Anda di halaman 1dari 50

REFERAT

AIRWAY MANAGEMENT PADA PASIEN COVID 19

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior


Anestesi dan Intensive Care
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Haris Alwafi 22010118220189
Ersananda Arlisa Putri 22010118220143
Fathiya Khansa 22010118220145
Amaani Sabili Amiin 22010118220164
Nur Afifah Thohiroh 22010118220204
Satria Fadhil Ardika 22010118220057
Aysha Nurin Sharfina 22010119220174
Putri Nurwidayaningtyas 22010119220192
Kusumaningtyas Ayu 22010119220150
Hafidh Bagus Aji Prasetyo 22010119220137
Agung Satria Winahyu 22010119220193

Dosen Pembimbing :
dr. Satrio Adi Wicaksono, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESI DAN INTENSIVE CARE


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR KARIADI SEMARANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Airway Management Pada Pasien Covid 19

Pembimbing : dr. Satrio Adi Wicaksono, Sp.An


Disusun oleh : Haris Alwafi 22010118220189
Ersananda Arlisa Putri 22010118220143
Fathiya Khansa 22010118220145
Amaani Sabili Amiin 22010118220164
Nur Afifah Thohiroh 22010118220204
Satria Fadhil Ardika 22010118220057
Aysha Nurin Sharfina 22010119220174
Putri Nurwidayaningtyas 22010119220192
Kusumaningtyas Ayu 22010119220150
Hafidh Bagus Aji Prasetyo 22010119220137
Agung Satria Winahyu 22010119220193

Dibacakan pada : April 2020

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior Bagian Ilmu Anestesi dan Intensive
Care

Semarang, April 2020


Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Satrio Adi Wicaksono, Sp.An

ii
iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas pertolongan
Nya penulis dapat menyelesaikan Referat Terapi Oksigen dengan tujuan sebagai bahan
pembelajaran pada kepaniteraan anestesi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Satrio Adi Wicaksono Sp. An selaku dosen pembimbing yang telah membantu
penulis dalam dalam mengerjakan referat ini.
2. Orang tua yang telah memberikan support kepada penulis dalam penyelesaian tulisan
ilmiah ini.
3. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusi kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pembuatan tulisan ini.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita
bersama. Semoga karya ilmiah yang penulis sampaikan ini dapat membuat kita mencapai
kehidupan yang lebih baik lagi.

Semarang, 06 April 2020

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. iv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………….. v
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………1
Latar Belakang…………………………………………………………………..1
Tujuan…………………………………………………………………………...2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………...3
2.1 Upper respiratory tract……………………………………………………... 3
2.2 Lower Respiratory tract……………………………………………………..4
2.3 Mekanisme kerja otot pernafasan…………………………………………...6
2.4 Corona Disease (COVID-19)………………………………………………11
2.5 Gejala Coronavirus-Disease 19…………………………………………….12
2.6 Kegiatan Surveilans dan Karantina………………………………………...14
2.7 Upaya Deteksi Dini dan Respon Puskesmas terhadap pasien PDP………..17
2.8 Airway Management Pada Pasien Covid 19……………………………… 24
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………….. 38
BAB IV QNA……………………………………………………………………………39
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..41

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Upper Respiratory System……………………………………………………..3

Gambar 2. Anatomi Bronkus………………………………………………………………4

Gambar 3. Anatomi paru-paru……………………………………………………………..6

Gambar 4. Otot-otot pernafasan……………………………………………………………7

Gambar 5. Mekanisme ventilasi paru………………………………………………………8

Gambar 6. Gejala Infeksi COVID 19……………………………………………………..12

Gambar 7. Alur Pengananan Pasien dengan COVID-19………………………………….19

Gambar 8. Prinsip Airway Management pada pasien COVID-19…………………………32

Gambar 9. Airway Map Tracheal Intubation Pack ……………………………………….33

Gambar 10. Skor MACOCHA & prediksi kesulitan dalam intubasi……………………...35

Gambar 11. Rencana personalia untuk intubasi trakea pada pasien dengan COVID-19….35

Gambar 12. Kit Dump……………………………………………………………………..36

Gambar 13. Teknik two handed-person bag dengan posisi VE hand …………………… 37

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum

pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Coronavirus-19 (COVID) telah dinyatakan

sebagai pandemi dunia oleh WHO (WHO,2020). Di Indonesia angka kejadian COVID-19

semakin bertambah. Berdasarkan data pemerintah terdapat 1.285 kasus Covid-19 per Minggu

(29/3/2020) siang. Jumlah tersebut bertambah sebanyak 130 kasus dari total 1.155 kasus pada

Sabtu (28/3/2020). Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan

pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari

dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat

menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. 1,2

Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan

sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik. Deteksi

dini manifestasi klinis dari penyakit ini akan menentukan waktu yang tepat dalam penerapan

tatalaksana dan PPI. Pasien dengan gejala ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada

kekhawatiran untuk perburukan yang cepat sesuai dengan pertimbangan medis.1

Pasien COVID-19 yang dicurigai menderita gejala ISPA yang berat yaitu

menunjukkan tanda-tanda kegagalan pernapasan hipoksemik harus dilakukan Airway

Manajement yang baik dan sesuai panduan dengan segera. Airway manajemen merupakan

hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam

penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai

adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang bisa saja

terganggu oleh berbagai penyebab salah satunya adalah Infeksi COVID-19 yang juga dapat

menimbulkan gangguan airway.15

1
2

1.2 Batasan masalah

Referat ini membahas mengenai Airway Management pada Pasien COVID-19.

1.3 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui Airway Mangement pada Pasien
COVID-19 dan penatalaksanaannya serta sebagai syarat menjalani kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Anestesi dan Intensive Care.

1.4 Metode penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk kepada

berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Upper respiratory tract


Saluran pernafasan terdiri dari hidung, mulut, faring, laring, trakea, dan paru-paru.
Laring dibagi menjadi 2 bagian yaitu upper dan lower respiratory tract. Faring adalah saluran
berbentuk seperti corong dengan panjang kurang lebih 13 centimeter yang dindingnya
disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membran mukosa. Faring berfungsi sebagai
saluran pernapasan serta saluran cerna, selain itu juga berperan dalam pembentukan suara.
Faring terbagi menjadi 3 bagian, yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Secara
fungsional, epiglotis memisahkan orofaring dengan laringofaring. Epiglotis merupakan
struktur yang berfungsi menutup pintu laring pada saat terjadi proses menelan sehingga tidak
terjadi aspirasi.3
Fungsi laring dan gerakannya diatur oleh otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik
laring. Otot-otot ekstrinsik laring diantaranya adalah m.digastrikus, m.geniohioid,
m.stilohioid, dan m.milohioid (suprahyoid) m.sternohioid, m.omohioid, dan m.tirohioid
(infrahyoid). Otot ekstrinsik berfungsi untuk mempertahankan posisi laring di leher.
Sementara itu, otot-otot intrinsik laring diantaranya adalah m.krikoaritenoid lateral,
m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan m.krikotiroid. Sebagian
besar otot intrinsik adalah otot aduktor pita suara kecuali m.krikoaritenoid posterior yang
merupakan otot abduktor pita suara.

