemen Teknologi
Agribisnis Kunci Menuju Daya Saing Global Produk Agribisnis. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hadad M EA, Randriani E, Firman C, Sugandi T. 2006. Budidaya Tanaman Pala.
Parung Kuda: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri.
Hernani, Risfaheri. 1990. Pengaruh Cara Penempatan Bahan pada Penyulingan
Biji Pala terhadap Rendemen dan Mutu Minyaknya. Medkom Puslitbangtri
5:93-98.
Heyne K. 1927. De Nuttings Planten Van Nederlandesh Indish. Batavia: Ruygrok
and Co.
Husnan S, Suwarsono. 1999. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
Jauck RL, Glueck RW. 1988. Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan.
Ed ke-3. Jakarta: Erlangga.
Kemala S, Indrawanto C, Mauludi L. 1990. Peluang Pasar dan Potensi
Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Littro Edsus 1:5-10.
Kotler P. 1997. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Implementasi
dan Kontrol. Ed ke-9 Terjemahan. Jakarta: PT Gramedia.
Librianto BY. 2004. Ekstraksi Oleoresin Pala (Myristica Fragrans Hout) dari
Ampas Penyulingan Minyak Pala Menggunakan Pelarut Organic [Skripsi].
Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lutony TL, Rahmayati Y. 2002. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Ma’arif S. 2001. Metode Perbandingan Eksponential [Diktat Mata Kuliah
Manajemen Produksi dan Operasi].Bogor : Magister Manajemen Agribisnis,
Institut Pertanian Bogor.
Makridakis S, Steven C, Wheelwright, McGee VE. 1995. Metode Aplikasi
Peramalan. Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
93

Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi System Pakar dalam Teknologi Manajerial.
Bogor: IPB Press.
_______.2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT.
Grasindo.
_______. 1993. Pengembangan Sistem Pakar untuk Perencanaan Industri
Minyak Atsiri [Laporan Penelitian]. Bogor: IPB Press.
Nurdjanah N, Wahyudi A, Risfaheri. 1990. Perkembangan Penelitian Minyak
Atsiri Sekunder Cengkeh, Pala, Kemukus, Kapolaga, Lada. Litro Edsus
6:54 -58.
Nurdjanah N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Edy Mulyono dan Risfaheri,
penyunting. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen
Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian.
Nugraha A. 2003. Studi Pengembangan Agroindustri Minyak Pala (Nutmeg Oil)
di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
O’Brien, James A. 2006. Pengantar Sistem Informasi Perspektif Bisnis dan
Manajerial. Ed ke-12. Dewi Fitriasari, S.S., M.Si. & Deny A Kwary, S.S,
M.Hum, penerjemah; Jakarta: PT. Salemba Empat. Terjemahan dari:
Introduction To Information Systems Edisi 12.
[PDRB Kab Bogor] Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor. 2006.
Profil Industri Kabupaten Bogor. [terhubung berkala]. http://www
.bogorkab. go.id [10 Apr 2008].
Poerwowidodo. 2000. Ilmu Tanah Hutan. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Purnomo HS, Zulkieflimansyah. 1999. Manajemen Strategi Sebuah Konsep
Pengantar. Jaakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Purseglove JW, Brown EG, Green GL, Robbins SRJ. 1981. Spices Vol 1.
Newyork: Longman.
Rangkuti F. 2000. Manajemen Persediaan Aplikasi di Bidang Bisnis. Jakarta:
Raja Grafindo Perkasa.
__________. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Risfaheri, Mulyono E. 1992 Pasca Panen Pala. Di dalam: Perkembangan
Penelitian Tanaman Pala dan Kayu Manis. Littro Edsus 3:31-42.
Rismunandar. 1990. Budidaya dan Tata Niaga Pala. Jakarta: Penebar Swadaya
Risnandar C. 2002. Perencanaan Pendirian Industri Pikel Jamur Tiram Putih di
Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
94

Rosman R, Emmyzar, Made. 1989. Studi Kesesuaian Lahan dan Iklim Tanaman
Pala (Myristica fragrans). Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat.
Russell RS, Taylor BW. 2003. Operations Management 4th ed. New Jersey:
Prentice Hall Inc, Upper Saddle River.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Studi yang Kompleks.
Terjemahan. Jakarta: PT.Pustaka Binaman Pressindo.
Sihkadarmanti HW. 2006. Strategi Pengembangan Industri Hilir Minyak Laka
dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Kapupaten Jepara [tesis].
Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
[SIPUK BI] Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil Bank
Indonesia. 2008. Aspek Keuangan Industri Jamu Tradisional. Sistem
Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil.[terhubung
berkala]. http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=51320&idrb=45501 [19
Feb 2009].
Sunanto H. 1993. Budidaya Pala Komoditas Ekspor. Yogyakarta: Kanisius.
Supranto J. 1997. Metode Riset dan Aplikasinya dalam Pemasaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sutojo S. 2000. Studi Kelayakan Proyek, Teori dan Praktek. Jakarta: Gramedia.
Sutomo B. 2006. Pala Bumbu Dapur Berkhaiat Obat.[terhubung berkala].
http://www.deptan.go.id [06 Apr 2008].
Yuhono JT, Suhirman S. 2006. Status Pengusahaan Minyak Atsiri dan Faktor-
Faktor Teknologi Pasca Panen yang Menyebabkan Rendahnya Rendemen
Minyak. Bul Littro 17:79-90.
95

