Disusun Oleh :
Kesehatan adalah suatu keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Berangkat dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa kesehatan
merupakan hal yang luas dan bukan hanya kesehatan secara fisik, namun juga sehat
jiwa. Kondisi jiwa yang sehat meliputi banyak kondisi, diantaranya merasa senang dan
bahagia, mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari – hari, hingga mampu
menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta lingkungannya.
Manusia adalah makhluk yang rentan terhadap segala macam penyakit,
termasuk penyakit dengan gangguan jiwa. Perawatan pasien gangguan jiwa harus
didukung oleh sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang baik, seperti rumah sakit.
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat
peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Saat ini, rumah sakit dituntut untuk
memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan dapat
menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah
pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai
dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan
standart dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Mutu pelayanan kesehatan harus
menjunjung prinsip keselamatan pasien dan memusatkan perhatian kepada pasien
(patient centered care).
Salah satu aspek yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan adalah
keselamatan pasien yang saat ini menjadi tuntutan kebutuhan pengelolaan rumah sakit.
Keselamatan pasien (patient safety) adalah permasalahan yang sangat penting dalam
setiap pelayanan kesehatan sehingga keselamatan merupakan tanggungjawab dari
pemberi jasa pelayanan kesehatan di setiap unit perawatan baik akut maupun
kronis harus berfokus pada keselamatan pasien baik dalam tatanan rumah sakit,
komunitas maupun perawatan di rumah.
Rumah Sakit Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang (RSJRW) merupakan rumah
sakit khusus type A, yang memiliki pelayanan untuk kesehatan jiwa. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2019 tentang kesehatan jiwa, dimana dijelaskan
bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seseorang dapat berkembang secara fisik,
mental, spriritual dan sosial sehingga individidu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Bilamana memang hal tersebut tidak
berjalan secara normal, maka dapat disebut seseorang tersebut mengalami gangguan
jiwa yang disebut ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai
manusia.
Berdasarkan data WHO (2017) saat ini perkiraan jumlah penderita gangguan jiwa
di dunia adalah sekitar 450 juta jiwa termasuk skizofrenia. Kondisi di Asia Tenggara
dimana salah satu kontributor penyebab kematian adalah gangguan mental sebesar
(13,5%). Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Riskesdas,
2018) dalam Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia, beban penyakit pada tahun 2017,
beberapa jenis gangguan jiwa yang diprediksi dialami oleh penduduk di Indonesia
diantaranya adalah gangguan depresi, cemas, skizofrenia, bipolar, gangguan perilaku,
autis, gangguan perilaku makan, cacat intelektual dan Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD).
psikotik karena gejala psikotik tidak eksklusif. Faktor risiko gangguan spektrum
skizofrenia yang telah diidentifikasi meliputi berbagai faktor seperti gen,
penyimpangan neurologis, penggunaan narkoba, trauma dan lingkungan prenatal.
Gejala pengalaman disosiatif berbeda antara pasien dengan gangguan spektrum
skizofrenia, gangguan disosiatif dan gangguan stres pasca-trauma. Menurut
(Benjamin, 2017) kriteria diagnostik gangguan spektrum Skizofrenia, bilamana
seseorang dalam dua kali atau lebih selama periode 1 bulan, mengalami hal-hal
seperti delusi, halusinasi, berbicara tidak teratur, perilaku yang sangat tidak teratur
atau katatonik dan gejala perilaku negatif lainnya. Selain itu, gejala lainnya adalah
gangguan depresi atau bipolar dengan fitur psikotik dan gangguan komunikasi yang
menonjol. Kasus Skizofrenia merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam
kategori penyakit katastropik yang membutuhkan biaya perawatan relatif mahal.
Penyakit skizofrenia merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Berdasarkan data pasien rawat inap di RSJRW biasanya lama rawat
inap rata-rata 24 hari. ODGJ dengan kasus skizofrenia dapat menimbulkan dampak
ekonomi tinggi pada pasien dan keluarga serta lembaga pembiayaan kesehatan jika
pasien skizofrenia yang readmission di rumah sakit (Pratiwi et al., 2017).
PAIN GAIN
Kurang
Sedih Kecewa Takut Mandiri Mandiri Bisa diterimaGAIN
di Bisa bekerja
masyarakat
5
BAB II
PENGELOLAAN PERMASALAHAN SKIZOFRENIA PADA
RUMAH SAKIT DALAM KONTEKS SISTEM KESEHATAN NASIONAL
2.1. Gambaran Model of Care Pelayanan Pasien Skizofrenia Dalam Konteks Sub
Sistem Kesehatan Nasional
Peran rumah sakit dalam mengelola permasalahan kesehatan secara
berkelanjutan, menjadi salah satu hal penting yang bertujuan pada peningkatan
kualitas hidup yang berfokus pada pasien yaitu preferensi pasien. Preferensi
pasien dapat didefinisikan sebagai kondisi dan kegiatan yang diinginkan pasien
dalam perawatan mereka. Perawatan kesehatan mental psikososial lebih disukai
oleh pasien kesehatan mental melalui keterlibatan layanan kesehatan mental
yang mengakomodir preferensi pasien (Windle et al., 2020). Pada halaman
berikut, dijabarkan skema perjalanan pasien.
6
2.1.1. Fase Pre Hospital
Fase Pre Hospital yang mempengaruhi layanan rawat inap adalah sistem
rujukan. Hal ini terkait dengan administrasi yang dibutuhkan untuk
kelengkapan berkas pasien JKN. Apabila berkas tidak lengkap, maka akan
menghambat proses pelayanan rawat inap di RSJRW. Pasien rawat inap
dapat masuk dari Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan Instalasi Rawat Jalan,
apabila masuk melalui rawat jalan, harus memenuhi sistem rujukan
berjenjang. Apabila masuk melalui IGD tanpa rujukan berjenjang, namun
dengan syarat kondisi benar-benar gawat darurat, untuk pasien umum
tidak memerlukan proses rujukan berjenjang.
Simpul permasalahan
Pasien tidak dapat langsung minta rujukan ke RSJRW, karena kebijakan
sistem rujukan berjenjang. Melewati tahapan dari Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama, ke FKRTL kelas D atau C, kemudian baru dapat rujukan
ke FKRTL kelas B atau A, dalam hal ini RSJRW adalah FKRTL kelas A.
Berdasarkan Peraturan Direktur Pelayanan BPJS nomor 4 tahun 2018
tentang sistem rujukan berjenjang berbasis kompetensi melalui integrasi
sistem informasi, telah diatur tentang sistem rujukan berjenjang,
termasuk untuk layanan psikiatri. Berdasarkan jurnal Astarina, Y.,
Fujiansyah, D. and Yudianto, R., 2021., masih ditemukannya komplain dari
pasien ataupun keluarga pasien. ditinjau dari indikator Jaminan
(assurance), dengan menggunakan sistem rujukan berjenjang, pasien
merasa proses rujukan menjadi lebih lama. Dalam kasus ini keluarga
pasien sebenarnya menginginkan untuk bisa langsung control ke RSJRW
tanpa melalui FKRTL dan RS PPK II. Namun karena hal tersebut menjadi
aturan pemerintah maka pasien mengikuti alur yang telah ditetapkan.
2.1.2. Fase Hospital (Hospital sebagai satu sistem pelayanan dan organisasi)
Layanan pasien rawat inap mengikuti alur yang sudah ditetapkan
sebagaimana pada bagan berikut :
7
Gambar 3 Alur Registrasi Pasien Rawat Inap
8
sakit. Keluarga menyetujui untuk dilakukan rawat inap, karena memang
dirasakan kondisi pasien sulit diarahkan di rumah. Pasien akhirnya dapat
memahami penjelasan dokter, bahwa kondisinya yang tremor dan kaku
membutuhkan rawat inap.
d. Saat proses pendaftaran rawat inap, keluarga pasien dipandu dan diarahkan
oleh perawat yang bertugas di klinik rawat jalan. Sebelum rawat inap, pasien
harus melakukan pemeriksaan penunjang yang letaknya cukup jauh yaitu
Radiologi (sekitar 100 meter) dan Laboratorium (sekitar 50 meter) sehingga
harus menggunakan kendaraan, namun RSJRW menyediakan fasilitas
ambulans untuk mengantar pasien tersebut. Dalam proses administrasi,
perawat memberikan informasi kepada keluarga dan atau pasien tentang
general consent dan informed consent, serta tata tertib rumah sakit.
e. Setelah mendapatkan hasil pemeriksaan penunjang, pasien diantar oleh
perawat dengan didampingi keluarga pasien ke ruang rawat inap, yaitu ruang
Mawar (IPCU). Ruang Mawar letaknya tidak terlalu jauh dari area rawat jalan
(sekitar 30 meter).
f. Pasien menjalani proses observasi intensif di ruang IPCU selama 3 hari.
Setelah itu, pasien dipindahkan ke ruang tenang/intermediet. Sesuai dengan
rentang usianya (pasien lansia) maka pasien dipindahkan ke Ruang
Psikogeriatri (Ruang Kenanga).
Simpul permasalahan
- Jarak ruang Poli Rawat Jalan dengan fasilitas penunjang cukup jauh (50
meter)
- Pasien tidak nyaman karena tidak dapat memilih ruang perawatan yang
memiliki fasilitas ruang rawat inap tersendiri.
9
mengenali kekambuhan dan jadwal kontrol pasien. Pasien keluar rumah sakit
dengan status sembuh mendapatkan fasilitas kontrol langsung ke poli
kesehatan jiwa sebanyak 1 (satu) x, bila obat telah habis atau obat masih ada,
tetapi terdapat gejala kekambuhan.
Simpul permasalahan
- Keluarga tidak selalu mampu melakukan tindakan perawatan di rumah,
seperti yang disarankan, pada persiapan pasien pulang. Kurangnya peran
keluarga dalam proses penyembuhan pasien di rumah. Terlihat dari
kondisi lusuh dari pasien. Tidak adanya PMO (Pendamping Minum Obat)
dari keluarga sehingga obat ada tidak terminum dan mengakibatkan
kesehatan yang tidak stabil. Tugas keluarga adalah kegiatan yang
dilakukan Caregiver di rumah yang dapat membantu proses
penyembuhan pasien.
- Masyarakat tidak selalu dapat menerima kondisi pasien pasca rawat inap.
10
Sistem Kesehatan Nasional adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan
oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung
untuk menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Sistem kesehatan jiwa adalah sebuah istilah untuk menjelaskan sistem
kesehatan yang terkait kesehatan jiwa. Pada tahun 2030, negara-negara
yang menandatangani kesepakatan Sistem Development Goals (SDGs) dapat
mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak
menular melalui pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan kesehatan
mental dan kesejahteraan serta memperkuat pencegahan dan
pengobatan penyalahgunaan zat, termasuk penyalahgunaan narkotika
dan penggunaan alkohol yang membahayakan. Beberapa peristiwa penting yang
berpengaruh terhadap bidang kesehatan jiwa lima tahun terakhir antara lain
ditetapkannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), lahirnya
Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pada tahun
2014, adanya target SDGs, diberlakukannya kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) tahun 2015, masuknya program kesehatan jiwa sebagai salah satu
standar pelayanan minimal sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 tahun
2016 dan adanya indikator kesehatan jiwa dalam Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga (PIS-PK).
Tabel 1 Peran Sistem Kesehatan
(UU RI No. 18/2014 tentang kesehatan jiwa)
11
Subsistem Lembaga/Aktor Peran Ideal
- Kemenkes Menentukan standard psikofarmaka untuk
pelayanan Kesehatan Jiwa.
- Dinas Kesehatan Memenuhi ketersediaan obat
Farmasi dan psikofarmaka di Puskesmas
Logistik - Rumah Sakit Mengadakan obat psikofarmaka sesuai
dengan kebutuhan
- Apotik Melayani permintaan obat psikofarmaka
melalui resep
- Pemerintah Pusat Merumuskan dan melaksanakan kebijakan
tata laksana ODGJ
- Pemerintah Daerah Menyediakan fasilitas kesehatan untuk
Pemberdayaan
ODGJ sebagai upaya kuratif
masyarakat
- Masyarakat Menggalakan upaya-upaya deteksi dini
gangguan kesehatan jiwa sebagai upaya
promotif dan preventif.
