Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH ANALISIS INDUSTRI KIMIA MAKANAN

“ MUTU KELAPA SAWIT”

DOSEN PENGAMPU :
Drs. ANNA JUNIAR, M.Si

DISUSUN OLEH :
NAMA : MUHANNI FADILLAH
NIM : 4183131045
KELAS : KIMIA DIK C 2018

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas Mata Kuliah Analisis
Industri Makanan “Mutu Minyak Kelapa Sawit”.
Penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Orang Tua yang telah mendukung penulis
sepenuhnya dalam menyelesaikan tugas ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dosen Pengasuh mata kuliah Kimia Analisis Industri Makanan yaitu Ibu Drs. ANNA
JUNIAR, M.Si. yang telah mengarahkan tugas ini ke arah yang lebih baik.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyelesaian tugas ini.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan tugas ini.
Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

Medan, 17 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..........................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................4
1.3. Tujuan........................................................................................................................5
BAB II KAJIAN TEORI.......................................................................................................6
2.1. Kelapa Sawit..............................................................................................................6
2.2. Perkembangan Industri Minyak Kelapa Sawit......................................................7
2.3. Standardisasi Nasional Indonesia Terhadap Minyak Kelapa Sawit..................11
2.4. Indeks DOBI............................................................................................................11
2.5. β-Karoten.................................................................................................................12
2.6. Iodine Value.............................................................................................................13
BAB III METODE...............................................................................................................15
3.1. Indeks DOBI............................................................................................................15
3.2. β-Karoten.................................................................................................................16
3.3. Iodine Value.............................................................................................................17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................19
4.1. Hasil Indeks DOBI..................................................................................................19
4.2. Hasil β-karoten........................................................................................................20
4.3. Hasil Iodine Value...................................................................................................21
BAB V PENUTUP...............................................................................................................25
5.1. Kesimpulan..............................................................................................................25
5.2. Saran.........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tanaman kelapa sawit (Elaesis guinensis jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.
Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika
Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil
dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyatannya tanaman kelapa sawit hidup subur di
luar daerah asalnya seperti, Malaysia, Indonesia, Thailand dan Papua Nugini. Bahkan
mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi. Bagi Indonesia,
tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional.
Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan
masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Indonesia merupakan salah
satu produsen utama minyak sawit (Fauzi, 2002).
Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak hanya
mempengaruhi sektor perekonomian saja tetapi juga pada sektor-sektor lainnya.
Sehingga dalam hal ini, pengembangan terhadap mutu minyak sawit menjadi bagian
yang sangat penting terkait tuntuntan kualitas minyak yang tinggi oleh pasar
Pengolahan kelapa sawit bertujuan untuk memperoleh minyak kelapa sawit mentah,
crude palm oil (CPO) dan inti (kernel) yang kualitasnya baik. Minyak sawit kasar dikenal
dengan sebutan CPO (Crude Palm Oil) yang mengandung sejumlah komponen-
komponen seperti asam lemak bebas (free fatty acid/FFA), fosfatida, air, karotenoid,
komponen-komponen yang memberikan rasa dan bau dan komponen-komponen lain
dalam jumlah yang sangat kecil (komponen minor) seperti vitamin E atau tokoferol, dan
fitosterol (Seto,S.2001). Tuntutan pasar akan CPO (Crude Palm Oil) di masa sekarang
dan yang akan datang cenderung menginginkan kualitas yang lebih baik, tidak saja dari
komponen mayor kelapa sawit seperti lemak dan minyak alam yang terdiri atas
trigliserida, digliserida dan monogliserida, asam lemak bebas, moisture, pengotoran dan
terdiri dari komponen minor seperti β-karoten, vitamin B, iodine, dan sebagainya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan indeks DOBI?
2. Apa yang dimaksud dengan β-karoten?
3. Apa yang dimaksud dengan iodine value?

1
4. Bagaimana perkembangan ekspor minyak kelapa sawit di Indonesia?
5. Bagaimana metode yang dilakukan untuk menganalisis Iodine pada minyak
kelapa sawit?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui indeks DOBI?
2. Mengetahui β-karoten
3. Mengetahui iodine value
4. Mengetahui perkembangan ekspor minyak kelapa sawit di Indonesia?
5. Mengetahui metode yang dilakukan untuk menganalisis Iodine pada minyak
kelapa sawit?

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Kelapa Sawit


Kelapa sawit, didasarkan atas bukti-bukti fosil, sejarah dan linguistik yang ada
diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, kelapa sawit (yang pada saat lalu
dibiarkan tumbuh liar di hutan-hutan) sejak awal telah dikenal sebagai tanaman pangan
yang penting. Oleh penduduk setempat kelapa sawit telah diproses secara amat sederhana
menjadi minyak dan tuak sawit.
Di luar benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman komoditas
(penghasil produk dagangan). Sejak revolusi industri bersaing keras di Eropa. Saat itu di
Eropa bermunculan Industri atau pabrik (antara lain industri sabun dan margarin) yang
membutuhkan bahan mentah/baku untuk operasionalnya. Minyak sawit dan minyak inti
sawit yang muncul kemudian adalah dua produk yang antara lain dibutuhkan untuk bahan
mentah /baku tersebut. Jadilah minyak (dan minyak inti sawit) dibutuhkan oleh pasar
Eropa (Tim Penulis PS, 1992).
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang
termasuk dalam family palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau
minyak, sedangkan nama species Guinensis berasal dari Guinea yaitutempat dimana
seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman kelapa sawit pertama kali di pantai
Guinea.
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah
hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22°C - 32°C. Daerah penanaman kelapa sawit di
Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Lebak dan Tangerang), Lampung, Riau, Sumatera
Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Negara penghasil kelapa sawit selain Indonesia adalah
Malaysia, Amerika Tengah dan Nigeria (Ketaren,1986).
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dari famili Palmae merupakan salah satu
sumber minyak nabati. Potensi kelapa sawit di Indonesia sangat besar, penyebaran
perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sudah berkembang di 22 propinsi. Luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Luas kebun
kelapa sawit pada tahun 2009 adalah 8.248.328 ha dan meningkat pada tahun 2010
menjadi 8.430.026 ha. Produksi juga terus meningkat seiring bertambahnya luas
perkebunan kelapa sawit. Produksi kelapa sawit pada tahun 2007 sebesar 19.324.293 ton

3
dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 19.760.011 (Direktorat Jenderal Perkebunan,
2010).
Tanaman kelapa sawit memiliki banyak kegunaan. Hasil tanaman ini dapat
digunakan pada industri pangan, tekstil (bahan pelumas), kosmetik, farmasi dan biodiesel.
Selain itu, limbah dari pabrik kelapa sawit seperti sabut, cangkang, dan tandan kosong
kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan pupuk organik (Fauzi et al.,
2008).