LAMPIRAN
96

Lampiran 1 Daftar Responden Pakar


No. Nama Jabatan Instansi Teknik
Pengambilan
Data
Tujuan : Pemilihan Produk Unggulan, Lokasi Industri, serta Penentuan Strategi Prioritas
1 Ir. Prasetiowati Kepala Bidang Dinas Pertanian Pengisian
Perkebunan dan Kehutanan Kuesioner
Kabupaten Bogor
2 Ir. Dedi Supriadi, M.Sc. Kepala Bidang Badan Pengisian
Ekonomi Perencanaan Kuesioner
Pembangunan
Daerah Kabupaten
Bogor
3 Edy Wibowo, STP.,MP. Sekretaris Dewan Perwakilan Pengisian
Komisi B Rakyat Daerah Kuesioner
Kabupaten Bogor
4 Ir. Nanan Nurdjanah Peneliti Utama Balai Besar Wawancara dan
Litbang Diskusi
Pascapanen
Pertanian
5 Diah S.R, S.Hut Staf Dinas Pengisian
Perindustrian dan Kuesioner
Perdagangan
Kabupaten Bogor
6 Yudi Ramadiyan, STP Staf Bidang Badan Wawancara dan
Ekonomi Perencanaan Diskusi
Pembangunan
Daerah Kab Bogor
Tujuan : Pemilihan Metode Destilasi
1 Ir. Nanan Nurdjanah Peneliti Utama Balai Besar Wawancara dan
Litbang Pengisian
Pascapanen Kuesioner
Pertanian
2 Drs. Edy Sapto Hartanto Peneliti Muda Balai Besar Pengisian
Industri Agro Kuesioner
(BBIA)
Tujuan : Penentuan Posisi Industri (Faktor Internal Eksternal Industri)
1 Drs. Ma’mun, BSc Manager Balai Penelitian Pengisian
Teknik Tanaman Obat dan Kuesioner
Laboratorium Aromatik
Pengujian
2 Drs. M. Hadad. E.A Peneliti Balai Penelitian Pengisian
Tanaman Rempah Kuesioner
dan Aneka
Tanaman Industri
3 Drs. Edy Sapto Hartanto Peneliti Muda Balai Besar Pengisian
Industri Agro Kuesioner
(BBIA)
97

Lampiran 2 Perhitungan Bobot Kriteria Pemilihan Metode Destilasi, Pemilihan


Produk Unggulan, dan Pemilihan Lokasi Industri Produk Olahan
Minyak Pala
Kriteria 5 4 3 2 1 Jumlah Rata-rata Nilai Akhir
A (DES) 2 10 5.00 5
B (DES) 1 1 9 4.50 5
C (DES) 2 8 4.00 4
D (DES) 1 1 7 3.50 4
E (DES) 1 1 6 3.00 3
F (DES) 1 1 5 2.50 3

Kriteria 5 4 3 2 1 Jumlah Rata-rata Nilai Akhir


A (PROD) 3 1 19 4.75 5
B (PROD) 2 2 18 4.50 5
C (PROD) 3 1 13 3.25 3
D (PROD) 1 2 1 12 3.00 3
E (PROD) 4 12 3.00 3
F (PROD) 2 1 11 2.75 3

Kriteria 5 4 3 2 1 Jumlah Rata-rata Nilai Akhir


A (LOK) 3 1 19 4.75 5
B (LOK) 2 2 18 4.50 5
C (LOK) 1 3 17 4.25 4
D (LOK) 4 16 4.00 4
E (LOK) 3 1 14 3.50 4
F (LOK) 2 1 1 13 3.25 3

Keterangan Bobot : Fokus Penelitian Jumlah


Responden
1 = Paling Tidak Penting Pemilihan Metode Destilasi 2
2 = Tidak Penting Pemilihan produk Unggulan 4
3 = Agak Penting Pemilihan Lokasi Industri 4
4 = Penting
5 = Paling Penting
98

Lampiran 3 Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan Metode


Destilasi
Responden 1
Kriteria Perebusan Pengukusan Uap Langsung
A (DES) 3 3 4
B (DES) 2 3 4
C (DES) 2 3 3
D (DES) 2 4 5
E (DES) 3 3 3
F (DES) 2 2 2

Responden 2
Kriteria Perebusan Pengukusan Uap Langsung
A (DES) 5 4 4
B (DES) 5 5 4
C (DES) 5 5 4
D (DES) 3 5 4
E (DES) 4 5 4
F (DES) 4 4 4

Gabungan
Perebusan Pengukusan Uap Langsung
Kriteria Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE
a b a^b a b a^b a b a^b
A (DES) 4.00 5 1 024 3.50 5 525 4.00 5 1 024
B (DES) 3.50 5 525 4.00 5 1 024 4.00 5 1 024
C (DES) 3.50 4 150 4.00 4 256 3.50 4 150
D (DES) 2.50 4 39 4.50 4 410 4.50 4 410
E (DES) 3.50 3 43 4.00 3 64 3.50 3 43
F (DES) 3.00 3 27 3.00 3 27 3.00 3 27
TOTAL 1 808 2 306 2 678

Keterangan Skor Alternatif:


1 = Paling tidak berpotensi
2 = Tidak berpotensi
3 = Agak berpotensi
4 = Berpotensi
5 = Paling berpotensi

Keterangan Kriteria
A (DES) = Kemudahan
B (DES) = Sesuai dana yang tersedia
C (DES) = Sesuai tingkat penerimaan masyarakat
D (DES) = Sesuai tingkat pengetahuan masyarakat
E (DES) = Kebutuhan lahan minimum
F (DES) = Pencemaran minimum
99

Lampiran 4 Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan Produk


Unggulan
Responden 1
Kriteria Daging Sabun Parfum & Obat-
olahan Kosmetik Obatan
A (PROD) 3 3 4 3
B (PROD) 4 4 4 3
C (PROD) 3 4 3 4
D (PROD) 3 3 3 3
E (PROD) 2 2 2 1
F (PROD) 3 4 4 4

Responden 2
Kriteria Daging Sabun Parfum & Obat-
olahan Kosmetik Obatan
A (PROD) 4 4 4 4
B (PROD) 4 4 4 4
C (PROD) 4 4 4 4
D (PROD) 4 4 4 4
E (PROD) 2 2 2 2
F (PROD) 3 3 3 3

Responden 3
Kriteria Daging Sabun Parfum & Obat-
olahan Kosmetik Obatan
A (PROD) 2 3 5 5
B (PROD) 2 3 5 5
C (PROD) 2 3 5 5
D (PROD) 3 4 5 5
E (PROD) 3 4 4 4
F (PROD) - - - -

Responden 4
Kriteria Daging Sabun Parfum & Obat-
olahan Kosmetik Obatan
A (PROD) 2 2 4 4
B (PROD) 2 2 4 5
C (PROD) 2 3 4 4
D (PROD) 2 3 3 3
E (PROD) 3 4 3 4
F (PROD) - - - -
Keterangan Skor Alternatif:
1 = Paling tidak berpotensi
2 = Tidak berpotensi
3 = Agak berpotensi
4 = Berpotensi
5 = Paling berpotensi
100

