Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Fraktur lebih sering terjadi pada
laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, wanita lebih
sering mengalami fraktur daripada lakilaki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon
pada monopouse (Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas
seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang
dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan
subjektif dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan secara
verbal maupun non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi
oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa
lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan
seseorang untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa
dilakukan (Engram, 1999)
Menurut (Tanra, 2007 dalam Akbar, 2009), jumlah penderita
mengalami fraktur di Amerika Serikat sekitar 25 juta orang pertahun. Dari
jumlah ini, mayoritas mereka masih menderita nyeri karena
pengelolaannya yang belum adekuat. Pengelolaan nyeri fraktur, bukan saja
merupakan upaya mengurangi penderitaan klien, tetapi juga meningkatkan
kualitas hidupnya.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta

1
pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat
TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan
nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar
20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB
juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien
TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000
kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif
sekitar 110 per 100.000 penduduk.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melaksanakan Manajemen Asuhan Gizi Klinik (MAGK) di Rumah
Sakit TK.II Iskandar Muda , Banda Aceh pada pasien Fraktur Femur +
Tuberculosis
C. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melakukan assessment gizi pada pasien Fraktur
Femur + Tuberculosis di Rumah Sakit TK.II Iskandar Muda ,
Banda Aceh
b. Mahasiswa mampu mendiagnosis kasus gizi pada pasien pasien
Fraktur Femur + Tuberculosis di Rumah Sakit TK.II Iskandar
Muda , Banda Aceh

2
c. Mahasiswa mampu merancang intervensi gizi pasien Fraktur
Femur + Tuberculosis di Rumah Sakit TK.II Iskandar Muda ,
Banda Aceh
d. Mahasiswa mampu melaksanakan monitoring dan evaluasi gizi
pada pasien Fraktur Femur + Tuberculosis di Rumah Sakit TK.II
Iskandar Muda , Banda Aceh
e. Mahasiswa mampu melaksanakan konsultasi gizi pada pasien
Fraktur Femur + Tuberculosis di Rumah Sakit TK.II Iskandar
Muda , Banda Aceh

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Menambah pengalaman, pengetahuan dan wawasan dalam melakukan
proses asuhan gizi terstandar .

2. Bagi Pasien
Mendapatkan informasi pola makan yang baik dan sehat sehingga
merubah perilaku menjadi lebih baik dan meningkatkan kesadaran
tentang kesehatan.

3. Bagi Instansi Program Gizi dan Kesehatan


Untuk lebih meningkatkan pelayanan Gizi dan kesehatan , serta
menjadi reverensi untuk tinjauan kasus selanjutnya.

3
E. Kompetensi PKL
1. Melakukan penapisan gizi (nutrition screening) pada klien/pasien
secara individu (kes. AG.02.29.01)

2. Melakukan pengkajian gizi (nutrition asessment) pasein tanpa


komplikasi (kes.AG.02.30.01)

3. Membantu dalam pengkajian gizi (nutrition asessment) pasien dengan


komplikasi (kes.AG.02.31.01)

4. Melaksanaka asuhan gizi untuk klien sesuai kondisi: asupan gizi,


klinis, biokimia, sosial budaya dan kepercayaan dari berbagi golongan
umur (kes.AG.02.40.01)

5. Melakukan monitoring dan evaluasi intervensi gizi pasien dan tindak


lanjut (kes.AG.02.33.01)

6. Mendidik pasien/klien dalam rangka promosi kesehatan, pencegahan


penyakit dan terapi gizi untuk kondisi tanpa komplikasi
(kes.AG.02.09.01)

7. Berpenampilan (unjuk kerja) sesuai dengan kode etik profesi gizi


(kes.AG.01.01.01)

8. Merujuk klien/pasien kepada ahli lain (dokter PJP atau dietesien


senior) pada saat situasi berada diluar kompetensinya
(kes.AG.01.02.01)

9. Menggunakan teknologi terbaru dalam kegiatan informasi dan


komunikasi (kes.AG.01.06.01)

