Anda di halaman 1dari 138

STRATEGI PERCEPATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

TURUNAN MINYAK SAWIT MENTAH (MSM)


DI INDONESIA

DIDIK MOCHAMAD ROFIQI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Percepatan
Pengembangan Industri Turunan Minyak Sawit Mentah (MSM) di Indonesia
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Didik Mochamad Rofiqi


NRP F351114021

*)
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN
Didik Mochamad Rofiqi. Strategi Percepatan Pengembangan Industri Turunan
Minyak Sawit Mentah (MSM) Di Indonesia. Dibimbing oleh M SYAMSUL
MAARIF dan AJI HERMAWAN.

Indonesia telah menjadi produsen utama minyak sawit dunia dengan


kontribusi pada tahun 2013 sebesar 48,37% dari produksi minyak sawit dunia.
Minyak sawit mentah mempunyai keunggulan sebagai bahan baku industri
oleokimia dibandingkan minyak nabati lain. Hilirisasi merupakan salah satu
langkah untuk meningkatkan keunggulan kompetitif suatu negara. Sampai saat ini
proses hilirisasi belum berjalan baik, khususnya industri oleokimia. Mulai tahun
1975 – 2013, hanya terdapat 9 (sembilan) industri oleokimia di Indonesia. Guna
meningkatkan dayasaing dan menjadikan Indonesia sebagai penghasil oleokimia
dunia sebagaimana ditargetkan dalam Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional (RIPIN) tahun 2035 maka Indonesia harus mempunyai 33 (tiga puluh
tiga) industri oleokimia sebesar kapasitas yang ada saat ini. Untuk terwujudnya
tujuan tersebut diperlukan strategi percepatan pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan percepatan
pengembangan industri turunan minyak sakit mentah (MSM) di Indonesia,
mendapatkan alternatif strategi dan urutan prioritas langkah strategi percepatan
pengembangan industri turunan MSM sebagai bagian penting dalam
pembangunan industri kelapa sawit di Indonesia.
Pengidentifikasian masalah dilakukan melalui analisis dayasaing industri
turunan minyak sawit sesuai kerangka Berlian Porter. Alternatif strategi
ditentukan dari wawancara dengan pakar atau pemangku kepentingan
(stakeholder). Hasil wawancara secara mendalam dicatat dengan cermat guna
dianalisis dengan interative model. Pakar yang diwawacarai terdiri atas beberapa
stakeholders yaitu a) pemerintah: Dirjen Industri Agro, Kemetrian Perindustrian
RI, b) pelaku bisnis: GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), dan
c) peneliti: Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), Surfaktan Bioenergi
Research Centre-Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB), Pusat Penelitian Kelapa
Sawit-Research Perkebunan Nusantara (PPKS-RPN), PASPI (Palm Oil
Agribusiness Strategic Policy Institute. Perumusan strategi disusun dari alternatif
strategi dan faktor-faktor yang berpengaruh. Skala prioritas untuk menentukan
strategi percepatan dilakukan dengan teknik pendekatan AHP. Guna melihat
validitas model AHP maka dilakukan analisa sensitivitas terhadap masing-masing
faktor dari setiap alternatif strategi yang diteliti.
Hasil analisis Berlian Porter didapatkan permasalahan pengembangan
industri turunan minyak sawit mentah (MSM) di Indonesia adalah belum adanya
dukungan yang kuat dari IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam
pengembangan oleokimia, infrastruktur penunjang industri belum memadai,
adanya struktur pasar oleokimia yang oligopoli, adanya moratorium
pengembangan lahan sawit, tidak adanya konsistensi komitmen pemerintah dalam
pengembangan industri turunan (biodiesel), dan adanya kampanye negatif
terhadap kelapa sawit dan produk turunanya membuat adanya pembatasan
berkembangnya minyak kelapa sawit.
Penentuan alternatif strategi dilakukan dengan cara wawancara langsung
para pakar. Hasil pendapatnya dapat dihimpun yang terdiri atas penyederhanaan
perijinan, penyiapan infrastruktur, pemberian insentif perpajakan, adanya
dukungan moneter, adanya komitmen pemerintah, serta kepastian pasar. Faktor
penentu yang menjadi pertimbangan terlaksananya alternatif strategi percepatan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia adalah biaya
yang timbul untuk proses pendirian, waktu atau lamanya proses kegiatan terjadi,
dan kondisi sumber daya manusia yang menjalankan kegiatan (baik kompetensi
maupun moral hazard).
Hasil perhitungan menunjukan prioritas alternatif strategi percepatan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia dengan
prioritas: 1) komitmen pemerintah (0.31); 2) kepastian pasar (0.21); 3) penyiapan
infrastruktur (0.17); 4) dukungan moneter (0.13); 5) penyederhanaan perijinan
(0.11); 6) insentif pajak (0.07). Dengan urutan faktor penentu yang harus
diperbaiki yaitu sumber daya manusia (0.39), biaya (0.35), dan waktu (0.25).
Prioritas utama ini menunjukkan semua stakeholder memandang industri
turunan minyak sawit mentah memerlukan adanya dukungan komitmen
pemerintah secara konsistensi dalam jangka panjang. Komitmen pemerintah
merupakan bagian penting dalam mewujudkan kepercayaan investor akan
stabilitas keamanan modal yang ditanamkan. Adanya komitmen pemerintah
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan nomor 128/ PMK.011/2011
tentang bea keluar produk dan turunan minyak kelapa sawit membuat industri
turunan minyak kelapa sawit yang stagnan mulai menggeliat lagi. Disisi lain,
kebijakan pemerintah dalam pemakaian biodiesel di dalam negeri sampai belum
menunjukkan hal yang menggembirakan. Kondisi ini menjadikan kegamangan
investor untuk menanamkan modalnya. Hasil analisis sensitifitas dengan
menurunkan biaya sampai - 30%, penurunan waktu sebesar -20% dan peningkatan
sumber daya manusia sebesar 60% menunjukkan urutan prioritas alternatif
strategi yang sama, sehingga model ini telah cukup valid.

Kata kunci: AHP, Alternatif Strategi, Diamont Porter, Interaktif Model.


SUMMARY

Didik Mochamad Rofiqi. An Accelerating Strategy for Development of Palm Oil


Downstream Industry in Indonesia. M SYAMSUL MAARIF and AJI
HERMAWAN.

Indonesia has become a major producer of palm oil, contributing as much as


48,37% world palm oil production in 2013. The palm oil has advantages as
oleochemical material if compared to other vegetable oils. Downstream
industrialization is one step to improve the competitive advantage. Utilization
process has not been going well in Indonesia, particularly oleochemical industry.
During 1975 - 2013, the number of Indonesian oleochemical industry was only 9
(nine). In order to increase competitiveness to make Indonesia the world
oleochemical leader as targeted in the National Industrial Development Master
Plan (RIPIN) 2035, Indonesia must have 33 (thirty-three) time capacity of the
current oleochemical industry. To meet the objectives, a strategy to accelerate the
development of palm oil derivatives industry is needed.
This study aims to identify the problems of accelerating industrial
development of palm oil derivative, to have alternative strategies and priorities
strategy to accelerate the development of palm oil derivatives industry that an
important segment to develop the palm oil industry in Indonesia.
The identification of issuees was conducted using the Porter Diamond
framework. Alternative strategies were generated from interviews with experts or
stakeholders. The results of interviews were analyzed using interative models. The
experts interview consists of a) government: Director General of Agro Industry,
The Ministry of Industry, b) business people: GAPKI (Association of Indonesian
Palm Oil), and c) researchers: Masyarakat Kepala Sawit Indonesia (MAKSI),
Surfactant Bioenergy Research Centre-Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB),
Pusat Penelitian Kelapa Sawit-Research Perkebunan Nusantara (PPKS-RPN),
PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. The formulation of
strategy were drawn up of alternative strategies and influencial factors.
Prioritization of acceleration strategy was manage by using AHP approach. In
order to see the validity of the AHP model sensitivity analysis is carried out on
each of the factors of any strategic alternatives studied.
The problems of industrial development of palm oil in Indonesia are as
follows (a) the result of research are not enough to support the oleochemical
industry, (b) supporting infrastructure industry is not adequate, (c) the market
structure of oligopoly, (e) a moratorium on land development of palm oil, (f) the
lack of consistency of the government's commitment in the development of palm oil
derivatives industrial (biodiesel), and (g) the negative campaign against palm oil
and its products make their restrictions on the development of palm oil.
Determination of strategic alternatives extracted from the experts interview.
Results can be assembled comprising its opinion on simplification of licensing,
preparation of infrastructure, tax incentives, financial support, the government's
commitment, as well as market certainty. Factor considered in prioritizing
strategies are cost incurred for implementation, time or duration of imple-
mentation, and the human resources character to run the activities.
Priority of alternative strategies are 1) the government's commitment (0.31);
2) assurance market (0.21); 3) the preparation of infrastructure (0,17); 4) monetary
support (0,13); 5) simplification of licensing (0,11); and 6) tax incentives (0,07).
By order of the determinants that must be corrected, namely human resources (0,39),
cost (0,35), and time (0,25).
The main priorities show that all industry stakeholders to conclude palm oil
derivatives requires consistent support of the government's commitment in the
long term. The government's commitment is an important segment in realizing
security and stability for investors. The government's commitment to the
enactment of the Minister of Finance No. 128 / PMK.011 / 2011 on export duties
and palm oil derivatives make palm oil derivatives industry stagnant start to pick
up again. On the other hand, the government's policy on the use of biodiesel in
domestic to day has not shown a positive thing. These conditions create
uncertainty for investors. The results of the sensitivity analysis by lowering the
cost of up to - 30% -20% reduction in time and increase in human resources by
60% shows an alternative priority order the same strategy, so that the model has
enough valid.

Keywords: AHP, Alternative Strategic, Diamont Porter, Interactive Method


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PERCEPATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
TURUNAN MINYAK SAWIT MENTAH (MSM)
DI INDONESIA

DIDIK MOCHAMAD ROFIQI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk melakukan penelitian
Magister Sains
Pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr.Ir. Sukardi, MM
Judul Penelitian : Strategi Percepatan Pengembangan Industri Turunan
Minyak Sawit Mentah (MSM) Di Indonesia
Nama : Didik Mochamad Rofiqi
NIM : F351114021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M.Eng. Dr. Ir. Aji Hermawan, MM
Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Teknologi Industri Pertanian

Prof. Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 1 Februari 2016 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
selesainya penulisan tesis Strategi Percepatan Pengembangan Industri Turunan
Minyak Sawit Mentah (MSM) Di Indonesia.
Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung dalam penyelesaian dan penyempurnaan hasil penelitian
ini. Jika masih terdapat kesalahan yang mungkin terjadi tetap menjadi tanggung
jawab penulis. Penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para
pembimbing, yaitu: Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M.Eng, sebagai ketua komisi
pembimbing; dan Dr. Ir. Aji Hermawan, MM, sebagai anggota komisi
pembimbing. Arahan dan masukan yang diberikan oleh komisi pembimbing
selama penelitian dan penulisan sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah
mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas S2-TIP.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir.
Hermawan Thaheer dan Prof Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS atas kesempatan dan
dorongannya yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan pada
rekan-rekan satu kelas S2-TIP angkatan 2012 atas dorongan dan kerjasamanya
selama ini, pada Nasywa, Akbar, Zizi, dan Istriku (Oni) atas siraman energi
semangat dan motifasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan
baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Lembaga Sertifikasi
Institut Pertanian Bogor yang telah membantu biaya pendidikan penulis selama
mengikuti program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Tesis ini juga dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan dorongan
dari berbagai pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu
penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Pada akhirnya, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini hanya
penulislah yang bertanggungjawab. Tuhan akan memberi balasan berkah yang
setimpal kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis.

Bogor, Februari 2016


xv

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvi


DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xviii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Ruang Lingkup 3
Manfaat Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Strategi 5
Analisis Kompetitif Porter 7
Minyak Sawit Mentah 8
Pemanfaatan Minyak Sawit 10
Oleokimia dan Turunannya 11
Penelitian Terdahulu 13
METODE PENELITIAN 15
Kerangka Pemikiran 15
Tahapan Penelitian 17
Waktu dan Tempat Penelitian 19
Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 21
HASIL DAN PEMBAHASAN 22
Analisis Berlian Porter Sebagai Identifikasi Permasalahan 22
Penentuan Alternatif Strategi 62
Strategi Percepatan 70
Implikasi Kebijakan 78
SIMPULAN DAN SARAN 78
Simpulan 78
Saran 79
DAFTAR PUSTAKA 80
LAMPIRAN 88
xvi

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan sifat minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti


kelapa sawit (PKO) 10
2 Komposisi asam lemak bebas minyak kelapa sawit (CPO) dan
minyak inti kelapa sawit (PKO) 10
3 Tujuan, jenis, metode pengumpulan dan pengolahan data 21
4 Luas areal dan produksi minyak sawit (CPO) pada perkebunan
rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swasta menurut provinsi,
2013 24
5 Perkembangan ekspor crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil
(PKO) Indonesia (ribuan Ton) 25
6 Perbandingan komposisi tanaman kelapa sawit antara perkebunan
rakyat, negara, dan swasta (%) 26
7 Penyerapan tenaga kerja industri minyak sawit Indonesia 28
8 Volume, nilai ekspor dan produk turunan CPO, tahun 2009-2013 34
9 Jumlah permintaan minyak kelapa sawit (CPO) untuk industri tahun
2013 dan rata-rata pertumbuhannya 35
10 Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia (juta ton) 36
11 Jumlah perusahaan, kapasitas produksi dan penyebaran industri
margarin/shortening di Indonesia 44
12 Produsen dan kapasitas industri oleokimia nasional (dalam 1000 ton) 45
13 Produsen gliserin di Indonesia tahun 2011 dari industri fatty acid dan
fatty alcohol 45
14 Produsen glycerin di Indonesia tahun 2011 dari industri biodiesel 46
15 Jumlah perusahaan dan kapasitas produksi industri sabun mandi dan
detergent di Indonesia 47
16 Keterkaitan antar komponen utama industri turunan minyak sawit
mentah (MSM) di Indonesia 58
17 Keterkaitan antar komponen penunjang industri turunan minyak
sawit mentah (MSM) di Indonesia 60
18 Hasil penentuan alternatif strategi pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah Indonesia oleh para pakar 66
19 Daftar responden sample dalam analisis AHP percepatan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah Indonesia 74
20 Hasil perhitungan bobot faktor penentu pertimbangan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah 75
21 Hasil perhitungan AHP strategi percepatan pengembangan industri
turunan minyak sawit mentah 76
22 Hasil analisis sensitifitas AHP percepatan industri turunan minyak
sawit mentah 78
xvii

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram pohon industri minyak sawit mentah (Kementrian


Perindustrian, 2011) 4
2. Buah kelapa sawit 9
3. Diagram oleokimia dasar dan turunannya (Suryani 2005) 12
4. Diamont porter (Hill dan Jones, 1998) 16
5. Tahapan penelitian 20
6. Distribusi produksi dan ekspor CPO Indonesia (BPS 2014) 25
7. Perbandingan produktivitas perkebunan kelapa sawit negara,
swasta, dan rakyat (Sipayung dan Purba, 2014) 26
8. Persentase pemanfaatan CPO di Indonesia (GAPKI 2014) 34
9. Jumlah produksi sabun dan detergent Indonesia tahun 2000-2013
(GAPKI 2014) 41
10. Keterkaitan antar komponen Berlian Porter industri turunan minyak
sawit mentah (MSM) Indonesia 57
11. Struktur hierarki percepatan pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah Indonesia 71
12. Formasi hierarki strategi percepatan pengembangan industri
turunan minyak sawit mentah di Indonesia 76
xviii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Produk turunan minyak sawit mentah Malaysia 89


2. Kuisioner alternatif strategi pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah 99
3. Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia 103
4. Perkembangan produksi minyak sawit di Indonesia 104
5. Distribusi Eksport crude palm oil (CPO) dan crude palm kernel
Oil (CPKO) per provinsi (ribuan ton) 105
6. Perkembangan dan persentase kebutuhan CPO untuk Industri
Hilir di dalam negeri 106
7. Pertumbuhan permintaan CPO dalam negeri untuk industri 107
8. Pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di
Indonesia 108
9. Kapasitas terpasang industri biodiesel di Indonesia Tahun 2011 109
10. Kuesioner analytical hierarcy process (AHP) percepatan pengem-
bangan Industri minyak kelapa sawit mentah 110
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak tahun 2006, jumlah produksi minyak sawit mentah Indonesia telah
melewati Malaysia, dengan kontribusi sebesar 48,37% dari produksi minyak sawit
dunia pada tahun 2013 (GAPKI 2014). Industri minyak sawit berkontribusi 10%
terhadap pendapatan nasional dari sektor non migas dengan menyerap dan
menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 6 juta orang (Sipayung dan Purba
2013). Meskipun telah menjadi produsen utama minyak sawit dunia dan
berkontribusi baik terhadap pendapatan nasional, sampai saat ini minyak sawit
Indonesia belum memiliki keunggulan kompetitif yang baik. Dari empat negara
produsen utama minyak sawit dunia, Malaysia pada tahun 2004-2012 memiliki
kinerja ekspor tertinggi dengan indeks RCA (Revealed Comparative Advantage)
atau perbandingan pangsa pasar suatu produk dalam total ekspor suatu negara
dengan pasar ekspor pada produk yang sama dalam total ekspor dunia, bernilai
rata-rata di atas 1 (satu) untuk CPO (crude palm oil) (1.04) dan PKO (palm kernel
oil) (1.08). Indonesia berada di bawah Thailand dan relatif sama dengan
Colombia. Indeks RCA Indonesia rata-rata tahun 2004-2012 di bawah satu yaitu
CPO sebesar 0.98 dan PKO sebesar 0.94 (Ermawati dan Septia 2013). Demikian
juga produk turunannya kalah jauh dengan Malaysia khususnya komodite olahan
PKO (61.39), olahan CPO (41.53), dan oleokimia (37.36) sedangkan Indonesia
komodite olahan PKO (31.66), olahan CPO (30.17), dan oleokimia (3.19) (Arip et
al. 2013).
Minyak sawit mentah yang terdiri atas CPO dan PKO, nilai ekspor
Indonesia untuk minyak sawit dan produk turunannya pada tahun 2015 sebesar
US$ 19.76 miliyar atau 13.15 % dari total ekspor nonmigas. Jumlah ekspor
tersebut sekitar 24.82 % merupakan bahan mentah berupa CPO dan CPKO yang
mencapai US$ 4.90 miliyar. Sementara, nilai produk antara seperti crude palm
olein, kernel olein, stearin sampai dengan oleokimia telah berkontribusi sebesar
US$ 14,86 milyar (BPS 2016). Pada awal tahun 2014 mencatat rasio volume
ekspor minyak sawit dibandingkan dengan produk olahannya menjadi 30 : 70.
Ragam produk turunan minyak sawit mentah Indonesia sekitar 47 jenis (Rifai
2014) dan Malaysia sudah mencapai 406 jenis produk turunan minyak sawit
mentah (MPOB 2014).
Penganekaragaman atau hilirisasi minyak sawit merupakan salah satu
langkah untuk meningkatkan keunggulan kompetitif suatu negara, serta dapat
memenangkan dan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional (Perizade
2013). Penganekaragaman produk hilir minyak sawit juga akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, semakin beragamnya produk dan kegunaannya akan
meningkatkan jumlah serta pilihan produk bagi masyarakat, perbanyakan jenis
produk akan diikuti semakin banyaknya mesin ekonomi sebagai wahana proses
penciptaan pendapatan (income generating) (Sipayung 2012). Adanya kampanye
hitam (black champaign) global yang menyudutkan minyak sawit Indonesia diluar
negeri maka proses hilirisasi merupakan cara yang paling baik untuk menjawab
kampanye dan serangan negara maju (Supriyanto 2013).
Ragam turunan minyak sawit dari tahapan proses dan penggunaannya dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok utama, yaitu: (1) industri oleokimia yaitu
2

industri yang mengolah minyak sawit mentah (MSM) menjadi produk-produk


turunan (produk antara), (2) industri oleopangan (oleo food/oleo-edible) yaitu
industri yang menggunakan oleokimia menjadi produk pangan, dan (3) industri
oleo bukan pangan (oleo non food) yaitu industri yang menggunakan oleokimia
menjadi produk non pangan (Sipayung 2012). Berdasarkan kegiatan ekonomi
produk turunan minyak sawit dibedakan pada tingkat konsumsi dan tingkat
keuntungannya (profitability). Kelompok produk dengan tingkat konsumsi tinggi
dan tingkat keuntungan relatif rendah yaitu kelompok oleokimia dasar seperti
minyak goreng/olein dan biodiesel. kelompok produk dengan tingkat konsumsi
rendah dan tingkat keuntungan tinggi yaitu kelompok obat/farmasi seperti
tecopherol dan vitamin E (Hazimah 2012).
Guna mencapai tujuan pengendalian produksi MSM yang efektif, khususnya
mengendalikan pasokan minyak nabati dunia, serta mendapatkan nilai tambah
produk yang tinggi maka proses hilirisasi MSM harus diarahkan pada industri
hilir yang menggunakan bahan baku utama besar atau tingkat konsumsi yang
tinggi dengan nilai tambah yang cukup tinggi pula seperti produk oleokimia dan
turunannya. Saat ini, Indonesia telah menghasilkan produk oleokimia dasar seperti
fatty alkohol, fatty acid, metil ester dan gliserol.
Proses pengembangan industri oleokimia tidak mudah, diperlukan waktu
dan biaya yang tidak sedikit untuk mewujudkannya. Adanya beragam produk
turunan oleokimia yang dapat dikembangkan, tingkat teknologi yang digunakan,
terbatasnya pasar oleokimia, terbatasnya investor oleokimia dunia, terbatasnya
keberadaan insfrastruktur, serta kondusifitas pemerintah baik pusat dan daerah
sangat berpengaruh terhadap pengembangan industri turunan oleokimia di
Indonesia. Menurut Rupilius dan Ahmat (2007a), industri oleokimia termasuk
industri dengan jumlah investasi yang besar dan tingkat keuntungan yang rendah.
Guna mewujudkan industri ini diperlukan pertimbangan yang sangat matang.
Menurut Widjaja et al. (2013) upaya meningkatkan investasi industri hilir
minyak sawit adalah (1) konsistensi pemerintah dalam menjalankan regulasi,
misalnya PE (pajak eksport) tinggi bagi ekspor bahan baku dan rendah bagi
produk hilir, dan tax-holiday yang telah berjalan perlu dipertahankan untuk jangka
waktu panjang; (2) adanya perbaikan/ penambahan infrastruktur jalan; (3)
meningkatnya volume ekspor memerlukan tambahan dan modernisasi pelabuhan;
(4) ragam produk minyak sawit semakin banyak, maka mutu produk yang masuk
ke kapal harus dijaga kemurniannya; dan (5) fasilitas pelabuhan minyak sawit
khususnya Pelabuhan Belawan saat ini sudah tidak memadai (waktu tunggu kapal
meningkat dari 12 hari menjadi 14 hari).
Sejak 1975, industri oleokimia telah berkembang di Indonesia dengan
berdirinya PT Cisadane Raya Chemicals di Tangerang. Tetapi baru berkembang
dengan baik pada tahun 1990 dengan kapasitas olah total 65 000 ton per tahun.
Hingga tahun 2014 industri oleokimia di Indonesia ada 9 (sembilan) dengan
kapasitas olah sebesar 1.40 juta ton per tahun (Sipayung dan Purba 2014).
Berdasarkan rencana induk pengembangan industri nasional (RIPIN) tahun 2015-
2019 industri oleofood, oleokimia, dan bioenergi harus dapat mengolah 42.9 juta
ton per tahun. Dengan pemanfaatan 10% seperti saat ini maka pada tahun 2019
kapasitas industri oleokimia harus dapat mengolah sebesar 4.29 juta ton per tahun
atau sebanyak 33 (tiga puluh tiga) industri oleokimia sebesar kapasitas yang ada
saat ini (Kementrian Perindustrian 2015).
3

Lambannya industri oleokimia berkembang di Indonesia dan adanya target


terpasangnya kapasitas industri oleokimia sebesar 4.29 juta ton per tahun pada
tahun 2019, perlu adanya strategi percepatan. INDEF (2012) menjelaskan adanya
permasalahan dan tantangan yang menghambat proses hilirisasi dapat diatasi
dengan strategi percepatan. Strategi ini juga dapat mempercepat target
pertumbuhan industri dan menghindari adanya deindustrialisasi dini.

Rumusan Masalah

Indonesia sudah menjadi negara pemasok utama minyak sawit dunia, tetapi
belum mempunyai keunggulan yang baik. Hilirisasi atau penganekaragam industri
turunan minyak sawit mentah (MSM) dapat meningkatkan keunggulan kompetitif
dan memenangkan perdagangan internasional. Guna menyukseskan terjadinya
proses percepatan industri turunan minyak sawit mentah (MSM) maka sangat
diperlukan adanya penelaahan terhadap:
- Permasalahan apa saja yang menyebabkan pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah khususnya industri oleokimia belum berkembang dengan
baik?
- Alternatif strategi apa saja yang dapat mempengaruhi proses percepatan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah khususnya industri
oleokimia?
- Prioritas strategi apa yang berguna dalam pengembangan kegiatan percepatan
industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian strategi percepatan pembangunan industri turunan


minyak sawit mentah adalah:
1. Mengidentifikasi faktor permasalahan pengembangan industri oleokimia di
Indonesia.
2. Menentukan alternatif strategi dalam percepatan pengembangan industri
oleokimia dengan nilai kompetitif yang tinggi.
3. Merumuskan strategi untuk proses percepatan pengembangan industri
oleokimia sebagai bagian penting dalam pembangunan industri turunan
minyak sawit mentah.

Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan sejauh mana percepatan dan pengembangan


turunan industri minyak sawit mentah Indonesia telah terimplementasikan di
lapangan khususnya oleokimia serta dibatasi kajian pada para pemangku
kepentingan (stakeholders) seperti Asosiasi Pengusaha Oleokimia Indonesia
(APOLIN) atau pengusaha industri turunan minyak sawit, Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia
(MAPI) dan para ahli dalam pengembangan industri turunan minyak kelapa sawit
yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan proses terbentuknya
industri turunan oleokimia. Aspek yang dikaji dititikberatkan pada pengidenti-
4

fikasian masalah pengembangan dengan pertimbangan dayasaing sesuai Kaidah


Berlian Porter, penentuan alternatif strategi pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah melalui wawancara pakar dengan metode interaktif dan
merumuskan prioritas strategi percepatan terbentuknya industri turunan minyak
sawit dengan metode analytical hierarchy process (AHP).
Produk turunan atau kelompok produk turunan minyak kelapa sawit
mentah yang diteliti sedapat mungkin dibatasi pada produk turunan oleokimia
yang belum diproduksi di Indonesia tetapi sudah dipasarkan (komersialisasi) di
negara lain dan sebagai panduan disesuaikan dengan pohon industri yang
diterbitkan secara resmi oleh Kementrian Perindustrian RI. Gambaran diagram
pohon industri dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram pohon industri minyak sawit mentah (Kementrian


Perindustrian 2011)

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi alternatif strategi dalam percepatan pengembangan


industri turunan minyak sawit mentah khususnya oleokimia yang mempunyai
keunggulan kompetitif untuk dikembangkan di Indonesia.
2. Membantu pemerintah dalam melakukan strategi pengembangan industri
turunan minyak sawit mentah khususnya oleokimia secara tepat sebagai
bagian penting dalam mengembangkan industri turunan minyak sawit mentah.
5

TINJAUAN PUSTAKA
Strategi

Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Suatu strategi mempunyai


skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Kata strategi berasal dari bahasa
Yunani strategos atau strategus dengan kata jamak strategi (stratos = tentara atau
militer, dan ego = memimpin) yang berarti seni berperang. Definisi lebih lengkap
untuk orang Yunani, strategi adalah ilmu perencanaan dan pengarahan
sumberdaya untuk operasi secara besar-besaran, melansir kekuatan pada posisi
siap yang paling menguntungkan sebelum melakukan penyerangan terhadap
lawan. Secara umum strategi didefinisikan sebagai rencana tentang serangkaian
manuver, yang mencakup seluruh elemen yang kasat mata maupun tidak, untuk
menjamin keberhasilan mencapai tujuan (Hutabarat dan Huseini 2006).
Tujuan utamanya agar organisasi dapat melihat secara obyektif kondisi
internal dan eksternal, sehingga dapat mengantisipasi adanya perubahan
lingkungan yang terjadi. Perencanaan strategis penting untuk memperoleh
keunggulan bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan
konsumen dengan dukungan yang optimal dari sumber daya yang ada (Rangkuti
2001). Strategi merupakan seni dan pengetahuan dalam merumuskan,
mengimplementasikan, serta mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsional
guna mencapai tujuannya (David 2009). Strategi merupakan pola atau rencana
yang terintegrasi dari tujuan organisasi, kebijakan-kebijakan strategi yang baik
guna membantu menyusun dan menyalurkan sumber daya organisasi secara
spesifik dan tahan lama berdasarkan keunggulan dan kelemahan, serta antisipasi
perubahan lingkungan dan gerakan lainnya (Mintzberg 1995).
Strategi muncul karena adanya persaingan pada aspek ekonomi, aspek
teknologi, aspek bisnis, dan aspek-aspek lain yang berpotensi untuk menimbulkan
persaingan (Porter 1998). Daya saing merupakan dasar keunggulan suatu kegiatan
yang ditentukan oleh kemampuan untuk berkembang dan memahami perubahan
pelaku ataupun organisasi atau sistem yang melibatkan kombinasi pemikiran
proses serta pemanfaatan efektif dan efisien untuk menghasilkan sesuatu yang
berbeda dan lebih unggul daripada pesaing yang lain. Sehingga strategik
merupakan seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimple-mentasikan, dan
mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu
mencapai tujuannya.
Elemen-elemen strategi dapat dibedakan menjadi seni situasi, tujuan dan
sasaran, produk keunggulan kompetitif, pola keputusan, kebijakan dan program,
destinasi, sumber daya dan lingkungan, program bertindak, formulasi strategi
serta arus keputusan, alat yang paling bahaya dan riskan (deceptivre device), dan
pemimpin (Salusu 1996).
Menurut Mintzberg (1995), konsep strategi itu sekurang-kurangnya
mencakup 5 (lima) arti yang saling terkait, yaitu:
1. Perencanaan untuk semakin memperjelas arah yang ditempuh organisasi
secara rasional dalam mewujudkan tujuan-tujuan jangka panjangnya.
2. Acuan yang berkenaan dengan penilaian konsistensi ataupun inkonsistensi
perilaku serta tindakan yang dilakukan oleh organisasi.
3. Sudut yang diposisikan oleh organisasi saat memunculkan aktivitasnya.
6

4. Suatu perspektif yang menyangkut visi yang terintegrasi antara organisasi


dengan lingkungannya yang menjadi batas bagi aktivitasnya.
5. Rincian langkah taktis organisasi yang berisi informasi untuk mengelahui
para pesaing.
David (2009) mengungkapkan proses perencanaan manajemen strategis
terdiri dari tiga tahap yaitu;
1. Formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi
peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan
kelemahan perusahaan, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan
alternatif strategi, dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan.
2. Implementasi strategi mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan
tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan
sumber daya sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan.
3. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dalam manajemen strategis. Tiga
aktivitas dasar evaluasi strategi adalah (1) meninjau ulang faktor eksternal
dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, (2) mengukur kinerja, dan
(3) mengambil tindakan korektif.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam merumuskan strategi
menurut Hariyadi (2005), antara lain :
1. Mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki dan menentukan misi untuk
mencapai visi yang dicita-citakan,
2. Menganalisis lingkungan internal dan eksternal yang akan dihadapi dalam
menjalankan misinya,
3. Merumuskan faktor-faktor keberhasilan (key success factors) dari strategi
yang dirancang berdasarkan analisis sebelumnya,
4. Menentukan tujuan dan target terukur,
5. Mengevaluasi alternatif strategi dengan mempertimbangan sumberdaya dan
kondisi eksternal yang dihadapi.
6. Memilih strategi yang sesuai guna mencapai tujuan jangka pendek dan jangka
panjang.
Strategi hendaknya mampu memberi informasi kepada para pemangku
kepentingan (stakeholders) dan mudah diperbaharui oleh setiap anggota
manajemen puncak dan setiap karyawan organisasi. Untuk menjamin agar strategi
dapat berhasil dan dapat dipercaya dan dilaksanakan, Hatten dan Hatten (1996)
memberikan sarannya :
1. Strategi harus konsisten dengan lingkungan.
2. Harus konsisten dengan strategi yang lain dan senantiasa diserasikan.
3. Memfokuskan dan menyatukan semua sumberdaya yang dipunyai.
4. Memusatkan pada kekuatan dan memanfaatkan kelemahan pesaing dalam
membuat langkah untuk menempati posisi kompetitif yang lebih kuat.
5. Strategi hendaknya dibuat atau ditetapkan dari sesuatu tindakan atau langkah
yang memang layak dapat dilaksanakan.
6. Strategi hendaknya memperhitungkan resiko yang tidak terlalu besar.
7. Strategi hendaknya disusun diatas landasan keberhasilan yang telah dicapai.
8. Tanda-tanda suksesnya strategi selalu ditampakkan dari semua pimpinan
dalam organisasi.
7

Analisis Kompetitif Porter

Keunggulan kompetitif negara atau bangsa dalam perdagangan dan produksi


dunia dapat diterangkan dengan baik dalam teori Berlian Porter (Porter 1990).
unsus utama dalam analisis kompetitif porter terdiri atas:
1. Kondisi faktor produksi atau sumber daya di suatu negara, yaitu ketersediaan
sumber daya di suatu negara, yang terdiri atas sumber daya manusia, bahan
baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi
penentu perkembangan industri. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu
jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi
yang mahal;
2. Permintaan domestik, merupakan permintaan di dalam negeri terhadap
produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri,
terutama permintaan dalam negeri, adalah aspek yang mempengaruhi arah
pengembangan faktor awal keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan
kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan
konsumen;
3. Keberadaan industri terkait dan pendukung, yaitu keberadaan industri
pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional.
Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana
ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-
industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
4. Strategi, struktur, dan tingkat persaingan perusahaan, yaitu bagaimana unit-
unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola,
serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya;
Keempat komponen yang disebut sebagai model Diamond Porter. Analisis
ini menyatakan bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam
membentuk ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan
kompetitif industri suatu negara. Porter menggarisbawahi ketersediaan faktor-
faktor seperti faktor sumber daya manusia, bahan baku, ilmu pengetahuan, dan
infrastruktur, tidak ditentukan oleh perbedaan karakteristik alamiah suatu negara.
Kemampuan suatu negara dalam menyediakan faktor-faktor ditentukan oleh
political will dari pemerintah. Oleh karena itu, variabel pemerintah memegang
peran penting dalam peningkatan daya saing nasional (Hill dan Jones 1998). Hal
ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan yang mempengaruhi daya
saing, yaitu:
1. Kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar kendali perusahaan
(dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa), seperti misalnya
penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik eksternal,
dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing;
2. Pemerintah, yakni pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan dapat
meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional. Peran pemerintah
terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi komponen-
komponen dalam Diamond Porter.
8

Minyak Sawit Mentah.

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping


satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa
Yunani Elaoin atau minyak sedangkan nama species Guinensis berasal dari kata
Guinea, yaitu tempat di mana seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman
kelapa sawit pertama kali di Pantai Guinea. Salah satu dari beberapa tanaman
golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis
guinensis JACQ).
Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian utama yaitu
bagian pertama adalah perikaprium yang terdiri dari epikaprium dan
mesokarpium, sedangkan yang kedua adalah biji, yang terdiri dari endokaprium,
endosperm dan lembaga atau embrio. Epikaprium adalah kulit buah yang keras
dan licin, sedangkan mesokaprium yaitu daging buah yang berserabut dan
mengandung minyak dengan rendemen paling tinggi. Endokaprium merupakan
tempurung berwarna hitam dan keras. Endosperm atau disebut juga kernel
merupakan penghasil minyak inti sawit, sedangkan lembaga atau embrio
merupakan bakal tanaman (Fauzi et al. 2002).
Berdasarkan tebal tipisnya cangkang, tipe-tipe kelapa sawit dibedakan :
a. Dura
Tipe ini memiliki ciri-ciri daging buah (mesocarp) tipis, cangkang tebal (2-8 mm),
inti (endosperm) besar. Persentase daging buah 35% - 60% dengan rendemen
minyak 17% - 18%.
b. Pisifera
Tipe ini memiliki ciri-ciri daging buahnya tebal, tidak mempunyai cangkang.
Intinya kecil sekali bila dibandingkan tipe dura ataupun tenera. Perbandingan
daging buah terhadap buahnya tinggi dan kandungan minyaknya tinggi.
c.Tenera
Tipe ini merupakan hasil silang antara tipe dura dan pisifera. Sifat tipe tenera
merupakan kombinasi sifat khas dari kedua induknya. Tipe ini mempunyai tebal
cangkang 0.5-4 mm. Perbandingan daging buah terhadap buah 60%-90%,
rendemen minyak 22%-24% (Setyamidjaja 2006).
Dalam manajemen kebun, produksi adalah jumlah berat tandan buah segar
(TBS) ton/ha yang dihasilkan, yang selanjutnya diolah menjadi minyak kelapa
sawit (CPO) ton/ha, dan minyak inti sawit (PKO) ton/ha, dan hasil samping antara
lain bungkil kernel, cangkang dan tandan kosong, serta limbah cair
(Mangoensoekarjo 2003).
Kelapa sawit mulai berbuah pada umur 3-4 tahun dan buahnya menjadi
masak 5-6 bulan setelah penyerbukkan. Proses pemasakan buah kelapa sawit
dapat dilihat pada perubahan warna kulitnya, dari hijau pada buah muda menjadi
merah jingga waktu buah telah masak. Pada saat ini buah kelapa sawit akan
terlepas dari tangkai tandannya.
Minyak sawit berasal dari ekstraksi buah kelapa sawit. Buah kelapa sawit
terdiri atas 80% perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20% biji (endokarp dan
endosperm). Dari kelapa sawit dapat diperoleh dua jenis minyak yang berbeda
sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit disebut dengan minyak inti
sawit dan minyak dari sabut (mesokarp) sawit disebut minyak sawit (Ketaren,
1986). Perbedaan antara minyak sawit dan minyak inti sawit adalah adanya
9

pigmen karotenoid pada minyak sawit sehingga berwarna kuning merah.


Komposisi karotenoid yang terdeteksi pada minyak sawit terdiri dari α-, β, γ-,
karoten dan xantofilkaroten dan xantofil, sedangkan minyak inti sawit tidak
mengandung karotenoid. Penampang atau profil buah sawit dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Buah kelapa sawit.

