HIV
ii
LEMBAR PENGESAHAN
TENTANG
PANDUAN HIV
Authorized Person 2
dr. Agil WIjaya
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut
data dari World Health Organization(WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000
orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV
pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017
secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi HIV baru secara global
diperkirakan terjadi dikalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun. Diikuti dengan anak-
anak yang terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja yang harus berurusan dengan
status HIV positif mereka. Menggabungkan keduanya, ada 5juta remaja yang hidup
dengan HIV(WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka kejadian Infeksi HIV dan AIDS
baru pada remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan bahwa terdapat 250.000 remaja
yang menderita HIV dan AIDS. Infeksi HIV baru telah mengalami penurunan sebesar
14% sejak tahun 2010. Ada penurunan 39% orang meninggal karena HIV & AIDS
(UNAIDS, 2017).
HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang
disebut AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). AIDS adalah stadium akhir
dari infeksi HIV. Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah
hilang sepenuhnya.Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2019, terdapat
lebih dari 50.000 kasus infeksi HIV di Indonesia. Dari jumlah tersebut, kasus HIV
paling sering terjadi pada heteroseksual, diikuti lelaki seks lelaki (LSL) atau
homoseksual, pengguna NAPZA suntik (penasun), dan pekerja seks.
Sementara itu, jumlah penderita AIDS di Indonesia cenderung meningkat. Di
tahun 2019, tercatat ada lebih dari 7.000 penderita AIDS dengan angka kematian
mencapai lebih dari 600 orang.
Akan tetapi, dari tahun 2005 hingga 2019, angka kematian akibat AIDS di
Indonesia terus mengalami penurunan. Hal ini menandakan pengobatan di Indonesia
berhasil menurunkan angka kematian akibat AIDS.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disimpulkan bahwa angka kejadian
HIV pada remaja masih tinggi.
4
C. Tujuan masalah
Diketahui tingkat pengetahuan tentang HIV dan AIDS pada masyarakat.
D. Ruang lingkup pelayanan
Peraturan Menteri ini meliputi penanggulangan HIV dan AIDS secara
komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan,
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga, dan
masyarakat.
E. LANDASAN HUKUM
Dasar hukum yang digunakan dalam penyusunan ini adalah sebagai berikut :
1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit
Tidak Menular Terpadu;
2. Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Nomor
02/Per/Menko/Kesra/I/2007 tentang Kebijakan Nasional Penganggulangan HIV dan
AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif;
3. Peraturan MenteriKesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam
Medis;
4. Keputusan Menteri KesehatanNomor350/Menkes/SK/IV/2008 tentang Penetapan
Rumah SakitPengampu dan Satelit Program Terapi Rumatan Metadon serta
Pedoman Program Terapi Rumatan Metadon;
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor378/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pedoman
Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan(Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 585);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor001 Tahun 2012tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 122)
BAB II
5
STANDAR KETENAGAAN
B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
1. Terdapat dokter spesialis yang telah melakukan pelatihan HIV
2. Terdapat dokter umum yang telah melakukan pelatihan HIV
3. Terdapat bidan dan perawat yang telah melakukan pelatihanHIV
6
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
Pemberian terapi ARV dapat menekan viral load hingga kadar yang tidak
terdeteksi (virus tersupresi). Supresi virus dapat meningkatkan fungsi imun dan
kualitas hidup secara keseluruhan, menurunkan risiko komplikasi Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) dan non-AIDS, serta memperpanjang kesintasan pasien.
Selain itu, terapi ARV dapat mengurangi risiko penularan HIV.[2,6,7]
Terapi ARV harus diberikan kepada semua pasien dengan infeksi HIV tanpa
melihat stadium klinis dan nilai CD4. Tabel 1 menyajikan obat-obat ARV
berdasarkan golongannya beserta dosisnya untuk dewasa dan anak-anak.[6,7]
7
sehari, atau 600 2 kali sehari atau
mg, sekali sehari 300 mg sekali
sehari
8
≥40 kg: 800 mg
Semua dosis
diberikan sekali
sehari
Efavirenz (EFV) 600 mg sekali 3,5-<5 kg: 100 mg
sehari.