3
4

Gambar 1. Upper Respiratory System4


Fungsi laring dan gerakannya diatur oleh otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik
laring. Otot-otot ekstrinsik laring diantaranya adalah m.digastrikus, m.geniohioid,
m.stilohioid, dan m.milohioid (suprahyoid) m.sternohioid, m.omohioid, dan m.tirohioid
(infrahyoid). Otot ekstrinsik berfungsi untuk mempertahankan posisi laring di leher.
Sementara itu, otot-otot intrinsik laring diantaranya adalah m.krikoaritenoid lateral,
m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan m.krikotiroid. Sebagian
besar otot intrinsik adalah otot aduktor pita suara kecuali m.krikoaritenoid posterior yang
merupakan otot abduktor pita suara.5

2.2 Lower Respiratory tract


Setelah melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan dihangatkan dan
dilembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni trakea, melalui bronkiolus,
bronkiolus respiratorius, dan duktus alveolaris sampai alveolus. Antara trakea dan kantong
alveolar terdapat 23 kali percabangan saluran udara. Enam belas percabangan pertama
saluran udara merupakan zona konduksi yang meyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar.
Bagian ini terdiri atas bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis. Tujuh percabangan
berikutnya merupakan zona peralihan dan zona respirasi, dimana proses pertukaran gas
terjadi, terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus. Adanya
percabangan saluran udara yang majemuk ini meningkatkan luas total penampang melintang
5

saluran udara, dari 2,5 cm2 di trakea, menjadi 11.800 cm2 di alveoli. Akibatnya, kecepatan
aliran udara di dalam saluran udara kecil berkurang ke nilai yang sangat rendah.5

Gambar 2. Anatomi Bronkus6


Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di sebagian besar daerah, udara
dan darah hanya dipisahkan oleh epitel alveolus dan endotel kapiler sehingga keduanya hanya
terpisah sejauh 0,5 μm. Tiap alveolus dilapisi oleh 2 jenis sel epitel, yaitu sel tipe 1 dan sel
tipe 2. Sel tipe 1 merupakan sel gepeng sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel tipe 2
(pneumosit granuler) lebih tebal, banyak mengandung badan inklusi lamelar dan mensekresi
surfaktan. Surfaktan merupakan zat lemak yang berfungsi untuk menurunkan tegangan
permukaan.5

Anatomi paru
Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina,
bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis,
bronchiolus respiratorius, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat Lobus,
dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus
yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo dextra terdapat fissura horizontal yang
membagi lobus superior dan lobus media, sedangkan fissura oblique membagi lobus media
dengan lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus superior
dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis (luar) dan
Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum pleura).3
6

Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri bronkialis
cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang juga berhubungan
dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli
mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang
teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena
pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung.7
Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok kelenjar getah
bening trakeobronkial hilar dan selanjutnya menuju trunkus limfatikus mediastinal.7
Paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak di pangkal paru. Pleksus ini
terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri
vagus). Serabut eferen dari pleksus mensarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima
dari membran mukosa bronkioli dan alveoli.7

Gambar 3. Anatomi paru-paru7

2.3 Mekanisme kerja otot pernafasan


Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratoraks sebesar 75% selama
inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian dasar rongga toraks, yang
membentuk kubah diatas hepar dan bergerak ke arah bawah seperti piston pada saat
berkontraksi. Jarak pergerakan diafragma berkisar antara 1,5 cm sampai 7 cm saat inspirasi
dalam.5
7

Otot inspirasi utama lainnya adalah musculus interkostalis eksternus, yang berjalan dari
iga ke iga secara miring ke arah bawah dan ke depan. Poros iga bersendi pada vertebra
sehingga ketika musculus intercostalis eksternus berkontraksi, iga-iga dibawahnya akan
terangkat. Gerakan ini akan mendorong sternum ke luar dan memperbesar diameter
anteroposterior rongga dada. Diameter transversal juga meningkat, tetapi dengan derajat yang
lebih kecil. Musculus interkostalis eksternus dan diafragma dapat mempertahankan ventilasi
yang adekuat pada keadaan istirahat. Musculus scalenus dan musculus
sternocleidomastoideus merupakan otot inspirasi tambahan yang ikut membantu mengangkat
rongga dada pada pernapasan yang sukar dan dalam.5
Otot ekspirasi akan berkontraksi jika terjadi ekspirasi kuat dan menyebabkan volume
intratoraks berkurang. Musculus intercostalis internus bertugas untuk melakukan hal tersebut
karena otot-otot ini berjalan miring ke arah bawah dan belakang dari iga ke iga sehingga
ketika berkontraksi, otot-otot ini akan menarik rongga dada ke bawah. Kontraksi otot dinding
abdomen anterior 17 juga membantu proses ekspirasi dengan cara menarik iga-iga ke bawah
dan ke dalam serta dengan meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan mendorong
diafragma ke atas.5

Gambar 4. Otot-otot pernafasan6

Mekanisme pernafasan
A. Inspirasi dan Ekspirasi
8

Paru dan dinding dada merupakan struktur yang elastis. Pada keadaan normal, hanya
ditemukan selapis tipis cairan di antara paru dan dinding dada (ruang intrapleura). Inspirasi
merupakan proses aktif. Kontraksi otot inspirasi akan meningkatkan volume intratoraks.
Tekanan intrapleura di bagian basis paru akan turun dari sekitar -2,5 mmHg (relatif terhadap
tekanan atmosfer) pada awal inspirasi, menjadi -6 mmHg. Jaringan paru akan semakin
teregang.9
Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif dan udara akan mengalir
ke dalam paru. Pada akhir inspirasi, daya recoil paru mulai menarik dinding dada kembali ke
kedudukan ekspirasi sampai tercapai keseimbangan kembali antara daya recoil jaringan paru
dan dinding dada. Tekanan di saluran udara menjadi lebih positif dan udara mengalir
meninggalkan paru. Ekspirasi selama pernapasan tenang merupakan proses pasif yang tidak
memerlukan kontraksi otot untuk menurunkan volume intratoraks. Namun, pada awal
ekspirasi, sedikit kontraksi otot inspirasi masih terjadi. Kontraksi ini bertujuan untuk
meredam daya recoil paru dan memperlambat ekspirasi.9

Gambar 5. Mekanisme ventilasi paru 7

Pada inspirasi kuat, tekanan intrapleura turun menjadi -30 mmHg sehingga
pengembangan jaringan paru menjadi lebih besar. Bila ventilasi meningkat, derajat
pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan oleh kontraksi aktif otot ekspirasi yang
menurunkan volume intratoraks.9

B. Volume dan kapasitas paru


9

Paru dapat diisi sampai > 5,5 liter dengan usaha inspirasi maksimum atau dikosongkan
sampai sekitar 1 liter dengan ekspirasi maksimum. Volume paru bervariasi dari sekitar 2
sampai 2,5 liter karena volume udara tidal rata-rata sebesar 500 ml keluar masuk paru tiap
kali seseorang bernapas.10 Volume dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi
sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas paru dapat diketahui
besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.10
a. Volume tidal
Merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap kali inspirasi atau ekspirasi pada
setiap pernapasan normal. Nilai rerata pada orang sehat kondisi istirahat adalah 500 ml.
b. Volume cadangan
inspirasi Merupakan volume udara tambahan pada inspirasi maksimal melebihi volume tidal,
digunakan pada saat aktivitas fisik. Volume cadangan inspirasi dihasilkan oleh adanya
kontraksi maksimal diafragma, musculus intercostalis eksternus dan otot inspirasi tambahan.
Nilai ratarata pada orang sehat sekitar 3.000 ml.
c. Volume cadangan ekspirasi
Merupakan volume udara tambahan yang dapat secara aktif dikeluarkan dari dalam paru
melalui kontraksi otot ekspirasi secara maksimal setelah ekspirasi biasa. Nilai rata-rata pada
orang sehat sekitar 1.000 ml.
d. Volume residual
Merupakan volume udara minimal yang tersisa di dalam paru setelah ekspirasi maksimum.
Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 1.200 ml.
e. Kapasitas vital
Merupakan volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah
inspirasi maksimal, bermanfaat untuk menilai kapasitas fungsional paru. Subyek mula-mula
melakukan inspirasi maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata
pada orang sehat sekitar 4.500 ml.
f. Kapasitas inspirasi
Merupakan volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi biasa. Nilai rata-
rata pada orang yang sehat adalah sekitar 3.500 ml.
g. Kapasitas residual
fungsional Merupakan volume udara dalam paru pada akhir ekspirasi pasif normal. Nilai rata-
rata pada orang sehat sekitar 2.200 ml.
h. Kapasitas total paru
10

Merupakan volume udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal. Kapasitas total paru
merupakan penjumlahan dari keempat volume paru atau penjumlahan dari kapasitas vital
dengan volume residual Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 5.700 ml.