- Pemerintah Pembinaan kader kesehatan jiwa untuk
memberikan penyuluhan kepada
masyarakat.
- Media Massa Penyebarluasan informasi bagi
masyarakat mengenai Kesehatan Jiwa,
Informasi pencegahan dan penanganan gangguan
Kesehatan jiwa di masyarakat dan fasilitas pelayanan
di bidang Kesehatan Jiwa.
- Rumah Sakit Membina dan memberikan informasi dan
edukasi yang tepat kepada masyarakat
tentang penanganan gangguan kesehatan
jiwa.
2.2.1. Alur dan koneksitas sistem pelayanan
Pada saat penatalaksanaan pasien rawat inap, pasien mendapatkan
pelayanan secara langsung maupun tidak langsung, sebagaimana bagan
berikut :
Instalasi
Farmasi Logistik
Farmasi
Logistik
INSTALASI
Umum
RAWAT INAP Operator
Admission
Supir
Tehnisi
Umum/
Laundry Kamar Rekam Keamanan
Radiologi Laboratorium
Operasi Medik
12
A. Gambar 4 Layanan Langsung/Tidak Langsung Pasien Rawat Inap
Admission
Setiap pasien yang akan dirawat di Instalasi Rawat Inap, pendaftaran
dilakukan di bagian admission rawat inap, bagian admission akan
menghubungi petugas rawat inap untuk menyiapkan kamar sesuai
permintaan pasien.
B. Instalasi Gawat Darurat
Pasien IGD yang memerlukan perawatan maka Petugas IGD akan
menghubungi perawat rawat inap untuk memberitahukan akan ada pasien
baru dari IGD yang akan dirawat / memerlukan perawatan. Pasien dari IGD
akan diantar ke instalasi rawat inap oleh perawat IGD. Instalasi rawat inap
apabila memerlukan mobil ambulance untuk pasien yang akan dilakukan
pemeriksaan / tindakan keluar RS dan pasien pulang dengan menggunakan
ambulance maka perawat rawat inap akan menghubungi petugas IGD untuk
pemesanan penggunaan mobil ambulans.
C. Instalasi Rawat Jalan
- Pasien dari Instalasi rawat jalan yang memerlukan perawatan akan
dibuatkan surat pengantar rawat oleh dokter yang memeriksa, pasien
diantar ke Instalasi rawat inap oleh perawat IRJ.
- Pasien IRNA yang memerlukan tindak lanjut / konsul ke dokter spesialis
lain pada jam kerja, perawat akan menghubungi dokter konsulen dan bila
kondisi pasien memungkinkan maka pasien akan diantar oleh perawat
IRNA ke IRJ. (Prosedur konsul pasien IRNA ke dokter spesialis yang sedang
praktek sesuai prosedur).
D. Kamar operasi
Pasien IRNA yang memerlukan tindakan operasi akan dibuatkan surat
pengantar operasi oleh dokter, kemudian penanggung jawab / keluarga
pasien dianjurkan kebagian admission untuk penjelasan tentang biaya
operasi, Perawat menginformasikan ke Kamar operasi tentang rencana
tindakan pembedahan mengenai jam Operasi, jenis Tindakan dan Dokter
yang mengirim. Apabila ada pasien dari Kamar Bedah yang memerlukan
13
ruang perawatan maka dokter akan membuatkan surat pengantar rawat,
keluarga diminta kebagian admission untuk mengurus kamar perawatan.
E. Intensif Psikiatrik Care Unit (IPCU)
Pasien IRNA yang memerlukan perawatan intensif, akan dibuatkan surat
pengantar rawat IPCU oleh dokter penanggung jawab Pasien. Keluarga
pasien dianjurkan kebagian admission untuk mendapatkan penjelasan
mengenai tarif kamar perawatan IPCU, apabila pasien IPCU akan dipindah
rawat ke IRNA sesuai permintaan dokter penanggung jawab.
F. Rekam Medis
Semua pasien baru yang masuk ke ruang perawatan harus dibuatkan berkas
rekam medis dan dilengkapi pengisian catatan medisnya oleh dokter
ruangan, perawat dan atau bidan. Data Rekam Medis pasien selama pasien
di rawat inap menjadi tanggung jawab perawat dalam kerahasiannya. Semua
pasien sesudah pulang rawat, maka berkas rekam medis pasien akan
dikembalikan oleh petugas ADM IRNA ke Instalasi Rekam Medis.
G. Instalasi Gizi
Semua Pasien rawat inap kebutuhan gizi selama dirawat dilayanai dari instalsi
gizi RSJRW. Setiap pasien baru masuk ruang perawatan , akan dilaporkan ke
Instalasi gizi untuk kebutuhan kebutuhan diet pasien melalui telpon, petugas
gizi akan mengambil form permintaan makan atau diet pasien ke rawat inap.
H. Instalasi Laboratorium
- Pasien IRNA yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium akan
dibuatkan formulir permintaan pemeriksaan laboratorium oleh dokter
dan formulir akan diinput oleh petugas ADM, sebelum dikrim ke
laboratorium. TPK akan mengirim form permintaan laboratorium.
- Untuk pemeriksaan laboratorium cito, formulir langsung dikirim saat itu
juga dan sample segera diambil oleh petugas analis dan setelah hasil
segera dilaporkan ke IRNA. Untuk pemeriksaan rutin / direncanakan, form
pemeriksaan dikirim ke laboratorium pada malam hari jam 20.00 WIB dan
sample akan diambil oleh petugas laboratorium pada jam 06.00 pagi.
I. Instalasi Radiologi
Pasien IRNA memerlukan pemeriksaan radiology, dibuatkan formulir
14
permintaan RO oleh dokter, perawat IRNA akan menginformasikan bagian
radiologi tentang permintaan pemeriksaan radiologi dan petugas radiologi
akan menghubungi perawat bahwa pasien sudah bisa diantar ke bagian
radiologi.
J. Kasir
Pasien IRNA yang akan menyelesaikan administrasi, pembayaran biaya
perawatan, tindakan keluar rumah sakit dan biaya operasi maka perawat
maupun petugas ADM rawat inap menghubungi kasir rawat inap, dan
meminta keluarga pasien untuk ke kasir rawat inap guna menyelesaikan
administrasi.
K. Instalasi Farmasi
Untuk keperluan / pengadaan obat dan alkes pasien rawat inap, dokter jaga /
dokter Penanggung jawab pasien akan membuatkan resep 1 hari (daily dose)
setelah diinput oleh petugas ADM IRNA resep tersebut diserahkan ke
farmasi, setelah obat dan alkes tersedia petugas farmasi akan menghubungi
perawat rawat inap untuk pengambilan obat dan alkes. Untuk obat dan
alkes cito dapat diambil pada saat itu.
L. Logistik Farmasi
Kebutuhan obat dan alat medis di IRNA diperoleh dari logistik farmasi dengan
cara petugas IRNA mengisi formulir permintaan barang farmasi (khusus untuk
barang floorstock / barang baru) dan menyerahkan formulir permintaan ke
bagian logistik farmasi dan bila barang sudah siap, akan diambil oleh petugas
IRNA ke logistik farmasi. Untuk emergency stock, petugas IRNA akan langsung
mengambil penggantian barang yang telah dipakai ke logistik farmasi, bila
barang sudah siap.
M. Logistik Umum
Untuk pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan alat rumah tangga (ART) IRNA,
petugas IRNA membuat permintaan ATK dan ART dan menyerahkan formulir
permintaan ke bagian logistik umum bila barang sudah siap, petugas IRNA
akan mengambil barang ke logistik umum. Jadwal pengambilan ATK adalah
Selasa – Jum’at dan ART (Senin, Rabu dan Jum’at).
N. Laundry
15
Pendistribusian alat tenun kotor dan bersih dilakukan di bagian laundry. Pagi,
alat tenun kotor akan dihitung petugas laundry bersama TPK / perawat dan
akan dibawa petugas laundry untuk dicuci. Siang, alat tenun bersih akan
diserahkan petugas laundry kepada perawat /TPK.
O. Teknisi/Umum
Bila IRNA memerlukan service / perbaikan alat, perawat akan membuat
formulir perbaikan / permintaan service ke bagian umum, kemudian bagian
umum akan menindak lanjuti permintaan tersebut.
P. Keuangan
Apabila pasien IRNA memerlukan kasbon untuk tindakan medis ke luar
RSJRW dimana fasilitas tersebut tidak ada di RSJRW, maka perawat / ADM
IRNA akan menghubungi bagian keuangan untuk keperluan kasbon tersebut
dan bila ada pasien IRNA yang tunggakan biaya rawat inapnya sudah besar /
uang muka belum ada / tidak mencukupi, maka perawat / ADM IRNA akan
mengingatkan bagian keuangan untuk penagihan.
Q. Fisioterapi/Rehabilitasi
Bila pasien IRNA akan dikonsul kebagian rehabilitasi medis / fisioterapi maka
dokter penanggung jawab pasein membuat surat konsul dan mengisi
formulir permintaan fisioterapi, kemudian perawat akan menghubungi
dokter rehabilitasi medik / petugas fisioterapi dan bila pasien IRNA
memerlukan tindakan ke bagian rehabilitasi medik / fisioterapi, pasien akan
diantar oleh perawat kebagian rehabilitasi medik / fisioterapi.
R. Operator
Apabila IRNA membutuhkan sambungan telepon keluar RSJRW (tanpa
menggunakan PIN) maka bagian IRNA akan meminta bantuan ke bagian
operator dengan cara menekan angka 0 (nol) pada pesawat telepon.
S. Supir/Umum
Pasien IRNA yang memerlukan pemeriksaan / tindakan diluar RSJRW dan
pasien yang perlu rujukan ke rumah sakit lain, serta pasien IRNA yang akan
pulang, dapat menggunakan ambulance RSJRW, bila keadaan
memungkinkan. Untuk permintaan Ambulan, petugas IRNA akan
menghubungi petugas IGD, petugas IGD menghubungi bagian umum /
16
Keamanan, bagian umum / Danru menginstruksikan pada supir ambulan
untuk mengantar pasien.
T. Keamanan/Umum
- Bila ada pasien IRNA yang meninggal, maka setelah jenazah dirapikan akan
diantar ke kamar jenazah dengan terlebih dahulu menginformasikan
kebagian Umum/Keamanan
- Pengaturan pengunjung diluar jam berkunjung rawat inap, dilakukan
koordinasi antara petugas keamanan dengan perawat IRNA.
17
b. Ruang kepala rawat minimal 12 m2
c. Ruang tamu 20 m2
d. Ruang rawat maksimal 2 TT per kamar dengan ukuran minimal 2,4 m x 3 m
= 7,2 m2/1 Tempat tidur atau jarak antar TT minimal 1,5 m.
e. Toilet 3 m2/kamar
g. Pantry 12 m2
h. Spoolhoek 9 m2
3. Ruang Isolasi
a. Ruang Stasi Perawat (Nurse Station) 3-5 m 2/perawat, minimal 20 m2
b. Ruang kepala rawat minimal 12 m2
c. Ruang tamu 20 m2
d. Ruang rawat maksimal 2 TT per kamar dengan ukuran minimal 2,4 m x 3
m = 7,2 m2/1 Tempat tidur atau jarak antar TT minimal 1,5 m.
e. Ruang Anteroom 4 m2
f. Toilet 3 m2/kamar
g. Pantry 12 m2
h. Spoolhoek 9 m2
Standar perlengkapan ruang rawat inap dijelaskan dibawah ini.
