Dunia ini dipenuhi dengan orang-orang gugup, tegang, gelisah, dan penuh
kekhawatiran. Tekanan-tekanan dari masyarakat kontemporer seringkali disalahkan atas
keadaan buruk yang terjadi. Penyair W.H. Auden merujuk eranya sebagai “the age of
anxiety” (“masa-masa kecemasan”), dan hanya sedikit hal yang telah berubah sejak
zamannya. Sejarawan medik telah mengidentifikasi periode komparabel dari kecemasan
pervasive dengan menengok kembali pada masa Marcus Aurelius dan Konstantin, di
mana masyarakat mengalami perubahan yang cepat dan mendalam, dan individu-individu
banyak yang diserang perasaan tidak aman, insignifikasi personal, dan ketakutan akan
masa depan yang luar biasa (Rosen).
Jika kekhawatiran atau depresi menghalangi hubungan yang jelas hingga titik
balik ekonomi yag serius atau kehilangan seseorang yang terkasih, gejala yang muncul
seringkali diterima sebagai hal yang lumrah, tetapi tidak begitu penting untuk mendapat
dukungan emosional. Hanya jika intensitas hal tersebut sangat berlebihan atau saat
diiringi gangguan jiwa yang jelas kecemasan dan depresi menjadi penting untuk
diperhatikan secara medis. Sebenarnya, garis yang memisahkan reaksi emosional normal
dan patologis tidaklah begitu jelas. Bab 52 membahas hal tersebut lebih mendalam lagi.
Di sini kami fokus pada kegugupan, iritabilitas, stress, kecemasan, dan depresi
sebagai gejala, bersamaan dengan pandangan saat ini aka nasal muasal dari gejala-gejala
tersebut dan signifikansi biologisnya.
Reaksi Kecemasan dan Serangan Panik
Hal yang lebih sulit lagi yntuk dibedakan yaitu keluhan gugup. Dengan istilah
yang samar ini, orang awam biasanya akan merujuk pada kondisi tak bias beristirahat,
ketegangan dalam, ketidaknyamanan, aprehensi, iritabilitas, atau hipereksitabilitas.
Sayangnya, istilah tersebut mungkin memiliki konotasi lain yang luas, seperti halusinasi
yang menekan atau pemikiran paranoid, ledakan histerik yang nyata, atau bahkan tik atau
gemetar hebat. Tak pelak lagi, anamnesis yang terperinci seperti apa yang dimaksud
pasien dalam keluhan gugupnya merupakan hal yang selalu menjadi prioritas utama
dalam langkah pertama analisis.
Serangan Panik
Serangan cenderung terjadi selama periode yang relative tenang dan pada situasi
yang tidak mengancam. Biasanya, kegelisahan dan gejala fisik meningkat dalam periode
waktu beberapa menit hingga satu jam dan kemudian berkurang dalam 20 hingga 30
menit, meninggalkan rasa lelah, lemas, dan kacau pada pasien. Gejala dramatis dari
serangan panik biasanya sudah mulai berkurang begitu pasien mencapai klinik kerja
dokter atau instalasi gawat darurat, tetapi tekanan darah akan tetap meningkat, dan bias
saja terdapat takikardia. Akan tetapi, pasien biasanya tampak tenang. Seringkali, serangan
panik diskret dan kondisi kecemasan persisten tumpang tindih dengan yang lainnya.
Ketakutan akan serangan lebih lanjut membuat banyak psien, terutama wanita, menadi
agorafobik dan lebih suka berdiam diri di rumah, takut akan tempat-tempat umum,
terutama jika sendirian.
Serangan panik rekuren dan ansietas kronik memiliki aspek familial, dengan satu-
perlima dari turunan pertama relatif terkena dan tingginya derajat konkordansi pada
kembar monozigotik. Gejala-gejala panik cenderung periodic, dimulai pada usia dua
puluh tahunan, onset yang lebih lambat biasanya lebih sering berpasanan dengan depresi,
terapinya didiskusikan dalam Bab 52. Seringkali, panik pada orang yang lebih muda
merupakan komponen dari ganguan ansietas menyeluruh, tapi hal tersebut dapat berdiri
sendiri sebagai satu-satunya gejala mental atau menjadi pemuka ciri skizofrenia.