Mekanisme Persarafan pada Pernafasan


Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan yaitu:
1. Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat volunter terletak di
cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron motorik otot pernafasan melalui jaras
kortikospinal.

2. Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan otomatis terletak


di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari sistem ini terletak di rami alba
medulla spinalis di antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.

Serat saraf yang meneruskan impuls inspirasi, berkumpul pada neuron motorik
N.Phrenicus pada kornu ventral C3-C5 serta neuron motorik intercostales externa pada kornu
ventral sepanjang segmen toracal medulla. Serat saraf yang membawa impuls ekspirasi,
bersatu terutama pada neuron motorik intercostales interna sepanjang segmen toracal
medulla.11
Pada 10 Neuron motorik untuk otot ekspirasi akan dihambat apabila neuron motorik
untuk otot inspirasi diaktifkan, dan sebaliknya. Meskipun refleks spinal ikut berperan pada
persarafan timbal-balik (reciprocal innervation), aktivitas pada jaras descendens-lah yang
berperan utama. Impuls melalui jaras descendens akan merangsang otot agonis dan
menghambat yang antagonis. Satu pengecualian kecil pada inhibisi timbal balik ini aadalah
terdapatnya sejumlah kecil aktifitas pada akson N.Phrenicus untuk jangka waktu singkat,
setelah proses inspirasi. Fungsi keluaran pasca inspirasi ini nampaknya adalah untuk
meredam daya rekoil elastik jaringan paru dan menghasilkan pernafasan yang halus (smooth).
11

PERTUKARAN O2 DAN CO2 DALAM PERNAFASAN


Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang menyelubungi
alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah atau pigmen darah
(hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh.12
11

Pada 17 Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah atau eritrosit ini tersusun
oleh senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi dan globin yang berupa
protein. Secara sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat diperlihat-kan menurut
persamaan reaksi bolak-balik berikut ini :

Hb4 + O2 4 Hb O2oksihemoglobin) berwarna merah jernih


Reaksi di atas dipengaruhi oleh kadar O2, kadar CO2, tekanan O2 (P O2), perbedaan
kadar O2 dalam jaringan, dan kadar O2 di udara. Proses difusi oksigen ke dalam arteri
demikian juga difusi CO2 dari arteri dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam udara inspirasi.
Tekanan seluruh udara lingkungan sekitar 1 atmosfir atau 760 mm Hg, sedangkan
tekanan O2 di lingkungan sekitar 160 mm Hg. Tekanan oksigen di lingkungan lebih tinggi
dari pada tekanan oksigen dalam alveolus paru-paru dan arteri yang hanya 104 mm Hg. Oleh
karena itu oksigen dapat masuk ke paru-paru secara difusi.
Dari paru-paru, O2 akan mengalir lewat vena pulmonalis yang tekanan O2 nya 104
mm; menuju ke jantung. Dari jantung O2 mengalir lewat arteri sistemik yang tekanan O2 nya
104 mm hg menuju ke jaringan tubuh yang tekanan O2 nya 0 - 40 mm hg. Di jaringan, O2 ini
akan dipergunakan. Dari jaringan CO2 akan mengalir lewat vena sistemik ke jantung.
Tekanan CO2 di jaringan di atas 45 mm hg, lebih tinggi dibandingkan vena sistemik yang
hanya 45 mm Hg. Dari jantung, CO2 mengalir lewat arteri pulmonalis yang tekanan O2 nya
sama yaitu 45 mm hg. Dari arteri pulmonalis CO2 masuk ke paru-paru lalu dilepaskan ke
udara bebas.kemampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen adalah 7 cc per 100 mm3
darah.12 Pengangkutan sekitar 200 mm3 C02 keluar tubuh umumnya berlangsung menurut
reaksi kimia berikut:
1. 02 + H20 Þ (karbonat anhidrase) H2CO3 Tiap liter darah hanya dapat melarutkan 4,3
cc CO2 sehingga mempengaruhi pH darah menjadi 4,5 karena terbentuknya asam
karbonat. Pengangkutan CO2 oleh darah dapat dilaksanakan melalui 3 Cara yakni
sebagai berikut. Karbon dioksida larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat
dengan enzim anhidrase (7% dari seluruh C
2. Karbon dioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin (23%
dari seluruh CO2).
3. Karbon dioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3) melalui proses berantai
pertukaran klorida (70% dari seluruh CO2). Reaksinya adalah sebagai berikut CO2 +
H2O Þ H2CO3 Þ H+ + HCO-3. Gangguan terhadap pengangkutan CO2 dapat
mengakibatkan munculnya gejala asidosis karena turunnya kadar basa dalam darah.
12

Hal tersebut dapat disebabkan karena keadaan Pneumoni. Sebaliknya apabila terjadi
akumulasi garam basa dalam darah maka muncul gejala alkalosis.

2.4 Corona Disease (COVID-19)


Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari
gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-
CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian
menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan
MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19
ini masih belum diketahui.1
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan
akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan
masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan
pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tanda-tanda
dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus adalah demam, dengan
beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat
pneumonia luas di kedua paru.
Coronavirus-19 (COVID) telah dinyatakan sebagai pandemi dunia oleh WHO
(WHO,2020). Coronavirus adalah zoonosis atau virus yang ditularkan antara hewan dan
manusia. Virus dan penyakit ini diketahui berawal di kota Wuhan, Cina sejak Desember
2019. Per tanggal 21 Maret 2020, jumlah kasus penyakit ini mencapai angka 275,469
jiwa yang tersebar di 166 negara, termasuk Indonesia.1,2

2.5 Gejala Coronavirus-Disease 19


13

Gambar 6. Gejala Infeksi COVID 19

Definisi Operasional
a) Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38 oC) atau
riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti:
batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat# DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal
di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal*.
2) Orang dengan demam (≥380C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi
COVID-19.
3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan.
b. Orang Dalam Pemantauan (ODP)
1) Orang yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN tidak ada
penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah yang melaporkan transmisi local.
14

2) Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit


tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
c. Orang Tanpa Gejala (OTG)
Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi
COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat dengan kasus
konfirmasi COVID-19.

Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam
ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam
pengawasan atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14
hari setelah kasus timbul gejala.
Termasuk kontak erat adalah:
1) Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan
ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai
standar.
2) Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk
tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul
gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
3) Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14
hari setelah kasus timbul gejala.
Catatan:
 Saat ini, istilah suspek dikenal sebagai pasien dalam pengawasan.
 Perlu waspada pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh
(immunocompromised) karena gejala dan tanda menjadi tidak jelas.
 ISPA berat atau pneumonia berat adalah
➢ Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran
napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat,
atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.
➢ Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya satu dari
berikut ini:
- sianosis sentral atau SpO2 <90%;
15

- distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat);
- tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau
penurunan kesadaran, atau kejang.
- Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2 bulan,
≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit;>5 tahun, ≥30x/menit.
d. Kasus Konfirmasi
Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui
pemeriksaan PCR.