Tabel 2 Standarisasi Perlengkapan Ruang Rawat Inap
18
No. Ruangan Perlengkapan Jenis Barang
t. Kasur busa (PNM)
u. Bantal Penunjang Non Medis
v. Meja Loker Pasien (PNM)
w. Bell/Nurse Call Penunjang Non Medis
x. Timbangan berat badan (PNM)
y. Pengukur tinggi badan Penunjang Non Medis
z. Penlight (Lampu senter) (PNM)
aa. Termometer digital Penunjang Non Medis
bb. Tensimeter digital (PNM)
cc. Stetoskope Penunjang Non Medis
dd. Pulse Oxymetri (PNM)
ee. Tabung O2 dan isinya Penunjang Non Medis
ff. Reflek hammer (PNM)
gg. Tiang infus Penunjang Non Medis
hh. Emergensi kit (PNM)
ii. Lemari obat Penunjang Medik
2. Kelas 3 a. Meja Peralatan kantor
b. Kursi Peralatan kantor
c. Lemari Arsip Peralatan kantor
d. Lemari Pakaian Peralatan kantor
e. TV/LCD ukuran 32 “ Peralatan kantor
f. Komputer/Jaringan Internet Peralatan kantor
g. Printer Peralatan kantor
h. Sambungan telpon internal Peralatan kantor
i. Dispenser Peralatan kantor
j. Kulkas Peralatan kantor
k. Tempat sampah Peralatan kantor
l. Cermin Peralatan kantor
m. CCTV Peralatan kantor
n. Pemadam Kebakaran (APAR) Peralatan kantor
o. Whiteboard Peralatan kantor
p. Loker rak besi isi 12 Peralatan kantor
q. Jam Dinding Peralatan kantor
r. Kalender Peralatan kantor
s. Tempat tidur Penunjang Non Medis
t. Kasur busa (PNM)
u. Bantal Penunjang Non Medis
v. Meja Loker Pasien (PNM)
w. Bell/Nurse Call Penunjang Non Medis
x. Timbangan berat badan (PNM)
y. Pengukur tinggi badan Penunjang Non Medis
z. Penlight (Lampu senter) (PNM)
aa. Termometer digital Penunjang Non Medis
bb. Tensimeter digital (PNM)
cc. Stetoskope Penunjang Non Medis
dd. Pulse Oxymetri (PNM)
ee. Tabung O2 dan isinya Penunjang Non Medis
ff. Reflek hammer (PNM)
gg. Tiang infus Penunjang Non Medis
hh. Emergensi kit (PNM)
ii. Lemari obat Penunjang Medik
19
No. Ruangan Perlengkapan Jenis Barang
3. Ruang a. Meja Peralatan kantor
Isolasi b. Kursi Peralatan kantor
c. Lemari Arsip Peralatan kantor
d. Lemari Pakaian Peralatan kantor
e. TV/LCD ukuran 32 “ Peralatan kantor
f. Komputer/Jaringan Internet Peralatan kantor
g. Printer Peralatan kantor
h. Sambungan telpon internal Peralatan kantor
i. Dispenser Peralatan kantor
j. Kulkas Peralatan kantor
k. Tempat sampah Peralatan kantor
l. Cermin Peralatan kantor
m. CCTV Peralatan kantor
n. Pemadam Kebakaran (APAR) Peralatan kantor
o. Whiteboard Peralatan kantor
p. Loker rak besi isi 12 Peralatan kantor
q. Jam Dinding Peralatan kantor
r. Kalender Peralatan kantor
s. Tempat tidur Penunjang Non Medis
t. Kasur busa (PNM)
u. Bantal Penunjang Non Medis
v. Meja Loker Pasien (PNM)
w. Bell/Nurse Call Penunjang Non Medis
x. Timbangan berat badan (PNM)
y. Pengukur tinggi badan Penunjang Non Medis
z. Penlight (Lampu senter) (PNM)
aa. Termometer digital Penunjang Non Medis
bb. Tensimeter digital (PNM)
cc. Stetoskope Penunjang Non Medis
dd. Pulse Oxymetri (PNM)
ee. Tabung O2 dan isinya Penunjang Non Medis
ff. Reflek hammer (PNM)
gg. Tiang infus Penunjang Non Medis
hh. Emergensi kit (PNM)
ii. Exhaust fan Penunjang Medik
jj. Lemari obat Penunjang Medik
20
Gambar 6 Ruang Rawat Inap (IPCU)
21
kamar yang identik dan pencahayaan. Kamar pasien tunggal adalah kamar yang
dihuni oleh 1 (satu) orang pasien dalam 1 (satu) ruangan, tidak bercampur
dengan pasien lainnya. Kamar identik yang dimaksud adalah kamar yang sesuai
dengan standar tata ruang dan gedung, yaitu memiliki ventilasi, pencahayaan,
suhu dan kelembaban ruang yang baik. Ruangan dengan pencahayaan yang baik
adalah ruangan yang mengoptimalkan pencahayaan alami dan pencahayaan
buatan dengan intensitas cahaya sebesar 250 (dua ratus lima puluh) lux. Suhu
udara kamar yang nyaman sebesar 22 o – 23o, dengan tingkat kelembaban 35 –
60% dan bertekanan positif.
Simpul Permasalahan
- Ruang rawat inap dengan hunian 20 orang dalam 1 (satu) bangsal perlu
dilakukan evaluasi karena preferensi pasien saat ini juga berkembang. Desain
ruangan rawat inap, telah dioptimalkan untuk mengurangi risiko pasien
bunuh diri.
- Kondisi area rawat inap yang luas, dibatasi dengan pagar keliling, yang
sebagian dalam kondis rusak menyebabkan risiko pasien lari.
- Ruang rawat inap memiliki lantai dari bahan keramik sehingga harus rutin
dilakukan pembersihan dan pengeringan bila terjadi genangan air. Hal ini
menyebabkan adakalanya risiko pasien jatuh, karena kondisi lantai yang licin.
22
Gambar 9 Kerangka desain bangunan terintegrasi
23
- LIngkungan fisik fasilitas kesehatan/rumah sakit yang menangani masalah
kesehatan jiwa harus mengkondisikan lingkungan yang mendukung
kesembuhan pasien. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam mendesain
fasilitas kesehatan/rumah sakit untuk menjadi sebuah lingkungan dengan
dampak healing terdiri atas persepsi pasien/keluarga pasien dan pegawai.
24
Simpulan permasalahan
Ruang rawat inap di RSJRW belum terdapat ruang seklusi yang bertujuan
mengurangi risiko cedera akibat fiksasi yang dilakukan kepada pasien dengan
perilaku kekerasan. Ruang seklusi yang dimaksud dilengkapi dengan barrier busa
tahan benturan, sehingga aman untuk pasien.
b. Teknologi Kesehatan
Pengembangan teknologi kesehatan di RSJRW salah satunya adalah
rekam medis elektronik. Rekam Medis Elektronik (RME) dinilai aman karena
memuat database pasien yang lengkap mulai dari identitas pasien, pemantauan
fisiologis, terapi, laboratorium, radiologis, catatan dokter dan perawat yang
memang tidak semua petugas diperkenankan untuk membaca rekam medis
pasien. Isu utama yang harus diatasi dalam implementasi RME (Berg, 2004)
dalam Pribadi, et al, 2018, yaitu kebutuhan terhadap standar data di bidang
terminologi klinik; aspek privacy, kerahasiaan dan keamanan data; pelaksanaan
entri data oleh dokter dan tenaga medis lainnya; kesulitan integrasi sistem
rekam medis dengan sumber informasi lain dalam pelayanan kesehatan
RSJRW Lawang telah melaksanakan implementasi SIMRS sesuai dengan
berdasarkan PMK No. 82 Tahun 2013 tentang pengelolaan rekam medik namun
proses implementasi SIMRS belum sepenuhnya selesai. Masih terdapat
pengembangan dalam hal back office terutama untuk fitur pembiayaan dan
pelaporan. Terpenuhinya SDM programmer yang handal dan komunikasi yang
terjalin baik dengan user pelayanan menjadi faktor keberhasilan penerapan
SIMRS di RSJRW Lawang. Implementasi SIMRS melewati masa transisi dimana
penggunaan dokumentasi manual dan SIMRS sempat berjalan bersama, namun
saat ini telah bermigrasi ke SIMRS. Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 pasal 52
menyatakan bahwa rumah sakit diwajibkan memiliki Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). Sistem Informasi Rumah Sakit (SIMRS) dapat
dicirikan dengan fungsinya melalui informasi dan jenis layanan yang ditawarkan
serta mendukung perawatan pasien dan administrasinya.
Penerapan SIMRS mendukung penyediaan informasi, terutama tentang
pasien, dalam cara yang benar, relevan dan terbarukan, mudah diakses oleh
25
orang yang tepat pada lokasi yang berbeda dan dalam format yang dapat
digunakan. Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit adalah sebuah sistem
komputer yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses bisnis
layanan kesehatan dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur
administrasi untuk memperoleh informasi secara cepat, tepat dan akurat. Saat
ini Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) merupakan sarana
pendukung yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan mutlak untuk
mendukung pengelolaan operasional rumah sakit.
RME juga diharapkan dapat menunjang data bagi manajemen untuk
melakukan analisis sumber daya, karena dapat terintegrasi pada dashboard
manajemen/pemilik rumah sakit. Penyiapan data juga mendukung effisiensi
waktu penyiapan data untuk mendukung program Universal Health Coverage
(UHC) khususnya proses pelayanan JKN (yang saat ini sudah diaplikasikan atau
bridging dengan aplikasi BPJS Kesehatan dan Kemenkes). Output laporan yang
dihasilkan RME perlu disesuaikan dengan format dari Kementerian Kesehatan
(Andriani, et al, 2017).
Simpulan permasalahan
Keberadaan SIMRS membantu pelayanan tetap belum semua fiturnya berfungsi,
sehingga memerlukan fokus pengembangan dan waktu untuk memenuhi fungsi
yang diperlukan. Pengembangan RME masih belum optimal khususnya aplikasi
bridging dengan BPJS Kesehatan.
26
penunggu menyebabkan komunikasi yang efektif harus terjalin sejak kontak
pertama dengan pasien/keluarga sehingga semua peraturan hak dan kewajiban
pasien dapat dipahami dengan baik.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa mengatur upaya kesehatan jiwa untuk meningkatkan derajat kesehatan
jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan
secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Hak-hak penderita gangguan jiwa
juga dirumuskan dalam Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2019 Pasal 148
ayat (1) bahwa “Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai
warga negara” dan Pasal 149 bahwa “Penderita gangguan jiwa yang terlantar,
menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain,
dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib
mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.”
Secara khusus hak ODGJ diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa Pasal 70 Hak Orang Dengan Gangguan Jiwa.
(1) ODGJ berhak atas
a. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan
yang mudah dijangkau;
b. mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan
Kesehatan Jiwa;
c. mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuai dengan
kebutuhannya;
d. memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya;
e. mendapatan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan
jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang kesehatan
jiwa;
f. mendapatkan perlindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan,
eksploitasi serta diskriminasi;
g. mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa; dan
27
h. mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan
kepadanya.
Beberapa kebijakan lainnya yang mendukung proses pelayanan rawat inap di
RSJRW Lawang, antara lain :
1. Pedoman Pengorganisasian Rawat Inap RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat
Lawang Nomor: HK.03.01/XXVII.3.2.3/2983.A/2018
2. SPO Pendaftaran Pasien Rawat Inap No RSJRW/SPO/RM/08
3. SPO Operan (serah terima) antar dokter di rawat inap NO
RSJRW/SPO/RI/120
4. SPO Operan (serah terima) ahli gizi di rawat inap NO RSJRW/SPO/GZ/27
5. SPO alur pelayanan resep di rawat inap NO RSJRW/SPO/FM/11
Simpulan permasalahan
- Belum ada kebijakan internal untuk pasien agar dapat mengelola sendiri harta
benda miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya. Terkait dengan preferensi
pasien, terdapat harapan pasien dapat menggunakan pakaian milik sendiri,
tetapi tidak diperkenankan karena aturan RSJRW harus menggunakan seragam
pasien.
- Ketidakberadaan keluarga saat pasien rawat inap menyebabkan tidak adanya
pengambil keputusan secara cepat dalam proses informed consent. Apabila
terjadi kejadian tidak diharapkan dalam kondisi tersebut maka rumah sakit
mempunyai risiko menghadapi tuntutan hukum atas permasalahan tersebut.
28
BAB III.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH
29
klinik kesehatan jiwa, selanjutnya berdasarkan keluhan dan pemeriksaan oleh
dokter, Ny F. didiagnosa (1) Schizoaffective disorder, manic type dan (2)
Extrapyramidal and movement disorder.