Ansietas episodik atau berkelanjutan tanpa gangguan mood (misal tanpa depresi)
diklasifikasikan sebagai gangguan ansietas menyeluruh, atau, sebelumnya disebut sebagai
neurosis ansietas. Istilah asthenia neurosirkulatorik (di antara banyak lainnya) telah
diterapkan pada bentuk kroniknya jika diiringi dengan kelelahan yang menonjol dan
intoleransi terhadap latihan, yang mana dalam kasus tersebut menyatu dengan kondisi
kelelahan yang telah disebutkan sebelumnya. Gejala-gejala ansietas dapat, bagaimanapun,
menjadi bagian dari beberapa gangguan psikiatrik lainnya; dapat berkombinasi dengan
gejala somatik lainnya pada histeria dan merupakan fitur yang paling menonjol dari
gangguan fobik. Gejala-gejala ansietas persisten dengan insomnia, kelesuan, kelelahan
seharusnya bisa meningkatkan kecurigaan akan sakit depresif, khususnya jika gejala-
gejala tersebut dimulai pada tengah-tengah usia dewasa atau setelahnya. Selain itu,
ansietas tak terjelaskan atau serangan panik terkadang menandai onset penyakit
skizofrenia. Sedangkan dengan kelelahan, gejala-gejala baik ansietas maupun depresi
sama-sama menonjol pada postconcussion syndrome, dan posttraumatic stress syndrome
(PTSD, lihat bab 35). Gangguan-gangguan ini menandai kesulitan dalan memisahkan
gangguan ansietas menyeluruh sebagai sebuah entitas psikiatrik yang unik. Di saat gejala
viseral mendominasi atau penanganan psikis akan ketakutan dan aprehensi tidak ada,
kehadiran tirotoksikosis, penyakit Cushing, pheochromocytoma, hipoglikemia, dan
gejala-gejala menopausal seharusnya dipertimbangkan.
Kondisi ini telah disinggung sebelumnya di beberapa konteks, tetapi pada dekade
terakhir ini, PTSD telah memiliki konotasi spesifik dan berdiri sebagai gangguan yang
terpisah. Peristiwa yang sangat membuat stres, atau traumatik yang menyebabkan
ketakutan dan ketidakberdayaan, memicu sebuah kondisi fisiologis persisten di mana
pasien mengalami kembali peristiwa tersebut, menghindari pengingatnya, dan dalam
kondisi hyperarousal yang konstan. Kriteria diagnostik saat ini mensyaratkan kondisi
tersebut harus bertahan paling tidak selama satu bulan lebih, mulai dari saat kondisi
tersebut dikatakan “gangguan stres akut”. Bahkan pendukung PTSD sebagai kondisi
medis yang berdiri sendiri mengetahui bahwa ada tumpang tindih yang cukup berarti
dengan anxious depression, dengan perbedaan utama yaitu adanya peristiwa traumatik
yang memicu. Mereka membuat suatu poin bahwa peristiwa aslinya mungkin awalnya
diartikulasikan oleh pasien tetapi gejala-gejala seperti palpitasi, dispnea, disphoria, dan
nyeri yang tidak terjelaskan serta gejala-gejala fisik mungkin saja menonjol, seperti pada
depresi.
Perbedaan biologis yang telah dibuat antara anxious depression dan PTSD
termasuk lebih rendah dibandingkan kadar kortisol normal, peningkatan yang dilemahkan
dari kadar ini pada kejadian setelah peristiwa pemicu terjadi, dan sebuah supresi yang
berlebihan dalam merespons dexamethason. Meskipun demikian, peningkatan kadar
norepinefrin tersirkulasi dan peningkatan sensitivitas reseptor alpha2-adrenergik yang
ditemukan pada sindrom postraumatik dimiliki oleh semua kondisi ansietas (Southwick et
al). Banyak penelitian-penelitian ini tidak dikontrol dengan baik.
Jelas tampak bahwa ada rentang yang luas dari kerentanan manusia pada
kesulitan diperpanjang setelah peristiwa traumatis.