Lampiran 4 Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan Produk Unggulan (Lanjutan)
Gabungan
Daging olahan Sabun Parfum & Kosmetik Obat-obatan
Kriteria Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE
a b a^b a b a^b a b a^b a b a^b
A(PROD) 2.75 5 157 3.00 5 243 4.25 5 1 387 4.00 5 1 024
B(PROD) 3.00 5 243 3.25 5 363 4.25 5 1 387 4.25 5 1 387
C(PROD) 2.75 3 21 3.50 3 43 4.00 3 64 4.25 3 77
D(PROD) 3.00 3 27 3.50 3 43 3.75 3 53 3.75 3 53
E(PROD) 2.50 3 16 3.00 3 27 2.75 3 21 2.75 3 21
F(PROD) 3.00 3 27 3.50 3 43 3.50 3 43 3.50 3 43
TOTAL 491 761 2 954 2 604

Keterangan Kriteria
A (PROD) = Kemudahan pasar
B (PROD) = Nilai ekonomis
C (PROD) = Kegunaan
D (PROD) = Kemudahan menyerap tenaga kerja
E (PROD) = Kemudahan dalam proses
F (PROD) = Ketersediaan bahan baku
101

Lampiran 5 Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan Lokasi Industri


Responden 1
Kriteria Taman Dramaga Cijeruk Ciomas Caringin
Sari
A (LOK) 5 5 3 5 4
B (LOK) 5 5 2 5 3
C (LOK) 5 5 5 5 5
D (LOK) 4 3 3 4 4
E (LOK) 5 5 3 5 4
F (LOK) 5 5 4 5 5

Responden 2
Kriteria Taman Dramaga Cijeruk Ciomas Caringin
Sari
A (LOK) 4 4 3 4 3
B (LOK) 4 4 3 4 3
C (LOK) 4 4 3 4 4
D (LOK) 4 4 5 4 3
E (LOK) 4 4 4 4 4
F (LOK) 3 3 3 3 3

Responden 3
Kriteria Taman Dramaga Cijeruk Ciomas Caringin
Sari
A (LOK) 4 3 4 3 4
B (LOK) 3 4 2 4 2
C (LOK) 4 4 3 4 3
D (LOK) 3 3 4 3 3
E (LOK) 3 4 3 4 3
F (LOK) 3 2 4 2 4

Responden 4
Kriteria Taman Dramaga Cijeruk Ciomas Caringin
Sari
A (LOK) 3 4 4 3 4
B (LOK) 3 3 3 4 3
C (LOK) 4 4 4 4 4
D (LOK) 5 3 5 5 4
E (LOK) 4 4 4 4 4
F (LOK) - - - - -
Keterangan Skor Alternatif:
1 = Paling tidak berpotensi
2 = Tidak berpotensi
3 = Agak berpotensi
4 = Berpotensi
5 = Paling berpotensi
102

Lampiran 5 Perhitungan Skor Alternatif pada Kriteria Pemilihan Lokasi Industri (Lanjutan)
Taman Sari Dramaga Cijeruk Ciomas Caringin
Kriteria Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE Rata2 Bobot MPE
a b a^b a b a^b a b a^b a b a^b a b a^b
A (LOK) 4.00 5 1 024 4.00 5 1 024 3.50 5 525 3.75 5 742 742 5 742
B (LOK) 3.75 5 742 4.00 5 1 024 2.50 5 98 4.25 5 1 387 157 5 157
C (LOK) 4.25 4 326 4.25 4 326 3.75 4 198 4.25 4 326 256 4 256
D (LOK) 4.00 4 256 3.25 4 112 4.25 4 326 4.00 4 256 150 4 150
E (LOK) 4.00 4 256 4.25 4 326 3.50 4 150 4.25 4 326 198 4 198
F (LOK) 3.50 3 43 3.25 3 34 3.50 3 1 340 3.25 3 34 64 3 64
TOTAL 2 647 2 846 1 340 3 071 1 567

Keterangan Kriteria
A (LOK) = Kemudahan Transportasi
B (LOK) = Akses Konsumen
C (LOK) = Keamanan Berusaha
D (LOK) = Luas Lahan
E (LOK) = Ketersediaan Fasilitas
F (LOK) = Kesesuaian Agroklimat
103

Lampiran 6 Biaya Variabel Industri Kosmetik yang Merupakan Produk Olahan


Minyak Pala
No. Uraian Biaya/Bulan (Rp) Biaya/Tahun (Rp)
1. Biaya Bahan Baku 691 320 000 8 295 840 000
2. Biaya Bahan Pembantu 281 552 920 3 378 635 040
3. Biaya Bahan Kemasan 37 450 000 449 400 000
4. Biaya Bahan Bakar 3 000 000 36 000 000
5. Biaya Tenaga Kerja Langsung 67 180 000 806 160 000
Total Biaya Variabel 1 080 502 920 12 966 035 040

Lampiran 7 Biaya Tetap Industri Kosmetik yang Merupakan Produk Olahan


Minyak Pala
No. Uraian Biaya/Bulan (Rp) Biaya/Tahun (Rp)
1. Biaya Gaji/ TK Tak Langsung 20 000 000 240 000 000
2. Biaya Administrasi & Pemasaran 950 000 11 400 000
3. Biaya Pemeliharaan 1 925 000 23 100 000
4. Biaya Penyusutan 7 157 933 85 895 200
Total Biaya Tetap 22 875 000 274 500 000

Lampiran 8 Perhitungan Titik Impas/ BEP pada Industri Kosmetik


Komponen Biaya Rincian Biaya Biaya/Tahun (Rp)
Biaya Tetap 1. TK tidak langsung 240 000 000
2. Biaya pemeliharaan 23 100 000
3. Adm dan pemasaran 11 400 000
TOTAL 274 500 000
Biaya Variabel 1. TK langsung 806 160 000
2. Bahan baku dan bahan 12 159 875 040
penunjang
TOTAL 12 966 035 040
BEP = BT/(1-(BV/R))
= 274 500 000/(1-(12 966 035 040 / 15 365 007 552)
= 1 758 125 427 (dalam Rp)
104