Pengolahan serabut kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah dilakukan


melalui tahap perebusan, pembrondolan, ekstraksi, dan pemurnian. Secara umum,
perebusan dilakukan untuk mematikan enzim dibuah dengan pengukusan, pem-
brondolan dengan pembantingan, ekstraksi dilakukan dengan cara pengepresan,
dan pemurnian dilakukan untuk menghilangkan gum dan kotoran lain,
Komponen utama CPO adalah triasilgliserol (94%), sisanya asam lemak
bebas (3-5%), dan komponen minor (1%) yang terdiri dari karotenoid, tokoferol,
tokotrienol, sterol, fosfolipid dan glikolipid, squalen, gugus hidrokarbon alifatik,
dan elemen sisa lainnya. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat
minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak
lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan rantai
C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah
dibanding asam palmitat yaitu 140C (Ketaren 1998).
Selain memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang
berimbang, minyak sawit juga memiliki komponen zat gizi minor yang memiliki
peran fungsional, yaitu karotenoid dan tokoferol (termasuk tokotrienol). Kadar
karotenoid dalam CPO adalah 500-700 ppm. Sebagian besar karotenoid dalam
CPO terdiri dari β-karoten dan α-karoten (jumlahnya mencapai 90% dari total
karotenoid CPO); dan sejumlah kecil γ-karoten, likopen dan xantofil.
Kelapa sawit mengandung lebih kurang 80% perikarp dan 20% buah yang
dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak dalam pesikarp sekitar 34-40 %. Minyak
kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap.
Titik lebur minyak kelapa sawit tergantung pada kadar trigliseridanya. Minyak
sawit terdiri atas berbagai trigliserida dengan rantai asam lemak yang berbeda-
beda. Panjang rantai adalah antara 14-20 atom karbon.
Kadar sterol dalam minyak sawit relative lebih rendah dibandingkan dengan
minyak nabati lainnya. Dalam CPO kadar sterol berkisar antara 360-620 ppm
dengan kadar kolestrol hanya sekitar 10 ppm saja atau sebesar 0,001% dalam
CPO. Bahkan dari hasil penelitian dinyatakan bahwa kandungan kolesterol dalam
satu butir telur setara dengan kandungan kolesterol dalam 29 liter minyak sawit.
Minyak sawit dapat dinyatakan sebagai minyak goreng nonkolesterol (kadar
10

kolesterolnya rendah). (Fauzi et al. 2002). Minyak kelapa sawit (CPO)


mempunyai karakteristik yang khas dibandingkan dengan minyak nabati lainnya
seperti minyak kacang kedelai, minyak biji kapas, minyak jagung dan minyak biji
bunga matahari. Dengan kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi (50,2 %),
minyak kelapa sawit sangat cocok digunakan sebagai medium penggoreng.
Minyak kelapa sawit (CPO) mengandung karotenoida mencapai 1000 ppm,
tetapi dalam minyak dari jenis tenera ± 500 ppm dan kandungan tokoferol
bervariasi karena dipengaruhi oleh penanganan selama produksi (Ketaren, 1986).
Warna minyak sawit, merah jingga disebabkan adanya pengaruh warna karoten
dalam jumlah minyak. Minyak sawit memiliki bau yang khas dan tahan terhadap
proses oksidasi akibat adanya zat tekoferol.
Minyak inti sawit (PKO) dihasilkan dari inti kelapa sawit. Yang dilakukan
dengan cara pengepresan kernel kering. Minyak inti sawit memiliki rasa dan bau
sangat kuat dan khas. Sifat fisika kimia minyak sawit (CPO) dan minyak inti
(PKO) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Perbandingan sifat minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti kelapa
sawit (PKO)
Sifat Minyak Sawit Minyak Inti sawit
Bobot jenis pada suhu kamar 0.900 0.900-0.913
Indeks bias 1.4565-1.44585 1.395-1.415
Bilangan iodium 48-56 14-20
Sumber: Ketaren (1986).

Minyak kelapa sawit (CPO) dengan minyak inti kelapa sawit (PKO)
mempunyai kandungan penyusun asam lemak yang berbeda. Komposisi asam
lemak bebas pada CPO dan PKO dapat dillihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi asam lemak bebas minyak kelapa sawit (CPO) dan
minyak inti kelapa sawit (PKO)
No Rumus molekul Asam Lemak Minyak Sawit Minyak Inti (%)
(%) Berat Berat
1 C6H12O2 Kaproat - 3–7
2 C8H16O2 Kaprilat - 3–4
3 C12H24O2 Laurat - 46 – 52
4 C14H28O2 Miristat 1.1 – 2.5 14 – 17
5 C16H32O2 Palmitat 40 – 46 6,5 – 9
6 C18H36O2 Stearat 3.6 – 4.7 1 – 2.5
7 C18H34O2 Oleat 39 – 45 13 – 15
Sumber: Ketaren (1986).

Pemanfaatan Minyak Sawit

Manfaat minyak mentah sawit sebagai bahan baku untuk industri pangan
dan industri non pangan.
11

Minyak Mentah Sawit untuk Industri Pangan

Minyak mentah sawit yang digunakan sebagai produk pangan dihasilkan


dari minyak sawit kasar (CPO) maupun minyak inti sawit (PKO) melalui
prosesfraksinasi, rafinasi, dan hidrogenesis. Produk CPO Indonesia sebagian besar
difraksinasi. sehingga dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat. Sebagai
bahan baku untuk minyak makann (oleofood), minyak mentah sawit antara lain
digunakan dalam bentuk minyak goreng, margarine, butter, vanaspati, shortening
dan bahan untuk membuat kue. Sebagai bahan pangan, minyak sawit mempunyai
beberapa keunggulan dibandingkan minyak goreng lainnya, antara lain
mengandung karoten yang berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol sebagai
sumber vitamin E. Disamping itu, kandungan asam linoleat dan linolenatnya
rendah sehingga minyak goreng yang terbuat dari buah sawit memiliki
kemantapan kalor (heat stability) yang tinggi dan tidak mudah teroksidasi.

Minyak Mentah Sawit untuk Industri Non Pangan

Produk nonpangan dihasilkan dari minyak sawit kasar (CPO) dan minyak
inti sawit (PKO) diproses melalui proses hidrolisis (splitting) untuk menghasilkan
asam lemak dan gliserin yang sering disebut oleokimia. Kandungan minor minyak
sawit yang berjumlah kurang 1%, diantaranya sangat berguna antara lain karoten
dan tokoferol yang dapat mencegah kebutaan (defisiensi vitamin A) dan
pemusnahan radikal bebas yang selanjutnya juga bermanfaat untuk mencegah
kanker, arterosklerosis dan memperlambat proses penuaan.

Oleokimia dan Turunannya

Oleokimia adalah bahan baku industri yang diturunkan dari minyak nabati
atau lemak, termasuk diantaranya minyak sawit kasar dan minyak inti sawit.
Produksi utama minyak yang digolongkan dalam oleokimia adalah asam lemak,
lemak alkohol, metil ester, dan gliserin. Bahan-bahan ini mempunyai spesifikasi
penggunaan sebagai bahan baku industri kosmetik dan aspal. Oleokimia juga
digunakan dalam pembuatan bahan sabun dan detergen. (Fauzi et al. 2002).
Oleokimia dasar dihasilkan dari proses splitting (hidrolisis) dan alkoholisis
sehingga didapatkan griserol, asam lemak (fatty acid), fatty metil ester, dan fatty
alkohol. Produk oleokimia ini dihasilkan produk turunan melalui beberapa proses
seperti hidrogenasi, amidasi, konjugasi, epoksidasi, sulfatasi, klorinasi, esterifikasi
dan sebagainya. Diagram oleokimia dasar dan turunannya disajikan pada Gambar
3. (Suryani 2005).
Produk oleokimia terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu oleokimia dasar dan
turunan atau produk hilirnya (downstream product). Oleokimia dasar terdiri atas
asam lemak, fatty ester, fatty alcohol, fatty amin dan gliserin, sedangkan
turunannya baik produk antara maupun produk akhir antara lain sabun, produk
pembersih, produk kosmetik dan perawatan kulit, lilin, surfaktan, pelumas, tinta
cetak, agrokimia, dan pakan ternak.
12

Esterifikasi
Gliserol Gliserida Parsial

Triasetin

Esterifikasi
Ester Asam Lemak

Epoksidasi
Alkil Epoksi Ester

Fatty Acid
Ethoxylasi
Asam Lemak Ethoxylate

Konjugasi
Konjugated Fatty acid

Hardening
Asam jenuh

Reaksi Guerbet
Alkohol Guerbet Propoxlation
Fatty Alkohol Alkoxylate
Esterifikasi Klorinasi
Alkyl klorida Sulfatasi
Minyak Fatty Alkohol Eter Sulfat
dan
Lemak Fatty Ethoxylasi Fosfatisasi
Fatty Alkohol Ethoxylate Fatty Alkohol Eter fosfat
Alkohol
Sulfatasi
Fatty Alkohol Sulfat Sulfitasi Fatty Alkohol
sulfosuccinate
Hidrogenasi
Metil Ester Esterifikasi Sukrolisis
Fatty Acid Ester Sukrosa ester

a-Sulfo fatty acid ester


Sulfonasi
Transesterifikasi
Fatty acid alkanolamide
Amidasi

Epoxidized trigliserida
Epoksidasi

Ethoxilated trigliserida
Ethoxylasi

Hydrogenated oil
Hidrogenasi

Turkey red oil


Sulfatasi

Gambar 3. Diagram oleokimia dasar dan turunannya (Suryani 2005)


13

Asam lemak (fatty acid) merupakan oleokimia yang paling banyak


diperlukan. Secara umum, produksi asam lemak di dunia lebih besar dibandingkan
konsumsinya. Asam lemak yang berasal dari Amerika dan Eropa pada umumnya
disintesis dari tallow, minyak kelapa, minyak kedelai, minyak rapeseed dan lain-
lain. Asam lemak dapat dibuat degan cara splitting CPO atau PKO pada suhu dan
tekanan tinggi. Selanjutnya didistilasi atau difraksionasi untuk memperoleh asam
lemak dengan kemurnian tinggi. Produk sampingnya berupa gliserin setelah
dimurnikan akan menghasilkan gliserin yang sesuai dengan standar farmasi.
Produk-produk turunan dari asam lemak sepeti fatty ester, fatty alcohol, dan fatty
amina lainnya digunakan untuk menggantikan produk-produk petrokimia
(Wijiastuti 2013).
Fatty ester sebagian besar (± 80%) diubah menjadi fatty alcohol, yang
kemudian diproses lebih lanjut menjadi produk hilir terutama suftaktan.
Disamping itu fatty ester juga digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak
diesel. Metil ester dapat dibuat dengan cara transesterifikasi CPO atau PKO
dengan methanol pada suhu 60oC dan tekanan satu atmosfir. Selanjutnya
dilakukan distilasi dan fraksionasi untuk memperoleh metal ester dengan
kemurnian tinggi. Produk samping yang dihasilkan pada proses ini adalah gliserin
yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetik.
Fatty alkohol merupakan oleokimia dasar yang paling banyak digunakan
sebagai bahan baku surfaktan seperti fatty alkohol sulfat (FAS), fatty alkohol
etoksilat (FAE) dan fatty alokohol etoksi sulfat (FAES). Sekitar 70% fatty alcohol
digunakan untuk membuat surfaktan nonionic dan anionic. Fatty alkohol dapat
dibuat dari asam lemak maupun metal ester dengan cara hidrogenasi pada suhu
dan tekanan tinggi menggunakan katalis kimia. Selanjutnya didistilasi untuk
menghasilkan fatty alkohol dengan kemurnian tinggi.
Fatty amina merupakan turunan nitrogen dan paling banyak digunakan
untuk membuat senyawa ammonium quartener seperti senyawa distearyldimethyl-
ammonium yang digunakan sebagai pelembut pakaian dan hair conditioners.
Gliserin dapat dibuat dari minyak atau lemak alami sebagai hasil samping
dari asam lemak, ester atau sabun, Meskipun merupakan produk samping, gliserin
umumnya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Mulai tahun 1980-2010,
produksi gliserin sintetik (dari minyak bumi) mulai menurun, sementra produksi
gliserin alami semakin meningkat.

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menyangkut strategi pengembangan minyak kelapa


sawit telah dilakukan oleh Suprihatini et al. (2004) melakukan analisis kebijakan
percepatan industri hilir kelapa sawit dan teh dengan teknik focus group
discustion (FGD) dari para stakeholders-nya. Hasil penelitian ini menetapkan ada
10 (sepuluh) faktor yang berpengaruh dalam pengembangan industri hilir
perkebunan dan faktor kuncinya ada 4 (empat) yaitu pajak pertambahan nilai,
insentif investasi, harmonisasi tarif, dan konsistensi dukungan pemerintah.
Drajat dan Bustomi (2009) melakukan kajian alternatif strategi
pengembangan ekspor minyak sawit dengan metode AHP. Hasil penelitiannya
menetapkan faktor penentu pengembangan eksport CPO adalah produksi, harga
ekspor, pasar internasional, dan kebijakan pemerintah. Adapun alternatif strategi
14

pengembangan ekspor minyak sawi dengan urutan (1) pengembangan


infrastruktur, (2) optimalisasi sumber daya, (3) pengeembangan kelembagaan, (4)
implementasi kebijakan, dan (5) komponen lain. Para pelaku bisnis baik
pemerintah, BUMN dan swasta berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur
yang terintegrasi dengan pelabuhan ekspor merupakan suatu keharusan.
Nayantakaningtias dan Daryanto (2012) menganalisis daya saing dan
strategi pengembangan minyak sawit Indonesia. Metode pengembangan minyak
sawit Indonesia dilakukan dengan mempertimbangkan nilai RCA dan Diamon
Porter. Penyusunan strategi pengembangan melalui teknik SWOT (strengths
weakness opportunities threats). Hasilnya strategi pertama yang harus dilakukan
adalah memanfaatkan ekspor hulu ke negara yang lebih membutuhkan produk
hulu melalui program meningkatkan kualitas produk sesuai dengan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Strategi yang rutin dilakukan setiap tahunnya adalah
pengembangan SDM pelaku industri minyak sawit dengan pelatihan dan kegiatan
inovasi, memperhatikan isu nasional dan internasional dengan memperbaiki
kebijakan pemerintah, pengembangan industri hilir serta peningkatan nilai tambah
minyak sawit, dan meningkatkan pola kerja sama dengan produsen negara lain
melalui promosi.
Hidayat et al. (2012) melakukan kajian model identifikasi resiko dan
strategi peningkatan nilai tambah pada rantai pasok kelapa sawit khususnya
minyak goreng. Penelitian ini menggunakan metode fuzzy AHP untuk
menetapkan strategi peningkatan nilai tambah. Hasil penelitian menunjukan faktor
risiko yang sangat penting bagi semua pelaku dalam peningkatan nilai tambah
adalah kelancaran pasokan kualitas bahan dan produk. Strategi peningkatan nilai
tambah industri kelapa sawit memerlukan perbaikan bahan baku dan bibit yang
unggul, serta infrastruktur yang mendukung kelancaran pasokannya.
Yoyo (2013) melakukan penelitian dengan judul Analisis Kesenjangan
Industri Asam Lemak dan Alkohol Lemak Berbasis Minyak Kelapa Sawit di
Indonesia dan Proyeksi Produksi dan Konsumsinya. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kesenjangan antara kondisi aktual dengan kondisi seharusnya (ideal)
di masa depan industri asam lemak dan alkohol lemak berbasis minyak sawit di
Indonesia, menggunakan kerangka penilaian daya saing International Institute for
Management Development (IMD) dan World Economic Forum (WEF). Penelitian
ini juga bertujuan untuk menentukan model yang lebih baik dalam
memproyeksikan jumlah produksi dan konsumsi asam lemak dan alkohol lemak
berbasis minyak sawit di Indonesia (2013 – 2022). Hasil penelitian menunjukkan
adanya kesenjangan berdasarkan kerangka penilaian daya saing IMD adalah
kelompok efisiensi pemerintahan dan berdasarkan kerangka penilaian daya saing
WEF adalah kelompok persyaratan dasar. Untuk proyeksi produksi asam lemak di
Indonesia lebih baik menggunakan model eksponensial, sedangkan proyeksi
produksi alkohol lemak menggunakan metode dekomposisi. Adapun proyeksi
konsumsi asam lemak oleh industri-industri penggunanya di Indonesia lebih baik
menggunakan model eksponensial atau dekomposisi, sedangkan proyeksi
konsumsi alkohol lemak menggunakan model eksponensial.
Aryanthi (2013) melakukan analisis strategi pengembangan klaster industri
kelapa sawit Indonesia dengan konektivitas perdagangan internasional. Penelitian
ini menggunakan model Berlian Porter untuk menilai lokasi yang dikembangkan,
analisa kesenjangan, dan AHP (Analytical Hierarchi Process) untuk menentukan
15

strategi yang pengembangan. Hasil penelitian menunjukan faktor penentu


lingkungan pengem-bangan klaster industri kelapa sawit adalah infrastruktur
pendukung (jalan raya, rel kereta, dan fasilitas pelabuhan). Adapun strategi utama
pengembangan klaster industri kelapa sawit adalah peningkatan infrastruktur.
Wiharjanto (2013) melakukan mengevaluasi kinerja dari strategi yang telah
ditempuh oleh PT SMART Tbk dalam mengembangkan produk turunan kelapa
sawit yang dihasilkan. Analisis menggunakan beberapa alat, seperti analisis faktor
ekonomi dominan, analisis porter’s five forces of competition, analisis driving
forces, analisis key success factors (KSF), serta analisis strategic group maps.
Hasil penelitian menunjukkan strategi yang dijalankan perusahaan dengan
berfokus pengembangan sumber daya dan pengembangan teknologi merupakan
hal yang tepat dan efektif.
Wisena et al. (2014) melakukan strategi pengembangan industri minyak
sawit yang kompetitif dan sustainable dengan metode ANP (Analytic Network
Process). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pertimbangan ekonomi menjadi
utama dibandingkan sosial dan lingkungan, dan alternatif strategi pengembangan
industri minyak sawit yang kompetitif dengan penerapan keunggulan biaya rendah
serta organisasi yang efektif.
Penelitian ini memiliki kemiripan dengan beberapa penelitian terdahulu
yaitu meneliti komoditas minyak sawit mentah (CPO dan PKO) dengan berbagai
macam pengembangan guna mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi. Namun
perbedaannya adalah penelitian ini menganalisis secara komprehensif langkah
percepatan untuk mengembangkan industri turunan dengan mempertimbangkan
kekuatan dayasaing, dari pendapat para stakeholders, dan langkah atau skala
prioritas yang harus dilakukan.

METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran

Produk turunan minyak kelapa sawit mentah (MSM) di dunia saat ini telah
bekembang cepat. Berbagai macam produk telah dapat dihasilkan baik sebagai
produk antara (bahan baku industri) maupun produk akhir (siap konsumsi).
Malaysia saat ini telah memproduksi turunan minyak kelapa sawit secara
komersial sebanyak 440 jenis (MPOB 2014) sementara Indonesia menurut
informasi terakhir telah memproduksi 156 jenis (Majalah Bisnis 2014). Perincian
lengkap produk turunan minyak sawit Malaysia dapat dilihat pada Lampiran 1.
Pengembangan industri turunan minyak kelapa sawit dengan sasaran ganda
untuk meningkatkan barganing position atau nilai tawar komoditas MSM dalam
pasar dunia serta mendapatkan nilai tambah yang besar maka pengembangan
produk turunan MSM diarahkan pada penggunaan bahan baku minyak sawit
mentah (MSM) yang tinggi dengan tingkat profitablitas atau nilai tambah
produknya yang tidak terlalu rendah. Produk turunan MSM yang mempunyai sifat
itu umumnya turunan oleokimia.
Industri turunan minyak sawit mentah merupakan bahan baku bagi industri
selanjutnya. Dengan nilai investasi yang tinggi, skala besar, dan teknologi modern
dalam mewujudkannya diperlukan pertimbangan yang cukup komprehensip.
16

Industri oleokimia mulai berkembang di Indonesia sejak 33 tahun lalu, tetapi


sampai saat ini hanya ada 9 (sembilan) buah industri dengan kapasitas olah 1.42
juta ton per tahun (CIC 2012). Malaysia yang mempunyai produksi CPO lebih
rendah saat ini telah mempunyai 17 (tujuh belas) industri oleokimia dengan
kapasitas olah 1.9 juta ton per tahun (MPOB 2012). Guna menjadikan Indonesia
sebagai basis industri oleokimia serta dapat melewati kemampuan Malaysia dalam
menghasilkan produk turunannya maka diperlukan adanya strategi percepatan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah.
Keberadaan industri turunan minyak sawit mentah atau oleokimia dengan
keberhasilan tinggi dapat dipastikan mempunyai dayasaing/tingkat kompetitif
yang tinggi pula. Sehingga dalam pendekatan identifikasi faktor penyebab
lambatnya pengembangan industri turunan minyak sawit mentah menggunakan
kaidah Berlian Porter. Kerangka penilaian kaidah Berlian Porter dapat dilihat pada
Gambar 4. Adanya faktor penyebab lambatnya pengembangan industri ini
diperlukan pemecahan secara komprehensif dari para pemangku kepentingan
(stakeholdres). Pemangku kepentingan untuk terbentuknya industri turunan
minyak sawit mentah atau oleokimia terdiri atas 1) pemerintah yang menetapkan
dan mengawasi aturan berdirinya industri, 2) pelaku bisnis, dan 3) peneliti atau
pakar yang akan memberikan masukan terkait industri yang dibangun. Jawaban
dari faktor penyebab lambatnya pengembangan ini merupakan alternatif strategi
untuk mempercepat terwujudnya industri turunan minyak sawit mentah.

Persaingan, Struktur, dan Strategi


Peran Kesempatan
1. Persaingan domestik
2. Struktur dan strategi perusahaan

Kondisi Faktor Sumberdaya


1. Sumberdaya alam Kondisi Permintaan Domestik
2. Sumberdaya manusia 1. Komposisi permintaan domestik
3. Sumberdaya IPTEK 2. Besar dan pola pertumbuhan domestik
4. Sumberdaya Modal 3. Internasionalisasi permintaan domestik
5. Sumberdaya Infrastruktur

Industri Terkait dan Pendukung


1. Industri pemasok
2. Industri Pendukung Peran Pemerintah

Gambar 4. Kerangka Diamont Porter (Hill dan Jones 1998)

Berdasar alternatif strategi dengan faktor-faktor atau kriteria-kriteria yang


berpengaruh, dilakukan perumusan dan penyusunan strategi percepatan dengan
teknik AHP (Analytical Hierarchy Process). Sehingga strategi percepatan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia dapat
terwujud.
17

Tahapan Penelitian

Analisis faktor lambatnya pengembangan industri turunan minyak sawit mentah

Penelitian ini dimulai dari melakukan analisis faktor penyebab lambatnya


pengembangan industri turunan minyak sawit mentah. Analisis dilakukan dengan
pendekatan dayasaing atau kompetitif industri turunan ini di Indonesia dalam
kerangka Berlian Porter.
Analisis Berlian Porter dilakukan dengan mengumpulkan data statistik
terkait kondisi feedstock yang merupakan bahan baku utama, industri yang
menggunakan dan mendukung industri turunan minyak sawit mentah serta peran
pemerintah dan kesempatan terhadap keberadaan industri turunan minyak sawit
mentah. Penganalisaan dilakukan sesuai dengan masing-masing komponen.
Kondisi faktor produksi dibagi menjadi dua, yaitu yang biasa dan yang
terspesialisasi. Kondisi biasa adalah faktor-faktor produksi yang diwarisi secara
alami seperti kekayaan sumber daya alam (SDA), tanah, dan tenaga kerja yang
belum terlatih. Sedangkan yang terspesialisasi adalah faktor-faktor produksi yang
tidak terdapat secara alami, melainkan harus diciptakan terlebih dahulu. Faktor
produksi yang terspesialisasi adalah teknologi dan tenaga kerja yang terlatih.
Kondisi faktor produksi dikatakan baik apabila jumlah faktor produksi yang
dimiliki banyak dan perbandingan antara faktor produksi biasa dengan faktor
produksi terspesialisasi adalah proporsional. Semakin baik kondisi faktor produksi
yang dimiliki oleh perusahaan di dalam suatu negara, maka akan semakin
kompetitif negara tersebut.
Kondisi permintaan dikatakan dapat menaikkan kompetitifitas apabila
kondisi permintaan tersebut adalah mutakhir (sophisticated). Yang dimaksud
dengan permintaan mutakhir adalah adanya kecenderungan untuk selalu
menuntut, menuntut, dan menuntut agar produk yang dihasilkan terus diinovasi
supaya bisa memuaskan kebutuhan para demander.
Industri-industri yang berkaitan dan mendukung. Kompetitifitas dapat
meningkat apabila industri-industri yang berkaitan dan mendukung memusatkan
diri dalam suatu kawasan. Hal ini akan menghemat biaya komunikasi, ongkos
gudang penyimpanan, ongkos transportasi, serta akan meningkatkan arus
pertukaran informasi.
Yang terakhir strategi, struktur dan persaingan perusahaan. Strategi dan
struktur yang diterapkan perusahaan akan menentukan kompetitifitasnya. Hal ini
menyangkut kepada waktu dan budaya dimana perusahaan itu berada. Tidak
semua perusahaan cocok menggunakan strategi dan struktur tertentu. Perusahaan
dituntut dapat menerapkan strategi dan struktur yang tepat dengan keadaan yang
dialami agar survive terhadap kondisi sekitarnya. Selain itu, persaingan antar
perusahaan juga dapat meningkatkan kompetitifitas perusahaan karena adanya
persaingan, dapat dipastikan akan ada usaha ekstra perusahaan untuk
meningkatkan daya saingnya supaya survive dalam kompetisi. Selain keempat
determinan di atas, dua unsur lagi yang berada di luar Berlian Porter, namun
kedua unsur ini memiliki pengaruh pada keempat determinan tersebut. Kedua
unsur tersebut yaitu pemerintah terkait kebijakan yang mendukung atau
menghambat keberadaan industri dan kesempatan (Hill dan Jones 1998).
18

Penentuan alternatif strategi percepatan pengembangan industri turunan MSM

Penelitian selanjutnya menggunakan metode wawancara bersifat kualitatif


untuk menentukan alternatif strategi percepatan pengembangan industri turunan
MSM. Analisis data kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung
dan setelah selesai pengumpulan data. Saat wawancara melakukan analisis
terhadap jawaban dari informan. Apabila jawaban dari informan belum
memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap
tertentu sehingga diperoleh data yang kredibel. Aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai
tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Sugiyono 2013).
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya banyak, perlu dicatat secara
teliti dan rinci. Semakin lama ke lapangan jumlah data yang diperoleh semakin
banyak, kompleks, dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada hal-hal yang penting, serta dicari tema dan polanya (membuat ringkasan,
mengkode, menelusur tema, rnembuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis
memo). Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran
yang lebih jelas dan mudah untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan
menambahnya apabila diperlukan.
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun dan
dapat memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Dengan melihat penyajian data dapat memahami apa yang sedang
terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh menganalisis ataukah mengambil
tindakan berdasarkan pemahaman yang didapat dari penyajian (Sugiyono 2013).
Penarikan kesimpulan dilakukan awalnya longgar, tetap terbuka dan skeptis
tetapi kesimpulan awal sudah ditetapkan, mula-mula belum jelas, kemudian
meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan akhir
mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada
besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan,
dan metode pencarian ulang yang digunakan.
Penarikan kesimpulan, dalam pandangan Miles dan Huberman (1994),
hanyalah sebagian dan satu kegiatan dan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-
kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu
mungkin sesingkat pemikiran yang melintas selama menulis, suatu tinjauan ulang
pada catatan-catatan lapangan, atau mungkin menjadi begitu seksama dan
memakan tenaga dengan peninjauan kembali serta tukar pikiran, atau juga upaya-
upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat
data yang lain. Singkatnya, makna-makna yang muncul dan data harus diuji
kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yang merupakañ validitasnya.
Melalui metode ini diharapkan dapat mengumpulkan data secara objektif
terhadap alternatif strategi dalam mempercepat pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah di Indonesia. Tema-tema yang sama dari opini para pakar
dihimpun menjadi satu, kemudian diurutkan serta dipilih 9 (sembilan) urutan
teratas jika tema yang terkumpul lebih dari 9 (sembilan). Wawancara secara
langsung dengan pakar ini dibantu dengan menggunakan daftar kuesioner
terstruktur secara terbuka (Lampiran 2).
19

Perumusan strategi percepatan pengembangan industri turunan MSM

Langkah akhir kajian ini melakukan perumusan strategi percepatan


pengembangan industri turunan minyak sawit mentah. Hasil dari penetapan
alternatif strategi dengan faktor dan sub-faktor yang terbentuk dilakukan analisis
percepatan pengembangan dengan teknik pendekatan AHP. Model pendukung
keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang
kompleks menjadi suatu hierarki, menurut Saaty (1990), hirarki didefinisikan
sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu
struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor,
kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif.
Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam
kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki
sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
Setelah struktur hierarki terbentuk, disusun kuestioner tingkat kepentingan
antar faktor dan sub-faktor yang dibandingan secara berpasangan (pairwise
comparasion). Kuestioner ini disebarkan kembali pada para pakar untuk
mendapatkan pendapat mengenahi tingkat kepentingan antara alternatif strategi
dan faktor yang mempengaruhinya. Setelah data kuestioner terkumpul dilakukan
pengolahan sesuai dengan kaidah AHP dengan menggunakan alat bantu excel.
Secara lengkap tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Guna melihat validitas model AHP dan menerapan kebijakan yang sesuai
dengan tujuan, maka dilakukan analisa sensitivitas AHP terhadap masing-masing
faktor dari setiap alternatif strategi yang diteliti. Analisis sensitivitas dilakukan
dengan menurunkan dan menaikkan bobot secara ekstrim pada kriteria dan
subkriteria. Model AHP valid jika perubahan bobot tidak merubah urutan
alternatif strategi (Markis, 2006).

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini mulai dilakukan dengan pengumpulan data skunder di instansi


terkait pada Bulan November 2014. Adapun wawancara secara langsung
dilakukan pada Bulan Maret sampai Oktober 2015. Tempat penelitian dilakukan
di Sekitar Jakarta, Bogor, Medan dan Pasangkayu untuk melakukan proses
wawancara secara langsung serta survai pada para pakar atau pemangku
kepentingan.
20

Mulai

Studi Literatur

Latar Belakang, Perumusan Masalah dan


Kondisi Awal Lingkup Kajian

Perumusan Tujuan Penelitian

Identifikasi permasalahan pengembangan Industri Turunan


minyak sawit mentah (MSM)
Berlian Porter
[Kondisi faktor produksi, permintaan, industri terkait, struktur
pasar strategi dan persaingan, pemerintah, serta kesempatan]

Identifikasi Alternatif Strategi Pengembangan Industri Turunan MSM


Pembuatan kuistiones alternatif strategi percepatan
pengembangan industri turunan

Pencatatan dan pengumpulan opini/pendapat


para pakar

Pengurutan alternatif strategi pendapat para pakar Interative Model

Alternatif strategi pengembangan Industri turunan


MSM di Indonesia

Strategi Percepatan Pengembangan Industri Turunan MSM Di Indonesia


Penyusunan dan penentuan alternatif kriteria dan sub
kriteria percepatan pengembangan Industri turunan
MSM

Pembuatan quistiones percepatan pengembangan


Industri turunan MSM

Pendapat Para Pakar

Penetapan Prioritas Strategi Percepatan Pengembangan


AHP
Industri Turunan MSM

Strategi Percepatan Pengembangan


Industri Turunan MSM Di Indonesia

Selesai

Gambar 5. Tahapan penelitian


21

Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dan
data primer. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait yang relevan dalam
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah. Data primer dikumpulkan
dengan survai pakar dengan wawancara secara langsung. Penentuan target
wawancara atau interview dilakukan secara judgement sampling kepada para ahli
yang merupakan pelaku bisnis atau asosiasi, peneliti, akademisi, para ahli dan
pembuat kebijakan. Para pakar yang menjadi informan dalam penelitian ini
setidak-tidaknya mengerti/mengetahui tentang industri turunan kelapa sawit
dengan kompetensi: 1). Minimal sarjana (S1) dengan pengalaman 5 tahun dan 2).
Minimal memiliki posisi yang dapat menentukan kebijakan (manajer).
Secara lengkap, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini serta metode
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tujuan, jenis, metode pengumpulan dan pengolahan data


Tujuan Data Yang Diperlukan Metode Metode
Pengumpulan Pengolahan

Pengidentifikasian Data statistik kondisi Studi literatur, Kategorisasi dan


faktor dayasaing/ sumber daya terkait data statistik dan keterkaitan dalam
permasalahan industri turunan minyak kebijakan kerangka Berlian
pengembangan sawit mentah, Kondisi pemerintah Porter
industri turunan permintaan produk
minyak sawit mentah industri turunan minyak
sawit mentah, Industri
terkait dan pendukung,
Struktur, persaingan dan
strategi industri turunan
minyak sawit mentah di
Indonesia.

Penentuan Alternatif Pendapat para stakeholder Wawancara dan Interaktif model


Strategi dalam pengembangan kuistioner pada
industri turunan minyak stakeholder dan
kelapa sawit sesuai nilai para pakar
kompetitif.

Formulasi kebijakan Pendapat para stakeholder Kuestioner AHP (Analytical


atau strategi terhadap keterkaitan antar dengan Hierarchy
percepatan kriteria/faktor dan stakeholder dan Process)
pengembangan alternatif solusi serta para pakar
industri turunan besarnya tingkat
minyak kelapa sawit kepentingan.
22

Para pakar dan stakeholder (pemangku kepentingan) yang terlibat dalam


percepatan pengembangan industri turunan oleokimia kimia dan menjadi target
penggalian informasi baik dengan wawancara secara mendalam maupun dengan
bantuan kuistioner terdiri atas:
1. Pemerintah : Kementrian Perindustrian RI, Dirjen Industri Agro dan
Pemerintah daerah yang ada pengembangan industri
turunan minyak mentah kelapa sawit.
2. Pelaku Bisnis : APOLIN (Asosiasi Produsen Oleokimia Indonesia) atau
industri turunan minyak sawit mentah, GAPKI (Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Dewan Minyak Sawit
Indonesia (DMSI).
3. Peneliti/Pakar : Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), Surfaktan
Bioenergi Research Centre-Institut Pertanian Bogor
(SBRC-IPB), Pusat Penelitian Kelapa Sawit- Research
Perkebunan Nusantara (PPKS-RPN), PASPI (Palm Oil
Agribusiness Strategic Policy Institute)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Berlian Porter Sebagai Identifikasi Permasalahan

Identifikasi permasalahan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah


di Indonesia dilakukan dengan melakukan analisis dayasaing minyak sawit dan
turunannya berdasarkan komponen penentu dayasaing kerangka Berlian Porter.
Komponen-komponen tersebut adalah komponen kondisi faktor sumberdaya, kondisi
permintaan domestik, dukungan industri terkait dan industri pendukung minyak sawit
serta kondisi struktur, strategi dan persaingan yang dihadapi oleh industri minyak
sawit dan turunannya di Indonesia. Selain itu ditinjau pula sejauh apa peranan
pemerintah dan kesempatan-kesempatan yang ada dalam meningkatkan posisi
dayasaing tersebut.

Kondisi Faktor Sumberdaya

Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap industri turunan


minyak sawit mentah (CPO dan PKO) yaitu sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan
sumberdaya infrastruktur. Lima sumberdaya yang disebutkan diatas dijelaskan
sebagai berikut.

 Sumberdaya Alam sebagai Feedstock Industri Turunan Minyak Sawit


Mentah

Bahan baku utama industri turunan minyak sawit mentah adalah hasil
pengolahan dari kebun kelapa sawit baik berupa minyak kelapa sawit kasar (crude
palm oil) maupun minyak kernel (palm kernel oil).
23

Kondisi, Luas dan Letak Lahan

Kelapa sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang


menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Prospek komoditi ini
dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia
meningkatkan pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Daerah pengem-
bangan kelapa sawit berada pada 15°LU – 15°LS. Ketinggian penanaman yang
ideal berkisar antara 0 – 500 meter diatas permukaan laut, dengan curah hujan
sebesar 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit
adalah 29° – 30°C, dengan intensitas penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari
dan kelembaban optimum yang ideal sekitar 80 – 90 %. Kelapa sawit tumbuh baik
pada tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai
pH tanah yang optimum adalah 5.0 – 5.5. dengan kondisi tanah gembur, subur,
datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan
padas (Pohan 2011).
Kondisi topografi tanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 150,
kenyataan di lapangan daerah dengan kemiringan sampai 45° masih baik untuk
ditanami. Kondisi lahan tiap daerah yang tidak berbeda menyebabkan penanaman
kelapa sawit sebagai penghasil CPO dapat dilakukan pada banyak daerah. Pada
tahun 2014 terdapat 22 provinsi yang mengembangkan usaha perkebunan kelapa
sawit baik dari pengusahaan negara, swasta maupun masyarakat. Sedangkan 11
provinsi lagi belum mengusahakan komoditi kelapa sawit ini. Daerah yang akan
dilakukan pengembangan perkebunan khususnya peremajaan lahan direncanakan
pada beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Papua Barat. Untuk perluasan
secara ekstensifikasi dan masif, mulai tahun 2011 dibatasi dengan terbitnya
Intruksi Presiden tanggal 20 Mei 2011 No. 10/2011 tentang penundaan pemberian
izin baru (moratorium) hutan alam dan lahan gambut yang berada di hutan
konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan
produksi tetap, hutan produk yang dapat dikonversi) dan areal penggunaan lain
untuk dijadikan lahan perkebunan sehingga tidak ada lahan pembukaan
perkebunan baru lagi kecuali yang sudah ada persetujuan atau rekomendasi
sebelumnya. Inpres ini diperbaharui pada dengan Inpres No. 6/2013 serta
diperbaharui lagi dengan terbitnya Inpres No. 8/2015 tertanggal 13 Mei 2015
dengan isi yang sama.
Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit yaitu Pulau Sumatera dan
Pulau Kalimantan menyumbang 96.64 %. Kedua pulau tersebut menghasilkan
sekitar 96.99 % produksi CPO. Di Indonesia terdapat lima provinsi sentra usaha
perkebunan kelapa sawit, yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (Tabel 4). Penyebaran perkebunan
kelapa sawit di 22 propinsi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit
memiliki toleransi yang luas pada keragaman agroklimat. Hampir semua lahan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia terletak pada ketinggian kurang dari 500
meter dpl (di atas permukaan laut). Luas lahan di Indonesia yang rusak (degraded
land) pada tahun 2014 seluas 78.43 juta hektar dan lahan yang cocok untuk
tanaman sawit 22.91 juta hektar (GAPKI 2014). Sehingga masih banyak lahan
potensial untuk dikembangkan khususnya diluar hutan lindung dan konvervasi.
24

Feedstock atau bahan baku untuk industri turunan minyak kelapa sawit
adalah CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil). Indonesia adalah
penghasil CPO terbesar di dunia. Perkembangan produksi CPO meningkat dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2009 tercatat produksi CPO Indonesia sebesar 19.32
juta ton, dan meningkat pesat pada tahun 2013 menjadi 27.75 juta ton atau naik
sebesar 43.60 %, dengan rata-rata kenaikan 9.52 % per tahun, serta pertumbuhan
tahun 2013 terhadap 2012 adalah sebesar 6.65 % (Lampiran 4).

Tabel 4. Luas areal dan produksi minyak sawit (CPO) pada perkebunan rakyat,
perkebunan negara, dan perkebunan swasta menurut propinsi, 2013.
Luas Areal (Ha) Produksi
Provinsi Rakyat Swasta Negara Total CPO (ton)
1 Aceh 186 826 112 621 40 059 339 506 736 090
2 Sumatera Utara 408 708 366 233 307 242 1 082 183 4 432 611
3 Riau 1 217 847 643 918 78 953 1 940 718 6 629 864
4 Sumatera Selatan 369 282 416 707 48 944 834 933 2 737 324
5 Sumatera Barat 177 792 192 787 9 518 380 097 1 057 440
6 Kepulauan Riau 2 905 5 783 - 8 688 15 332
7 Jambi 173 647 247 835 24 511 445 993 2 065 185
8 Bangka Belitung 50 047 131 822 - 181 869 624 739
9 Bengkulu 194 170 104 998 4 704 303 872 930 249
10 Lampung 58 310 48 776 12 397 119 483 402 705
11 Banten 7 296 47 9 702 17 045 29 662
12 Jawa Barat 182 4 601 4 618 9 401 20 072
13 Kalimantan Barat 257 204 374 851 62 393 694 448 1 811 416
14 Kalimantan Selatan 60 504 357 625 10 966 429 095 1 295 945
15 Kalimantan Tengah 129 650 896 827 - 1 026 477 2 984 841
16 Kalimantan Timur 160 718 489 668 43 359 693 745 1 247 616
17 Sulawesi Tengah 50 524 43 078 3 886 97 488 264 775
18 Sulawesi Selatan 15 589 2 448 5 758 23 795 46 409
19 Sulawesi Barat 54 693 47 775 - 102 468 247 021
20 Sulawesi Tenggara 4 229 31 229 3 905 39 363 24 520
21 Papua 9 886 13 605 12 632 36 123 74 032
22 Papua Barat 10 961 9 979 2 891 23 831 68 278
Nasional 3 600 970 4 543 213 686 438 8 830 621 27 746 126
Sumber: Statistik Perkebunan (Diolah)

Provinsi Riau adalah provinsi penghasil CPO terbesar dengan jumlah 6.6
juta ton pada tahun 2013, disusul Sumatera Utara dengan jumlah 4.4 juta ton,
kemudian Kalimantan Tengah dengan jumlah 2.98 juta ton.
Produksi CPO dan CPKO (Crude Palm Kernel Oil) di Indonesia tidak
sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. CPO (HS 1511100000)
dan CPKO (HS 1513211000) juga diekspor dan menghasilkan devisa negara.
Provinsi Riau mengekspor CPO sebesar 2.57 juta ton, kemudian Lampung 1.35
juta ton. Ekspor yang tinggi dari Lampung ini karena CPO yang diekspor berasal
Sumatera Selatan, Jambi, dan Bangka Belitung. Total produksi CPO yang
diekspor turun sejak tahun 2010. CPO yang diekspor pada tahun 2010 sebesar
25

1.34 juta ton, tahun 2011 menjadi 1.1 juta ton, tahun 2012 turun menjadi 626 ribu
ton, dan tahun 2013 turun lagi menjadi sebesar 452 ribu ton. Dengan produksi
CPO yang meningkat dan ekspor yang menurun pada Tabel 5 menunjukan bahwa
konsumsi CPO dalam negeri meningkat. Hal tersebut juga mengindikasikan
bahwa CPO dan PKO telah mulai banyak diolah didalam negeri. Distribuasi
eksport CPO dan PKO tiap provinsi ada pada Lampiran 5.