2.2. Perkembangan Industri Minyak Kelapa Sawit


Dalam perekonomian makroekonomi Indonesia, industri minyak sawit memiliki
peran strategis, antara lain penghasil devisa terbesar, lokomotif perekonomian nasional,
kedaulatan energi, pendorong sektor ekonomi kerakyatan, dan penyerapan tenaga kerja.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang cepat serta mencerminkan adanya
revolusi perkebunan sawit. Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang di 22 provinsi
dari 33 provinsi di Indonesia. Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit di
Indonesia adalah Sumatra dan Kalimantan. Sekitar 90% perkebunan kelapa sawit di
Indonesia berada di kedua pulau sawit tersebut, dan kedua pulau itu menghasilkan 95%
produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia. Dalam kurun 1990–2015,
terjadi revolusi pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yang ditandai dengan
tumbuh dan berkembangnya perkebunan rakyat dengan cepat, yakni 24% per tahun selama
1990–2015. Pada 2015, luas perkebunan sawit Indonesia adalah 11,3 juta ha (Kementerian
Pertanian, 2015), dan pada 2017 mencapai 16 juta ha. Saat ini, proporsi terbesar adalah
perkebunan rakyat sebesar 53%, diikuti perkebunan swasta 42%, dan perkebunan negara
5%. Pada 2017, produksi CPO Indonesia diprediksi mencapai 42 juta ton.
Perkembangan industri minyak sawit Indonesia yang berkembang cepat tersebut
telah menarik perhatian masyarakat dunia, khususnya produsen minyak nabati utama
dunia. Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar dunia sejak 2006. Pada
2016, Indonesia berhasil mengungguli Malaysia. Share produksi CPO Indonesia telah
mencapai 53,4% dari total CPO dunia, sedangkan Malaysia memiliki pangsa sebesar 32%.
Demikian halnya dalam pasar minyak nabati global, minyak sawit juga berhasil
mengungguli minyak kedelai (soybean oil) sejak 2004. Pada 2004, total produksi CPO
mencapai 33,6 juta ton, sedangkan minyak kedelai adalah 32,4 juta ton. Pada 2016, share
produksi CPO dunia mencapai 40% dari total nabati utama dunia, sedangkan minyak
kedelai memiliki pangsa sebesar 33,18% (United States Department of Agriculture, 2016).

4
Minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang cukup penting bagi
masyarakat Indonesia. Hampir semua masakan dan jenis makanan di Indonesia
membutuhkan minyak goreng sebagai salah satu bahan mediasi pengolahannya. Terdapat
beberapa jenis minyak goreng yang biasa digunakan untuk memasak. Mulai dari minyak
kelapa, minyak kelapa sawit, minyak jagung, hingga minyak kedelai. Meski berbeda jenis,
seluruhnya memiliki fungsi yang sama, yakni untuk memasak makanan.
Di Indonesia, minyak kelapa sawit masih menjadi salah satu jenis minyak yang
paling digemari masyarakat. Memiliki harga yang lebih murah dibandingkan jenis minyak
goreng lainnya, produk yang terbuat dari ekstrak biji kelapa sawit ini tak pernah surut
peminat.
Dalam proses pembuatan minyak, biji kelapa sawit yang telah dipanen akan
dikumpulkan dan diuji kualitasnya. Setelah itu, biji kelapa sawit yang memenuhi
kualifikasi akan dibawa ke pabrik penggilingan (mill) yang berdekatan dengan kebun. Di
sana, biji kelapa sawit diekstraksi menjadi larutan berwarna oranye pekat yang sering
dikenal sebagai crude palm oil (CPO). CPO akan dikumpulkan di dalam tabung raksasa,
kemudian disuling (refinery) untuk menghasilkan RBDPO yang dihasilkan dari ketiga
proses diatas terdiri dari dua fraksi, yaitu fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein).
Setelah selesai difraksinasi, minyak goreng kemudian akan didiamkan hingga mencapai
suhu ruang, lalu dikemas dengan aneka kemasan plastik, lalu didistribusikan ke para
konsumen.
Perkembangan produksi minyak sawit (CPO) dari tahun 2000 sampai dengan 2016
selalu mengalami peningkatan per tahun. Pada tahun 2013 sampai 2015, produksi minyak
kelapa sawit mengalami kenaikan antara 5,67 sampai dengan 7,70 persen. Kemudian pada
tahun 2016, produksi minyak kelapa sawit mengalami peningkatan tajam sebesar 53,28
persen dari tahun 2015. Pada tahun 2013 produksi minyak sawit (CPO) sebesar 17,77 juta
ton, meningkat menjadi 31,49 juta ton pada tahun 2016 atau terjadi peningkatan 77,18
persen. Sementara tahun 2017 diperkirakan produksi minyak sawit (CPO) akan meningkat
menjadi 34,47 juta ton atau sebesar 9,46 persen.

5
Gambar 2.1 Perkembangan Produksi Minyak sawit Indonesia Tahun 200-
2017 (ribu ton)
Dengan melimpahnya produksi kelapa sawit yang dihasilkan oleh perkebunan di
Indonesia, menempatkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan besar pengekspor minyak
kelapa sawit di dunia. Total ekspor minyak kelapa sawit empat tahun terakhir cenderung
mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 2016 yang mengalami penurunan.
Peningkatan tersebut berkisar antara 9,44 sampai dengan 16,06 persen per tahun,
sedangkan pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 13,96 persen. Selanjutnya, pada
tahun 2017 total volume ekspor kembali mengalami peningkatan sebesar 19,45 persen.
Pada tahun 2013 total volume ekspor mencapai 22,22 juta ton dengan total nilai sebesar
US$ 17,14 milyar, meningkat menjadi 29,07 juta ton pada tahun 2017 dengan total nilai
sebesar US$ 20,72 milyar.

Gambar 2.2 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit


Indonesia Tahun 2013-2017.

6
Produksi minyak kelapa sawit Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara
dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia
menjangkau lima benua yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa
utama di Asia. Pada tahun 2017, lima besar negara pengimpor CPO Indonesia adalah
India, Belanda, Singapura, Italia, dan Spanyol. Volume ekspor ke India mencapai 4,63 juta
ton atau 65,40 persen dari total volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai US$ 3.068
juta. Peringkat kedua adalah Belanda, dengan volume ekspor sebesar 0,62 juta ton atau
8,70 persen dari total volume CPO Indonesia dengan nilai US$ 415,7 juta. Peringkat
ketiga adalah Singapura, dengan volume ekspor sebesar 0,60 juta ton atau 8,55 persen dari
total volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai US$ 398,6 juta. Peringkat keempat
adalah Italia dengan volume ekspor 0,36 juta ton atau sekitar 5,04 persen dari total volume
ekspor CPO Indonesia dengan nilai US$ 231,4 juta. Peringkat kelima adalah Spanyol
dengan volume ekspor 0,22 juta ton atau 3,05 persen dari total volume ekspor CPO
dengan nilai US$ 138,6 juta

Gambar 2.3 Persentas Volume Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara


Tujuan, 2017
Sementara itu sentra produksi minyak kelapa sawit sebagai bahan dasar industri
minyak goreng hingga saat ini masih terpusat di wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan,
dimana Riau menjadi provinsi dengan produksi sawit terbesar. Adapun provinsi sentra
produksi minyak goreng berdasarkan jumlah produksi yang dihasilkan perkebunan yang
terdapat di masing-masing provinsi, menurut data BPS tahun 2017*.