Lampiran 9 Biaya Tenaga Kerja Industri Kosmetik yang Merupakan Produk Olahan Minyak Pala
Uapah Harian Gaji per
bulan per Gaji per Gaji per
Posisi Tenaga Kerja Upah Rata2 Upah Uang
Jumlah orang bulan tahun
per kg Hasil per per hari makan
(orang) (Rp) (Rp) (Rp)
Pala (Rp) hari (kg) (Rp) per hari
Tenaga Kerja Tak Langsung
1. Direktur 1 5 000 000 5 000 000 60 000 000
2. Manajer 2 3 000 000 6000000 72 000 000
3. Karyawan Kantor 3 2 000 000 6 000 000 72 000 000
4. Mandor Lapang 2 1 500 000 3 000 000 32 000 00
Sub total 8 20.000 000 240 000 000
Tenaga Kerja Langsung
1. Tenaga Pra Penyulingan 2 000 20 40 000 5 000 41 1 080 000 44 280 000 531 360 000
2. Pembuat Kosmetik 45 000 5 000 7 1 200 000 8 400 000 100 800 000
3. Operator Mesin 4 1 750 000 7 000 000 84 000 000
4. Distribusi & Pengangkutan 5 1 500 000 7 500 000 90 000 000
Sub total 57 67 180 000 806 160 000
TOTAL 65 87 180 000 1 046 160 000
105

Lampiran 10 Penentuan Harga Pokok Produksi dan Harga Jual Produk Kosmetik dan Minyak Pala pada Kapasitas Penuh
Kosmetik Minyak Pala
No. Uraian Biaya Produksi Penentuan Harga Biaya Penentuan Harga
Produksi
1. Biaya Bahan Baku (Rp per bulan)
Biji/Fuli Pala 439 320 000 Harga Pokok 252 000 000 Harga Pokok
Sub total 439 320 000 Produksi per unit: 252 000 000 Produksi per unit:
2. Biaya Tenaga Kerja Langsung (Rp per bulan) 827 014 413 282 689 520
a. Buruh Pra Penyulingan 28 260 480 (70*24) 16 137 600 (40*24)
b. Operator Mesin Destilasi 2 240 000 = 492 270 (Rp/Kg) 1 260 000 =294 468 (Rp/Kg)
c. Operator Mesin Kosmetik 3 500 000 0
d. Pembuat Kosmetik 8 400 000 Mark Up 20% = 0 Mark Up 2 % =
e. Pengangkutan dan Distribusi 6 150 000 HPP+(0.2*HPP) 1 350 000 HPP+(0.02*HPP)
Sub total 48 550 480 = Rp590 725.00/kg 18 747 600 = Rp300 358.00/kg
3. Biaya Overhead Pabrik (Rp per bulan) Kemasan 15 gr Pembulatan
a. Biaya Bahan Pembantu 281 552 920 = Rp8 860.00 0 = Rp300 000.00
b. Biaya Bahan Pengemas 30 709 000 6 741 000
c Biaya Bahan Bakar 2 460 000 540 000
d. Tenaga Kerja Tak Langsung 16 400 000 3 600 000
e. Biaya Pemeliharaan 1 578 500 346 500
f. Biaya Penyusutan 6 443 513 714 420
Sub total 339 143 933 11 941 920
TOTAL 827 014 413 282 689 520
106

Lampiran 11 Perhitungan Pokok dan Margin Pembiayaan Investasi Industri Kosmetik


Tahun Jumlah Pembiayaan (Rp) Margin (16.5%) (Rp) Pembayaran Pokok (Rp) Angsuran (Rp) Outstanding Pembiayaan (Rp)
1 320 583 900 52 896 344 64 116 780 117 013 124 203 570 777
2 256 467 120 43 317 075 64 116 780 106 433 855 150 033 265
3 192 350 340 31 737 806 64 116 780 95 854 586 96 495 754
4 128 233 560 21 158 537 64 116 780 85 275 317 42 958 243
5 64 116 780 10 579 269 64 116 780 74 696 049 0
Total 158 689 031 320 583 900 479 272 931

Lampiran 12 Perhitungan Pokok dan Margin Pembiayaan Modal Kerja Industri Kosmetik
Tahun Jumlah Pembiayaan (Rp) Margin (16.5%) (Rp) Pembayaran Pokok (Rp) Angsuran (Rp) Outstanding Pembiayaan (Rp)
1 754 020 150 124 413 325 150 804 030 275 217 355 478 802 795
2 603 216 120 99 530 660 150 804 030 250 334 690 352 881 430
3 452 412 090 74 647 995 150 804 030 225 452 025 226 960 065
4 301 608 060 49 765 330 150 804 030 200 569 360 101 038 700
5 150 804 030 24 882 665 150 804 030 175 686 695 0
Total 373 239 974 754 020 150 1 127 260 124

Total Margin Pembiayaan Investasi + Modal Kerja = 531 929 005 ; Total Pokok Pembiayaan Investasi + Modal Kerja = 1 074 604 050
Lampiran 13 Perhitungan Jadwal Angsuran Industri Kosmetik Pembiayaan Modal Kerja & Investasi yang Disepakati di Awal dengan Bank
Tahun Jumlah Pembiayaan (Rp) Margin (16.5%) (Rp) Pembayaran Pokok (Rp) Angsuran (Rp) Outstanding Pembiayaan (Rp)
1 1 074 604 050 132 982 251 179 100 675 312 082 926 762 521 124
2 895 503 375 132 982 251 179 100 675 312 082 926 583 420 449
3 716 402 700 88 654 834 268 651 013 267 755 509 448 647 191
4 537 302 025 88 654 834 268 651 013 357 305 847 179 996 178
5 268 651 013 88 654 834 268 651 013 357 305 847 0
Total 531 929 005 1 074 604 050 1 606 533 055
107