Tabel 5. Perkembangan ekspor crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil
(PKO) Indonesia (ribuan Ton).
Uraian 2010 2011 2012 2013
CPO 9 446 8 424 7 253 6 585
PKO 1 336 1 101 626 452
Jumlah 10 782 9 525 7 879 7 037
Sumber : BPS (2014)

Gambaran produksi CPO dengan perkembangan ekspor CPO Indonesia


selama 3 tahun terakhir menunjukan adanya potensi pemanfaatan CPO yang
semakin banyak untuk diolah didalam negeri. Dimana dalam 3 tahun terakhir
produksi CPO semakin meningkat tetapi jumlah ekspor CPO pada kurun yang
sama mengalami penurunan (Gambar 6).
30.000

25.000

20.000 Produksi
(ribu ton)

CPO
15.000

10.000 Eksport
CPO
5.000

0
2010 2011 2012 2013
(Tahun)
Gambar 6. Distribusi produksi dan ekspor CPO Indonesia (BPS 2014)

Produktivitas Lahan

Komposisi tanaman kelapa sawit Indonesia pada periode 2000-2005 (Tabel


6) terdiri dari 20 % tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman menghasilkan
(TM) muda sampai remaja 35 %, dewasa 34 %, dan sisanya yakni 12 % berupa
tanaman tua. Sedangkan pada periode 2005-2013 komposisi sawit nasional terdiri
dari 20 % TBM, TM muda sampai remaja 21 %, dewasa 38 %, dan sisanya yakni
21 % berupa tanaman tua sampai renta. Dari segi tehnis komposisi umur kelapa
sawit Indonesia belum mencapai kondisi ideal. Masih perlu adanya kegiatan
replanting yang dilakukan secara masif. Komposisi tanaman tua untuk periode
2005-2013 sebesar 21 % dan dari komposisi itu sebanyak 54 % dikuasai oleh
perkebunan negara dan perkebunan swasta.
26

Tabel 6. Perbandingan komposisi tanaman kelapa sawit antara perkebunan


rakyat, negara, dan swasta (%)
TM
Perkebunan Tahun TBM
4-7 th 8-15 th 16-25 th
Negara 2000-2005 10 27 29 33
2006-2013 15 13 41 31
Swasta 2000-2005 12 41 39 7
2006-2013 19 19 39 23
Rakyat 2000-2005 34 28 27 11
2006-2013 21 26 37 16
Nasional 2000-2005 20 35 34 12
2006-2013 20 21 38 21
Sumber : Sipayung dan Purba (2014)

Tingkat produktivitas lahan untuk tanaman kelapa sawit dilihat dari


kemampuan lahan tersebut menghasilkan tandan buah segar (TBS) tiap hektar
lahan. Produktivitas berkaitan dengan luas area tanam dan volume produksi yang
dihasilkan. Secara umum produktivitas sawit rakyat (PR) telah mengalami
peningkatan selama periode 1990-2013 yakni dari 1.61 ton menjadi 2.92 ton per
hektar. Perkebunan kelapa sawit negara ternyata mengalami penurunan
produktivitas dalam periode 1990-2013 yakni dari 4.40 ton per hekter menjadi
3.11 ton per hektar. Namun demikian produktivitas kelapa sawit negara masih
lebih tinggi dari rata-rata produktivitas kelapa sawit rakyat. Perkebunan kelapa
sawit swasta secara gradual pada periode yang sama juga mengalami peningkatan
tetapi masih dibawah dari perkebunan negara. Perbandingan produktifitas kelapa
sawit selama periode daur hidupnya antara perkebunan negara, rakyat dan swasta
dapat dilihat pada Gambar 7.
Ton CPO per Ha

Umur Tanaman (Tahun)


Gambar 7. Perbandingan produktifitas perkebunan kelapa sawit negara, swasta,
dan rakyat (Sipayung dan Purba 2014)

Produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah bila dibandingkan


dengan Malaysia. Produktivitas kelapa sawit Indonesia sebesar 14-16 ton tandan
buah segar (TBS) per hektar tiap tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 18-
27

21 ton TBS per hektar tiap tahunnya. Demikian juga, produktivitas CPO
Indonesia dibawah Malaysia sebesar 2.51 ton perhektar sedangkan Malaysia
mencapai 3.21 ton perhektar. Peningkatan produktivitas kelapa sawit baik di
tingkat budidaya (kebun) maupun industri pengolah perlu terus dilakukan.
Tindakan ini harus terintegrasi oleh berbagai pihak mulai industri penyediaan
benih, pelaksanaan good agricultural practices (GAP), sampai pengelolaan pabrik
sawit yang baik.
Tantangan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan yakni
meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat dan kebun sawit swasta
mendekati produktivitas sawit negara dan selanjutnya meningkatkan produktivitas
kebun sawit swasta, rakyat dan negara kepada tingkat produktivitas yang lebih
tinggi. Saat ini penggunaan bibit unggul terbatas pada perkebunan swasta dan
perkebunan negara karena mempunyai bagian penelitian untuk peningkatan
budidaya kelapa sawit. Keterbatasan informasi rakyat akan sumber benih
menyebabkan benih beredar di pasaran tidak sesuai standar atau palsu. Kegiatan
replanting pada umur 28-30 tahun, untuk mengganti pohon kelapa sawit yang tua
harus secara kontinyu dan berkala dilakukan, demikian juga pola budidaya yang
kurang baik menyebabkan produktivitas kelapa sawit masih rendah. Meskipun
saat ini dengan luas lahan yang besar dan masih menjadi penghasil feedstock
terbesar di dunia dan sangat potensial diolah lebih lanjut.

Aksesibilitas Terhadap Input

Aksesibilitas terhadap input mencerminkan tingkat kemudahan dalam


memperoleh input produksi yang dibutuhkan secara kontinyu, tepat waktu, tepat
jumlah serta tepat jenis. Kemudahan yang dimaksud umumnya menyangkut
ketersediaan input di pasar, kondisi harga ideal yang dapat dijangkau oleh
produsen, serta distribusi input dari pemasok kepada produsen. Aksesibilitas
industri turunan minyak sawit terhadap input sangat mempengaruhi kinerja serta
capaian hasil dalam produksinya. Guna menunjang tingkat produktivitas yang
tinggi tentu bahan-bahan pembantu harus mudah didapatkan dan tersedia secara
kontinyu dan konsisten. Saat ini bahan-bahan pembantu dan sparepart yang
dibutuhkan industri turunan minyak sawit cukup tersedia dan mudah didapatkan
meskipun harus didatangkan dari luar negeri (eksport). Bahan baku utama selain
feedstock, industri ini sangat membutuhkan pasokan energi (listrik) yang cukup
memadai, gas alam, dan bahan-bahan kimia pembantu cukup mendukung.

Biaya-Biaya yang Terkait

Umumnya industri turunan minyak sawit mentah merupakan industri besar


milik negara dan swasta. Sehingga mempunyai komponen biaya yang kompleks.
Perusahaan besar mengeluarkan biaya lebih besar dalam pengadaan sumberdaya
alam. Guna membayar jasa manajemen perusahaan, gaji dan tunjangan karyawan,
biaya penelitian, pemeliharaan gedung, pembayaran pajak atau royalty, dan biaya
lainya. Tetapi dengan manajemen yang baik tingkat efisiensi dan efektifitasnya
menjadikan biaya-biaya pengadaan sumberdaya yang dibebankan dapat dengan
mudah dipenuhi. Meskipun ada juga biaya-biaya lain yang timbul akibat
kegiatannya tetapi secara umum masih dapat ditanggulangi dengan baik.
28

 Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri


perkelapa-sawitan (mulai produksi CPO sampai pengembangan produk
turunannya). Dengan sumberdaya yang berkualitas maka peningkatan kinerja akan
meningkat sehingga akan berdampak terhadap peningkatan produksi. Penyerapan
tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan adalah salah satu manfaat dari
adanya industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia. Faktor sumberdaya
dalam industri turunan minyak sawit terdiri atas pekerja kasar, karyawan pabrik,
pedagang, penyalur atau pedagang, eksportir, dan jabatan lainnya yang berkaitan
dengan sistem produksi turunan minyak sawit mentah.

Jumlah Tenaga Kerja

Tenaga kerja untuk industri turunan kelapa sawit tidak begitu besar
dibandingkan pengelolaan kebun dan pengolahan buah kelapa sawit. Jumlah
tenaga kerja pada industri hilir minyak sawit yang terdiri atas berbagai macam
industri mulai dari industri minyak goreng sampai oleokimia saat ini hanya
menyerap sebanyak 43 600 orang. Sementara pengelolaan kebun dan pengolahan
buah kelapa sawit menyerap tenaga kerja sebanyak 5.220 000 orang. Dengan
acuan jumlah tenaga kerja untuk pengelolaan perkebunan sebanyak 35 orang per
100 hektar lahan dan setiap pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton
tandan buah segar (TBS) per jam diperlukan tenaga kerja sebanyak 112 orang.
Secara lengkap penyerapan tenaga kerja pada industri minyak sawit dapat dilihat
pada Tabel 7.

Tabel 7. Penyerapan tenaga kerja industri minyak sawit Indonesia


Sektor Jumlah Tenaga Kerja (orang)
Agribisnis Hulu (Input Perkebunan Sawit) 12 000
Perkebunan Kelapa Sawit 5 220 000
Agribisnis Hilir (Industri Minyak Sawit) 43 600
Penyedia Jasa 1 500 000
Total 6 775 600
Sumber : Sipayung (2012)

Sumberdaya manusia dalam kegiatan industri turunan minyak sawit harus


didukung oleh tenaga kerja yang ahli dalam mengelola proses produksi, penelitian
dan pengembangan, serta pemasaran. Industri turunan minyak sawit mentah
disokong oleh tenaga ahli mesin, ahli perpipaan, ahli pengelasan, quality control,
dan tenaga ahli lainnya. Pada bagian pemasaran harus didukung oleh sumberdaya
manusia yang professional dalam marketing, pencarian info pasar (market
intelligent), trader (agen) dan pembeli internasional yang berpengalaman.
Kebutuhan tenaga kerja saat ini dapat dipenuhi oleh tenaga lokal khususnya untuk
tenaga kasar dan tenaga tingkat manajemen baik medium maupun tinggi hanya
beberapa keahlian khusus yang belum berkembang di Indonesia harus
didatangkan dari asing tetapi jumlahnya sangat sedikit. Kondisi ini sangat
mendukung berdirinya industri oleokimia di Indonesia.
29

Tingkat Upah

Dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin mudahnya investor


masuk tanpa kendala batas negara mengakibatkan persaingan antar perusahaan
menjadi semakin ketat. Efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki sangat diperlukan untuk meningkatkan dayasaing
perusahaan tersebut. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas perusahaan akan
meningkatkan produktivitas perusahaan. Peningkatan produktivitas perusahaan,
umumnya lebih tertuju kepada efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya
mesin, metode dan material, serta manusia.
Industri turunan minyak sawit mentah dengan adanya nilai tambah yang
cukup baik serta umumnya dikelola oleh perusahaan besar dengan tingkat
profesionalisme yang tinggi. Sehingga tingkat upah atau gaji para karyawan atau
pekerjanya telah disesuaikan dengan tingkat kompetensi dan tanggungjawabnya.
Bahkan tingkatan karier dan strata penggajian untuk industri ini umumnya telah
diatur dengan baik dan mempunyai nilai yang cukup tinggi. Sehingga tingkat upah
dalam usaha ini tidak menjadi halangan untuk berkembang.

 Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam industri turunan minyak


sawit mentah merupakan hal penting dalam menunjang dayasaing persaingan
dalam pasar global. Sumberdaya ini mencakup ketersediaan pengetahuan pasar
dan pengetahuan ilmiah dalam melakukan proses produksi yang dapat diperoleh
melalui lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, lembaga,
perguruan tinggi, literatur bisnis, basis data, dan sumber pengetahuan dan
teknologi lainnya.
Peranan lembaga penelitian dalam mengembangkan produksi turunan
minyak sawit mentah Indonesia di pasar internasional sangat tergantung pada
hasil penelitian dan pengembangan baik budidaya maupun teknologi produksi. Di
Indonesia terdapat beberapa lembaga penelitian kelapa sawit baik itu instansi
pemerintah ataupun perguruan tinggi yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS)
di Medan, Balai Besar Mekanisasi Pertanian Departemen Pertanian, Institut
Pertanian Bogor (IPB), Institut teknologi Bandung (ITB), Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) di Puspitek dan lembaga penelitian yang dimiliki
oleh perusahaan swasta.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS)

Kemajuan suatu industri ditentukan juga oleh sumberdaya ilmu pengetahuan


dan teknologi. Dalam rangka mendukung kemajuan sumberdaya IPTEK, industri
minyak sawit di Indonesia didukung oleh keberadaan lembaga riset dan
pengembangan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). PPKS merupakan
gabungan dari tiga lembaga penelitian, yaitu Pusat Penelitian Perkebunan
(Puslitbun) Medan, Puslitbun Marihat, dan Puslitbun Bandar Kuala. PPKS yang
secara terus-menerus melakukan riset untuk menemukan teknologi yang tepat dan
sesuai bagi kondisi kelapa sawit di Indonesia saat ini dan perkembangannya
dimasa yang akan datang.
30

PPKS mempunyai tugas utama yaitu melakukan penelitian dan


pengembangan dalam segala aspek industri minyak sawit, dan menyalurkan hasil
penelitian tersebut dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat industri minyak
sawit. Sebagai lembaga penelitian yang memiliki kewajiban dalam memajukan
industri minyak sawit di Indonesia, PPKS merupakan pusat unggulan inovasi
kelapa sawit. Misi PPKS adalah menunjang industri minyak sawit di Indonesia
melalui penelitian dan pengembangan, serta pelayanan. Melalui paket teknologi
maupun pengembangan IPTEK yang dihasilkan, PPKS diharapkan dapat menjadi
motor penggerak (prime mover) bagi pengembagan industri minyak sawit dan
turunannya di Indonesia (PPKS, 2012). Penelitian PPKS yang berhubungan
dengan dayasaing minyak sawit saat ini adalah melalui diversifikasi produk
oleopangan dan oleokimia. Upaya menghasilkan beta karoten, vitamin E,
pharmaceutical dari minyak sawit yang mulai diteliti pada tahun 2007 dan hingga
saat ini masih terus dilakukan.

Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia (MAKSI)

MAKSI (Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia) adalah organisasi yang


dibentuk pada tahun 1998 oleh tujuh PAU Biosains (PAU Bioteknologi ITB, PAU
Ilmu Hayati ITB, PAU Pangan dan Gizi UGM, PAU Bioteknologi UGM, PAU
Pangan dan Gizi IPB, PAU Bioteknologi IPB, PAU Ilmu Hayati IPB), Pusat Studi
Pembangunan IPB dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. MAKSI memiliki
visi menjadi organisasi profesional terpercaya dalam bidang perkelapa-sawitan di
dunia untuk membantu pencapaian industri kelapa sawit nasional yang
berdayasaing tinggi dan berkelanjutan. Misi dari MAKSI adalah menjadi mitra
terbaik pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, petani pekebun sawit, dan para
pemangku kepentingan industri kelapa sawit lainnya dalam kegiatan penelitian,
pengembangan, pendidikan, pelatihan serta advokasi pengembangan industri
kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan, terutama demi kemakmuran dan
kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia dan berdayasaing tinggi
secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya (MAKSI, 2011).
Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan MAKSI antara lain:
1. Melakukan kompilasi berbagai hasil penelitian dan pengembangan industri
minyak sawit Indonesia yang tersebar di Universitas, Lembaga Litbang
Pemerintah dan Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta lembaga-
lembaga lainnya dan mendiseminasikan hasil kompilasi tersebut kepada para
pemangku kepentingan litbang industri minyak sawit Indonesia sehingga
meningkatkan koordinasi dan jejaring kerja yang akan meminimumkan
dublikasi penelitian dan pemborosan sumberdaya.
2. Melakukan analisis dan sintesis mengenai berbagai permasalahan dalam
pengembagan industri minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan,
menggunakan materi publikasi tertulis (tercetak) baik dari dalam maupun luar
negeri serta membuat road map pemecahan masalah dengan memfungsikan
MAKSI sebagai bagian dari upaya pemecahan masalah tersebut.
31

Asosiasi Produsen Oleokimia Indonesia (APOLIN)

APOLIN merupakan perkumpulan atau wadah perusahaan penghasil


oleokimia dasar yang ada di Indonesia. Perkumpulan ini membangun saling
bekerja sama satu yang lain guna mencapai tujuan dan dukungan dalam
membangun industri oleokimia di Indonesia. Tujuan berdirinya organisasi ini
untuk membangun kerjasama antar semua anggota dan memberikan keuntungan
bagi semua anggota dan negara.
Saat ini, APOLIN mempunyai 8 (delapan) anggota yaitu PT Cisadane Raya
(Tangerang). PT Sumi Asih (Bekasi), PT Wilmar Nabati Indonesia (Gresik), PT
Musim Mas (Medan), PT Soci Mas (Medan), PT Nubika Jaya (Rantau Prapat), PT
Domba Mas (Kuala Tanjung, Sumut), dan PT Ecogreen Oleochemcical (Medan
dan Batam).

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) adalah wadah


perusahaan produsen minyak sawit (CPO) yang terdiri dari perusahaan PT.
Perkebunan Nusantara, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Asing serta
peladang Kelapa Sawit yang tergabung dalam Koperasi. GAPKI telah melakukan
berbagai upaya untuk memajukan perkelapasawitan Indonesia. GAPKI selaku
mitra pemerintah telah memberikan masukan-masukan sebagai bahan pemerintah
dalam menyusun berbagai kebijakan tentang masalah perkelapasawitan, termasuk
menetapkan kebijakan tata niaga minyak sawit yang memberikan harga jual yang
menarik sehingga akan merangsang untuk melakukan investasi pada perkebunan
kelapa sawit. Anggota GAPKI telah menyediakan minyak sawit sebagai bahan
baku untuk kepentingan industri dalam negeri dengan jumlah yang cukup dan
terus menerus, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terutama
terhadap kebutuhan minyak goreng dengan harga yang terjangkau, disamping itu
juga mengekspor minyak sawit dalam meningkatkan pendapatan devisa negara.
Gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia memiliki sembilan kantor
cabang, yaitu pada daerah Sumatera Barat (2001), Jambi (2003), Sulawesi (2004),
Kalimantan Tengah (2004), Riau (2004), Kalimantan Selatan (2004), Sumatera
Utara (2005), Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan (2007). Adapun beberapa
tujuan GAPKI yaitu :
1. Mengembangkan usaha-usaha perkelapasawitan seutuhnya dalam rangka
menunjang kebijaksanaan pemerintah di bidang perkebunan.
2. Mempersatukan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia agar
menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang dapat meningkatkan kemakmuran
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
3. Meningkatkan dayasaing perusahaan kelapa sawit Indonesia di pasar
internasional.

Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI)

Pemerintah pada tanggal 7 Desember 2006 mendirikan Dewan Minyak


Sawit Indonesia (DMSI) dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama dan
koordinasi antar pelaku usaha serta memfasilitasi perumusan regulasi dan
32

kebijakan perkelapa sawitan nasional yang mampu membawa pelaku usaha untuk
bersaing, tangguh di pasar Internasional dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan (DMSI, 2012). DMSI sebagai pusat koordinasi program dan kebijakan
perkelapa-sawitan nasional bertugas memfasilitasi secara aktif dalam hal:
1. Perumusan program pembangunan industri minyak sawit nasional.
2. Perumusan regulasi dan kebijakan pembangunan industri minyak sawit
nasional yang berdayasaing, tangguh di pasar internasioal dan berkelanjutan
untuk dilaksanakan oleh seluruh instansi yang berwenang dan pihak-pihak
terkait.
3. Perumusan pedoman jangka panjang program pembangunan minyak sawit
nasional.
4. Pemantauan dan evaluasi implementasi regulasi dan kebijakan pembangunan
industri minyak sawit nasional.

Sumber IPTEK lainnya

Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari berbagai media, seperti


jurnal.jurnal penelitian, warta, surat kabar atau majalah agribisnis, Internet, dan
media penyedia informasi lainnya. Sumber IPTEK yang beragam dan lengkap
diharapkan dapat mendukung industri CPO Indonesia dalam menerapkan
teknologi yang tepat guna. Penerapan teknologi yang tepat tentunya akan
meningkatkan produktivitas lahan kelapa sawit dan menghasilkan CPO yang
mempunyai mutu yang tinggi. Adanya kemajuan teknologi di bidang pengolahan
industri hilir kelapa sawit diharapkan dapat berkembang sehingga negara ini
mampu mengekspor kelapa sawit dalam bentuk CPO tetapi dalam bentuk yang
sudah mempunyai nilai tambah atau siap digunakan. Hal tersebut tentunya dapat
menambah nilai jual kelapa sawit, sehingga dapat meningkatkan pendapatan
petani kelapa sawit juga devisa negara. Untuk mencapai kemajuan tersebut
dibutuhkan sumberdaya IPTEK. Sumberdaya IPTEK yang mendukung akan
meningkatkan keunggulan kompetitif kelapa sawit nasional.
Selain bersumber dari lembaga penelitian seperti PPKS, APOLIN, MAKSI,
GAPKI, ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi yang ditunjang
lembaga lain seperti perguruan tinggi, lembaga riset swasta, lembaga kelapa sawit
internasional (Roundtable on Sustainable Palm Oil), literatur bisnis dan ilmiah,
basis data, laporan penelitian, serta sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.
Keberadaan lembaga untuk menunjang penelitian dan pengembangan
oleokimia cukup memadai dan lengkap, tetapi hasil penelitian yang telah
dilakukan sampai saat ini masih lemah inovasi teknologi industri berbasis
sumberdaya nasional secara umum terhenti pada tataran riset. Dominansi
teknologi impor berskala besar dengan keandalan yang teruji membuat hasil riset
nasional dan aplikasi di industri terkendala (Subiyanto, 2011).

 Sumberdaya Modal

Perusahaan swasta nasional maupun BUMN, sumber modal yang


dibutuhkan dalam rangka pengembangan industri turunan cukup tersedia karena
didukung oleh perusahaannya sebagai investor, tambahan modal dari modal
perusahaan lain atau asing atau perbankan yang tertarik dengan prospek bisnis
33

industri perkelapasawitan. Untuk industri oleokimia dengan investasi yang besar,


penuh resiko, dan pengembalian yang lama (Subiyanto, 2011). Guna menarik
investor dalam mengembangkannya, pemerintah telah menjanjikan tiga macam
insentif kepada para pelaku usaha industri hilir minyak sawit mentah. Insentif
tersebut adalah subsidi bunga pinjaman untuk program peremajaan mesin-mesin
produksi, pembebasan pajak (tax holiday), dan penundaan pajak (tax allowance).
Kondisi ini cukup mendukung masuknya investor baru, tetapi untuk tingkat
suku bunga pinjaman yang masih tinggi saat ini mendekati dua digit (9 %) masih
membuat investasi pada sektor ini kurang menarik (atractive).

 Sumberdaya Infrastuktur

Sumberdaya infrastruktur meliputi sarana dan prasarana yang digunakan


dalam suatu industri. Sarana dan prasarana yang berperan penting dalam proses
produksi industri turunan minyak sawit mentah mulai dari jalan raya atau rel
kerata untuk akses pengadaan bahan baku CPO, sarana kelistrikan, pengolahan
limbah, pengolahan CPO menjadi produk oleokima sampai ketangan konsumen.
Pada sarana produksi kelapa sawit, dibutuhkan mesin pengolahan yang mampu
mengolah CPO dan CPKO menjadi produk oleokimia. Investasi pembelian mesin
oleokimia sangat besar sehingga hanya perusahaan besar yang mempunyai dana
untuk membeli peralatan pengolahannya,
Kebutuhan prasarana industri oleokimia sangat penting guna membawanya
produk kepada konsumen industri lain yang menggunakannya. Adapun prasarana
untuk mendukung industri oleokimia nasional antara lain jalan, jembatan, sarana
air, listrik, jembatan, pelabuhan, transpotasi dan lain sebagainya. Salah satu
infrastruktur yang berperan dalam menjamin kelancaran distribusi prodok
oleokimia ke luar negeri adalah pelabuhan. Fungsi pelabuhan pada industri
minyak sawit meliputi jasa bongkar muat, jasa kepabeanan, dan jasa pergudangan
termasuk jasa tangki timbun minyak. Fasilitas pelabuhan di Indonesia masih
minim dalam menampung kapal besar sehingga terjadi antrian apabila hendak
masuk ke pelabuhan. Rata-rata kapal yang dapat bersandar di pelabuhan hanya
berjumlah 2 sampai 3 kapal, yang menyebabkan waktu tunggu lama dan biaya
yang harus ditanggung bertambah besar oleh konsumen atau importir . Berbeda
dengan Malaysia yang mempunyai pelabuhan Port Klang yang dapat menampung
berapapun kapal yang hendak bersandar di pelabuhan tersebut.
Jasa tanki timbun/pompa minyak kelapa sawit atau produk turunannya
terdapat di beberapa pelabuhan antara lain Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, dan
Tanjung Priok. Sementara itu pelabuhan utama yang mengangkut minyak keluar
negeri hanya terdapat di Belawan dan Dumai. Fasilitas pelabuhan yang ada pun
masih minim dalam menampung kapal besar sehingga terjadi antrian apabila
hendak masuk ke pelabuhan. Kondisi tersebut diperparah dengan masalah
gelombang laut yang tinggi karena pertukaran musim, yang menyebabkan kapal
tidak berlayar.
Infrastruktur jalan raya dan jalan kereta yang menghubungkan pelabuhan
dengan kawasan industri atau pabrik pengolahan CPO atau produk turunannya
belum ada atau belum memadai. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kelancaran
produksi serta ongkos transportasi yang ditimbulkan. Sehingga infrastruktur ini
harus disiapkan oleh investor dan menjadi pertimbangan dalam impelentasinya.
34

Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan merupakan faktor yang patut diperhitungkan dalam


upaya peningkatan dayasaing turunan minyak sawit di Indonesia. Kondisi
permintaan akan dijelaskan melalui tiga faktor yaitu komposisi permintaan
domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan, dan permintaan luar negeri.

 Komposisi Permintaan Domestik

Pada tahun 2011, produksi minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia sudah
dimanfaatkan untuk diolah lebih lanjut menjadi turunan minyak sawit dan sisanya
untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Porsi pemanfaatan CPO untuk
produk turunan semakin tahun semakin besar, pada tahun 2011 sebesar 46.23%
maka pada tahun 2013 telah mencapai 68.89% (BPS 2014). Perincian lengkap
volume dan nilai ekspor CPO dan produk turunan CPO dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Volume, nilai ekspor dan produk turunan CPO, tahun 2009-2013
Volume Nilai
CPO Turunan Turunan
Tahun CPO
Juta % CPO % % CPO %
Juta $
Ton Juta Ton Juta $
2009 11.03 59.54 7.50 40.46 6 621.75 57.78 4 837.67 42.22
2010 10.78 60.35 7.08 39.65 9 115.54 59.98 6 081.12 40.02
2011 9.53 53.28 8.35 46.72 10 417.09 53.77 8 958.04 46.23
2012 7.88 38.82 12.42 61.18 7 327.69 38.34 11 784.97 61.66
2013 7.04 31.66 15.19 68.34 5 331.90 31.11 11 808.67 68.89
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)

Komposisi pemanfaatan minyak kelapa sawit (CPO) pada tahun 2013


sebagian besar diolah menjadi minyak goreng sebanyak 6 468 303 ton. oleokimia
sebanyak 1 034 277 ton, margarine sebanyak 76 943 ton, sabun sebanyak 281 002
ton, dan biodisel 2 640 000 ton (GAPKI 2014). Perkembangan pemanfaatan CPO
selama tahun 2000 sampai 2013 menunjukan produk yang dihasilkan terdiri
minyak goreng (60.43% - 75.59%), oleokimia (9.85% - 23.05%), serta margarine
dan sabun (tak lebih dari 9%). Biodiesel baru diproduksi tahun 2006 (Lampiran
6). Persentase pemanfaatan CPO pada tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 8.

25% Minyak Goreng


Oleokimia
3%
1% Margarine
61%
10% Sabun
Biodiesel

Gambar 8. Persentase pemanfaatan CPO di Indonesia (GAPKI 2014)


35

Komposisi permintaan untuk CPO digolongkan dalam bentuk bahan pangan


dan nonpangan. Pemanfaatan CPO untuk produk olahan diantaranya yaitu oleh
industri pangan (minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes,
vegetable ghee) dan industri nonpangan seperti oleokimia (fatty acid, fatty
alcohol, gliserin) dan biodiesel. Komposisi permintaan untuk bahan baku saat ini
untuk oleokimia masih kecil dimana hanya sebesar 10% dari jumlah bahan baku
yang dihasilkan, Sehingga potensi untuk dikembangkan masih cukup tinggi.

 Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

Pertumbuhan industri pangan, oleokimia, dan minyak goreng serta industri


yang menggunakan minyak nabati khususnya CPO semakin meningkat. Dari sisi
permintaan, tingkat pertumbuhan konsumsi minyak goreng sebagai produk olahan
minyak kelapa sawit cukup pesat, baik di pasar domesik dan pasar ekspor. Hal itu
didukung kenaikan faktor permintaan secara agregat seperti pertumbuhan
penduduk, daya beli masyarakat, serta kecenderungan dunia mengkonsumsi
minyak sawit.
Permintaan domestik minyak sawit dari tahun 1988 sampai 2012 cenderung
berfluktuasi tidak terlalu besar. Pada tahun 1988 permintaan CPO mencapai 0.86
juta ton dan terus naik sampai 2.23 juta ton pada tahun 1992, serta mengalami
penurunan pada tahun 1993. Permintaan minyak sawit mencapai jumlah tertinggi
pada tahun 2011 mencapai 6.03 juta ton. Hal ini dikarenakan mulai bergairahnya
industri hilir. Ini menunjukkan adanya perkembangan industri hilir minyak sawit
yang dipicu adanya bea keluar yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 2001.
Jumlah permintaan CPO untuk industri turunannya pada tahun 2013 se-
banyak 10 500 524 ton. dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11.72 %. Industri
minyak goreng merupakan konsumen terbesar dengan jumlah kebutuhan pada
tahun 2013 sebesar 6 468 303 ton, diikuti industri biodiesel sebesar 2 640 000
ton, dan industri oleokimia sebesar 1 034 277 ton. Dilihat dari tingkat per-
tumbuhan rata-rata pertahun industri biodiesel mempunyai tingkat pertumbuhan
yang paling tinggi sebesar 52.14 % dan industri sabun mempunyai tingkat
pertumbuhan yang paling kecil sebesar 1.36 %. Besarnya tingkat permintaan
masing-masing industri dan rata-rata pertumbuhannya ada pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah permintaan minyak kelapa sawit (CPO) untuk industri tahun 2013
dan rata-rata pertumbuhannya
Penggunaan Jumlah (Ton) Rata-rata Pertumbuhan tahun
2000-2013 (%)
Minyak Goreng 6 468 303 11.14
Oleokimia 1 034 277 4.54
Margarine 76 943 6.60
Sabun 281 002 1.36
Biodiesel *) 2 640 000 52.14
Total 10 500 524 11.72
*) Pertumbuhan dari tahun 2006 - 2013
Sumber : GAPKI (2014)
36

Data lengkap pertumbuhan dan besarnya permintaan masing-masing industri yang


menggunakan CPO mulai tahun 2000 sampai 2013 dapat dilihat pada Lampiran 7.
Pola kebutuhan konsumen akan CPO dan CPKO mengikuti dari industri
yang menggunakannya. Industri pangan atau oleo food dan oleokimia yang
produk akhirnya di konsumsi langsung mempunyai peningkatan konsumsi sesuai
dengan pertambahan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan. Adapun untuk,
surfaktan dan biofuel (biodiesel dan bioaftur) pola peningkatannya tidak
mengikuti pertambahan penduduk tetapi terkait aktifitas transportasi serta
keperluan pertambangan.

 Permintaan Luar Negeri Terhadap CPO dan Produk Turunannya

Pertumbuhan penggunaan minyak sawit dipicu oleh peningkatan jumlah


penduduk dunia dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan dasar
oleochemical pada industri makanan, industri shortening, farmasi (kosmetik).
Trend ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit
lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya.
Berdasarkan data dari Oil World, trend penggunaan komoditi minyak kelapa sawit
di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan komoditas
vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, minyak kelapa.
Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan
mendesak juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak
sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina, dan Jepang. Produk
yang diekspor adalah RBD palm oil, CPO dan beberapa produk oleokimia.
Peningkatan konsumsi minyak nabati dunia terutama konsumsi minyak
sawit ikut mempengaruhi peningkatan produksi minyak sawit Indonesia. Pada
tahun 2000 konsumsi minyak sawit dunia hanya 21.90 ton atau pangsa pasar
23.68 % dari konsumsi minyak nabati dunia dan dalam 12 tahun bertambah
sebesar 31.80 juta ton sehingga meningkat menjadi 53.70 ton atau pangsa pasar
34.12 % dari konsumsi minyak nabati dunia seperti yang terlihat pada Tabel 10.
Dalam 14 tahun terakhir konsumsi minyak sawit dunia telah mengalahkan
konsumsi minyak kedelai dimana minyak kedelai hanya menguasai pangsa pasar
dikisaran 27.92 %. Peningkatan konsumsi minyak sawit disebabkan oleh harga
minyak sawit yang lebih murah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

Tabel 10. Perkembangan konsumsi minyak nabati dunia (Juta Ton)


2000 2010 2014
Minyak Nabati
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Minyak Kedelai 25.60 27.68 40.70 27.82 45,35 27.92
Minyak Sawit 21.90 23.68 47.80 32.67 56,72 34,93
Minyak Canola 14.50 15.68 23.50 16.06 25,48 15.69
Minyak Bunga Matahari 9.70 10.49 11.80 8.07 14,79 9.11
Minyak Inti Sawit 2.70 2.92 5.70 3.90 6,59 4.06
Minyak Nabati Lain 18.10 19.57 16.80 11.48 13,47 8.30
Total 92.50 100 146.30 100 162.40 100
Sumber : USDA (2015)
37

Harga ekspor minyak sawit di pasar Internasional turut mempengaruhi


harga harga minyak sawit domestik. Harga ekspor minyak sawit USD 1041 per
ton pada tahun 2011, harga domestik juga turut meningkat menjadi Rp 10 ribu per
kg. Ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 1988 baru sekitar 0.85 juta ton.
Dengan meningkatnya permintaan pasar ekspor membuat ekspor minyak kelapa
sawit Indonesia pada tahun 2012 meningkat menjadi 18.15 juta ton atau naik
hampir 20 kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1988 (Kementerian
Perindustrian 2013).
Permintaan minyak nabati dunia telah berkembang pesat dalam beberapa
dekade terakhir dan produksi minyak sawit telah berkembang pesat pula untuk
memenuhi permintaan itu. Negara produsen terbesar minyak sawit dunia adalah
Indonesia, Malaysia, Nigeria, Kolombia dan Papua New Guinea. Sekitar
seperempat dari minyak sawit yang diproduksi digunakan di dalam negeri dan
sisanya diekspor. Asia, Uni Eropa dan Afrika merupakan Negara importir utama
minyak sawit. Pada tahun 2010 sekitar 52 juta ton produksi minyak sawit dunia
diekspor ke berbagai negara, sekitar 17 % ke India, 13 % ke China, 13 % ke Uni
Eropa dan 8 % ke Afrika. Ekspor minyak sawit sebagian besar dalam bentuk
CPO, namun ada juga dalam bentuk refined minyak sawit terutama yang
digunakan untuk minyak makan (Oil World 2011)

Industri Refinery/Minyak Goreng

Industri refinery/minyak goreng dari kelapa sawit merupakan konsumen


minyak kelapa sawit (CPO) paling besar. Data Kementrian Perdagangan pada
tahun 2010 menunjukkan kapasitas terpasang industri refinery/minyak goreng
Indonesia adalah sebesar 15.40 juta ton. Pabrik refinery/minyak goreng di
Indonesia telah berkembang di 13 propinsi. Lima propinsi yang mempunyai
pabrik refinery terbanyak berturut-turut adalah Sumatera Utara (30.46 %), Riau
(24.83 %), DKI Jakarta (13.01 %), Jawa Timur (9.62 %) dan Sumatera Selatan
(7.18 %).
Hasil pengolahan dari industri ini biasanya di jual berupa Refined Bleached
Deodorized (RBD) Olein) dan Refined Bleached Deodorized (RBD) Stearin.
Ekspor RBD Olein selama tahun 2006 sampai tahun 2010 mengalami
kecenderungan meningkat dengan perkembangan rata–rata sebesar 10.70 % per
tahun. Pada tahun 2006 volume ekspor RBD Olein Indonesia sebesar 2.6 juta ton
dengan nilai ekspor USD 1 788 juta dan mengalami kenaikan sebesar 42.43 %
pada tahun 2010 dengan nilai ekspor menjadi USD 3 231 juta. Dari tahun 2006,
ekspor RBD Olein mengalami tren kenaikan setiap tahunnya, namun pada tahun
2010 volume ekspornya mengalami penurunan sebesar 9.35 % dibandingkan
tahun 2009. RBD Stearin merupakan bahan baku industri margarin, shortening,
CBS, vegetable ghee dan produk pangan lainnya. Volume ekspor stearin cukup
besar mencapai 1.4 juta ton pada tahun 2010. Ekspor RBD stearin selama tahun
2006 sampai 2010 berfluktuasi, namun mempunyai kecenderungan naik rata-rata
sebesar 3.34 % per tahun.
Beberapa industri refinery/minyak goreng sawit yang penting di dunia
berada di Amerika Serikat, Belanda, Bergia, Indonesia, Malaysia, Singapura dan
Thailand. Pemain utama industri refinery di Amerika Serikat adalah California
Oils Corporation dan Fuji Vegetable Oil Inc. Pemain utama industri refinery di
38

Indonesia adalah PT Astra Agro Lestari Tbk., PT Indofood Sukses Makmur Tbk.,
PT Musim Mas dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera Indonesia Tbk.
Industri refinery di Malaysia ada 16 perusahaan sedangkan Singapura dan
Thailand memiliki industri refinery masing-masing 2 dan 1 perusahaan.

Industri Margarin/Shortening

Industri margarin/shortening merupakan oleo pangan, konsumsinya semakin


meningkat di dalam negeri. Konsumen margarin/shortening adalah industri jasa
boga (food service industri) seperti restoran, industri roti dan lain-lain. Konsumen
rumah tangga relatif kecil yakni masyarakat golongan pendapatan menengah ke
atas. Secara ekonomi produk margarin/shortening merupakan produk yang
bersifat income elastic demand yakni konsumsinya meningkat jika pendapatan
masyarakat meningkat. Bila pendapatan meningkat, konsumsi margarin
meningkat lebih besar daripada peningkatan pendapatan itu sendiri.
Produksi margarin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2000 produksinya baru mencapai sekitar 338 ribu ton, meningkat menjadi sekitar
580 ribu ton tahun 2008. Peningkatan produksi margarin/shortening selain
didukung tersedianya bahan baku (stearin, olein, CPKO) di Indonesia, juga
dimungkinkan oleh pertumbuhan pasar margarin/ shortening baik di dalam negeri
maupun ekspor.
Pangsa produksi margarin yang dipasar domestik cenderung meningkat
yakni dari sekitar 78% tahun 2000 menjadi 84% tahun 2008. Sementara pangsa
untuk tujuan pasar ekspor menurun dari 23% menjadi 15%. Tampaknya pasar
domestik lebih mampu menyerap produksi margarin daripada pasar ekspor.
Tujuan pasar eskpor margarin Indonesia adalah Hongkong, Srilangka, Angola,
Philipina, Vietnam dan Rusia. Sekitar 50% ekspor margarin Indonesia diserap
oleh negara-negara tersebut. Sedangkan sisanya ditujukan ke negara-negara lain.