Menurut kondisi pasien saat itu yang dalam keadaan gelisah dan mengalami reaksi efek
samping obat maka disarankan untuk rawat inap. Keluarga menyetujui untuk rawat
inap dan selanjutnya diberikan general consent dan informed consent atas
persetujuan tindakan di rawat inap. Pasien dilakukan tata laksana persiapan rawat
inap meliputi pemeriksaan penunjang laboratorium, EKG dan Radiologi (Rontgen
Thorax). Setelah dilakukan pemeriksaan dan tidak ditemukan gejala lain, maka Ny. F
dirawat di ruang Mawar (Intensive Psychiatric Care Unit). Ny. F tidak mau bersama
orang lain dalam satu ruangan dan menginginkan di ruangan tersendiri dilengkapi
fasilitas kulkas dan TV seperti ruangan VIP. Ny. F dirawat di Ruang Mawar yang
memiliki kapasitas 20 orang dalam 1 (satu) bangsal.
Pada saat masuk ke ruang Mawar, Ny. F didampingi oleh keluarga. Barang-barang
pribadi dibawa oleh keluarganya pulang kembali, sesuai aturan rawat inap RSJRW.
Keluarga diberi penjelasan, maksud dan tujuan perawatan serta dapat menerima
kondisi, selanjutnya keluarga menyerahkan perawatan kepada rumah sakit,
keluarga pulang. Keluarga akan dihubungi melalui telepon apabila membutuhkan
informasi dan dibutuhkan kehadirannya.
Pada tanggal 1 Maret 2022, Ny. F. pindah ke Ruang Psikogeriatri (Ruang Kenanga)
sesuai klasifikasi usia pasien (diatas 60 tahun), karena kondisi pasien sudah lebih
tenang dan memenuhi kriteria pindah. Ruang Kenanga adalah ruang kelas 1, yang
terdiri dari kamar besar, yang masing-masing kamar berisi 2 s.d 4 TT. Setelah
menempati Ruang Kenanga, pasien mengatakan bahwa lebih suka tidur sendiri,
tidak mau ada pasien lain yang sekamar dengan pasien. Menurut keterangan dari
perawat, pasien tidak mau beraktifitas lebih juga menyendiri, sering di kamar saja,
pasien mengatakan menginginkan dirawat di ruang VIP karena dilengkapi dengan
kulkas dan TV, tapi pasien mengatakan suka di Ruang Kenanga daripada rumahnya
di Malang (pasien merasa terjadi kekacauan di rumahnya).
Pada tanggal 14 Maret 2022, dilakukan wawancara dan observasi, didapatkan bahwa
pasien sudah mulai mau melakukan aktifitas bersama pasien lain. Aktifitas yang
dilakukan adalah terapi aktifitas kelompok yaitu bermain bowling. Pasien
30
mengatakan sudah bisa tidur tadi malam, sebelumnya sulit tidur karena ada suara –
suara yang bicara di telinganya (halusinasi), sudah mulai memiliki selera makan,
sebelumnya tidak enak makan karena merasa kaku di lidahnya, dan hari ini sudah
tidak kaku lagi. Pasien merasa senang beraktifitas di taman belakang, karena
banyak bunga. Pasien mengatakan sering kaku, karena obatnya tidak cocok, obat
yang cocok menurut pasien adalah resperidone. Keluarga pasien belum pernah
menjenguk karena pasien emosi meningkat apabila bertemu dengan suaminya.
Nada bisa pasien meningkat apabila diajak bercerita tentang suaminya. Pasien
mengatakan masih belum mau pulang ke rumah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien, keluarga pasien, dan perawat, serta
memperhatikan alur yang dilalui pasien yang digambarkan bahwa keluarga
menginginkan kondisi rumah sakit yang mampu memberikan pertolongan kepada
pasien dengan mengupayakan keselamatan dan Kesehatan pasien. Keluarga maupun
pasien juga mempunyai ukuran kepuasan terhadap layanan yang dibuktikan dengan
adanya pernyataan-pernyataan yang kurang puas baik terhadap layanan maupun
kondisi bangunan rumah sakit.
31
Evaluasi penerapan clinical pathway bagi pasien rawat inap, dilakukan secara
periodik, melalui proses audit medik yang dilaksanakan setiap bulan oleh
Komite Medik dengan mengamati hal-hal sebagai berikut :
32
Ruang Rawat Inap berkapasitas 3.25 3.75 3.75 3.583 20 71.66 3
20 orang dalam 1 (satu)
bangsal
Kejadian trauma akibat fiksasi 3.75 3.75 4 3.833 30 114.99 2
c. Manajemen
- Kesulitan menganalisa evaluasi mutu dan biaya terhadap pelayanan rawat
inap.
33
- Kurangnya updating terhadap clinical pathway mengikuti pola penyakit
terbanyak.
d. Masyarakat
- Masyarakat kurang memahami standar rentang “sehat’ dan “ sakit” pasien
skizofrenia yang dirawat di rumah sakit, sehingga kriteria pasien pulang tidak
sama dengan keinginan masyarakat.
Klinik Rawat Jalan Intensive Psikiatri Care Unit Rawat Inap (Ruang Kenanga)
(26 Feb 2022) (26 Feb -1 Maret 2022) (1 Maret - sekarang)
34
Tabel 6 Indikator Mutu/Kinerja Layanan Rawat Inap
No. Indikator Mutu/Kinerja Target
1. Assesmen Awal Pasien Rawat Inap 100%
2. Re-assesmen pasien risiko bunuh diri 100%
3. Kepatuhan upaya pencegahan risiko pasien jatuh 100%
4. Voluntary Admission untuk pasien yang masuk dari rawat jalan <5%
5. Kejadian pasien lari 0
6. Net Death Rate (NDR) = 25 per mill <25 per mill
7. Tidak adanya kejadian bunuh diri di rawat inap psikiatri 0
8. Edukasi risiko medis pada pasien pulang atas permintaan sendiri 100%
9. Prosentase notifikasi EWS yang ditindaklanjuti 100%
10. Kejadian reaksi transfusi 0,01%
11. Kejadian infeksi aliran darah perifer (phlebitis) <5per mill
12. Pasien masuk kondisi sub akut dalam waktu <7 hari >85%
13. Kejadian cedera/trauma fisik akibat tindakan fiksasi <1,5%
14. Tidak adanya kejadian pasien yang difiksasi sesudah 24 jam >95%
perawatan di ruang perawatan intensif psikiatri
15. Kepatuhan terhadap hand hygiene 100%
16. Penggunaan alat pelindung diri saat melaksanakan tugas >75%
17. Identifikasi pasien sedikitnya 2 (dua) kombinasi cara identifikasi 100%
35
mendalam.
d. Masyarakat
- Kurangnya pemahaman terhadap penanganan perilaku kekerasan
sehingga berpotensi salah paham terhadap tindakan yang diambil.
36
berupa konsep perancangan Rumah Sakit Jiwa dengan konsep lingkungan
terapeutik. Memandang berbagai aspek untuk keberhasilan perawatan
maka dapat disusun sebuah konsep dan redesain dengan konsep desain
interior RSJRW dengan konsep Terapeutik yang mengedepankan
kenyamanan pasien dari aspek sirkulasi dan desain ruangan terapi dari
RSJRW.
Berdasarkan pengertian diatas dibutuhkan suatu ide atau konsep
yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan atas pelayanan kesehatan jiwa
terhadap pasien. Konsep yang relatif sesuai adalah konsep terapeutik yaitu
konsep lingkungan sekitar pasien yang mendukung kesembuhan pasien.
Jika disimpulkan konsep terapeutik merupakan rangkaian konsep terapi
yang menunjang kesembuhan pasien. Konsep terapeutik diaplikasikan pada
pengaturan interior rumah sakit jiwa ini. Konsep ini dibagi menjadi 2 yaitu
terapi fisik dan terapi mental. Terapi fisik dapat diwujudkan dengan
pengaturan pencahayaan dan penghawaan yang tepat bagi kesehatan jiwa
pasien. Sedangkan untuk terapi mental menggunakan konsep ruangan
sensorik/sensory room. Konsep ini merupakan konsep perawatan kesehatan
jiwa yang bertujuan untuk menciptakan ruang perawatan yang aman,
memfasilitasi aliansi terapeutik, memberikan kepercayaan diri dalam
merawat diri sendiri, untuk ketahanan serta pemulihan pasien.
RSJRW merencanakan pengelompokkan ruang atau zoning secara
tepat yang akan mendukung effektifitas dan effisiensi kegiatanyang
berlangsung didalamnya antar ruang. Pengelompokkan yang tepat akan
memberikan kedekatan ruang-ruang yang membutuhkan kedekatan dan
memisahkan ruang-ruang yang membutuhkan pemisahan. Lokasi Ruang
Rawat Inap RSJRW digambarkan sebagai berikut :
37
Gambar 12 Rencana Zonasi Ruangan RSJRW
38
luas. Saat ini ruang rawat inap di RSJRW berbentuk bangsal dengan
kapasitas rata-rata 20 tempat tidur. Tindakan yang diambil bila terjadi
perilaku kekerasan adalah dengan melakukan fiksasi, karena ruangan
khusus untuk seklusi belum tersedia di sebagian besar ruang rawat inap.
39
mengakomodir kelas rawat inap standar. Gedung terdiri dari bangungan 3
(tiga) lantai yang memiliki kapasitas 189 tempat tidur, terintegrasi dengan
fasilitas rawat inap dan penunjang. Kelas rawat inap standar memiliki
kriteria dan rancangan dengan konsep sebagai berikut :
1. Bahan bangunan
Bahan bangunan tidak boleh memiliki porositas bangunan yang tinggi
sebab struktur bangunan rumah sakit yang baik tidak memiliki porositas
(pori) yang tinggi. Sehingga semakin tidak berpori atau padat struktur
bangunan (contoh: dinding) maka jaminan mutu dan keselamatan
pasien semakin baik.
2. Minimal luas tempat tidur
Kelas Standar Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN luasnya minimal tempat
tidurnya 7,2 meter persegi (m2) dan kelas standar non PBI JKN 10 m2.
Kemudian jarak tempat tidur di ruangan 2,4 meter.
3. Antar tepi tempat tidur
Jarak antara tepi samping satu tempat tidur dengan tampat tidur
terdekat harus lebih atau minimal 1,2 meter, kemudian untuk jarak
antar tepi samping satu tempat tidur dengan dinding samping minimal
75cm. Bagian kepala (bed head) dapat menempel pada dinding.
Kemudian standar temat tidur sekurang-kurangnya panjang 206 meter,
lebar 90 meter dan tinggi 50-80 meter (bisa diajdust).
4. Jumlah maksimal tempat tidur per ruangan
Jumlah maksimal terdapat 6 tempat tidur untuk kelas standar PBI JKN
dan 4 tempat tidur untuk non PBI JKN.
5. Lemari kecil per tempat tidur
Di kelas standar ditetapkan setiap tempat tidur harus memiliki nakas 1
buah baik untuk kelas PBI maupun Non PBI.
6. Suhu Ruangan
Pengaturan suhu dalam ruangan rawat inap harus berada pada rentang
20 hingga 26 derajat Celsius.
7. Spesifiaksi kamar mandi dalam ruangan
Setiap ruangan perawatan terdapat kamar mandi dalam ruang yang
40
memenuhi standar aksesibilitas sebagai berikut:
a. Ada tulisan/simbol "disable" pada bagian luar
b. Memiliki ruang gerak yang cukup untuk pengguna kursi roda
b. Dilengkapi pegangan rambat (handrail)
c. Permukaan lantai tidak licin dan tidak boleh menyebabkan genangan
d. Dianjurkan untuk memiliki tombol bantuan darurat pada tempat
yang mudah dicapai.
8. Partisi antar tempat tidur
Partisi antar tempat tidur dari bahan tidak berpori/tidak menyerap air.
9. Ventilasi Udara
Ventilasi udara harus memenuhi standar frekuensi pertukaran udara
sebagaimana ditetapkan dalam kriteria melalui pengukuran
menggunakan alat bantu velocitymeter/anemometer.
10. Pencahayaan ruangan
Pencahayaan ruangan ditetapkan dengan standar 250 lux untuk
penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur diukur dengan
luxmeter pada bidang kerja (tempat tidur).