7
2.3. Standardisasi Nasional Indonesia Terhadap Minyak Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi unggulan yang memiliki andil yang
signifikan bagi perekonomian Indonesia. Indonesia saat ini merupakan negara penghasil
CPO terbesar di dunia. Peluang bisnis pertanian kelapa sawit dan produk turunannya
sangatlah menjanjikan untuk pengembangan lahan pertanian dan pengembangan pabrik
kelapa sawit. Iklim tropis dan curah hujan yang cukup memungkinkan tanaman kelapa
sawit tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia.
Proses Produksi dikatakan baik apabila proses tersebut menghasilkan produk yang
memenuhi standar yang telah ditetapkan. Namun pada kenyataannya dalam proses
produksi masih sering terjadi berbagai penyimpangan dan hambatan yang
mengakibatkan produk dianggap cacat. Oleh karena itu pengendalian kualitas sangatlah
perlu dilakukan agar perusahaan dapat megoreksi terjadinya kesalahan atau
penyimpangan dalam produksinya (Sirine dan Kurniawati, 2017).
Untuk menghasilkan produk CPO mengacu pada standar mutu CPO yang ditetapkan
oleh pembeli atau pelanggan. Pemerintah sendiri melalui BSN telah menetapkan
standarisasi mutu CPO yang dimuat dalam SNI-01-2901-2006 yaitu:
Tabel 2.1. Standar Nasional Mutu Kelapa Sawit
No Karakteristik Keterangan
1 Kadar asam lemak bebas < 5.00%
2 Kadar air < 0,50%
3 Kadar kotoran < 0,50 %
4 Bilangan yodium 50-55g/100gr
5 Warna CPO (Crude Plam Oil) Jingga Kemerah-merahan
Sumber : SNI, 2006)

2.4. Indeks DOBI


Deterioration of Bleachability Index (DOBI) merupakan indeks derajat kepucatan
minyak sawit mentah. Analisa kadar asam lemak bebas dan kadar kotoran tidak cukup
untuk menjadi parameter Crude Palm Oil (CPO) yang berkualitas. Salah satu
penggunaan DOBI adalah dalam membedakan minyak berkualitas rendah dengan
kandungan Asam Lemak Bebas (ALB) yang sama. Bilangan DOBI digunakan sebagai
indikator kunci dari CPO yang berkualitas dan sebagai indikator status oksidatif CPO
serta kemudahan untuk proses pengolahan lebih lanjut seperti pada pemucatan minyak
goreng

8
Minyak kelapa sawit mengandung zat warna, seperti karoten dan turunannya yang
memberikan warna merah-kuning pada minyak. Warna tersebut kurang disukai
konsumen. Terlebih lagi, hal ini dikarenakan reaksi pada temperatur tinggi dapat
mengubah karoten menjadi senyawa yang berwarna kecokelat-cokelatan dan larut dalam
minyak sehingga semakin sukar untuk dipucatkan (kemampuan untuk dipucatkan
semakin berkurang). Penurunan daya pemucatan ini disebut DOBI (Deterioration Of
Bleachability Index).
Dalam industri, pemucatan minyak kelapa sawit dapat dilakukan dengan proses
absorpsi dan dengan reaksi kimia. Proses absorpsi dilakukan dengan menggunakan
bahan bleaching clay (floridin dan kaolin), bleaching karbon, serta karbon
aktif.Pemucatan dengan reaksi kimia dapat dilakukan denganoksidasi menggunakan
peroksida, dikromat, dan klorin.
Bilangan DOBI merupakan gambaran kerusakan minyak akibat proses oksidasi yang
terjadi sejak panen lalu dilajutkan pada proses pengolahan, penimbunan, dan pemompaan
ke kapal tanker angkut. Kerusakan kualitas tersebut akan berperan pada proses
pengolahan lanjutan di industri hilir. Perubahan kualitas minyak selama proses
dipengaruhi oleh sistem pengolahan dan peralatan yang digunakan (Pahan, 2012).
Deterioration Of Bleachability Index ( DOBI) bukan merupakan salah satu dari
spesifikasi mutu. Bagaimanapun, kebanyakan dari para pembeli CPO menginginkan
produk yang telah mengalami proses penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO
(Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil). Bleachibilitas atau daya pemucatan yang
baik akan menjadi suatu indikator dari kesiapan CPO untuk digunakan.
Analisa kadar air, pengotoran dan asam lemak bebas sendiri tidak cukup untuk
membuktikan mutu dari CPO. DOBI dalam analisanya dapat memperlihatkan suatu
indikasi yang baik dari status oxidative dari CPO setelah CPO di produksi.

2.5. β-Karoten
Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, atau
merah orange yang ditemukan pada tumbuhan, kulit, cangkang atau kerangka luar
(eksoskeleton) hewan air serta hasil laut lainnya seperti molusca (calm, oyster,
scallop),crustacea (lobster, kepiting, udang) dan ikan (salmon, trout, sea beam, kakap
merah dan tuna). Karotenoid juga banyak ditemukan pada kelompok bakteri, jamur,
ganggang dan tanaman hijau (Desiana, 2000).

9
Pigmen karotenoid mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya
disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul
pusat terletak pada posisi C1 dan C6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi
C1dan C5 serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonjugasi.
Semua senyawa karotenoid mengandung sekurang-kurangnya empat gugus metil
dan selalu terdapat ikatan ganda terkonjugasi diantara gugus metil tersebut. Adanya
ikatan ganda terkonjugasi dalam ikatan karotenoid menandakan adanya gugus kromofora
yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid. Semakin banyak ikatan ganda
terkonjugasi, maka makin pekat warna pada karotenoid tersebut yang mengarah ke warna
merah (Heriyanto, 2009).
Kandungan karoten dalam minyak sawit mencapai 0,05-0,18%. Selain sebagai obat
anti kanker, karoten juga merupakan sumber provitamin A yang cukup potensial.
Karoten yang terdiri dari α, β dan γ karoten ini, tersimpan didalam daging buah kelapa
sawit.
Beta karoten sebagai salah satu zat gizi mikro di dalam minyak sawit mempunyai
beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk menanggulangi
kebutaan karena xeroftalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses
penuaan dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit
degeneratif. Selain itu ada korelasi negatif antara konsumsi karoten dengan gejala
penyakit kanker paru-paru. Beta karoten juga berperan aktif sebagai pemusnahan radikal
bebas (Seto, 2001).
Beta karoten menyerap sinar pada daerah ultra-violet sampai violet, tetapilebih kuat
pada daerah tampak antara 400 dan 500 nm dengan puncak 470 nm (Winarno, 1997).

2.6. Iodine Value


Bilangan iod (IV) menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak dan lemak yang
mengekspresikan jumlah yodium yang dapat diadsorpsi. IV dapat digunakan untuk
memprediksi sifat fisika kimia minyak dan lemak seperti stabilitas oksidasi dan titik leleh
(Miyake et al, 1998). Wujud minyak dan lemak juga dapat ditentukan sesuai IV yang
dimilikinya. Minyak dan lemak yang memiliki IV rendah berwujud padat sedangkan IV
tinggi berwujud cair (Knothe, 2002; Hasibuan, 2012).
Bilangan iod (IV) ditentukan dengan metode titrasi menggunakan pelarut dan
membutuhkan waktu yang lama. Beberapa metode penentuan IV adalah Wijs, Hanus,
Hubl, Hoffman, Green, dan Rosenmund-Kuhnhenn. Secara instrumental, IV ditentukan

10
menggunakan differential scanning calorimetry, H-nuclear magnetic resonance, near
infrared spectroscopy, dan fourier transform infra red (Miyake et al, 1998; Haryati et al,
1997; Gee, 1995; Reda et al, 2007; Sedman et al, 2000; Cox et al, 2000). Meskipun
banyak metode yang telah dikembangkan, Wij‟s merupakan metode standar dan sangat
luas digunakan.
Bilangan iod (IV) merupakan suatu ukuran dari ketidakjenuhan minyak dan lemak.
Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat diikat oleh 100 gram lemak (Ketaren,
2005). Parameter ini sangat penting di industri minyak sawit dan dapat digunakan
sebagai panduan pada proses pengolahan minyak sawit. Metode yang umum untuk
menentukan IV adalah Wijs dan selalu menjadi standar di dalam pengembangan
beberapa metode analisa IV (Haryati, 1998).

