Anda di halaman 1dari 5

Nama : Sabilani Adilah Al Mardiyah

NIM : 1212030139

Kelas : 2D / PBA

TUGAS PKN

NIKAH BEDA AGAMA DI INDONESIA

Perkawinan dianggap sah di Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Undang-undang. Ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materil dan syarat formil.
Syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai diri pribadi calon yang akan melangsungkan
perkawinan. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut acaraacara atau formalitas-
formalitas pada sebelum dilangsungkannya suatu perkawinan dan pada saat dilangsungkannya
perkawinan.
Jika dikaitkan dengan kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia, UU Perkawinan tidak
mengatur secara eksplisit mengenai perkawinan beada agama. Pasal 2 UU Perkawinan
menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing masing
agama dan kepercayaan itu”

Dikaitkan dengan kasus yang ada dalam permasalahan diatas, maka dalam kasus ini undang-
undang menyatakan bahwa suatu perkawinan hanya dapat dikatakan sah jika perkawinan
tersebut dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Artinya tidak boleh bertentangan
dengan hukum agama yang dianut calon mempelai. Masyarakat di Indonesia masih sangat tabu
dalam hal memaknai makna daripada undang-undang. Padahal antara syarat perkawinan yang
satu dengan yang lainnya saling berkaitan, jika ada unsur yang tidak terpenuhi maka perkawinan
tersebut tidak dapat dikatakan sah. Hukum agama merupakan landasan filosofis dan landasan
hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan.

Menurut UU Perkawinan dapat dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama. Landasan hukum agama dalam melaksanakan perkawinan merupakan hal sangat
pennting , sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal
ini berarti juga bahwa jika hukum agama menyatakan tidak boleh, maka tidak boleh pula
menurut hukum negara.

Alasan substansial hakim dalam Penetapan Nomor 1139/Pdt.P/2018/ PN.Jkt.Sel. Hakim dalam
penetapannya untuk mengabulkan permohonan Para Pemohon melangsungkan perkawinan dan
untuk mencatatkan perkawinannya pada intinya didasarkan pada pertimbangan hakim yang
menyatakan adanya kekosongan hukum terhadap perkawinan yang terjadi antara pihak yang
menganut agama yang berbeda karena Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama
dan atau kepercayaan antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan, dan
hakim mempertegas pertimbangannya ini dengan merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI
Nomor : 1400 K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 yang berbunyi : “Bahwa perbedaan agama
dari calon suami istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka”.

Kemudian Hakim mencari landasan pemikiran lain untuk mengisi kekosongan hukum dengan
merujuk pada: Ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 10 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ditegaskan kalau suatu perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hukum Agama dan Kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi
perkawinan antara dua orang yang memeluk agama yang sama, sehingga terhadap perkawinan di
antara dua orang yang berlainan status agamanya tidaklah dapat diterapkan berdasarkan
ketentuan tersebut (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/ Pdt/ 1986 tanggal 20 Januari
1989);
b. Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang administrasi Kependudukan,
dimana dalam penjelasan pasal 35 huruf a ditegaskan kalau “yang dimaksud dengan perkawinan
yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah Perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda
agama”. Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan ketentuan yang memberikan kemungkinan
dicatatkannya perkawinan yang terjadi diantara dua orang yang berlainan Agama setelah adanya
penetapan pengadilan tentang hal tersebut;

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 6 ayat (1) mengenai
persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan pasal 7 mengenai usia perkawinan, maka Para
Pemohon telah memenuhi syarat materiil untuk melangsungkan perkawinan;

d. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan
apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan atau kepercayaan antara calon suami
dan calon istri merupakan larangan perkawinan;
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang administrasi kependudukan, maka terkait
dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutusnya;

f. Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

g. pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun
sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap
Warga Negara untuk memeluk Agamanya.
Perkawinan beda agama untuk saat ini dapat dilakukan di Indonesia tetapi tidak ada aturan
pastinya. Dasar-dasar hukum untuk melakukan perkawinan beda agama di Indonesia belum ada
yang mengatur sehingga untuk melakukan perkawinan beda agama di Indonesia harus melalui
Penetapan Pengadilan, dimana hanya Hakim yang bisa menentukan menerima atau menolak izin
kawin beda agama tersebut, tetapi ada beberapa dasar yang bisa menjadi dasar pertimbangan
Hakim untuk menerima izin kawin beda agama yaitu didalam Undang-Undang nomor 1 Tahun
1974 maupun dalam peraturan pelaksanaannya nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal
pun yang mengatur tentang bagaimana melangsungkan perkawinan antara orang yang berlainan
agama atau kepercayaan, Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang administrasi Kependudukan, dimana dalam penjelasan pasal 35 huruf a ditegaskan kalau
“yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah Perkawinan yang
dilakukan antar umat yang berbeda agama”, Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau
setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh
Negara kemerdekaan bagi setiap Warga Negara untuk memeluk Agamanya masing-masing dan
Yurisprudensi Putusan Mahmakah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 yang menyebutkan bahwa
perbedaan agama dari calon suami istri bukan merupakan salah satu alternatif larangan
perkawinan.

