Anda di halaman 1dari 29

KELELAHAN, ASTHENIA, ANSIETAS, DAN DEPRESI (FATIGUE,

ASTHENIA, ANXIETY, AND DEPRESSION)

Pada bab ini, kami mempertimbangkan fenomena yang berhubungan


secara klinis dari kelesuan, kelelahan atau fatigue, gugup, mudah tersinggung atau
iritabilitas, kecemasan, dan depresi. Berbagai keluhan ini merupakan suatu
kumpulan dari gangguan “symptom-based” atau adanya gangguan berdasarkan
gejala yang muncul yang merupakan salah satu bagian besar dalam praktik
kedokeran. Meskipun lebih sulit dipahami dibandingan kelumpuhan, kehilangan
fungsi sensorik, kejang, maupun afasia, gejala-gejala tersebut tidak kalah
pentingnya, karena dari frekuensi gejala tersebut sering muncul. Dalam sebuah
audit dari salah satu praktik neurologis, reaksi kecemasan dan depresi adalah
diagnosis utama dari 20% pasien, dan kedua hanyalah muncul gejala sakit kepala
(Digon et al). Demikian pula, di dua klinik pelayanan primer di Boston dan
Houston, kelelahan merupakan keluhan utama, sekitar 21 hingga 24%.
Kebanyakan dari gejala klinis ini muncul dan mewakili hanya sedikit adanya
penyimpangan fungsi atau peningkatan atau bentuk berlebihan dari reaksi normal
dari adanya tekanan di lingkungan sekitar atau adanya penyakit saraf atau
kelainan medis lainnya; sedangkan yang lainnya meupakan suatu fitur yang
terintegrasi dari penyakit itu sendiri; dan yang lainnya merepresentasikan
gangguan dari fungsi neuropsikiatri yang merupakan komponen dari berbagai
penyakit yang dideskripsikan di Bab yang membahas tentang psikiatri.

KELELAHAN (FATIGUE) DAN ASTHENIA


Berbagai gejala yang didiskusikan dalam bab ini, gejala kelesuan dan
kelelahan/fatigue merupakan gejala yang sering muncul dan yang paling samar.
Kelemahan atau fatigue mengacu pada keadaan yang dikenal secara universal dari
rasa lelah yang turut menimbulkan rasa lelah pada fisik maupun mental. Lassitude
atau kelesuan memiliki makna yang sama, meskipun hal tersebut berkonotasi
lebih kepada ketidakmampuan atau munculnya keseganan bagi fisik maupun
mental untuk bekerja secara aktif. Lebih dari setengah pasien keseluruhan yang
masuk rumah sakit datang dengan keluhan merasa lelah atau mengaku lelah ketika
ditanyakan.
Selama Perang Dunia I, gejala kelelahan atau merupakan gejala utama
yang dirasakan oleh para tentara, sehingga sampai harus diberikan istilah
tersendiri dalam dunia medis, dinamakan combat fatigue, yakni suatu istilah yang
digunakan dalam praktik klinis terhadap seluruh gangguan psikiatri akut yang
terjadi akibat keterlibatan dalam perang, Dalam perang berikutnya, bentuk
diagnosa ini telah menjadi elemen kunci dari gangguan stress post traumatik yang
terkait dengan paparan situasi yang sangat menegangkan. Gejala klinis yang
mendahului yang paling banyak muncul bersamaan dengan gejala kelelahan,
signifikansinya, tingkat fisiologis dan dasar psikologinya akan lebih dimengerti
apabila kita mampu melihat efek dari kelelahan ini pada individu yang normal.

Efek Kelelahan pada Dewasa


Kelelahan atau fatigue memiliki tiga dasar pengertian, yakni (1) perubahan
biokimiawi dan fisiologi pada otak dan menurunnya kapasitas untuk
menghasilkan kekuatan yang nyata yang bermanifestasi sebagai bentuk
kelemahan atau asthenia; (2) yakni suatu gangguan dalam perilaku, yang
diwujudkan dalam bentuk penurunan hasil keluaran dari pekerjaan (penurunan
era) atau kurangnya daya tahan; dan (3) perasaan subyektif akan kelelahan dan
ketidaknyamanan.
Penurunan produktivitas dan kapasitas kerja, yang merupakan konsekuensi
langsung dari fatigue, telah diselidiki oleh ahli psikolog industri. Dari hasil studi,
mereka dengan jelas menemukan bahwa betapa pentingnya faktor motivasi
terhadap tingkat keluaran kerja (work output), tidak memandang apakah usahanya
termasuk mental ataupun fisik. Hal yang cukup mencolok adalah adanya
perbedaan konstusional setiap individu perihal energy, yang sangat bervariasi,
sama seperti halnya perbedaan perangai. Yang harus ditekankan adalah, pada
banyak orang yang mengeluh adanya kelelahan, pada pasien tidak ditemukan
adanya kelemahan otot yang sesungguhnya. Hal ini mungkin sulit untuk
dibuktikan, terutama untuk individu yang segan untuk mengeluarkan tenaga lebih
atau untuk berusaha keras dalam tes kekuatan puncak kontraksi otot atau dalam
menilai ketahanan pada aktivitas otot.

Makna Klinis dari Fatigue


Pasien mengalami kelesuan dan fatigue memliki lebih banyak atau sedikit
cara mengekspresikan karakter dari gejala yang mereka alami. Terkadang mereka
mengatakan “seperti terbakar”, “lelah setiap saat”, “merasa sangat lelah”, atau
“mengalir begitu saja”, atau “ mereka mengatakan “tidak bersemangat”, “tidak
memiliki ambisi”, bahkan “tidak tertarik.”
Mereka menunjukkan kondisi mereka dengan memperlihatkan bahwa
mereka mengabaikan tugas yang ada di hadapan mereka, dengan menekankan
bagaimana kerasnya mereka bekerja, betapa mereka merasa di bawah tekanan
pada keadaan seperti itu atau yang mereka hadapi; mereka cenderung hanya
duduk, atau berbaring saja, atau menyibukkan diri sendiri dengan tugas sepele
yang tidak penting, Analisis yang lebih dalam menunjukkan, saat mengamati dan
mendengar bahwa banyak pasien mengaami kesulitan dalam memulai kegiatan
dan untuk mempertahankkannya, atau daya tahan tubuh mereka berkurang,”.
Kondisi ini, yang berupa waktu tidur atau usaha mental maupun fisik yang
berkepanjangan pada keadaan yang cukup menekan seperti itu, masih bisa
diterima sebagai reaksi fisiologis normal. Bagaimanapun, gejala serupa muncul
tanpa hubungan adanya pendahuluan seperri ini, harus disuspek mengalami
manifestasi klinis dari penyakit ni.
Tugas dari dokter adalah mengambil langkah awal untuk memutuskan
apakah pasien ini menderita munculnya gejala mental dan fisik akibat terlalu keras
bekerja atau tidak. Terlalu banyak bekerja, tegang merupakan gejala pada orang-
orang yang dapat diamati di mana-mana di masyarakat kita. Sebagai tambahan
untuk kelelahan, orang seperti itu sering menunjukkan iritabilitas, sglisah,
tidak bisa tidur, dan gelisah, kadang kala timbul serangan panik dan berbagai
gejala somatik, terutama ketidaknyamanan abdomen, toraks, dan kranial.
Dulu, masyarakat menerima keadaan pada individu yang dianggap
memang bertanggung jawab, dan resep obat yang jelas diberikan, yakni liburan.
Bahkan Charcot meluangkan waktu untuk "penyembuhan" reguler sepanjang
tahun, Di mana ia pensiun lalu pergi ke tempat spa tanpa keluarga, rekan kerja,
atau adanya pekerjaan yang ia bawa dari tempat bekerjanya. Saat ini, merupakan
suatu kebutuhan untuk mengetahui jenis stress yang dihadapi, yang akan berbeda
di beberapa individu yang dinilai lebih rentan daripada yang lain, telah melahirkan
ketertarikan di bidang lain, dan atletik misalnya, tampaknya menjadi subjek yang
kurang cocok pada permasalahan ini. Kesalahan umum dalam diagnosis, adalah
dengan menganggap kelelahan atau fatigue akibat kerja yang terlalu berlebihan
saat sebenarnya keadaan yang dihadapi ini adalah manifestasi dari kecemasan atau
depresi, seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Fatigue sebagai Gejala dari Penyakit Psikiatri