11
BAB III
METODE

3.1. Indeks DOBI


A. Bahan
Bahan yang diguna kan dalam penelitian yaitu buah masak panen umur 6 bulan dari
ketiga tipe tanaman kelapa sawit umur 16 tahun varietas LaMe, minyak kelapa sawit hasil
ekstraksi, hexane, nhexane, alkohol 95%, indicator phenolphthalein 1%, NaOH 0,25 N,
kertas saring, dan tip pipette 100 µL.

B. Alat
Alat yang digunakan yaitu alat press buah manual, volumetric flask 50 mL,
Erlenmeyer 250 mL, gelas beker 100 mL, gelas ukur 100 mL, cuvette 2,5 mL, cawan,
neraca analitik merk Precisa tipe XB 220A (Swiss), timbangan 100 kg merk Avery Berkel,
oven merk Memmert (Jerman), spektrofotometer merk Agilent Technologies tipe Cary 60
UV-Vis (Malaysia), moisture analyzer merk AND MX-50 (Jepang), soxhlet merk
Besttech, buret digital merk Witeg tipe Titrex 2000, autoklaf electric sterilizer,
micropipette 100 µL.

C. Metode
Panaskan sampel minyak hasil ekstraksi buah kelapa sawit pada suhu 60-70 oC
sampai terlihat encer dan homogen. Kemudian timbang sampel minyak sebanyak 0,2 g
kedalam volumetric flask 50 mL lalu tambahkan n-hexane sampai batas volumetric flask
dan kocok larutan untuk menyatukan minyak dan n-hexane (homogen). Ukur absorbansi
sampel menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm dan 269 nm.
Setelah didapat data absorbansi, dihitung nilai DOBI dengan rumus :
Ab
DOBI =
As
Keterangan :
Ab : Absorbansi 446 nm
As : Absorbansi 299 nm

12
Tabel 3.1 Jumlah sampel tanaman kelapa sawit yang digunakan untuk
pengukuran DOBI
Tipe Kelapa Jumlah Sampel Tanaman pada Perlakuan
Sawit 0 hari 7 hari 14 hari 21 hari 28 hari
Dura 4 4 2 4 4
Tenera 4 4 4 4 4
Pisifera 4 4 4 4 4

3.2. β-Karoten
A. Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah minyak kelapa sawit dari PT. Nutri
Palma Nabati (Bogor, Indonesia); heksana, etanol, etil asetat, asetonitril, aseton, toluen,
kloroform, petroleum eter, natrium hidroksida, lempeng KLT (gel silika G 60 F 254
Merck), potassium hidroksida, gel silika (Wako), sea sand, senyawa standar βkaroten
(Sigma-Aldrich), standar α-karoten (Wako), standar β-cryptoxanthin (Extrasynthese),
anhydrous natrium sulfat dan akuades.

B. Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah set alat kromatografi kolom terbuka,
set alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Waters®, kolom C-18), set alat refluks (labu
dasar bulat 100 ml, heat mantel, tabung refluks), termometer, chamber KLT, corong pisah
500 ml, spektrofotometer UV-VIS (Varian®), buret, sonikator, water bath, timbangan
analitik, pipet volumetrik, desikator, oven pengering, wadah porselen, mikropipet,
magnetic stirrer, rotary evaporator, kertas saring (Whatmann® No. 40), gelas ukur, botol
amber, erlenmeyer, labu volumetrik dan gelas kimia.

C. Metode
 Karakterisasi bahan baku
Karakterisasi minyak sawit mentah meliputi penentuan kadar air, analisis total
karotenoid dan kadar β-karoten. Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui sifat dan
kelayakan minyak sawit mentah (crude palm oil) untuk digunakan sebagai bahan baku
isolasi senyawa β-karoten.

13
 Ekstraksi dengan metode transesterifikasi adsorpsi-desorpsi (Damayanti et al.,
2014 )
Sampel minyak kelapa sawit mentah ditimbang sebanyak 50 g dan dimasukan ke
dalam labu dasar bulat 250 ml bersamaan dengan 0,25 g H2SO4 dalam 9,45 g metanol,
diaduk pada kecepatan 300 rpm dan dipanaskan pada suhu 60 C selama 1 jam. Kemudian
ke dalam labu tersebut ditambahkan 0.5 g NaOH dalam 9,45 g metanol, diaduk pada
kecepatan 300 rpm dan dipanaskan pada suhu 60oC selama 1 jam. Hasil larutan tersebut
kemudian dimasukkan ke sentrifugasi (1500 rpm, 30 menit) untuk memisahkan fraksi
metanol, metil ester kasar dan fase polar hasil reaksi transesterifikasi. Akuades kemudian
ditambahkan untuk memisahkan fasa polar dan metil ester kasar. Metil ester kasar yang
sudah dicuci kemudian dicuci kembali dengan akuades untuk menghilangkan fasa polar
yang masih tersisa serta mengatur pH menjadi netral akibat pengaruh katalis pada
transesterifikasi.
Metil ester kasar kemudian ditambahkan dengan adsorben kaolin masing-masing
dengan perbandingan berat kaolin : metil ester kasar sebesar 1:2, 1:3 dan 1:4. Campuran
adsorben kaolin dan metil ester kasar diaduk dengan pengaduk magnetis pada kecepatan
200-300 rpm selama 60 menit pada suhu 60 C. Hasil pengadukan campuran adsorben dan
metil ester kasar disaring menggunakan kertas saring (Whatmann® No. 40) dengan
bantuan pompa vakum. Filtrat yang lolos melalui kertas saring dilakukan penyaringan
ulang dengan kertas saring hingga filtrat berwarna jernih. Residu yang tertinggal pada
kertas saring kemudian dikumpulkan dan didesorpsi menggunakan pelarut heksana dengan
metode maserasi selama 24 jam dengan bantuan pengadukan.
Hasil maserasi proses desorpsi kemudian didekantasi, dipindahkan pada labu dasar
bulat dan diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 35 C kondisi vakum. Residu pada
labu dasar bulat kemudian dilarutkan kembali dengan 5 ml heksana sehingga menjadi
konsentrat untuk kemudian disimpan dalam botol amber gelap. Perhitungan konsentrasi
karotenoid dihitung berdasarkan metode analisis total karotenoid.
 Ekstraksi dengan metode esktraksi saponifikasi (Parker, 1992)
Sampel minyak kelapa sawit mentah ditimbang 10 g dalam ke labu takar gelap 100 ml
menggunakan timbangan analitik. Masing-masing sampel ditambahkan dengan 30 ml
campuran pelarut HAET (heksana, aseton, etanol dan toluen dengan perbandingan
10:7:6:7), disonikasi selama 2 menit, ditambahkan pelarut hingga batas tera pada labu
takar tepat 100 ml kemudian dikocok hingga homogen. Tahapan selanjutnya adalah