11. Spesifikasi kelengkapan tempat tidur
Setiap tempat tidur harus dilengkapi dengan minimal 2 kotak kontak
dan tidak boleh percabangan/sambungan langsung tanpa pengamanan
arus, outlet oksigen tersentral dan nurse call yang terhubung dengan
perawat.
12. Pembagian ruangan
Pembagian ruangan kelas standar, ruang rawat inap akan dibuat terpisah
berdasarkan jenis kelamin, usia dan jenis penyakit (infeksi dan non
infeksi).
Gambar rencana kelas rawat inap standar di RSJRW Lawang pada halaman
berikut :
41
Gambar 14. Rencana Pembangunan Kelas Rawat Inap Standar di RSJRW (Lantai 1)
Gambar 15. Rencana Pembangunan Kelas Rawat Inap Standar di RSJRW (Lantai 2)
Gambar 15. Rencana Pembangunan Kelas Rawat Inap Standar di RSJRW (Lantai 3)
42
3.1.5. Etika dan Hukum Kesehatan
Penerapan proses keterlibatan pasien di RSJRW saat dilakukan saat
pasien rawat inap, berupa penandatanganan General Consent dan Informed
Consent dilakukan oleh keluarga dan/atau penanggung jawab, hal ini
berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit
pada pasal 32 huruf k berisi tentang hak “memberikan persetujuan atau
menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan
terhadap penyakit yang dideritanya”.
Keterlibatan pasien dan keluarga sangat diperlukan saat pasien
diminta rawat inap, sebelum pasien rawat inap telah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai dasar pertimbangan mengapa pasien
harus mendapatkan perawatan serta tindakan kedokteran yang mungkin
akan dilakukan selama pasien dirawat di RSJRW. Atas penjelasan tersebut
pasien dan/atau keluarganya dapat menerima/menyatakan persetujuan
untuk dirawat. Persetujuan dinyatakan dengan menandatangani formulir
general consent dan informed consent yang ditandatangani pihak keluarga
dan rumah sakit. Proses keterlibatan pasien tersebut juga berdasarkan
Pedoman Penatalaksanaan Hak Pasien dan Keluarga. No :
HK.02.03/XXVII/0851a/2018.
Permasalahan yang ditemukan adalah apabila terdapat kondisi
pasien tidak sama dengan yang direncanakan pada proses awal masuk
rawat inap, membutuhkan penanganan cepat dengan sebuah tindakan,
maka sulit untuk mendapatkan persetujuan keluarga, karena keluarga tidak
menunggu pasien. Akan tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa pasal 21 ayat 3, dijelaskan bahwa
“dalam hal ODGJ dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan,
persetujuan tindakan medis, dapat diberikan oleh :
a. suami/istri
b. orang tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit, berusia 17
tahun,
c. wali atau pengampu atau
d. pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
43
3.1.6 Risk Register
Risiko merupakan suatu peristiwa yang membuat proses pelayanan
akan berjalan tidak sesuai dengan rencana. Manajemen risiko rumah sakit
merupakan suatu metode pengendalian risiko yang dibutuhkan rumah sakit
dalam rangka menjaga mutu pelayanan dan organisasinya. Manajemen
risiko proaktif dan pengelolaan risiko utama yang dapat mengancam
pencapaian sasaran mutu pelayanan rumah sakit dilaksanakan melalui
penyusunan grading risiko dan disusun dalam risk register tahunan rumah
sakit. Tingkatan kriteria dampak dan kemungkinan sebagai berikut :
Tabel 7 Kriteria Dampak
Level Dampak Area Dampak
Sangat Rendah (1) Tidak berdampak pada pencapaian tujuan intansi/kegiatan secara umum
Agak mengganggu pelayanan
Dampaknya dapat ditangani pada tahap kegiatan rutin.
Kerugian kurang material dan tidak mempengaruhi stakeholders
Rendah (2) Mengganggu pencapaian tujuan intansi/kegiatan meskipun tidak signifikan
Cukup mengganggu jalannya pelayanan
Mengancam efisiensi dan efektivitas beberapa aspek program.
Kerugian kurang material dan sedikit mempengaruhi stakeholders
Sedang (3) Mengganggu pencapaian tujuan intansi/kegiatan secara signifikan
Mengganggu kegiatan pelayanansecara signifikan
Mengganggu administrasi program.
Kerugian keuangan cukup besar
Tinggi (4) Sebagian tujuan intansi/kegiatan gagal dilaksanakan
Terganggunya pelayanan lebih dari 2 hari tetapikurang dari 1 minggu
Mengancam fungsi program yang efektif dan organisasi.
Kerugian besar bagi organisasi dari segi keuangan maupun non keuangan.
Sangat Tinggi (5) Sebagian besar tujuan intansi/kegiatan gagal dilaksanakan
Terganggunya pelayanan lebih dari 1 minggu
Mengancam program dan organisasi serta stakeholders.
Kerugian sangat besar bagi organisasi dari segi keuangan maupun non
keuangan
44
Tabel 8 Kriteria Kemungkingan (Probabilitas)
Level Kemungkinan Kriteria Kemungkinan
(Probabilitas) (Probabilitas)
Hampir Tidak Terjadi (1) Peristiwa hanya akan timbul pada kondisi yang luar biasa
Pensentase 0-10%
4 Sering Terjadi 4 8 12 20
3 Mungkin Terjadi 3 6 9
2 Jarang Terjadi 2 4 6 8
1 Hampir Tidak Terjadi 1 2 3 4 5
45
Tabel 10 Skala dan Mitigasi Risiko
Keter
Level Dimulai a
Deskripsi Status
Warna Level Dari Status n
Risiko
Risiko ga
n
Hentikan kegiatan dan
Sangat Tinggi
> 15 perlu perhatian
(Extreem)
manajemen puncak
Perlu mendapat
perhatian
Tinggi (High Risk) 10 – 14 Manajemen puncak dan
perbaikan segera
dilakukan
Lakukan perbaikan
secepatnya dan tidak
Sedang (Moderate) 5–9 diperlukan
keterlibatan
manajemen puncak
Tindakan perbaikan
dapat dijadwalkan
kemudian dan
Rendah (Low) 3–4
penanganan cukup
dilakukan dengan
prosedur yang ada
Sangat Risiko dapat diterima
1–2
Rendah (Very Low)
Berdasarkan identifikasi atas risiko yang ada di rawat inap dan penilaianskor
dampak dan kemungkinan didapatkan daftar risiko atau risk register
sebagaimana tabel di halaman berikutnya.
46
Tabel 11 Daftar Risiko Instalasi Rawat Inap RSJRW
No Kelompok Kemung-
PJ Tipe Risk Deskripsi Risk Pengendalian yang sudah ada Dampak Skor Rating
Risk Risiko kinan
Melakukan restrain atau
pengamanan pada pasien
Mutu dan Terjadinya pasien
Pasien, PPA, Keuangan, dengan penurunan kesadaran Sangat
1 SpKJ Keselamatan mencederai diri sendiri, 5 4 20
Hukum dan gelisah, pengawasan tinggi
Pasien orang lain & lingkungan
langsung oleh petugas atau
lewat CCTV
Lingkungan Pasien, PPA, Keuangan,
SOP Pencegahan risiko pasien
2 SpKJ dan Hukum, Sarana dan Terjadinya pasien lari 4 3 12 Tinggi
lari
Arsitektur prasarana
Mutu dan
Pasien, PPA, Keuangan, Angka kejadian trauma
3 SpKJ Keselamatan SOP Fiksasi 3 4 12 Tinggi
Hukum akibat fiksasi
Pasien
Pengawasan pasien risiko
Lingkungan Terjadinya pasien jatuh
Pasien, PPA, Keuangan, jatuh dan segera
4 Manajemen dan dan cidera karena Lantai 3 3 9 Sedang
Hukum, Karyawan lain mengeringkan lantai, jika
Arsitektur licin
lantai basah
Mutu dan Paparan infeksi
Pasien, PPA, Keuangan, Panduan Pencegahan risiko
5 SpPD Keselamatan Nosokomial pada 3 3 9 Sedang
Hukum nosokomial
Pasien petugas/pasien
Mutu dan
SpPD Pasien, PPA, Keuangan,
6 Keselamatan Angka kejadian plebitis Pemberian cairan infus 2 4 8 Sedang
Hukum
Pasien
Mutu dan
Pasien, PPA, Keuangan, Risiko penularan
7 SpPD Keselamatan Pemakaian APD 2 3 6 Sedang
Hukum penyakit (HAI'S)
Pasien
Hari perawatan pasien
8. SpKJ Klinis Pasien, PPA, Keuangan, bertambah Audit klinis 2 3 6 Sedang
47
No Kelompok Kemung-
PJ Tipe Risk Deskripsi Risk Pengendalian yang sudah ada Dampak Skor Rating
Risk Risiko kinan
Etika dan
Terjadinya tuntutan Kelengkapan general consent
9. Manajemen Hukum Hukum 2 3 6 Sedang
hukum dan informed consent
Kesehatan
Pasien, PPA, Keuangan,
10. SpPD Klinis Risiko efek samping obat Melakukan skin tes (alergi) 1 3 3 Rendah
Hukum
Tehnologi Keterlambatan proses Penarikan data layanan secara
11 Manajemen PPA, Keuangan 2 2 4 Rendah
Kesehatan klaim manual
48
3.2. Daftar, Analisis Permasalahan dan Perencanaan Perbaikan Strategis
Kegiatan manajemen risiko di rumah sakit merupakan salah satu bentuk
upaya untuk menghindarkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Salah satu cara
melaksanakan manajemen resiko adalah dengan melaksanakan analisa proaktif,
yakni dengan melakukan identifikasi risiko dan melaksanakan analisa dari risiko
yang ditemukan. Setelah melakukan register risiko, maka terdapat hasil risiko yang
tinggi dengan skala 20 yakni terjadinya pasien mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan. Pada makalah ini, akan diangkat permasalahan pasien mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan untuk dianalisa permasalahan lebih
mendalam dan membuat rencana perbaikan strategis untuk memitigasi risiko
tersebut. Tujuannya adalah agar risiko tersebut tidak sampai terjadi kembali atau
meminimalkan angka kejadian. Risiko yang didata pada risk register akan dilakukan
penilaian dan analisis untuk kemudian didapatkan risiko yang paling tinggi nilainya
yang akan dilakukan analisis HFMEA.
Nomor HFMEA -
Nama proses dan subproses Proses perawatan pasien rawat inap dengan risiko
pasien mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
Alasan pemilihan proses Berdasarkan laporan insiden keselamatan pasien,
ini adalah risiko yang menjadi prioritas pertama
penanganan risiko. Termasuk risiko berprioritas
tinggi.