Lampiran 14 Arus Kas Industri Kosmetik pada Tingkat Margin setara 16.5% dan Kondisi Normal
No. Uraian Tahun-0 (Rp ) Tahun-1 (Rp) Tahun-2 (Rp) Tahun-3 (Rp) Tahun-4 (Rp) Tahun-5 (Rp)
A. ARUS MASUK
1. Hasil Penjualan 10 122 656 419 11 313 557 174 11 909 007 552 11 909 007 552 11 909 007 552
Kosmetik 2 937 600 000 3 283 200 000 3 456 000 000 3 456 000 000 3 456 000 000
Minyak Pala 13 060 256 419 14 596 757 174 15 365 007 552 15 365 007 552 15 365 007 552
Total Penerimaan
2. Pembiayaan
Modal sendiri 578 632 950
Modal Pinjaman 1 074 604 050
Total Arus Masuk 493 206 000 14 220 287 419 14 596 757 174 15 365 007 552 15 365 007 552 15 365 007 552
B. ARUS KELUAR
1. Biaya Investasi 493 206 000
2. Biaya Operasional
Biaya Variabel
Bahan baku 7 051 464 000 7 881 048 000 8 295 840 000 8 295 840 000 8 295 840 000
Bahan pembantu 2 871 839 784 3 209 703 288 3 378 635 040 3 378 635 040 3 378 635 040
Bahan kemasan 381 990 000 426 930 000 449 400 000 449 400 000 449 400 000
Bahan bakar 30 600 000 34 200 000 36 000 000 36 000 000 36 000 000
TK langsung 735 312 000 782 544 000 806 160 000 806 160 000 806 160 000
Total Biaya Variabel 11 071 205 784 12 334 425 288 12 966 035 040 12 966 035 040 12 966 035 040
Biaya Tetap
Biaya Gaji 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000
Adm & Pemsrn 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000
Pemeliharaan 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000
Total Biaya Tetap 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000
Total Biaya Operasional 11 345 705 784 12 608 925 288 13 240 535 040 13 240 535 040 13 240 535 040
3. Pendanaan
Angsuran Bank 312 082 926 312 082 926 267 755 509 357 305 847 357 305 847
Total Arus Keluar 493 206 000 11 657 788 710 12 921 008 214 13 508 290 549 13 508 290 549 13 508 290 549
C ARUS BERSIH (NET CASH FLOW) 2 562 498 709 1 675 748 960 1 856 717 003 1 767 166 665 1 767 166 665
Arus bersih setelah pajak 1 973 124 006 1 273 569 210 1 392 537 752 1 307 703 332 1 290 031 666
D PRESENT VALUE Df = 16.5% - 493 206 000 965 816 251 1 168 304 545 1 050 042 867 903 884 482 767 631 807
Df = 8% - 493 206 000 1 041 829 567 1 359 441 132 1 317 994 320 1 223 831 452 1 121 150 231
E. NET PRESENT VALUE - 493 206 000 472 610 251 1 640 914 796 2 690 957 663 3 594 842 145 4 362 473 952
NPV = 4 362 473 952 ; B/C Ratio = 1.16 ; IRR = 47.2% ; PBP = 11.5 bulan ; BEP = 1 758 125 427
108

Lampiran 15 Arus Kas Industri Kosmetik pada Tingkat Margin setara 16.5% dan Harga Jual turun 5%
No. Uraian Tahun-0 (Rp ) Tahun-1 (Rp) Tahun-2 (Rp) Tahun-3 (Rp) Tahun-4 (Rp) Tahun-5 (Rp)
A. ARUS MASUK
1. Hasil Penjualan 9 616 523 598 10 747 879 316 11 313 557 174 11 313 557 174 11 313 557 174
Kosmetik 2 790 720 000 3 119 040 000 3 283 200 000 3 283 200 000 3 283 200 000
Minyak Pala 12 407 243 598 13 866 919 316 14 596 757 174 14 596 757 174 14 596 757 174
Total Penerimaan
2. Pembiayaan
Modal sendiri 578 632 950
Modal Pinjaman 1 074 604 050
Total Arus Masuk 493 206 000 13 567 274 598 13 866 919 316 14 596 757 174 14 596 757 174 14 596 757 174
B. ARUS KELUAR
1. Biaya Investasi 493 206 000
2. Biaya Operasional
Biaya Variabel
Bahan baku 7 051 464 000 7 881 048 000 8 295 840 000 8 295 840 000 8 295 840 000
Bahan pembantu 2 871 839 784 3 209 703 288 3 378 635 040 3 378 635 040 3 378 635 040
Bahan kemasan 381 990 000 426 930 000 449 400 000 449 400 000 449 400 000
Bahan bakar 30 600 000 34 200 000 36 000 000 36 000 000 36 000 000
TK langsung 735 312 000 782 544 000 806 160 000 806 160 000 806 160 000
Total Biaya Variabel 11 071 205 784 12 334 425 288 12 966 035 040 12 966 035 040 12 966 035 040
Biaya Tetap
Biaya Gaji 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000
Adm & Pemsrn 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000
Pemeliharaan 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000
Total Biaya Tetap 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000
Total Biaya Operasional 11 345 705 784 12 608 925 288 13 240 535 040 13 240 535 040 13 240 535 040
3. Pendanaan
Angsuran Bank 312 082 926 312 082 926 267 755 509 357 305 847 357 305 847
Total Arus Keluar 493 206 000 11 657 788 710 12 921 008 214 13 508 290 549 13 508 290 549 13 508 290 549
C. ARUS BERSIH (NET CASH FLOW) 1 909 485 888 945 911 101 1 088 466 625 998 916 288 998 916 288
Arus bersih setelah pajak 1 470 304 134 718 892 437 816 349 969 739 198 053 729 208 890
D. PRESENT VALUE Df = 16.5% - 493 206 000 534 211 210 759 620 080 685 636 237 595 259 697 506 297 746
Df = 8% - 493 206 000 576 255 611 883 895 202 860 597 881 805 963 100 739 463 673
E. NET PRESENT VALUE - 493 206 000 41 005 210 800 625 290 1 486 261 528 2 081 521 225 2 587 818 971
NPV = 2 587 818 971 ; B/C Ratio = 1.10 ; IRR = 44.52% ; PBP = 1 tahun 5 bulan ; BEP = 2 457 076 997
109