5-<7,5 kg: 150 mg
Semua dosis
diberikan sekali
sehari.
Non-nucleoside Nevirapine (NVP) 200 mg sekali 150 mg/m2 sekali
reverse sehari untuk 14 hari sehari untuk 14 hari
transcriptase pertama, pertama,
inhibitors selanjutnya (jika selanjutnya 150
(NNRTIs) tidak muncul ruam mg/m2 2 kali sehari
kulit) 200 mg 2 kali
≥50 kg: sesuai
sehari
dosis dewasa
Integrase inhibitor Dolutegravir 50 mg sekali sehari 15-<20 kg: 20 mg
(DTG)
20-<30 kg: 25 mg
9
30-<40 kg: 35 mg
≥40 kg: 50 mg
≥40 kg: 50 mg
Semua dosis
diberikan sekali
sehari
Inisiasi terapi ARV yang cepat akan meningkatkan prognosis pasien. ARV perlu
diusahakan untuk dikonsumsi dalam hari yang sama dengan diagnosis.
Regimen ARV lini pertama untuk dewasa (termasuk ibu hamil dan menyusui)
dan remaja 10-19 tahun adalah tenofovir ditambah lamivudin atau emtricitabine dan
efavirenz (tersedia dalam bentuk kombinasi dosis tetap/fixed dose combination). Jika
kombinasi tersebut dikontraindikasikan atau tidak tersedia, maka dapat digunakan
alternatif zidovudin ditambah lamivudin dan efavirens atau kombinasi zidovudin
ditambah lamivudin dan nevirapine.
Regimen lini pertama untuk anak usia 3-10 tahun adalah zidovudin atau tenofovir
ditambah lamivudin dan efavirenz. Jika kombinasi tersebut dikontraindikasikan atau
tidak tersedia, maka dapat digunakan alternatif abacavir ditambah lamivudin dan
10
nevirapine atau efavirenz. Alternatif lain adalah zidovudin ditambah lamivudin dan
efavirenz atau nevirapine.[7,10]
Regimen ARV lini pertama untuk anak usia <3 tahun adalah abacavir atau
zidovudin ditambahkan lamivudin dan lopinavir/ritonavir. Jika kombinasi tersebut
dikontraindikasikan/tidak tersedia, maka dapat digunakan alternatif abacavir atau
zidovudin ditambahkan lamivudin adan nevirapine.[7]
Pada dewasa, kegagalan terapi ARV lini pertama dengan tenofovir ditambah
lamivudin dan nevirapine atau efavirenz, diganti dengan lini kedua yaitu zidovudin
ditambah lamivudin dan lopinavir/ritonavir. Sementara itu, kegagalan terapi ARV lini
pertama dengan zidovudin ditambah lamivudin dan nevirapine atau efavirenz, diganti
dengan lini kedua yaitu tenofovir ditambah lamivudin dan lopinavir/ritonavir.
Pada anak, kegagalan terapi ARV lini pertama dengan regimen yang mengandung
abacavir atau kombinasi tenofovir dan lamivudin, diganti dengan lini kedua yaitu
zidovudin ditambah lamivudin. Sedangkan kegagalan terapi ARV lini pertama dengan
regimen yang mengandung zidovudin dan lamivudin, diganti dengan lini kedua yaitu
abacavir atau tenofovir ditambah lamivudin atau emtricitabine.[7]
Regimen ARV lini ketiga untuk anak dan dewasa adalah darunavir/ritonavir
ditambah dengan dolutregravir. Regimen ini dapat ditambahakan pula 1 atau 2 obat
dari golongan Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti zidovudin.