Kebanyakan pasien yang berupaya mencari pertolongan medis untuk rasa
lelah yang dirasakan krpnis dan tidak dapat dijelaskan asalnya serta adanya
kelesuan yang dialami juga ditemukan pada suatu tipe penyakit psikiatri. Dahulu,
keadaan ini disebut “neurasthenia”, yakni suatu istilah yang diperkenalkan oleh
Beard. namun karena gejala lesu dan kelelahan jarang muncul sebagai suatu
fenomena yang terisolasi, maka praktik yang berlangsung justru melabelkan kasus
seperti ini berdasarkan dengan adanya manifestasi klinik secara keseluruhan, tidak
hanya melalui gejala tunggal seperti itu. Biasanya, rasa lesu maupun lelah tersebut
juga disertai dengan adanya gejala kecemasan, iritabilitas, sulit berkonsentrasi,
penurunan hasrat untuk berhubungan seksual, serta hilang (atau kadang
peningkatan) nafsu makan. Dalam satu kejadian, 85 persen dari keseluruhan
masuk ke rumah sakit dan pergi berkonsultasi kepada psikiatri dengan keluhan
utama fatigue atau kelelahan kronis yang telah didiagnosis pada akhirnya justru
seperti mengalami depresi cemas atau berada dalam keadaan cemas. Dalam studi
lebih lanjut, Wessely dan Powell menemukan bahwa terdapat persamaan sekitar
72% pada pasien yang datang ke pusat neurologi dengan kelehana kronik yang
tidak dapat dijelaskan terbukti memiliki gangguan psikiatri, lebih sringnya adalah
penyakit depresi.
Beberapa tampilan yang dapat ditemukan pada pasien merupakan suatu
keadaan yang sering ditemui dalam kelompok psikiatri dengan kelelahan atau
fatigue. Tes kekuatan puncak kontraksi otot dengan perintah, pada pasien yang
mengusahakan maksimal, menunjukkan tidak adanya tanda kelemahan otot.
Sensasi rasa lelah tersebut kemungkinan memberat di pagi hari Terdapat
kecenderungan untuk sering berbaring dan beristirahat, namun tidak diikuti
dengan keinginan untuk tidur. Rasa lelah tersebut cenderung memberat akibat
adanya kelelahan fisik ringan yag berhubungan dengan aktivitas lain
dibandingkan dengan yang lainnya, Beberapa bentuk pertanyaan diperkirakan
akan mampu mengungkap gejla tersebut pertama kali dirasakan memiliki
hubungan temporal terhadap reaksi berduka, adanya prosedur operasi, trauma fisik
seperti kecelakaan mobil, atau adanya penyakit sepertinya infark myokard.
Sensasi rasa lelah tersebut akan menginterferensi baik aktivitas mental maupun
fisik; pasien akan lebih mudah khawatir, “menjadi lebih banyak mengeluh”, dan
sulit berkonsentrasi untuk memecahkan masalah atau bahkan sulit untuk membaca
sebuah buku. Selain itu, umumnya tidur juga menjadi tidak nyenyak, mudah
terganggu, yang cenderung berjalan di pagi hari, bagi beberapa orang yang
gejalanya memburuk di pagi hari, baik jiwa maupun energinya. Kecenderungan
mereka adalah dengan menjalani hari dan memperbaikinya, mereka mungkin
merasa cukup normal di malam hari. Hal ini menjadi sulit diputuskan apakah rasa
lelah tersebut merupakan manifestasi klinik utama dari penyakit atau gejala
sekunder terhadap kurangnya ketertarikan di bidang yang ia jalani.
Di antara gejala rasa lelah yang kronik, individu tanpa adanya penyakit,
tidak semua menyimpang cdari normal untuk menegakkan diagnosis kegelisahan
atau depresi. Banyak orang, karena keadaan seperti itu yang tidak dapat mereka
kedalikan, memiliki sangat sedikit motivasi dan waktu luang bagi dirinya. Mereka
bosan atau jenuh dengan rutinitas yang mereka hadapi. Beberapa keadaan akan
mengarahkan ke sensasi kelelahan, namun kebalikannya, suatu emosi yang kuat
atau suatu usaha yang baru mampu menimbulkan pemikiran opitimis dan
mencetuskan antusiasme, yang akan mengalahkan sensasi lelah tersebut. Beberapa
orang dilahirkan dengan dorongan dan energy yang rendah, dan semakin menjadi
demikian apabila berada pada situasi yang penuh tekanan; mereka tidak memiliki
kemampuan untuk berolahraga dalam jangka waktu lama, tidak bisa berkompetisi
secara baik dan sukses, untuk bekerja keras tanpa kelelahan, untuk menahan
penyakit yang dialaminya dan ipaya untuk pulih kembali dalam waktu cepat, atau
mengambil peran dominan dala kelmpok sosial, atau “constitutional asthenia”
(pengertian dari Kahn). Kebanyakan dari sifat-sifat tersebut merupakan bukti dari
perkembangan semasa kecil. Kesulitan-kesulitan tersebut tidak dikelompokkan
dalam suatu terminasi karena lebih terkesan menghakimi, tetapi penyakit seperti
ini telah dikenal sejak jaman dahulu dan hanya berbeda dalam nama dan konteks
sosial di setiap era.

Kelelahan (Fatigue) di Penyakit Neurologi


Seperti hal yang tidak diduga, fatigue dan intoleransi pada latihan fisik
(yaitu fatigue dengan tekanan yang ringan) merupakan manifestasi klinik yang
menonjol dari penyakit myopati. Bahkan pada pasien dengan myasthenia gravis,
pengelompokkan myopati berdasarkan kelemahan, ketidakstablilan dalam
mempertahankan suatu usaha, dan kelelahan yang berebihan merupakan suatu
fitur yang diingat, termasuk adanya distrofi muscular, myopati kongenital, dan
gangguan lain dari transmisi neuromuscular (Sindrom Lambert-Eaton), myopati
toksik (contoh : obat penurun kolesterol), beberapa myopati terkait cadangan
glikogen, serta myopati mitokondrial. Salah satu tipe penyakit yang berhubungan
dengan cadangan glikoge in, defisiensi fosforilase McArdle, merupakan suatu
pengecualian pada kelemahan yang disertai dengan nyeri dan terkdang adanya
kram dan kontraktur. Kontraksi pertama yang muncul setelah beristirahat
mendekati kekuatan normal, namun setelah 20-30 kontraksi, mulai muncul neri
yang mendalam, kepadatan meningkat, dan pemendekan dari otot yang menalami
konraksi. Proses lainnya, defisiensi asam maltase, pada beberapa waktu
berhubungan dengan ketidakproporsionalan kelemahan otot pernapasan, sehingga
hal ini mendorong terkadinya dispneu dan retensi dari karbondioksida. Karakter
dari penyakit ini ditunjukkan pada bab yang menjelaskan tentang penyakit oyoy.
Ulasan atau komenta mengenai kelelahan otot dapat dilihat pada bab 48.
Rasa lelah dengan berbagai variasi tingkatan juga merupakan bentuk
manifestasi klinik umum yang ditandai dengan adanya dnervasi daru oto dan
hilangnya serat otot. Rasa lelah yang timbul pada kasus ini merupakan hasil dari
kerja yang berlebihan dengan membebankan pada jaringan otot yang intak
(overwork fatigue), Karakteristik ini paling sering terdapat pada Sklerosis
Amyotropik Lateral, dan sindrom post polio, yang jga kadang muncul pada pasien
yang baru pulih dari Sindrom Guillan-Barre dan pada meeka yang mengalami
polneuropati kronik.
Secara tidak diduga, banyak penyakit saraf atau bidang neurologi yang
ditandai dengan adanya aktivitas otot yang tak henti-hentinya atau dengan susah
payah melibatkan otot (Parkinson, Cerebral Palsy, Huntington Disease,
hemiballismu) juga diinduksi dengan sensasi kelelahan. Otot secara pasial
mengalami kelumpuhan oleh karena merasa sangat lelah dan mungkin menjadikan
tubuh berada dalam keadaan kelelahan seluruh tubuh. Salah seorang neuroanatomi
terkemuka, A. Brodal, memberikan suatu penjelasan menarik tentang gerakannya
(atau penemuannya) sendiri dan pengaruhnya pada kekuatan otot. Fatigue
merupakan keluhan utama pada pasien dengan sclerosis multiple; dengan
penyebab yang tidak diketahui, meskipun efek sitokin yang bersirkulasi di cairan
serebrospinal telah didalilkan. Depresi yang mengikuti stroke atau infark myocard
biasanya muncul dengan keluhan fatigue dibandingkan tanda lainnya dari
gangguan mood. Banyak sekali kelelahan yang merupakan keluhan utama
diantara pasien dengan postconcussive syndrome (lihat Bab 35). Kelelahan yang
parah yang dapat menyebabkan pasien secara konsiste pergi tidur segera sehabis
makan dan membuat seluruh aktivitas mental seolah butuh usaha keras sebaiknya
dicurigai hal ini terkait depresi. Seluruh gejala fatigue dan mekanisme yang
mungkin terjadi, hampir semuanya merupakan spekulasi, telah didiskusikan oleh
Chaudhuri dan Behan.
Banyak bagian dari gangguan fungsi otonom dapa keadaan hipotensi statik
maupun ortostatik disertai dengan beberapa gejala, berhubungan dengan fase
kelelahan atau fatigue. Apakah terdapat fatigue otonom sentral
(hipotalamik),mengesampingkan adanya perubahan endokrin seperti yang
didiskusikan di bawah ini, masih beum jelas, akan te tapi entitas semacam itu
tampaknya masuk akal dan telah dimasukkan dalam model penyakit yang saat ini
disebut sindrom kelelahan kronis.