Deskripsi batasan lingkup proses Semua kejadian pasien rawat inap jiwa dengan
kasus perilaku kekerasan
Data pendukung Laporan
49
Tabel 13 Aktifitas Subproses Pelayanan Instalasi Rawat inap
Proses pasien MRS Proses Perawatan pasien di IPCU Proses Perawatan pasien Proses Persiapan Pulang
(1) (2) di Ruang Intermediate (4)
(3)
1. Pasien rawat inap transfer 1. Proses transfer dari IGD dan Poliklinik ke IPCU 1. Proses transfer dari IPCU ke Ruang 1. Proses kunjungan keluarga
dari IGD dan Poliklinik a. Pasien diterima oleh perawat ruang Intermediate (Ruang Tenang) a. Pada hari ke 10, pasien
a. Pasien diantar keluarga IPCU yang berjumlah kurang lebih 3 s.d a. Pasien diterima oleh perawat diberikan kesempatan untuk
dari IGD dan Poliklinik ke 4 orang setiap shift. di ruang Intermediate yang berinteraksi dengan keluarga,
ruang rawat inap (IPCU) b. Proses asesmen awal rawat inap oleh 1 berjumlah 2 s.d 4 orang melalui kunjungan ke ruang
b. Didampingi petugas RM orang perawat kurang lebih 10 s.d 15 setiap shift. rawat inap.
dan Perawat menit b. Proses asesmen ulang oleh 1 b. Kunjungan selanjutnya
c. Proses skrining perilaku kekerasan orang perawat kuran lebih 5 menyesuaikan respon pasien.
s.d 10 menit. Bila respon baik, maka pasien
2. Perawatan di IPCU sampai dengan kondisi 2. Perawatan di Ruang Intermediate, dapat direncanakan pulang
tenang, kurang lebih 3 s.d 5 hari sampai dengan pasien siap pulang, pada kunjungan berikutnya.
a. Proses perawatan di ruang IPCU secara kurang lebih 17 s.d 19 hari. c. Bila respon tidak baik, maka
tertutup (pasien tidak boleh a. Proses perawatan di ruang dijadwalkan kunjungan kembali
meninggalkan ruangan) Intermediate secara terbuka 10 hari ke depan dan dilakukan
b. Pasien berinteraksi dengan orang lain : (pasien boleh meninggalkan evaluasi.
risiko mencederai. ruangan sebatas sampai 2. Proses KRS
c. Pasien berkesempatan keluar ruangan halaman ruang Intermediate, a. Pasien sembuh dan diambil
pada saat makan bersama. atau diluar halaman dengan pulang oleh keluarga atau
d. Proses medikasi dan perawatan secara pengawasan perawat). b. Pasien sembuh, tetapi keluarga
intensif. b. Pasien berinteraksi dengan tidak kooperatif untuk
e. Evaluasi kondisi mental, bila sudah orang lain : risiko mencederai menjenguk sehingga pasien
tenang, transfer ke ruang c. Pasien diberikan terapi aktifitas dilakukan dropping (diantar
Intermediate. mandiri, selama 24 jam sesuai pulang oleh petugas), atau
jadwal kegiatan harian. c. Pasien lari dari RSJRW.
d. Pasien berkesempatan
melakukan kegiatan ibadah ke
masjid, pelaksanaan tugas
sederhana dengan
pendampingan perawat.
50
Proses pasien MRS Proses Perawatan pasien di IPCU Proses Perawatan pasien Proses Persiapan Pulang
(1) (2) di Ruang Intermediate (4)
(3)
3. Proses rehabilitasi psikososial.
a. Pasien yang memenuhi syarat
akan diikutkan program
pembinaan ketrampilan
melalui rehab psikososial.
b. Pasien berinteraksi dengan
orang lain : risiko mencederai
c. Rehab psikososial dilaksanakan
oleh petugas rehabilitasi di
Gedung Rehab, yang lokasinya
terpisah dari ruang rawat inap
Intermediate.
d. Pengantaran pasien dari ruang
Intermediate ke Gedung Rehab
dilakukan oleh perawat,
sedangkan pengantaran pasien
dari Gedung Rehab ke ruang
perawatan, dilakukan oleh
petugas rehab.
Dari keempat subproses tersebut, maka keempat proses ini yang berpotensi menimbulkan risiko/ masalah yakni perilaku
kekerasan. Dari hasil diskusi kelompok, penulis menetapkan bahwa proses interaksi pasien dengan orang lain yang menimbulkan risiko
mencederai orang lain dan lingkungan, sehingga perlu ditindaklanjuti. Setelah subproses ini dipilih, maka dalam makalah ini membahas
potensi kegagalan dari sub proses tersebut.
51
Tabel 14 Potensi Kegagalan Proses Perawatan Pasien di IPCU & Ruang Intermediate
Sub Proses Proses Perawatan Pasien di IPCU Proses Proses Perawatan pasien
di Ruang Intermediate
Tidak
Tidak
Dilanjutkan ke HFMEA
langkah5
Dilanjutkan ke HFMEA
langkah5
Gambar 15 Analisa Pohon Keputusan
52
Tabel 15 Langkah 4 dan 5 HFMEA Analisa Hazard dan Menetapkan Tindakan Ukuran Luaran
Langkah 4 Langkah 5
Analisis hazard Menetapkan tindakan dan ukuran luaran
Skor Risiko
th
th
Sebab Alasan
Kelemahan tunggal ?
Kelemahan tunggal ?
Frekuensi
Frekuensi
Apakah terkontrol ?
Apakah terkontrol ?
Apakah terdeteksi?
Apakah terdeteksi?
Potensi Tipe berhenti Bentuk Ukuran Target PJ
g terjadi?akness
Kegagalan tindakan tindakan Iuaran waktu
Dampa
Dampa
k
k
Perawat tidak
Perawat Memberikan
mengenali tanda
lelah makanan penambah
gejala perilaku Kepatuhan akan Kepala
sehingga 3 3 9 N N N Y Lanjut - daya tahan tubuh 30 hari
kekerasan yang jadwal shift Ruang
kurang dan melarang shift
akan timbul
observasi berkelanjutan
Pasien tidak
mampu Melakukan
menyampaikan Intensitas
penjadwalan Terlaksananya
dorongan untuk komunikasi Kepala
5 4 20 Y N N Y Lanjut - aktivitas harian jadwal aktivitas 7 hari
melakukan perawat Ruang
pasien didampingi harian
perilaku kurang
perawat
kekerasan
53
yang dapat
dijangkau oleh barang di
ruang rawat inap
pasien sebagai ruangan rawat inap
jauh dari jangkauan
objek perilaku rawat inap secara aman
pasien
kekerasan kurang aman
54
3.3. Prioritas dan Penyebab Permasalahan
Disamping menggunakan HFMEA penentuan penyebab risiko juga dapat
menggunakan cara lain yaitu diagram fishbone. Diagram fishbone sendiri
merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi masalah yang ada di Instalasi
Rawat Inap. Metode Fishbone merupakan sebuah diagram yang dapat
menunjukkan penyebab‐penyebab dari sebuah kejadian yang spesifik. Diagram
Fishbone dapat membantu mengindentifikasi faktor‐faktor yang memberikan
dampak terhadap sebuah kejadian. Tidak semua penyebab yang ada di bagian
tulang ikan memiliki kontribusi yang sama terhadap suatu permasalahan. Beberapa
memiliki dampak yang besar dan beberapa lain nya memiliki dampak yang kecil
bahkan mungkin hampir tidak ada berdampak sama sekali. Prioritas risiko tersebut
akan dilakukan pencarian akar masalah dengan metode ISIKAWA/ Diagram Fish
bone.
55
Metode Lingkungan Man
56
BAB IV.
RENCANA AKSI PERBAIKAN
4.1. Identifikasi Potensi Solusi
Setelah menganalisa beberapa faktor yang menjadi akar permasalahan di
RSJRW, maka penulis berupaya untuk mencari usaha alternatif untuk memperbaiki
kualitas pelayanan di ruang rawat inap serta tindakan pencegahan agar permasalahan
serupa tidak muncul di kemudian hari. Berikut adalah rencana strategis yang dicari
berdasarkan akar masalah sehingga dapat diaplikasikan di ruang rawat inap RSJRW.
Perawat Lelah
57
4.2. Perencanaan Aksi Perbaikan
Rumusan Masalah Kejadian pasien mencederai orang lain, diri sendiri atau lingkungan
58
Rumusan Masalah Kejadian pasien mencederai orang lain, diri sendiri atau lingkungan
59
Rumusan Masalah Kejadian pasien mencederai orang lain, diri sendiri atau lingkungan
60
4.3. Analisis Ekonomi pilihan tindakan perbaikan
Persyaratan rumah sakit yang harus dipenuhi seperti yang tercantum
pada pasal 7 Undang-Undang No. 44 tahun 2009 menyebutkan bahwa rumah
sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya
manusia, kefarmasian dan peralatan.Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan
dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Perencanaan
pengembangan rumah sakit selalu berdasarkan keadaan saat ini, untuk mencapai
kondisi lebih baik di masa mendatang, khususnya yang berorientasi pada mutu
dan keselamatan pasien.
Berdasarkan hasil wawancara pasien/keluarga dan staf serta analisis
risiko dan prioritas masalah, didapati prioritas risiko yang menduduki peringkat
tertinggi dalam skoring prioritas, yakni risiko insiden keselamatan pasien berupa
pasien mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan di rawat inap RSJRW. Dari
masalah tersebut setelah dilakukan analisis prioritas risiko untuk mencari potensi
kegagalan melalui metode HFMEA serta pemetaan pencarian akar masalah
dengan metode Fishbone maka didapat beberapa solusi strategis untuk
pemecahan masalah prioritas.
Analisis ekonomi yang lazim digunakan dalam pencapaian efisiensi
penggunaan sumber daya di rumah sakit adalah Cost benefit analysis. Cost benefit
analysis merupakan suatu analisis ekonomi yang digunakan untuk mengevaluasi
penggunaan sumber-sumber ekonomi agar sumber daya ekonomi yang langka
tersebut dapat digunakan dengan efisien. Cost Benefit Analysis adalah suatu
teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan
membandingkan surplus biaya suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya.
61
Dalam perhitungannya, analisis ini memperhitungkan biaya serta manfaat yang
akan diperoleh dari pelaksanaan suatu program. Dalam analisis benefit dan cost
perhitungan manfaat serta biaya ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Perhitungan Cost Benefit Analysis akan dilakukan dengan pendekatan
step to step Health Assesment Tehnology.
1. Identify assessment topics
Program atau proyek yang dipilih untuk dilakukan analisis dapat lebih dari
dua. Semakin banyak program atau proyek yang akan dianalisis semakin baik
hasilnya karena akan memberikan pilihan yang bervariasi dan analisis yang
lebih lengkap. Definisi operasional dari masing- masing program atau proyek
harus dijabarkan agar tampak perbedaan dari masing-masing intervensi yang
akan dianalisis.
62
Tabel 17 Tabel PICO Cost Benefit Analysis
P (Patient) Pasien di ruang rawat inap RSJRW
I (Intervention) Pelaksanaan terapi aktifitas
C (Comparison) Pengadaan ruang seklusi
O (Outcome) Berkurangnya jumlah pasien mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
63
langsung dapat menguangkan biaya akibat kerugian yang ditimbulkan.
Hasil dari tahap ini adalah jumlah dari benefit langsung dan tidak
langsung yang berupa Total Benefit. Manfaat praktik evidence based
medicine didasari kajian ilmiah untuk memonetisasi benefit-benefit
yang sudah didapatkan menjadi bentuk uang.
c. Menghitung Discounting.
Cara penyesuaian nilai atau uang dengan menghitung berapa nilai
uang saat ini dikemudian hari dengan memperhitungkan bunga pada
akhir setiap tahun, untuk ini digunakan discount rate, yang disesuaikan
dengan interest (suku bunga dlm peminjaman Bank). Dalam
menghitung manfaat tentunya harus mempertimbangkan discount
rate bila manfaatnya akan diperoleh untuk periode waktu kedepan.
Discount rate (DR) adalah suatu angka yang menggambarkan nilai uang
pada tahun tertentu dengan nilai uang yang sama pada tahun
berikutnya atau tahun sebelumnya Discount rate disesuaikan dengan
interest rate (suku bunga) yang berlaku dlm peminjaman uang.
d. Melakukan analisis pilihan dari program yang paling menguntungkan.
Proses menentukan kriteria investasi apakah layak atau tidak layak,
dapat dilakukan dengan pendekatan atau menghitung Benefit Cost
Ratio untuk tiap program atau proyek. Apabila program atau proyek
yang akan dianalisis lebih dari dari dua maka lebih mudah
penghitungannya diletakkan dalam bentuk tabel. Hal ini akan
memudahkan proses analisis.
Melalui Metode Cost Benefit Analysis maka akan didapatkan analisa
biaya dan manfaat terhadap alternatif pemecahan masalah yakni risiko
64
insiden pasien mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Dengan demikian pihak RSJRW dapat memilih salah satu keputusan
dari rencana strategis tersebut apakah diterima atau tidak. Berikut
adalah kerangka perhitungan cost dan benefit dari usulan rencana
penurunan jumlah pasien mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan yakni pembangunan ruang seklusi atau pelaksanaan terapi
aktifitas.