Sangat jelas bahwa terdapat rentang yang luas dari kerentanan manusia terhadap
kesulitan yng diperpanjang setelah peristiwa traumatis. Pada semua kemungkinan, hal ini
paralel dengan beberapa yang mengungkapkan adanya kerentanan endogen terhadap
PTSD. Contohnya adalah peningkatan gejala-gejala oleh suatu peristiwa yang bahkan
tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, seperti bencana nasional yang dirasakan
oleh suatu populasi besar tetapi menghasilkan gejala hanya pada individu-individu
tertentu, dan variasi yang besar dari respons untuk menyaksikan kematian dan
kehancuran selama waktu perang.
Penulis setuju dengan konsensus yang menyatakan bahwa PTSD mewakili suatu
kondisi ansietas terinduksi tipe khusus dengan aspek fisiologis yang cukup stereotip,
seringkali dengan diiringi depresi dan gejala-gejala somatik. Memisahkannya dengan
menandai peristiwa yang memicunya merupakan tujuan nosologis yang berguna dan
menarik perhatian terhadap kebutuhan tatalaksana pada individu yang pulang dari perang
atau setelah mengalami serangan pemerkosaan atau serangan kejam lainnya.
Inhibitor selektif serotonin reuptake telah disarankan untuk tatalaksana awal tetapi obat-
obat antidepresan kelas lainnya juga efektif. Pembatasan ansiolitik seperti benzodiazepin
direkomendasikan, tetapi hanya sedikit data yang mendukung keputusan tersebut.
Seorang psikiater yang simpatik berguna dalam meyakinkan individu yang terkena dan
memberikan perspektif untuk mengatasi trauma. Ulasan oleh Yehuda sangat informatif
pada subyek ini dan banyak komentar di atas diambil dari rangkumannya. Gagasan yang
muncul adalah bahwa pemberian sedatif atau narkotik segera setelah peristiwa pemicu
muncul dapat mengurangi insidensi keparahan PTSD, sebagai contoh pada kondisi
pascaperang.
Stres dan Sindrom Stres
Hans Selye, dipengaruhi oleh konsep stres Pavlov, menghasillkan lesi pada organ
viscera dengan mengekspos binatang terhadap stressor yang mengancam jiwa
dikombinasikan dengan kortikosteroid. Nekrosis pita-kontraksi kardial dan lesi
hemoragik dangkal saluran gastrointestinal (ulkus Cushing) merupakan dua contoh dari
kerusakan organ yang termediasi-katekolamin yang dipresipitasikan oleh situasi penuh
tekanan akut.
Terdapat bukti epidemiologis yang ekuivokal bahwa stres kronik pada beberapa idividu,
terdapat pada kepribadian tipe A, meningkatkan risiko penyakit jantung, tetapi
mekanismenya, jikalaupun ada, cenderung melalui perantara fisiologis seperti hipertensi
sistemik atau mungkin inflamasi yang berujung pada atherosklerosis. Agaknya, terdapat
peningkatan luaran dari “hormon stres” (kortisol dan adrenalin).
Fenomena iritabilitas, atau mood iritabel, harusnya telah familiar untuk hampir
setiap orang, terpapar terhadap semua suara, ketidaknyamanan yang menggangu, dan
gangguan-gangguan kecil dalam hidup. Hal tersebut, tak lain merupakan gejala yang sulit
untuk diinterpretasikan dalam konteks psikopatologi. Freud menggunakan istilah
Reisbarkeitin untuk menunjukkan suatu kepekaan yang tidak semestinya terhadap
kebisingan – dan menganggapnya sebagai manifestasi ansietas, tapi yang jelas, gejala ini
sudah banyak memiliki konotasi yang luas dan signifikan. Untuk satu hal, beberapa orang
secara alamiah mudah ersinggung sepanjang hidup. Juga, iritabilitas adalah reaksi yang
hampr diharapkan pada individu yang terlalu banyak bekerja, individu yang tegang,
mudah menjadi tersinggung oleh keadaan yang memaksa. Suasana atau prasaan yang
mudah tersinggung mungkin terjadi hadir tanpa manifestasi yang diamati (mudah
tersinggung), atau mungkin ada kehilangan kendali emosi, dengan ledakan verbal dan
perilaku yang mudah tersingung, terprovokasioleh kejadian sepele tapi membuat frustrasi.