2.6 Kegiatan Surveilans dan Karantina


a. Orang Tanpa Gejala (OTG)
Kegiatan surveilans terhadap OTG dilakukan selama 14 hari sejak kontak
terakhir dengan kasus positif COVID-19. Terhadap OTG dilakukan pengambilan
spesimen pada hari ke-1 dan ke-14 untuk pemeriksaan RT PCR. Dilakukan
pemeriksaan Rapid Test apabila tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, apabila
hasil pemeriksaan pertama menunjukkan hasil:1
1) Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing; pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya.
Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di
Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
2) Positif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing; Pada kelompok ini juga akan dikonfirmasi
dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di
Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
Apabila OTG yang terkonfirmasi positif menunjukkan gejala demam (≥38⁰C)
atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan selama masa karantina maka:
a) Jika gejala ringan, dapat dilakukan isolasi diri di rumah
b) Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
c) Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan
Kegiatan surveilans terhadap OTG dilakukan berkala untuk mengevaluasi
adanya perburukan gejala selama 14 hari. Petugas kesehatan dapat melakukan
pemantauan melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan
dicatat pada formulir pemantauan harian. Pemantauan dilakukan dalam bentuk
16

pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh
petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
setempat. Orang tanpa gejala yang tidak menunjukkan gejala COVID-19, ditetapkan
melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan.
b. Orang Dalam Pemantauan (ODP)
Kegiatan surveilans terhadap ODP dilakukan selama 14 hari sejak mulai
munculnya gejala. Terhadap ODP dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1
dan ke-2 untuk pemeriksaan RT PCR. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas
laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau
lokasi pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen
disertai formulir pemeriksaan ODP/PDP.1,2
Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, dilakukan pemeriksaan
Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test pertama menunjukkan hasil:
a) Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah;
pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan
ulang positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak
2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang
mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b) Positif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; Pada
kelompok ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT
PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut,di Laboratorium
pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
Apabila ODP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
1) Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
2) Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan
Kegiatan surveilans terhadap ODP dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya
perburukan gejala selama 14 hari. Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui
telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan
harian. Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala
harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi
dengan dinas kesehatan setempat. Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat
yang tidak memiliki gejala terkait COVID-19, ditetapkan melalui surat pernyataan yang
diberikan oleh Dinas Kesehatan.
17

c. Pasien Dalam Pengawasan (PDP)


Kegiatan surveilans terhadap PDP dilakukan selama 14 hari sejak mulai munculnya
gejala. Terhadap PDP dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 untuk
pemeriksaan RT PCR. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat
yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis
spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai formulir pemeriksaan
ODP/PDP (lampiran 7).1
Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, dilakukan pemeriksaan Rapid Test.
Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test pertama menunjukkan hasil:
a) Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah sesuai kondisi: ringan (isolasi diri di
rumah), sedang (rujuk ke RS Darurat), berat (rujuk ke RS Rujukan);
pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang
positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali
selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu
melakukan pemeriksaan RT PCR.
b) Positif, tatalaksana selanjutnya adalah adalah sesuai kondisi: ringan (isolasi
diri di rumah), sedang (rujuk ke RS Darurat), berat (rujuk ke RS Rujukan);
Pada kelompok ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR
sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium
pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
Apabila PDP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
1) Jika gejala ringan berubah menjadi sedang, dilakukan isolasi di RS
darurat
2) Jika gejala sedang berubah menjadi berat, dilakukan isolasi di RS
rujukan
Kegiatan surveilans terhadap PDP ringan dan PDP sedang dilakukan berkala
untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari. Petugas kesehatan dapat
melakukan pemantauan melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian)
dan dicatat pada formulir pemantauan harian. Pemantauan dilakukan dalam bentuk
pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas
kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Orang
dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat yang tidak memiliki gejala terkait
COVID-19, ditetapkan melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan.
18

2.7 Upaya Deteksi Dini dan Respon Puskesmas terhadap pasien PDP, ODP, dan OTG
a. PDP
 Tatalaksana sesuai kondisi:
Ringan: Isolasi diri di rumah
Sedang: Rujuk ke RS Darurat
Berat: Rujuk ke RS Rujukan
 Saat melakukan rujukan berkoordinasi dengan RS

 Rujukan pasien memperhatikan prinsip PPI

 Notifikasi 1x24 jam secara berjenjang menggunakan formulir

 Melakukan penyelidikan epidemiologi berkoordinasi dengan Dinkes Kab/Kota

 Mengidentifikasi kontak erat yang berasal dari masyarakat maupun petugas


kesehatan
 Melakukan pemantauan PDP yang isolasi rumah
 Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan kontak secara rutin menggunakan
formulir
 Edukasi PDP ringan untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami
perburukan segera ke fasyankes
 Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat
 Pengambilan spesimen pada PDP ringan berkoordinasi dengan Dinkes
setempat terkait pengiriman spesimen
b. ODP
 Tatalaksana sesuai kondisi pasien
 Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinkes Kab/Kota menggunakan
formulir
 Melakukan penyelidikan epidemiologi berkoordinasi dengan Dinkes Kab/Kota
 Melakukan pemantauan (cek kondisi kasus setiap hari, jika terjadi perburukan
segera rujuk RS darurat/rujukan)
 Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan secara rutin menggunakan
formulir
 Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan
segera ke fasyankes
 Melakukan komunikasi risiko, keluarga dan masyarakat
19

 Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait


pengiriman spesimen.
c. OTG
 Melakukan pendataan kontak erat (OTG) menggunakan formulir
 Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinkes Kab/Kota menggunakan
formulir
 Melakukan pemantauan (cek kondisi kasus setiap hari, jika terjadi perburukan
segera rujuk RS darurat/rujukan)
 Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan secara rutin menggunakan
formulir
 Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera
ke fasyankes
 Melakukan komunikasi risiko, keluarga dan masyarakat
 Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait
pengiriman spesimen.

A. Tatalaksana Pasien di Rumah Sakit Rujukan (Alur Tatalaksana)


20

Gambar 7. Alur Pengananan Pasien dengan COVID-19

1. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan


a) Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan
distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
- Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk
mencapai target SpO2 ≥90% pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil
serta SpO2 ≥ 92%-95% pada pasien hamil.

- Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apneu, distres pernapasan berat,
sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama
resusitasi untuk mencapai target SpO2 ≥94%;

- Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse oksimetri dan
sistem oksigen harus berfungsi dengan baik, dan semua alat-alat untuk
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan
kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.
- Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan
oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong
reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti COVID-19.
b) Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat tanpa
syok. Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan
intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk
oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi
mekanik.
c) Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada kasus
sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik
yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam. Pengobatan antibiotik empirik
berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial
21

atau sepsis), epidemiologi dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi
empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan
mikrobiologis dan penilaian klinis.
d) Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan
pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan
lain. Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA
berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru
bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu,
kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
e) Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami
perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan
suportif secepat mungkin.
f) Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan
penilaian prognosisnya. Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan
dan terapi mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara
proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan
informasi prognostik.
g) Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian
dengan fisiologi kehamilan. Persalinan darurat dan terminasi kehamilan
menjadi tantangan dan perlu kehati-hatian serta mempertimbangkan beberapa
faktor seperti usia kehamilan, kondisi ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan ke
dokter kandungan, dokter anak dan konsultan intensive care.