10. Berpartisipasi dalam konferensi tim kesehatan untuk mendiskusikan


terapi dan rencana pemulangan pasien (kes.AG.01.36.01)

11. Mendukomentasikan kegiatan pelayanan gizi (kes. Ag.02.07.01).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur Femur
1. Definisi Fraktur Femur
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari
tulang femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004)
fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh
benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga
didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur
femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya
kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah)
dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung
pada paha (Helmi, 2012).
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat
disimpulkan bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi
kehilangan kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung maupun trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan
jaringan lunak(Guyton & Hall, 2002)

2. Klasifikasi Fraktur Femur


Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis
berdasarkan letak garis fraktur seperti dibawah ini:
a. Fraktur Intertrokhanter Femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari
femur, sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis.
Fraktur ini memiliki risiko nekrotik avaskuler yang rendah
sehingga prognosanya baik. Penatalaksanaannya sebaiknya dengan
reduksi terbuka dan pemasangan fiksasi internal. Intervensi

5
konservatif hanya dilakukan pada penderita yang sangat tua dan
tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
b. Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor,
diklasifikasikan menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1)
Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor; 2)
Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas
trokhanter minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas
trokhanter minor. Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka
dengan fiksasi internal dan tertutup dengan pemasangan traksi
tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips
selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada pasien dengan
usia muda.

c. Fraktur Batang Femur


Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma
langsung, secara klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang
disertai dengan kerusakan jaringan lunak, risiko infeksi dan
perdarahan dengan penatalaksanaan berupa debridement, terapi
antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup
dengan penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin traksi
serta operatif dengan pemasangan plate-screw.

d. Fraktur Suprakondiler Femur


Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi
berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut
Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus
yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-
phroc dare screw.

6
e. Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi
dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada
sumbu femur ke atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi
tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan gips minispika sampai union sedangkan reduksi terbuka
sebagai alternatif apabila konservatif gagal.

3. Etilogi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban Fraktur baban atau fraktur kelelahan
terjadi pada orang- orang yang baru saja menambah tingkat
aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata
atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

4. Patofisiologis
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit
(Smelter dan Bare, 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru

7
umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Brunner dan Suddarth, 2002 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak
dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka
dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan
lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer
dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang
akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena
penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat
terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007). Reduksi
terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya
tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami
kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

5. Gambaran klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local,
dan perubahan warna.

8
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias
di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang
normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur.
d. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi
sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari
setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).

6. Komplikasi Fraktur Femur

Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam


beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48
jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan
fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera.Adapun
beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:

a. Syok hipovolemik

9
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas,
toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat
vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar
sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum,
dkk, 2008).
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple
atau cidera remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria
dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan
oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan
memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak,
paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera
gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia
(Suratun, dkk, 2008).

c. Sindrom kompartemen (Volkmann’s Ischemia)

Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi


peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu
di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan
intra kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi
jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan
sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan
tersebut terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus
oleh tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh
epimisium. Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat,

10
parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara
anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan
paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah
tungkai bawah dan tungkai atas (Handoyo, 2010).

d. Nekrosis avaskular tulang


Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali
mengakibatkan iskemia tulang yang berujung pada nekrosis
avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput femoris,
bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus
(Suratum, 2008)

e. Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah
mencapai ukuran normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena
sel-sel spesifik yaitu sel-sel parenkim yang menjalankan fungsi otot
tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang
tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah
tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum, dkk, 2008).