Lampiran 16 Arus Kas Industri Kosmetik pada Tingkat Margin setara 16.5% dan Harga Bahan Baku Naik 10%
No. Uraian Tahun-0 (Rp ) Tahun-1 (Rp) Tahun-2 (Rp) Tahun-3 (Rp) Tahun-4 (Rp) Tahun-5 (Rp)
A. ARUS MASUK
1. Hasil Penjualan 10 122 656 419 11 313 557 174 11 909 007 552 11 909 007 552 11 909 007 552
Kosmetik 2 937 600 000 3 283 200 000 3 456 000 000 3 456 000 000 3 456 000 000
Minyak Pala 13 060 256 419 14 596 757 174 15 365 007 552 15 365 007 552 15 365 007 552
Total Penerimaan
2. Pembiayaan
Modal sendiri 578 632 950
Modal Pinjaman 1 074 604 050
Total Arus Masuk 493 206 000 14 220 287 419 14 596 757 174 15 365 007 552 15 365 007 552 15 365 007 552
B. ARUS KELUAR
1. Biaya Investasi 493 206 000
2. Biaya Operasional
Biaya Variabel
Bahan baku 7 756 610 400 8 669 152 800 9 125 424 000 9 125 424 000 9 125 424 000
Bahan pembantu 2 871 839 784 3 209 703 288 3 378 635 040 3 378 635 040 3 378 635 040
Bahan kemasan 381 990 000 426 930 000 449 400 000 449 400 000 449 400 000
Bahan bakar 30 600 000 34 200 000 36 000 000 36 000 000 36 000 000
TK langsung 735 312 000 782 544 000 806 160 000 806 160 000 806 160 000
Total Biaya Variabel 11 776 352 184 13 122 530 088 13 795 619 040 13 795 619 040 13 795 619 040
Biaya Tetap
Biaya Gaji 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000
Adm & Pemsrn 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000
Pemeliharaan 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000
Total Biaya Tetap 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000
Total Biaya Operasional 12 050 852 184 13 397 030 088 14 070 119 040 14 070 119 040 14 070 119 040
3. Pendanaan
Angsuran Bank 312 082 926 312 082 926 267 755 509 357 305 847 357 305 847
Total Arus Keluar 493 206 000 12 362 935 110 13 709 113 014 14 337 874 549 14 337 874 549 14 337 874 549
C. ARUS BERSIH (NET CASH FLOW) 1 857 353 309 887 644 160 1 027 133 003 937 582 665 937 582 665
Arus bersih setelah pajak 1 430 161 278 674 609 562 770 349 752 693 811 172 684 435 346
D. PRESENT VALUE Df = 16.5% - 493 206 000 499 753 823 726 992 568 656 543 666 570 620 495 485 434 022
Df = 8% - 493 206 000 539 086 300 845 929 774 824 081 426 772 602 388 708 991 551
E. NET PRESENT VALUE - 493 206 000 6 547 823 733 540 391 1 390 084 057 1 960 704 553 2 446 138 574
NPV = 2 446 138 574 ; B/C Ratio = 1.09 ; IRR = 44.17% ; PBP = 1 tahun 6 bulan ; BEP = 2 687 476 390
110

Lampiran 17 Arus Kas Industri Kosmetik pada Tingkat Margin setara 16.5%, Harga Jual Turun 5% dan Harga Bahan Baku Naik 10%
No. Uraian Tahun-0 (Rp ) Tahun-1 (Rp) Tahun-2 (Rp) Tahun-3 (Rp) Tahun-4 (Rp) Tahun-5 (Rp)
A. ARUS MASUK
1. Hasil Penjualan
Kosmetik 9 616 523 598 10 747 879 316 11 313 557 174 11 313 557 174 11 313 557 174
Minyak Pala 2 790 720 000 3 119 040 000 3 283 200 000 3 283 200 000 3 283 200 000
Total Penerimaan 12 407 243 598 13 866 919 316 14 596 757 174 14 596 757 174 14 596 757 174
2. Pembiayaan
Modal sendiri 578 632 950
Modal Pinjaman 1 074 604 050
Total Arus Masuk 493 206 000 13 567 274 598 13 866 919 316 14 596 757 174 14 596 757 174 14 596 757 174
B. ARUS KELUAR
1. Biaya Investasi 493 206 000
2. Biaya Operasional
Biaya Variabel
Bahan baku 7 756 610 400 8 669 152 800 9 125 424 000 9 125 424 000 9 125 424 000
Bahan pembantu 2 871 839 784 3 209 703 288 3 378 635 040 3 378 635 040 3 378 635 040
Bahan kemasan 381 990 000 426 930 000 449 400 000 449 400 000 449 400 000
Bahan bakar 30 600 000 34 200 000 36 000 000 36 000 000 36 000 000
TK langsung 735 312 000 782 544 000 806 160 000 806 160 000 806 160 000
Total Biaya Variabel 11 776 352 184 13 122 530 088 13 795 619 040 13 795 619 040 13 795 619 040
Biaya Tetap
Biaya Gaji 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000 240 000 000
Adm & Pemsrn 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000 11 400 000
Pemeliharaan 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000 23 100 000
Total Biaya Tetap 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000 274 500 000
Total Biaya Operasional 12 050 852 184 13 397 030 088 14 070 119 040 14 070 119 040 14 070 119 040
3. Pendanaan
Angsuran Bank 312 082 926 312 082 926 267 755 509 357 305 847 357 305 847
Total Arus Keluar 493 206 000 12 362 935 110 13 709 113 014 14 337 874 549 14 337 874 549 14 337 874 549
C. ARUS BERSIH (NET CASH FLOW) 1 204 339 488 157 806 301 258 882 625 169 332 288 169 332 288
Arus bersih setelah pajak 927 341 406 119 932 789 194 161 969 125 305 893 123 612 570
D. PRESENT VALUE Df = 16.5% - 493 206 000 68 148 783 318 308 103 292 137 036 261 995 710 224 099 961
Df = 8% - 493 206 000 73 512 344 370 383 844 366 684 987 354 734 036 327 304 994
E. NET PRESENT VALUE - 493 206 000 - 425 057 217 - 106 749 114 185 387 922 447 383 633 671 483 594
NPV = 671 483 594 ; B/C Ratio = 1.04 ; IRR = 33.90% ; PBP = 3 tahun 3 bulan ; BEP = 5 001 396 978
111

Lampiran 18 Pembobotan terhadap Faktor Internal Kekuatan dan Kelemahan Industri Produk Olahan Minyak Pala
Responden 1
Faktor Internal Ak Bk Ck Dk Ek Al Bl Cl Dl El Jumlah Bobot