2. Pengumpulan Spesimen Untuk Diagnosis Laboratorium


Pasien konfirmasi COVID-19 (pemeriksaan hari ke-1 dan ke-2 positif) dengan
perbaikan klinis dapat keluar dari RS apabila hasil pemeriksaan Real Time-
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dua hari berturut-turut menunjukkan hasil
negatif. Apabila tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, pasien dengan
perbaikan klinis dapat dipulangkan dengan edukasi untuk tetap melakukan isolasi
diri di rumah selama 14 hari.
22

3. Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS


a) Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress
pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar
Pasien dapat mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemi
walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup tutup muka dengan
kantong reservoir (10 sampai 15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan
untuk mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas
hipoksemi pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau
pirau/pintasan dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
b) Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO) atau
ventilasi non invasif (NIV) hanya pada pasien gagal napas hipoksemi
tertentu, dan pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi
perburukan klinis.
- Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen 60 L/menit dan FiO2
sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit,
sehingga banyak anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan
aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar,
HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Pasien dengan
hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru obstruktif, edema paru
kardiogenik), hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan
kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO, meskipun data terbaru
menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman pada pasien hiperkapnia
ringan-sedang tanpa perburukan. Pasien dengan HFNO seharusnya
dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi
endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau
tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan
intubasi segera. Saat ini pedoman berbasis bukti tentang HFNO tidak ada,
dan laporan tentang HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
- Penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas hipoksemi
(kecuali edema paru kardiogenik dan gagal napas pasca operasi) atau
penyakit virus pandemik (merujuk pada studi SARS dan pandemi
influenza). Karena hal ini menyebabkan keterlambatan dilakukannya
intubasi, volume tidal yang besar dan injuri parenkim paru akibat
barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas menunjukkan tingkat
23

kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS mendapatkan terapi oksigen


dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau
penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV.
- Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas terlatih dan
berpengalaman untuk melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam
1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.
- Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO dan NIV yang
menggunakan interface yang sesuai dengan wajah sehingga tidak ada
kebocoran akan mengurangi risiko transmisi airborne ketika pasien
ekspirasi.
c) Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan
berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne
Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas atau hamil, dapat
mengalami desaturasi dengan cepat selama intubasi. Pasien dilakukan pre-
oksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100% selama 5
menit, melalui sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask,
HFNO atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
d) Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4-8 ml/kg
prediksi berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi
rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan disarankan pada pasien
gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.
- Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) -60], wanita =
45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60]
- Pilih mode ventilasi mekanik
- Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume awal = 8 ml/kg
PBW
- Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg dalam waktu ≤ 2 jam
sampai mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW
- Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari 35
kali/menit)
- Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target pH dan tekanan
plateau
24

Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45. Protokol ventilasi


mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang dalam untuk mengontrol
usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediksi peningkatan
mortalitas pada ARDS lebih akurat menggunakan tekanan driving yang
tinggi (tekanan plateau−PEEP) di bandingkan dengan volume tidal atau
tekanan plateau yang tinggi.
e) Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi dengan prone position > 12
jam per hari. Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat
dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi
membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.
f) Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipoperfusi
jaringan. Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat
penggunaan ventilator.
g) Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan menggunakan
PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah. Titrasi PEEP diperlukan
dengan mempertimbangkan manfaat (mengurangi atelektrauma dan
meningkatkan rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan berlebih pada akhir
inspirasi yang menyebabkan cedera parenkim paru dan resistensi
vaskuler pulmoner yang lebih tinggi). Untuk memandu titrasi PEEP
berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan SpO2.
Intervensi recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan secara berkala
dengan CPAP yang tinggi [30 - 40 cm H2O], peningkatan PEEP yang
progresif dengan tekanan driving yang konstan, atau tekanan driving yang
tinggi dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.
h) Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2 <150) tidak dianjurkan secara
rutin menggunakan obat pelumpuh otot.
i) Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life Support
(ECLS), dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan
pasien dengan hipoksemi refrakter meskipun sudah mendapat lung
protective ventilation. Saat ini belum ada pedoman yang
merekomendasikan penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada
penelitian bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.
j) Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien karena
dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan sistem
25

closed suction kateter dan klem endotrakeal tube ketika terputusnya


hubungan ventilasi mekanik dan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke
ventilasi mekanik yang portabel). 1,2

2.8 Airway Management Pada Pasien COVID 19


Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernapasan dengan tujuan
untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan
oksigenasi jaringan.13 Menurut Bingham (2008), airway management adalah prosedur medis
yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas terbuka
antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan membuka jalan nafas atau
mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh lidah, saluran nafas itu sendiri, benda
asing, atau bahan dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.14
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat,
oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi
pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul
secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.15

A. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Berdasarkan bukti yang tersedia, COVID-19 ditularkan melalui kontak dekat dan
droplet, bukan melalui transmisi udara. Orang-orang yang paling berisiko terinfeksi adalah
mereka yang berhubungan dekat dengan pasien COVID-19 atau yang merawat pasien
COVID-19. Tindakan pencegahan dan mitigasi merupakan kunci penerapan di pelayanan
kesehatan dan masyarakat. 1
a) Pencegahan Level Individu
1) Upaya Kebersihan Personal dan Rumah
Terdapat beberapa prinsip yang perlu diikuti untuk membantu mencegah
persebaran
virus pernapasan, yaitu menjaga kebersihan diri/personal dan rumah dengan cara:
a. Mencuci tangan lebih sering dengan sabun dan air setidaknya 20 detik atau
menggunakan hand sanitizer, serta mandi atau mencuci muka jika
26

memungkinkan, sesampainya rumah atau di tempat bekerja, setelah


membersihkan kotoran hidung, batuk atau bersin dan ketika makan atau
mengantarkan makanan.
b. Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang belum dicuci
c. Jangan berjabat tangan
d. Hindari interaksi fisik dekat dengan orang yang memiliki gejala sakit
e. Tutupi mulut saat batuk dan bersin dengan lengan atas dan ketiak atau dengan
tisu lalu langsung buang tisu ke tempat sampah dan segera cuci tangan
f. Segera mengganti baju/mandi sesampainya di rumah setelah berpergian
g. Bersihkan dan berikan desinfektan secara berkala pada benda- benda yang
sering disentuh dan pada permukaan rumah dan perabot (meja, kursi, dan
lainlain), gagang pintu, dan lain-lain.
2) Peningkatan Imunitas Diri dan Mengendalikan Komorbid Dalam melawan
penyakit COVID-19, menjaga system Imunitas diri merupakan hal yang penting,
terutama untuk mengendalikan penyakit penyerta (komorbid). Terdapat beberapa
hal yang dapat meningkatan imunitas diri pada orang yang terpapar COVID19,
yaitu sebagai berikut:
a. Konsumsi gizi seimbang
b. Aktifitas fisik/senam ringan
c. Istirahat cukup
d. Suplemen vitamin
e. Tidak merokok
f. Mengendalikan komorbid (misal diabetes mellitus, hipertensi, kanker).
b) Level Masyarakat
1) Pembatasan Interaksi Fisik (Physical contact/physical distancing)
a. Tidak berdekatan atau berkumpul di keramaian atau tempat-tempat umum,jika
terpaksa berada di tempat umum gunakanlah masker.
b. Tidak menyelenggarakan kegiatan/pertemuan yang melibatkan banyak peserta
(mass gathering).
c. Hindari melakukan perjalanan baik ke luar kota atau luar negeri.
d. Hindari berpergian ke tempat-tempat wisata.
e. Mengurangi berkunjung ke rumah kerabat/teman/saudara dan mengurangi
menerima kunjungan/tamu.
27