7. Penatalaksanaan Diet
a. Tujuan pemberian diet
Untuk memenuhi kebutuhan energi dan kebutuhan
metabolisme, perbaikan jaringan, memberikan makanan yang
berenergi dan zat gizi yang cukup agar status gizia pasien segera
kembali normal dan mempercepat proses penyembuhan dan
meningkatkan daya tahann tubuh pasien

b. Jenis diet

11
Jenis diet yang diberikan adalah Diet TKTP .

c. Syarat diet
1. Energi diberikan sebesar 60-70 % dari kebutuhan energi total.
2. Protein diberikan sebesar 25-30 % dari kebutuhan total.
3. Lemak diberikan sebesar 15-20 % dari kebutuahan.
4. Cukup vitamin dan mineral
5. Mudah dicerna
6. Diberikan secara bertahap bila kondisi pasien dalam keaadan
darurat
7. Hindari makanan dan bumbu yang merangsang.

d. Makanan yang dianjurkan dan harus dihindari


 Makanan yang dianjurkan
Sumber kalori meliputi : nasi , kentang , roti , gandum ,
jagung dan lain lain
Sumber protein hewani : ayam , daging , hati , telur, susu
dan keju
Sumber protein nabati : kacang-kacangan , tempe , tahu dan
oncom
 Makanan yang harus dihindari
Makanan yang harus dihindari adalah makanan yang yang
terlalu manis dan gurih yang dapat mengurangi napsu
makan seperti : gula-gula , dodol , cake dan sebagainya .

B. Tubercolusis
1. Definisi Tuberculosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.(Asti
retno.2009)

12
2. Klasifikasi Tubercolusis
Menurut Asti retno.2009 Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang
terkena adalah sebagai berikut :
a. Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kulit,
kelajar limpe, usus, ginjal, dan alat kelamin.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu
pada TB Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada
3. menunjukkan gambaran tuberkulosis.
4. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif.
5. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS
6. pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada
7. perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

13
2. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan

3. Etilogi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini
termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus
Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies
diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi
pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi
kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2 μm-4 μm
dan lebar 0,2 μm–0,5 μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat
berbentuk manik-manik atau granuler.
Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat
juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis
merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob
obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon
sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan
pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8
minggu (Putra, 2010).
Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika
dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman
ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet.
Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya
akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom
serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan
asam) (Herchline, 2013).

14
Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia
daripada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan
pertumbuhannya yang bergerombol. Mikobakteria ini kaya akan lipid.,
mencakup asam mikolat (asam lemak rantai-panjang C78-C90), lilin dan
fosfatida.Dipeptida muramil (dari peptidoglikan) yang membentuk
kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan
granuloma; fosfolipid merangsang nekrosis kaseosa. Lipid dalam batas-
batas tertentu bertanggung jawabterhadap sifat tahan-asam bakteri
(Brooks, et al. 1996).

Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :


1. Faktor host terdiri dari:
a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB.
b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga
memiliki peran penting dalam aktivasi makrofag dan
membatasi pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar
vitamin D dalam serum akan meningkatkan risiko terinfeksi
TB.
c. Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit
seperti keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum
memiliki risiko untuk terkena TB.
d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki
risiko untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain
itu, pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-
inhibitor juga memiliki risiko untuk terkena TB.

15
e. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB
lebih banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan
anak-anak (Horsburgh, 2009).
Faktor lingkungan Orang yang tinggal serumah dengan seorang
penderita TB akan berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang
tinggal di lingkungan yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki
risiko lebih tinggi untuk terkena TB. Selain itu sosioekonomi juga
berpengaruh terhadap risiko untuk terkena TB dimana sosioekonomi
rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB (Horsburgh,
2009).
Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah
anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB
positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat
(higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum
(panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak
terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang
terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius,
terutama dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif. Berarti bayi dari
seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi
terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin
besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet
nuclei) yang infeksius (Kartasasmita, 2009).

4. Patofisiologi
Penularan TB Paru terjadi karena kuman mycobacterium
tuberculosis. dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet
nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat hidup dalam udara bebas
selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung pada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana lembab dan gelap kuman
dapat tahan berhari– hari sampai berbulan–bulan. Bila partikel ini

16
terhisap oleh orang sehat maka ia akan menempel pada jalan nafas atau
paru–paru.
Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari
5 mikrometer. Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil,
kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan
oleh makrofag keluar dari cabang trakea bronkhial bersama gerakan
sillia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru maka ia
akan tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini
ia dapat terbawa masuk  ke organ tubuh lainnya (Asti retno.2009).

Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang


tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer
atau sarang ghon (fokus). Sarang primer ini dapat terjadi pada semua
jaringan paru, bila menjalar sampai ke pleura  maka terjadi efusi pleura.
Kuman dapat juga masuk ke dalam saluran gastrointestinal, jaringan
limfe, orofaring, dan kulit. Kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar keseluruh organ, seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk
ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh bagian
paru dan menjadi TB milier. Sarang primer akan timbul peradangan
getah bening menuju hilus  (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran
getah bening hilus (limfangitis regional). Sarang primer limfangitis lokal
serta regional menghasilkan komplek primer (range).  Proses sarang
paru ini memakan waktu 3–8 minggu. Berikut ini menjelaskan skema
tentang perjalanan penyakit TB Paru hingga terbentuknya tuberkel ghon.

Skema Patofisiologi penyakit TB Paru

Basil Tuberculosis

Terhirup individu yang rentan

Alveoli (tempat basil berkumpul dan mempertahankan diri)

17
Sistem imun tubuh berakhir

Proses Inflamasi Tebentuk tuberkel Ghon

Mengalami kolafiksi

Tuberkel Ghon memecah

Penyebaran kuman

Batuk darah.

(Lewish, America Thoraric Society. 2000)

5. Gambaran klinis
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara
klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit
untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah)
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
 Penurunan nafsu makan dan berat badan
 Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah

Gejala khusus:

18
 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara “mengi”.
 suara nafas melemah yang disertai sesak.
 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan
nanah.
 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)
dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya
adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-
kejang.
 Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat
terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC
dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita
TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.

6. Komplikasi
Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana
komplikasi dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah,
mediastinum, pleura ataupun dinding dada (Jeoung dan Lee, 2008).
Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun
tidak. Secara garis besar, komplikasi TB dikategorikan menjadi :
a. Lesi Parenkim
 Tuberkuloma dan thin-walled cavity Sikatriks dan destruksi
paru.
 Aspergilloma.

19
 Karsinoma bronkogenik.
b. Lesi Saluran Nafas
 Bronkiektasis.
 Stenosis trakeobronkial.
 Bronkolitiasis.
c. KomplikasiVaskular
 Trombosis dan vaskulitis.
 Dilatasi arteri bronchial.
 Aneurisma rassmussen.
d. Lesi Mediastinum
 Kalsifikasi nodus limfa.
 Fistula esofagomediastinal.
 Tuberkulosis perikarditis.

e. Lesi Pleura
 Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax.
 Fistula bronkopleura.
 Pneumotoraks.
f. Lesi dinding dada
 TB kosta.

7. Diagnosis tubercolusis
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa
hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
 Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
 Pemeriksaan fisik.
 Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
 Pemeriksaan patologi anatomi (PA). * Rontgen dada (thorax
photo).

20
 Uji tuberkulin.

Diagnosis TB Paru Gejala utama pasien TB paru adalah batuk


berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan
gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari
satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. (Asti retno.2009).

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan


dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan


aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik
untuk suspek TB paru pada lampiran 2. Indikasi Pemeriksaan Foto
Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan
foto toraks.

Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan


sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan
untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.

21
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas
berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti:
pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat
(untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

8. Penatalaksanaan Diet
a. Tujuan diet
Memberikan makanan secukupnya guna memperbaiki dan
mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut serta
memperbaiki status gizi pasien .

b. Jenis diet
1. Diet TETP I (Energi 2600 kkal , protein 100 gr/kg BB)
2. Diet TETP II (Energi 3000 kkal . protein 125 gr/kg BB)
c. Syarat diet
1. Energi 60-70% diberikan sesuai dengan keaadaan penderita
2. Protein 25-30% diberikan tinggi guna untuk menggantikan
sel-sel yang rusak dan meningkatkan kadar albumin dalam
darah.
3. Lemak diberikan cukup yaitu 15-25 % dari kebutuhan
energi total
4. Vitamin dan mineral cukup dari kebutuhan energi total.