Industri Oleokimia Fatty Acid

Dalam beberapa tahun terakhir, industri fatty acid mengalami peningkatan


kapasitas produksi khususnya di kawasan Asia Tenggara. Produsen-produsen di
kawasan ini membentuk usaha patungan dengan perusahaan-perusahaan besar
fatty acid di AS, Eropa dan Jepang, yang kemudian produksinya diekspor kembali
ke perusahaan-perusahan induk tersebut, sehingga pada akhirnya banyak
perusahaan induk tersebut di AS, Eropa dan Jepang mengalihkan produksinya ke
kawasan Asia Tenggara dikarenakan biaya produksi secara keseluruhan menjadi
lebih rendah.
Indonesia merupakan negara pengeskpor fatty acid. Selama tahun 2003
sampai tahun 2010 ekspor fattty acid meningkat 15.23 % per tahun. Negara tujuan
ekspor fatty acid di kawasan Asia adalah Jepang, Hongkong, Korea, Taiwan,
China, Thailand dan India. Tujuan ekspor di kawasan Afrika adalah Kenya,
Sudan, Tanzania, Tunisia, dan Moroko, di kawasan Eropa adalah Belanda,
Jerman, Spayol dan Swedia dan di kawasan Amerika adalah Meksiko, Brazil dan
Kanada. Perilaku ekspor fatty acid dipengaruhi harga bahan bakunya. Walaupun
di Indonesia telah ada produsen fatty acid, namun impor fatty acid juga terjadi.
Impor tersebut diduga dari pengguna fatty acid di dalam negeri yang
39

menggunakan fatty acid berbahan baku tallow base untuk mendapatkan kualitas
tertentu pada produk akhir yang berbeda dari fatty acid produksi Indonesia yang
menggunakan bahan baku PKO dan palm stearin.
Saat ini konsumen dunia lebih menyukai fatty acid berbahan baku organik
yang berasal dari palm stearin dan PKO. Dampaknya, permintaan fatty acid
berbahan baku tallow base cenderung turun. Namun demikian, jika harga bahan
baku organik mengalami kenaikan sampai level tertentu, produsen fatty acid akan
beralih menggunakan bahan baku tallow base dan saat itu produksi berbahan baku
organik mengalami penurunan. Menurut CIC pada tahun 2012 produksi fatty acid
Indonesia sebesar 1 100 850 ton. Produk fatty acid Indonesia secara keseluruhan
mengalami pertumbuhan dengan peningkatan rata-rata sebesar 16 % per tahun
(CIC 2012).
Pasar utama fatty acid dunia adalah industri sabun dan detergen. Sekitar 30
% pangsa fatty acid adalah untuk industri sabun dan detergen, bahan baku industri
lain/barang antara (18 %), industri plastik (14 %) dan sisanya untuk kebutuhan
industri lainnya.

Industri Oleokimia Fatty Alcohol

Pasar global fatty alcohol tumbuh rata-rata 4 % per tahun. Cina, Afrika,
Amerika Tengah dan Selatan, dan Asia merupakan pasar fatty alcohol potensial.
Pada tahun 2009 Amerika Utara menyumbang 27 % dari permintaan fatty alcohol
global sedangkan Eropa Barat menyumbang 35 % dari permintaan fatty alcohol
global. Diharapkan pertumbuhan permintaan di negara-negara seperti Brazil,
Rusia, India dan Cina akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya, sedangkan
produksi diperkirakan akan bergeser ke Cina dan Asia Tenggara sejalan dengan
peningkatan pertumbuhan regional. Produsen fatty alcohol yang merupakan
pesaing terkemuka untuk produk fatty alcohol sintetis (berbasis petrokimia)
adalah Shell Chemicals dari Belanda, Sasol dari Afrika Selatan dan BASF
Jerman. Sedangkan produsen fatty alcohol alami (oleochemical based), adalah
Cognis (Jerman), Kao Corporation (Jepang), Liaoning HuaXing (Cina), Ecogreen
Oleochemicals (Indonesia) dan Procter & Gamble (Amerika Serikat).
Sebagian besar produksi fatty alcohol Indonesia di ekspor. Perkembangan
Ekspor fatty alcohol selama tahun 2003 sampai dengan 2010 meningkat sebesar
14.3 % per tahun. Walaupun di Indonesia produsen fatty alcohol, namun impor
produk ini masih tinggi. Selama 2003 hingga 2010, impor fatty alkohol meningkat
cukup tinggi rata-rata 11.9 % per tahun. Kondisi pasar fatty alcohol pada tahun
2009 masih dalam keadaan excess demand, dimana estimasi permintaan fatty
alcohol mencapai 3.2 juta ton, sedangkan estimasi supply fatty alcohol mencapai 2
juta ton. Artinya masih ada celah pasar sebesar 1.2 juta ton yang dapat diisi (IOI
2010). Pasar utama fatty alcohol adalah industri sabun dan detergen (55 %) serta
personal care (20%). Sisanya diserap oleh industri pelumas, amina dan lain-lain.

Industri Oleokimia Glycerin

Asia merupakan produsen dan konsumen glycerin murni terbesar di dunia.


Jumlah produksi telah mencapai 44 % produksi dunia dan konsumsinya mencapai
35 % konsumsi dunia. Eropa Barat merupakan produsen dan konsumen terbesar
40

kedua glycerin murni dengan tingkat produksi dan konsumsi mencapai 35 % dan
28 % dari produksi dunia. Amerika Utara adalah pasar terbesar ketiga glycerin
dengan tingkat produksi 11 % dan konsumsi 19 % dunia. Ketiga wilayah tersebut
menyumbang hampir 91 % dari produksi dunia dan 82 % dari konsumsi dunia.
Diperkirakan pada tahun-tahun mendatang akan terjadi peningkatan konsumsi di
Amerika Serikat, China dan Thailand serta pertumbuhan yang signifikan di Eropa
Barat. Hal ini disebabkan meningkatnya permintaan glycerin dalam bentuk
produk baru, seperti epiklorohidrin, syngas dan propilen glikol.
Dalam kurun waktu 2003 – 2010, ekspor glycerin Indonesia meningkat rata-
rata 35.9 % per tahun, sedangkan impor glycerin rata-rata 45.2 % per tahun.
Negara tujuan ekspor utama glycerol adalah China, Asia, dan Amerika Serikat,
dengan pangsa yang makin besar (bertumbuh). Sedangkan negara tujuan ekspor
gliserol ke Jepang pangsanya cenderung turun. Kondisi pasar glycerin dunia pada
tahun 2009 masih dalam keadaan excess demand, dimana permintaan glycerin
mencapai 1 810 ribu ton, sedangkan supply hanya sebesar 1 781 ribu ton.
Sehingga masih ada celah pasar sebesar 29 ribu ton. Negara Eropa merupakan
produsen tertinggi glycerin dengan pangsa sebesar 42.11 %, diikuti oleh negara-
negara Asean sebesar 17.97 % (Apolin, 2010). Pasar utama glyserin dunia untuk
industri sabun, kosmetik, farmasi (37 %). Alkyd resin (13 %), industri makanan
(13 %), polyurethanes (11 %), dan lain-lain.

Industri Biodiesel

Industri biodiesel dalam berapa tahun terakhir telah mengalami tingkat


pertumbuhan yang cukup tinggi seiring dengan meningkatnya konsumsi energi
dunia dan keterbatasan ketersediaan minyak bumi. Produksi dan konsumsi
konsumsi biodiesel dunia tumbuh rata-rata lebih dari 50 % per tahun selama
periode 2002 sampai 2010. Perkembangan industri biodiesel dalam beberapa
tahun terakhir telah mengalami pergeseran dominasi global. Sekitar lima tahun
yang lalu, Eropa adalah pemain dominan dalam industri biodiesel, lebih dari 83 %
dari kapasitas terpasang dunia dan 93 % dari produksi dan konsumsi dunia
biodiesel. Amerika Utara dan Asia kemudian mulai mengembangkan industri
biodiesel sendiri. Produsen biodiesel di dunia tersebar diberbagai belahan dunia.
Produsen biodiesel didominasi oleh perusahaan dari Amerika Serikat.
Perkembangan ekspor biodiesel Indonesia cukup tinggi rata-rata selama
tahun 2007 sampai 2010 mencapai 166.8 %. Pada tahun 2013 ekspor biodiesel
Indonesia mencapai 605 ribu ton. Impor biodiesel Indonesia mengalami
penurunan setiap tahun dengan rata-rata menurun sebesar 10 % per tahun selama
tahun 2007 sampai 2010. Penurunan ekspor tersebut sangat dipengaruhi dengan
harga produk substitusinya yaitu minyak solar dunia, selain itu adanya
peningkatan produksi biodiesel dalam negeri. Pada tahun 2012 terjadi ekspor
biodiesel yang cukup tinggi sebesar 1.3 juta ton. Namun ekspor biodiesel
mengalami penurunan pada tahun 2013. Hal ini disebabkan oleh meningkatkan
permintaan biodiesel dalam negeri untuk transportasi sebagai campuran solar
(B10). Adapun negara tujuan ekspor biodiesel antaranya adalah Jerman, Belanda,
Amerika, Jepang dan Singapura.
41

Industri Sabun/Deterjent

Sebagai daerah tropis, Indonesia memiliki gaya hidup yang berbeda dengan
masyarakat di negara beriklim dingin/subtropis. Iklim tropis yang panas dengan
kelembaban tinggi, memerlukan mandi secara teratur. Hal ini memerlukan sabun,
baik sabun mandi (toilet soap), sabun cuci (wash soap) maupun sabun detergen.
Semakin besar penduduk semakin besar kebutuhan sabun.
Produksi sabun dan detergen Indonesia mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun. Sabun cuci meningkat dari sekitar 240 ribu ton tahun 2000 menjadi
sekitar 290 ribu ton tahun 2008. Sabun mandi, meningkat dari sekitar 869 ribu ton
menjadi 690 ribu ton pada periode yang sama (Gambar 9).

Tahun

Gambar 9. Jumlah produksi sabun dan detergent Indonesia tahun 2000-2013


(GAPKI 2014).

Produksi sabun mandi sebagian besar dipasarkan ke dalam negeri, namun


setelah tahun 2002 sebagian besar beralih ke pasar ekspor. Hal ini, berbeda
dengan produksi sabun cuci sebagian besar produksinya ditujukan untuk pasar
domestik. Tetapi kecenderungan pangsa produksi untuk tujuan pasar ekspor
cenderung meningkat. Sedangkan produksi detergen lebih dari 90% ditujukan
untuk pasar domestik. Hanya relatif sedikit untuk dipasarkan ke luar negeri
(ekspor). Negara tujuan ekspor sabun mandi Indonesia umumnya adalah negara-
negara Asia, Timur-Tengah dan Afika. Sepuluh negara tujuan ekspor sabun mandi
terbesar adalah Singapura, Malaysia, Nigeria, Djibouti, Mesir, India, Irak,
Ethiopia dan Autralia. Sementara negara tujuan ekspor sabun cuci terbesar adalah
Angola, Ethiopia, Uni Emirat Arab, Djibouti, India dan Malaysia. Sedangkan
negara tujuan ekspor detergen Indonesia adalah terutama Jepang, Malaysia dan
Singapura.
Volume ekspor sabun dan detergen Indonesia masih tergolong kecil, tetapi
negara tujuan ekspor telah terdiversifikasi sehingga tujuan ekspornya tidak
tergantung pada beberapa negara saja. Dalam jangka panjang hal ini memudahkan
42

Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor sabun/detergen karena sudah


dikenal di banyak negara.
Komposisi, jumlah, dan pola permintaan domestik atau dalam negeri yang
terus meningkat dan berkembang untuk memanfaatkan produk-produk turunan
minyak sawit menunjukan prospek kedepan dari industri turunan ini cukup cerah.
Demikian juga untuk permintaan luar negeri, dengan semakin kompetitifnya
industri turunan minyak sawit dibandingkan dengan vegetable oil lainnya maupun
petrolium, industri ini cukup menjanjikan akan terus berkembang.

Industri Terkait dan Industri Pendukung

Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang memiliki


dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri
hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama
dengan harga yang lebih murah, dan mutu yang lebih baik. Begitu juga dengan
adanya industri pendukung, dayasaing suatu industri akan semakin baik.

 Industri Terkait

Industri terkait merupakan industri yang berada dalam sistem komoditas


secara vertikal. Industri ini mulai dari pengadaan bahan baku, bahan tambahan,
bahan kemasan sampai pemasaran. Selain industri terkait terdapat juga industri
pendukung yang merupakan industri yang memberikan kontribusi tidak langsung
dalam sistem komoditas secara vertikal.

Industri Pemasok

Penyediaan kelapa sawit dalam bentuk segar di usahakan oleh pengusaha


swasta, negara, dan petani secara swadaya. Perkebunan besar negara awalnya
menjadi peran utama penghasil kelapa sawit, meskipun saat ini telah tergantikan
oleh petani swadaya dan perkebunan swasta. Pengusahaan kelapa sawit untuk
swasta di dominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Perkebunan rakyat sebagai
produksi kelapa sawit mempunyai peranan sebagai penyedia kelapa sawit segar
cukup penting karena mempunyai luas lahan yang cukup besar. Tanda buah segar
diolah lebih lanjut menjadi CPO oleh perusahaan yang mempunyai pabrik
pengolahan.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dimiliki oleh rakyat 43.7 %, negara
8.4 % dan swasta 47.8 % (Kementerian Pertanian, 2013). Seiring dengan
peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi tandan buah segar
kelapa sawit Indonesia juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1988 produksi
tandan buah segar kelapa sawit hanya 8.15 juta ton, namun pada tahun 2012
produksi tandan buah segar kelapa sawit ini mengalami peningkatan menjadi
sekitar 112 juta ton.
Indonesia memiliki banyak pemain di bisnis perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan Besar Negara (PBN), pemain utamanya adalah PT Perkebunan
Nusantara (PTPN). Saat ini ada 10 PTPN yang merupakan produsen CPO di
Indonesia antara lain PTPN I - PTPN VIII, PTPN XIII dan PTPN XIV. Sementara
itu, pada pemain utama pada Perkebunan Besar Swasta (PBS) kelapa sawit
43

diantaranya adalah Astra Agro Lestari, Sinarmas (SMART), Indofood, Permata


Hijau Group, Sampoerna Agro, Musim Mas, Asian Agri, Makin Group, Wilmar
Corporation, Bakrie Sumatera Plantation, PT London Sumatra, PT Minamas
Gemilang, PT Duta Palma, PT Bakrie Sumatera Plant, PT Salim Ivomas Pratama,
PT Surya Dumai dan PP London Sumatera. Selain itu masih banyak lagi
perusahaan-perusahaan perkebunan daerah yang kecil-kecil dan jumlahnya
mencapai ratusan.

Industri Pengolahan Kelapa Sawit

Guna menghasilkan CPO dan CPKO diperlukan pabrik pengolahan kelapa


sawit. Produksi dan pengolahan kelapa sawit dikuasai oleh banyak pengusaha.
Tercatat nama-nama besar, seperti PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas Group, PT
London Sumatera, PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT
Bakrie Sumatera Plantation, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai. Hanya
sebagian dari para pemilik perkebunan kelapa sawit ini yang memiliki industri
hilir seperti refinery yaitu Sinar Mas, Astra Agro Lestari, Salim, Asian Agri, Duta
Palma dan beberapa perusahaan lagi dengan kapasitas yang tidak terlalu besar.
Produksi minyak sawit Indonesia yang mencapai 23.50 juta ton di atas
dihasilkan dari 608 pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas produksi
total 34 280 ton TBS/jam. Pabrik pengolahan kelapa sawit ini tersebar di 22
propinsi dengan jumlah terbanyak (140 buah) ada di Provinsi Riau. Produksi
minyak kelapa sawit ini sebesar 8.88 juta ton (37.08 %) dihasilkan oleh
perkebunan rakyat, 2.73 juta ton (11.60 %) dihasilkan oleh perkebunan negara dan
12.06 juta ton (51.32 %) dihasilkan oleh perkebunan swasta (DMSI, 2010).

Industri Pengolahan CPO

Industri pengolahan CPO memiliki kontribusi langsung pada sistem


komoditas secara vertikal karena menggunakan CPO sebagai bahan bakunya.
Industri yang termasuk ke dalam sektor ini antaran lain industri pangan dan
nonpangan. Dalam industri pangan, CPO digunakan sebagai bahan untuk
membuat minyak goreng, lemak pangan, margarin, lemak khusus (substitusi
cacao butter), biskuit, dan es krim. Sementara itu, dalam industri nonpangan CPO
digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, detergen, surfakat, pelunak
(plasticizer), pelapis (surface coating), pelumas, sabun metalik, biodiesel,
oleokimia, dan kosmetika.
Industri refinery, oleochemical (fatty acid, fatty alcohol, glycerin, dan
biodiesel), merupakan industri produk turunan minyak sawit yang memiliki nilai
tambah lebih baik dibandingkan minyak sawit mentah. Keberadaan industri
produk turunan ini turut mempengaruhi pendapatan nasional yang dapat
digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa. Berikut dijelaskan
kondisi industri produk turunan minyak sawit di Indonesia yang memiliki nilai
tambah yang lebih baik yang terdiri dari industri refinery/minyak goreng, industri
margarine/shortening, industri oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, dan glycerin),
biodiesel, dan industri sabun serta deterjent.
44

 Industri Refinery /Minyak Goreng

Industri hilir minyak goreng sawit yang pertama dan tertua dalam agribisnis
minyak sawit adalah industri minyak goreng. Di Indonesia, sebelum industri
minyak goreng sawit berkembang, industri minyak goreng kelapa sudah lebih
dahulu berkembang dan menjadi sumber utama minyak goreng di Indonesia.
Dengan semakin langkanya bahan baku kelapa/kopra dan makin tersedia minyak
sawit, secara bertahap sebagian besar industri minyak kelapa beralih kepada
industri minyak goreng sawit.
Saat ini tercatat Indonesia memiliki 94 pabrik minyak goreng yang tersebar
di 19 propinsi, dan pabrik terbanyak terletak di Sumatera Utara sebanyak 13
pabrik dan Kalimantan Barat sebanyak 11 pabrik. Pelaku usaha industri
refinery/minyak goreng beserta kapasitas produksi dan lokasinya (Lampiran 8).
Produksi minyak goreng Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahun dengan
rata-rata peningkatan 10.60 %. Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan
permintaan akibat naiknya pendapatan dan jumlah penduduk di Indonesia
(GAPKI, 2014).

 Industri Margarin/Shortening

Industri margarin/shortening di Indonesia telah memiliki sejarah yang


panjang. Pada awal perkembangannya menggunakan bahan baku minyak kelapa
namun akibat kurangnya minyak kelapa beralih pada bahan baku minyak sawit.
Tabel 11 menyajikan penyebaran industri margarin/shortening dan kapasitas
produksi di Indonesia.

Tabel 11. Jumlah perusahaan, kapasitas produksi dan penyebaran industri


margarin/shortening di Indonesia
Daerah Jumlah Perusahaan (unit) Kapasitas Produksi
(ton/tahun)
DKI Jakarta 15 459 943
Sumatera Utara 11 139 860
Jawa Timur 7 75 000
Jawa Barat 6 74 000
Riau 2 76 200
Nusa Tenggara Barat 1 15 000
Nusa Tenggara Timur 1 15 000
Kalimantan Barat 1 9 600
Sumatera Selatan 1 6 000
Jawa Tengah 1 900
Total 46 871 502
Sumber: BPS (2013)

 Industri Oleokimia

Industri oleokimia Indonesia mulai berkembang pada tahun 1991. Awalnya


didirikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan jenis produk fatty acid
dan glyserol. Sampai tahun 2011 jumlah industri oleokimia yang telah berdiri di
45

Indonesia sebanyak 9 (sembilan) buah dengan produk utama fatty acid. Kapasitas
industri oleokimia nasional sampai tahun 2011 untuk fatty acid sebanyak 986 ribu
ton per tahun, fatty alkohol sebesar 490 ribu ton per tahun, dan glyserol 141,7 ribu
ton per tahun. Umumnya industri fatty acid juga menghasilkan fatty alkohol tetapi
tidak semuanya menghasilkan gliserol. Banyaknya produsen oleokimia nasional
dengan kapasitas produksinya secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Produsen dan kapasitas industri oleokimia nasional (dalam 1000 ton)
No. Perusahaan Fatty Acid Fatty Glycerol
Alcohol
1 PT Ecogreen (Medan & Batam) 45 350 24
2 PT Sumiasih, Bekasi 91 10
3 PT SOCI MAS, Medan 80 8
4 PT Flora Sawita Chemindo , Medan 50 5.1
5 PT Musim Mas, Medan 320 100 30
6 PT Domba Mas, Kuala Tanjung 60 40 4.6
7 Wilmar Group, Gresik 120 30
8 PT Nubika Jaya, Kisaran 130 20
9 PT Cisadane Raya Chemical, 90 10
Tanggerang
Total 986 490 141.7
Sumber : BPS (2012)

Industri glycerin merupakan produk samping industri pengolahan fatty acid,


fatty alcohol dan biodiesel. Pengolahan fatty acid, fatty alcohol dan biodiesel akan
menghasilkan sekitar 10 % crude glycerin. Crude glycerin ini dapat dimurnikan
sehingga mempunyai nilai tambah lebih tinggi. Kapasitas terpasang industri
glycerin Indonesia pada tahun 2011 mencapai 142 700 ton/tahun.
Produsen glycerin dari industri fatty acid dan fatty alcohol terdiri atas PT
Wilmar dan PT Musim Mas dengan kapasitas terpasang 30 000 ton/tahun,
kemudian diikuti PT Ecogreen dan PT Nubika Jaya dengan kapasitas terpasang
masing-masing sebesar 24 000 ton/tahun dan 20 000 ton/tahun (Tabel 13).

Tabel 13. Produsen gliserin di Indonesia tahun 2011 dari industri fatty acid
dan fatty alcohol
Kapasitas Terpasang
No Nama Perusahaan Lokasi
(Ton/Tahun)
1. PT. SOCI MAS Medan 9 000
2. PT. Ecogreen Medan dan Batam 24 000
3. PT. Musim Mas Medan 30 000
4. PT. Domba Mas Kuala Tanjung 4 600
5. PT. Flora Sawita Medan 5 100
6. PT. Cisadane Raya Chemical Tangerang 10 000
7. PT. Nubika Jaya Rantau Prapat 20 000
8. PT. Sumi Asih Bekasi 10 000
9. Wilmar Group Gresik 30 000
Total 142 700
Sumber : Apolin (2011)
46

Sedangkan produsen glycerin dari industri biodiesel ada 4 (empat) produsen besar
penghasil glycerin yaitu PT Wilmar. PT Musim Mas, PT Cemerlang Energi
Perkasa dan PT Pelita Agung Agrindustri dengan kapasitas produksi terpasang
masing-masing 28 800 ton, 7 560 ton, 7 200 ton dan 3 600 ton per tahun (Tabel
14).

Tabel 14. Produsen glycerin di Indonesia tahun 2011 dari industri biodiesel
No Perusahaan Kapasitas (K liter) Lokasi
1 PT Energi Alternatif 126 Jakarta
2 PT Eternal Buana Chemical Industries 720 Tangerang
3 PT Indo Biofuels Energi 1 080 Merak
4 PT Anugrah Inti Gemanusa 720 Gresik
5 PT Eterindo Nusa Graha 720 Gresik
6 PT Wilmar Bioenergi Indonesia 18 000 Dumai
7 PT Wilmar Nabati Indonesia 10 800 Gresik
8 PT Sumi Asih Oleo - Chemical 1 800 Bekasi
9 PT Darmex Biofuels 2 700 Bekasi
10 PT Pelita Agung Agrindustri 3 600 Bengkalis
11 PT Musim Mas 1 260 Deli Serdang
6 300 Batam
12 PT Cemerlang Energi Perkasa 7 200 Dumai
13 PT Pasadena Biofuels Mandiri 184 Cikarang
14 PT Kenzie Megapolitan 90 Makassar
15 PT Ganesha Energi 180 Medan
16 PT Sintong Abadi 630 Asahan, Sumut
17 PT Prima Nusa Palma Energi 432 Jakarta
18 PT Bioenergi Pratama Jaya 108 Berau, Kaltim
19 Wahana Abdi Tritatehnika Sejati 2 380 Bogor
20 Alia Mada Perkasa 198 Tangerang
21 Damai Sejahtera Sentosa Cooking 2 160 Surabaya
22 PTPN XIII*) 216 Kalimantan
23 PTPN IV*) 90 Medan
Total 61 694
Sumber : Apolin (2011)

 Industri Biodiesel

Biodiesel merupakan bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari
minyak nabati melalui proses transesterifikasi, esterifikasi, maupun proses
esterifikasi–transesterifikasi. Pada tahun 2011 berdasarkan data Aprobi terdapat
24 produsen biodiesel di Indonesia. Kapasitas terpasang mencapai 3.4 juta
kiloliter per tahun. Dari total produksi biodiesel tersebut, PT Wilmar Bioenergi
memiliki kapasitas terpasang terbesar yaitu sebesar 1.6 juta kiloliter, diikuti PT
Musim Mas sebesar 420 ribu kiloliter dan PT Cemerlang Energi Perkasa sebesar
47

400 ribu kiloliter. Data selengkapnya mengenai sebaran industri biodiesel dan
besarnya kapasitas pengolahan di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 9.

 Industri Sabun dan Deterjen

Industri sabun dan deterjen sudah cukup lama berkembang di Indonesia.


Awalnya industri ini menggunakan bahan baku utama dari minyak kelapa dengan
semakin langka dan mahalnya minyak kelapa, industri itni beralih menggunakan
minyak kelapa sawit sebagai bahan baku. Pada awalnya, industri sabun dan
detergen ini menggunakan bahan baku dari olein tetapi dengan berkembangnya
teknologi serta jenis sabun yang dibutuhkan masyarakat, saat ini sabun serta
deterjen banyak menggunakan fatty acid sebagai bahan bakunya. Jumlah industri
sabun pada tahun 2013 sebanyak 44 buah dengan sebaran di Pulau Sumatra dan
Pulau Jawa. Kapasitas produksi industri ini baik sabun mandi, sabun cuci dan
detergen masing-masing 925 110 ton/tahun, 122 490 ton/tahun, dan 2 574 794
ton/tahun (Tabel 15).

Tabel 15. Jumlah perusahaan dan kapasitas produksi industri sabun mandi dan
detergen di Indonesia
Kapasitas Produksi (ton/tahun)
Daerah Jumlah
Sabun Mandi Sabun Cuci Detergen
Perusahaan
Sumatera Utara 6 181 800 34 500 2 620
Lampung 1 16 150 - -
DKI Jakarta 10 521 000 - 1 185 700
Jawa Barat 12 48 900 58 450 80 202
Banten 1 18 000 - -
Jawa Tengah 1 15 800 - 750
Jawa Timur 13 117 460 29 540 2 557 000
Total 44 925 110 122 490 2 574 794
Sumber : BPS (2013)

Industri terkait dengan turunan minyak sawit di Indonesia sudah cukup


berkembang dengan baik. Awalnya industri ini menggunakan bahan baku utama
dari minyak kelapa dengan semakin langka dan mahalnya minyak kelapa, industri
ini beralih menggunakan minyak kelapa sawit.

 Industri Pendukung

Industri Jasa Niaga

Industri jasa niaga/pemasaran merupakan lembaga perantara pemasaran,


seperti pedagang pengumpul, distributor, pedagang besar, pedagang eceran, dan
ekspotir. Di tahun 2004 Lonsum mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemasaran
dan penjualannya melalui kantornya di Singapura, sehingga perusahaan berhasil
melakukan diversifikasi pemasaran CPO dan jumlah pelanggan. Dengan
perusahaan mampu menambah jumlah pelanggan secara signifikan maka
perusahaan dapat menikmati keuntungan dari harga pasar CPO yang berlaku.
48

Minyak sawit (CPO) yang diperdagangkan di Indonesia berasal dari dua


sumber, yaitu perkebunan negara dan perkebunan swasta. Sesuai dengan
kesepakatan diantara perkebunan negara, pemasaran CPO harus melalui PT.
Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN). Untuk pasar dalam negeri,
KPBN bisa langsung menjual ke industri pengolahan melalui jatah alokasi yang
telah ditetapkan. Sementara itu, untuk konsumen luar negeri, pemasaran dilakukan
bertahap, KPBN menjual CPO kepada importir luar negeri yang kemudian
memasarkannya untuk konsumen luar negeri.
Perdagangan hasil industri turunan minyak kelapa sawit mentah hampir
secara keseluruhan dilakukan secara langsung dan sendiri-sendiri oleh masing-
masing perusahan sesuai dengan produk yang dihasilkan. Pemasahan hasil
industri ini khususnya oleokimia mempunyai keunikan tersendiri. Pemasaran
didasarkan pada kepercayaan tinggi dan hubungan produsen dan konsumen
oleokimia punya semacam bonding (keterikatan) yang kuat. Kalau sudah yakin
dengan produk yang dibeli, pasti akan beli lagi sekalipun kompetitor lebih murah.
Sehingga untuk industri turunan minyak sawit mentah tidak ada perusahaan
khusus yang menyokongnya.

Industri Jasa Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan serta Konsultasi

Kebutuhan akan permintaan pasar yang terus meningkat terhadap CPO dan
produk turunannya memungkinkan produksinya untuk terus ditingkatkan.
Sehingga untuk menyokong perkembangan itu memerlukan ketersediaan tenaga
kerja dengan tingkat kompetensi, pengetahuan dan keterampilan yang memadai,
mulai dari bagian teknis agronomi/tanaman hingga proses pengolahan produk
turunan minyak kelapa sawit mentah. Pada era persaingan bebas saat ini,
tersedianya tenaga kerja terdidik dan terampil menjadi mutlak, karena dengan
demikian dapat diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tanaman, mutu
CPO/PKO yang dihasilkan serta produk-produk turunan minyak kelapa sawit
mentah. Kenyataan membuktikan tidak semua perusahaan perkebunan dan
industri turunan minyak sawit di Indonesia mempunyai pusat pelatihan yang
sistimatis (training center).
Salah satu alternatif yang dilakukan adalah dengan mendirikan lembaga
pelatihan tenaga kerja. Pelatihan tenaga kerja ini dititikberatkan pada praktek
kerja nyata di kebun dan pabrik secara langsung. Dengan sistem seperti ini
diharapkan agar materi yang disampaikan di kebun dan pabrik dapat diterapkan
secara langsung pada dunia kerja secara nyata.
Citra Widya Education (CWE) adalah salah satu lembaga jasa pendidikan
dan pelatihan tenaga kerja yang bergerak di bidang perkelapa-sawitan mulai dari
budidaya di kebun sampai pengolahan hasil. CWE menawarkan berbagai macam
program pelatihan yang ditujukan mulai dari tingkat operator, asisten, asisten
kepala, dan tingkat manager. Program pelatihan yang ditawarkan meliputi
berbagai aspek pelatihan di bidang teknis, manajemen dan kepemimpinan,
administrasi sampai dengan quality control. CWE juga mengemban misi agar
lulusannya memiliki profesionalisme dalam bekerja sehingga secara tidak
langsung dapat memberikan Return of Investment (ROI) yang efektif dan efisien
bagi perusahaan dengan sumberdaya manusia yang menjunjung prinsip
keselamatan kerja dan keamanan lingkungan.
49

Lembaga pendidikan dan konsultasi perkelapasawitan di Indonesia memiliki


beberapa tempat yaitu INSTIPER (Institut Perkebunan), Politeknik Kelapa Sawit
Citra Widya Edukasi, dan Lembaga Pendidikan Perkebunan. Sementara itu, dalam
memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di bidang riset dan
pengembangan (R&D) industri minyak sawit nasional, antara lain Pusat Penelitian
Kelapa Sawit (PPKS), SBRC IPB, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi IPB, Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB, Pusat
Penelitian Bioteknologi ITB, Pusat Penelitian Ilmu Hayati ITB, Pusat Penelitian
Bioteknologi UGM, Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM. Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Balai Penelitian Bioteknologi dan Perkebunan
Indonesia, Forum Biodiesel Indonesia, Universitas Lampung, dan SEAMEO
Biotrop IPB.
Lembaga pendukung penelitian kelapa sawit meliputi PPKS Medan, Seafast
Center IPB, PSP3 IPB, Puslitbiotek ITB, Puslit SD Hayati ITB, Puslitbiotek
UGM, Puslit pangan dan gizi UGM, Pusat Kajian Agroindutri dan Bioteknologi
BPPT, Puslitbun dan biotek, Departemen Teknik Kimia UI dan ITB, Biodiesel
Unila, Seameo Biotrop IPB, KPBS, P3KT LIPI, BB Biogen, PT Smart Tbk, PT
Makin Grup, dan PT KPN/Cahaya.
Kondisi industri pendukung untuk berdirinya industri turunan minyak sawit
di Indonesia sudah cukup berkembang, baik industri jasa niaga untuk pemasaan,
peningkatan konpetensi sumberdaya manusia, jasa penelitian maupun jasa
pengujian sudah ada. Sehingga dukungan untuk berdirinya industri turunan
minyak sawit pada bagian ini cukup baik.

Persaingan, Struktur dan Strategi Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Persaingan, struktur pasar, dan stragegi perusahaan merupakan faktor yang


diperhitungkan dalam upaya peningkatan dayasaing industri turunan minyak
minyak sawit mentah di Indonesia. Struktur ini akan dijelaskan melalui tiga faktor
yaitu struktur pasar, persaingan, dan strategi pengembangannya.

 Persaingan Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Industri turunan minyak sawit mentah terdiri atas industri refinery/minyak


goreng (oleofood), industri oleokimia, biodiesel, dan sabun dan deterjent. Saat ini
mempunyai asosiasi atau perkumpulan sendiri-sendiri sehingga persaingan
diantara masing-masing produsen di dalam negeri sangat kecil. Persaingan terjadi
sudah antar antar negara khususnya dari sisi kualitas, kuantitas, kontinyuitas, dan
harga dari produk. Dari tahun ke tahun kebutuhan akan industri ini terus
meningkat.
Menurut Steve Goei King dalam Majalah Bisnis (2013), Indonesia mampu
bersaing dengan harga oleokimia yang dipasarkan Malaysia. Malaysia saat ini
sudah tidak mampu bersaing dengan oleokimia asal Indonesia yang dapat menjual
US$ 1 100 - US$ 1 200 per ton. Sehingga pasar oleokimia Malaysia beralih ke
Indonesia. Adanya krisis utang di Eropa tidak begitu berpengaruh kepada
produksi oleokimia Indonesia. Harga relatif stabil dan permintaan pun tetap naik
untuk menggunakan bahan baku sawit. Oleokimia dari minyak bumi sudah lama
kalah bersaing dengan oleokimia karena harga minyak mentah di pasar dunia
50

relatif tetap tinggi. Produk oleokimia untuk kebutuhan ekspor mencapai 80 % dari
total produksi, hanya 20 untuk kebutuhan dalam negeri. Produk oleokimia ini di
Indonesia lebih banyak digunakan untuk industri ban dan detergen.
Kapasitas produksi oleokimia Asia tumbuh cepat, sementara Eropa dan
Amerika Utara stabil dan cenderung menurun. Fenomena ini terkait masalah
bahan baku (trade-off fuel-food) yang dihadapi oleh kawasan itu. Sementara
oleokimia Asia yang menggunakan bahan baku minyak sawit dan minyak kelapa,
belum mengalami masalah ketersediaan bahan baku. Selain itu pertumbuhan yang
cepat oleokimia di Asia juga hasil relokasi industri oleokimia dari kawasan Eropa
ke kawasan Asia (Brunskill, 2011).
Kandungan teknologi yang tinggi serta ketergantungannya pada teknologi
impor menyebabkan industri oleokimia baru efisien kalau berskala besar.
Karakteristik produk dan industrinya menuntut lokasi yang dekat dengan
pelabuhan, pasokan utilitas dan bahan baku dengan harga yang terjangkau.
Kondisi yang ada, infrastruktur ke pelabuhan dan kesanggupan pemerintah dalam
menyediakan utilitas sangat terbatas. Di samping itu, kebijakan yang ada tidak
mampu menjamin stabilitas harga dan pasokan bahan baku (CPO dan PKO).
Kondisi ini menyebabkan barrier to entry oleokimia tinggi, karena investasinya
mahal, penuh resiko dan pengembalian modalnya lama (Subiyanto 2011).
Menurut ICIS (2011), harga oleokimia pasar dunia fluktuatif dan tidak
selalu mengikuti pola harga bahan bakunya. Namun demikian perkembangan
harga semua produk-produk hilir diatas harga bahan bakunya (CPO dan PKO).
Harga fatty alcohol selalu diatas harga oleokimia lainnya dan sabun/detergent
mempunyai tingkat harga paling rendah.
Industri oleokimia tergolong sunset industry untuk Kawasan Amerika dan
Eropa sementara di Kawasan Asia industri tersebut tergolong the rising industry.
Pertumbuhan industri oleokimia di Eropa dan Amerika dibanding dengan di Asia
di dominasi Asia baik pangsa maupun pertumbuhan. Realisasi maupun proyeksi
produksi oleokimia global makin besar di Kawasan Asia. Pertumbuhan ekonomi
dua negara besar Asia (India dan Cina) yang merupakan 50 % penduduk dunia,
merupakan pasar yang potensial dan menarik industri oleokimia global.
Industri oleokimia merupakan kunci hilirisasi. Hasil industri oleokimia
berupa fatty acids, fatty alcohol, gliserin dan biodiesel akan dimanfaatkan dalam
pembuatan produk olahan lanjutan, seperti makanan, kosmetik, obat-obatan,
pakan ternak, hingga bahan pelapis.
Persaingan industri ini terjadi antar negara dengan keuntungan kompetitif
yang ada. Persaingan dalam negeri relatif sudah tidak ada karena kebutuhan sudah
sangat kecil dari kapasitas yang ada dan sudah terjalin lama dengan produsen
yang telah ada. Kondisi ini mempermudah untuk menerapkan strategi persaingan.

 Struktur Pasar

Struktur pasar produk turunan minyak sawit mentah Indonesia mempunyai


beberapa jenis sesuai dengan produknya. Produk turunan minyak sawit mentah
Indonesia mempunyai jenis yang sangat beragam dengan pelaku dan konsumen
yang beragam juga. Secara garis besar produk turunan ini dibedakan menjadi
produk refinery/minyak goreng (oleofood), oleokimia, sabun dan detergen, serta
biodiesel.
51

Industri Refinery/Minyak Goreng (Oleofood)

Industri refinery/minyak goreng telah cukup berkembang dengan baik saat


ini ada 94 industri minyak goreng dengan tersebar diseluruh pulau besar
Indonesia. Industri ini mempunyai kapasitas terpasang 15.40 juta ton pertahun.
Minyak goreng yang dihasilkan hampir sebagian besar ditujukan untuk kebutuhan
ekspor, adapun kebutuhan minyak goreng dalam negeri baik bermerk maupun
curah sepenuhnya dipenuhi dari industri dalam negeri. Minyak goreng khusus
yang bahan bakunya tidak ada di Indonesia yang masih diimport seperti minyak
kanola dan minyak wijen.
Banyaknya pelaku industri refinery/minyak goreng dan luasnya pasar yang
harus dipenuhi baik pasar dalam negeri serta untuk pasokan kebutuhan ekspor
sehingga struktur pasar cenderung bentuk pasar bersaing (competitive market).
dimana dalam satu wilayah pasar terdapat banyak penjual dan banyak pembeli.
Margarine dan shortening merupakan olahan lebih lanjut dari industri olein
yang telah berkembang cukup baik, pada tahun 2008 ada sebanyak 46 industri
dengan kapasitas terpasang 871 502 ton/tahun. Konsumsi margarin/ shortening
tiap tahun meningkat sesuai peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan
pendapatan. Kebutuhan ekpor akan komoditas ini juga cukup luas mulai dari
negara di Asia, Timur Tengah sampai Afrika.
Pemasaran margarin/shortening dilakukan secara langsung oleh masing-
masing perusahaan. Jumlah pelaku atau produsen yang menjual produk ini cukup
banyak dan luasnya konsumen atau pembeli di dalam negeri maupun luar negeri
menunjukkan struktur pasar dalam bentuk bersaing (competitive market).