f. Mengurangi frekuensi belanja dan pergi berbelanja. Saat benar-benar butuh,


usahakan bukan pada jam ramai.
g. Menerapkan Work From Home (WFH)
h. Jaga jarak dengan orang lain minimal 1 meter (saat mengantri, duduk di
bus/kereta).
i. Untuk sementara waktu, anak sebaiknya bermain sendiri di rumah.
j. Untuk sementara waktu, dapat melaksanakan ibadah di rumah.
2) Menerapkan Etika Batuk dan Bersin
a. Jika terpaksa harus bepergian, saat batuk dan bersin gunakan tisu lalu
langsung buang tisu ke tempat sampah dan segera cuci tangan
b. Jika tidak ada tisu, saat batuk dan bersin tutupi dengan lengan atas dan ketiak.
3) Karantina Kesehatan
Sesuai dengan Undang-undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, untuk mengurangi penyebaran suatu wabah perlu dilakukan Karantina
Kesehatan, termasuk Karantina Rumah, Pembatasan Sosial, Karantina Rumah
Sakit, dan Karantina Wilayah.
4) Jaga Jarak Fisik dan Pembatasan Sosial (Physical and Social Distancing)
Pembatasan sosial adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah. Pembatasan sosial ini dilakukan oleh semua orang di wilayah yang
diduga terinfeksi penyakit. Pembatasan sosial berskala besar bertujuan untuk
mencegah meluasnya penyebaran penyakit di wilayah tertentu. Pembatasan sosial
berskala besar paling sedikit meliputi: meliburkan sekolah dan tempat kerja;
pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau
fasilitas umum. Selain itu, pembatasan social juga dilakukan dengan meminta
masyarakat untuk mengurangi interaksi sosialnya dengan tetap tinggal di dalam
rumah maupun pembatasan penggunaan transportasi publik.
Pembatasan sosial dalam hal ini adalah jaga jarak fisik (physical distancing), yang
dapat
dilakukan dengan cara:
a. Dilarang berdekatan atau kontak fisik dengan orang mengatur jarak terdekat
sekitar 1-2 meter, tidak bersalaman, tidak berpelukan dan berciuman.
b. Hindari penggunaan transportasi publik (seperti kereta, bus, dan angkot) yang
tidak perlu, sebisa mungkin hindari jam sibuk ketika berpergian.
c. Bekerja dari rumah, jika memungkinkan dan kantor memberlakukan ini.
28

d. Dilarang berkumpul massal di kerumunan dan fasilitas umum.


e. Hindari berkumpul teman dan keluarga, termasuk berkunjung/bersilaturahmi tatap
muka dan menunda kegiatan bersama. Hubungi mereka dengan telepon internet,
dan media sosial.
f. Gunakan telepon atau layanan online untuk menghubungi dokter atau fasilitas
lainnya.
g. Jika anda sakit, Dilarang mengunjungi orang tua/lanjut usia. Jika anda tinggal satu
rumah dengan mereka, maka hindari interaksi langsung dengan mereka.1,2

B. Syarat Pemulangan Pasien COVID-19


Pasien yang dirawat dengan diagnosa infeksi COVID-19 dapat dipulangkan apabila hasil
pemeriksaan PCR negatif 2 kali berturut-turut dalam selang waktu 2 hari. Apabila tidak
tersedia pemeriksaan PCR maka pemulangan pasien COVID-19 didasari oleh:
a) Klinis perbaikan tanpa oksigen dan radiologis perbaikan, dan
b) Perbaikan klinis dengan saturasi oksigen lebih 95%

Tanda obyektif dapat diketahui dengan tiga pengamatan look, listen and feel.16 Look
berarti melihat adanya gerakan pengembangan dada, listen adalah mendengarkan suara
pernafasan. Seringkali suara mengorok dan bunyi gurgling (bunyi cairan) menandakan
adanya hambatan jalan nafas, Sedangkan feel adalah merasakan adanya hembusan udara
saat klien melakukan ekspirasi yang bisa kita rasakan pasa pipi maupun punggung tangan
penolong.
Pengkajian/penilaian akan kepatenan jalan nafas, meliputi pemeriksaan mengenai
adanya abstruksi jalan nafas atau tidak. Pada pasien yang dapat berbicara, dapat dianggap
bahwa jalan nafas bersih/clear. Dilakukan pula pengkajian adanya suara nafas tambahan
misalnya stridor, wheezing. . Pada pasien COVID-19 terdapat beberapa manifestasi klinis
yang berhubungan yaitu:
a. Uncomplicated illness
Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung
tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan
imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas.

b. Pneumonia ringan
29

Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia berat. Anak dengan
pneumonia ringan mengalami batuk atau kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi
napas: <2 bulan, ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit dan tidak
ada tanda pneumonia berat.

c. Pneumonia berat / ISPA berat


Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran
napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau
saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar. Pasien anak dengan batuk atau kesulitan
bernapas, ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
• sianosis sentral atau SpO2 <90%;
• distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat);
• Tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan
kesadaran, atau kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2 bulan,
≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit;>5 tahun, ≥30x/menit.
Diagnosis ini berdasarkan klinis; pencitraan dada yang dapat menyingkirkan komplikasi.

d. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


e. Septik
f. Syok Septik
Seperti yang sudah dijelakan di atas pengkajian/penilaian akan kepatenan jalan nafas
pada pasien COVID 19 juga dapat diketahui dengan tiga pengamatan look, listen and feel.

a. LOOK:16
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan kesadaran, atau
sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Kaji adanya
deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris jalan nafas seperti darah, muntahan,
dan gigi yang tanggal.16
 Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway bebas, namun
tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia
 Agitasi memberi kesan adanya hipoksia Nafas cuping hidung
30

 Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan


dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut
 Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang merupakan bukti
adanya gangguan airway.

b. LISTEN:16
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
 Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
 Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas setinggi
larings (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
 Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang membutuhkan napas
pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal napas

c. FEEL:16
 Rasakan aliran udara dari mulut/ hidung
 Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea untuk menentukan apakah
terjadi deviasi dari midline.
 Palpasi apakah ada krepitasi

Kemudian setelah dilakukan pengamatan/pengkajian jalan nafas, terdapat tiga jenis


airway definitive dalam airway manajemen yaitu: pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan
airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif
didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara lain adanya apnea, ketidakmampuan
mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain, kebutuhan untuk melindungi
airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus, ancaman segera atau bahaya potensial
sumbatan airway, adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas
(GCS<8),ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan dan pemberian
oksigen tambahan lewat masker wajah (ATLS (Advance Trauma Life Support, 2008).15

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering digunakan.
Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada
31

pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan dalam
pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik
tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan
intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical. Apabila
pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara ATLS
(Advance Trauma Life Support) (2008).15

C. Prinsip-prinsip Panduan Airway Management pada pasien COVID-19


 Pasien SARS-COV-2 yang dicurigai menunjukkan tanda-tanda kegagalan pernapasan
hipoksemik harus diintubasi secara proaktif, sedini mungkin. Tanda mungkin
termasuk persyaratan FiO2> 50%, tanda-tanda klinis kelelahan pernapasan meskipun
ada tambahan oksigen, atau ketidakstabilan hemodinamik. Jangan menunggu
kemunduran yang cepat terjadi. 17
 Pasien gagal pernapasan yang tidak stabil seperti itu di UGD - apakah di bawah
perawatan Layanan Gawat Darurat atau "Rawat Inap" - harus dikelola oleh dokter
yang paling berpengalaman dan segera tersedia, biasanya Dokter Darurat yang
bertugas. Dalam kasus di mana "berkonsultasi" / pasien yang dirawat dapat
dipertahankan dalam keadaan stabil tanpa intubasi, akses cepat konsultasi tim ICU
dan transfer ke ICU didorong.
 Prinsip etika seputar alokasi sumber daya rasional, kesesuaian / kesia-siaan, dan
keinginan pasien harus dipertimbangkan sebelum melanjutkan. Pedoman masa depan
sedang dalam pengembangan untuk membantu dalam pemilihan pasien yang tepat.17
 Dari perspektif oksigenasi:
- Terapi lini pertama untuk COVID-19 yang dicurigai / dikonfirmasi adalah
penggunaan oksigen oleh nasal canul hingga maksimal 6L / menit
- Jika pasien tetap hipoksemia pada 6 LPM oksigen dengan menggunakan nasal canul,
lanjutkan ke pemberian masker non-rebreathing dengan filter pada laju aliran hingga
20 LPM.
- Jika pasien tetap hipoksemia dan / atau dispneu pada masker non-rebreathing maka
pasien harus dipindahkan ke ruang tekanan negatif, ruang pribadi dengan pintu
tertutup atau ruang bersalin COVID, dengan petugas kesehatan mengadopsi PPE
udara / tetesan / kontak penuh sebelum masuk ruangan dan pada saat itu terapi
32

oksigen aliran tinggi (HFNO- Maxtec / Airvo / Nasal kanul > 6L / mnt) terapi dan /
atau ventilasi non-invasif (NIV - termasuk BiPAP dan / atau CPAP) dapat dimulai
- Untuk COVID-19 pasien yang dicurigai dan / atau dipastikan refrakter terhadap terapi
nasal canul, terapi high-flow nasal oxygen (HFNO) harus dipertimbangkan sebelum
penggunaan ventilasi non-invasif (NIV)18