14
saponifikasi dengan cara 10 ml larutan diambil dan dipindahkan ke labu takar gelap yang
sudah berisi 20 ml pelarut HAET, 1 ml air, 4 ml KOH dalam metanol (40% w/v) dan
dimasukan ke dalam penangas air pada suhu 56 C dengan variasi waktu reaksi 0 menit,
30 menit dan 60 menit.
Hasil saponifikasi kemudian dipindahkan ke dalam corong pisah gelap dan
ditambahkan 40 ml pelarut HAET, 40 ml Na2SO4 anhidrat (3% w/v) dan 50 ml akuades,
dikocok dan didiamkan hingga terpisah menjadi dua fasa, fase terbawah diambil.
Pengulangan dilakukan dengan cara menambahkan 50 ml akuades pada corong pisah,
dikocok kemudian dipisahkan. Fasa teratas dikumpulkan pada labu dasar bulat untuk
dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 35 C kondisi vakum. Residu pada labu
dasar bulat dilarutkan dengan etanol absolut sebanyak 5 ml. Perhitungan konsentrasi
karotenoid dihitung berdasarkan metode analisis total karotenoid.
 Analisis hasil ekstraksi dengan kromatografi lapis tipis (Zeb & Murkovic, 2010)
Konsentrat yang dihasilkan dari proses ekstraksi diuji menggunakan kromatografi
lapis tipis (KLT). KLT yang digunakan adalah KLT fase normal, yaitu fase diam bersifat
polar dan eluen yang digunakan bersifat non-polar. Adsorbent yang digunakan adalah gel
silika (G 60 F 254 Mercks®) dan eluen yang digunakan adalah campuran pelarut organik
seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Kombinasi pelarut organik yang digunakan sebagai eluen pada
analisis menggunakan KLT

Sejumlah kecil konsentrat (0.05-0.1μl) ditotolkan pada fase diam gel silika secara
perlahan dan berulang. Hal yang sama dilakukan pada standar senyawa α-karoten, β-
karoten dan βkriptosantin. Kombinasi campuran pelarut (sebagai eluen) dimasukan ke
dalam chamber KLT untuk dijenuhkan selama 60 – 120 menit. Setelah fase gerak jenuh,
fase diam yang telah dibubuhkan contoh konsentrat dan senyawa standar dimasukan ke
dalam chamber KLT, didiamkan hingga fase gerak mencapai batas atas yang telah
ditentukan. Nilai Rf senyawa standar dibandingkan dengan nilai Rf contoh konsentrat.

15
 Pemisahan fraksi dengan kromatografi kolom terbuka (Damayanti et al, 2014
dengan modifikasi)
Penggunaan fase diam dan teknik kromatografi kolom didasarkan pada penelitian
isolasi beta karoten yang dilakukan oleh Damayanti et al (2014) dengan modifikasi pada
jumlah volume konsentrat yang dimasukan ke dalam kolom. Fase diam gel silika
(Wakosil® C-200, ukuran partikel 64-210μm) dimasukan kedalam kolom kromatografi
(Pyrex®, panjang kolom 300 mm, diameter 24,5 mm). Sebanyak 250 μl dari konsentrat
hasil ekstraksi paling optimum dipipet ke dalam kolom dengan fase diam gel silika dan
fase gerak pelarut optimum hasil uji coba pada analisis KLT. Keran kolom dibuka dan
kecepatan alir diatur sehingga konsisten pada kecepatan 1 ml/menit. Kecepatan aliran
fraksi perlu diatur untuk menyeragamkan kepadatan gel silika di dalam kolom yang
dipengaruhi oleh dimensi ukuran, partikel gel silika, dimensi kolom, viskositas cairan dan
tekanan yang dipakai untuk mengalirkan zat pelarut. Eluat hasil kromatografi
dikumpulkan dalam wadah botol amber gelap setiap 3 menit. Hasil eluat tersebut diukur
absorbansi maksimumnya menggunakan spektrofotometer UVVIS pada rentang panjang
gelombang 350 – 800 nm. Eluat digabung menjadi kelompok berdasarkan kesamaan nilai
absorbansi.
 Karakterisasi dan kuantifikasi fraksi mengandung β-karoten (Karnjanawipagul,
2010; Zeb & Murkovic, 2010)
Masing-masing kelompok eluat yang telah dikumpulkan dikarakterisasi melalui KLT
dengan cara membandingkan nilai Rf yang didapat dengan senyawa standar. Fase diam
yang digunakan adalah gel silika (G-60 F 254 Mercks®). Fraksi yang telah dikumpulkan
dikarakterisasi dengan cara diukur panjang gelombang maksimumnya menggunakan
spektrofotometer UV-VIS.
Tabel 3.3. Rancangan acak lengkap modifikasi faktor tahapan ekstraksi minyak
kelapa sawit mentah

16
Konsentrasi kelompok eluat yang mengandung senyawa β-karoten dihitung dengan
instrumen spektrofotometer UV-VIS berdasarkan perhitungan dari rumus regresi standar
β-karoten pada konsentrasi 0,2, 0,4, 0,6, 0,8, 2,0, 3,0, 4,0 dan 5,0 ppm. Persentase
recovery perolehan β-karoten dihitung dengan cara membandingkan konsentrasi β-karoten
senyawa setelah diisolasi dengan konsentrasi β-karoten bahan baku sebelum diekstraksi
dan diisolasi. Persentase recovery dapat dihitung menggunakan rumus:
betakaroten hasil isolasi
% revover= x 100 %
betakaroten bahan baku

 Analisis data
Analisis statistik digunakan untuk menentukan metode ekstraksi terbaik dari
modifikasi perlakuan pada metode transesterifikasi-adsorpsi-desorpsi dan ekstraksi-
saponifikasi. Dalam penelitian ini digunakan metode rancangan acak lengkap (RAL)
dengan faktor modifikasi tahapan ekstraksi dari minyak sawit dan respon analisis total
karotenoid. Hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan analisis sidik
ragam (ANOVA), yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5% apabila
hasil yang diperoleh berbeda nyata antar sampel dengan menggunakan software SPSS
22.0. Tabel 3.3 menunjukan rancangan acak lengkap untuk modifikasi faktor tahapan
ekstraksi minyak kelapa sawit mentah.

3.3. Iodine Value


A. Bahan
Sebanyak 60 sampel crude palm oil (CPO), 45 sampel refined bleached and
deodorized palm oil (RBDPO), 50 sampel RBD palm stearin (RBDPS), 45 sampel RBD
palm olein (RBDOL), 25 sampel crude palm kernel oil (CKO), 15 sampel crude palm
kernel olein (CKL), 11 sampel crude palm kernel stearin (CKS), 25 sampel RBD palm
kernel oil (RKO), 13 sampel RBD palm kernel olein (RKL), 13 sampel RBD palm kernel
stearin (RKS), 40 sampel hydrogenated palm kernel oil (HPKO), 27 sampel
hydrogenated palm kernel olein (HPKL) dan 50 sampel hydrogenated palm kernel
stearin (HPKS) digunakan dalam penelitian ini yang diperoleh dari pabrik rafinasi,
fraksinasi dan hidrogenasi di Medan, Dumai dan Surabaya. Bahan-bahan analisis kimia
seperti larutan wijs p.a, heksan p.a, isooktan p.a, natrium klorida p.a, triflorobromida p.a,
natrium hidroksida p.a diperoleh dari E. Merck.

17
B. Alat
Labu, buret, statif dan klem, Erlenmeyer, timbangan , gelas beaker, gelas ukur, cawan
petri,

C. Metode
Minyak dipanaskan hingga mencair dan homogen. Minyak ditimbang dengan berat
tertentu ke dalam labu yang bertutup. Ke dalam labu ditambahkan sikloheksan:asam asetat
(1:1) dan diaduk untuk memastikan bahwa sampel sudah larut sempurna. Ke dalam labu
ditambahkan 10 mL larutan Wijs lalu labu ditutup dan diaduk agar tercampur merata.
Labu disimpan dalam ruang bebas cahaya selama 30 menit pada suhu kamar. Ke dalam
labu ditambahkan 10 mL larutan KI dan 100 mL akuades lalu dititrasi dengan larutan
Na2S2O3 0,1N secara perlahan. Titrasi dilanjutkan hingga diperoleh warna kuning hampir
hilang kemudian ditambahkan 1-2 mL larutan kanji dan dilanjutkan titrasi sampai warna
biru tepat hilang. Untuk setiap jenis sampel digunakan sebuah blanko dengan cara dan
perlakuan yang sama seperti sampel. Bilangan iod dihitung sesuai persamaan berikut:
Titrasi ( B−S ) x N x 12,69
Bilangan Iod=
W
B adalah volume (mL) titrasi blanko, N adalah normalitas Na-tiosulfat, S adalah
volume (mL) Na-tiosulfat sampel, dan W adalah berat contoh (gr).