Industri Oleokimia

Industri oleokimia dikenal tiga oleokimia dasar (basic chemical) yakni: fatty
acid, fatty alcohol, dan glycerol. Berdasarkan data Apolin tahun 2012, kapasitas
terpasang untuk produksi fatty acids sekitar 2,9 juta ton dan fatty alcohol sekitar
0,8 juta ton. Jumlah industri oleokimia yang telah beroperasi sebanyak 9
(sembilan) perusahaan. Saat ini beberapa perusahaan melakukan penambahan
kapasitas olah seperti Sinar Mas Grup, Permata Hijau Grup, PT Ecogreen Batam,
PT Musim Mas, dan Wilmar Grup ini. Sementara pabrik oleokimia baru dibangun
oleh PT Unilever Oleokimia Indonesia di Sei Mangke, Sinar Mas dan KLK
Oleochemical di Dumai, serta The Vegetable Foods Company Private Limited
Indonesia di Medan (Majalah Kina 2012).
Kapasitas produksi oleokimia saat melebihi demand yang ada sekarang.
Tapi produsen dan konsumen oleokimia punya semacam bonding (keterikatan)
yang kuat. Jika sudah yakin dengan produk yang dibeli, akan pasti beli lagi
sekalipun kompetitor lebih murah. Meski kapasitas produksi yang dihasilkan
tergolong besar dan terus mengalami pertumbuhan, sebagian besar oleokimia
untuk kebutuhan ekspor ke luar negeri. Bila dipersentasekan, sekitar 80% hasil
produksi dikirim ke luar negeri, sementara sisanya yakni 20% diserap oleh
industri lokal.
Dengan jumlah industri oleokimia yang telah beroperasi masih belum
banyak baru 9 (sembilan) atau nantinya ada 12 (dua belas) tetapi kapasitas
olahnya bisa menembus 3 juta ton/tahun. Jumlah pembeli oleokimia ini memang
52

cukup luas (beberapa negara) tetapi secara perusahaan hanya terdiri beberapa
pemain besar. Pembeli oleokimia terdiri atas Cognis (Jerman), Kao Corporation
(Jepang), Henkel (Jerman), Unilever (Belanda), Lonzo (Swis), Petrofina (Belgia),
Akzo Nobel (Belanda), Wing (Indonesia) dan Procter and Gamble (Amerika
Serikat). Dengan terbatasnya jumlah produsen dan pembeli maka pasar oleokimia
ini cenderung kearah oligopoli. Sehingga untuk pemasaran memerlukan strategi
tersendiri.

Industri Biodiesel

Kondisi industri biodiesel di Indonesia, pada tahun 2008 ada sebanyak 11


(sebelas) perusahaan dengan total kapasitas terpasang sekitar 1.5 juta ton per
tahun, tetapi pada awal tahun 2010 sebagian besar berhenti suri karena kenaikan
harga CPO yang membuat biodiesel tidak lagi ekonomis. Kondisi produksi
biodisel di Indonesia masih under capacity. Menurut APROBI (2011), industri
biodiesel saat ini berproduksi hanya sekitar 20 % dari kapasitas terpasang,
sehingga produksi biodiesel Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan sebesar
688 288 ton. Produk biodiesel kalah bersaing di pasar domestik karena mengha-
dapi produk substitusinya yaitu minyak solar.
Pola penjualan biodiesel di Indonesia berdasrkan peraturan yang berlaku
diserahkan pada satu pemain yaitu Pertamina sehingga untuk pengedaran, harga
jual, dan harga beli juga ditentukan oleh leh pemerintah. Karena biodiesel
merupakan salah satu bahan bakar utama untuk transportasi dan pembangkit
listrik. Untuk pasar ekspor biodiesel dilakukan oleh masing-masing perusahaan
dan dikirim ke Jerman, Belanda, Amerika, Jepang dan Singapura. Dengan jumlah
produsen dan pembeli yang terbatas struktur pasar biodiesel cenderung pada
oligopoli dengan peranan pemerintah yang sangat menentukan.

Industri Sabun dan Deterjent

Industri sabun dan deterjent sudah cukup berkembang di Indonesi, sebelum


kelapa sawit menjadi bahan baku utama industri minyak nabati industri ini
menggunakan bahan baku dari minyak kelapa. Jual beli produk sabun dan
detergent ini dilakukan secara langsung oleh masing-masing produsen kepada
konsumennya. Demikian juga ekspor dilakukan tanpa melalui keagenan tetapi
langsung oleh perusahan atau perwakilan perusahaan disana.
Jumlah industri sabun dan deterjent di Indonesia saat ini ada 44 buah. Dari
sejumlah industri itu yang terbesar menguasai pasar adalah PT Unilever Indonesia
dengan kapasitas produksi 80 000 ton per tahun, PT Wing Surya dengan 64 100
ton per tahun, PT Sayap Mas Utama dengan 41 000 ton per tahun, PT Budi Aneka
Cemerlang dengan 35 000 ton per tahun, dan PT Sinar Ancol dengan 27 000 ton
per tahun (CIC, 2012). Kelima produsen besar sabun dan deterjent ini menguasahi
sebesar 58%. Dengan banyak dan tersebar luasnya industri sabun dan deterjent ini
struktur pasar cenderung mendekati persaingan sempurna atau competitive market.
Struktur pasar industri turunan minyak sawit khususnya oleokimia di dunia
ini yang hampir 80% dikuasai oleh 8(delapan) industri raksasa dunia, maka
strukturnya mempunyai pola oligopoli.
53

 Strategi Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Strategi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan industri turunan


minyak sawit mentah Indonesia. Dengan menggunakan prinsip strategi yang
diterapkan maka percepatan mengembangkan industri turunan minyak sawit
mentah akan semakin baik.
Strategi antar industri turunan minyak sawit mentah dengan karakteristik
produk antara yang akan diolah lebih lanjut menjadi produk akhir memerlukan
pendekatan tersendiri. Apalagi industri produk akhir yang menggunakan bahan
yang sama mempunyai jumlahnya tidak banyak. Kondisi industri oleokimia
dengan tingkat keuntungan rendah dan nilai investasi yang mahal di Amerika, Uni
Eropa, dan Jepang. Pemain utama industri ini beralih ke model bisnis yang lain.
Henkel, Unilever, dan Kao lebih fokus pada pengembangan consumer goods,
Lonzo ke industri farmasi/bioteknologi, Procter and Gamble ke pemasaran dan
consumer goods, Petrofina pada petrolium dan petro kimia, dan Akzo Nobel
sudah menutup industri oleokimia di Eropa (Rupilius dan Ahmad, 2007).
Strategi bisnis integrasi ke depan maupun ke belakang terjadi pada industri
oleokimia global. Penggabungan ke depan dengan industri pengguna (consumer
goods, capital goods) untuk minimisasi risiko supaya lebih menguntungkan
(profitable) dari pada hanya menghasilkan oleokimia atau consumer goods atau
capital goods saja. Kao dan Procter and Gamble penghasil produk consumer
goods bergabung dengan produsen bahan baku oleokimia di Asia Tenggara.
Strategi joint venture provider technology dan jaringan marketing dilakukan oleh
Wilmar Grup, Bakrie Grup, Sinar Mas, Musim Mas, Ecogreen, Cisadane Raya,
Sime Darby Grup, United Plantation Grup, Guthre Grup, Golden Hope Plantation,
IOI Corporation, Kuala Lumpur Kepong, Felda Holding, dan PBB Oil Palms.
Strategi backward integrative kerjasaman dengan industri bahan baku juga
terjadi pada Cognis Oleochemical (Joint Venture Cognis dengan Golden Hope),
FPG Oleochemical (Joint Venture Procter Gamble, dengan Felda), dan Akzo and
Nobel Oleochemical (Joint Venture Palmaco dengan Akzo & Nobel).
Unilever sebagai salah satu pemain global industri consumer goods guna
mengamankan pasokan bahan baku industrinya saat ini mendirikan industri
oleokimia di Sei Mangkai, Sumatra Utara dengan kapasitas yang cukup besar.
Dimasa datang strategi industri oleokimia global diperkirakan masih akan
berlangsung sesuai dengan perkembangan kompetisi global. Penguasaan bahan
baku dan pasar produk akhir menjadi penentu strategi industri oleokimia untuk
tetap survive ke depan (GAPKI 2014).

Peran Pemerintah

Pemerintah merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan


kualitas dayasaingnya. Pemerintah memiliki kewenangan membuat regulasi,
mengatur, memfasilitasi, melindungi bahkan membatasi aktivitas dari warga
negaranya, termasuk seluruh warga dan stakeholder yang terlibat dalam kegiatan
industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia.
Terdapat beberapa kebijakan, regulasi maupun sikap pemerintah yang
mempengaruhi kelangsungan kegiatan industri turunan minyak sawit mentah di
54

Indonesia. Berikut ini adalah beberapa bentuk kebijakan maupun sikap yang
dinilai berpengaruh terhadap keberadaan industri turunan minyak sawit mentah.

 Penerapan Kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan salah satu instrumen


untuk mendukung usaha berkelanjutan mempertahankan dan memperkuat posisi
Indonesia dalam perkelapasawitan dunia. Ketentuan ISPO dituangkan dalam
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 19/Permentan/OT/140/3/2011
tentang pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia. Kemudian
diperbaharui dengan Permentan No. 11/ Permentan/ OT/140/3/2015 tentang
Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Dalam
permentan ini, Kementerian Pertanian menetapkan ada 2 (dua) jenis sertifikasi
yaitu sertifikasi perusahaan perkebunan atau pekebun dan sertifikasi rantai pasok.
Penilaian sertifikasi terdiri atas 7 (tujuh) prinsip yaitu legalitas usaha perkebunan,
manajemen perkebunan, pelindungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan
lahan gambut, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tanggung jawab terhadap
pekerja, yanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta
peningkatan usaha secara berkelanjutan. Dengan sertifikasi ini, diharapkan
Indonesia bisa menentukan sendiri harga CPO di dalam negeri dan tidak lagi
mengacu pada harga komoditas sawit di Pasar Rotterdam dan Malaysia serta dapat
menepis adanya kampanye negatif lingkungan yang terus didengungkan oleh
Amerika Serikat dan Uni Eropa (Majalah Tropis 2011).

 Penetapan Bea Keluar Ekspor (BK Ekspor)

Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi industri sawit bersifat eskalatif
yang artinya tarif produk hulu dari minyak sawit dikenakan Bea Keluar lebih
tinggi dibandingkan produk hilirnya. Hal ini bertujuan memberikan insentif bagi
pelaku usaha dalam mengembangkan industri hilir di dalam negeri yang pada
gilirannya nilai tambah (value added) pengolahan minyak sawit diharapkan dapat
dinikmati ekonomi domestik. Kebijakan Bea Keluar untuk kelapa sawit, CPO, dan
produk turunannya untuk hilirisasi industri sawit pertama kali dituangkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang
Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Peraturan tersebut
diundangkan pada tanggal 15 Agustus 2011 dan mulai berlaku 30 hari sejak
tanggal diundangkan (14 September 2011). Peraturan Menteri Keuangan ini telah
mengalami dua kali perubahan yakni dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.011/2013 tanggal 16 Mei 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
128/PMK.011/2013. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai tarif Bea
Keluar ini tidak hanya berisi komoditi Minyak Sawit dan Produk Turunannya,
namun meliputi barang ekspor lain yang dikenakan Bea Keluar yakni Kulit Sapi
dan Kambing; Biji Kakao, Produk Kayu; dan Bijih Mineral. Meski PMK
128/PMK.011/2011 telah diubah dua kali, namun tidak ada perubahan subtansial
tarif bea keluar untuk minyak sawit.
Kebijakan ini dilakukan guna meningkatkan hasil produksi dan ekspor
minyak sawit olahan agar setara dengan jumlah ekspor minyak sawit mentah.
55

Penurunan tarif pajak ekspor tersebut membuat Indonesia unggul atas Malaysia
dengan memberikan perbedaan tarif pajak ekspor yang cukup signifikan. Terbukti,
setelah penurunan pajak ekspor tersebut diterapkan, ekspor minyak sawit olahan
Indonesia meningkat hingga 29 % menjadi 2.9 juta ton pada kuartal keempat
tahun 2011. Sedangkan ekspor minyak sawit mentah Indonesia melonjak 23 %
menjadi 2.28 juta ton. Sementara itu, kapasitas produksi industri pengolahan
minyak kelapa sawit Malaysia malah berkurang (Info Sawit 2012). Selain itu,
pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga menetapkan Harga Patokan
Ekspor (HPE) kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya.
Dampak restrukturisasi tarif Bea Keluar ini terlihat dari pertama, utilisasi
industri minyak goreng/refinery Indonesia sampai akhir tahun 2012 meningkat
menjadi lebih dari 80 % dari hanya sekitar 45 % pada tahun 2010. Kedua, terdapat
penambahan kapasitas refinery yang semula 21 juta ton pada tahun 2011 menjadi
sekitar 30 juta ton pada akhir tahun 2012, serta diproyeksikan meningkat 45 juta
ton pada awal tahun 2014. kapasitas terpasang untuk industri oleochemical dari
kelapa sawit naik dari 1 400 ribu ton setiap tahun pada 2011 menjadi 2 200 ribu
ton per tahun pada 2014. Ketiga, jumlah investasi yang menanamkan modalnya di
bidang industri hilir kelapa sawit pasca PMK 128/2011 mencapai sekitar USD
860 juta (Kusmartata dan Setiawan, 2013). Dilain pihak, Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) mengenai Bea Keluar (BK) produk kelapa sawit oleh APOLIN
masih menjadi hambatan dalam investasi di industri oleokimia. Karena batasan
produk yang dikenakan BK dianggap masih terlalu umum sehingga masih banyak
produk turunan yang masih dikenakan BK (Majalah Agrofarm 2013).

 Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit

Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) memegang peranan penting dalam


perekonomian nasional sebagai penghasil devisa, penyerap tenaga kerja dan
penyedia kebutuhan pokok masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 28
tahun 2008, tentang Kebijakan 66 Industri Nasional, industri pengolahan kelapa
sawit (turunan minyak sawit mentah) merupakan salah satu prioritas untuk
dikembangkan dan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi, seperti industri
oleofood, oleochemical, energi dan pharmaceutical. Selain itu, dalam Peraturan
menteri perindustrian (permenprin) No. 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta
Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Kelapa Sawit,
disebutkan bahwa pembangunan klaster Industri Hilir Kelapa Sawit jangka
menengah (2010-2014) akan difokuskan di Sumatera Utara dan Riau dan jangka
panjang akan diintegrasikan di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan dan Papua (Kementerian Perindustrian 2011).
Guna menunjang pertumbuhan industri turunan kelapa sawit pemerintah
mengeluarkan kebijakan antara lain menghapus pengenaan PPN (10 %) dalam
pengolahan CPO dan masuk dalam industri yang mendapat fasilitas insentif PPh
(tax alowance) berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah No. 148. Kebijakan
tersebut diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan sektor ini sehingga
peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat.
Pemerintah menyadari kebijakan tersebut bukan satu-satunya yang dapat
menjadi faktor stimulasi, tetapi masih banyak kebijakan yang harus terus menerus
dikembangkan seperti penyediaan lahan, kompetensi sumber daya manusia dan
56

lain-lain. Koordinasi dengan para pemangku kepentingan perlu terus dilakukan


secara kontinyu. Industri kelapa sawit mempunyai rantai bisnis yang cukup
panjang dan saling terkait. Mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, supporting
industri, pengolahan di industri hulu sampai industri hilir. Kebijakan
pengembangan sektor ini harus melalui koordinasi yang kuat antar instansi terkait
sehingga bisa mencapai hasil yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional.
Oleh karena itu sektor usaha ini, masih membutuhkan kebijakan yang lebih tajam
dan komprehensif untuk menghadapi kendala yang masih menghadang mulai dari
hulu (sektor perkebunan), manufaktur (industri pengolahan) dan perdagangan.

Peran Kesempatan

Kesempatan merupakan faktor yang berada di luar jangkauan stakeholder


industri turunan minyak sawit mentah Indonesia. Keberadaan faktor ini dapat
menjadi suatu momen yang bisa mengangkat posisi dayasaing industri turunan
minyak sawit mentah Indonesia. Kesempatan yang dapat dimanfaatkan berasal
dari dalam maupun luar. Kesempatan dari dalam negeri adalah prospek kondisi
industri turunan minyak sawit mentah yang cerah untuk berkembang dan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Sedangkan potensi peluang memenuhi
kebutuhan eksport merupakan kesempatan dari luar.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan salah satu usaha yang
menjadi andalan sektor pertanian untuk berperan dalam perekonomian nasional.
Penyerapan tenaga kerja dan peluang investasi yang terbuka di Indonesia
menyebabkan perkebunan kelapa sawit primadona dari sektor pertanian. Peluang
pengembangan industri turunan kelapa sawit masih terbuka karena didukung oleh
sumber bahan baku yang besar dan teknologi yang memadai, disamping juga
peluang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam negeri maupun
ekspor. kebutuhan akan produk-produk untuk minyak makanan, oleochemical dan
biofuel yang cenderung semakin meningkat. Walaupun prospek kelapa sawit
sangat baik, tetapi dihadapkan pada kampaye negatif akan perkebunan kelapa
sawit, dimana pengembangannya tidak mengikuti kaidah pelestarian lingkungan
hidup, perburuhan, dan isu perubahan iklim. Terlebih pemerintah Uni Eropa dan
Amerika memberlakukan keberlanjutan biofuel yang berpotensi dapat meng-
hambat ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa (Kementerian Pertanian 2013).
Pada beberapa kawasan akibat kesulitan atau mahalnya bahan baku utama
serta tidak kompetitif, industri oleokimia tergolong sunset industry. Indonesia
dengan bahan baku CPO dan CPKO yang berlimpah, sumber daya alam yang
mendukung, dan pengembangan ke produk turunannya yang terus berkembang
masih tergolong the rising industry (Ruphilus dan Ahmat 2007b). Kesempatan
untuk menjadikan penghasil oleokimia yang kuat dan besar sangat terbuka luas
jika semua stakeholder menyambutnya dengan antusias dan sungguh-sungguh.
International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) merupakan
sistem sertifikasi bertaraf internasional untuk membuktikan sustainability,
traceability dan penghematan dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis
produksi energi yang terbarukan. Dengan sertifikasi ini berarti produsen mampu
menyediakan minyak sawit sesuai dengan Standar Energi Terbarukan Uni Eropa.
Selain itu, CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan premium
sekitar US$ 20 – US$ 30 per ton dari harga di pasar dunia.
57

Berlian Porter yang telah diuraikan secara terperinci pada masing-masing


unsur dari komponen utama maupun komponen pendukung yang bertujuan untuk
melihat dayasaing percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah (MSM) di Indonesia dapat dilihat Gambar 10. Secara umum, unsur-unsur
komponen utama maupun penunjang telah menunjukan adanya dukungan untuk
berkembangnya industri turunan minyak sawit mentah.

Peran Kesempatan Persaingan, Struktur, dan Strategi


- Pertumbuhan permintaan turunan 1. Persaingan antar industri terbuka,
MSM unggul dalam harga
- Oleokimia di UE dan USA tak 2. Struktur pasar oligopoli,
bersaing (Sunrise Industry)
3. Strategi melakukan kerjasama/joint
- Kampanye negatif
dengan industri pengguna

Kondisi Faktor Sumberdaya Kondisi Permintaan Domestik


1. CPO dan CPKO terbesar di dunia 1. Permintaan domestik telah dipenuhi
2. Moratorium kebun Sawit sepenuhnya (20% kapasitas produksi)
3. SDM berkompetensi cukup 2. Permintaan meningkat sesuai
4. IPTEK telah berkembang tapi belum pertumbuhan penduduk dan peningkatan
mendukung pendapatan
5. Modal perbankan terbuka 3. Potensi permintaan dunia terus
6. Infrastruktur belum cukup mendukung meningkat (Cina, India, Afrika)

Industri Terkait dan Pendukung


1. Industri terkait
- Feedstock (PTPN, Swasta Nasional) Peran Pemerintah
- Industri cleaning (Wing, Unilever, P&G) - Program IHKS
- Industri Biodiesel (Wilmar dll) - Sertifikasi ISPO
2. Industri Pendukung - Penetapan BK yang
- Jasa penelitian (PPKS, BPPT, PAU) Eskalatif
- Jasa SDM (IPB, UGM, PPKS)

Keterangan :
Keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung
Keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen utama

Gambar 10. Keterkaitan antar komponen Berlian Porter industri turunan minyak
sawit mentah (MSM) Indonesia

Keterkaitan Antar Komponen Utama Sistem Berlian Porter

Hasil analisis sistem industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia


dengan menggunakan Sistem Berlian Porter terlihat adanya keterkaitan antara
komponen utama dan komponen penunjang. Keterkaitan antar komponen tersebut
ada yang bersifat saling mendukung maupun tidak mendukung. Keterkaitan antar
komponen utama sistem berlian porter pada industri turunan minyak sawit mentah
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 16.
58

Tabel 16. Keterkaitan antar komponen utama industri turunan minyak sawit
mentah (MSM) di Indonesia
No Komponen A Komponen B Keterkaitan Keterangan
Antar
Komponen
1 Struktur, Kondisi faktor Saling Jumlah pasokan dan industri
persaingan, dan sumberdaya mendukung penghasil CPO cukup banyak,
strategi pasar bersaing secara kompetitif.

Saling Tenaga ahli yang andal dalam


mendukung hilirisasi minyak sawit mentah
cukup tersedia

Tidak Hasil penelitian yang merupakan


mendukung sumberdaya IPTEK belum cukup
mendukung keunggulan industri
hilir minyak sawit

Tabel 16. Lanjutan


No Komponen A Komponen B Keterkaitan Keterangan
Antar
Komponen
2 Struktur, Industri terkait Saling Struktur pasar industri CPO yang
persaingan, dan dan industri mendukung mendekati bentuk pasar bersaing
strategi pendukung (competitive market) sehingga
perkembangan cukup baik

Saling Industri hilir cukup terbuka ber-


mendukung kembang pertimbangan selektif
dan pasar produk harus tepat.

Saling Struktur pasar industri


mendukung refinery/minyak goreng berbentuk
pasar bersaing (competitif market)
sehingga berkembang cukup baik

Tidak Struktur pasar oleokimia bersifat


mendukung oligopoli sehingga berkembang
lamban.

Tidak Biodiesel jumlah industri cukup


mendukung banyak tetapi konsumsi domestik
sangat ditentukan kebijakan
pemerintah (captive market)
sehingga berkembang lamban
3 Struktur, Kondisi Saling Konsumsi industri hilir MSM
persaingan, dan permintaan mendukung domestik (revinery, oleokimia,
strategi dan biodiesel) sudah dapat
dipenuhi produksi dalam negeri.

Saling Permintaan ekspor industri


mendukung turunan MSM berkembang baik
59

Tabel 16. Lanjutan


No Komponen A Komponen B Keterkaitan Keterangan
Antar
Komponen
dan bersaing dari segi harga yang
kompetitif.

Saling Strategi joint venture provider


mendukung technology dan jaringan
marketing global sehingga
mempunyai ikatan (bonding) kuat
antara produsen dan konsumen
menumbuhkan pasar yang stabil
pertumbuhannya
4 Kondisi faktor Industri terkait Saling Kondisi faktor sumberdaya telah
sumberdaya dan industri mendukung dapat menyokong industri terkait
pendukung dan pendukung minyak sawit
nasional.

Saling Industri turunan MSM telah


mendukung berkembang dengan minyak
goreng dan olein sebagai produk
olahan utamanya, dibutuhkan
komitmen seluruh stakeholder
untuk kembangkan industri
turunan MSM.

Tidak R&D belum menjadi kekuatan


mendukung dan dapat menopang pengem-
bangan industri turunan MSM

Tidak Infrastruktur secara keseluruhan


mendukung belum mendukung pengem-
bangan industri turunan MSM
5 Kondisi faktor Kondisi Saling Indonesia sebagai eksportir CPO
sumberdaya Permintaan mendukung terbesar di dunia dapat memenuhi
kebutuhan konsumen domestik

Saling Kebutuhan oleokimia domestik


mendukung telah terpenuhi, bahkan 80%
kapasitas yang ada untuk ekspor.
6 Kondisi Industri terkait Saling Industri terkait dan industri
Permintaan dan industri mendukung pendukung sudah mampu
pendukung memenuhi permintaan pasar
domestik dan ekspor.

Keterkaitan Komponen Pendukung Sistem Berlian Porter

Keterkaitan antar komponen penunjang dengan komponen utama . Adapun


keterkaitan antar komponen penunjang dengan komponen utama pengembangan
industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 17.
60

Tabel 17. Keterkaitan antar komponen penunjang dengan komponen utama


industri turunan minyak sawit mentah (MSM) Indonesia.
No Komponen Komponen Keterkaitan Keterangan
Penunjang Utama Antar
Komponen
1 Peranan Kondisi faktor Tidak Pembatasan perluasan pada
pemerintah sumberdaya Mendukung lahan gambut dan hutan
alam (Moratorium).

Mendukung Adanya pembatasan eksport


bahan mentah (CPO)
dengan penetapan bea
keluar (BK) yang eskalatif

Industri terkait Mendukung Adanya program


dan pendukung pengembangan Industri
Hilir Kelapa Sawit (IHKS)
secara terpadu (cluster)

Kondisi Mendukung Penetapan industri berbasis


permintaan CPO sebagai prioritas dalam
RPJM

Tidak Komitmen pemakaian bahan


mendukung bakar nabati (biodiesel)
kurang kuat dan tegas

Struktur, Mendukung Dukungan terhadap program


persaingan dan promosi dan publikasi
strategi
2 Peranan Kondisi faktor Mendukung Kondisi agroklimat
kesempatan sumberdaya mendukung sebagai negara
terluas perkebunan kelapa
sawit dan produsen CPO
terbesar di dunia

Industri terkait Mendukung Industri terkait dan


dan pendukung pendukung terbuka untuk
berkembang sesuai
kesempatan yang ada
Kondisi Mendukung Pertumbuhan permintaan
permintaan produk turunan minyak
sawit mentah (MSM)
domistik dan ekspor telah
sesuai dengan kapasitas
industri yang ada.
61

Tabel 17. Lanjutan


No Komponen Komponen Keterkaitan Keterangan
Penunjang Utama Antar
Komponen
Struktur, Mendukung Ada kesulitan bahan baku
persaingan dan dan efisiensi industri
strategi oleokimia di Amerika dan
Uni Eropa (Sunset Industry)

Mendukung Adanya standarisasi kualitas


produk turunan MSM dan
kewajiban sertifikasi ISPO
khususnya ketertelusuran
produk (treasibility)

Tidak Kampaye negatif sawit dan


Mendukung produk turunannya di
Amerika dan Uni Eropa

Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, dapat disimpulkan


keterkaitan antar komponen-komponen utama belum semua unsur saling
mendukung, seperti adanya hasil penelitian yang merupakan sumberdaya IPTEK
belum cukup menjadi kekuatan industri hilir minyak sawit, infrastruktur
penunjang industri belum memadai, struktur pasar oleokimia yang oligopoli,
bahkan untuk pemasaran biodiesel konsumsi domestik berhadapan langsung
dengan solar dari petrokimia yang masih disubsidi diperlukan peran pemerintah
untuk kelangsungannya. Adanya pasar oligopoli ini menjadilan entry barrier
industri baru untuk berusaha pada sektor ini menjadi tinggi (Agustino, 2010).
Sehingga dengan sifat industri olekimia yang padat modal dengan tingkat
pengembalian kecil akan menjadikan tambahan hambatan tersendiri dalam
pengembangan industri turunan oleokimia di Indonesia.
Dukungan terhadap seluruh komponen dalam industri turunan minyak sawit
mentah yang dilakukan oleh peran pemerintah juga belum seluruhnya
mendukung. Beberapa aspek seperti adanya moratorium pengembangan lahan
sawit, konsistensi komitmen penggunaan/pemanfaatan bahan bakar biodiesel, dan
keberadaan infrastruktur yang penunjang berdirinya industri turunan minyak sawit
mentah. Tetapi kebijakan (political will) ini mempunyai pengaruh yang
menentukan terhadap keberadaan industri yang ada saat ini bahkan untuk
infrastruktur dalam percepatan pembanguan baik melalui MP3EI maupun
Nawacita yang saat ini akan terus dilakukan.
Kesempatan telah mendukung untuk berkembangnya industri turunan
minyak sawit di Indonesia. Faktor utama dan menentukan dalam pengembangan
industri turunan ini adanya kepastian akan feedstock (CPO dan PKO) dari dalam
negeri dan pemberlakuan pajak keluar untuk ekspor CPO dan PKO. Adanya bea
keluar (BK) secara eskalatif ini telah mampu mengerem laju ekspor CPO yang
diperlukan industri turunannya. Hal ini menunjukan peran pemerintah dan
kesempatan telah mampu meningkatkan dayasaing industrinya apabila seluruh
stakeholder mengupayakan diri dapat mengambil manfaat dari kesempatan ini.
62

Penentuan Alternatif Strategi

Analisis dayasaing industri turunan minyak sawit mentah (MSM) Indonesia


melalui kaidah Berlian Porter memperlihatkan bahwa secara umum kondisi
industri ini telah mempunyai nilai kompetitif yang cukup tinggi. Beberapa faktor
yang belum mendukung umumnya terkait dengan peran pemerintah (political will)
atau komponen penunjang, perlu ada verifikasi lebih mendalam terhadap faktor-
faktor dari komponen utama maupun komponen penunjang yang belum
mendukung. Komponen yang sudah mendukung merupakan penguat untuk berdiri
dan perkembangannya industri turunan minyak sawit mentah. Dengan banyaknya
faktor-faktor yang mempengaruhi berdirinya industri turunan minyak sawit
mentah ini diperlukan penentuan alternatif strategi.

Alternatif Strategi Pengembangan Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Penentuan alternatif strategi dilakukan dengan metode kuantitatif dari para


pakar (ahli). Wawancara dilakukan secara langsung dengan menanyakan faktor
penting apa yang menentukan dalam percepatan pengembangan industri
oleokimia di Indonesia. Alternatif strategi ini disusun berdasarkan pengumpulan
pendapat para ahli. Para ahli (pakar) yang diwawancarai mewakili para
stakeholder yang terkait dengan pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah Indonesia.

 Penyederhanaan Perijinan

Langkah awal dalam memulai suatu usaha adalah dengan melakukan proses
perijinan supaya legalitas usaha yang dijalankan resmi adanya. Mekanisme
perijinan antar negara dan daerah mempunyai ragam yang berbeda-beda, hal ini
berkaitan langsung dengan aturan yang dijalankan. Perbedaan ini mengakibatkan
daya tarik atau kemudahan berusaha antar wilayah yang berbeda juga.
Perijinan yang sederhana dengan tidak rumit menjadi dambaan para investor
dalam memasuki suatu wilayah usaha baru. Kecepatan dan kemudahan dalam
proses perijinan menjadi keinginan semua pihak. Wawancara dengan Prof. Dr. Ir.
Erliza Hambali sebagai Kepala SBRC-IPB,
“....Guna mempercepat berdirinya industri turunan minyak sawit mentah di
Indonesia, Hal pertama yang harus pemerintah penuhi adalah memastikan
proses perijinan dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan murah, Saat ini,
masih terlalu lama berliku dan banyak ketidakpastian. Meskipun telah
ditetapkan lama waktu pengurusan tetapi untuk memenuhi persyaratan
pendukungnya sangat ribet ....:” (Hasil wawancara 9 April 2015).
Ir. Sri Hadisetyana, M.Si sebagai Kepala Sub. Direktorat Industri Hasil
Perkebunan Non Pangan Lainnya, Kementrian Perindustrian RI menambahkan
“....yang paling menentukan untuk percepatan industri oleokimia adalah
mempercepat proses perijinan yang selama ini lama....” (Hasil wawancara 16 Mei
2015). Hal yang sama diungkapkan juga oleh Dr. Ir. M. Fadhil Hasan sebagai
Direktur Eksekutif GAPKI bahwa “....penciptaan iklim investasi yang lebih
kondusif terkait dengan menyederhanaan perijinan....” (Hasil wawancara 25
September 2015).
63

Para stakeholders berpendapat bahwa adanya penyederhanaan perijinan


dalam proses pendirian suatu usaha merupakan salah satu langkah untuk
meningkatkan dayatarik para investor untuk mendirikan usaha baru.

 Penyiapan Infrastruktur

Infrastruktur merupakan sarana utama untuk menyokong dan mempermudah


berlangsungnya proses kegiatan utama. Fasilitas ini sangat penting untuk
berlangungnya kegiatan industri. Bagi investor infrastruktur menjadi salah satu
pertimbangan untuk melakukan investasi pada suatu daerah. Penyediaan
infrastruktur yang baik dan sesuai dengan kebutuhan merupakan dayatarik
tersendiri bagi investor.
Pentingnya penyiapan infrastruktur untuk percepatan pengembangan
turunan minyak sawit mentah diungkapkan oleh Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali
sebagai Kepala SBRC-IPB. “....Infrasturktur pendukung industri kurang atau
belum ada mengakibatkan investor harus menyiapkan atau mengalami biaya
tinggi untuk mengadaan bahan baku dan penyaluran produknya....” (Hasil
wawancara, 9 April 2015). Selanjutnya stakeholders yang lain Ir. Sri Hadisetyana,
M.Si sebagai Kepala Sub. Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan
Lainnya, Kementrian Perindustrian RI menyampaikan “....Guna mempercepat
berdirinya industri oleokimia diperlukan menyiapkan infrastruktur pendukung
industri seperti jalan raya, pelabuhan dengan fasilitasnya seperti tanki timbun,
listrik, atau gas pada daerah pengembangan...” (Hasil wawancara 16 Mei 2015).
Dan para pelaku usaha kelapa sawit yang diwakili oleh Dr. Ir. M. Fadhil Hasan
sebagai Direktur Eksekutif GAPKI mengungkapkan “....Perbaikan infrastruktur,
jalan, pelabuhan dan klaster industri mendukung percepatan industri minyak sawit
mentah....” (Hasil wawancara 25 September 2015).
Penyiapan infrastruktur yang terkait langsung dengan proses kegiatan
industri turunan minyak sawit mentah dapat menghemat besarnya investasi yang
harus dikeluarkan oleh para investor, demikian juga lama waktu proses berdirinya
industri ini akan lebih cepat karena hanya terfokus pada keperluan utama.

 Insentif Perpajakan

Sejak tahun 2011, adanya ketentuan bea keluar produk-produk asalan (CPO
dan PKO) dengan nilai yang tinggi maka pertumbuhan industri hilir minyak
kelapa sawit semakin membaik dimana kapasitas terpasang yang sebelumnya tak
terpakai sudah mulai dioperasikan. Kunci keberhasilan dalam pengembangan
industri turunan minyak sawit mentah menurut Ir. Sri Hadisetyana, M.Si sebagai
Kepala Sub. Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Lainnya,
Kementrian Perindustrian RI adalah
“....Industri turunan minyak sawit mentah dengan sifatnya yang padat modal
dengan tingkat pengembalian yang lambat untuk menarik investor dalam
mempercepat berdirinya industri ini diperlukan adanya insentif dalam bidang
perpajakan seperti tax allowance, tax holliday, dan pemotongan pajak
pertambahan nilai dalam pemasukan barang-barang modal/permesinan. Saat
ini baru 2 (dua) perusahaan oleokimia yang mendapat fasilitas tax allowance
dan tax holiday yaitu PT Unilever Oleokimia Indonesia dan PT Energi
Sejahtera Mas.....” (Hasil wawancara 16 Mei 2015).
64

Keadaan ekonomi global yang lesu dan harga minyak mentah yang rendah
membuat harga minyak sawit selama 1 (satu) tahun ini rendah. Guna menghadapi
tantangan ini, Indonesia perlu memperkuat value chain dengan mengembangkan
industri hilir yang sustainable. Percepatan pengembangan hilirisasi minyak kelapa
sawit menurut Dr. Ir. M. Fadhil Hasan sebagai Direktur Eksekutif GAPKI
diperlukan “....adanya pemberian insentif yang terfokus, misalnya dukungan
research and development (R&D). Oleokimia yang produknya berbasis inovasi
dengan tak terpisah dari hasil riset. R&D masih dianggap biaya karena tidak
banyak insentif yang diberikan pemerintah....” (Hasil wawancara 25 September
2015).
Insentif perpajakan yang dibedakan menjadi tax allowance, tax holliday,
pemotongan pajak pertambahan nilai dan pemotongan khusus terkait belanja
untuk keperluan research and development (R&D) merupakan alternatif strategi
yang masih dirasakan perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menarik pelaku
usaha industri turunan minyak sawit mentah.

 Dukungan Moneter

Pengembangan industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia


merupakan salah satu langkah penting untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia
dalam perdagangan produk kelapa sawit secara keseluruhan, meskipun Indonesia
sejak tahun 2006 menjadi pemasok utama minyak nabati dunia tetapi belum bisa
menentukan nilai jual dari produk-produk minyak kelapa sawit. Kunci sukses
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah Indonesia, menurut Dr. Ir.
Tungkot Sipayung sebagai Ketua PASPI mengatakan
“....Pengembangan industri turunan minyak sawit mentah merupakan proses
kapitalisasi industri. Suksesnya industri oleokimia menjadi kunci
penguasaan industri turunan berikutnya. Hal terpenting dalam
mengembangkan industri ini adalah adanya kebijakan moneter yang
kondusif seperti tingkat suku bunga kompetitif dan ketertarikan perbankan
untuk membiayai kebutuhan investasi dan kebutuhan operasional. Kebijakan
moneter yang kondusif dalam pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah ini, membuat keberadaan infrastruktur yang kurang memadaipun
bukan menjadi pertimbangan lagi. Investor dengan sendirinya akan
melakukan pembangunan dari kekurangan infrastruktur jika ada kekurangan
dan layak untuk dioperasikan.....” (Hasil wawancara 5 Mei 2015).
Adanya kebijakan untuk mendukung secara moneter atau keuangan masih
merupakan bagian penting untuk menjadi pertimbangan dalam menarik investasi
pada suatu daerah atau negara.

 Komitmen Pemerintah

Saat ini industri turunan minyak sawit mentah khususnya oleokimia


menunjukan adanya perkembangan. Menurut Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA
sebagai Wakil Ketua MAKSI pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah yang diperlukan “....adanya keberpihakan yang tinggi dari pemerintah
seperti layaknya Felda di Malaysia. Semua infrastruktur dan kepelabuhanan telah
disiapkan, investor tinggal masuk sesuai industri yang diinginkan....” (Hasil
wawancara, 6 April 2015). Selanjutnya Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali sebagai
65

Kepala SBRC-IPB berpendapat “....Guna mempercepat berdirinya industri


turunan minyak sawit mentah di Indonesia, adanya dukungan pemerintah yang
selalu konsisten dalam melaksanakan kebijakan proses hilirisasi minyak sawit
mentah....” (Hasil wawancara 9 April 2015). Dr. Ir. Tungkot Sipayung sebagai
Ketua PASPI menambahkan
“....Hal terpenting dalam mengembangkan industri ini adalah adanya
konsistensi kebijakan pemerintah dalam menyokong keberlanjutan
pengembangan industri turunan minyak sawit, dan harus dipertahankan.
Adanya perubahan atau ketidak konsistenan kebijakan yang sudah diambil
meragukan atau membuat gamang pelaku usaha....” (Hasil wawancara 5 Mei
2015).
Menurut Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali sebagai Kepala SBRC-IPB “....
Pemerintah sering tidak konsisten dan tidak terkourdinasi dalam menjalankan
kebijakan, adanya konsistensi sangat mendukung percepatan industri turunan
kelapa sawit....” (Hasil wawancara 9 April 2015).
Pendapat diatas menunjukkan untuk percepatan pendirian industri turunan
minyak sawit mentah perlu adanya kekonsistenan kebijakan pemerintah atau
komitmen pemerintah yang kuat untuk melakukan pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah.