Tabel 18 Kerangka Cost dan Biaya Cost Benefit Analysis pengadaan ruang seklusi & terapi
aktifitas
Rencana Komponen Cost Komponen Benefit
Perbaikan Investasi Biaya Tangbile Intangible
Sistem Operasional benefit benefit
Pengadaan ruang Sarana & Prasarana Gaji perawat, Penurunan jumlah Kepuasan
seklusi (ruang 3 x 4, pelapis listrik dan air pasien cedera akibat pasien
tahan benturan, fiksasi
gembok dan CCTV)
Terapi Aktifitas Biaya Peralatan Gaji perawat, Penurunan jumlah Kepuasan
(bibit tanaman, bahan terapi pasien akibat fiksasi pasien
peralatan berkebun, dan air
sarung tangan karet)
65
- Peningkatan jumlah pasien diasumsikan per tahun sebesar
10%. Jumlah pasien yang mendapatkan terapi aktifitas
diasumsikan sebesar 60% dan yang mendapatkan terapi
seklusi sebesar 25%. Jumlah pasien yang mendapatkan kedua
terapi tersebut diproyeksikan meningkat 10% setiap tahun.
Tarif yang berlaku saat ini untuk ruang rawat inap adalah
sebagai berikut Rp. 240.000 per hari.
- Proyeksi biaya untuk kedua aktifitas terapi tersebut terdiri
dari biaya gaji perawat rawat inap, biaya operasional (listrik
dan air), biaya bahan terapi, biaya perawatan sarana dan
prasarana serta biaya investasi. Jumlah perawat di ruang
rawat inap sebanyal 15 orang (3 shift). Pada halaman berikut,
dijabarkan perhitungan proyeksi pendapatan dan biaya untuk
kedua aktifitas tersebut.
- Biaya investasi ruang seklusi adalah sebesar Rp. 27.000.000
yang digunakan untuk pembelian busa penahan benturan
dan untuk investasi untuk terapi aktifitas sebesar Rp.
15.000.000 untuk pembelian peralatan pendukung terapi
aktifitas (peralatan ember dan gayung) untuk menyalurkan
kegiatan berkebun.
66
Proyeksi Pendapatan
Tabel 19 Proyeksi Kunjungan dan Pendapatan Rawat Inap & Terapi Seklusi
Tabel 20 Proyeksi Kunjungan dan Pendapatan Rawat Inap & Terapi Aktifitas
Proyeksi Biaya
Tabel 21 Proyeksi Biaya Operasional Rawat Inap (Terapi Seklusi)
67
Tabel 22 Proyeksi Biaya Investasi dan Operasional Terapi Seklusi
68
Pada perhitungan analisis ekonomi tindakan perbaikan, terdapat aspek benefit yang timbul akibat suatu tindakan. Benefit yang
timbul terdiri dari 2 jenis, yaitu tangible benefit dan intangible benefit. Yang dimaksud dengan tangible benefit adalah
penghematan atau peningkatan dalam perusahaan yang dapat diukur secara kuantitas dalam bentuk nilai satuan uang. Intangible
benefit adalah penghematan atau peningkatan dalam perusahaan yang tidak diukur secara kuantitas dalam bentuk nilai satuan
uang. Benefit yang terdapat pada tindakan ini terkait dengan kepuasan pasien, dimana kepuasan pasien. Dalam kedua tindakan
yang akan dianalisis, terdapat tangible benefit berupa kepuasan pasien, dampak dari kepuasan pasien adalah potensi penambahan
jumlah pasien rawat inap diasumsi kan sebesar 10%. Pada tangible benefit, jumlah pasien yang dilakukan terapi aktifitas adalah
pasien dengan perilaku kekerasan yang saat ini dilakukan intervensi melalui fiksasi restrain, dalam perkembangannya fiksasi
restrain mendapatkan cedera sebesar 1,5%. Dengan dialihkannya terapi ke tindakan aktifitas, akan menurunkan pasien yang
cedera akibat terapi sebesar 1,5%. Tangible benefit terdiri dari jumlah pasien yang tidak cedera akibat fiksasi.
Tabel 25 Perhitungan Benefit untuk Terapi Seklusi
69
Tabel 26 Perhitungan Benefit untuk Terapi Aktifitas
70
b. Perhitungan Cost Benefit Analysis Terapi Aktifitas
71
BAB V
PEMBAHASAN
72
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah
tak terkontrol (Malfasari et al., 2020). Menurut Dermawan, 2018 perilaku
kekerasan adalah suatu bentuk tindakan yang bertujuan untuk melukai dirinya
dan seseorang secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan ini dapat
dilakukan secara verbal, untuk mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungannya, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol.
Penulis melakukan analisis akar masalah dari risiko cedera dengan metode
fishbone. Dari analisis akar masalah didapati bahwa terdapat sejumlah faktor yang
menyebabkan terjadinya resiko cedera pada pasien sebagai berikut Man (perawat
takut mendekati pasien, perawat tidak mendampingi, perawat lelah), Methode
(belum konsisten screening perilaku kekerasan, penanganan pasien perilaku
kekerasan dengan fiksasi restrain, melakukan terapi aktifitas individu), Material
(terdapat barang pecah belah, spotcheck barang pasien kurang maksimal, terdapat
barang pemicu untuk bunuh diri), kebijakan (belum ada standar aktifitas
pencegahan perilaku kekerasan, belum ada indikator pasien cedera akibat perilaku
kekerasan), Money (anggaran pemeliharaan gedung terbatas, pendapatan dari BLU
kurang memadai), Lingkungan (kapasitas bangsal 20 pasien, tidak terdapat ruang
seklusi).
Penulis kemudian melakukan pemetaan rencana strategis untuk melakukan
mitigasi terhadap risiko pasien cedera. Dari serangkaian rencana strategis tersebut,
muncul beberapa opsi untuk tatalaksana risiko, yaitu terapi seklusi dan terapi
aktifitas. Penulis melihat kedua opsi ini merupakan rencana strategis yang paling
visible jika melihat kondisi unit dan rumah sakit saat ini. Proses pemilihan kedua
opsi tersebut juga melibatkan beberapa penelitian dan bukti-bukti ilmiah. Terapi
aktivitas kelompok adalah salah satu terapi modalitas yang merupakan upaya untuk
memfasilitasi perawat atau psikoterapis terhadap sejumlah pasien pada waktu yang
sama (Maulana et al., 2021). Selain terapi aktivitas tersebut, terdapat terapi lainnya
adalah terapi isolasi seklusi, yang dimaksud ruang isolasi/seklusi adalah tindakan
yang dapat dilakukan kepada pasien perilaku kekerasan tanpa adanya risiko tinggi
73
bunuh diri, pasien dengan gangguan sosial dan pasien yang membutuhkan
observasi untuk masalah fisik. Pelaksanaan terapi seklusi adalah dengan mengurung
klien dalam ruangan khusus. Menurut (Laukkanen et al., 2020) pasien ditemukan
menghabiskan 1,75% hari di rumah sakit dalam seklusi. Total durasi seklusi
bervariasi dari 0,02 hari hingga 1257 hari.
Penulis kemudian melakukan analisis ekonomi mitigasi risiko pasien
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dengan intervensi pengadaan
ruang seklusi yang aman dengan optimalisasi terapi aktifitas untuk pencegahan
perilaku kekerasan. Analisis ekonomi dilakukan dengan metode cost benefit
analysis dengan mengidentifikasi komponen-komponen biaya dan manfaat dari
masing-masing program.
Proses identifkasi biaya dan manfaat dilakukan dengan menggunakan
kerangka berpikir health assessment technology yang berusaha untuk
mengidentifikasi komponen biaya dan manfaat secara ilmiah (evidence based).
Setelah menjabarkan komponen biaya dan manfaat dari kedua opsi program, maka
cost and benefits analysis dapat dilakukan untuk menentukan apakah sebuah
program pengurangan insiden pasien cedera/mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan di Instalasi Rawat Inap layak dilaksanakan atau tidak.
Metode-metode yang digunakan dalam cost and benefits analysis pada
makalah ini adalah menggunakan tiga indikator keuangan yakni Net present value,
Internal Rate Return dan benefit cost ratio. Cost and benefits analysis ini dapat
menunjukkan kelayakan suat investasi apabila hasilnya lebih dari 1, artinya manfaat
lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Berikut ini adalah dua alternatif intervensi
yang kami hitung menggunakan cost benefit analysis, yaitu dilakukan pengadaan
ruang terapi seklusi yang aman dan melakukan optimalisasi terapi aktifitas untuk
mencegah perilaku kekerasan. Kedua intervensi ini sama-sama memliki peluang
untuk mengurangi risiko insiden keselamatan pasien berupa kejadian pasien
cedera/mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di Instalasi Rawat Inap
RSJRW. Perhitungan cost benefit analysis dijelaskan pada tabel dibawah ini sebagai
berikut :
74
Tabel 27 Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi Terapi Seklusi dan Terapi Aktifitas
75
Berdasarkan melihat hasil perhitungan analisis ekonomi kedua program,
sesungguhnya kedua program layak untuk dijalankan. Akan tetapi dengan
mempertimbangkan perbandingan keduanya, program optimalisasi terapi
aktifitas menunjukkan indikator NVP, IRR, dan benefit cost ratio yang lebih
unggul daripada program pengadaan ruang terapi seklusi sebagai mitigasi
risiko kejadian pasien cedera/mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan di Instalasi Rawat Inap RSJRW Lawang.
76
Menurut Pardede (2020) terdapat pengaruh yang signifikan pada
perubahan gejala risiko perilaku kekerasan pasien skizofrenia sebelum dan
setelah dilakukan terapi aktifitas kelompok. Pelaksanaan terapi aktifitas di RSJRW
belum optimal yaitu ditandai dengan belum adanya keseragaman jadwal aktifitas
pasien di setiap ruang rawat inap. Menurut Siti (2021) Selama beberapa dekade,
DBT (Dialectical Behavioral Therapy) dinilai sebagai terapi paling efektif untuk
individu dengan perilaku bunuh diri dan mencederai diri sendiri. Penerapan terapi
aktifitas di RSJRW perlu mengedepankan ucapan kata-kata/kalimat terapeutik bagi
pasien. Selama masa rawat inap di RSJRW Lawang, pasien menghabiskan waktunya
selama 24 jam dengan didampingi perawat. Pengaturan pilihan jenis aktifitas yang
terjadwal sesuai waktu dan kebutuhan pasien hendaknya bisa menjadi sebuah
standar terapi aktifitas pasien di ruang rawat inap.
Terapi aktifitas akan lebih effektif bila diterapkan bersamaan dengan
intervensi safewards. Pendekatan terhadap pasien yang gelisah atau memiliki
perilaku kekerasan harus dimulai dengan tindakan yang kurang memaksa. Deteksi
dini melalui skala yang divalidasi untuk melakukan penilaian risiko yang objektif
sangat penting dalam hal ini untuk meningkatkan langkah-langkah yang kurang
invasif. Pelatihan staf dalam teknik de-eskalasi verbal dan non-verbal
direkomendasikan sebagai pengobatan pilihan daripada restrain. Sebagai tindakan
pencegahan, penggunaan psikoterapi (AAT, CBT), modulasi rangsangan sensorik,
dan partisipasi aktif pasien dalam diri mereka sendiri. Langkah-langkah tersebut
sering kali merupakan bagian dari program yang lebih kompleks, disarankan bahwa
lembaga mengembangkan dan menempatkannya pada tempatnya untuk
implementasinya (Fernández-Costa et al., 2020)
Safewards adalah intervensi yang semakin berbasis bukti untuk
pengurangan konflik dan penahanan akut layanan kesehatan mental. Layanan yang
memilih untuk tidak menggunakan intervensi, atau untuk menggunakan alternatif
dengan lebih sedikit bukti pendukung yang kuat, berada dalam bahaya bertindak
terhadap bukti yang ada dan yang muncul. Pengukuran hasil konflik dan penahanan
saat shift memberikan data yang valid untuk evaluasi intervensi dan harus
dimanfaatkan secara luas. Intervensi safewards yang diterapkan dalam setiap shift
mendapatkan hasil penurunan perilaku kekerasan dari 14% ke 8,3% dari semua shift
77
yang tercatat sehingga safewards adalah intervensi yang efektif dalam pengaturan
kesehatan mental akut untuk pengurangan konflik dan penahanan dan tampaknya
menyarankan, seperti yang diharapkan, bahwa kesetiaan pada intervensi yang
dipilih memainkan peran penting dalam kesuksesan (Dickens et al., 2020).