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Indeks DOBI


 Pengaruh lama waktu penyimpanan buah terhadap DOBI minyak sawit
Afriani (2009) menyatakan DOBI (Deterioration of Bleachability Index) adalah
index derajat kepucatan minyak sawit mentah. Tujuan pemucatan ialah untuk
menghilangkan warna (bleaching) yang kurang disukai dalam minyak, sehingga DOBI
penting untuk membantu pemrosesan dalam pemurnian minyak kelapa sawit. Hasil
pengukuran DOBI minyak sawit ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Pengaruh lama waktu penyimpanan buah kelapa sawit terhadap
DOBI minyak sawit yang dihasilkan dari kelapa sawit tipe dura, tenera, dan
pisifera. Data merupakan rata-rata ± SE (n= 2-4). Tanda (*) mengindikasikan
secara statistik signifikan dari kontrol (0 hari) pada P < 0,05 dengan uji
Dunnet.
Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu penyimpanan buah,
semakin menurun nilai DOBI minyak sawit. Berdasarkan hasil analisis, perlakuan
lamanya waktu penyimpanan buah selama 21 hari dan 28 hari untuk tipe dura, 14 hari, 21
hari, dan 28 hari untuk tipe tenera, serta 7 hari, 14 hari, 21 hari, dan 28 hari untuk tipe
pisifera, hasil uji untuk perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap kontrol (P < 0,05). Ini
artinya perlakuan lamanya waktu penyimpanan buah berpengaruh signifikan terhadap
DOBI minyak sawit pada perlakuan tersebut dari ketiga tipe kelapa sawit.
Gambar 4 juga menunjukkan pada perlakuan kontrol (0 hari) minyak dari tanaman
kelapa sawit tipe dura, tipe tenera, dan tipe pisifera memiliki angka DOBI masing-masing
1,97, 3,21, dan 4,02. Dari hasil pengukuran tersebut, berdasarkan standar mutu PORIM
yang menentukan hubungan DOBI dengan kualitas minyak sawit mentah atau CPO,

19
minyak sawit dari tipe dura memiliki kualitas minyak kurang (CPO dengan angka DOBI
antara 1,76-2,30), minyak sawit dari tipe tenera memiliki kualitas minyak baik (CPO
dengan angka DOBI antara 2,99-3,24), dan minyak sawit dari tipe pisifera memiliki
kualitas minyak terbaik (CPO dengan angka DOBI >3,24). Pada penelitian yang lain
Zuherawan (2008) menyatakan pengukuran DOBI yang dihasilkan dari pengujian yaitu
didapatkan nilai sebesar 2,58.

4.2. Hasil β-karoten


 Karakterisasi bahan baku
Karakterisasi bahan baku merupakan tahap penelitian awal yang bertujuan untuk
mengetahui sifat serta kelayakan minyak sawit mentah (crude palm oil) untuk digunakan
sebagai bahan baku isolasi senyawa β-karoten. Tahapan penentuan sifat dan kelayakan
bahan baku diketahui melalui parameter kadar air, total karotenoid dan kandungan
senyawa β-karoten yang dinilai sebagai parameter yang dapat mempengaruhi keberhasilan
tahapan isolasi β-karoten. Tabel 4.1 menunjukkan hasil analisis karakteristik bahan baku
minyak sawit mentah.
Tabel 4.1 Hasil Analisis Karakteristik Bahan Baku Minyak Sawit Mentah

Kadar air bahan baku minyak sawit mentah yang digunakan masih sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006 dengan persyaratan kadar air
maksimum 0.5 %. Semakin tinggi kadar air minyak sawit mentah maka akan semakin
rendah mutunya. Hasil perhitungan total karotenoid yang didapat adalah sebesar 627,75
µg/g sebagaimana data literatur komponen karotenoid pada minyak sawit mentah yang
berada pada kisaran 500 – 700 ppm (Sundram et al., 2003).
Karotenoid termasuk dalam 1% komponen minor yang terkandung dalam minyak
sawit mentah selain komponen mayor seperti trigliserida, gliserol dan asam lemak.
Komponen minor pada minyak sawit mentah terdiri dari komponen senyawa karotenoid,
tokoferol, tokotrienol, sterolsterol, fosfolipid, glikolipid, terpen dan gugus alifatik, serta
elemen sisa (trace element) lainnya. Komponen terbesar karotenoid dalam minyak sawit
mentah adalah β-karoten dan α-karoten (Sundram et al., 2003). Berdasarkan Tabel 3,

20
terdapat 36.40 % senyawa β-karoten dari keseluruhan total karotenoid pada contoh minyak
sawit. Hasil analisis kandungan β-karoten yang didapat menggunakan metode
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) adalah sebesar 228.50 ± 7.78 µg/g.
 Perlakuan terbaik tahapan ekstraksi karotenoid
Perlakuan ektraksi yang dilakukan terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok
pertama melalui metode transesterifikasi-adsorpsi-desorpsi dengan variabel rasio
penggunaan adsorben kaolin dan fase metil ester kasar (hasil transesterifikasi). Kelompok
kedua melalui metode ekstraksi-saponifikasi dengan variabel waktu reaksi saponifikasi.
Hasil uji metode ekstraksi-saponifikasi menunjukkan bahwa metode ekstraksi-
saponifikasi dapat menghasilkan jumlah senyawa karotenoid yang lebih banyak
dibandingkan metode transesterifikasi-adsorpsi-desorpsi
Tabel 4.2. Recovery kandungan β-karoten hasil ekstraksi terhadap bahan baku

Hasil dari ekstraksi karotenoid dari metode terbaik kemudian dihitung konsentrasi
βkarotennya dengan instrumen spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 451
nm menggunakan deret standar senyawa β-karoten. Hasil konsentrasi β-karoten tersebut
akan digunakan untuk menghitung % recovery terhadap konsentrasi β-karoten awal pada
bahan baku. Berdasarkan Tabel 4, % recovery yang didapat adalah sebesar 80,90 %.
Angka tersebut menunjukan persentase jumlah β-karoten yang dapat terekstrak dari bahan
baku. β-karoten yang hilang dari total bahan baku diduga terdegradasi selama tahapan
ekstraksi
 Karakterisasi dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) pada penelitian ini memiliki dua fungsi utama yaitu
sebagai tahapan optimasi pelarut dalam pemisahan senyawa βkaroten dan sebagai tahapan
konfirmasi komponen senyawa β-karoten melalui perbandingan nilai Rf dengan senyawa
standar. Fase diam yang digunakan adalah gel silika. Senyawa standar yang digunakan
adalah β-karoten, α-karoten dan βcryptoxanthin. Penggunaan standar-standar tersebut
adalah untuk konfirmasi keberadaan senyawa target yang ingin diisolasi, melihat pola
pemisahan senyawa-senyawa dengan kemiripan secara struktur kimia (antara β-karoten
dan αkaroten), mengevaluasi efektifitas pemisahan senyawa oleh eluen yang digunakan