 Kepastian Pasar

Pendirian industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia dengan prinsip


keberlanjutan menurut Dr. Ir. Angga Jatmika, MS sebagai Ahli Kelapa Sawit
PPKS-RNI diperlukan kehati-hatian. Secara lengkap pendapat tentang kondisi dan
kunci sukses pengembangan industri turunan minyak sawit mentah Indonesia
sebagai berikut
“....Industri turunan minyak sawit mentah khususnya oleokimia masih cukup
potensi untuk dikembangkan di Indonesia tetapi harus mempunyai
pertimbangan yang cukup matang. Pemain industri ini semuanya industri
besar dengan pertumbuhan pasar atau incremental yang rendah. Industri
oleokimia sebagian besar masih bertumpu pada pemenuhan pasar industri
pembersih atau sabun. Pertumbuhan industri pembersih atau sabun bertumpu
pada pertumbuhan jumlah penduduk dengan besarnya pertumbuhan ini tidak
terlalu tinggi. Kepastian pasar akan jenis oleokimia apa yang dihasilkan dan
siapa yang akan menjadi pembeli/konsumen hasil industri ini merupakan
faktor penentu kesuksesan berdirinya industri turunan minyak sawit mentah
di Indonesia....” (Hasil wawancara, 30 Maret 2015).
Apalagi dengan struktur pasar olekimia yang bersifat oligopoli dan beberapa
jenisnya mempunyai sifat „toilor made” maka kepastian pasar yang akan
menampung hasil produksinya harus lebih awal ditetapkan secara pasti. Jika ini
dapat dipastikan, kelanggengan proses produksi akan dapat dengan mudah
dicapai.
Berdasarkan uraian pendapat para ahli (pakar) diatas, dapat dihimbun atau
dikumpulkan point-point yang merupakan alternatif strategi yang sama. Penentuan
faktor kunci keberhasilan dilakukan dengan mengumpulkan point-point pendapat
para ahli baik sama maupun berbeda, keduanya merupakan faktor kunci
keberhasilan. Faktor yang diungkapkan oleh beberapa para ahli menunjukan
adanya tingkat penting yang lebih tinggi dibandingkan dengan faktor yang lain.
Hasil penentuan pendapat para ahli dalam menghimpun faktor-faktor kunci
66

keberhasilan percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah di


Indonesia diuraikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Hasil penentuan alternatif strategi pengembangan industri turunan


minyak sawit mentah di Indonesia oleh para pakar
Pakar
AJ AS EH TS SH FH
Alternatif strategi
Penyederhanaan Perijinan   
Penyiapan Infrastruktur   
Insentif Perpajakan  
Dukungan Moneter 
Komitmen Pemerintah    
Kepastian Pasar  

Alternatif strategi dari para pakar ini mempunyai kesesuaian dengan faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap percepatan pengembangan industri hilir
perkebunan di Indonesi, yaitu (1) pajak pertambahan nilai yaitu pengenaan pajak
dilakukan di setiap penyerahan barang mulai dari bahan baku hingga produk hilir,
(2) insentif investasi, yaitu adanya keringanan pajak untuk investasi di industri
hilir perkebunan, (3) harmonisasi tarif, yaitu pengenaan tarif import yang berbeda-
beda untuk produk hilir dan bahan baku, dan (4) konsistensi dukungan
pemerintah, yaitu adanya keberpihakan atau prioritas terhadap pengembangan
industri hilir dari waktu ke waktu tanpa terpengaruh pergantian pemerintah atau
kabinet (Suprihatini et al. 2004).

Verifikasi Hambatan Dayasaing Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Dengan panduan kisi-kisi kuestioner yang didapat dari analisis Berlian


Porter dilakukan pendalaman serta verifikasi untuk faktor yang belum mendukung
dari kondisi dayasaing industri turunan minyak sawit mentah.

 Moratorium pembukaan lahan baru pada hutan produksi

Adanya pembatasan pembukaan lahan baru kebun kelapa sawit sejak tahun
2011, belum menjadi halangan besar untuk terus memanfaatkan hasil CPO dan
PKO di dalam negeri menjadi produk turunan dengan nilai ekonomi yang lebih
tinggi. Hasil verifikasi dari pendapat para pakar didapatkan menurut Dr. Ir.
Angga Jatmika, MS sebagai Ahli Kelapa Sawit PPKS-RNI:
“..... Adanya moratorium pembukaan lahan kelapa sawit pada hutan produksi
dan lahan gambut tidak secara significant berpengaruh pada pasokan bahan
baku CPO dan PKO sebagai sumber bahan baku utama industri oleokimia.
Penambahan masih dapat dilakukan secara intensifikasi dimana produktifitas
perkebunan rakyat dan swasta masih rendah dibandingkan dengan potensi
yang seharusnya dihasilkan......” (Hasil wawancara, 30 Maret 2015).
Adapun Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai Wakil Ketua MAKSI
menambahkan “..... Instruksi presiden yang melakukan pembatasan pembukaan
lahan kelapa sawit pada hutan produksi dan lahan gambut tidak secara langsung
67

belum mempengaruhi pengembangan industri oleokimia. Pasar oleokimia yang


oligopoli harus disiasati dengan strategi yang baik seperti melakukan kerjasama
dengan pelakunya sehingga pasarnya terus terjamin....” (Hasil wawancara, 6 April
2015). Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali sebagai Kepala SBRC-IPB mengatakan
“.....Moratorium pengembangan lahan sawit untuk saat ini belum mengganggu
pengembangan industri turunannya tetapi untuk kedepannya (5-10 tahun) perlu
perhitungan tersendiri.....” (Hasil wawancara, 9 April 2015). Dr. Ir. Tungkot
Sipayung sebagai Ketua PASPI menyatakan
“.... Moratorium mempunyai pengaruh pada jangka panjang di saat
kebutuhan minyak nabati dunia semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi
minyak jenis lain, saat ini berpengaruh positif untuk dapat mengerem nilai
jual CPO yang selama 1 tahun terakhir mengalami penurunan...” (Hasil
wawancara 5 Mei 2015).
Menurut Ir. Sri Hadisetyana, M.Si sebagai Kepala Sub. Direktorat Industri
Hasil Perkebunan Non Pangan Lainnya, Kementrian Perindustrian RI adalah
sebagai berikut “.....Melihat perkembangan industri oleokimia saat ini dan
pasokan feedstock (CPO dan PKO) yang ada, moratorium tidak berpengaruh
terhadap ketersediaannya...” (Hasil wawancara 16 Mei 2015) dan menurut Dr. Ir.
M. Fadhil Hasan sebagai Direktur Eksekutif GAPKI
“..... Kebijakan moratorium dalam pembukaan lahan kelapa sawit dalam
jangka pendek belum mempengaruhi pasokan bahan baku oleokimia, tetapi
untuk jangka panjang dengan semakin berkembangnya perkebunan kelapa
sawit di Brazilia dan Afrika jika tidak diantisipasi dengan pengembangan
pada lahan yang masih potensial (lahan tak terurus) posisi pemasok minyak
sawit akan terganggu...” (Hasil wawancara 25 September 2015.
Semua pakar berpendapat bahwa adanya moratorium lahan sawit saat ini
belum mempunyai dampak negatif terhadap pengembangan industri turunannya.
Karena jumlah yang dihasilkan dengan jumlah yang dimanfaatkan masih sangat
besar. Dalam jangka pendek kebijakan ini tidak akan mempersempit atau
mengurangi jumlah pasokan CPO dan PKO sebagai bahan baku utama industri
oleokimia. Berdasarkan proyeksi produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia
meskipun ada moratorium masih sangat mampu untuk memenuhi kebutuhan
industri oleokimia yang hanya sebesar 10% dari total produksi (GAPKI, 2014).

 Pasar oligopoli produk turunan oleokimia

Oleokimia sebagai produk antara yang akan dimanfaatkan menjadi produk


akhir mempunyai struktur pasar yang oligopoli dimana hanya sedikit industri yang
menjadi pemakainya. Sebagian besar pemain dari industri ini merupakan
perusahaan multinasional dengan jangkauan pasar sudah antar benua. Adanya
pasar ini menurut Dr. Ir. Angga Jatmika, MS sebagai Ahli Kelapa Sawit PPKS-
RNI “...Pasar oleokimia dari dulu berpola oligopoli hanya sedikit sasaran pasar
untuk itu pengembangan industri harus tepat dan dipastikan pada siapa produk
akan dijual....” (Hasil wawancara, 30 Maret 2015). Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA
sebagai Wakil Ketua MAKSI mengatakan “ ... Pasar oleokimia yang oligopoli
harus disiasati dengan strategi yang baik seperti melakukan kerjasama dengan
pelakunya sehingga pasarnya terus terjamin....” (Hasil wawancara, 6 April 2015).
Menurut Dr. Ir. Tungkot Sipayung sebagai Ketua PASPI
68

“...Posisi pasar produk turunan minyak sawit mentah khususnya


oleokimia yang oligopoli menjadi tantangan tersendiri bagi
produsennya tetapi harus diingat industri ini sangat terkait dengan
bahan bakunya dimana kestabilan baik harga maupun jumlah pasokan
menjadi faktor pembeda dengan produk lainya...” (Hasil wawancara 5
Mei 2015).
Ir. Sri Hadisetyana, M.Si sebagai Kepala Sub. Direktorat Industri Hasil
Perkebunan Non Pangan Lainnya, Kementrian Perindustrian RI mengatakan
“....Kondisi pasar oleokimia yang oligopoli secara real dilapangan masih
menunjukan adanya keterbukaan pasar, sehingga siapapun pemainnya jika dapat
memenuhi pasar terhadap kualitas, harga, dan ketepatan distribusi akan
memenangkan persaingan...” (Hasil wawancara 16 Mei 2015). Dr. Ir. M. Fadhil
Hasan sebagai Direktur Eksekutif GAPKI mengatakan “.....Pola pasar oleokimia
yang oligopoli merupakan bagian dari perhitungan awal investor dalam menembus
produk yang akan dipasarkan....” (Hasil wawancara 25 September 2015).
Berdasarkan informasi ini dapat diketahui bahwa semua pakar menyatakan
adanya pasar produk oleokimia yang oligopoli bukan halangan berarti untuk
mendirikan industri turunannya. Investor harus menyiasati dengan menerapkan
strategi yang cocok bagi perusahaannya.

 Lemahnya penelitian dan pengembangan industri produk turunan oleokimia

Industri oleokimia sangat memerlukan adanya dukungan penelitian dan


pengembangan sebagai basis untuk bergeraknya. Saat ini kondisi puenelitian dan
pengembangan di Indonesia khususnya untuk industri oleokimia masih sangat
terbatas. Menanggapi kondisi ini para pakar menyatakan hampir semua kondisi ini
bukan menjadi halangan untuk berkembangan industri turunan minyak sawit
mentah.
Pendapat dari Dr. Ir. Angga Jatmika, MS sebagai Ahli Kelapa Sawit PPKS-
RNI “...Hasil penelitian kita cukup banyak tetapi baru sebagian besar sebatas
laboratotium perlu pengembangan lebih lanjut untuk implementasi dilapangan...”
(Hasil wawancara, 30 Maret 2015). Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali sebagai Kepala
SBRC-IPB mengatakan “....Penelitian sebagai menyokong berdirinya industri
oleokimia belum menjadi kekuatan banyak penelitian sebatas laboratorium belum
ada dukungan pemerintah untuk tuntas dan konsisten dari awal sampai akhir...”
(Hasil wawancara, 9 April 2015). Ir. Sri Hadisetyana, M.Si sebagai Kepala Sub.
Direktorat Industri Hasil Perkebunan Non Pangan Lainnya, Kementrian
Perindustrian RI mengatakan bahwa “.....Penelitian belum mendukung tetapi hal
ini menjadi bagian dari komitmen pemeritah yang menugaskan lembaga-lembaga
penelitian dalam negeri guna meningkatkan dayasaing berdirinya industri ini...”
(Hasil wawancara 16 Mei 2015). dan Dr. Ir. Tungkot Sipayung sebagai Ketua
PASPI mengatakan
“....Kekuatan penelitian dan pengembangan dalam industri turunan minyak
sawit merupakan bagian dari komitmen pemerintah, Di Indonesia hal ini
belum kuat tetapi dengan keterbukaan informasi, kekuatan modal dan
ketersediaan bahan baku utama yang berlimpah dalam proses hilirisasi
industri minyak kelapa sawit tidak menjadi persoalan. Teknologi dan inovasi
produk dapat dibeli atau melakukan kerjasama operasi dengan pemiliknya
....” (Hasil wawancara 5 Mei 2015).
69

Pendapat dari para pakar menunjukkan bahwa lemahnya penelitian saat ini
secara umum belum mendukung tetapi untuk pengembangan industri turunan
Hasil untuk komponen utama dan penunjang yang belum mendukung dan tidak
masuk alternatif strategi, yaitu kondisi hasil penelitian dan pengembangan yang
belum mendukung keberadaan industri oleokimia. Semua pakar mengungkapkan
bahwa adanya keterbukaan informasi dan kekuatan modal dapat memdukung
keberadaan industri oleokimia.

Faktor Pertimbangan Keberhasilan Alternatif Strategi Pengembangan


Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Alternatif strategi percepatan pengembangan industri minyak sawit mentah


di Indonesia yang terdiri atas langkah-langkah alternatif yang harus dilakukan
oleh pemangku kepentingan (stakeholder) tidak akan berjalan dengan baik jika
tidak mempertimbangkan faktor penentu yang terkait langsung dalam proses
pelaksanaan (implementasi) di lapangan.

 Biaya

Besarnya biaya atau ongkos yang harus dikeluarkann oleh calon investor
yang akan menanamkan modalnya di dalam negeri menjadi salah satu nilai daya
saing atau kemudahan berusaha dari suatu negara. Biaya yang harus dikeluarkan
pengusaha di Indonesia sebesar 19,9 % dari pendapatan per kapita (World Bank,
2015). Biaya ini lebih mahal dibandingkan negara lain. Malaysia pada waktu yang
sama hanya membutuhkan 6,7 % dari pendapatan per kapita dan Philipina 16,1 %
dari pendapatan per kapita. Di Slovenia pada waktu yang sama hanya
membutuhkan 0 % dari pendapatan per kapitanya. Hal ini menjadi urutan
kemudahan berusaha Indonesia pada posisi 109 pada tahun 2015. Demikian juga
menurut Tambunan (2006), hal utama terpenting yang mempengaruhi keputusan
investasi adalah biaya disamping resiko dan pembatasan persaingan.
Beberapa pakar mengungkapkan kaitan yang harus menjadi faktor
pertimbangan dalam pelaksanaan langkah alternatif percepatan pengembangan
industri minyak sawit mentah Indonesia. Menurut Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali
sebagai Kepala SBRC-IPB faktor yang menjadi pertimbangan adalah
“ .... Proses perijinan di Indonesia meskipun telah ditetapkan lama waktu
prosesnya serta biayanya dengan sistem pelayanan terpadu satu atap
kenyataan dilapangan tetap lama dan mahal. Karena untuk melewati satu
meja atau prosedur yang sudah ditetapkan investor harus menyiapkan
pemenuhan persyaratan yang diminta cukup maka. Misalnya pemberian IMB
(ijin mendirikan bangunan) yang 3 hari tetapi untuk memenuhi persyaratan
IMB itu investor harus memberikan pengesahan UKL-UPL (Upaya
Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) atau AMDAL
(Analisis Mengenahi Dampak Lingkungan) yang prosesnya bisa 5-6 bulan
sebelumnya dan biaya yang keluar berlipat-lipat dari yang dicantumkan
secara resmi. Hal ini tidak hanya terjadi pada perijinan saja, kegiatan lain
yang terkait dengan permintaan rekomendari dan permintaan insentif dari
instansi resmi akan selalu timbul ....” (Hasil wawancara, 9 April 2015).

 Waktu
70

Lamanya waktu memulai usaha mempunyai kesesuaian dengan indikator


kemudahan berusaha untuk suatu negara atau wilayah. Berdasarkan World Bank
(2015) kemudahan untuk memulai usaha di Indonesia membutuhkan waktu 47,8
hari. Nilai ini secara keseluruhan masih tertinggal jauh dari rata-rata negara-
negara anggota Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) yaitu 23 hari. Dengan
kondisi ini pengusaha di Indonesia harus menunggu 43 hari lebih lama
dibandingkan pengusaha di Malaysia dan menghabiskan hampir 2 kali lipat waktu
lebih lama dibandingkan pengusaha di Philipina untuk mendirikan usaha. Di
Selandia baru untuk memulai usaha hanya dibutuhkan 0,5 hari. Pendapat dari
Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali sebagai Kepala SBRC-IPB berkesesuaian dengan
kondisi ini meskipun lama waktu telah ditetapkan tetapi dilapangan masih lama
atau belum sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan khususnya menyangkut
layanan satu atap atau one shop services.

 Sumber daya manusia

Adanya moral hazard atau korupsi pada sumber daya manusia masih
menjadi penghalang masuknya investasi di Indonesia. Permasalahan utama dalam
berusaha di Indonesia didominasi oleh sikap mental sumber daya manusia yaitu
korupsi sebesar 11,7 % dan inefisiensi birokrasi pemerintah 10,6% (WEF, 2015).
Survey ASEAN-BAC (ASEAN-Business Advisory Council) pada tahun 2011-
2012, sebanyak 405 pengusaha mengatakan faktor utama penghalang investasi di
Indonesia adalah korupsi. Indeks korupsi di Indonesia tertinggi dari 10 negara
ASEAN lainnya. Indek korupsi Indonesia sebesar 3.90 disusul Filipina sebesar
3,86 dan Thailand sebesar 3.78. (Radiawati, 2012).
Pakar lain mengungkapkan bahwa “ ... Pertimbangan para investor untuk
melakukan investasi pada suatu negara atau daerah adalah kompetansi dan moral
hazard para penyelenggara atau mangku kepentingan yang melaksanakan
kegiatan dilapangan. Sebagus apapun rencana dan program yang telah dibuat jika
sumber daya manusia tidak berkompeten dan memiliki moral hazard dapat
dipastikan tidak jalan baik....” (Sipayung, 5 Mei 2015).
Berdasarkan informasi diatas dapat disimpulkan bahwa sumber daya
manusia yang merupakan pelaku yang akan melaksanakan kegiatan dilapangan
yang dimulai dari petugas pemerintah sampai manajemen yang akan menjalankan
proses pembangunan percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah di Indonesia sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Sumber daya
manusia ini menyangkut kondisi dari kompetensi sampai moral hazard-nya.

Strategi Percepatan

Penyusunan Hirarki Proses Percepatan Pengembangan Industri Turunan


Minyak Sawit Mentah Di Indonesia

Industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia menjadi salah satu


penopang keberlanjutan (sustainability) industri perkelapa-sawitan secara
keseluruhan. Adanya fluktuasi harga produk minyak sawit yang tajam dan
71

tantangan kampanye negatif dari Uni Eropa dan Amerika Serikat pendirian
industri turunan dengan beragam jenis produk merupakan langkah yang strategis.
Disamping mengamankan industri perkelapa-sawitan yang telah ada, program
hilirisasi ini akan memberikan nilai tambah didalam negeri dan penyerapan tenaga
kerja. Khusus industri oleokimia yang merupakan industri antara keberhasilan
pada industri ini akan berdampak pada industri hilir lainnya. Sehingga
mempercepat terwujud pengembangan industri turunan minyak sawit mentah
menjadi agenda penting baik bagi pemerintah maupun pelaku usaha terkait.
Penetapan alternatif strategi percepatan pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah merupakan salah satu langkah untuk menentukan tindakan
atau program apa yang berperan penting dalam mempercepat terwujudnya industri
turunan minyak sawit di Indonesia. Alternatif strategi guna mempercepat
terwujutnya industri ini dihimpun dari para pakar yang terdiri atas
penyederhanaan perijinan, penyiapan infrastruktur, insentif perpajakan, dukungan
moneter, komitmen pemerintah, serta kepastian pasar. Adapun faktor
pertimbangan yang mempengaruhi keberhasilan alternatif strategi adalah biaya,
waktu, dan sumber daya manusia. Hasil dari penetapan alternatif strategi dapat
disusun struktur hirarki percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah di Indonesia. Struktur hirarki yang menerangkan hubungan antara tujuan,
faktor pertimbangan, dan langkah strategis ada pada Gambar 11.

Strategi Percepatan Pengembangan Industri Turunan


Fokus
Minyak Sawit Mentah Di Indonesia

Mempercepat Berdiri/Terbentuknya Industri


Tujuan
Turunan Minyak Sawit Mentah

Faktor
Biaya Waktu Sumberdaya Manusia
Pertimbangan
Penyederhanaan Perijinan

Pernyiapan Infrasstuktur

Komitmen Pemerintah
Insentif perpakakan

Dukungan Moneter

Kepastian pasar

Langkah-
langkah Strategi

Gambar 11. Struktur hierarki percepatan pengembangan industri turunan minyak


sawit mentah Indonesia
72

Struktur hirarki strategi percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit


mentah di Indonesia, menggambarkan bahwa tiap tingkatan atau level mempunyai
fungsi yang berbeda:

Level 1 merupakan tujuan dari strategi percepatan pengembangan industri turunan


minyak sawit mentah yaitu mempercepat berdirinya/terbentuknya industri.

Level 2 adalah faktor pembatas yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan


industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia. Faktor ini ditentukan dari
pendapat para pakar yang telah dihimpun sebelumnya.
- Faktor biaya; besarnya biaya atau cost yang harus ditanggung atau ditopang
para pelaku (pengusaha/investor, lembaga peneliti, dan pemerintah) akibat
adanya kegiatan dalam mewujudkan terbentuknya industri turunan minyak
sawit mentah.
- Faktor waktu; adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk terwujudnya
industri turunan minyak sawit mentah. Waktu merupakan salah satu
pertimbangan dalam beroperasinya industri turunan minyak sawit mentah,
waktu yang lama akan memberikan beban serta hilangnya momen yang tepat
dalam menyongsong keberadaan industri yang akan dibangun.
- Faktor sumberdaya manusia; merupakan faktor yang cukup kritis dalam
implementasi industri turunan minyak sawit mentah. Faktor ini terkait pada
sikap mental manusia yang melingkupinya seperti kejujuran, kedisiplinan,
kompetensi dan adanya mental koruptif yang sangat menghambat dalam proses
pengembangan industri turunan minyak kelapa sawit.

Level 3 untuk menentukan alternatif langkah-langkah strategi pengembangan


industri turunan minyak kelapa sawit mentah. Langkah ini dianalisis dari
rangkuman pendapat para ahli yang telah dihimpun sebelumnya, yaitu:
- Penyederhanaan perijinan. Proses awal untuk terbentuknya industri turunan
minyak sawit mentah ini tidak bisa dipisahkan dari adanya perijinan yang
melibatkan para pemangku kepentingan atau stakeholder yang terdiri dari
pengusaha/investor, lembaga penelitian yang melakukan kajian kelayakan,
serta peran utama dari pemerintah untuk mengeluarkan surat persetujuan dan
rekomendasi terhadap keberadaan industri ini. Proses perijinan di Indonesia
dengan adanya otonomi daerah memberikan tahapan ijin secara berlapis dan
kadang kala saling tumpang tindih dengan proses yang lama dan biaya tidak
sedikit, guna memperlancar dan mempercepat berdirinya industri turunan
minyak sawit dengan program debirokrasi, penyederhanaan dan mempermudah
proses perijinan.
- Penyiapan infrastruktur. Tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung
percepatan industri turunan minyak sawit dimana para investor tidak terbebani
lagi untuk membangunnya. Sampai saat ini sarana dan prasarana atau
infrastruktur untuk mendukung keberadaan industri masih banyak yang
disiapkan sendiri oleh investor karena memang lokasi berdirinya industri ini
biasa mempertimbangkan kedekatan dengan bahan baku dengan infrastruktur
yang belum tergarap baik oleh pemerintah. Dengan adanya road map hilirisasi
beberapa lokasi telah ditetapkan sebagai calon lokasi pengembangan industri
73

turunan minyak sawit tetapi kondisi saat ini juga belum semua infrastruktur
seperti jalan bebas hambatan, pelabuhan dengan tanki timbun yang memadai,
jaringan rel kereta api, jaringan listrik, dan jaringan telekomunikasi telah siap
untuk menampung industri yang akan berdiri.
- Insentif perpajakan. Pengembangan industri turunan minyak sawit memerlukan
investasi yang sangat besar dan pengembalian modal yang tidak cepat, Guna
lebih menarik minat investor untuk menanamkan modal yang besar pemerintah
perlu memberikan insentif perpajakan seperti tax holiday untuk perusahaan
dengan produk baru sampai bisa menguntungkan, tax allowance untuk
perusahaan yang masih merugi dengan adanya kebijakan pembebasan pajak
pertambahan nilai sampai perusahan menguntungkan, dan pemotongan pajak
pertambahan nilai (PPN) dari barang-barang modal yang didatangkan atau
disederhanakan dalam hirarki menjadi.
- Dukungan moneter. Lamanya proses pengembalian investasi yang ditanamkan
memerlukan adanya kajian yang mendalam dan pertimbangan yang matang.
Guna memperkecil adanya ketidakpastian serta memperbesar adanya dukungan
dari lembaga keuangan sebaiknya ada dukungan moneter berupa penetapan
tingkat suku bunga untuk pendirian industri turunan ini lebih kompetitif dan
dibawah suku bunga komersial serta menjaga ketertarikan perbankan untuk
membiayai kebutuhan investasi dan kebutuhan operasional.
- Komitmen pemerintah. Industri turunan minyak sawit yang umumnya berskala
besar memerlukan adanya keajegan kondisi baik keamanan dan hukum. Semua
pelaku atau stakeholder harus mengikuti dan mematuhi tataran hukum yang
berlaku. Ekpresi dari keajegan keamanan dan hukum ini bagi pemerintah
terwujud berupa adanya komitmen pemerintah dalam mendukung terus
berkembangnya industri turunan minyak sawit mentah. Komitmen ini harus
tinggi khususnya dalam dukungan penyelidikan dan pengembangan (R&D) dan
adanya keberpihakan pemerintah dalam bentuk aturan mengembangkan
industri turunan minyak sawit yang berkelanjutan dalam jangka waktu
memadai (tidak berubah-ubah).
- Kepastian pasar. Produk industri turunan minyak sawit mempunyai ragam yang
sangat banyak, disamping itu industri ini merupakan industri antara dimana
produknya akan diolah kembali menjadi produk akhir. Disamping itu, hanya
beberapa industri besar saja yang menguasahi pasar produk akhir ini atau
oligopoli. Sehingga untuk menjadikan industri ini berkelanjutan maka produk
yang dihasilkan industri dapat bersaing dengan baik harus mempunyai
informasi yang lengkap dan rinci terhadap target pasar yang akan dituju dengan
jenis produknya.
Berdasarkan struktur hirarki, faktor pertimbangan, dan langkah strategis
yang telah diuraikan diatas maka disusun kuestioner analytical hierarcy process
(AHP) percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah
Indonesia. Kuestioner disusun dalam bentuk pertanyaan tertutup (closed
questioner) dengan skala perbandingan 1- 9. Hasil penyusunan kuestioner dapat
dilihat pada Lampiran 10.
74

Perhitungan AHP Percepatan Pengembangan Industri Turunan Minyak


Sawit Mentah

Perhitungan strategi percepatan pengembangan industri turunan minyak


sawit mentah menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan
responden sejumlah enam orang pakar (expert). Para ahli atau pakar yang menjadi
responden sebagai sampel dalam analisis AHP dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Daftar responden sample dalam analisis AHP percepatan


pengembangan industri turunan minyak sawit mentah Indonesia
No Nama Institusi Jabatan
1 Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA MAKSI Wakil Ketua
2 Dr Ir Angga Jatmika, MS PPKS-RNI Peneliti
3 Dr Ir Tungkot Sipayung PASPI Ketua
4 Ir. Sri Hadisetyana, M.Si Kementrian Kepala Sub.
Perindustrian RI Direktorat
Industri Hasil
Perkebunan Non
Pangan Lainnya
5 Rahmat, S.Sos. M.Si Kantor Pelayanan Kepala
Terpadu I Pintu,
Pasang Kayu
6 Ir Sudi Haryanto PT Tanjung Sarana Plant Manajer
Lestari (AAL Group) Industri Turunan
Minyak Sawit

Analisis data diawali dengan melakukan tabulasi hasil persepsi 6 (enam)


responden. Sebelum melakukan analisa lebih lanjut perhitungan tingkat
konsistensi dari pendapat yang dituliskan responden, jika ketidakkonsistensian
terjadi maka dilakukan pengulangan wawancara pada responden yang sama atau
membuang/menghilangkan pendapat dari responden yang tidak konsisten atau
derajat tidak konsistennya besar.
Perhitungan tingkat ratio konsistensi (CR) dari pendapat para responden
sebanyak 6 (enam) orang didapatkan nilai 0 – 0.021 untuk faktor penentu
pertimbangan investasi dan 0.003 - 0.005 untuk langkah-langkah alternatif
percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah. Dengan nilai
ratio konsistensi (CR) kurng dari 0.10 maka semua pendapat responden telah
konsisten dan dapat diuji lebih lanjut.
Teknik analisis data diawali dengan melakukan tabulasi hasil persepsi 6
(enam) responden lalu digabungkan melalui rata-rata geometrik yaitu nilai sentral
yang dianggap mewakili nilai seluruh data yang diperoleh dari perkalian
kualifikasi persepsi antar responden dan dicari pangkat dari jumlah responden.
Hasil dari penilaian gabungan ini kemudian diolah dengan prosedur AHP.
Perhitungan bobot untuk faktor biaya, waktu, dan sumber daya manusia
sebagai faktor penentu pertimbangan investasi berdirinya industri turunan minyak
sawit mentah. Langkah awal adalah membentuk matrik perbandingan berpasangan
(pairwise comparision) dari tabulasi rata-rata geometrik persepsi responden.
Matrik perbandingan berpasangan menunjukkan tingkat kepentingan setiap faktor
75

terhadap faktor lainnya. Eigen vektor utama merupakan bobot rasio dari masing-
masing faktor, hasil perhitungan eigen vektor/ sebagai perbandingan antar faktor
menunjukan bahwa faktor sumber daya manusia sebagai faktor utama dengan
nilai 0.39, menyusun biaya dengan nilai 0.35, dan waktu dengan nilai 0.25 (Tabel
20). Faktor sumber daya manusia adalah 0.39/0.35 = 1.11 kali lebih penting dari
faktor biaya, dan faktor biaya 0.35/0.25 = 1.38 kali lebih penting dari waktu.
Sebaran ini menunjukan tidak ada yang dominan antara faktor relatif mempunyai
kepentingan yang sama.

Tabel 20. Hasil perhitungan bobot faktor penentu pertimbangan percepatan


pengembangan industri turunan minyak sawit mentah
Faktor Bobot Urutan
Biaya 0.35 2
Waktu 0.25 3
Sumber daya manusia 0.39 1
Tingkat konsistensi (CR= 0) n=6

Sumber daya manusia yang meliputi kemampuan/kompetensi dan moral


hazard (sikap korupsi) dianggap stakeholder memiliki peranan yang paling
penting (tinggi). Hal ini sesuai dengan survai yang dilakukan oleh World
Economy Forum (2015) bahwa persoalan terbesar dalam memulai usaha di
Indonesia adalah korupsi dengan skor 11.7 dan diikuti inefisiansi birokrasi
pemerintahan dengan skor 10.6. Kedua kondisi ini disebabkan oleh faktor sumber
daya manusia yang mengoperasionalkan. Berdasarkan pendapat para
pengusahapun faktor utama penghalang investasi di Indonesia adalah korupsi.
Menurut indeks korupsi di Indonesia tertinggi dari 10 negara ASEAN lainnya.
Indek korupsi Indonesia sebesar 3.90 disusul Filipina sebesar 3.86 dan Thailand
sebesar 3.78 (Radiawati 2012). Selain adanya moral hazard, produktifitas sumber
daya manusia di Indonesia juga masih menjadi kendala. Tinggat produktifitas
tenaga kerja saat ini sama dengan kondisi Jepang pada tahun 1970 dan ditingkat
ASEAN masih berada dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Tingkat
produktifitas Indonesia pada tahun 2012 sebesar 20 ribu US $ (APO 2015).
Faktor biaya dalam proses pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah dianggap stakeholders mempunyai tingkat kepentingan yang cukup tinggi
dengan nilai 0.35. Biaya ini merupakan besarnya ongkos yang harus keluar dalam
rangka proses pendirian industri khususnya dalam memulai usaha. Hasil dari
survai World Bank (2012) untuk mendirikan usaha baru di Indonesia diperlukan
biaya sebesar 22 % pendapatan per kapita, rata-rata biaya untuk mendirikan usaha
ini nyaris mencapai 3 kali lipat lebih tinggi dari negara di Asia Pasifik. Biaya
notaris merupakan biaya terbesar yaitu separuh dari biaya keseluruhan.
Waktu yang dibutuhkan untuk mendirikan usaha merupakan faktor yang
dianggap cukup menentukan dalam mendirikan usaha baru oleh para stakeholders.
Nilai bobot kepentingan faktor ini adalah 0.25. Saat ini waktu yang dihabiskan
para pengusaha untuk mendirikan usaha adalah 33 hari. Sehingga pengusaha di
Indonesia harus menunggu 1 bulan lebih lama dibandingkan pengusaha di
Malaysia dan menghabiskan 4 kali lipat waktu lebih lama dibandingkan
pengusaha di Thailand untuk mendirikan usaha (World Bank 2012).
76

Langkah Prioritas Percepatan Pengembangan Industri Turunan Minyak


Sawit Mentah Di Indonesia

Alternatif strategi percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit


mentah ditentukan para pakar. Langkah alternatif percepatan pengembangan
industri minyak sawit mentah terdiri atas penyederhanaan perijinan, penyiapan
infrastruktur, insentif perpajakan, dukungan moneter, komitmen pemerintah, dan
kepastian pasar. Hasil perhitungan AHP untuk langkah alternatif percepatan
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah dengan memperhatikan
faktor penentu didapatkan nilai prioritas pelaksanaan seperti pada Tabel 21

Tabel 21. Hasil perhitungan AHP strategi percepatan pengembangan industri


turunan minyak sawit mentah
Alternatif Strategi Bobot Prioritas
Penyederhanaan Perijinan 0.11297 5
Penyiapan Infrastruktur 0.17055 3
Insentif Pajak 0.07159 6
Dukungan Moneter 0.13191 4
Komitmen pemerintah 0.30718 1
Kepastian pasar 0.20580 2
Tingkat konsistensi (CR= 0.005) n=6

Prioritas pilihan strategi percepatan pengembangan industri turunan minyak


sawit mentah di Indonesia, adalah: 1) Komitmen pemerintah; 2) Kepastian pasar;
3) Penyiapan infrastruktur; 4) Dukungan Moneter; 5) Penyederhanaan perijinan;
6) Insentif pajak. Formasi strategi percepatan pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah di Indonesia disajikan pada Gambar 12.

Kepastian Pasar 7% 4% 9%

Komitmen pemerintah 10% 9% 12%

Dukungan Moneter 5% 4% 4%

Insentif Perpajakan 2% 2% 2%

Penyiapan
Infrastruktur
6% 4% 7%

Penyederhanaan
Perijinan
4% 3% 5%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%


Biaya Waktu SDM

Gambar 12. Formasi hierarki strategy percepatan pengembangan industri turunan


minyak sawit mentah di Indonesia

Prioritas utama untuk mempercepat pengembangan industri turunan minyak


sawit mentah di Indonesia adalah adanya komitmen pemerintah dengan bobot
77

tertinggi 0.31 (Tabel 21). Hal ini menunjukan semua stakeholder memandang
bahwa industri turunan minyak sawit mentah yang membutuhkan investasi besar
dengan resiko tinggi dan pengembalian modal usaha rendah memerlukan
dukungan konsistensi pemerintah secara nyata. Komitmen pemerintah merupakan
bagian penting dari wujud kepercayaan investor akan stabilitas keamanan modal
yang ditanamkan, dalam industri turunan minyak sawit mentah biasanya
diwujudkan berupa peraturan atau keputusan hukum. Dampak adanya komitmen
pemerintah yang baik dalam mendorong terjadinya hilirisasi atau pengembangan
lebih lanjut dari minyak sawit mentah adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri
Keuangan nomor 128/ PMK.011/2011 tentang bea keluar produk dan turunan
minyak kelapa sawit. Sejak saat itu, industri turunan minyak kelapa sawit yang
stagnan mulai bergairah dan banyak pengusaha yang melakukan penambahan
kapasitas produksi ataupun mendirikan industri baru. Tetapi dilain pihak ada
kebijakan pemerintah dalam penerapan pemakaian biodiesel didalam negeri
sampai saat ini belum menunjukkan hal yang positif, jadwal B-10 yang harus
tuntas dalam tahun 2015 belum dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah dan
Pertamina. Kedua hal ini menjadikan kegamangan para investor untuk
menanamkan modal akibat ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan
ketentuan perundangan yang telah ditetapkan.

Analisis Sensitifitas AHP Percepatan Pengembangan Industri Turunan


Minyak Sawit Mentah

Guna melihat validitas model AHP dan menerapan kebijakan yang sesuai
dengan tujuan, maka dilakukan analisa sensitivitas AHP terhadap masing-masing
faktor dari setiap alternatif strategi yang diteliti. Analisis sensitivitas dilakukan
dengan menurunkan dan menaikkan bobot dengan kondisi ekstrim pada kriteria
dan subkriteria tidak merubah urutan alternatif strategi.
Hasil analisis sensitifitas dengan menurunkan faktur penentu biaya sampai -
30% menunjukan peningkatan bobot pada beberapa alternatif tetapi mempunyai
urutan prioritas yang sama. Penurunan faktor waktu sebesar -20% mengakibatkan
adanya penurunan pada alternatif komitmen pemerintah dan meningkatkan
kepastian pasar, urutan prioritas tetap sama. Peningkatan faktor penentu sumber
daya manusia sebesar 60% menunjukan adanya peningkatan yang tinggi pada
kepastian pasar. Urutan prioritas tetap sama dengan komitmen pemerintah sebagai
prioritas utama dalam percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah di Indonesia (Tabel 22).

Tabel 22. Hasil analisis sensitifitas AHP percepatan pengembangan industri


turunan minyak sawit mentah
Biaya Waktu SDM
Alternatif Strategi Urutan
-30% -20% 60%
Penyederhanaan Perijinan 0.11 0.11 0.12 4
Penyiapan Infrastruktur 0.17 0.17 0.17 3
Insentif Perpajakan 0.07 0.07 0.06 6
Dukungan Moneter 0.12 0.13 0.11 5
Komitmen pemerintah 0.31 0.30 0.30 1
Kepastian Pasar 0.21 0.22 0.24 2
78

Dari analisa sensitivitas ini menunjukkan model AHP yang disusun telah
valid. Karena berapapun perubahan yang terjadi pada semua kriteria tidak ada
perubahan terhadap urutan prioritas alternatif strategi.