[7]
Evaluasi respon terapi ARV dilakukan dalam 6 bulan pertama. Hal-hal yang
dievaluasi antara lain kemungkinan terjadinya immune reconstitution inflammatory
syndrome (IRIS), adanya toksisitas obat, memastikan keberhasilan terapi ARV,
mendeteksi masalah terkait kepatuhan, dan menentukan apakah terapi ARV harus
11
diganti ke lini selanjutnya. Evaluasi respon terapi dilakukan dengan pemeriksaan viral
load dan CD4.[3,7]
Pemantauan CD4
Kegagalan Terapi
Pada kegagalan terapi ARV, terjadi resistensi silang dalam golongan ARV yang
sama. Resistensi ini terjadi ketika HIV bermutasi dan terus berproliferasi meskipun
dalam terapi ARV.[7,15]
Pasien harus minum obat ARV teratur selama minimal 6 bulan sebelum
dinyatakan gagal terapi. Jika kepatuhan minum obat tidak baik atau berhenti minum
obat, penilaian kegagalan terapi dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur
minimal 3-6 bulan.
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria klinis,
imunologi, dan virologi. Kriteria klinis gagal terapi yaitu munculnya infeksi
oportunistik baru/berulang. Kriteria imunologi gagal terapi yaitu CD4≤250 sel/µl
disertai kriteria klinis gagal terapi, atau CD4 persisten <100 sel/µl. Kriteria virologi
gagal terapi yaitu 2 kali pemeriksaan viral load (berjarak 3-6 bulan) di atas 1000
kopi/ml.[2,7]
12
Pengobatan Profilaksis Infeksi Oportunistik
Anak terinfeksi HIV usia >5 tahun dengan jumlah CD4 <200 sel/μL atau
persentase CD4 <15%
Anak usia 1-5 tahun dengan jumlah CD4 <500 sel/μL atau persentase CD4
<15%
Bayi usia <12 bulan tanpa melihat jumlah maupun persentase CD4
Dosis cotrimoxazole yang digunakan adalah 960 mg sekali sehari. Dosis untuk
anak usia <6 bulan adalah 100 mg sulfamethoxazole (SMX) dan 20 mg trimethoprim
(TMP) sekali sehari. Dosis untuk anak usia 6 bulan hingga <5 tahun adalah 200 mg
SMX dan 40 mg TMP sekali sehari. Dosis untuk anak usia >5 tahun adalah 400 mg
SMX dan 80 mg TMP sekali sehari.[7,10]
Profilaksis Tuberkulosis
13
Anak terinfeksi HIV yang memiliki gejala gagal tumbuh, demam, batuk lama,
atau riwayat kontak TB, harus dievaluasi ke arah TB atau kemungkinan penyebab
lainnya. Apabila tidak terbukti TB, profilaksis INH selama 6 bulan dapat diberikan
berapapun usia anak.
Dosis INH per oral untuk dewasa adalah 300 mg sekali sehari selama 6 bulan.
Vitamin B6 juga dapat diberikan untuk mengurangi neuropati perifer dengan dosis 25
mg per hari. Sementara itu, dosis INH untuk anak adalah 10 mg/kg/hari, maksimal
300 mg, selama 6 bulan.[7,10]
Semua ibu hamil dengan infeksi HIV harus mendapatkan ARV dengan regimen
yang sama dengan regimen ARV dewasa. Penatalaksanaan persalinan pada ibu
dengan infeksi HIV menekankan kepada pentingnya pencegahan infeksi melalui
kewaspadaan standar, serta menghindari pemecahan selaput ketuban dan tindakan
invasif seperti episiotomi untuk menurunkan kemungkinan transmisi vertikal HIV.
Semua bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV harus mendapatkan ARV
profilaksis sejak usia 6-12 jam setelah lahir (atau setidak-tidaknya kurang dari usia 72
jam) untuk mencegah transmisi vertikal HIV yang terjadi terutama pada saat
persalinan dan menyusui. Profilaksis zidovudin dan nevirapine diberikan selama 6
minggu untuk bayi yang mendapatkan ASI, dengan syarat ibu harus dalam terapi
ARV. Sementara itu, untuk bayi yang mendapat pengganti ASI (PASI), diberikan
profilaksis zidovudin selama 6 minggu.
14
Profilaksis infeksi oportunistik, yaitu cotrimoxazole, juga perlu diberikan sejak
usia 6 minggu sampai diagnosis infeksi HIV dapat disingkirkan atau sampai usia 12
bulan.
15