Kelelahan (Fatigue) dalam Penyakit Medis


Berbagai obat-obatan dan agen terapeutik lainnya, terutama yang pertama
kali diminumkan, terkadang mampu menginduksi timbulnya sensasi kelelahan.
Obat-obat yang diperkirakan dapat mencetuskan sensasi lelah ini antara lain
adalah obat-obatan anti hipertensi, terutama golongan beta-adrenergik blocking
agents, anti epilepsi, anti spastisitas, anxiolytics, terapi kemoterapi dan radiasi,
dan, secara paradox, banyak obat antidepresan dan obat antipsikotik. yang juga
menyebabkan kelelahan. Pengenalan terhadap obat-obatan ini secara bertahap
ditingkatkan mungkin akan menyelesaikan masalah, namun pengobatan alternatif
harus dipilih. Pemberian beta-interferon untuk terapi sklerosis multiple (dan alfa-
interferon untuk penyakit lainnya) akan menginduksi sensasi kelelahan dalam
berbagai tingkat. Para ahli bedah dan perawat dapat menyaksikan bahwa sensasi
kelelahan dapat muncul bersamaan dengan adanya paparan anestesi pada ruang
operasi dengan ventilasi yang tidak inadekuat. Demikian pula, sensasi kelelahan
dan nyeri kepala kemungkinan didapatkan dai adanya paparan karbon monoksida
atau gas alami lainnya di rumah dengan tungku yang rusak atau adanya kebocoran
pipa gas, namun hal ini juga merupakan suatu delusi yang sering muncul pada
pasien dengan kecemasan, depresi, dan pasien demensia.
Sleep Apnea Syndrome merupakan penyebab kelelahan dan kantuk di
siang hari yang penting untuk diketahui namun sering terlewatkan. Pada pria yang
overweight yang tidur mendengkur kencang dan butuh tidur siang sering,
melakukan uji untuk sleep apnea karena adanya indikasi (materi ini diambil dari
Bab 19). Mengkoreksi apneu obstruktif dengan mengatasi penyebab yang
mendasarinya akan memberikan perubahan penurunan sensasi lelah yang cukup
dramatis. Penanganan yang sama terhadap pasien yang memiliki gangguan
neuromuskular akan mempengaruhi diafragma dan otot-otot pernapasan.
Infeksi akut maupun kronis merupakan suatu penyebab penting dari
timbulnya sensasi kelelahan. Setiap orang pasti pada suatu waktu atau lainnya
pasti merasakan sensasi tiba-tiba mulai kelelahan, merasa adanya kelelahan pada
otot, atau adanya keseganan atau ketidaksukaan yang tidak dapat dijelaskan, dan
hanya mengetahui bahwa dirinya “akan terserag gejala flu.” Infeksi kronis seperti
hepatitis, tuberculosis, bruselosis, infeksi mononucleosis, HIV, dan endocarditis
bakterial mungkin tidak menjadi penyebab langsung namun harus tetap di suspek
ketika sensasi kelelahan adalah suatu gejala baru dan gejala ini tidak sepadan
dengan adanya gejala lain seperti perubahan mood, kegugupan, dan kecemasan.
Apakah bentuk kronis penyakit Lyme bertanggung jawab atas kelelahan kronis,
seperti yang sering diperhitungkan, ternyata hasilnya tidak pasti. Seringkali
kelelahan muncul dengan adanya suatu infeksi yang jelas (seperti influenza,
hepatitis, atau infeksi mononukleosis) tapi bertahan selama beberapa minggu
setelah manifestasi yang jelas dan infeksi telah mereda; akan sulit untuk
memutuskan apakah sensasi kelelahan merepresentasikan gejala sisa infeksi atau
disebabkan oleh gejala psikologis-asthenic selama fase konvalesen. Permasalahan
yang sulit ini akan didiskusikan berikutnya. Pasien dengan lupus sistemik,
Sindrom Sjogren, atau reumatik polymyalgia mungkin akan mengeluhkan
kelelahan yang amat parah; kesimpulannya, kelelahan dapat menjadi suatu gejala
awal atau dapat ditemukan mendalam.
Penyakit metabolik dan endokrin dari berbagai tipe dapat menyebabkan
variasi derajat kelesuan dan kelelahan yang amat banyak. Kadang juga dapat
disertai adanya kelemahan otot. Pada penyakit Addison, Sheehan, dan Simmonds,
fatigue dapat didominasi oleh gambaran klinis pasien. Defisiensi Aldosteron
merupakan suatu penyebab kelelahan yang kronis. Pada pasien dengan
hipotiroidisme dengan atau tanpa frank miksedema, kelesuan dan kelelahan
merupakan keluhan yang paling sering dilaporkan, juga bersamaan dengan nyeri
otot maupun nyeri sendi, Kelelahan juga dapat ditemukan pada pasien dengan
hipertiroid, tetapi hal ini jarang menjadi masalah dibandingkan perasaan gugup.
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol juga disertai dengan rasa lelah yang
berlebihan, hal ini terdapat juga ada hiperparatiroid, hipogonadisme, dan penyakit
Cushing. Kelelahan sebagai manifestasi klinik dari defisiensi vitamin B12. seperti
yang tercantum di buku, tidak terbukti di kasus-kasus dengan defisiensi ringan
ang kami temukan.
Penurunan cardiac output and berkurangnya cadangan paru merupakan
penyebab utama dari kesulitan bernapas dan kelelahan, yang dibawa dan muncul
oleh adanya kelelahan yang ringan. Anemia, ketika menjadi berat, juga
merupakan suatu penyebab, kemungkinan disebabkan oleh adanya aliran oksigen
yang tidak adekuat ke jaringan. Anemia ringan umumnya asimptomatik, dan
kelelahan umumnya tidak terlalu terlihat. Keberadaan tumor maligna, misalnya
karsinoma pancreas, karsinoma hepar, dan karsinoma gaster, juga dapat
menyebabkan munculnya kelelahan yang frekuensinya cukup sering. Pada pasien
dengan karsinoma metastasis terutama limfoma, leukemia, atau myeloma
multiple, kelelahan merupakan gejala yang umumnya muncul dan paling
menonjol. Uremia disertai kelelahan; anemia yang terasosiasi mungkin memiliki
peran. Berbagai tipe dari adanya defisiensi nutrisional, bisa berat, menyebabkan
kelesuan; dan pada fase awal, hal ini dapat menjadi keluhan utama. Penurunan
berat badan dan adanya riwayat alkoholisme dan asupan makan yang tidak
adekuat akan menjadi penanda penyebab alami dari penyakit.
Kehamilan dapat menyebabkan kelelahan, yang dapat ditemukan lebih
lanjut pada bulan berikutnya. Untuk beberapa penyebab yang mendasari, terutama
membawa beban berat dan anemia, telah jelas; namun jika membawa beban berat
dan hipertensi memiliki hubungan, maka kita harus mensuspek adanya
preeklampsia.