21
serta melihat kemungkinan pemisahan pita β-karoten dengan kelompok xantofil
(kelompok karotenoid dengan atom oksigen). Pada setiap eluen hanya terdapat satu pita
yang terbentuk dari crude senyawa hasil metode ekstraksi terbaik. Satu pita tersebut
memiliki nilai Rf yang identik dengan pita senyawa standar β-karoten pada kelima eluen
yang digunakan. Pita tersebut juga terpisah dengan pita senyawa β-cryptoxanthin (sebagai
perwakilan senyawa xantofil) serta memiliki kesamaan dengan pita standar α-karoten.
Pada Tabel 4.3. disajikan data mengenai hasil nilai Rf standar dan senyawa hasil ekstraksi
minyak sawit mentah.
Table 4.3 Nilai Rf senyawa standar dan hasil ekstraksi pada beberapa kombinasi
fase gerak

β-karoten menghasilkan nilai Rf yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa β-


cryptoxanthin. Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasi senyawa. Secara
kualitatif, nilai Rf yang sama menunjukan senyawa tersebut adalah senyawa yang sama
atau memiliki kemiripan (Zeb & Murkovic, 2010). Perbandingan nilai Rf juga dapat
dijadikan acuan untuk menunjukan efektifitas pelarut dalam memisahkan beberapa
senyawa berbeda yang tergolong dalam suatu kelompok.
Secara umum kelima eluen yang digunakan dapat membawa dan memisahkan pita β-
karoten. Hal ini dapat disebabkan oleh komposisi senyawa nonpolar yang dominan pada
setiap eluen. Sifat ini memudahkan senyawa target yang bersifat polar dapat terbawa oleh
eluen atau meminimalisir interaksi dengan fase diam. Pemilihan eluen didasarkan pada
pertimbangan efektifitas pemisahan dan pertimbangan keamanan pelarut yang digunakan.
 Pemisahan fraksi dengan kromatografi kolom terbuka
Fase diam yang digunakan adalah gel silika yang dimasukan ke dalam kolom dengan
diameter 2.54 cm. Fase diam dalam bentuk slurry dimasukan bersama dengan eluen

22
heksana, aseton, etil asetat, metanol (27:4:2:2), kemudian dibiarkan mengendap.
Rangkaian kolom kromatografi terbuka yang digunakan dalam penelitian. Keunggulan
kromatografi kolom dibandingkan dengan teknik pemisahan yang lain adalah dapat
memisahkan banyak senyawa dalam waktu bersamaan, komponen alat sederhana sehingga
mudah dalam pengoperasian, relatif lebih murah karena tidak perlu energi dari luar karena
pemisahan berdasarkan gravitasi. Hasil eluat yang tertampung sebanyak 27 botol untuk
kemudian dilakukan screening absorbansi maksimum menggunakan spektrofotometer
pada rentang panjang gelombang 350 nm – 800 nm. Eluat dengan kecenderungan
kesamaan nilai absorbansi maksimum dikumpulkan sebagai satu fraksi. Tabel 4.4
menunjukkan hasil pengelompokan eluat berdasarkan pengukuran absorbansi maksimum.
Dari Tabel 4.4 didapat empat kelompok fraksi berdasarkan screening absorbansi
maksimum. Senyawa karotenoid yang memiliki sifat lebih nonpolar seperti β-karoten
diduga akan keluar pada urutan eluat terdepan sesuai dengan pola retensi pada KLT. β-
karoten dapat keluar pada eluen urutan terdepan dikarenakan kecilnya preferensi βkaroten
untuk berinteraksi dengan fase gerak (Zulkipli, 2007).
Tabel 4.4 Kelompok Eluat Berdasarkan Pengukuran Absorbansi Maksimum

 Karakterisasi fraksi mengandung β-karoten


Hasil fraksi dari pemisahan kolom kromatografi dikarakterisasi melalui dua tahap
yaitu dengan KLT dan pengukuran absorbansi maksimum. Gambar 5 menunjukan
perbandingan pita senyawa standar, pita senyawa dari empat fraksi serta pita senyawa
crude hasil ekstraksi. Dapat dilihat bahwa nilai Rf fraksi 1 memiliki kesamaan dengan
senyawa standar β-karoten. Melalui uji KLT dapat diidentifikasi bahwa fraksi 1 dan crude
hasil ekstraksi (sebelum tahapan isolasi) mengandung senyawa β-karoten. Fraksi 2, 3 dan
4 tidak menunjukan adanya pita pada fase diam yang diduga merupakan eluen yang
tertampung. Untuk validasi hasil maka dilakukan pengukuran absorbansi maksimum

23
dengan spektrofotometer UV-VIS untuk membandingkan λmaks fraksi 1 dengan standar
senyawa β-karoten. Absorbansi maksimum standar β-karoten berada pada panjang
gelombang 451.0 nm sedangkan absorbansi maksimum fraksi hasil isolasi yang diduga
mengandung β-karoten berada pada panjang gelombang 448.0 nm. Terjadi sedikit
perbedaan pada panjang gelombang fraksi 1 dengan standar diduga karena faktor tingkat
kemurnian fraksi yang masih terdapat campuran senyawa karotenoid lainnya selain β-
karoten. Adanya senyawa lainnya dalam fraksi akan mempengaruhi respon serapan
spektrum cahaya yang diterima dari spektrofotometer sehingga panjang gelombang yang
dihasilkan akan berbeda dengan senyawa murni.
 Kuantifikasi fraksi mengandung β-karoten
Konsentrasi β-karoten dihitung dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
451 nm menggunakan kurva standar β-karoten. % recovery dihitung berdasarkan
perbandingan antara konsentrasi β-karoten bahan baku dan konsentrasi β-karoten dalam
fraksi 1. Konsentrasi β-karoten bahan baku dan fraksi satu serta % recovery dapat dilihat
pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Konsentrasi β-Karoten bahan baku dan fraksi 1

.
Untuk menilai keefektifan isolasi menggunakan kolom kromatografi terbuka maka
dihitung % recovery konsentrasi β-karoten dari fraksi 1 dibandingkan dengan konsentrasi
β-karoten hasil ekstraksi terbaik sebelum difraksinasi menggunakan kolom kromatografi
terbuka (Dapat dilihat pada Tabel 8). Dari % recovery yang mencapai angka 96,52 %,
diperoleh bahwa metode kolom kromatografi terbuka efektif digunakan untuk mengisolasi
senyawa β-karoten dari contoh minyak sawit mentah. Dengan demikian, perolehan %
recovery konsentrasi β-karoten fraksi 1 terhadap bahan baku adalah 78,09 %
Tabel 4.6. Konsentrasi β-Karoten hasil ekstraksi (sebelum difraksinasi) dan
fraksi 1

24
4.3. Hasil Iodine Value
Tabel 4.1. Bilangan iod, titik leleh, dan kandungan lemak padat bahan baku

Keterangan: CPO: crude palm oil, RBDPO: refined bleached deodorized palm oil,
RBDPS: refined bleached deodorized palm stearin, RBDOL: refined bleached
deodorized palm olein, CKO: crude palm kernel oil, CKL: crude palm kernel olein,
CKS: crude palm kernel stearin, RKO: refined bleached deodorized palm kernel oil,
RKL: refined bleached deodorized palm kernel olein, RKS: refined bleached
deodorized palm kernel stearin, HPKO: hydrogenated palm kernel oil, HPKL:
hydrogenated palm kernel olein, HPKS: hydrogenated palm kernel stearin: PO: palm
oil, PKO: palm kernel oil.