 Catatan penting: jika prosedur penghasil aerosol tidak dapat dihindarkan, prosedur
tersebut harus dilakukan di ruang tekanan negatif (AIIR) atau area kohort yang ditunjuk
di mana semua staf berada dalam Kontak + Tetesan + PPE Udara.
 Jaga agar jumlah orang dan durasi paparan minimum.
 Kenakan APD yang benar: Kontak + Tetesan + Udara. DON dan DOFF di bawah
pengawasan dengan pemeriksaan silang.
 Ucapkan rencana yang jelas dan gunakan daftar periksa (Lampiran A & B) bila
memungkinkan.
 Optimalkan perawatan pasca-intubasi dengan analgesik, sedasi, dan ventilasi pelindung
paru-paru.
33

Gambar 8. Prinsip Airway Management pada pasien COVID-19 19

D. Dasar Airway Management untuk pasien suspek ataupun terkonfirmasi COVID-19 20


Pengelolaan jalan nafas untuk pasien dengan suspek atau konfirmasi COVID-19 mengikuti
prinsip yang sama untuk penanganan pasien gawat darurat dan non gawat darurat.
1. Persiapan
a. Persiapan institusi (peralatan untuk penanganan rutin dan untuk menangani
adanya kesulitan; jumlah staff yang terlatih memadahi; ketersediaan ceklist
tracheal intubation, APD, dll) harus tercapai sebelum melakukan penanganan
34

jalan nafas. Saat persiapan belum tersedia, direkomendasikan untuk segera


diusahakan untuk ada. Sumber dari guideline ini dapat menjadi bentuk dari
persiapan.
b. Persiapan tim dan individual membutuhkan pengetahuan mengenai persiapan
institusi, keterampilan yang memadahi, bagaimana menggunakan APD dengan
baik dan menilai jalan nafas pasien untuk memprediksi hambatan dan
mempersiapkan strategi jalan nafas. Pada hal ini dapat menggunakan MACOCHA
(Malampati, obstructive sleep apnoea, c-spine movement, mouth opening, coma,
hypoxaemia, non-anestestist intubator) hal ini tidak sering digunakan tetapi hal ini
sudah tervalidasi dan direkomendasi
2. Membuat COVID-19 tracheal intubation trolley atau pack.
Pasien dengan penyakit kritis butuh dintubasi di lokasi selain ICU. Pada ICU, intubasi
trakea sering kali diletakan pada satu ruangan. Persiapkan trolley untuk intubasi
trakea atau dalam satu pack yang dapat dibawa ke pasien dan didekontaminasi setelah
digunakan. Pada The supportin information (AAPDndix S1) pada ilustrasi materi
online dan menyediakan petunjuk.

Gambar 9. Airway Map Tracheal Intubation Pack 21

Airway Map adalah lembaran 30x14 inci yang dicetak / dilaminasi (dapat
dibersihkan) yang digunakan untuk memastikan tim memiliki semua yang mereka
butuhkan sebelum memasuki ruangan. Ini dirancang agar sesuai dengan meja samping
tempat tidur standar. Hijau adalah rencana A, kuning adalah Rencana B dan perangkat
penyelamat, merah adalah rencana C. Beberapa orang menginginkan peralatan yang
berbeda tetapi ini adalah cara untuk melakukan percakapan dengan tim, dan untuk
35

mengurangi kebutuhan trolley atau tas jalan napas di dalam ruangan, yang tidak
diperbolehkan karena kemungkinan kontaminasi.21
3. Memiliki strategi
Strategi untuk jalan nafas (rencana utama dan rencana penyelamatan, dimana
dilakukan peralihan) harus dipersiapkan terlebih dahulu dan tim untuk jalan nafas dan
dijelaskan sebelum penanganan jalan nafas dilakukan
4. Meminimalkan jumlah staff
Bukan merupakan suatu argumen untuk menggunakan solo operator, tetapi untuk staff
yang tidak memiliki peran langsung dalam prosedur penanganan jalan nafas
sebaiknya tidak berada di ruang yang sama saat tindakan pengelolaan jalan nafas
dilakukan. Tiga individu yang dibutuhkan; seorang intubator, seorang asisten, orang
ketiga untuk memberikan obat dan memonitoring. Seorang untuk membantu dapat
melihat dari luar ruangan dan membantu dengan cepat saat dibutuhkan.17
5. Menggunakan pakaian sesuai, cek APD
Pada saat darurat termasuk pada henti jantung, APD harus digunakan dan diperiksa
sebelum melakukan tindakan penanganan jalan nafas, dan staff sebaiknya tidak
membahayakan diri sendiri pada keadaan apapun.
6. Menghindari prosedur yang menimbulkan aerosol secara maksimal
Jika tersedia alternatif yang lebih sesuai, gunakanlah. Jika terjadi peningkatan aerosol,
ruangan dianggap telah terkontaminasi, pencegahan transmisi udara APD harus
digunakan dan runagan harus dibersihkan dengan seksama setelah 20 menit.
7. Fokus pada kecepatan dan keahlian
Tujuanya adalah mencapai kesuksesan dalam penanganan jalan nafas pada percobaan
pertama. Tidak terburu-buru tetapi memberikan yang terbaik untuk setiap percobaan.
Percobaan berulang kali dapat meningkatkan resiko untuk banyak petugas dan pasien.
8. Mengguanakn teknik yang dapat bekerja pada berbagai pasien, termasuk ketika
ditemui kesulitan. Teknik yang sebenarnya bergantung kepada praktik di masing-
masing institusi dan alat-alat yang tersedia. Alat-alat yang dibutuhkan antara lain : 17
a. Kit Dump
b. Videolaryngoscopy untuk intubasi trakea
c. 2-person-2-handed mask ventilation dengan VE-grip (gambar 6)
d. Supraglottic airway devices (SGA) generasi kedua untuk penyelamatan jalan
napas (contoh : i-gel, Ambu Aura Gain, LMA ProSeal, LMA Protector).
36

Gambar 10. Skor MACOCHA & prediksi kesulitan dalam intubasi.18

Gambar 11. Rencana personalia untuk intubasi trakea pada pasien dengan COVID-19.18

9. Peralatan penyelamatan jalan napas harus dapat berfungsi baik. Lihat gambar diatas.
10. Jangan menggunakan Teknik yang belum pernah digunakan sebelumnya atau belum
pernah diajarkan sebelumnya. Sekali lagi, alasan dari pernyataan di atas adalah bahwa
ini bukanlah waktu untuk mencoba-coba teknik baru.
11. Pastikan semua kit jalan napas berada di ruangan sebelum intubasi trakea dilakukan.
Hal ini meliputi troli airway dan cognitive aid serta strategi pertolongan.
a. Selalu memonitor waveform capnography.
b. Pemberian suction.
c. Mempersiapkan ventilator.
d. Memeriksa akses intravena (i.v.)
37

12. Gunakan ceklis intubasi trakea. Ini di desain untuk memastikan persiapan alat dan
harus di cek kembali sebelum memasuki ruangan pasien sebagai bagian dari
persiapan.
13. Gunakan cognitive aid apabila terjadi kesulitan. Kesulitan dalam pertolongan jalan
napas menyebabkan cognitive overload dan kegagalan dalam melakukan pekerjaan
secara optimal. Cognitive aid dapat membantu tim untuk fokus dan meningkatkan
transisi melalui algoritma.
14. Gunakan bahasa yang jelas. Berkomunikasi mungkin sulit saat menggunakan APD
dan staf mungkin saja bekerja di luar area praktik normal. Maka berikan instruksi
yang sederhana. Berbicaralah secara jelas dan keras, namun tidak berteriak. Saat
menerima instruksi, ulangi apa yang telah dipahami. Apabila antara staf belum saling
mengenal, maka bisa menggunakan penanda nama untuk mempermudah komunikasi.