Implikasi Kebijakan

Industri perkelapa-sawitan memiliki peran penting pada perekonomian


Indonesia sebagai penghasil devisa terbesar disektor non migas. Industri kelapa
minyak sawit mampu menyerap 6 juta tenaga kerja mulai dari tingkat perkebunan
sampai industri pengolahan produk turunannya (Sipayung, 2012). Pemanfaatan
minyak kelapa sawit mentah (CPO dan PKO) sebagai bahan baku industri
memberikan multiplier effect sub sektor ekonomi lainnya, pengembangan
wilayah, proses alih teknologi, perluasan lapangan kerja, perolehan devisa, dan
penerimaan pajak. Lambannya proses terbentuknya industri turunan minyak sawit
perlu langkah strategi percepatan pengembangannya.
Langkah percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah
dengan prioritas strategi memantabkan berjalannya komitmen pemerintah untuk
selalu tetap berpihak dan mendukung terjadinya pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah. Hal ini mensyaratkan semua pemangku kepentingan
(stakeholder) dari pusat sampai daerah harus turut serta dalam mengawal dan
nemjalankan tata aturan yang telah ditetapkan sampai terimplementasikan di
lapangan.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dijawab tujuan penelitian mengenai


strategi percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah
Indonesia sebagai berikut:
1. Permasalahan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah di
Indonesia adalah adanya hasil penelitian belum dapat mendukung
pengembangan industri hilir minyak sawit, struktur pasar oleokimia bersifat
oligopoli, infrastruktur yang belum siap, pembatasan perluasan kebun sawit
(moratorium), dan adanya komitmen pemerintah kurang kuat dan tegas
khususnya pemakaian bahan bakar nabati (biodiesel).
2. Alternatif strategi percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah Indonesia terdiri atas penyederhanaan perijinan, penyiapan
infrastruktur, insentif perpajakan, dukungan moneter, komitmen pemerintah,
dan kepastian pasar.
3. Prioritas strategis pengembangan industri yang dilakukan adalah (1)
komitmen pemerintah, (2) kepastian pasar, (3) penyiapan infrastruktur, (4)
dukungan secara moneter, (5) penyederhanaan perijinan, dan (6) adanya
insentif pajak. Dengan urutan faktor penentu yang harus diperbaiki yaitu
sumber daya manusia, biaya, dan waktu.
79

Saran

Adapun saran yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sumber daya manusia sebagai faktor penentu pertimbangan tertinggi dalam
proses percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah
dengan unsur dominan adanya moral hazard. Sebaiknya pemerintah dalam
melakukan proses pelayanan. perijinan atau rekomendasi dengan pihak ketiga
sedapat mungkin membuat proses interaksi antar personil seminimal mungkin
misalnya dengan memanfaatkan teknologi informasi atau e-govermant.
2. Komitmen pemerintah sebagai prioritas utama dalam mendukung proses
percepatan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah sebaiknya
bukan terbatas pada program atau petunjuk pelaksanaan (julak) sebaiknya
tertuang dalam suatu produk hukum dengan kekuatan yang tinggi.
3. Karena keterbatasan penelitian, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan adanya hubungan antara alternatif
strategi yang dapat saling bersinergis atau anti sinergis. Tingkat hubungan
dan derajat hubungannya dapat dijadikan bahan untuk analisis proses
penyusunan prioritas dalam melakukan proses mempercepat pengembangan
turunan industri minyak sawit mentah Indonesia.
80

DAFTAR PUSTAKA

Adhitya I. 2014. Identifikasi Key Success Factors Sebagai Upaya


Mempertahankan Keunggulan Bersaing pada PT. Riwana. Jurnal Ilmu &
Riset Akuntansi Vol. 3 No. 6 (2014)
Agutino D. 2010. Karakteristik Harga dan Pengawasan KPPU Terhadap Industri
Oligopoli. Jurnal Persaingan Usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), Jakarta (ID): KPPU RI
Anggoro DD, Budi FS. 2008. Proses Gliserol Minyak Kelapa Sawit Menjadi
Mono dan Diacyl Gliserol dengan Pelarut N-Butanol dan Katalis MgO.
Reaktor, Vol. 12 No.1, Hal 22-28.
Anthony RN, Govindarajan V. 1992. Management Control System, Edisi ke-8.
Homewood, Illionis (US): Richard D. Irwin Inc.
[APO] Asian Productivity Organization. 2015. Productivity in the Asia-Pacific:
Past, Present, and Future. Tokyo (JP): Asian Productivity Organization.
[APROBI] Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia. 2009. Bahan Bakar Nabati di
Indonesia, Masa Lalu, Saat ini dan Era Mendatang. Disampaikan pada
Simposium Nasional Bioenergi, 23 November 2009, Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Arifinie FN. 2010. PTPN III Bangun Pabrik Pengolahan Minyak Inti Sawit.
[Internet] [Diakses tanggal 21 Februari 2013] Tersedia pada:
http://industri.kontan.co.id/news/ptpn-iii-bangun-pabrik-pengolahan-
minyak-inti-sawit-1
Arip MA, LS Yee, TS Feng. 2013. Assessing the Competitiveness of Malaysia
and Indonesia Palm Oil Related Industry. Jurnal World Review of
Business Research Vol. 3. No. 4. November 2013.
Aryanthi, D. 2013. Strategi Pengembangan Klaster Industri Kelapa Sawit
Indonesia Berbasiskan Konektifitas Perdagangan Dunia [Thesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta (ID): Badan
Pusat Statistik.
_______________________. 2011. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia
2011. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
_______________________. 2013. Statistik Indonesia 2012. Jakarta (ID): Badan
Pusat Statistik.
_______________________. 2013. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia
2012. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
_______________________. 2013. Statistika Kelapa Sawit Indonesia. Jakarta
(ID) : Badan Pusat Statistik.
_______________________. 2014. Volume dan Nilai Ekspor CPO dan Produk
Turunan CPO Tahun 2009-2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
_______________________. 2016. Statistik Ekspor-Impor Indonesia 2015.
[Internet] [Diakses tanggal 30 Maret 2016] Tersedia pada
https://www.bps.go.id/all_newtemplate.php.
[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2007. Peluang Investasi Industri
Oleokimia Tahun Anggaran 2007. [Internet] [Diakses tanggal 21 Februari
2013] Tersedia pada: http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/
81

userfiles/ppi/PELUANG%20INVESTASI%20INDUSTRI%20OLEOKIM
IA%20TAHUN%20ANGGARAN%202007.pdf.
Bogdan R. Taylor S.J. 1975. Introduction in Qualitative Research Method – A
Phenomenological Approach to Tha Social Sciences. New York (US):
John Wiley and Son.
Brunskill A. 2011. Current And Future Issues And Challenges For The
Oleochemical Industry. (Presentation) PIPOC Oleochemicals Conference
2011, KL Conference Centre, 15th November 2011. Kuala Lumpur (ML):
LMC International.
[CIC] Capricorn Indonesia Consult. 2012. Kluster Industri Oleochemical. Jakarta
(ID): PT Capricorn Indonesia Consult.
Cravens DW. 2000. Pemasaran Strategis Jirid 1(Terjemahan). Jakarta (ID):
Erlangga Pr.
David FR. 2009. Manajemen Strategis Konsep(Terjemahan). Jakarta (ID):
Salemba Empat.
Deng H, Runger G, Tuv E. 2011. Bias of importance measures for multi-valued
attributes and solutions. Proceedings of the 21st International Conference
on Artificial Neural Networks (ICANN).
Departemen Perindustrian RI. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa
Sawit. Jakarta (ID): Departemen Perindustrian RI.
________________________. 2009. Roadmap Industri Pengolahan CPO. Jakarta
(ID): Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen
Perindustrian RI.
________________________. 2010. Peta Panduan Pengembangan Klaster
Industri Prioritas Industri Berbasis Agro Tahun 2010-2004. Jakarta (ID):
Departemen Perindustrian RI.
Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007.
Panduan Penyusunan dan Pemeriksaan Dokumen UKL-UPL Perkebunan
Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementrian
Negara Lingkungan Hidup RI.
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan. 2009. Potensi Agroindustri
Kalimantan Selatan. [Internet] [Diakses tanggal 31 Januari 2013] Tersedia
pada: http://himatekin.wordpress. com /2011/04/25/potensi-kal-sel/.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Penguasaan Pasar Produksi Kelapa Sawit.
Jakarta(ID): Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian RI.
__________________________, 2010. Road Map Pembangunan Kelapa Sawit.
Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian RI.
__________________________. 2010. Statistik Perkebunan: Kelapa Sawit.
Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian RI.
[DMSI] Dewan Minyak Sawit Indonesia. 2010. Fakta Kelapa Sawit Indonesia.
Jakarta (ID): Dewan Minyak Sawit Indonesia.
__________________________________. 2012. Tentang Dewan Minyak Sawit
Indonesia [Internet] [Diakses tanggal 31 Januari 2013] Tersedia pada:
http://dmsi.or.id/aboutus.
Dradjat B. Bustomi H. 2009. Alternatif Strategi Pengembangan Ekspor Minyak
Sawit Indonesia. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 6 No.1 Maret
2009.
82

Ellyas. 2010. PT Ecogreen Oleochemicals Batam Plant. [Internet] [Diakses


tanggal 21 Februari 2013] Tersedia pada: http://blogger-
ellyas.blogspot.com/2010/ 03/pt-ecogreen-oleochemi cals-batam-
plant.html.
Ermawati T. Saptia Y. 2013. Kinerja Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol.7 No.2.
Fahmi I. 2013. Manajemen Strategis. Teori dan Aplikasi. Bandung (ID):
Penerbit Alfabeta.
Fauzi Y. Suseno G. Rahayu S. 2002. Kelapa Sawit. Edisi Revisi. Cetakan XIV.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Fayyadh A. 2013. Protes Pembatasan Impor, Negara Maju Dinilai Tidak Fair.
[Internet] [Diakses tanggal 21 Februari 2013] Tersedia pada:
http://news.fimadani.com/ read/2013/02/05/ protes-pembatasan-impor-
negara-maju-dinilai-tidak-fair/.
[GAPKI] Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. 2011.
Laporan Tengah Semester Perkebunan Sawit Di Indonesia. Jakarta (ID):
GAPKI.
___________________________________________________________. 2014.
Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 100 Tahun NKRI, Membangun
Kemandirian Ekonomi, Energi dan Pangan Secara Berkelanjutan. Bogor
(ID): Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia – PASPI.
Gaspersz V. 2001a. Total Quality Management. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka
Utama.
_________. 2001b. Analisa Unit Peningkatan Kualitas. Jakarta(ID): Gramedia
Pustaka Utama.
[GIMNI] Gabungan Industri Minyak Goreng Indonesia. 2011. Perkembangan dan
Kapasitas Industri Minyak Goreng di Indonesia. Jakarta)ID): GIMNI.
Hambali E. 2005. Pengembangan Klaster Industri Turunan Minyak Kelapa Sawit.
Bogor(ID): Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak
Sawit pada Berbagai Industri.
_________. 2009. Contribution of Higher Education and Research Institutions to
the Development of Palm Downstream Industrial Cluster. Presented in the
Development of Palm Downstream Worksop in Riau Province held at
Grand Melia Hotel on 24 June 2009. Surfactan and Bioenergy Research
Center, Bogor Agricultural University.
Hariadi B. 2005. Strategi manajemen: Strategi Memenangkan Perang Bisnis.
Malang (ID): Bayumedia Publishing.
Hasan F. 2011. Prospek dan Kendala Pengembangan Hilirisasi Minyak Kelapa
Sawit. Koran Kompas, 24 November 2011.
Hatten ML. Hatten KJ. 1997. Information System Strategic: Long Over due –
and still Not Here. Long Range Planning, 30(2):254-266.
Hazimah AH. 2012. Palm Oil: Going Beyond Basic Oleochemical. Palm Oil
Trade Fair Seminar Dusit Thani Hotel, Manila.
Hax AC, Majluf, NS. 1984. Strategic Management An Integrative Perspective.
Englewood Cliffs (UK): Prentice-Hall Inc.
Hill Charles WL, Gareth R. Jones 1998. Strategic Management : An Integrated
Approach, Fourth Edition, (US): Houghton Miffin Company.
83

Hidayat S, Marimin, Suryani A, Sukardi, Yani M. 2012. Model Identifikasi Risiko


dan Strategi Peningkatan Nilai Tambah pada Rantai Pasok Kelapa Sawit
Jurnal Teknik Industri, Vol. 14, No. 2, Desember 2012
Hubeis M. 2003. Pola Diseminasi Teknologi untuk UKM dalam Pengembangan
Agrobisnis. Paper pada Seminar Sehari Alih Teknologi dalam
Pengembangan UKM dan Agrobisnis : Jakarta
Hunger JD, Wheelen TL. 2003. Strategic Manajemen, Edition 5. Addision-
Wesley Publishing Company Inc. Julianto Agung (Peterjemah).
Manajemen Strategis. Yogyakarta (ID): Andi.
Hutabarat J. Huseini M. 2006. Pengantar Manajemen Strategik Kontemporer:
Strategik di Tengah Operasional. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo.
Horngren CT, Gary LS, William OS. 1996. Introduction to Management
Accounting. Edisis ke-10. New Jersey (US): Prentice Hall Inc.
Hwang CL, K Yoon. 1981. Multiple Attribute Decision Making Methods and
Applications. Berlin (DE): Springer.
ICIS. 2011. Oleochemicals: Oleochem users squeezed on rising prices. [Internet]
[Diakses tanggal 12 Desember 2013] Tersedia pada:
http://www.icis.com/resources/news/2011/ 02/07/9432231/oleochemicals-
oleochem-users-squeezed-on-rising-prices/
[INDEF] Institute for development of Econiomics and Finance. 2011. Outlook
Industri 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri. Jakarta
(ID): Kementrian Perindustrian Republik Indonesia.
Investor Daily Indonesia. 2012. APEC Tolak CPO Produk Ramah Lingkungan.
[Internet] [Diakses tanggal 21 Februari 2013] Tersedia pada:
http://www.investor.co.id/ agribusiness/apec-tolak-cpo-produk-ramah-
lingkungan/ 44558.
IOI. 2010. Acidchem International - 7th ICIS World – Oleochemicals Conference
2010, IOI Group.
Jaelani. 2011. Fraksinasi Metil Ester Olein Menggunakan Fractional Distillation
System untuk Menghasilkan Metil Ester Palmitat (C16). [Skripsi] Bogor
(ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Jiwan N. 2009. Political Economy Of The Indonesian Palm Oil Industry: A
Critical Analysis. Presentation at ISEAS Workshop on the Oil Palm
Controversy in Transnational Perspective. Singapore (SG): Institute of
Southeast Asian Studies.
Joni R. 2012. Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit terhadap
Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.
[Disertasi] Sekolah Pasca Sarjana Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Johnson RA, Wincern DW. 1982. Applied Multivariate Statistical Analysis. New
Jersey (US): Prentice Hal, Inc.
Kusmartata D, Setiawan HP. 2013. Bea Keluar Sawit, Antara Kepentingan
Ekonomi dan Nasionalisme. Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta (ID):
Kementrian Keuangan RI
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 Cetakan 1.
Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Kementrian Perdagangan. 2013. Statistik Perdagangan Indonesia. Jakarta (ID):
Kementrian Perdagangan RI.
84

Kementerian Perindustrian. 2015. Rencana Induk Pembangunan Industri


Nasional. Jakarta (ID): Pusat Komunikasi Publik, Kementerian
Perindustrian.
______________________. 2011. Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia. Jakarta
(ID): PT. Mitra Media Nusantara.
______________________. 2011. Outlook Industri 2012: Strategi Percepatan dan
Perluasan Agroindustri. Jakarta (ID): Kementerian Perindustrian.
______________________. 2011. Profile of Palm Cooking Oil Industry. Jakarta
(ID): PT. Mitra Media Nusantara.
______________________. 2013. Laporan Perkembangan Kemajuan Program
Kerja Kementerian Perindustrian Tahun 2004-2012. Jakarta (ID):
Kementrian Perindustrian RI.
Kementrian Pertanian. 2007. Prospek dan arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
Sawit. Edisi 2. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
__________________. 2013. Statistik Pertanian 2013. Jakarta (ID): Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian RI.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Edisi Pertama,
Jakarta (ID): UI-Press.
Maarif MS. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Jakarta (ID):
Grasindo.
Majalah Agrofram. 2013. Anti Sawit AS & Eropa Ngawur - Kampanye Busuk
Hambat CPO. [Internet] [Diakses tanggal 12 September 2014] Tersedia
pada: http://www.agrofarm.co.id/read/sawit/236/anti-sawit-as-eropa-
ngawur-kampanye-busuk-hambat-cpo/#. VlHm1FL5dVc.
Majalah Bisnis. 2013. Industri oleokimia kapasitas produksi diproyeksi tembus 4
juta ton. [internet] [Diakses tanggal 30 Desember 2014] Tersedia pada:
http://industri.bisnis.com/ read/20130514/257/138955/industri-oleokimia-
kapasitas-produksi-diproyeksi-tembus-4-juta-ton
____________. 2014. Industri Minyak Sawit Dominasi 70% Ekspor. [internet]
[Diakses tanggal 12 September 2014] Tersedia pada: http://bisnis.com/.
Majalah Kina. 2012. Mengejar Nilai Tambah dengan Hilirisasi Industri Agro.
Jakarta (ID): Majalah Kina Edisi 1 – 2012.
Majalah Tropis. 2011. ISPO: Perkuat Posisi Indonesia di Pasar Global. Jakarta
(ID): Majalah Tropis Edisi 3/Tahun IV/2011
[MAKSI] Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia. 2011. Profil Masyarakat
Perkelapa-Sawitan Indonesia (MAKSI). Bogor (ID): MAKSI.
Mangoensoekarjo S. 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Cetakan I.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.
Markis MS. 2006. Validation of Simulation Based Models: A Theoretical
Outlook. The Electronic Journal of Business Research Methods, Volume 4
Issue 1, pp 39-46, 2006.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta (ID): Grasindo.
Miles MB, Huberman AM. 1984. Qualitative data Analysis: A Source book of
New Members, California (US): Beverly Hills.
Mintzberg H. 1995. Strategic Process. Manila (PH): Printice Hall, Manila.
85

Montgomery D. 1998. Pengentar Pengendalian Kualitas Statistik. Yogjakarta


(ID): Gajah Mada University Press.
[Malaysia Palm Oil Board] MPOB. 2014. Seranai Kod dan Nama Produk Sawit.
[internet] [Diakses tanggal 1 September 2014] Tersedia pada:
http://sunfire.mpob.com.my/ eqc/senarai_produk.php.
Nayantakaningtyas JS, Daryanto HK. 2012. Daya Saing dan Strategi
Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia. Jurnal Manajemen &
Agribisnis, Vol. 9 No. 3, November 2012.
Oil World. 2009-2013. Oil World Statistic. Hamburg (DE): ISTA Mielke GmbH.
Pearce JA, Robinson RB. 2005. Strategic Management: Formulation,
Implementation, and Control 9th edition. New York (US): McGraw-
Hill/Irwin.
Perizade B. 2013. Pengembangan Keunggulan Komparatif Bangsa Dalam
Kemitraan Global. Surakarta (ID): Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Rekonstruksi Ilmu-ilmu Sosial Indonesia dalam Pengembangan
Pranata Sosial dan Modal Sosial Menuju Masa Depan Indonesia yang
Beradab, Adil, dan Makmur.
Perizade B, A Mulyana. 2014. Strategi Percepatan Pengembangan Industri Hilir
Karet dan Sawit di Sumatera Selatan. Jurnal Manajemen dan Bisnis
Sriwijaya Vol.12 No.2 Juni 2014
Pohan I. 2011. Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir.
Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Porter MA. 1996. What is Strategy? New York (US): Harvard Business Review.
_________. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York (US):
Harvard Business Review.
_________. 1985. Competitive Advantage: Creating and sustaining superior
performance, New York (US): The Free Press.
_________. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries
And Competitors, New York (US): The Free Press.
[PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2012. Profil PPKS. [internet] [Diakses
pada 8 Juli 2012] Tersedia pada: http://www.iopri.org/tentang-ppks/profil.
[PUSDATIN] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook
Komoditi Kelapa Sawit. Jakarta(ID): Sekretaris Jendral-Kementrian
Pertanian.
Radiawati R. 2012. Korupsi Masih Jadi Penghalang Investasi. Harian Merdeka,
Sabtu 7 April 2012 [internet] [Diakses tanggal 12 September 2014]
Tersedia pada: http://www. merdeka.com/uang/korupsi-masih-jadi-
penghalang-investasi.html
Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta (ID):
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rifai N, Y Syaukat, H Siregar, E. Gumbira-Sa‟id. 2014. Dampak Pengembangan
Produk Turunan Minyak Sawit Terhadap Peningkatan Ekspor Produk
Minyak Sawit Ke Pasar Amerika Serikat. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 32
No. 2, Oktober 2014: 107-125
Rupilius W, S Ahmad. 2007a. The Changing World of Oleochemicals. Kuala
Lumpur (ML): Malaysian Palm Oil Board (MPOB).
86

__________________. 2007b. Palm Oil and Palm Kernel Oil as Raw Materials
for Basic Oleochemicals and Biodiesel. Eur. J. Lipid Sci. Technol. 109
(2007).
Saaty TL. 1977. Scaling Method for Priorities in Hierarchical Structure. J. Mathe.
Psycho. 5(3):234-281
Saaty TL. 1990. How to Make a Decision: The Analytic Hierarchy Process. Euro.
J. Operat. Rese. 48: 9-26
Saaty TL. 2008. Decision Making with The Analytic Hierarchy Process. Int. J.
Servi. Sciences, 1(1):83-98
Salusu J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit. Jakarta (ID): Grasindo.
Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit. Edisi revisi. Cetakan I. Yogyakarta (ID):
Penerbit Kanisius.
Sipayung T, Purba JHV. 2015. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor (ID):
PASPI.
Sipayung T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor (ID): IPB Press.
Subagyo P. 2000. Manajemen Operasi. Yogjakarta (ID): BPFE.
Subiyanto. 2011. Pemetaan Teknologi Industri Kelapa Sawit Nasional Dan
Kebijakan Pengembangannya. Jakarta (ID): Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia Vol. 13, No. 1, April 2011.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung (ID): Penerbit Alfabeta.
Suprihatini R, B Drajat, U Fajar. 2004. Kebijakan Percepatan Pengembangan
Industri Hilir Perkebunan: Kasus Teh dan Sawit. Jurnal AKP, Volume 2
No. 1. Maret 2004.
Supriyanto B. 2013. Hilirisasi Industri Sawit, Kontribusi Produk Turunan CPO
untuk Tekan Defisit Perdagangan. [internet] [Diakses tanggal 12 Januari
2014] Tersedia pada: http://market.bisnis.com/read/20140419/192/
220562/hilirisasi-industri-sawit-kontri-busi-produk-turunan-CPO-untuk-
tekan-defisit-perdagangan
Suryani A. 2005. Kontribusi SRDC (Surfactant Research And Development)
LPPM-IPB Untuk Pengembangan Industri Oleokimia Di Indonesia.
Didalam Proseding Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis
Minyak Sawit Pada Industri. 24 November 2005. Bogor (ID): Kampus
IPB Darmaga Bogor.
Susila WR. 2004. Contribution of Oil Palm Industry to Economic Growth and
Poverty Alleviation Indonesia. Jakarta (ID): Jurnal Litbang Pertanian
23(3).
Tambunan T. 2006. Iklim Investasi Di Indonesia: Masalah, Tantangan Dan
Potensi. [internet] [Diakses tanggal 12 Januari 2014] Tersedia pada:
http://kadin-indonesia.or.id.
Teoh CH. 2010. Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector. International
Finance Corporation, World Bank Group.
Thomson AA, Strickland AJ, Gamble JE. 2005. Crafting and Executing Strategy:
The Quest for Competitive Advantage 14th edition. . New York(US):
McGraw-Hill/Irwin.
[USDA] United States Department of Agriculture , Foreign Agricultural Service.
2015. Oilseeds: World Markets and Trade. Washington DC (US): USDA.
87

Vredenbergt J. 1985. Pengantar Metodologi untuk Ilmu-Ilmu Sosial


(Terjemahan). Jakarta (ID): PT. Gramedia.
Wahyudi AS. 1996. Manajemen Strategik. Jakarta (ID): Binarupa Aksara.
[WEF] World Economic Forum. 2015. The Global Competitiveness Report
2015–2016. Geneva (CH): World Economic Forum.
Widiastuti S. 2013. Diversifikasi Produk Industri Hilir Kelapa Sawit. Makalah
Seminar oleh Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan (ID): PPKS.
Widjaja FO, Bangun D, dan Sinaga SM. 2013. Peluang dan Tantangan Industri
Minyak Sawit Indonesia. POIDeC 2013, Hotel Gran Melia Jakarta, 16
Oktober 2013.
Wiharjanto R. 2013. Analisis Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit
Pada PT SMART Tbk [Thesis]. Yogjakarta(ID): Universitas Gadjah
Mada.
Wisena BA, Daryanto A, Arifin B, Octaviani R. 2014. Sustainable Development
Strategy and the Competitiveness of Indonesian Palm Oil Industry.
International Journal of Managerial Studies and Research (IJMSR)
Volume 2, Issue 10, November 2014
World Bank. 2015. Doing business 2016 measuring regulatory quality and
efficiency. Washington DC (US): World Bank and International Finance
Corporation.
Yoyo. 2013. Analisis Kesenjangan Industri Asam Lemak dan Alkohol Lemak
Berbasis Minyak KelapavSawit di Indonesia dan Proyeksi Produksi dan
Konsumsinya [Thesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
88

LAMPIRAN
89

Lampiran 1. Produk turunan minyak sawit mentah Malaysia

No. Kode Produksi Nama Produk


1 BPL B Palm Olein
2 BPO B Palm Oil
3 BPS B Palm Stearin
4 CO Cooking Oil
5 CPL Crude Palm Olein
6 CPO Crude Palm Oil
7 CPO ISCC CPO Int Sustainability N Carbon Certification
8 CPO MB CPO For Rspo From Mass Balance
9 CPO SG CPO For Rspo From Segregated
10 CPS Crude Palm Stearin
11 DFPL Double Fract. Palm Olein
12 DFRBDPL Double Fract. RBD Palm Olein
13 DFRDBPS Double Fract. RBD Palm Stearin
14 DPL Degummed Palm Olein
15 DPO Degummed Palm Oil
16 DPST Degummed Palm Stearin
17 DRBDPO Denaturate RBD Palm Oil
18 HCBST Crude HB Stearin
19 HDFPL H Double Fract. Palm Olein
20 HFFAPO High FFA Oil
21 HNPL Hn Palm Olein
22 HPFAD H Palm Fatty Acid Distillate
23 HPL H Palm Olein
24 HPMF H Palm Mid Fraction
25 HPO H Palm Oil
26 HPPS HB Palm Stearin
27 HPS H / Hardened Palm Stearin ( Flakes )
28 HRBDDFL HRBD Double Fract. Olein
29 HRBDPL HRBD Palm Olein
30 HRBDPO HRBD Palm Oil
31 HRBDSF HRBD Stearin Flakes
32 HRBDST HRBD Stearin
33 IMPF Interestertified Mixed Palm / P.K Oil Based Fats
34 IMVO Interestertified Mixed Oil / Veg. Oil
35 INTER PL Interestertified Palm Olein
36 INTER PO Interestified Palm Oil
37 INTERPST Interestified Palm Stearin
38 JGQ RBDPO Jgq Rbd Palm Oil
39 MVO_RBDPL Mixed Veg. Oil-Rbd Palm Olein
40 MVO_RBDPO Mixed Veg. Oil-Rbd Palm Oil
90

No. Kode Produksi Nama Produk


41 MVO_RBDPS Mixed Veg Oil-Rbd Palm Stearin
42 NBDHPL NBDH Palm Olein
43 NBDHPO NBDH Palm Oil
44 NBDHPS NBDH Palm Stearin
45 NBDPL NBD Palm Olein
46 NBDPO3 NBD Palm Oil-3 Red Max
47 NBDPO6 NBD Palm Oil-6 Red Max
48 NBDPS NBD Palm Stearin
49 NBHPL NBD Palm Olein
50 NBHPL NBD Palm Olein
51 NBHPO NBD Palm Oil
52 NBHPS NBD Palm Stearin
53 NBIF NB Interestified Fatty Acid
54 NBIOL NB Interestified Olein
55 NBIS NB Interestified Stearin
56 NBPL NB Palm Olein
57 NBPO NB Palm Oil
58 NBPS NB Palm Stearin
59 NO Nutrolein
60 NPL N Palm Olein
61 NPO N Palm Oil
62 NPS N Palm Stearin
63 PAO Palm Acid Oil
64 PFAD Palm Fatty Acid Distillate
65 PFAME Palm Fatty Acid Methyl Ester
66 PMF Palm Mid-Fraction / Rbd Palm Mid-Fraction / Soft Palm Stearin
67 PRLFAT Palm Oil
68 RBD SL RBD Super Olein
69 RBDBO Crude / Rbd Blended Palm Oil / Stearin / Olein
70 RBDHPL RBDH Palm Olein
71 RBDHPMF RBDH Palm Mid Fraction
72 RBDHPMF RBDH Palm Mid Fraction
73 RBDHPO RBDH Palm Oil
74 RBDHPS RBDH Palm Stearin
75 RBDPL RBD Palm Olein
76 RBDPO3 RBD Palm Oil
77 RBDPO6 RBD Palm Oil-6 Red Max
78 RBDPS RBD Palm Stearin
79 RBDPSH RBD Palm Shortening
80 RBPL RB Palm Olein
81 RBPO RB Palm Oil
82 RBPS RB Palm Stearin
91

No. Kode Produksi Nama Produk


83 RED PSL Red Palm Super Olein
84 REDPO Red Palm Oil
85 RHPS RH Palm Stearin
86 RPL R Palm Olein
87 RPO R Palm Oil
88 RPS R Palm Stearin
89 SBO Stabilised Palm Oil
90 SL Double Fract. Rbd Palm Olein / Superolein
91 TFPS Triple Factionation Palm Stearin
92 US Undistilled Palm Stearin
93 VCO Veg. Cooking Oil
94 VO Veg. Oil
95 VPL Veg. Palm Olein
96 VPO Virgin Palm Oil
97 BPKL B Palm Kernel Olein
98 BPKL B Palm Kernel Olein
99 BPKO Bleached Palm Kernel Oil
100 BPKO B Palm Kernel Oil
101 BPKS B Palm Kernel Stearin
102 BPKS B Palm Kernel Stearin
103 CBPKO Crude B Palm Kernel Oil
104 CPKL Crude Palm Kernel Olein
105 CPKO Crude Palm Kernel Oil
106 CPKS Crude Palm Kernel Stearin
107 DFRBDPKL Double Fract. Rbd Palm Kernel Olein
108 DFRBDPKS Double Fract. Rbd Palm Kernel Stearin
109 HNBDPKL Hnbd Palm Kernel Olein
110 HNBDPKO HNBD Palm Kernel Oil
111 HNBDPKS HNBD Palm Kernel Stearin
112 HNBPKL HNB Palm Kernel Olein
113 HNBPKO HNB Palm Kernel Oil
114 HNBPKS HNB Palm Kernel Stearin
115 HPKL H Palm Kernel Olein
116 HPKO H Palm Kernel Oil
117 HPKS H Palm Kernel Stearin
118 HRBDPKL HRBD Palm Kernel Olein
119 HRBDPKO HRBD Palm Kernel Oil
120 HRBDPKS HRBD Palm Kernel Stearin
121 INTER PKO Interestified Palm Kernel Oil
122 JGQRBDPKOS JGQ RBD Palm Kernel Oil Shortening
123 MVO_CPKO Mixed Veg.Oil-Crude Palm Kernel Oil
124 MVO_RBDPKL Mixed Veg. Oil-Rbd Palm Kernel Olein
92

No. Kode Produksi Nama Produk


125 MVO_RBDPKO Mixed Veg. Oil-Rbd Palm Kernel Oil
126 NBDPKL NBD Palm Kernel Olein
127 NBDPKO NBD Palm Kernel Oil
128 NBDPKS NBD Palm Kernel Stearin
129 NBHPKL NBD Palm Kernel Olein
130 NBHPKO NBD Palm Kernel Oil
131 NBHPKS NBD Palm Kernel Stearin
132 NBPKL NB Palm Kernel Olein
133 NBPKO NB Palm Kernel Oil
134 NBPKS NB Palm Kernel Stearin
135 NPKL N Palm Kernel Olein
136 NPKO N Palm Kernel Oil
137 NPKS N Palm Kernel Stearin
138 PKAO Palm Kernel Acid Oil
139 PKFAD Palm Kernel Fatty Acid Distillates
140 PKMF Palm Kernel Mid Fraction
141 PKOF Palm Kernel Oil Fraction
142 RBDHPKL RBDH Palm Kernel Olein
143 RBDHPKO RBDH Palm Kernel Oil
144 RBDHPKS RBDH Palm Kernel Stearin
145 RBDPKL RBD Kernel Olein
146 RBDPKO RBD Palm Kernel Oil
147 RBDPKS RBD Kernel Stearin
148 RPKL R Palm Kernel Olein
149 RPKO R Palm Kernel Oil
150 RPKS R Palm Kernel Stearin
151 AE-1AL Alcohol Ethoxylate - 1al
152 AE-2A Alcohol Ethoxylate ( Ae-2a )
153 AE-3A Alcohol Ethoxylate ( Ae-3a )
154 AE-3A Alcohol Ethylene-3a
155 AE-7A Alcohol Etylene-7a
156 AE-7A Alcohol Ethoxylate - 7a
157 AE-8A Alcohol Ethoxylate - 84
158 AE-9A Alcohol Ethoxylate - 9a
159 AGM Acido Graso Monocarboxylic
160 ALDSTR Aluminium Di-Stearate
161 ALMSTR Aluminium Mono-Stearate
162 ALS Aluminium Stearate
163 ALSTR Aluminium Stearate
164 ALTSTR Aluminium Tri-Stearate
165 BASTR Barium Stearate
166 BE Back-End
93

No. Kode Produksi Nama Produk


167 BPKOM Stripped PKO Methyl Ester
168 CA Capric Acid
169 CACACID Caproic-Caprylic Acid
170 CAL Cetyl Alcohol
171 CALC Crude Alcohol
172 CAM(C10) Capric Acid Metyl Ester (Ce10 Ester)
173 CAM(C8) Caprylic Acid Methyl Ester (Ce8 Ester)
174 CC Caproic Capric Acid
175 CCACID Caprylic - Capric Acid
176 CCM Caproic Capric Methyl Ester
177 CDPKOFA Crude Distilled / Topped / Stripped Pkofa
178 CETOSAL Ceto Stearyl Alcohol
179 CG Glycerine / Crude Gly / Glycerine
180 CKFA Crude Kernel Fatty Acid
181 CL Capryl Alcohol
182 CLA Caprylyl Alcohol
183 CLAL N-Octyl / Caprylyl Alcohol
184 CLCA Caprylyl-Capryl Alcohol
185 COA Caproic Acid
186 COCA Cocoa Amides
187 CPAL Cetyl Palmitate
188 CRA Caprylic Acid
189 CRAL N-Decyl / Capryl Alcohol
190 CSAL Cetyl-Stearyl Alcohol
191 CSFA Crude Split Fatty Acid
192 CSOAP Calcium Stearate
193 CSUPSFA Crude/Split Undistilled Palm Stearin Fatty Acid
194 CUPKOFA Crude / Split Undistilled Pkofa
195 DG Distilled Glycerol
196 DHFA Distilled H Fatty Acid
197 DIE_SPO Spo-Biodiesel
198 DIGO Diglyceride Oil
199 DMAL Decyl -Myristyl Alcohol (Mixture C10 - C14 Fatty Alcohol )
200 DMFA Distilled Mixed Fatty Acids
201 DMFAO Distilled Mixed Fatty Acid
202 DMGLY Distilled Monoglycerides
203 DMPKOFA Distilled Mixed Palm Kernel Oil Fatty Acids
204 DMPKOFA Distilled Mixed Pkofa
205 DMPOFA Distilled Mixed Pofa
206 DMPSFA Distilled Mixed Psfa
207 DOA Distilled Oleic Acid
208 DPKOFA Distilled Palm Kernel Oil Fatty Acid
94

No. Kode Produksi Nama Produk


209 DPKOFA Distilled / Topped / Stripped Pkofa
210 DPOFA Distilled / Topped / Stripped Pofa
211 DPSA Double Pressed Stearic Acid
212 DPSFA Distilled / Topped / Stripped Psfa
213 EBS Ethylene Bis Stearamide
214 EDENOR Edenor L2sm Gs
215 EGD Ethylene Glycol / Glycerol Distearate
216 EGMS Ethylene Glycolcerol Mono Stearate
217 EHO 2 Ethyl Hexyl Oleate
218 EHP 2-Ethyl Hexyl Palmitate
219 EHS 2-Ethyl Hexyl Stearate
220 EMUL Emulsifiers / Glyceryl Monostearate
221 F-GEE Food-Grade Esters / Emulsifiers
222 F-GG Food-Grade Glycerine
223 FA Fatty Acid
224 FAME Fatty Acids Methyl Ester
225 FAMIN Fatty Amine
226 FAP Fatty Acid Pristerene
227 FFA Fraction / Split Blend Fatty Acid
228 GD Glycerol Dioleate
229 GM Glycerol Monooleate
230 GPT Glycerine Pitch
231 GTC Glyceryl Tricaprylate Caprate /Caprylic Capric Triglyceride
232 GTP Glycerol Tripalmitate
233 GTS Glycerol Tristearate
234 GW Glycerol Water / Sweet Water / Glycerine
235 HCAL Heavy Cut Alcohol
236 HCE Heavy Cut Ester / Heavy Cut Methyl Ester
237 HCM Heavy Cut Methyl Ester
238 HDRBDSFA H Distilled Rbd Stearin Fatty Acid
239 HEA Heavy End / Cut Acid
240 HL 2-Hexyl Laurate
241 HMFA H Mixed Fatty Acid
242 HP 2-Hexyl Palmitate
243 HPKF H Palm Kernel Fat
244 HPKFA H Palm Kernel Fatty Acid
245 HPKOFA Stripped Hpkofa
246 HPOFA H Palm Oil Fatty Acid
247 HPSA H / Hardened Palmitic-Stearic Acid
248 HPSFA Stripped / Topped H / Hardened Psfa
249 HSFA H Stearin Fatty Acid
250 HSSA H Split Stearic Acid
95

No. Kode Produksi Nama Produk


251 I-BO Iso-Butyl Oleate
252 I-OO Iso-Octyl Oleate
253 I-OS Iso-Octyl Stearate
254 I-PA Iso-Propyl Alcohol
255 I-PO Iso-Propyl Oleate
256 I-PP Iso-Propyl Palmitate
257 IPL Iso-Propyl Laurate
258 IPM Iso Propyl Myristate
259 KSTR Potassium Stearate
260 L-MA Lauric-Myristic Acid
261 L-MAL Lauryl-Myristyl Alcohol
262 LA Lauric Acid
263 LAC Linoleic Acids
264 LAL Lauryl Alcohol
265 LAM Lauric Acid Methyl Ester
266 LCA Lauryl Cetyl Alcohol
267 LCE Light Cut Ester
268 LCM(CE810) Light Cut Methyl Ester (Ce810)
269 LE Light Ends
270 LGA Low Grade Alcohol
271 LINA Linolenic Acid
272 LSAL Lauryl-Stearyl Alcohol
273 MA Myristic Acid
274 MAL Myristyl Alcohol
275 MAOIL Mixed Alcohol Oil
276 MC Methyl Caprate
277 MC1214FA Mixture C12&C14 Fatty Alcohol
278 MC1618FA Mixture C16&C18 Fatty Alcohol
279 MC810FA Mixture C8&C10 Fatty Alcohol
280 MCAL Middle Cut Alcohol / Middle Cut Fatty Alcohol
281 MCE Medium Cut Ester
282 MCL Methyl Caprylate
283 MCLC Methyl Caprylate-Caprate
284 MCM(CE1214 Medium Cut Metyl Ester (Ce1214)
285 MCT Medium Chain Triglycerides
286 ME Methyl Ester
287 MEA Medium End/Cut Acid
288 MES Methyl Ester Sulphonate
289 MFAO Mixed Fatty Acid
290 MFES Miscellaneous Fatty Ester
291 MFOH Mixed Fatty Alcohol
292 MFOHLE Mixed Fatty Alcohol Light End
96

No. Kode Produksi Nama Produk


293 MGSOAP Magnesium Stearate
294 MGSTR Magnesium Myristate
295 ML Methyl Laurate
296 MLFA Mixture Of Lauric Fatty Acid
297 MLM Methyl Laurate Myristate
298 MLP Methyl Laurate Palmitate
299 MM Methyl Myristate
300 MO Methyl Oleate
301 MP Methyl Palmitate
302 MPS Methyl Palmitate-Stearate
303 MS Methyl Stearate
304 MSOAP Metallic Soap
305 N-BO N-Butyl Oleate
306 NASTR Sodium Stearate
307 NBS N-Butyl Stearate
308 NFA Neutralised Fatty Acid
309 OA Oleic Acid
310 OAL Octyl Alcohol
311 ODAL Octyl-Decyl Alcohol
312 OSAL Octyl-Stearyl Alcohol
313 PA Palmitic Acid
314 PDME Palm Diesel (Methyl Ester)
315 PG1M Polyethylene Glycol 1000 Monostearate
316 PGM Polyethlene Glycol 1000 Monostearate
317 PGP Polyglycerol / Polyglyrol Polyricinoleate
318 PHG Pharmaceutical Glycerine
319 PKDEA Palm Kernel Diethanolamide
320 PKFA Palm Kernel Oil Fatty Acid
321 PKME Palm Kernel Methyl Ester
322 PKOFA Palm Kernel Oil Fatty Acid
323 PKOFAL Palm Kernel Oil Fatty Alcohol
324 PKOM Palm Kernel Oil Methyl Ester
325 PLM Palm Olein Methyl Ester
326 POFAL Palm Oil Fatty Alcohol
327 POME Palm Oil Methyl Ester / Palm Methyl Ester
328 PRE ST Pre-Cut Stearin
329 PREFA Pre-Cut Fatty Acid
330 PS Polysorbate
331 PSA Palmitic Acid / Stearic Acid
332 PSFA Palm Stearin Fatty Acid
333 PSME Palm Stearin Methyl Ester
334 PSOA Palmitic-Stearic-Oleic Acid
97

No. Kode Produksi Nama Produk


335 PWAX Palm Wax / Palm Oil Wax
336 RBDPFAD RBDPF / RBD Palm Fatty Acid Distillate
337 RG Purified / Refined / Distill Glycerine / Grd Glycerine
338 SA Stearic Acid / Stearic Acid Flakes
339 SA(IV>1) Stearic Acid (Iv>1)
340 SAL Stearyl Alcohol
341 SAP Stearic Acid Pristerene
342 SHPFA Split H Palm Fatty Acid
343 SHPKOFA Split H PKOFA
344 SHPS Split H Palm Stearin
345 SHPSFA H Palm Stearic Acid
346 SHPSFA Split Hydrogenated Palm Stearin Fatty Acids
347 SHRBDSFA Split H Rbd Stearin Fatty Acid
348 SMO Sorbitan Monoleate - Gardner 6
349 SN Soap Noodles / Stock / Blend
350 SOCF Socfat
351 SOCO Socolate
352 SPFA Split Palm Fatty Acids
353 SPFAD Split Palm Fatty Acid Distillate
354 SPKFA Split Palm Kernel Fatty Acid
355 SPKLA Stripped Palm Kernel Lauric Acid
356 SPKOM Stripped Pko Methyl Ester
357 SPPHPKOFA Split / Topped / HPKOFA
358 SPSA Single Pressed Stearic Acid
359 SPSFA Split Palm Stearin Fatty Acid
360 SPST Split / RBD Palm Stearin Fatty Acids
361 SRBDS Split RBD Palm Stearin
362 STT Structured Triglycerides
363 TG Triglycerides / Glycerol Trioleate
364 TKFA Topped Palm Kernel Fatty Acid
365 TPKP Topped Palm Kernel Prifac
366 TPSA Triple Pressed Stearic Acid
367 TSFA Triple Split Fatty Acid
368 UMPKOFA Undistilled Mixed PKOFA
369 UMPOFA Undistilled Mixed POFA
370 UMPSFA Undistilled Mixed PSFA
371 ZNLAURATE Zinc Laurate
372 ZSOAP Zinc Stearate
373 BOSFP/CBS Butter Oil Substitute
374 BVO Blended Veg. Oils
375 CBE Cocoa Butter Equivalent
376 CBEXT Cocoa Butter Extender
98

No. Kode Produksi Nama Produk


377 CBR Cocoa Butter Replacer
378 CBS Cocoa Butter Substitute
379 CF Coating Fat
380 CTENE Carotenoid
381 DF Dough Fats
382 DFS Dairy Fat Substitute
383 FB Fat Blend
384 HFV Hydrogenated Vegetable Fat
385 HPF H Palm Fat
386 HVF H Veg. Fat
387 HVG H Veg. Ghee
388 HVO H Veg. Oil
389 IEFAT Interesterified Fat
390 IMVF Inedible Mixture Of Vegetable Fats
391 INTFATBLD Interestified Fat Blend
392 M Margarine
393 PF Palm Fat
394 PFAT Powdered Fat
395 PKF Palm Kernel Fat
396 PRYO Prayer Oil
397 RL Red Olein / Red Palm Olein
398 SH Shortening
399 SOAP Soap Chips / Soap / Soap Flakes / Soap Stock
400 TOCO Tocopherols
401 TRIE Tocotrienol
402 VC Vitamin Concentrate
403 VF Veg. Fat
404 VG Veg. Ghee / Vanaspati
405 VPO Veg. Palm Oil
406 VSO Veg. Shortening Oil
Sumber: MPOB (2014)
99

Lampiran 2. Kuisioner alternatif strategi pengembangan industri turunan minyak


sawit mentah

KUISIONER

STRATEGI PERCEPATAN PENGEMBANGAN


INDUSTRI TURUNAN MINYAK SAWIT MENTAH
(MSM)
DI INDONESIA

DIDIK MOCH. ROFIQI

SEKOLAH PASCASARJANA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
100

I. INFORMASI PENELITIAN

Sejak tahun 2006, jumlah produksi minyak sawit mentah Indonesia telah menjadi
produsen utama dunia, dengan kontribusi sebanyak 47% dari produksi minyak kelapa
sawit dunia. Akan tetapi Indonesia sampai saat ini belum memiliki keunggulan yang baik
dan ragam produk turunan minyak sawit mentah Indonesia yang banyak. Saat ini,
Indonesia menduduki posisi nomor 4 di dunia dibandingkan dengan Uni-Eropa, Cina, dan
India serta hampir sejajar dengan Malaysia. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi key success factors dengan keunggulan kompetitif serta faktor-
faktor/langkah-langkah lain yang dapat percepatan pengembangan industri turunan minyak
sawit mentah di Indonesia.
Penelitian untuk mengetahui key success factors dilakukan secara kualitatif
dengan menganalisis pendapat dan persepsi dari Para ahli dan pemangku kepentingan
(stakeholder) yang berperan dalam terbentuk atau berdirinya industri turunan oleokimia di
Indonesia melalui kuisioner, Analisa key success factors dilakukan secara kualitatif
terhadap faktor yang telah ditetapkan oleh Para Pakar, Selanjutnya key success factors
yang telah ditetapkan digunakan untuk menyusun strategi percepatan pembangunan
industri turunan oleokimia yang akan dianalisis dengan metode Analytic Hierarchy Process
(AHP).