Dan dilihat dari sisi agama Islam, Allah SWT telah berfirman dalam QS. Al Baqoroh : 221

‫ْبد م ْؤ‬ َ‫ِم َل‬


ۗ ‫ ْوا‬Mُ‫ ْن ِك ا ْل ُم ِر ُي ْؤ ِمن‬Mُ‫ِر َك ة ول ۚ و َل ت‬ ‫خ ْي ر م‬ ‫ِر‬ ‫ ْن ا ْل ُم‬Mَ‫و َل ت‬
‫ِمن وَل َع‬ ‫ ْؤ َمة‬Mُ‫ٰ ن ۗ ي‬
‫ّى‬Mٰ‫حت‬ ‫كُ ْم حوا ِك ْي‬Mْ‫جَبت‬ ‫ع مش‬Mَ‫ْو ا‬ ‫ْن م ْؤ ِ َمنة‬ ‫ٰك ت‬ ‫ِك حوا‬
‫َن ش‬ ‫ّى و‬Mٰ‫حت‬ ‫ش‬
‫َ عل ُه َتذَ ك ُر ْو‬ ‫ َب ِ ي ِت‬Mُ‫وي‬ ‫َم ْ غ‬ ‫اِلَى ا ْل آْْو ج‬ ‫ ِر ۖ و‬M‫ُ ع الن ا‬ ‫وَل ْو ٰل ِٕىك َبكُ ْم‬ ‫مش‬ ‫خ ْي ر‬
ࣖ ‫َن‬ ‫ْم لل‬ ‫ِاْذ ِن ۚه ه ٰي‬ ‫ِ ف َ ر ِة‬ ‫ن‬ ‫ْد‬ ‫َلى‬ ‫ۗ ُاو ج ْو َن‬ ‫ع‬Mَ‫ا‬ ‫ِرك‬ ‫م ْن‬
‫ن اس‬ ‫ٰا ن‬ ‫وا ْل‬ ‫ِة‬ ‫ّ ُلال‬ ْ‫د‬

"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik
daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran."

Kemudian dalam QS. Al Mumtahanah : 10


‫ر ل ِا ْن‬Mِۗ ‫ ْوهُ ن ِاَلى ا ْلُكف ا‬M‫ت ْر ِج ُع‬Mَ ‫م ْؤ ِم ٰن ت َل‬ ۗ ‫ٰا‬
‫ه‬ ِ ‫ن‬ ِ ‫ا‬‫م‬ َ ‫ي‬ْ ‫ا‬ِ ‫ب‬
M
ِ ‫م‬ ُ ‫ن‬ ‫ح‬ ِ M
‫ت‬
َ ‫م‬ ْ ‫ا‬َ
‫ف‬ ‫ت‬‫ر‬ ٰ ‫ج‬ ِ ‫ن‬ ٰ ‫م‬ ِ ‫ؤ‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ل‬ْ‫ا‬
‫ ُم ْو ن‬Mُ‫ع لِ ْمت‬
‫ن‬ ‫ْو ت م ٰه ن‬ ‫ُم‬ ُ‫َءك‬
ّّٰ‫ل‬ ‫ج‬
َ‫ اَعل‬Mُ‫ا‬
‫َ ن ٰا َمنُ‪ْْٓ M‬وا ِا َذ‪M‬ا ْٓياَ‪ُّ M‬ي َها ال ِذ ْي‬
‫ۗ‬
‫َفقُ ْو ۗا و َل عَل ْيُك ْم اَ‪ْ M‬ن َ‪M‬ت ْن ِكح ْو ن اُ‪ُ M‬ج ْو َرهُ ۗ ن و َل تُ‪ْ M‬مسكُ ْوا ِعص ِم ا ْل َك َوا‬ ‫ن و ٰاتُ‪ْ M‬و ْم‬ ‫ن ح ل ُه ْم و‬
‫ِف ِر ن ِا َذآْ ٰاتَ‪ْ M‬يتُ‪ُ M‬م ْوُه‬ ‫َجناح‬ ‫مآْ اَ‪ْ M‬ن‬ ‫ِحلُّ ْو َن ُه‪M‬‬ ‫َل ُه ْم‬
‫ۗ َي حكُ ُم ح ْي ن َُك ۗ ْم ّو ُل‪M‬ال ع ِل ْي م ح ِك ْي م‬ ‫َا ْن َفقُ‪ْ M‬و ۗا ذ ِل كُ ْم‬ ‫ْوا مآْ اَ‪ْ M‬نَف ْقُ‪M‬ت ْم و ْل َي‬
‫ْك ُم ّ ِلال‬ ‫َٔسـلُ‪ْ M‬وا مآْ‬ ‫و‬

‫ٔسـلُ‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah
kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka
tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan
berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa
bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah
kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan
mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah
beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana".

Maka Keputusan MUI sebagai berikut :

Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.
05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2
perkawinan Beda agama Umat Beragama, bahwa:
a) Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumnya.
b) Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita bukan muslimah. Tentang
perkawinan antara laki-laki muslimah dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat.
Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, maka MUI
memfatwakan perkawinan tersebut haram hukumnya. Dengan adanya farwa ini maka Majelis
Ulama Indonesia mengharapkan agar seorang pria Islam tidak boleh kawin dengan wanita non
Islam kareka haram hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Shakti, Hubertus.PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA.2021.Jurnal: Indonesian


Notary Vol. 3 No. 2

Asiah, Nur. KAJIAN HUKUM TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT


UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM.2015.Jurnal : Hukum,
Samudra
Keadilan Vol. 10 No. 2

Anda mungkin juga menyukai