Ak 1 1 1 2 1 0 0 0 0 6 0.067
Bk 1 1 1 0 1 0 0 0 0 4 0.044
Ck 1 1 1 0 1 0 0 0 0 4 0.044
Dk 1 1 1 0 1 0 0 0 0 4 0.044
Ek 0 2 2 2 2 1 1 1 0 11 0.122
Al 1 1 1 1 0 0 0 0 0 4 0.044
Bl 2 2 2 2 1 2 1 1 2 15 0.167
Cl 2 2 2 2 1 2 1 1 0 13 0.145
Dl 2 2 2 2 1 2 1 1 0 13 0.145
El 2 2 2 2 2 2 0 2 2 16 0.178
Jumlah 12 14 14 14 7 14 3 5 5 2 90 1.000

Responden 2
Faktor Internal
Ak Bk Ck Dk Ek Al Bl Cl Dl El Jumlah Bobot
Ak 0 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0.170
Bk 2 2 2 2 2 2 2 2 2 18 0.205
Ck 0 0 1 0 0 2 1 1 1 6 0.068
Dk 0 0 1 0 0 2 1 1 1 6 0.068
Ek 0 0 2 2 0 2 2 2 2 12 0.137
Al 1 0 2 2 2 2 2 2 2 13 0.148
Bl 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.000
Cl 0 0 1 1 0 0 2 1 1 6 0.068
Dl 0 0 1 1 0 0 2 1 1 6 0.068
El 0 0 1 1 0 0 2 1 1 6 0.068
Jumlah 3 0 12 12 4 0 18 12 12 12 88 1.000
112

Lampiran 18 Pembobotan terhadap Faktor Internal Kekuatan dan Kelemahan Industri Produk Olahan Minyak Pala (Lanjutan)
Responden 3
Faktor Internal Ak Bk Ck Dk Ek Fk* Gk* Hk* Al Bl Cl Dl El Fl* Gl* Jumlah Bobot
Ak 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 28 0.133
Bk 0 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 1 21 0.100
Ck 0 0 2 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 5 0.024
Dk 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.000
Ek 0 0 2 2 1 0 0 0 0 2 2 1 2 0 12 0.057
Fk* 0 0 2 2 1 0 0 0 0 2 2 1 2 0 12 0.057
Gk* 0 1 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 1 21 0.100
Hk* 0 1 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 1 21 0.100
Al 0 1 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 1 21 0.100
Bl 0 1 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 2 1 21 0.100
Cl 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 5 0.024
Dl 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 5 0.024
El 0 0 2 2 1 1 0 0 0 0 2 2 2 0 12 0.057
Fl* 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 5 0.024
Gl* 0 1 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 21 0.100
Jumlah 0 6 23 28 15 15 6 6 15 6 6 23 23 15 23 210 1.000

Keterangan Bobot:
0 = Faktor Horizontal kurang penting dibandingkan faktor vertikal
1 = Faktor Horizontal sama penting dibandingkan faktor vertikal
2 = Faktor Horizontal lebih penting dibandingkan faktor vertikal

Tanda * = Merupakan pendapat/masukan tambahan responden 3 berupa faktor kekuatan dan kelemahan internal,
dan tidak terdapat pada responden 1 dan 2
113

Lampiran 19 Hasil Penggabungan Pembobotan Faktor Internal Kekuatan dan Kelemahan


Faktor Kekuatan
Responden Ak Bk Ck Dk Ek Fk* Gk* Hk*
1 0.067 0.044 0.044 0.044 0.122 - - -
2 0.170 0.205 0.068 0.068 0.137 - - -
3 0.133 0.100 0.024 0.000 0.057 0.057 0.100 0.100
Jumlah 0.370 0.349 0.136 0.112 0.316 0.057 0.100 0.100
Rata-rata 0.124 0.117 0.045 0.037 0.105 0.019 0.033 0.033

Faktor Kelemahan
Responden Al Bl Cl Dl El Fl* Gl*
1 0.044 0.167 0.145 0.145 0.178 - -
2 0.148 0.000 0.068 0.068 0.068 - -
3 0.100 0.100 0.024 0.024 0.057 0.024 0.100
Jumlah 0.292 0.267 0.237 0.237 0.303 0.024 0.100
Rata-rata 0.098 0.089 0.079 0.079 0.101 0.008 0.033

Keterangan :
Faktor Internal Kekuatan Faktor Internal Kelemahan
Ak = Potensi sumber daya lahan Al = Terbatasnya SD yang memiliki keahlian
Bk = Tersedianya TK yang cukup Bl = Teknologi pengolahan masih sederhana
Ck = Kesesuaian tempat tumbuh tanaman pala Cl = Sistem informasi yang belum memadai
Dk = Kesesuaian agroklimat tanaman pala Dl = Kelembagaan yang belum efektif
Ek = Budidaya pala yang turun temurun El = Kurangnya bahan baku biji dan fuli pala
Fk = Kedekatan dengan potensi pasar Fl = Terbatasnya modal petani pala
Gk = Kelancaran transportasi dan ketersediaan fasilitas penunjang Gl = Tidak adanya pola bapak angkat
Hk = Kedekatan dengan pelabuhan dan airport
114

Lampiran 20 Pembobotan terhadap Faktor Eksternal Peluang dan Ancaman


Industri Produk Olahan Minyak Pala
Responden 1
Faktor Eksternal Ap Bp Cp Dp Aa Ba Jumlah Bobot
Ap 0 0 1 0 0 1 0.033
Bp 2 1 2 1 1 7 0.233
Cp 2 1 2 1 1 7 0.233
Dp 1 0 0 0 0 1 0.033
Aa 2 1 1 2 1 7 0.233
Ba 2 1 1 2 1 7 0.233
Jumlah 9 3 3 9 3 3 30 1.000

Responden 2
Faktor Eksternal Ap Bp Cp Dp Aa Ba Jumlah Bobot
Ap 0 0 1 0 0 1 0.033
Bp 2 0 2 0 0 4 0.134
Cp 2 2 2 0 1 7 0.233
Dp 1 0 0 0 0 1 0.033
Aa 2 2 2 2 2 10 0.333
Ba 2 2 1 2 0 7 0.233
Jumlah 9 6 3 9 0 3 30 1.000