Sindrom Post Viral dan Kelelahan Kronik


Masalah yang sangat sulit muncul pada pasien yang mengeluh kelelahan
parah selama berbulan-bulan atau bahkan tahunan setelah serangan
mononukleosis infeksius dan penyakit virus lainnya. Hal ini disebut sebagai
sindrom postviral fatigue. Mayoriras pasien adalah wanita berusia 20-40 tahunan,
tapi tidak diragukan bahwa laki-laki muda juga mengalami penyakit yang sama.
Beberapa pada pasien juga ditemukan adanya titer yang tinggi terhadap antibodi
virus Epstein-Barr (EBV), yang menunjukkan adanya hubungan timbal balik, dan
lebih merujuk kepada suatu istilah seperti mononukleosis infeksius atau sindrom
EBV kronik (Straus et al). Bagaimanapun, studi lanjut menunjukkan kejelasan
bahwa sebagian pasien dengan keluhan mengalami kelelahan yang kronis tidak
memiliki sejarah mononukleosis infektif yang jelas atau bukti serologis dari
infeksi ini atau infeksi lainnya (Straus, Holmes, et al).
Pada beberapa pasien ini, keadaan kelelahan diduga terkait dengan
kelainan imunologi yang tidak jelas yang serupa dengan yang dikaitkan (secara
palsu) terhadap implan payudara silikon atau trauma ringan. Metode atau proses
yang ditujukan untuk kepentingan modis untuk keadaan kelelahan yang terus-
menerus ini adalah sindrom kelelahan kronis.
Beberapa perspektif diberikan oleh adanya pengakuan bahwa penyakit
alamiah ini, di bawah banyak perbedaan nama, telah lama berada pada masyarakat
postindustrial barat, seperti yang dijelaskan oleh Shorter dalam riwayat sindrom
kelelahan kronis. Hubungan dari kelelahan dengan infeksi viral atau Lyme dan
disfungsi imun yang tidak jelas hanya terdapat pada suatu penjelasan panjang
yang telah diduga. Pada beberapa waktu, meskipun pada waktu dekat ini, colitis
dan segala bentuk gangguan usus, iritasi spinal, hipoglikemia, bruselosis, dan
kandidiasis kronik, “sensitivitas dengan zat kimia multipel,”, infeksi retroviral,
atau alergi lingkungan, di antara yang lainnya, telah diusulkan tanpa dasar sebagai
penyebab. Sayangnya, asosiasi palsu ini hanya berfungsi untuk meminggirkan
penyakit dan pasien yang menderita penyakit ini.
Kriteria saat ini yang berperan untuk diagnosis sindrom kelelahan kronis
adalah dengan adanya atau persistens serta kelelahan yang membuat pasien tidak
mampu melakukan apapun selama kurang lebih 6 bulan, bersamaan dengan angka
yang berubah-ubah (6 atau 8) dari persistensi atau rekurensi dari gejala
neuropsikologi dan somatik termasuk demam suhu rendah, limfadenopati servikal
atau aksila, myalgia, arthralgia yang bermigrasi, nyeri tengorok, mudah lupa,
nyeri kepala, sulit berkonsentrasi dan berpikir, iritabiitas, dan gangguan tidur
(Holmes et al) Jumlah dari pasien sejauh pengalaman kami telah mengeluhkan
adanya parestesi di kaki atau tangan. Pada pendekatan melalui pertanyaan, banyak
yang merasakan sensasi ini terasa ganjil, biasanya muncul baal pada tulang, otot,
atau merasakan adanya tambalan yang naik turun, dengan adanya rasa baal atau
parestese pada bagian dada, wajah, atau hidung. Deskripsi yang tidak biasa
mungkin dapat diberikan pada pasien jika pasien tersebut serta dokter memiliki
waktu luang. Beberapa pasien datang dengan adanya keluhan “mendekati”
pandangan berbayang; pada kasus lain ditemukan adanya penemuan pemeriksaan
fisik yang diikuti dengan adanya gangguan sensorik.
Terdapat suatu asosiasi yang umum dengan kesamaan suatu kesatuan yang
tersembunyi dari fibromyalgia, terdiri atas leher, bahum dan nyeri parasinal serta
titik nyeri, seperti telah dideskripsikan pada bab 11 dan 48. Meskipun terdapat
beberapa keluhan, pada pasien ditemukan hal yang mengejutkan dan pemeriksaan
neurologis normal. Istilah ini kesatuan yang sama ini, ensefalomyelitis myalgia,
lebih banyak digunakan di Inggris dan di asosiasi lain di antara dua sindrom.
Keluhan akan otot lemah juga sering muncul di banyak pasien, tetapi
Lloyd dan rekan, yang mempelajari performa neuromuskular dan
membandingkannya dengan subjek kontrol, menemukan tidak adanya perbedan di
kekuatan isometric maksimal atau daya tahan di latihan pengulangan
submaksimal, dan tidak ditemukannya asidosis intramuscular, tingkat serum
kreatinin (CK), atau deplesi dari substrat energi. Kelompok individu ini berbagi
dengan pasien depresi sebuah respon subnormal pada stimulasi motor magnetic
kortikal setelah berolahraga (Sarnii et al), di mana bisa dikatakan untuk
menyamakan gejala dari penurunan daya tahan tubuh tetapi sebaliknya sulit untuk
diinterpretasikan. Beberapa orang dalam jumlah kecil, kronis namun hipotensi
ringan, Dengan pengujian tilt-table dan pembalikan oleh mineralocorticoids, telah
diperkirakan sebagai penyebab kelelahan kronis (Rowe Et al). Studi
elektromiografi dan konduksi saraf biasanya normal, juga pemeriksaan pada
cairan tulang belakang, tetapi electroencephalogram (EEG) mungkin sedikit dan
secara tidak spesifik melambat. Baterai tes psikologi telah mengungkapkan
berbagai gangguan fungsi kognitif, disalahartikan oleh adanya pengaruh dari
unsur “organic” sebagai sindrom yang membuktikan adanya ensefalopati.
Dalam kelompok besar pasien yang tengah dipelajari selama 6 bulan pasca
infeksi virus, Cope dan kolega menemukan bahwa tidak ada satupun tampilan dari
penyakit asli yang diprediksi sebagai perkembangan dari kelelahan kronis;
bagaimanapun, riwayat kelelahan sebelumnya atau masalah psikiatri, dan
diagnosis yang belum tegak yang berasosiasi dengan adanya disabilitas persisten.
Pada suatu studi pada lebih dari 1000 orang pasien yang telah diobservasi selama
kurang lebih 6 bulan diikuti dengan penyakit infeksi, sindrom kelelahan kronis
tidak lagi sering muncul di populasi umum yang lebih luas (Wessely et al). Satu
hal yang jelas diketahui oleh penulis melabelkan sindrom kelelahan kronis pada
individu yang rentan mencoba untuk bertahan di fase ini.
Berorientasi pada diskusi di atas mengimplikasikan bahwa di banyak
kasus dari kelelahan krinis memiliki dasar psikologis atau astenik, harus
dipastikan lagi dari kesehatan individu ini sebelumnya, Setelah bertahun-tahun
pasca demam infeksi virus yang parah;menggambarkan karakter dari
mononukleosis, walaupun demam lainnya juga terimplikasi sama baiknya. Kasusu
ini, sesuai dengan pengalaman kami, meningkat secara tiba-tiba, terutama di
dewasa muda dan laki-laki muda, dan jarang pada wanita, yang mengalami
sensasi kelelahan yang berlebihan selama demam akibat infeksi virus dan
terdokumentasi dengan baik. Mereka melanjutkan untuk menjalani aktivitas sesuai
minat yang dapat mereka ikuti, tidak menunjukkan kegugupan atau gejala depresi
yang mayor, dan memiliki prognosis paling baik, meskipun untuk pemulihan total
memakan waktu 3-5 tahun Seringkali pada pasien ini mampu untuk
mendefinisikan onset kapan mereka mulai merasakan penyakit. Istilah kelelahan
pasca infeksi virus merupakan istilah yang paling cocok di grup ini. Hal yang
mengagumkan dari beberapa kasus ialah adanya nyeri kepala yang berat dan
hipotensi ortostatik, dengan kisaran tekanan darah yang naik turun dalam
jangkauan yang luas menghasilkan adanya sinkop bersamaan dengan naik
turunnya hipertensi. Intoleransi alcohol mungkin juga dapat berkembang pada
pasien. Dapat dilihat bahwa semakin ambigu dan semakin tidak parah kasus dari
kelelahan kronis, terutama pada fibromyalgia, mungkin memiliki perbedaan dasar,
tapi hal ini tidak bisa dinyatakan dengan pasti.
Pada masa sekarang ini, status dari sindroma kelelahan kronis tidak dapat
ditentukan. Kemungkinan dari adanya gangguan metabolik yang tersembunyi atau
adanya kekacauan imunologis sekunder dari infeksi virus tidak bisa diabaikan,
seperti yang didiskusikan oleh Schwartz, tapi kebanyakan kasus mengalami
kekurangan riwayat. Secara pasti, kadar sitokin yang tinggi, seperti yang terjadi
pada keadaan setelah terserang beberapa penyakit, dan pada penderita kanker,
serta beberapa gangguan endokrin daoat menyebabkan kelelahan dan timbul
letargi. Dari sudut pandang neurologi, hipotalamus merupakan struktur yang
paling terlibat pada kekurangan daya tahan tubuh dan munculnya berbagai gejala
yang berasosiasi dengan keadaan tertentu seperti intoleransi ortostatik, takikardi
dan perubahan endokrin, yang akan dibahas lebih lanjut pada bab ini. Terapi akan
didiskusikan lebih jauh nantinya.

Diagnosis Banding dari Kelelahan


Jika pada seorang pasien yang tampak kritis datang untuk mencari
pertolongan medis karena kelelahan yang tidak dapat ditahan lagi, kelesuan, dan
kefatiguean yang dirasakan, hal ini merupakan bukti yang paling umum sering
diabaikan dalam diagnosis adalah kecemasan dan depresi seperti yang dijabarkan
di bab 52, Kesimpulan yang tepat biasanya dapat dicapai dengan tetap
memperhatikan penyakit ini sebagai sesuatu yang muncul dari riwayat pasien dan
keluarga. Kesulitan muncul ketika gejala dari penyakit psikiatri sangat tidak jelas
dan tidak mendapat perhatian khusus; satu gejala muncu dan untuk mensuspek
diagnosis hanya berdasarkan upaya untuk mengeliminasi penyebab penyakit
medis yang sering muncul. Observasi berulang mungkin dapat menunjukkan
keberadaan dari adanya kecemasan atau mood yang suram. Kepastian dari
kombinasi dengan terapi percobaan dengan obat anti depresan mungkin dapat
menekan gejala, di mana pasien hampir tidak sadar, sehingga mampu
mengklarifikasi diagnosis. Hal terbaik yang dapat dilakukan untuk mengasesmen
pasien adalah dengan menjaga agar jangan sampai pada situasi yang lebih buruk
yang membawa pasien pada keadaan surveillans.
Pada kasus yang cukup parah seperti adanya tuberkulosis, bruselosis,
penyakit Lyme, hepatitis, endocarditis bakterial, pneumonia mycoplasma, HIV,
EBV, cytomegalovirus (CMV), Coxsackie B, dan infeksi viral lainnya, serta
malaria, hookworm, giardiasis, dan infeksi parasitic lainnya perlu
dipertimbangakan dalam diagnosis banding, serta membuat suatu karakteristik
yang membedakan tiap penyakit tersebut melalui tanda dan gejala, dan yang
paling sesuai adalah penemuan laboratorium; bagaimanapun, tanda infeksi
tersebut jarang ditemukan. Ke depannya, sebaiknya perlu dilakukan penelitian
mengenani anemia, gagal ginjal, penyakin kronik inflamasi seperti arteritis
temporal, dan polymyalgia reumatika (tngkat sedimentasi); adanya pemantauan
kadar endokrin (thyroid,kalsium dan kadar kortisol) serta evaluasi terhadap
munculnya tumor yang perlu dilakukan karena ketidak jelasan kasus. Perlu diingat
bahwa intoksikasi kronik olh karena alcohol, barbiturate atau obat sedatif lainnya,
beberapa dapat diberikan untuk menekan kegugupan atau insomnia, yang
mungkin berkontribusi dalam munculnya fatigue. Keberadaan infeksi adanya
ganguaan keseimbangan cairan, perdarahan saluran cerna dan adanya
penyimpangan sirkulasi baik dari perifer maupun jantung. Tampilan fisik yang
menunjukkan sleep apnea dapat dilihat di bab 19.
Akhirnya, sudah jelas bahwa kelesuan dan kelelahan perlu dibedakan dari
gejala kelemahan otot. Peragaan yang menunjukkan adanya penurunan kekuatan,
perubahan refleksm fasikulasi, dan adanya atrofi akan mengeset analisis kasus
ulang pada jalur yang berbeda, memberi pertimbangan apakah penyakit ini
merupakan gangguan saraf tepi atau gangguan otot.Jarang bahwa penyakit dengan
diagnosis yang sulit ditegakkan yang dapat menyebabkan adanya kelemahan otot,
intoleransi olahraga sebaliknya merupakan gejala dari hiperparatiroid,
hiperparatiroidism, hemangioma tulang dengan hipokalemi, beberapa paralisis
periodic, hiperinsulinisme, gangguan metabolism karbohidrat dan metabolism
lipid, serta myopati mitokondria., yang akan didiskusikan di bab berikutnya
tentang gangguan pada otot.
Terapi Kelemahan
Merupakan suatu kesan bahwa kebanyakan pasien dengan keluhan merasa
kekurangan energi tanpa adanya demam atau infeksi sebelumnya dari luar tanpa
satu penyakit yang berasosiasi dengan kelemahan, memiliki elemen depresi,
Terapi terbaik yang dapat diberikan antara lain adalah dengan meningkatkan
tingkatan olahraga secara bertahap dan dengan medikasi antidepresan, meskipun
regimen ini tidak selalu berhasil. Terdapat beberapa laporan dari kesuksesan
dalam menata laksana pasien-pasien ini dengan mineralokortikoid, estradiol
patches, hypnosis, dan berbagai varian dari terapi medikamentosa atau terapi non
medikamentosa. Terapi kognitif dan tingkah laku telah diringkas dalam laporan
Effective Health Care oleh Bagnall dan kolega dari The National Health Service
Centre for Reviews and Dissemination serta dengan ulasan tambahan oleh
Chambers dan kolega di mana tidak satupun sampai pada kesimpulan tegas
tentang efek pengobatan,, namun diakui bahwa terapi kognitif dan tingkah laku
serta terapi olah raga secara bertahap bisa menambah nilai terapi. Beberapa pasien
dengan kelemahan kronis mengungkap bahwa gangguan psikologis berhubugan
dengan litigasi (“neurosis kompensasi”). Yang patut diperhatikan adalah frekuensi
kemunculan dari sindrom serupa menjadi dasar dari tindak penuntitan melawan
para atasan atau mengklaim melawan pemerintahan, terkait “building-related
illness” (dulunya “sick-building syndrome”). Seperti telah disinggung sebelunya,
bahwa adanya kelelahan pada penyakit Lyme dan berbagai infeksi yang tidak jelas
atau alergi, seharusnya menjadi sangat hati-hati dalam menatalaksana tanpa
adanya bukti yang kuat.