Tujuan Pelaksanaan Survai/Wawancara


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci
keberhasilan (key success factors) dan langkah alternatif lainya dalam pengembangan
industri turunan oleokimia di Indonesia dengan keunggulan kompetitif khususnya untuk
produk turunan oleokimia yang belum dihasilkan Indonesia.

Kerahasiaan Informasi

Seluruh informasi yang Bapak/Ibu berikan dalam survey ini akan dirahasiakan.

Apabila Bapak/Ibu memiliki pertanyaan mengenai survey ini, dapat menghubungi:


1. Mahasiswa : Ir. Didik Moch. Rofiqi, .
2. Dosen : Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M.Eng.
3. Dosen : DR. Ir. Aji Hermawan, MM
pada HP: 08128953496 atau e-mail dimrof2@yahoo.com

Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner
penelitian ini. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan dalam survey ini dijamin
kerahasiaannya dan hanya akan dipakai untuk keperluan penelitian saja

Hormat saya,

Didik Moch. Rofiqi


101

Nama Narasumber : ___________________________

Institusi : ___________________________

Jabatan Narasumber : ___________________________

Tanggal Pengisian : ___________________________

II. PETUNJUK PENGISIAN

1. Jawablah setiap pertanyaan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu.


2. Tulis fomulir ini atau rekam pendapat Bapak dan Ibu dengan kirim via e-mail yang ada.
3. Pertanyaan ini hanya sebagai panduan atau cek list untuk menggali permasalahan, jika sudah
diungkapkan dalam wawancara tak perlu diulang.

Saat ini produk turunan oleokimia atau industri hilir Indonesia telah berkembang dengan baik tetapi
belum menjadi top leader di dunia, secara bahan baku CPO dan CPKO Indonesia telah menjadi
nomor satu. Untuk mempercepat dan meningkatkan berkembangnya industri turunan
oleokimia Di Indonesia langkah-langkah apa yang menjadi faktor kunci (key success) harus
dilakukan untuk mempercepatan tumbuhnya industri turunan minyak sawit mentah
(oleokimia) ini ?.

…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
102

Menurut pendapat Bapak/Ibu dari langkah-langkah atau aspek diatas apakah ada prioritas faktor
kunci yang mempunyai pengaruh lebih terhadap yang lain dalam proses percepatan
pengembangan industri turunan oleokimia di Indonesia? Mohon disebutkan.
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………

Apa adanya permasalah berikut berpengaruh terhadap proses percepatan pengembangan industri
turunan oleokimia di Indonesia? (jika sudah disebutkan/ditanggapi dalam pendapat atau
wawancara sebelumnya tidak perlu tanyakan lagi!)
- Adanya struktur pasar produk oleokimia yang oligopoli serta pasar captive market untuk
biodiesel
- Lemahnya atau terbatasnya hasil penelitian dan pengembangan (R and D) turunan
minyak sawit mentah
- Kondisi infrastruktur yang belum mendukung
- Adanya moratorium pengembangan sawit pada lahan gambut dan hutan lindung.
- Komitment pemerintah yang tidak konsisten dalam pengembangan industri turunan
minyak sawit mentah.
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………

Terima kasih
103

Lampiran 3 Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Tahun Luas Areal (Ha)


Perkebunan Perkebunan Perkebunan Jumlah Pertumbuhan
Rakyat Besar Negara Besar Swasta Luas Areal
(%)
1980 6 175 199 538 88 847 294 560 -
1981 5 695 213 264 100 008 318 967 7 .65
1982 8 537 224 440 96 924 329 901 3 .31
1983 37 043 261 339 107 264 405 646 18 .67
1984 40 552 340 511 130 958 512 021 20 .78
1985 118 564 335 195 143 603 597 362 14 .29
1986 129 904 332 694 144 182 606 780 1 .55
1987 203 047 365 575 160 040 728 662 16 .73
1988 196 279 373 409 293 171 862 859 15 .55
1989 223 832 366 028 383 668 973 528 11 .37
1990 291 338 372 246 463 093 1 126 677 13 .59
1991 384 594 395 183 531 219 1 310 996 14 .06
1992 439 468 389 761 638 241 1 467 470 10 .66
1993 502 332 380 746 730 109 1 613 187 9 .03
1994 572 544 386 309 845 296 1 804 149 10 .58
1995 658 536 404 732 961 718 2 024 986 10 .91
1996 738 887 426 804 1 083 823 2 249 514 9 .98
1997 813 175 517 064 1 592 057 2 922 296 23 .02
1998 890 506 556 640 2 113 050 3 560 196 17 .92
1999 1 041 046 576 999 2 283 757 3 901 802 8 .76
2000 1 166 758 588 125 2 403 194 4 158 077 6 .16
2001 1 561 031 609 947 2 542 457 4 713 435 11 .78
2002 1 808 424 631 566 2 627 068 5 067 058 6 .98
2003 1 854 394 662 803 2 766 360 5 283 557 4 .10
2004 2 220 338 605 865 2 458 520 5 284 723 0 .02
2005 2 356 895 529 854 2 567 068 5 453 817 3 .10
2006 2 549 572 687 428 3 357 914 6 594 914 17 .30
2007 2 752 172 606 248 3 408 416 6 766 836 2 .54
2008 2 881 898 602 963 3 878 986 7 363 847 8 .11
2009 3 061 413 630 512 4 181 369 7 873 294 6 .47
2010 3 387 257 631 520 4 366 617 8 385 394 6 .11
2011 3 752 480 678 378 4 561 966 8 992 824 7 .24
2012 4 137 620 683 227 4 751 868 9 572 715 6 .45
2013 4 415 796 686 864 4 908 164 10 010 824 4 .58
Sumber : Sekjen Kementrian Pertanian RI (2014).
104

Lampiran 4 Perkembangan produksi minyak sawit di Indonesia

Tahun Produksi Minyak Sawit (Ton)


Perkebunan Perkebunan Perkebunan Jumlah Pertumbuhan
Rakyat Besar Negara Besar Swasta Produksi
(%)
1980 770 498 858 221 544 721 172 -
1981 1 045 533 399 265 616 800 060 9 .86
1982 2 955 598 653 285 212 886 820 9 .78
1983 3 454 710 431 269 102 982 987 9 .78
1984 4 031 814 015 329 144 1 147 190 14 .31
1985 43 016 861 173 339 241 1 243 430 7 .74
1986 53 504 912 306 384 919 1 350 729 7 .94
1987 165 162 988 480 352 413 1 506 055 10 .31
1988 156 148 1 102 692 454 495 1 713 335 12 .10
1989 183 689 1 184 226 597 039 1 964 954 12 .81
1990 376 950 1 247 156 788 506 2 412 612 18 .55
1991 413 319 1 360 363 883 918 2 657 600 9 .22
1992 699 605 1 489 745 1 076 900 3 266 250 18 .63
1993 582 021 1 469 156 1 370 272 3 421 449 4 .54
1994 839 334 1 571 501 1 597 227 4 008 062 14 .64
1995 1 001 443 1 613 848 1 864 379 4 479 670 10 .53
1996 1 133 547 1 706 852 2 058 259 4 898 658 8 .55
1997 1 282 823 1 586 879 2 578 806 5 448 508 10 .09
1998 1 344 569 1 501 747 3 084 099 5 930 415 8 .13
1999 1 547 811 1 468 949 3 438 830 6 455 590 8 .14
2000 1 905 653 1 460 954 3 633 901 7 000 508 7 .78
2001 2 798 032 1 519 289 4 079 151 8 396 472 16 .63
2002 3 426 740 1 607 734 4 587 871 9 622 345 12 .74
2003 3 517 324 1 750 651 5 172 859 10 440 834 7 .84
2004 3 847 157 1 617 706 5 365 526 10 830 389 3 .60
2005 4 500 769 1 449 254 5 911 592 11 861 615 8 .69
2006 5 783 088 2 313 729 9 254 031 17 350 848 31 .64
2007 6 358 389 2 117 035 9 189 301 17 664 725 1 .78
2008 6 923 042 1 938 134 8 678 612 17 539 788 -0 .71
2009 7 517 716 2 005 880 9 800 697 19 324 293 9 .23
2010 8 458 709 1 890 503 11 608 907 21 958 120 13 .63
2011 8 797 924 2 045 562 12 253 055 23 096 541 5 .18
2012 9 197 728 2 133 007 14 684 783 26 015 518 12 .64
2013*) 9 504 981 2 378 214 15 862 930 27 746 125 6 .65
*) angka sementara
Sumber: Sekjen Kementrian Pertanian RI (2014).
105

Lampiran 5. Distribusi ekspor crude palm oil (CPO) dan crude palm kernel oil
(CPKO) per provinsi (ribuan ton)

No Provinsi 2010 2011 2012 2013


Crude Palm Oil (CPO)
1 Sumatera Utara 1 877 1 594 1 196 879
2 Sumatera Barat 1 272 1 145 976 869
3 Riau 3 868 3 357 2 791 2 574
4 Jambi 168 117 13
5 Sumatera Selatan 98 48
6 Lampung 668 764 933 1 354
7 Kepulauan Bangka Belitung 170 150 135 46
8 Kepulauan Riau 169 190 390 210
9 DKI Jakarta 0 16 11 19
10 Jawa Tengah 3
11 Jawa Timur 13 3 2 19
12 Kalimantan Barat 13 9 3 4
13 Kalimantan Tengah 306 170 72 16
14 Kalimantan Selatan 287 377 418 300
15 Kalimantan Timur 377 422 277 258
16 Kalimantan Utara 62 51 29 37
17 Sulawesi Utara 14 2
18 Sulawesi Tengah 23 9 5
19 Sulawesi Barat 32 2
20 Papua 26
TOTAL CPO 9 446 8 424 7 253 6 585
Crude Palm Kernel Oil (CPKO)
1 Sumatera Utara 262 167 84 54
2 Sumatera Barat 180 124 46 59
3 Riau 551 511 203 74
4 Jambi 50 21 16
5 Sumatera Selatan 55 18 18 3
6 Lampung 108 121 162 165
7 Kepulauan Bangka Belitung 6 8 1
8 Kepulauan Riau 1 0
9 DKI Jakarta 1
10 Jawa Timur 35 18
11 Kalimantan Barat 2
12 Kalimantan Tengah 11 17 3
13 Kalimantan Selatan 57 86 72 88
14 Kalimantan Timur 10 4 4
15 Kalimantan Utara 3 1 2
16 Sulawesi Utara 9 3 12 7
TOTAL CPKO 1 335 1 101 625 452
Sumber : BPS (2014)
106

Lampiran 6. Perkembangan dan persentase kebutuhan CPO untuk industri


hilir di dalam Negeri

Kebutuhan CPO Untuk Industri (Ton)


Tahun
Minyak Goreng % Oleokimia % Margarine % Sabun %
2000 1.691.099 66,35 587.554 23,05 33.805 1,33 236.167 9,2
2001 2.214.000 71,51 595.279 19,23 36.469 1,18 250.360 8,0
2002 2.391.120 73,03 592.351 18,09 39.703 1,21 250.946 7,6
2003 2.510.679 73,83 596.758 17,55 41.688 1,23 251.699 7,4
2004 2.887.277 75,47 643.709 16,83 42.939 1,12 251.872 6,5
2005 3.494.472 76,66 761.378 16,70 49.657 1,09 253.132 5,5
2006 3.610.646 75,59 780.361 16,34 53.629 1,12 253.829 5,3
2007 3.843.919 72,81 799.447 15,14 53.629 1,02 258.195 4,8
2008 4.305.190 69,19 839.420 13,49 57.919 0,93 263.359 4,2
2009 4.864.864 75,15 881.390 13,62 62.553 0,97 268.626 4,1
2010 5.545.945 72,02 925.460 12,02 67.557 0,88 273.999 3,5
2011 6.155.999 65,70 971.733 10,37 72.962 0,78 279.479 2,9
2012 6.089.365 60,43 996.094 9,88 73.489 0,73 277.887 2,7
2013 6.468.303 61,60 1.034.277 9,85 76.943 0,73 281.002 2,6
Sumber : GAPKI (2014)

Lampiran 7. Pertumbuhan permintaan CPO dalam negeri untuk industri

Kebutuhan CPO Untuk Industri


Tahun Minyak Pertum- Oleokimia Pertum- Margarine Pertum- Sabun Pertum-
Goreng buhan (Ton) buhan (Ton) buhan (Ton) buhan
(ton) (%) (%) (%) (%)

2000 1.691.099 587.554 33.805 236.167


2001 2.214.000 30,92 595.279 1,31 36.469 7,88 250.360 6,01
2002 2.391.120 8,00 592.351 (0,49) 39.703 8,87 250.946 0,23
2003 2.510.679 5,00 596.758 0,74 41.688 5,00 251.699 0,30
2004 2.887.277 15,00 643.709 7,87 42.939 3,00 251.872 0,07
2005 3.494.472 21,03 761.378 18,28 49.657 15,65 253.132 0,50
2006 3.610.646 3,32 780.361 2,49 53.629 8,00 253.829 0,28
2007 3.843.919 6,46 799.447 2,45 53.629 - 258.195 1,72
2008 4.305.190 12,00 839.420 5,00 57.919 8,00 263.359 2,00
2009 4.864.864 13,00 881.390 5,00 62.553 8,00 268.626 2,00
107

2010 5.545.945 14,00 925.460 5,00 67.557 8,00 273.999 2,00


2011 6.155.999 11,00 971.733 5,00 72.962 8,00 279.479 2,00
2012 6.089.365 (1,08) 996.094 2,51 73.489 0,72 277.887 (0,57)
2013 6.468.303 6,22 1.034.277 3,83 76.943 4,70 281.002 1,12
Rata-rata 11,14 4,54 6,60 1,36
Sumber : GAPKI ( 2014) (Diolah)
108

Lampiran 8. Pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di


Indonesia

Kapasitas Terpasang
No. Nama Perusahaan Lokasi Ton/Tahun
1 PT. Agrindo Indah Persada Medan - Sumut 120 000
2 PT. Agro Makmur Raya Medan - Sumut 300 000
3 PT. Berlian Eka Sakti Tangguh Medan - Sumut 225 000
4 PT. Bintang Tenera Medan - Sumut 30 000
5 PT. Wilmar Nabati Indonesia Medan - Sumut 1 800 000
6 PT. Indah Pontjan Medan - Sumut 90 000
7 PT. Indo Karya Internusa Medan - Sumut 300 000
8 PT. Intibenua Perkasatama Medan - Sumut 780 000
9 PT. Musim Mas Medan - Sumut 750 000
10 PT. Nagamas Palmoil Lestari Medan - Sumut 780 000
11 PT. Nubika Jaya Medan - Sumut 300 000
12 PT. Pacific Palmindo Industri Medan - Sumut 420 000
13 PT. Permata Hijau Sawit Medan - Sumut 180 000
14 PT. Socfin Indonesia Medan - Sumut 99 000
15 PT. Smart Tbk Medan - Sumut 120 000
16 PT. Mitra Perkasa Palm Oil Medan - Sumut 120 000
17 PT. Multimas Nabati Asahan Asahan - Sumut 750 000
18 PT. Sawit Asahan Tetap Utuh Asahan - Sumut 15 000
19 PT. Pamina Adolina Pebaungan – Sumut 90 000
20 PT. Incasi Raya Padang - Sumbar 300 000
21 PT. Sari Dumai Sejati Dumai - Riau 450 000
22 PT. Sinar Alam Permai Palembang - Sumsel 900 000
23 PT. Kurnia Tunggal Nugraha Jambi 90 000
24 PT. Asianagro Agung Jaya Marunda- Jakarta 1 000 000
25 PT. Smart Tbk Marunda- Jakarta 300 000
26 PT. Mikie Oleo Nabati Industri Bekasi - Jabar 300 000
27 PT. Royal Cikampek - Jabar 300 000
28 PT. Hasil Abadi Surabaya - Jatim 300 000
29 PT. Megasurya Mas Sidoarjo - Jatim 450 000
30 PT. Multi Nabati Sulawesi Bitung - Sulut 240 000
31 PT. Smart Tbk Kalimantan Barat 300 000
Lain-lain 3 201 000
Total 15 400 000
Sumber : GIMNI, 2011
109

Lampiran 9. Kapasitas terpasang industri biodiesel di Indonesia Tahun 2011

No. Nama Perusahaan Lokasi 2007 2008 2009 2 010


1 PT Energi Alternatif Jakarta 300 7 000 7 000
2 PT Eternal Buana Chemical
Industries Tangerang 40 000 40 000
3 PT Indo Biofuels Energi Merak 20 000 60 000 60 000 60 000
4 PT Anugrah Inti Gemanusa Gresik 40 000 40 000
5 PT Eterindo Nusa Graha Gresik 120 000 120 000 40 000 40 000
6 PT Wilmar Bioenergi Indonesia Dumai 700 000 700 000 700 000 1 000 000
7 PT Wilmar Nabati Indonesia Gresik 600 000 600 000
8 PT Sumi Asih Oleo - Chemical Bekasi 100 000 100 000 100 000 100 000
9 PT Darmex Biofuels Bekasi 150 000 150 000
10 PT Pelita Agung Agrindustri Bengkalis 200 000 200 000 200 000
11 PT Musim Mas Deli Serdang 70 000 70 000 70 000
Batam 350 000 350 000
12 PT Multi Kimia Inti Pelangi Bekasi 14 000 14 000 14 000
13 PT Cemerlang Energi Perkasa Dumai 400 000 400 000 400 000
14 PT Pasadena Biofuels Mandiri Cikarang 10 240 10 240
15 PT Kenzie Megapolitan Makassar 5 000 5 000
16 PT Gnesha Energi Medan 10 000 10 000
17 PT Sintong Abadi Asahan, Sumut 35 000 35 000
18 PT Prima Nusa Palma Energi Jakarta 24 000 24 000
19 PT Bioenergi Pratama Jaya Berau, Kaltim 6 000 6 000
20 Wahana Abdi Tritatehnika Sejati Bogor 132 200 132 200
21 Alia Mada Perkasa Tangerang 11 000 11 000
22 Damai Sejahtera Sentosa Cooking Surabaya 120 000 120 000
23 PTPN XIII*) Kalimantan 12 000 12 000
24 PTPN IV*) Medan 5 000 5 000 5 000
Total 940 000 1 269 300 2 804 240 3 441 440
Sumber : *) APOLIN, 2011, **) APROBI, 2011
110

Lampiran 10. Kuesioner analytical hierarcy process (AHP) percepatan


pengembangan industri minyak kelapa sawit mentah

KUISIONER

STRATEGI PERCEPATAN PENGEMBANGAN


INDUSTRI TURUNAN MINYAK SAWIT
MENTAH (MSM)
DI INDONESIA

DIDIK MOCH. ROFIQI

SEKOLAH PASCASARJANA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
111

I. INFORMASI PENELITIAN

Sejak tahun 2006, jumlah produksi minyak sawit mentah Indonesia telah
menjadi produsen utama dunia, dengan kontribusi sebanyak 47% dari produksi
minyak kelapa sawit dunia. Akan tetapi Indonesia sampai saat ini belum memiliki
keunggulan yang baik dan ragam produk turunan minyak sawit mentah Indonesia
banyak. Saat ini, Indonesia menduduki posisi nomor 4 di dunia dibandingkan
dengan Uni-Eropa, USA, Cina, dan hampir sejajar dengan Malaysia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menentukan strategi apa yang menjadi langkah-langkah
utama untuk mewujudkan percepatan berdirinya industri turunan minyak sawit
mentah di Indonesia, sehingga menjadi rajanya industri turunan minyak sawit di
dunia.
Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dengan menganalisis pendapat
dan persepsi dari Para ahli dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang berperan
dalam terbentuk atau berdirinya industri turunan oleokimia di Indonesia melalui
kuisioner, Penyusunan strategi percepatan pembangunan industri turunan oleokimia
yang akan dianalisis dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

Tujuan Pelaksanaan Survai/Wawancara


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan strategi yang harus
dipilih guna percepatan pengembangan industri turunan atau hilirisasi minyak sawit
mentah di Indonesia.

Kerahasiaan Informasi

Seluruh informasi yang Bapak/Ibu berikan dalam survey ini akan dirahasiakan.

Apabila Bapak/Ibu memiliki pertanyaan mengenai survey ini, dapat menghubungi:


1. Mahasiswa : Ir. Didik Moch. Rofiqi, .
2. Dosen : Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M.Eng.
3. Dosen : Dr. Ir. Aji Hermawan, MM
pada HP: 08128953496 atau e-mail dimrof2@yahoo.com

Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner
penelitian ini. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan dalam survey ini dijamin
kerahasiaannya dan hanya akan dipakai untuk keperluan penelitian saja

Hormat saya,

Didik Moch. Rofiqi


112

Nama Narasumber : ___________________________

Institusi : ___________________________

Jabatan Narasumber : ___________________________

Tanggal Pengisian : ___________________________

II. PETUNJUK PENGISIAN

Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi daftar isian sebagaimana petunjuk di bawah ini :

Nilai Skor Keterangan


1 Faktor yang satu dengan yang lainnya sama penting
3 Faktor yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding faktor yang lainnya.
5 Faktor yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding faktor yang lainnya
7 Faktor yang satu sangat penting dibanding faktor yang lainnya
9 Faktor yang satu ekstrim pentingnya dibanding faktor yang lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas

Contoh Pemberian Tanda ( atau X) pada kolom skor yang paling sesuai pada
setiap baris.

Diisi Diisi jika FAKTOR di Kolom Kiri Diisi jika FAKTOR di Kolom Kanan
Kolom
Bila Sama lebih penting dibanding FAKTOR di lebih penting dibanding FAKTOR di Kolom Kanan
Kiri
Penting Kolom Kanan Kolom Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9


Dana Waktu

Sumberdaya
Dana
 manusia

Jika Pengusaha/Investor Jika Pengusaha/Investor Jika Pemerintah sangat penting


sama penting dengan lebih penting dibanding dgn dibanding dengan
Lembaga Penelitian, maka Lembaga Penelitian, nilai Pengusaha/Investor, diisi sebelah
nilai skor 1 skor 5 kanan skor 7

Kuisioner ini menggunakan metode proses analisis hirarki (Analytic Hierarchy


Process) yang memanfaatkan skala untuk menilai pentingnya satu unsur
dibandingkan dengan unsur yang lain, dalam suatu kerangka yang sedang
113

dipertimbangkan. Struktur hirarki yang akan digunakan disusun berdasarkan hasil


analisis kumpulan pendapat para ahli yang telah dilakukan sebelumnya,:
TUJUAN

Tujuan yang ingin dicapai adalah strategi terbaik bagi pemerintah dan stake holder
lainnya untuk melakukan proses percepatan pembangunan industri turunan minyak
sawit mentah atau hilirisasi minyak sawit di Indonesia.

Level 1 = Faktor Pembatas Pertimbangan Pengembangan


Level 1 untuk menentukan faktor pembatas yang menjadi pertimbangan dalam
mengembangan industri turunan minyak kelapa sawit. Faktor ini ditentukan dari
pendapat para ahli yang telah dihimpun sebelumnya.

- Faktor biaya; besarnya biaya atau cost yang harus ditanggung atau ditopang
para pelaku (pengusaha/investor, lembaga peneliti, dan pemerintah) akibat
adanya kegiatan dalam mewujudkan terbentuknya industri turunan minyak sawit
mentah.
- Faktor waktu; adalah lamanya proses yang harus dilalui dalam terwujudnya
industri turunan minyak sawit mentah.Waktu merupakan salah satu
pertimbangan dalam terbentuknya atau beroperasinya industri turunan minyak
sawit, waktu yang lama akan memberikan beban serta hilangnya momen yang
tepat dalam menyongsong keberadaan industri yang akan dibangun.
- Faktor sumberdaya manusia; merupakan faktor yang cukup kritis dalam
implementasi industri turunan minyak sawit mentah. Faktor ini terkait pada sikap
mental manusia yang melingkupinya seperti kejujuran, kedisiplinan, kompetensi
dan adanya mental koruptif yang sangat menghambat dalam proses
pengembangan industri turunan minyak kelapa sawit.

Level 2 = Alternatif Strategi

Level 2 untuk menentukan alternatif strategi pengembangan industri turunan minyak


kelapa sawit mentah ini dianalisis dari rangkuman pendapat para ahli yang telah
dihimpun sebelumnya.
Proses awal terbentuknya industri turunan minyak sawit mentah ini tidak
bisa dipisahkan dari adanya proses perijinan yang melibatkan para pemangku
kepentingan atau stakeholder yang terdiri dari pengusaha/investor, lembaga
penelitian yang melakukan kajian kelayakan, serta peran utama dari pemerintah
untuk mengeluarkan surat persetujuan dan rekomendasi terhadap keberadaan
industri ini. Proses perijinan di Indonesia dengan adanya otonomi daerah
memberikan tahapan ijin secara berlapis dan kadang kala saling tumpang tindih
dengan proses yang lama dan biaya tidak sedikit, guna memperlancar dan
mempercepat berdirinya industri turunan minyak sawit dengan program debirokrasi,
penyederhanaan dan mempermudah proses perijinan dalam hirarki menjadi
penyederhanaan perijinan;
Tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung percepatan industri
turunan minyak sawit dimana para investor tidak terbebani lagi untuk
membangunnya. Sampai saat ini sarana dan prasarana atau infrastruktur untuk
mendukung keberadaan industri masih banyak yang disiapkan sendiri oleh investor
114

karena memang lokasi berdirinya industri ini biasa mempertimbangkan kedekatan


dengan bahan baku dengan infrastruktur yang belum tergarap baik oleh pemerintah.
Dengan adanya road map hilirisasi beberapa lokasi telah ditetapkan sebagai calon
lokasi pengembangan industri turunan minyak sawit tetapi kondisi saat ini juga
belum semua infrastruktur seperti jalan bebas hambatan, pelabuhan dengan tanki
timbun yang memadai, jaringan rel kereta api, jaringan listrik, dan jaringan
telekomunikasi telah siap untuk menampung industri yang akan berdiri. Proses
pengadaan infrastruktur ini disederhanakan dalam hirarki menjadi penyiapan
infrastruktur;
Mengembangkan industri turunan minyak sawit memerlukan investari yang
sangat besar dengan proses pengembalian modal yang tidak cepat, Guna menarik
minat investor menanamkan modal yang begitu besar pemerintah perlu memberikan
insentif perpajakan terkait dengan modal yang ditanamnya baik itu berupa adanya
tax holiday untuk perusahaan dengan produk baru sampai bisa menguntungkan, tax
allowance untuk perusahaan yang masih merugi dengan adanya kebijakan
pembebasan pajak pertambahan nilai sampai perusahan menguntungkan, dan
pemotongan pajak pertambahan nilai (PPN) dari barang-barang modal yang
didatangkan atau disederhanakan dalam hirarki menjadi insentif perpajakan;
Besar dan lamanya proses pengembalian investasi yang ditanamkan
memerlukan adanya kajian yang mendalam dan pertimbangan yang matang. Guna
memperkecil adanya ketidakpastian serta memperbesar adanya dukungan dari
lembaga keuangan sebaiknya ada dukungan moneter berupa tingkat suku bunga
untuk pendirian industri turunan ini selalu kompetitif dan dibawah suku bunga
komersial dan menjaga ketertarikan perbankan untuk membiayai kebutuhan
investasi dan kebutuhan operasional, atau disederhanakan dalam hirarki menjadi
dukungan moneter;
Industri turunan minyak sawit yang umumnya berskala besar memerlukan
adanya keajegan kondisi baik keamanan dan hukum. Semua pelaku atau
stakeholder harus mengikuti dan mematuhi tataran hukum yang berlaku. Ekpresi
dari keajegan keamanan dan hukum ini bagi pemerintah terwujud berupa adanya
komitmen pemerintah dalam mendukung terus berkembangnya industri turunan
minyak sawit mentah. Komitmen ini harus tinggi khususnya dalam dukungan
penyelidikan dan pengembangan (R&D) dan adanya keberpihakan pemerintah
dalam bentuk aturan mengembangkan industri turunan minyak sawit yang
berkelanjutan dalam jangka waktu memadai (tidak berubah-ubah), atau
disederhanakan dalam hirarki menjadi komitmen pemerintah.

Strategi Percepatan Pengembangan Industri


Focus
Turunan Minyak Sawit Mentah Di Indonesia

Mempercepat Berdiri/Terbentuknya Industri


Tujuan
Turunan Minyak Sawit Mentah

Faktor Biaya Waktu Sumberdaya Manusia


Pertimbangan
115

Penyederhanaan Perijinan

Pernyiapan Infrasstuktur

Komitmen Pemerintah
Insentif perpakakan

Dukungan Moneter

Kepastian pasar
Langkah-langkah
Strategi

Produk industri turunan minyak sawit mempunyai ragam yang sangat banyak,
disamping itu industri ini merupakan industri antara dimana produknya akan diolah
kembali menjadi produk akhir. Disamping itu, hanya beberapa industri besar saja
yang menguasahi pasar produk akhir ini atau oligopoli. Sehingga untuk menjadikan
industri ini berkelanjutan maka produk yang dihasilkan industri dapat bersaing
dengan baik harus mempunyai informasi yang lengkap dan rinci terhadap target
pasar yang akan dituju dengan jenis produknya; atau disederhanakan dalam hirarki
menjadi kepastian pasar.

1. Berilah Tanda ( atau X) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing FAKTOR PERTIMBANGAN (Pada Judul Tabel)
dalam kaitannya dengan strategi pengembangan industri turunan minyak sawit
mentah.

Diisi Diisi jika FAKTOR di Kolom Kiri Diisi jika FAKTOR di Kolom Kanan
Kolom Kiri Bila Sama lebih penting dibanding FAKTOR di lebih penting dibanding FAKTOR di Kolom Kanan
Penting Kolom Kanan Kolom Kiri

1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9

Biaya Waktu

Biaya SDM

Waktu SDM

2. Berilah Tanda ( atau X) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
dengan memperhatikan FAKTOR PERTIMBANGAN yang lebih penting dengan
Alternatif (Pada Judul Tabel), dalam kaitan penilaian strategi terbaik dalam
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah.

(1.1). Dengan pertimbangan BIAYA lebih penting maka pilihlah alternatif strategi mana
yang dianggap lebih penting untuk mencapai tujuan strategi terbaik dalam pengembangan
industri turunan minyak sawit mentah

Diisi Diisi jika ASPEK di Kolom Kiri Diisi jika ASPEK di Kolom Kanan
Kolom
Bila Sama lebih penting dibanding ASPEK di lebih penting dibanding ASPEK di Kolom Kanan
Kiri
Penting Kolom Kanan Kolom Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9
Perijinan Insfrastruktur
Perijinan Insentif
Perpajakan
Perijinan Dukungan
Moneter
Perijinan Komitmen
116

Diisi Diisi jika ASPEK di Kolom Kiri Diisi jika ASPEK di Kolom Kanan
Kolom
Bila Sama lebih penting dibanding ASPEK di lebih penting dibanding ASPEK di Kolom Kanan
Kiri
Penting Kolom Kanan Kolom Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemerintah
Perijinan Pasar
Insfrastruktur Insentif Investasi
Insfrastruktur Suku Bunga
Insfrastruktur Komitmen
Pemerintah
Insfrastruktur Pasar
Insentif Dukungan
Perpajakan Moneter
Insentif Komitmen
Perpajakan Pemerintah
Insentif
Pasar
Perpajakan
Dukungan Komitmen
Moneter Pemerintah
Dukungan
Pasar
Moneter
Komitmen
Pasar
Pemerintah

(1.2). Dengan pertimbangan WAKTU/LAMA lebih penting maka pilihlah alternatif


strategi mana yang dianggap lebih penting untuk mencapai tujuan strategi terbaik dalam
pengembangan industri turunan minyak sawit mentah.

Diisi Diisi jika ASPEK di Kolom Kiri Diisi jika ASPEK di Kolom Kanan
Kolom
Bila Sama lebih penting dibanding ASPEK di lebih penting dibanding ASPEK di Kolom Kanan
Kiri
Penting Kolom Kanan Kolom Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9
Perijinan Insfrastruktur
Perijinan Insentif
Perpajakan
Perijinan Dukungan
Moneter
Perijinan Komitmen
Pemerintah
Perijinan Pasar
Insfrastruktur Insentif Investasi
Insfrastruktur Suku Bunga
Insfrastruktur Komitmen
Pemerintah
Insfrastruktur Pasar
Insentif Dukungan
Perpajakan Moneter
Insentif Komitmen
Perpajakan Pemerintah
Insentif
Pasar
Perpajakan
Dukungan Komitmen
117

Diisi Diisi jika ASPEK di Kolom Kiri Diisi jika ASPEK di Kolom Kanan
Kolom
Bila Sama lebih penting dibanding ASPEK di lebih penting dibanding ASPEK di Kolom Kanan
Kiri
Penting Kolom Kanan Kolom Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9
Moneter Pemerintah
Dukungan
Pasar
Moneter
Komitmen
Pasar
Pemerintah

(1.3). Dengan pertimbangan SIKAP SUMBERDAYA MANUSIA lebih penting maka


pilihlah alternatif strategi mana yang dianggap lebih penting untuk mencapai tujuan
strategi terbaik dalam pengembangan industri turunan minyak sawit mentah.

Diisi Diisi jika ASPEK di Kolom Kiri Diisi jika ASPEK di Kolom Kanan
Kolom
Bila Sama lebih penting dibanding ASPEK di lebih penting dibanding ASPEK di Kolom Kanan
Kiri
Penting Kolom Kanan Kolom Kiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 3 4 5 6 7 8 9
Perijinan Insfrastruktur
Perijinan Insentif
Perpajakan
Perijinan Dukungan
Moneter
Perijinan Komitmen
Pemerintah
Perijinan Pasar
Insfrastruktur Insentif Investasi
Insfrastruktur Suku Bunga
Insfrastruktur Komitmen
Pemerintah
Insfrastruktur Pasar
Insentif Dukungan
Perpajakan Moneter
Insentif Komitmen
Perpajakan Pemerintah
Insentif
Pasar
Perpajakan
Dukungan Komitmen
Moneter Pemerintah
Dukungan
Pasar
Moneter
Komitmen
Pasar
Pemerintah

TERIMA KASIH ATAS PERAN SERTA BAPAK/IBU MELUANGKAN WAKTU UNTUK


MENGISI KUISONER
118

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 7 Mei 1968 di Ngnjuk, Jawa Timur
sebagai anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan H Moch. Muchtar Is
(almarhum) dan Romdliatun. Pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah
Menengah Atas dilaksanakan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur yaitu di
SDN I Baron, SMPN Warujayeng dan SMAN Kertosono. Penulis berhasil
menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Institut Pertanian Bogor pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2012,
penulis menempuh pendidikan S-2 di departemen Teknologi Industri
Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pada tahun 1994, penulis bekerja sebagai konsultan dalam bidang
pengembangan wilayah di PT Bernala Nirwana. Mulai tahun 1995 sampai
1999 penulis bekerja pada PT Citra Lingkungan Lestari di Batam sebagai
Laison Officer dan Operational konsultan yang bergerak dalam bidang studi
kelayakan dan analisis mengenahi dampak lingkungan (AMDAL). Pada
tahun 1999 penulis diangkat menjadi Manajer Operasional PT Citra
Lingkungan Lestari yang berlokasi di Bogor sampai 2004.
Pada tahun 2004, penulis menjadi Manajer Operasional Lembaga
Sertifikasi Produk Lembaga Sertifikasi-IPB dibawah Laboratorium Terpadu
IPB. Pada tahun yang sama penulis mulai menjadi auditor untuk sistem
sertifikasi HACCP, ISO 9001, dan ISO 14001. Dan mulai tahun 2011
penulis menjadi auditor ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan aktif
pada beberapa lembaga sertifikasi ISPO yang ada.
Sejak tahun 2014 sampai sekarang penulis diangkat menjadi Kepala
Bagian Operasional ILQA (Integrated Laboratory Quality Assurance) dan
ILPRO (Integrated Laboratory Product) Lembaga Sertifikasi IPB.

Anda mungkin juga menyukai