Iritabilitas dalam situasi yang akan terjadi tidak dapat dianggap sebagai
pergeseran dari normal. Meskipun demikian, di saat hal tersebut menjadi sutau peristiwa
yang berulang pada seseorang yang normalnya memiliki temperamen tenang, ini
mengasumsikan signifikansi, untuk itu kemudian mungkin menandakan keadaan
kecemasan atau depresi yang sedang berlangsung. Sifat lekas marah juga merupakan
gejala umum gangguan obsesif-kompulsif. Disini lekas marah cenderung diarahkan ke
dalam, menunjukkan mungkin rasa frustrasi dengan ketidakmampuan pribadi (Snaith and
Taylor), pasien depresi sering mudah tersinggung; sebagai akibatnya, gejala ini
seharusnya selalu dicari pada pasien yang dicurigai mengalami depresi. Hari-hari
sebelum menstruasu dan gangguan mood postnatal yang umum terjadi pada ibu dicirikan
dengan tingginya kadar iritabilitas yang mengarah ke luar. Temperamen singkat dan
mudah tersinggung juga fitur umum kondisi manik. Tingkat paling ekstrem dari
iritabilitas, dicontohkan dengan perilaku berulang dan bertingkah aneh (agresi iritabel),
jarang teramati pada gangguan ansietas dan depresi endogenik tetapi biasanya merupakan
pertanda sosiopati dan penyakit otak konvensional (di masa lalu, paresis umum). Agresi
yang mudah tersinggung itu juga diamati pada beberapa penderita Alzheimer dan
beberapa tipe demensia yang lain, khususnya tipe frontotemporal, dan mengikuti kontusio
traumatik atau ensefalitis dari lobus temporal dan frontal.
Hal-hal tersebut telah banyak menjadi subyek spekulasi biologis dan psikologis,
dan penjelasan yang sepenuhnya memuaskan masih belum tersedia. Seperti yang telah
disebutkan di atas, beberapa individu melalui hidupnya dalam kondisi ansietas derajat
rendah-kronik, dorongan yang mungkin dapat atau tidak tampak jelas. Episode spontan
ansietas menuntut pnjelasan lain. Beberpaa psikolog menganggap kegelisahan sebagai
perilaku antisipatif, yaitu misalnya pada keadaan ketidaknyamanan mengenai sesuatu
yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. William McDougall membicarakannya
sebagai “keadaan emosional yang timbul saat melanjutkan keinginan kuat tampaknya
akan kehilangan tujuannya”. Emosi utama, agak terbungkam mungkin, mungkin
merupakan salh satu ketakutan dan kebangkitannya di bawah suatu kondisi yang tidak
terlalu mngancam secara terang-terangan mungkin dijelaskan sebagai respons yang
terkondisi terhadap beberapa komponen rekondisi dari stimulus yang sebelumnya
mengancam. Teori emosi James-Lange, yang sudah lama tetapi seharusnya tidak
diabaikan, menunjukkan bahwa ciri dominan dari mengalami ansietas adalah hanya
bersifat pengalaman fisik dari pelepasan otonomik terkait.
Infusi asam laktat dapat membuat gejala ansietas semakin memburuk dan, pada
individu yang rentan, dapat memicu serangan panik. Pasien tampaknya tidak dapat
mentoleransi pekerjaan atau latihan yang dibutuhkan untuk membangun stamina.
Ekskresi urin dari norepinefrin ditemukan meningkat pada beberapa pasien dengan
gengguan panik; ada beberapa lainnya terdapat kenaikan ekskresi urin dari norepinefrin
dan metabolitnya. Selama periode ansietas yang intens, ekskresi aldosteron meningkat 2
hingga 3 kali normal.