KEGUGUPAN, KECEMASAN, STRES, DAN IRITABILITAS

Dunia ini dipenuhi dengan orang-orang gugup, tegang, gelisah, dan penuh
kekhawatiran. Tekanan-tekanan dari masyarakat kontemporer seringkali disalahkan atas
keadaan buruk yang terjadi. Penyair W.H. Auden merujuk eranya sebagai “the age of
anxiety” (“masa-masa kecemasan”), dan hanya sedikit hal yang telah berubah sejak
zamannya. Sejarawan medik telah mengidentifikasi periode komparabel dari kecemasan
pervasive dengan menengok kembali pada masa Marcus Aurelius dan Konstantin, di
mana masyarakat mengalami perubahan yang cepat dan mendalam, dan individu-individu
banyak yang diserang perasaan tidak aman, insignifikasi personal, dan ketakutan akan
masa depan yang luar biasa (Rosen).

Seperti kelesuan dan kelelahan kegugupan, iritabilitas, dan kecemasan


merupakan gejala-gejala yang paling sering ditemukan di perkantoran dan praktik rumah
sakit. Sebuah survey yang dilakukan di Inggris mengatakan bahwa lebih dari 40 persen
populasi, pada satu waktu atau waktu yang lain, mengalami gejala kecemasan berat, dan
sekitar 5 persen menderita kondisi kecemasan seumur hidup (Lader). Jumlah yang sangat
besar dari pengobatan antiansietas dan alkohol yang dikonsumsi oleh masyarakat
cenderung menguatkan figur tersebut. Tentu saja, seseorang yang menghadapi tantangan
atau tugas yang mengancam yang mana ia merasa belum siap dan tidak pantas akan
mengalami suatu derajat kecemasan dan kegugupan. Kecemasan kemudian menjadi
abnormal, dan kewaspadaan serta perhatian yang mengikutinya mungkin saja sebenarnya
dapat meningkatkan performa hingga mencapai suatu poin tertentu. Barrat and White
menemukan bahwa mahasiswa kedokteran yang mengalami kecemasan ringan memiliki
performa lebih baik pada ujian dibanding mereka yang tidak mengalami kecemasan.
Seiring kecemasan meningkat, standar performa juga akan meningkat, tetapi hanya
hingga titik tertentu, yang mana peningkatan kecemasan kemudian akan menyebabkan
penurunan cepat dalam hal performa (Yerkes-Dodson law).

Jika kekhawatiran atau depresi menghalangi hubungan yang jelas hingga titik
balik ekonomi yag serius atau kehilangan seseorang yang terkasih, gejala yang muncul
seringkali diterima sebagai hal yang lumrah, tetapi tidak begitu penting untuk mendapat
dukungan emosional. Hanya jika intensitas hal tersebut sangat berlebihan atau saat
diiringi gangguan jiwa yang jelas kecemasan dan depresi menjadi penting untuk
diperhatikan secara medis. Sebenarnya, garis yang memisahkan reaksi emosional normal
dan patologis tidaklah begitu jelas. Bab 52 membahas hal tersebut lebih mendalam lagi.

Di sini kami fokus pada kegugupan, iritabilitas, stress, kecemasan, dan depresi
sebagai gejala, bersamaan dengan pandangan saat ini aka nasal muasal dari gejala-gejala
tersebut dan signifikansi biologisnya.
Reaksi Kecemasan dan Serangan Panik

Belum ada kesepakatan antar psikiater mengenai apakah gejala-gejala dari


kegugupan, iritabilitas, kecemasan, dan ketakutan meliputi sebuah reaksi emosi tunggal,
bervariasi hanya pada hal tingkat keparahannya atau durasinya, atau sekelompok reaksi
diskret, masing-masing dengan fitur klinis yang sangat berbeda-beda. Pada beberapa
tulisan, kecemasan diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk ketakutan subakut atau kronik
tetapi terdapat alasan untuk mempertanyakan asumsi ini. Pasien dengan kecemasan, saat
mengalami ketakutan di bawah kondisi eksperimental, menyatakan bahwa reaksi
ketakutan berbeda pada tingkat yang luar biasa. Seseorang yang amat sangat ketakutan
secara berlebihan akan “membeku”, tak mampu berperilaku atau berpikir jernih, dan
responnya biasanya otomatis dan terkadang irasional. Reaksi ketakutan dicirikan dengan
overaktivitas kedua system saraf parasimpatis dan simpatis, dengan efek sistem
parasimpatis (bradikardi, relaksasi sfingter) mungkin mendominasi, tidak seperti
kecemasan, yang mana efek simpatis biasanya lebih dominan. Dahulu kala, Cicero
membedakan antara serangan ketakutan akut dan transien yang diprovokasi oleh stimulus
spesifik (kemarahan) dan kondisi ketakutan yang berlarut (kecemasan). Perbedaan ini
juga dikembangkan oleh Freud, yang menyebut ketakutan sebagai pantas dan kecemasan
sebagai ketidakmampuan menyesuaikan diri yang neurotik.

Hal yang lebih sulit lagi yntuk dibedakan yaitu keluhan gugup. Dengan istilah
yang samar ini, orang awam biasanya akan merujuk pada kondisi tak bias beristirahat,
ketegangan dalam, ketidaknyamanan, aprehensi, iritabilitas, atau hipereksitabilitas.
Sayangnya, istilah tersebut mungkin memiliki konotasi lain yang luas, seperti halusinasi
yang menekan atau pemikiran paranoid, ledakan histerik yang nyata, atau bahkan tik atau
gemetar hebat. Tak pelak lagi, anamnesis yang terperinci seperti apa yang dimaksud
pasien dalam keluhan gugupnya merupakan hal yang selalu menjadi prioritas utama
dalam langkah pertama analisis.

Seringkali kegugupan merepresentasikan tak lebih dari sebuah kondisi psikis


transien dan perilaku di mana seseorang sepenuhnya tertantang atau terancam oleh
masalah personal yang sulit. Beberapa orang mengklaim bahwa dirinya gugup sepanjang
hidupnya atau merasa gugup secara periodic tanpa alasan yang jelas. Dalam situasi
seperti ini, gejala-gejala melebur dengan gangguan kecemasan atau depresi, seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
Kami menggunakan istilah ansietas; untuk mendenotasikan kondisi emosional
yang dicirikan dengan perasaan subyektif akan kegugupan, iritabilitas, antisipasi
ketidaknyamanan, dan kegelisahan, seringkali dengan tak sengaja selalu disertai konten
topical yang jelas dan diiringi gejala ketidakbernapasan, sesak di dada, sensasi tersedak,
palpitasi, peningkatan tekanan muscular, pusing, gemetar, berkeringat, dan flushing.
Iringan vasomotor dan visceral dimediasi melalui sistem saraf otonom, terutama bagian
simpatis, dan melibatkan juga kelenjar tiroid dan adrenal.