Responden 3
Faktor Eksternal Ap Bp Cp Dp Aa Ba Jumlah Bobot
Ap 0 0 0 0 0 0 0.000
Bp 2 0 0 0 1 3 0.100
Cp 2 2 2 2 2 10 0.334
Dp 2 2 0 1 2 7 0.233
Aa 2 2 0 2 1 7 0.233
Ba 2 1 1 2 1 7 0.100
Jumlah 10 7 1 6 4 6 34 1.000

Keterangan Bobot:
0 = Faktor Horizontal kurang penting dibandingkan faktor vertikal
1 = Faktor Horizontal sama penting dibandingkan faktor vertikal
2 = Faktor Horizontal lebih penting dibandingkan faktor vertikal
115

Lampiran 21 Hasil Penggabungan Pembobotan Faktor Eksternal Peluang dan Ancaman


Responden Ap Bp Cp Dp Aa Ba
1 0.034 0.233 0.233 0.034 0.233 0.233
2 0.033 0.134 0.233 0.033 0.334 0.233
3 0.000 0.100 0.334 0.233 0.233 0.100
Jumlah 0.067 0.467 0.800 0.300 0.800 0.566
Rata-rata 0.022 0.155 0.267 0.100 0.267 0.189

Keterangan :
Faktor Eksternal Peluang :
Ap = Prospek pasar dalam negeri dan luar negeri
Bp = Kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan agroindutri
Cp = Adanya perhatian dari Litbang untuk pengembangan minyak pala
Dp = Bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap produk agroindustri

Faktor Eksternal Ancaman


Aa = Banyaknya pungutan liar
Ba = Kebijakan pemerintah daerah / pusat yang tidak konsisten antar satu dinas / instansi dengan lainnya.
Lampiran 22 Perhitungan Rating Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman
Industri Produk Olahan Minyak Pala
Kekuatan 5 4 3 2 1 Jumlah Rata-rata Nilai Akhir
Ak 1 1 1 7 2.33 2
Bk 1 1 1 7 2.33 2
Ck 3 12 4.00 4
Dk 1 2 13 4.33 4
Ek 3 9 3.00 3
Fk* 1 3 3.00 3
Gk* 1 2 2.00 2
Hk* 1 2 2.00 2

Kelemahan 5 4 3 2 1 Jumlah Rata-rata Nilai Akhir


Al 1 2 8 2.66 3
Bl 1 1 1 10 3.33 3
Cl 2 1 11 3.66 4
Dl 2 1 11 3.66 4
El 1 1 1 9 3.00 3
Fl* 1 4 4.00 4
Gl* 1 2 2.00 2

Peluang 5 4 3 2 1 Jumlah Rata-rata Nilai Akhir


Ap 2 1 14 4.66 5
Bp 2 1 11 3.66 4
Cp 2 1 7 2.33 2
Dp 1 1 1 12 4.00 4

Ancaman 5 4 3 2 1 Jumlah Rata-rata Nilai Akhir


Ap 2 1 8 2.66 3
Bp 1 2 10 3.33 3

Keterangan Rating :
1 = Kurang Berpengaruh
2 = Agak Berpengaruh
3 = Berpengaruh
4 = Sangat Berpengaruh
5 = Sangat Berpengaruh Sekali

Tanda * = Merupakan pendapat/masukan tambahan responden 3 berupa faktor


kekuatan & kelemahan internal, yang tidak terdapat pada responden
1&2
119

Lampiran 25 Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas Tujuan


dengan Metode AHP

6/16/2003 12:08:13 AM Page 1 of 1

Model Name: Prioritas TUJUAN Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bogor Melalui


Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala

Synthesis: Summary

Synthesis with respect to:


Goal: Pemberdayaan Masyarakat di Kab Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala
Overall Inconsistency = .02

A: Membuka lapangan pekerjaan .269


B: Memaksimalkan keuntungan .289
C: Perluasan/Diversifikasi .230
E: Peningkatan pendapatan daerah/devisa .113
D: Perluasan pangsa pasar .100
117

Lampiran 23 Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas Faktor


dengan Metode AHP

4/12/2009 9:30:19 PM Page 1 of 1

Model Name: Prioritas FAKTOR Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bogor Melalui


Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala

Priorities with respect to: Combined


Goal: Pemberdayaan Masyarakat di...

Ketersediaan Bahan Baku .171


Mutu Bahan Baku .140
Penguasaan Teknologi .151
Permintaan/Kondisi Pasar .154
Ketersediaan fasilitas dan Sar .083
SDM yang berkualitas .098
Harga yang menguntungkan .109
Ketersediaan dana dan modal .093
Inconsistency = 0.02
with 0 missing judgments.
118

Lampiran 24 Hasil Pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas Aktor


dengan Metode AHP

4/12/2009 9:32:54 PM Page 1 of 1

Model Name: Prioritas AKTOR Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bogor Melalui


Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala

Synthesis: Summary

Synthesis with respect to:


Goal: Pemberdayaan Masyarakat di Kab Bogor Melalui Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala
Overall Inconsistency = .03

Petani Pala .205


Pemerintah daerah .362
Pelaku industri .239
Litbang .058
Konsumen .048
Investor .051
Lembaga keuangan .036
120

Lampiran 26 Hasil pengolahan Expert Choice 2000 terhadap Prioritas


Alternatif Strategi dengan Metode AHP

4/12/2009 9:59:37 PM Page 1 of 1

Model Name: Prioritas ALTERNATIF STRATEGI Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bogor Melalui
Pengembangan Industri Produk Olahan Minyak Pala

Synthesis: Summary

Synthesis with respect to:


Goal: Pemberdayaan Masy arakat di Kab Bogor Me la lui Pengembangan Industri Produk Olahan Minya k Pala
Overall Inconsistency = .02

Perluasan areal kebun pala .185


Pembangunan s entra produk akhir minya k pala .180
Pola kemitraan .183
Pemberday aan lembaga keuangan dan permodalan .116
Peningkatan kualitas SDM dan teknologi .120
Pembangunan pusat informasi pala, .130
Perbaikan kebijakan dan kelembagaan .084

Anda mungkin juga menyukai