25
Tabel 4.2. Regresi IVproduk MS berdasarkan SFC

Model persamaan regresi berdasarkan jenis minyak digunakan untuk memprediksi IV


dan ditulis sebagai berikut:
IV (produk MS) = 55,1 + 0,0481 x SFC10 oC – 0,0367 x SFC 20 oC – 0,279 x SFC 25
o
C – 0,156 x SFC 30 oC – 0,102 x SFC 35 oC + 0,139 x SFC 40 oC. ....(1)
IV (produk MIS) = 27,6 – 0,0794 x SFC 10 oC – 0,0770 x SFC 20 oC – 0,103 x SFC
25 oC – 0,0277 x SFC 30 oC – 0,669 x SFC 35 oC + 0,763 x SFC 40 oC. .…(2)
Pada korelasi SFC dengan IV menunjukkan SFC 10 oC dan 40oC produk MS
menunjukkan koefisien yang bernilai positif dan SFC 20, 25, 30 and 35oC menunjukkan
koefisien negatif. Produk MIS hanya pada SFC 40 oC yang menunjukkan koefisien positif.
Sedangkan pada korelasi SFC dan MP menunjukkan SFC 10 oC, 35 oC dan 40 oC
menunjukkan koefisien yang bernilai positif dan SFC 20, 25, dan 30 oC menunjukkan
koefisien yang bernilai negatif. Pada produk MIS SFC 25 oC, 30 oC dan 40 oC
menunjukkan koefisien yang bernilai negaitf. Peningkatan SFC menunjukkan
meningkatnya asam lemak jenuh dan berdasarkan jenis minyak SFC rendah memiliki IV
tinggi dan MP rendah. Konsekuensinya adalah meningkatnya SFC akan menurunkan IV
dan meningkatkan MP.

26
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa IV dan MP MIS dan MIS dapat ditentukan
berdasarkan prediksi dari data SFC produk turunan MS dan MIS. Model prediksi yang
terbaik diperoleh menggunakan kombinasi berdasarkan jenis minyak MS (palmitat) atau
MIS (laurat))

27
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Deterioration of Bleachability Index (DOBI) merupakan indeks derajat kepucatan
minyak sawit mentah. Analisa kadar asam lemak bebas dan kadar kotoran tidak
cukup untuk menjadi parameter Crude Palm Oil (CPO) yang berkualitas. Salah
satu penggunaan DOBI adalah dalam membedakan minyak berkualitas rendah
dengan kandungan Asam Lemak Bebas (ALB) yang sama. Bilangan DOBI
digunakan sebagai indikator kunci dari CPO yang berkualitas dan sebagai indikator
status oksidatif CPO serta kemudahan untuk proses pengolahan lebih lanjut seperti
pada pemucatan minyak goreng
2. β-karoten sebagai salah satu zat gizi mikro di dalam minyak sawit mempunyai
beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi tubuh, antara lain untuk
menanggulangi kebutaan karena xeroftalmia, mencegah timbulnya penyakit
kanker, mencegah proses penuaan dini, meningkatkan imunisasi tubuh dan
mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Selain itu ada korelasi negatif antara
konsumsi karoten dengan gejala penyakit kanker paru-paru. Beta karoten juga
berperan aktif sebagai pemusnahan radikal bebas.
3. Bilangan iod (IV) menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak dan lemak yang
mengekspresikan jumlah yodium yang dapat diadsorpsi. IV dapat digunakan untuk
memprediksi sifat fisika kimia minyak dan lemak seperti stabilitas oksidasi dan
titik leleh
4. Total ekspor minyak kelapa sawit empat tahun terakhir cenderung mengalami
peningkatan, kecuali pada tahun 2016 yang mengalami penurunan. Peningkatan
tersebut berkisar antara 9,44 sampai dengan 16,06 persen per tahun, sedangkan
pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 13,96 persen. Selanjutnya, pada
tahun 2017 total volume ekspor kembali mengalami peningkatan sebesar 19,45
persen. Pada tahun 2013 total volume ekspor mencapai 22,22 juta ton dengan total
nilai sebesar US$ 17,14 milyar, meningkat menjadi 29,07 juta ton pada tahun 2017
dengan total nilai sebesar US$ 20,72 milyar.
5. Bilangan iod (IV) ditentukan dengan metode titrasi menggunakan pelarut dan
membutuhkan waktu yang lama. Beberapa metode penentuan IV adalah Wijs,
Hanus, Hubl, Hoffman, Green, dan Rosenmund-Kuhnhenn.

28
5.2. Saran
Materi yang terdapat dalam makalah ini tentunya dapat menambah dan
meningkatkan pengetahuan serta pemahaman pembaca terhadap mutu minyak kelapa
sawit pada DOBI, β-karoten dan iodine value. Saran dan kritik sangat penulis harapkan
guna perbaikan serta rujukan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini bisa memberi manfaat kepada pembaca sehingga dapat menambah pengetahuan dan
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

29
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, R. (2018). “PENENTUAN DOBI (DETERIORATION OF BLEACHABILITY


INDEX) DAN BETA KAROTEN MINYAK KELAPA SAWIT MENTAH
MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETER UV-VISIBLE DI PT. SMART TBK”.
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA. MEDAN.
Amri, N., Basyuni, M., & Putri, L. A. (2015). Analisis Potensi dan Pengaruh Waktu
Penyimpanan Buah Terhadap Mutu Minyak Kelapa Sawit Tipe Dura, Pisifera, dan
Tenera di Kebun Bangun Bandar, Dolok Masihul, Sumatera Utara. Peronema Forestry
Science Journal, 4(2), 139-151.
BADAN PUSAT STATISTIK. (2018). DISTRIBUSI PERDAGANGAN KOMODITAS
MINYAK GORENG INDONESIA 2018. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
Dianto, F., Efendi, D., & Wachjar, A. (2018). Pengelolaan Panen Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) Pelantaran Agro Estate, Kota Waringin Timur, Kalimantan
Tengah. Buletin Agrohorti, 5(3), 410-417.
Diniaty, D. (2020). Analisis Pengendalian Mutu (Quality Control) CPO (Crude Palm Oil)
Pada PT. XYZ. Jurnal Teknik Industri: Jurnal Hasil Penelitian dan Karya Ilmiah
dalam Bidang Teknik Industri, 5(2), 92-99.
Hasibuan, H. A., & Siahaan, D. (2013). PENENTUAN BILANGAN IOD DAN TITIK
LELEH BERDASARKAN KANDUNGAN LEMAK PADAT MINYAK SAWIT
DAN MINYAK INTI SAWIT (Uji Banding terhadap Metode Standar AOCS). Jurnal
Standardisasi, 15(1), 47-57.
Imam, P., Santosa, S., Berd, I., & Kasim, A. (2017). Penggunaan Analisis Regresi Linear
Berganda untuk Mendapatkan Model Prediksi Respon Asam Lemak Bebas dan Dobi
Hasil Rebusan Tandan Buah Segar Sawit. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian
Indonesia, 9(2), 55-64.
Wijaya, H., Wardayanie, N. I., Astuti, R. M., dan Lahiya, R. A. (2018) Isolasi Senyawa β-
Karoten dari Minyak Kelapa Sawit Mentah (Elaesis guineensis Jacq.) dengan Metode
Kromatografi Kolom Terbuka. Warta IHP/Journal of Agro-based Industry, 35(2), 74-
84

30

Anda mungkin juga menyukai