Serangan Panik

Gejala-gejala ansietas mungkin bermanifestasi pada tiap episode akut yang


masing-masing berlangsung dari beberapa menit hingga satu jam, atau sebagai kondisi
iringan yang dapat berlangsung hingga beberapa minggu, bulan, atau tahun. Pada
serangan panic, pasien tiba-tiba diselimuti perasaaan gelisah, atau ketakutan akan
kehilangan kesadaran dan mati, mengalami serangan jantung atau stroke, kehilangan
alasan kontrol diri, menjadi gila, atau melakukan suatu tindak kriminal yang mengerikan.
Pengalaman-pengalaman ini diiringi oleh serangkaian reaksi fisiologis, terutama
hiperaktivitas simpatoadrenal, menyerupai reaksi “fight or flight”. Ketidakbernapasan,
perasaan sufokasi, pusing, berkeringat, gemetar, palpitasi, dan distress precordial atau
gastrik biasanya tipikal tetapi bukan variasi iringan fisik. Sebagai kondisi persisten dan
tidak terlalu berat, pasien mengalami derajat kegugpan yang berfluktuasi, palpitasi atau
impuls kardiak yang berlebihan, nafas pendek, sensasi ringan kepala,
ketidaksadaran/pingsan, mudah lelah, dan intoleransi beban kerja fisik berat.

Serangan cenderung terjadi selama periode yang relative tenang dan pada situasi
yang tidak mengancam. Biasanya, kegelisahan dan gejala fisik meningkat dalam periode
waktu beberapa menit hingga satu jam dan kemudian berkurang dalam 20 hingga 30
menit, meninggalkan rasa lelah, lemas, dan kacau pada pasien. Gejala dramatis dari
serangan panik biasanya sudah mulai berkurang begitu pasien mencapai klinik kerja
dokter atau instalasi gawat darurat, tetapi tekanan darah akan tetap meningkat, dan bias
saja terdapat takikardia. Akan tetapi, pasien biasanya tampak tenang. Seringkali, serangan
panik diskret dan kondisi kecemasan persisten tumpang tindih dengan yang lainnya.
Ketakutan akan serangan lebih lanjut membuat banyak psien, terutama wanita, menadi
agorafobik dan lebih suka berdiam diri di rumah, takut akan tempat-tempat umum,
terutama jika sendirian.

Oleh karena panik adalah gangguan umum, menyerang 2 hingga 4 persen


populasi pada beberapa waktu dalam hidupnya seperti yang dikutip dari Roy-Byrne dan
rekan-rekannya, dan gejala-gejalanya menyerupai penyakit neurologis akut, seorang ahli
neurologis akan dipanggil untuk membedakan serangan panik dengan kejang lobus
temporal atau dari gangguan vertiginosa. Terkecuali pada ketidakmampuan yang
terkadang muncul pada pasien untuk berpikir atau berartikulasi dengan baik selama
serangan panik, manifestasi dari epilepsy berbeda dengan ini. Biasanya tidak pernah
ditemukan kehilangan kesadaran selama serangan panik terjadi. Rasa pusing
mendominasi pada serangan, dan terdapat kekhawatiran mengenai iskemi vertebrobasiler
atau disfungsi labyrinthine (lihat Bab 15). Vertigo dari berbagai sebab diikuti oleh banyak
gejala otonom yang muncul selama serangan panik, tetapi kehati-hatian dalam bertanya
pada hal yang terakhir disebutkan akan meningkatkan karakteristik kegelisahan,
ketidakbernapasan, dan palpitasi, dan absensi ataksia atau tanda-tanda neurologis lainnya.

Serangan panik rekuren dan ansietas kronik memiliki aspek familial, dengan satu-
perlima dari turunan pertama relatif terkena dan tingginya derajat konkordansi pada
kembar monozigotik. Gejala-gejala panik cenderung periodic, dimulai pada usia dua
puluh tahunan, onset yang lebih lambat biasanya lebih sering berpasanan dengan depresi,
terapinya didiskusikan dalam Bab 52. Seringkali, panik pada orang yang lebih muda
merupakan komponen dari ganguan ansietas menyeluruh, tapi hal tersebut dapat berdiri
sendiri sebagai satu-satunya gejala mental atau menjadi pemuka ciri skizofrenia.

Ansietas Persisten dan Ansietas Depresi

Ansietas episodik atau berkelanjutan tanpa gangguan mood (misal tanpa depresi)
diklasifikasikan sebagai gangguan ansietas menyeluruh, atau, sebelumnya disebut sebagai
neurosis ansietas. Istilah asthenia neurosirkulatorik (di antara banyak lainnya) telah
diterapkan pada bentuk kroniknya jika diiringi dengan kelelahan yang menonjol dan
intoleransi terhadap latihan, yang mana dalam kasus tersebut menyatu dengan kondisi
kelelahan yang telah disebutkan sebelumnya. Gejala-gejala ansietas dapat, bagaimanapun,
menjadi bagian dari beberapa gangguan psikiatrik lainnya; dapat berkombinasi dengan
gejala somatik lainnya pada histeria dan merupakan fitur yang paling menonjol dari
gangguan fobik. Gejala-gejala ansietas persisten dengan insomnia, kelesuan, kelelahan
seharusnya bisa meningkatkan kecurigaan akan sakit depresif, khususnya jika gejala-
gejala tersebut dimulai pada tengah-tengah usia dewasa atau setelahnya. Selain itu,
ansietas tak terjelaskan atau serangan panik terkadang menandai onset penyakit
skizofrenia. Sedangkan dengan kelelahan, gejala-gejala baik ansietas maupun depresi
sama-sama menonjol pada postconcussion syndrome, dan posttraumatic stress syndrome
(PTSD, lihat bab 35). Gangguan-gangguan ini menandai kesulitan dalan memisahkan
gangguan ansietas menyeluruh sebagai sebuah entitas psikiatrik yang unik. Di saat gejala
viseral mendominasi atau penanganan psikis akan ketakutan dan aprehensi tidak ada,
kehadiran tirotoksikosis, penyakit Cushing, pheochromocytoma, hipoglikemia, dan
gejala-gejala menopausal seharusnya dipertimbangkan.

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)

Kondisi ini telah disinggung sebelumnya di beberapa konteks, tetapi pada dekade
terakhir ini, PTSD telah memiliki konotasi spesifik dan berdiri sebagai gangguan yang
terpisah. Peristiwa yang sangat membuat stres, atau traumatik yang menyebabkan
ketakutan dan ketidakberdayaan, memicu sebuah kondisi fisiologis persisten di mana
pasien mengalami kembali peristiwa tersebut, menghindari pengingatnya, dan dalam
kondisi hyperarousal yang konstan. Kriteria diagnostik saat ini mensyaratkan kondisi
tersebut harus bertahan paling tidak selama satu bulan lebih, mulai dari saat kondisi
tersebut dikatakan “gangguan stres akut”. Bahkan pendukung PTSD sebagai kondisi
medis yang berdiri sendiri mengetahui bahwa ada tumpang tindih yang cukup berarti
dengan anxious depression, dengan perbedaan utama yaitu adanya peristiwa traumatik
yang memicu. Mereka membuat suatu poin bahwa peristiwa aslinya mungkin awalnya
diartikulasikan oleh pasien tetapi gejala-gejala seperti palpitasi, dispnea, disphoria, dan
nyeri yang tidak terjelaskan serta gejala-gejala fisik mungkin saja menonjol, seperti pada
depresi.

Perbedaan biologis yang telah dibuat antara anxious depression dan PTSD
termasuk lebih rendah dibandingkan kadar kortisol normal, peningkatan yang dilemahkan
dari kadar ini pada kejadian setelah peristiwa pemicu terjadi, dan sebuah supresi yang
berlebihan dalam merespons dexamethason. Meskipun demikian, peningkatan kadar
norepinefrin tersirkulasi dan peningkatan sensitivitas reseptor alpha2-adrenergik yang
ditemukan pada sindrom postraumatik dimiliki oleh semua kondisi ansietas (Southwick et
al). Banyak penelitian-penelitian ini tidak dikontrol dengan baik.

Jelas tampak bahwa ada rentang yang luas dari kerentanan manusia pada
kesulitan diperpanjang setelah peristiwa traumatis.

Sangat jelas bahwa terdapat rentang yang luas dari kerentanan manusia terhadap
kesulitan yng diperpanjang setelah peristiwa traumatis. Pada semua kemungkinan, hal ini
paralel dengan beberapa yang mengungkapkan adanya kerentanan endogen terhadap
PTSD. Contohnya adalah peningkatan gejala-gejala oleh suatu peristiwa yang bahkan
tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, seperti bencana nasional yang dirasakan
oleh suatu populasi besar tetapi menghasilkan gejala hanya pada individu-individu
tertentu, dan variasi yang besar dari respons untuk menyaksikan kematian dan
kehancuran selama waktu perang.

Penulis setuju dengan konsensus yang menyatakan bahwa PTSD mewakili suatu
kondisi ansietas terinduksi tipe khusus dengan aspek fisiologis yang cukup stereotip,
seringkali dengan diiringi depresi dan gejala-gejala somatik. Memisahkannya dengan
menandai peristiwa yang memicunya merupakan tujuan nosologis yang berguna dan
menarik perhatian terhadap kebutuhan tatalaksana pada individu yang pulang dari perang
atau setelah mengalami serangan pemerkosaan atau serangan kejam lainnya.