Penerapan safewards pada faktor perspektif staf/perawat didapatkan 10 intervensi
safewards sebagai berikut:
Tabel 28. Intervensi safewards
Intervensi Deskripsi Tujuan
Mutual help Pasien mencari dan memperkuat komunitas
meeting menerima bantuan dan pasien, kesempatan untuk
dukungan petugas melalui memberi dan menerima
pertemuan setiap hari bantuan
Know each other pasien dan staf berbagi membangun hubungan baik,
minat dan ide pribadi satu koneksi, dan rasa
sama lain, ditampilkan di kemanusiaan Bersama
area unit umum
Clear mutual pasien dan staf bekerja melawan beberapa
expectations sama untuk menciptakan ketidakseimbangan
aspirasi yang disepakati kekuasaan, menciptakan rasa
bersama yang berlaku yang lebih kuat dari komunitas
untuk kedua kelompok Bersama
secara setara
Calm down staf mendukung pasien memperkuat kepercayaan diri
methods untuk memanfaatkan dan keterampilan pasien
kekuatan mereka dan untuk mengatasi kesulitan
penggunaan obat atau
penahanan pro re nata
Discharge sebelum keluar, pasien memperkuat komunitas
messages meninggalkan pesan pasien, menghasilkan harapan
harapan untuk pasien lain
yang dipajang di unit
Soft words staf sangat berhati-hati mengurangi titik nyala
dengan nada mereka dan bersama, membangun rasa
menggunakan bahasa hormat, pilihan, dan martabat
kolaboratif. staf
mengurangi batas yang
dihadapi oleh pasien, opsi
fleksibel kreatif, dan
menggunakan rasa hormat
jika pengaturan batas tidak
78
dapat dihindari
Talk down proses de eskalasi berfokus meningkatkan rasa hormat,
pada klarifikasi masalah kolaborasi, dan hasil yang
dan menemukan solusi saling positif
bersama. staf menjaga
kontrol diri, rasa hormat
dan empati
Possitive words staf mengatakan sesuatu meningkatkan apresiasi positif
yang possitif dalam serah dan informasi bermanfaat bagi
terima tentang setiap kolega untuk bekerja dengan
pasien. staf menggunakan pasien
penjelasan psikologis untuk
menggambarkan tindakan
yang menantang
Bad news staf memahami, secara mengurangi dampak titik nyala
mitigation proaktif merencanakan dan umum
mengurangi dampak berita
buruk yang diterima oleh
pasien
Reassurance staf menyentuh basis mengurangi titik nyala yang
setiap pasien setelah setiap umum, meningkatkan rasa
konflik pada unit dan keselamatan dan keamanan
pembekalan sesuai pasien
kebutuhan
Dari sudut pandang staf didapatkan data bahwa 32% staff merasakan lebih
aman dalam bekerja setelah menerapkan intervensi safewards, dan secara umum
penerapan safewards memberikan efek positif bagi perawat (Fletcher et al., 2019).
Langkah Langkah penerapan safewards dilakukan sebagai berikut:
1. Mutual help meeting
- Kumpulkan pasien yang kondisinya stabil/tidak agitasi
- Bantu membuat kesepakatan topik, lama diskusi
- Pandu pasien berdiskusi bebas
- Tawarkan pasien jika ingin berkonsultasi secara pribadi dengan perawat atau
dokter
2. Know each other
Buat profil staf dan pasien terkait: nama lengkap dan nama panggilan, yang
disukai dan tidak disukai, kegemaran/hobi/film favorit, music/buku/acara televisi
79
favorit, kata-kata mutiara yang menyemangati, lampirkan foto postcard setengah
badan
3. Clear mutual expectations
Sampaikan kepada pasien: alasan perawatan, tujuan perawatan, lama perawatan,
kegiatan selama perawatan, pengobatan yang harus dijalani selama perawatan,
kemudahan mengakses informasi terkait kondisi Kesehatan, perilaku pasien yang
diharapkan selama dirawat.
4. Calm down methode
- Identifikasi tanda dan gejala agitasi
- Identifikasi peralatan atau cara yang digunakan untuk membuat dirinya
nyaman
- Fasilitasi peralatan atau ruangan yang akan digunakan
- Beri waktu 30-60 menit
- Bantu evaluasi perasaaan pasien
5. Discharge messages
- Ajak dan jelaskan pesan kesan pasien lain yang tertulis di daun
- Ketika pasien sudah diijinkan pulang oleh dokter, ajak pasien untuk menulis
pesan kesan di atas daun
- Minta pasien untuk menempelkan pesannya di pohon harapan
6. Soft words
Ketika berbicara dengan pasien: tidak menyalahkan pasien, tidak membentak
pasien, tidak bicara kasar kepada pasien, selalu memberikan penghargaan yang
positif, sampaikan kata-kata yang menyemangati/memotivasi
7. Talk down
- Lakukan kontrak pertemuan
- Lakukan eksplorasi kejadian yang dialami, yang dipikirkan dan dirasakan, apa
yang dilakukan dan tunjukkan empati
- Identifikasi harapan dan keinginan pasien, tawarkan bantuan, bantu gunakan
koping yang adaptif
8. Possitive words
Ketika berinteraksi dengan pasien: berikan apresiasi positif, jelaskan
kemajuan/perbaikan kondisi pasien, jelaskan kemampuan yang sudah dicapai
80
pasien, sebutkan hal yang positif kemudian negative, jika ingin menyampaikan
kata-kata negative harus diikuti penjelasan psikologis.
9. Bad news mitigation
Pada saat bertemu dengan pasien dapat menanyakan apakah ada yang membuat
tidak nyaman selama perawatan: sarana prasarana, sikap perawat, mahasiswa,
dokter, petugas Kesehatan lain, wisma, makanan, kondisi pasien lain, jadwal
kegiatan dan visit yang tidak jelas, keberadaan pasiendi RS, keluarga, dll
10. Reassurance
- Identifikasi kebutuhan jaminan kejelasan dan kepastian
- Tawarkan pemberian kejelasan sesuai kebutuhan
- Buat media informasi dan edukasi yang tepat
- Fasilitasi pasien gunakan peralatan/sarana untuk bertemu/bicara dengan
keluarga melalui telepon.
5.3. Rekomendasi
Berdasarkan analisis kasus dan kajian literatur, penulis membuat beberapa
rekomendasi terkait upaya pencegahan resiko pasien cedera/mencederai diri,
orang lain dan lingkungan di Instalasi Rawat Inap RSJRW sebagai berikut :
1. Kebijakan
- Sistem kesehatan nasional perlu menyusun kebijakan khusus untuk
penanganan gangguan kesehatan jiwa proses promotif dan preventif dalam
bentuk skrining gangguan kesehatan jiwa. Deteksi dini kasus kesehatan jiwa
akan memberikan dampak yang lebih baik bagi kesehatan masyarakat.
- Pada tingkat rumah sakit, khususnya instalasi rawat inap, perawat ruang
rawat inap lebih meningkatkan kompetensi dalam pemberian terapi
aktifitas dan kalimat terapeutik kepada pasien. Perawat memperhatikan
dan memberikan perhatian ekstra kepada pasien dengan risiko mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan dengan melakukan optimalisasi terapi
aktifitas
- Kebijakan penyediaan kelas rawat inap standar, sesuai dengan Peraturan
Presiden Nomor 64 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2021.
81
2. Sistem
- Sistem yang dibangun untuk keterlibatan peran keluarga dalam proses
terapi, saat pasien pasca rawat inap. Keluarga perlu dilibatkan dalam
pemahaman terapi aktifitas sehingga bisa terlibat langsung pada saat
pasien sudah pulang dan menjalani perawatan di rumah.
- Sistem penjadwalan kunjungan berkala yang melibatkan keluarga sangat
penting karena dapat memantau perkembangan pasien di ruang rawat inap
pasien. Keluarga dapat mengetahui jenis terapi aktifitas yang dibutuhkan
pasien dan bisa diterapkan saat kembali ke rumah
- Menciptakan sistem lingkungan rawat inap berbasis comfort room yaitu
ruangan yang nyaman bagi pasien sehingga menekan keinginan untuk
melakukan perilaku kekerasan. Comfort room diterapkan mengacu pada
kelas perawatan inap standar.
3. Prosedur
- Rumah sakit menyusun indikator untuk mencegah terjadinya pasien
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
- Rumah sakit menyusun standar aktifitas pasien yang diterapkan di ruang
rawat inap
- Rumah sakit membuat program pemahaman aktifitas pasien yang
berorientasi kepada perawat, pasien dan keluarga
- Penerapan intervensi safewards dalam setiap interaksi perawat dengan
pasien.
4. Pembiayaan
- Updating clinical pathway dan unit cost sebagai upaya kendali mutu dan
kendali biaya.
82
Daftar Pustaka
Benjamin, S., 2017. Schizophrenia spectrum disorders and dissociative disorders
Schizophrenia Spectrum Disorders and Dissociative Disorders The Blurry Boundaries
Between Categorical Diagnoses Selwyn Renard. , pp.1–4.
Dickens, G.L., Tabvuma, T. and Frost, S.A., 2020. Safewards: Changes in conflict,
containment, and violence prevention climate during implementation. International
Journal of Mental Health Nursing, 29(6), pp.1230–1240.
Fernández-Costa, D. et al., 2020. Alternatives to the use of mechanical restraints in the
management of agitation or aggressions of psychiatric patients: A scoping review.
Journal of Clinical Medicine, 9(9), pp.1–19.
Fletcher, J., Hamilton, B., Kinner, S.A. and Brophy, L., 2019. Safewards impact in
inpatient mental health units in Victoria, Australia: Staff perspectives. Frontiers in
Psychiatry, 10(JULY), pp.1–10.
Huisman, E.R.C.M., Morales, E., van Hoof, J. and Kort, H.S.M., 2012. Healing
environment: A review of the impact of physical environmental factors on users.
Building and Environment, 58, pp.70–80. Available at:
http://dx.doi.org/10.1016/j.buildenv.2012.06.016.
Idaiani, S. and Riyadi, I., 2018. Mental Health System in Indonesia: A Challenge to Meet
The Needs. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, 2(2).
Laukkanen, E., Kuosmanen, L., Selander, T. and Vehviläinen-Julkunen, K., 2020.
Seclusion, restraint, and involuntary medication in Finnish psychiatric care: a register
study with root-level data. Nordic Journal of Psychiatry, 74(6), pp.439–443. Available at:
https://doi.org/10.1080/08039488.2020.1733658.
Malfasari, E., Febtrina, R., Maulinda, D. and Amimi, R., 2020. Analisis Tanda dan Gejala
Resiko Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 3(1),
p.65.
Maulana, I., Hernawati, T. and Shalahuddin, I., 2021. Pengaruh terapi aktivitas kelompok
terhadap penurunan tingkat halusinasi pada pasien skizofrenia: literature review.
Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Pada
Pasien Skizofrenia: Literature Review, 9(1), pp.153–160.
Noviana L., E.S.G., 2018. Harapan Pasien, Kompetensi Pegawai, Kualitas Pelayanan dan
Kepuasan Pasien. Jurnal Manajemen dan Bisnis, 15(3), pp.38–50.
83
Pratiwi, S.H., Raymondalexas, C.M. and Julita Hendrartini, 2017. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI RAWAT INAP ULANG DETERMINANT FACTORS OF SCHIZOPHRENIA
PATIENTS ’ READMISSION IN THE ERA OF Implementasi pelaksanaan Jaminan. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia, 6(01), pp.20–28.
Utaş Akhan, L. and Atasoy, N., 2017. Impact of marbling art therapy activities on the
anxiety levels of psychiatric patients. Journal of Human Sciences, 14(2).
Uwajeh, P.C., Iyendo, T.O. and Polay, M., 2019. Therapeutic gardens as a design
approach for optimising the healing environment of patients with Alzheimer’s disease
and other dementias: A narrative review. Explore, 15(5), pp.352–362. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.explore.2019.05.002.
Windle, E. et al., 2020. Association of Patient Treatment Preference with Dropout and
Clinical Outcomes in Adult Psychosocial Mental Health Interventions: A Systematic
Review and Meta-analysis. JAMA Psychiatry, 77(3), pp.294–302.
84
85