Selain peran amigdala, penelitian hewan telah mengaitkan ansietas akut terhadap
gangguan fungsi lokus ceruleus dan area septal serta hipokampal, nukleus yang utamanya
mengandung norepinefrin. Lokus ceruleus terlibat dalam tidur rapid eye movement
(REM) dan obat-obatan seperti antidepresan trisiklik dan inhibitro monoamine oksidasi,
yang menekan tidur REM, juga menurunkan ansietas. Reseptor serotonin tertentu di otak,
berbeda dengan orang depresi, telah dikaitkan dengan ansietas. Bagian lain dari otak juga
mestinya terlibat; leukotomi orbtal bifrontal mengurangi ansietas, mungkindengan
mengganggu koneksi forebrain medial dengan bagian limbik otak. Studi tomografi emisi
positron (PET) pada subyek yang mengantisipasi kejut listrik menunjukkan peningkatan
aktivitas lobus temporalis da insula, megimplikasi bahwa regio-regio tersebut terlibat
dalam pengalaman ansietas akut. Penelitian kredibel lainnya telah mendemonstrasikan
peran girus cingulata anterior dalam memicu banyak ciri otonomik (khususnya
peningkatan denyut jantung) pada bangkitan berlebih dan ansietas.
Beberapa gangguan lainnya dalan fungsi neurotransmitter telah diimplikasikan
dalam kondisi ansietas. Temuan bahwa proporsi yang kecil dari sifat kepribadian yang
diwarisi dari kecemasan dapat dipertanggungjawabkan oleh satu polimorfisme gen
transporter serotonin bersifat provokatif (Lesch et al) namun membutuhkan konfirmasi.
Reaksi Depresif
Ada beberapa orang yang tidak pada beberapa waktu mengalami periode
keputussasaan yang berat. Kegugupan, mudh tersinggung, dan ansietas, depresi mood
seperti demikian sesuai dengan situasi tertentu dalam kehidupan (mis. Reaksi duka cita)
jarang menjadi perhatian dasar medis. Orang di situasi ini cenderung mencari pertolongan
hanya jika kesedihan atau kemuramannya terus berlanjut dan tak terkendali. Namun, ada
banyak contoh di mana gejala depresi menyatakan diri untuk alasan yang tidak semu.
Seringkali gejala ditafsirkan sebagai obat sakit, membawa pasien pertama ke internis atau
ahli saraf. Terkadang penyakit lain ditemuka (seperti kanker, hepatitis kronis, atau infeksi
lainnya atau postinfectious asthenia) di mana kelelahan kronis tersamarkan dengan
depresi; lebih sering sebaliknya berkaitan, yaitu depresi endogen yang merupakan
masalah esensial walaupun sudah ada bukti sebelumnya bahwa terdapat inffeksi virus
atau bakteri.
Dari pasien atau keluarga pasien diketahui bahwa pasien merasa tidak sehat,
rendah semangat, biru, down, tidak bahagia, atau tidak sehat. Terdapat perubahan dalam
reaksi emosionalnya di mana pasien mungkin tidak sepenuhnya sadar. Kegiatan yang
dulunya menyenangkan kini tidak lagi demikian. Seringkali, bagaimanapun, perubahan
suasana hati kurang mencolok dibanding penurunan psikis dan energi fisik, dan dalam
jenis ini pasien yang diagnosisnya paling sulit . keluhan kelelahan hampir tidak berubah;
tidak jarang, hal itu memburuk saat pagi hari setelah semalaman tidur gelisah. Pasien
mengeluh kehilangan energi, kelemahan, kelelahan, tidak memiliki energi, atau bahwa
pekerjaannya menjadi lebih sulit.
Aliran bicara melambat. Mendesah sering ditemukan. Mungkin ada jeda yang
panjang antara pertanyaan dan jawaban. Yang terakhir singkat dan mungkin hanya
bersuku dua. Ada kekurangan gagasan. Hambatan meluas ke semua topik pembicaraan
dan memengaruhi pergerakan anggota badan juga bentuk aktivitas motor yang paling
menurun, jarang terlihat di klinik, berbatasan dengan muteness dan pingsan (depresi
anergik). Percakapannya penuh dengan pikiran, ketakutan, ungkapan pesimistis,
ketidaktersediaan, ketidakmampuan, inerioritas, keputusasaan, dan terkadang bersalah.
Dalam depresi berat, ide aneh dan delusi tubuh dapat diekspresikan (“pengeringan darah”,
“usus diblokir dengan semen”, “saya setengah mati”).
Beberapa teori muncul mengenai penyebab kondisi depresi patologis, tapi tak
satupun dapat dikonfirmasi dengan kepercayaan kecuali pada aspek inheritan.