Inhibitor selektif serotonin reuptake telah disarankan untuk tatalaksana awal tetapi obat-
obat antidepresan kelas lainnya juga efektif. Pembatasan ansiolitik seperti benzodiazepin
direkomendasikan, tetapi hanya sedikit data yang mendukung keputusan tersebut.
Seorang psikiater yang simpatik berguna dalam meyakinkan individu yang terkena dan
memberikan perspektif untuk mengatasi trauma. Ulasan oleh Yehuda sangat informatif
pada subyek ini dan banyak komentar di atas diambil dari rangkumannya. Gagasan yang
muncul adalah bahwa pemberian sedatif atau narkotik segera setelah peristiwa pemicu
muncul dapat mengurangi insidensi keparahan PTSD, sebagai contoh pada kondisi
pascaperang.
Stres dan Sindrom Stres

Fenomena fisiologis stres sangat dekat kaitannya dengan kegugupan, kelelahan,


dan ansietas dan kesemuanya merupakan ciri yang dapat meresap pada kehidupan
modern. Dalam istilah umum, stres telah diartikan sebagai perasaan rendah diri mengenai
kemampuan diri dalam mengatasi beberapa situasi selama periose waktu tertentu. Istilah
sindrom stres merujuk pada kekacauan perilaku dan perubahan fisiologis yang
menyertainya yang tak tergambarkan terhadap tantangan lingkungan dengan intensitas
dan durasi tertentu yang dapat melebihi kapasitas adaptasi seorang individu. Efek biologis
dari fenomena ini dapat dikenali pada banyak spesies; ayam yang bertelur lebih sedikit
saat dipindahkan pada kandang baru, atau monyet yang mengamuk saat berulangkali
frustrasi oleh ancaman yang tak bisa mereka kontrol. Manusia dipaksakan untuk bekerja
di bawah kondisi yang menekan dan bahaya konstan serta kelompok kultural yang
disingkirkan dari rumahnya serta cara hidup tradisionalnya kehilangan kemampuannya
dalam beradaptasi dan menderita ansietas serta reaksi stres.

Hans Selye, dipengaruhi oleh konsep stres Pavlov, menghasillkan lesi pada organ
viscera dengan mengekspos binatang terhadap stressor yang mengancam jiwa
dikombinasikan dengan kortikosteroid. Nekrosis pita-kontraksi kardial dan lesi
hemoragik dangkal saluran gastrointestinal (ulkus Cushing) merupakan dua contoh dari
kerusakan organ yang termediasi-katekolamin yang dipresipitasikan oleh situasi penuh
tekanan akut.

Sindroma dramatis dari ballooning apeks ventrikular kiri, atau kardomiopati


takotsubo-like (dinamai atas bentuk pot jebakan gurita Jepang), merupakan manifestasi
dari kelebihan katekolamin yang disebabkan stres akut.

Terdapat bukti epidemiologis yang ekuivokal bahwa stres kronik pada beberapa idividu,
terdapat pada kepribadian tipe A, meningkatkan risiko penyakit jantung, tetapi
mekanismenya, jikalaupun ada, cenderung melalui perantara fisiologis seperti hipertensi
sistemik atau mungkin inflamasi yang berujung pada atherosklerosis. Agaknya, terdapat
peningkatan luaran dari “hormon stres” (kortisol dan adrenalin).

Suatu gangguan psikologis,menahan hubungan langsung terhadap stressor


lingkungan, merupakan masalah kesehatan kerja yang termasuk paling sering ditemukan.
Sindroma stre dibedakan dari gangguan ansietas, dalam hal gangguan psikologisnya
berasal dari dalam individu itu sendiri tanpa hubungan yang jelas dengan stimulus
lingkungan. Apakah seorang individu tertentu secara alamiah memang hiperresponsif
terhadap suatu stimulus masih belum diketahui. Satu-satunya pendekatan terapi adalah
untuk mengusahakan memperbaiki persepsi pasien terhadap stres contohnya, dengan
psikoterapi dan latihan meditasi serta untuk menyingkirkannya, jika memungkinkan, dari
stressor lingkungan yang dapat dikenali. (lihat “Editorial” pada daftar pustaka)

Mood Iritabel dan Perilaku Agresif

Fenomena iritabilitas, atau mood iritabel, harusnya telah familiar untuk hampir
setiap orang, terpapar terhadap semua suara, ketidaknyamanan yang menggangu, dan
gangguan-gangguan kecil dalam hidup. Hal tersebut, tak lain merupakan gejala yang sulit
untuk diinterpretasikan dalam konteks psikopatologi. Freud menggunakan istilah
Reisbarkeitin untuk menunjukkan suatu kepekaan yang tidak semestinya terhadap
kebisingan – dan menganggapnya sebagai manifestasi ansietas, tapi yang jelas, gejala ini
sudah banyak memiliki konotasi yang luas dan signifikan. Untuk satu hal, beberapa orang
secara alamiah mudah ersinggung sepanjang hidup. Juga, iritabilitas adalah reaksi yang
hampr diharapkan pada individu yang terlalu banyak bekerja, individu yang tegang,
mudah menjadi tersinggung oleh keadaan yang memaksa. Suasana atau prasaan yang
mudah tersinggung mungkin terjadi hadir tanpa manifestasi yang diamati (mudah
tersinggung), atau mungkin ada kehilangan kendali emosi, dengan ledakan verbal dan
perilaku yang mudah tersingung, terprovokasioleh kejadian sepele tapi membuat frustrasi.

Iritabilitas dalam situasi yang akan terjadi tidak dapat dianggap sebagai
pergeseran dari normal. Meskipun demikian, di saat hal tersebut menjadi sutau peristiwa
yang berulang pada seseorang yang normalnya memiliki temperamen tenang, ini
mengasumsikan signifikansi, untuk itu kemudian mungkin menandakan keadaan
kecemasan atau depresi yang sedang berlangsung. Sifat lekas marah juga merupakan
gejala umum gangguan obsesif-kompulsif. Disini lekas marah cenderung diarahkan ke
dalam, menunjukkan mungkin rasa frustrasi dengan ketidakmampuan pribadi (Snaith and
Taylor), pasien depresi sering mudah tersinggung; sebagai akibatnya, gejala ini
seharusnya selalu dicari pada pasien yang dicurigai mengalami depresi. Hari-hari
sebelum menstruasu dan gangguan mood postnatal yang umum terjadi pada ibu dicirikan
dengan tingginya kadar iritabilitas yang mengarah ke luar. Temperamen singkat dan
mudah tersinggung juga fitur umum kondisi manik. Tingkat paling ekstrem dari
iritabilitas, dicontohkan dengan perilaku berulang dan bertingkah aneh (agresi iritabel),
jarang teramati pada gangguan ansietas dan depresi endogenik tetapi biasanya merupakan
pertanda sosiopati dan penyakit otak konvensional (di masa lalu, paresis umum). Agresi
yang mudah tersinggung itu juga diamati pada beberapa penderita Alzheimer dan
beberapa tipe demensia yang lain, khususnya tipe frontotemporal, dan mengikuti kontusio
traumatik atau ensefalitis dari lobus temporal dan frontal.

Penyebab, Mekanisme, dan Signifikansi Biologis dari Kegugupan dan Ansietas

Hal-hal tersebut telah banyak menjadi subyek spekulasi biologis dan psikologis,
dan penjelasan yang sepenuhnya memuaskan masih belum tersedia. Seperti yang telah
disebutkan di atas, beberapa individu melalui hidupnya dalam kondisi ansietas derajat
rendah-kronik, dorongan yang mungkin dapat atau tidak tampak jelas. Episode spontan
ansietas menuntut pnjelasan lain. Beberpaa psikolog menganggap kegelisahan sebagai
perilaku antisipatif, yaitu misalnya pada keadaan ketidaknyamanan mengenai sesuatu
yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. William McDougall membicarakannya
sebagai “keadaan emosional yang timbul saat melanjutkan keinginan kuat tampaknya
akan kehilangan tujuannya”. Emosi utama, agak terbungkam mungkin, mungkin
merupakan salh satu ketakutan dan kebangkitannya di bawah suatu kondisi yang tidak
terlalu mngancam secara terang-terangan mungkin dijelaskan sebagai respons yang
terkondisi terhadap beberapa komponen rekondisi dari stimulus yang sebelumnya
mengancam. Teori emosi James-Lange, yang sudah lama tetapi seharusnya tidak
diabaikan, menunjukkan bahwa ciri dominan dari mengalami ansietas adalah hanya
bersifat pengalaman fisik dari pelepasan otonomik terkait.

Infusi asam laktat dapat membuat gejala ansietas semakin memburuk dan, pada
individu yang rentan, dapat memicu serangan panik. Pasien tampaknya tidak dapat
mentoleransi pekerjaan atau latihan yang dibutuhkan untuk membangun stamina.
Ekskresi urin dari norepinefrin ditemukan meningkat pada beberapa pasien dengan
gengguan panik; ada beberapa lainnya terdapat kenaikan ekskresi urin dari norepinefrin
dan metabolitnya. Selama periode ansietas yang intens, ekskresi aldosteron meningkat 2
hingga 3 kali normal.