Gambar 12. Contoh Kit Dump. Bagian depan dari emergensi kit harus dilepas dari kit Dump
karena risiko kontaminasi dan dapat diletakkan di luar ruangan dengan akses langsung
apabila dibutuhkan.18
38

Gambar 13. (a). Teknik two handed-person bag dengan posisi VE hand ; orang kedua
menekan bag. (b). Posisi C hand harus dihindari.18
BAB III
KESIMPULAN

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum

pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia.Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19

antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa

inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19

yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan

bahkan kematian terutama terjadi pada lansia dikarenakan imunitas yang menurun dan juga

komplikasi yang diderita.

Pasien COVID-19 yang dicurigai menunjukkan tanda-tanda kegagalan pernapasan

hipoksemik harus diintubasi secara proaktif, sedini mungkin. 17 Pasien gagal pernapasan yang

tidak stabil harus dikelola oleh dokter yang paling berpengalaman dan segera tersedia,

biasanya Dokter Darurat yang bertugas. Terapi lini pertama untuk COVID-19 yang

dicurigai / dikonfirmasi adalah penggunaan oksigen baik oleh nasal canul, masker non-

rebreathing dengan filter maupun terapi oksigen aliran tinggi (HFNO- Maxtec / Airvo / Nasal

kanul > 6L / mnt) dan / atau ventilasi non-invasif (NIV - termasuk BiPAP dan / atau CPAP).17

Pengelolaan jalan nafas untuk pasien dengan suspek atau konfirmasi COVID-19

merupakan hal yang penting dalam kondisi infeksi COVID-19 yang berat. Hal yang tidak

kalah penting juga dalam penanganan COVID-19 adalah tindakan pencegahan dan mitigasi

adapu hal tersebut meliputi upaya kebersihan personal dan rumah peningkatan imunitas diri

dan mengendalikan komorbid dalam melawan penyakit COVID-19, pembatasan interaksi

fisik, menerapkan etika batuk dan bersin, karantina kesehatan, jaga jarak fisik dan

pembatasan sosial.1

38
BAB IV
QUESTION & ANSWER
1. Pertanyaan : Bagaimana tatalaksana pada pasien COVID-19 ringan ?
Jawaban :Pasien dengan penyakit ringan tidak memerlukan intervensi rumah sakit,
tetapi isolasi diperlukan untuk mencegah penularan virus lebih luas, sesuai
strategi dan sumber daya nasional. Catatan: Sebagian besar pasien yang
bergejala ringan tidak memerlukan perawatan rumah sakit, tetapi perlu
diimplementasikan PPI yang sesuai dengan standard untuk mencegah dan
memitigasi penularan. Hal ini dapat dilakukan di rumah sakit, jika hanya
terjadi kasus secara sporadis atau klaster kecil, atau di tempat nontradisional
yang digunakan untuk tujuan ini; atau di rumah. Beri pasien COVID-19
ringan pengobatan gejala seperti antipiretik untuk demam. Jelaskan kepada
pasien COVID-19 ringan tanda-tanda dan gejala-gejala penyulit. Jika
menunjukkan gejala mana pun dari gejala tersebut, pasien disarankan untuk
segera mencari pertolongan melalui sistem rujukan nasiona

2. Pertanyaan : Bagaimana cata Pencegahan dan Pengendalian Infeksi COVID 19 ?


Jawaban : Mencuci tangan lebih sering dengan sabun dan air setidaknya 20 detik atau
menggunakan hand sanitizer, Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut
dengan tangan yang belum dicuci, Jangan berjabat tangan, Hindari interaksi
fisik dekat dengan orang yang memiliki gejala sakit, Tutupi mulut saat batuk
dan bersin dengan lengan atas dan ketiak atau dengan tisu lalu langsung
buang tisu ke tempat sampah dan segera cuci tangan

3. Pertanyaan: Tindakan apa yang harus dilakukan jika pasien tetap hipoksemia atau dispneu
pada masker non-rebreathing?
Jawaban : Pasien harus dipindahkan ke ruang tekanan negatif, ruang pribadi dengan
pintu tertutup atau ruang bersalin COVID, dengan petugas kesehatan
mengadopsi PPE udara / tetesan / kontak penuh sebelum masuk ruangan
dan pada saat itu terapi oksigen aliran tinggi (HFNO- Maxtec / Airvo /
Nasal kanul > 6L / mnt) terapi dan / atau ventilasi non-invasif (NIV -
termasuk BiPAP dan / atau CPAP) dapat dimulai.

39
40

4. Pertanyaan : Mengapa penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas


hipoksemi?
Jawaban : Dapat digunakan pada kondisi tertentu seperti edema paru kardiogenik dan
gagal napas pasca operasi atau penyakit virus pandemik (merujuk pada
studi SARS dan pandemi influenza), karena hal ini menyebabkan
keterlambatan dilakukannya intubasi, volume tidal yang besar dan injuri
parenkim paru akibat barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas
menunjukkan tingkat kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS
mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil,
gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan
NIV.

5. Pertanyaan : Kapan pasien COVID-19 dapat dipulangkan?


Jawaban : Apabila hasil pemeriksaan PCR negatif 2 kali berturut-turut dalam selang
waktu 2 hari. Apabila tidak tersedia pemeriksaan PCR maka pemulangan
pasien COVID-19 didasari oleh: - Klinis perbaikan tanpa oksigen dan
radiologis perbaikan, dan perbaikan klinis dengan saturasi oksigen lebih
95%.
41
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19). Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Maret 2020

2. Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di


Indonesia Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Maret 2020

3. Patwa A, Shah A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to


anaesthesia. Indian J Anaesth. 2015;59(9):533.

4. Blaus B. Medical gallery of Blausen medical 2014. Wiki J Med. 2014;1(2):10.

5. Ganong WF. Buku ajar: Fisiologi kedokteran. In EGC; 2008.

6. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat-E-Book. Elsevier Health Sciences;
2014. 260 p.

7. Faiz O, Moffat D. At a Glance anatomi. Jakarta: Erlangga Jakarta. 2004;63.

8. Silbernagl S, Despopoulos A. Color Atlas of Physiology. 6th. New York: Thieme;


2009.

9. Hall JE, Guyton AC. Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran. Elsevier; 2014.

10. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta
Egc. 2006;437–50.

11. Heil M, Hazel AL, Smith JA. The mechanics of airway closure. Respir Physiol
Neurobiol. 2008;163(1–3):214–21.

12. Majumder N. Physiology of Respiration. IOSR J Sport Phys Educ. 2015;16–7.

13. Apfelbaum JL, Hagberg CA, Caplan RA, Connis RT, Nickinovich DG, Benumof JL,
et al. Practice guidelines for management of the difficult airway: An updated report by
the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the
Difficult Airway. Vol. 118, Anesthesiology. 2013. p. 251–70.

14. Bingham RM, Proctor LT. Airway Management. Vol. 55, Pediatric Clinics of North
America. 2008. p. 873–86.

41
42

15. American College Of Surgeons Commitee On Trauma. (2008) Trauma toraks. Dalam
ATLS Student Course Manual 8th edition. USA

16. Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan Gawat
Darurat Napas. Jakarta: FK UI.

Anda mungkin juga menyukai