Terdapat bukti bahwa kortikosteroid dan corticotropine releasing hormone (CRH)


memiliki peran dalam pembentukan ansietas. Pelepasan sistemik dari kortikosteroid
mengiringi segala jenis kondisi stres, dan administrasi kortikosterooid dapat
meningkatkan ansietas dan panik pada beberapa pasien dan depresi pada yang lainnya,
menunjukkan bahwa ada suatu kaitan antara stimulasi seroid aktivitas sistem limbik yang
membentuk kondisi ini. Pada hewan percobaan, stress yang dipicu oleh predator atau
kejutan listrik seperti halnya alcohol withdrawal dan obat-obatan lainnya memicu
aktivitas dalam jalur CRH (amigdala ke hipothalamus, nukleus raphe, nukelusceruleus,
dan regio lainnya di batang otak); memblok aktivitad oleh obat atau dengan merusak
amigdala menghilangkan ansietas dan perilaku serupa-ketakutan. Diakui, konsep
ketakutan, stres, dan kecemasan digunakan secara bergantian dalam model ini, namun
rangsangan berulang yang menghasilkan ketakutan dan stres akhirnya bisa menimbulkan
sebuah keadaan yang mirip dengan kegelisahan, dan amigdala tampaknya terlibat dalam
pelestarian keadaan kecemasan ini. Artinya efek tersebut, baik itu primer atau sekunder,
masih belum pasti, tapi jelas berkepanjangan dan ansietas difus dikaitkan dengan
abnormalitas bikimiawi tertentu dalam darah dan kemungkinan juga di otak.

Selain peran amigdala, penelitian hewan telah mengaitkan ansietas akut terhadap
gangguan fungsi lokus ceruleus dan area septal serta hipokampal, nukleus yang utamanya
mengandung norepinefrin. Lokus ceruleus terlibat dalam tidur rapid eye movement
(REM) dan obat-obatan seperti antidepresan trisiklik dan inhibitro monoamine oksidasi,
yang menekan tidur REM, juga menurunkan ansietas. Reseptor serotonin tertentu di otak,
berbeda dengan orang depresi, telah dikaitkan dengan ansietas. Bagian lain dari otak juga
mestinya terlibat; leukotomi orbtal bifrontal mengurangi ansietas, mungkindengan
mengganggu koneksi forebrain medial dengan bagian limbik otak. Studi tomografi emisi
positron (PET) pada subyek yang mengantisipasi kejut listrik menunjukkan peningkatan
aktivitas lobus temporalis da insula, megimplikasi bahwa regio-regio tersebut terlibat
dalam pengalaman ansietas akut. Penelitian kredibel lainnya telah mendemonstrasikan
peran girus cingulata anterior dalam memicu banyak ciri otonomik (khususnya
peningkatan denyut jantung) pada bangkitan berlebih dan ansietas.
Beberapa gangguan lainnya dalan fungsi neurotransmitter telah diimplikasikan
dalam kondisi ansietas. Temuan bahwa proporsi yang kecil dari sifat kepribadian yang
diwarisi dari kecemasan dapat dipertanggungjawabkan oleh satu polimorfisme gen
transporter serotonin bersifat provokatif (Lesch et al) namun membutuhkan konfirmasi.

Reaksi Depresif

Ada beberapa orang yang tidak pada beberapa waktu mengalami periode
keputussasaan yang berat. Kegugupan, mudh tersinggung, dan ansietas, depresi mood
seperti demikian sesuai dengan situasi tertentu dalam kehidupan (mis. Reaksi duka cita)
jarang menjadi perhatian dasar medis. Orang di situasi ini cenderung mencari pertolongan
hanya jika kesedihan atau kemuramannya terus berlanjut dan tak terkendali. Namun, ada
banyak contoh di mana gejala depresi menyatakan diri untuk alasan yang tidak semu.
Seringkali gejala ditafsirkan sebagai obat sakit, membawa pasien pertama ke internis atau
ahli saraf. Terkadang penyakit lain ditemuka (seperti kanker, hepatitis kronis, atau infeksi
lainnya atau postinfectious asthenia) di mana kelelahan kronis tersamarkan dengan
depresi; lebih sering sebaliknya berkaitan, yaitu depresi endogen yang merupakan
masalah esensial walaupun sudah ada bukti sebelumnya bahwa terdapat inffeksi virus
atau bakteri.

Dari pasien atau keluarga pasien diketahui bahwa pasien merasa tidak sehat,
rendah semangat, biru, down, tidak bahagia, atau tidak sehat. Terdapat perubahan dalam
reaksi emosionalnya di mana pasien mungkin tidak sepenuhnya sadar. Kegiatan yang
dulunya menyenangkan kini tidak lagi demikian. Seringkali, bagaimanapun, perubahan
suasana hati kurang mencolok dibanding penurunan psikis dan energi fisik, dan dalam
jenis ini pasien yang diagnosisnya paling sulit . keluhan kelelahan hampir tidak berubah;
tidak jarang, hal itu memburuk saat pagi hari setelah semalaman tidur gelisah. Pasien
mengeluh kehilangan energi, kelemahan, kelelahan, tidak memiliki energi, atau bahwa
pekerjaannya menjadi lebih sulit.

Pandangannya pesimistis. Pasien mudah tersinggung dan disibukkan dengan


kekhawatiran yang tak terkendali atas hal-hal sepele. Dengan kekhawatiran berlebihan,
kemampuan berpikir dengan terbiasa efisien berkurang; pasien mengeluh bahwa
pikirannya tidak berfungsi dengan baik, dan ia menjadi pelupa dan tidak mampu
berkonsentrasi. Jika pasien secara alami memiliki sifat mencurigakan, kecendenrungan
paranoid dapat diperkuat. Yang sangat merepotkan adalah kecenderungan pasien
tohypochondriasis. Memang, kebanyakan kasus yang sebelumnya didiagnosis sebaga
hipokondriasis sekarang dianggap sebagai depresi dengan superimposed anxiety. Sakit
dari apapun menyebabkan sendi kaku, sakit gigi, fleeting chest atau nyeri perut, kram
otot, atau gangguan lainnya seperti konstipasi, sering buang air kecil, insomnia, priritus,
lidah terbakar, atau penurunan berat badan bisa menyebabkan keluhan obsesif. Pasien
lewat dari dokter ke dokter, mencari bantuan dari gejala yang tidak masalah bagi orang
normal, dan tidak ada jumlah yang dapat memastikan yang mampu melegakan keadaan
pikirnya. Ansietas dan mood depresi dari orang-orang ini mungkin dikaburkan oleh
kecenderungan mereka dengan fingsi visceral.

Saat diperiksa, ekspresi wajahnya seringkali seperti mau pingsan, bermaslah,


sedih, atau muram. Attitude dan sopan santun pasien tidka sesuai dengan suasana hati
depresi, putus asa, dan sedih mendalam. Di sisi lain, kata-katanya, yang merupakan
ekspresi perasaan lahiriah, konsisten dengan mood yang tertekan. Selama wawancara,
pasien mungkin secara terbuka akan menangis. Pada beberapa, ada semacam imobilitas
wajah yang meniru Parkinsonisme, meskipun lainnya seringkali tampak lelah dan gelisah
(mondar-mandir, meremas tangan, dll). Terkadang pasien akan tersenyum, tapi senyuman
itu mengesankan seseorang karena lebih bersifat sosial, bukan karena ekspresi perasaan
yang asli.

Aliran bicara melambat. Mendesah sering ditemukan. Mungkin ada jeda yang
panjang antara pertanyaan dan jawaban. Yang terakhir singkat dan mungkin hanya
bersuku dua. Ada kekurangan gagasan. Hambatan meluas ke semua topik pembicaraan
dan memengaruhi pergerakan anggota badan juga bentuk aktivitas motor yang paling
menurun, jarang terlihat di klinik, berbatasan dengan muteness dan pingsan (depresi
anergik). Percakapannya penuh dengan pikiran, ketakutan, ungkapan pesimistis,
ketidaktersediaan, ketidakmampuan, inerioritas, keputusasaan, dan terkadang bersalah.
Dalam depresi berat, ide aneh dan delusi tubuh dapat diekspresikan (“pengeringan darah”,
“usus diblokir dengan semen”, “saya setengah mati”).

Beberapa teori muncul mengenai penyebab kondisi depresi patologis, tapi tak
satupun dapat dikonfirmasi dengan kepercayaan kecuali pada aspek inheritan.

Hal ini dapat dilihat pada Bab 52.


Penulis percaya bahwa kondisi depresif merupakan salah satu diagnosis yang
sering terlupakan atau terlewati dalam dunia medis. Masalahnya adalah sebagian ada
pada istilahnya itu sendiri, yang mengimplikasikan sebagai kondisi tidak bahagia
mengenai sesuatu. Depresi endogenik seharusnya dicurigai pada segala kondisi sakit
kronik, hipokondriasis, disbilitas yang melebihi tanda-tanda manifestasi penyakit medis,
naurasthenia dan kelelahan berlanjut, serta sindroma nyeri kronik. Pada banyak kasus
dengan kesembuhan adalah suatu keharusan, bunuh diri menjadi suatu tragedi yang mana
profesi medis harus kadangkala menanggung tanggung jawabnya. Pada situasi ekstrem,
bagaimanapun, pasien yang bunuh diri di samping usaha yang telah diberikan dokter
dengan maksimal untuk menyembuhkannya tidak dapat dianggap sebagai suatu
kegagalan.

Anda mungkin juga menyukai