d. Makanan yang dianjurkan

22
1. Makanlah berbagai macam buah segar dan sayuran setiap
hari.Pilih sayuran yang berbeda dari berbagai jenis seperti
sayuran hijau tua, sayuran berwarna oranye, kacang, dll.
2. Susu atau produk susu harus dikonsumsi setidaknya 3 kali
sehari.Kalsium dalam susu sangat penting dalam
membangun kesehatan tulang pasien TBC.
3. Untuk produk daging, pilihlah daging tanpa lemak atau
rendah lemak. 10 persen asupan kalori harian harus berasal
dari lemak jenuh dan sekitar 200 mg kolesterol.
4. Jagalah asupan total lemak dan minyak antara 25 - 30
persen kalori harian. Sebagian besar lemak harus berasal
dari lemak tak jenuh ganda dan tak jenuh tunggal yang
ditemukan dalam makanan seperti ikan, kacang-kacangan
dan minyak sayur.
5. Makanlah berbagai macam makanan yang kaya protein
seperti kacang-kacangan dan biji-bijian.Makanlah makanan
kecil sepanjang hari dengan rentang waktu yang singkat.
6. Makanan untuk pasien TB harus sederhana, dipersiapkan
dengan baik dan mudah dicerna. Makanan yang lebih berat
baru dapat diberikan kepada pasien setelah kondisinya
sangat membaik.

e. Makanan yang tidak dianjurkan


1. Gula halus dan gula olahan harus dihindari oleh
penderita TBC. Contohnya seperti roti putih, gula putih,
sereal dan makanan manis seperti kue dan puding.
2. Saus yang kaya akan natrium dan gula juga harus
dihindari. Saus apel atau saus cranberry dapat dijadikan
alternatif.
3. Teh kental dan kopi yang mengandung banyak kafein
harus dihindari karena kafein adalah stimulan TBC.

23
Tapi menurut University of Maryland Medical Center,
teh hijau yang bebas kafein dapat diminum bersama
dengan pengobatan TBC karena mengandung
antioksidan.
4. Acar banyak mengandung natrium. Karena asupan
natrium pada penderita TBC harus dibatasi, maka acar
juga sebaiknya dihindari. Sebanyak 1 - 2 ons acar
mengandung 850 miligram natrium.
5. Pasien TBC dilarang keras mengkonsumsi alkohol atau
minuman beralkohol selama menjalani pengobatan.

24
BAB III
PENATALAKSANAAN ASUHAN GIZI KLINIK

1. Identitas pasien

Nama : Ny. Aminah


Pekerjaan : IRT
Umur : 83 th
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Alamat : Lam Glumpang
Ruangan : Ruang Malahayati
Tgl. Masuk : 15/ 03 / 2017
Tgl. Kasus : 17/ 03/ 2017
Diagnosa : fraktur collum femur + tubercolusis aktif
Berat badan : 40 kg
Tinggi Badan : 150 cm

2. Deskripsi kasus
Pasien datang dengan keluhan nyeri di paha sebelah kanan dan tidak dapat
digerakkan. Keluhan diakibatkan pasien terjatuh dari tempat tidur kurang
lebih seminggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh batu-
batuk dan merasa gelisah . Batuk sudah dirasakan sejak seminggu sebelum
masuk rumah sakit, dan terus belanjut hingga pasien dbawa dan dirawat.

25
A. Assesment Gizi

Assesment Hasil
1. Riwayat makanan  3x makanan utama dan 2x
selingan
 Makanan pokok yang sering
dikonsumsi nasi.
 Lauk hewani berupa ikan,
telur.
 Lauk nabati berupa tahu.
 Sayuran yang sering
dikonsumsi berupa bayam,
kentang dan wortel.

Hasil Recall :
Energi : 1164.3 kkal
Protein : 47.6 gram
Lemak : 26.6 gram
KH : 188.3 gram

Kesadaran terhadap gizi


dan kesehatan  Pola makan yang salah .

Aktifitas fisik  Pasien hanya berbaring


ditempat tidur (ringan)

26
2. Data biokimia

17-03-2017 18-03-2017 19-03-2017


Pemeriksaan Normal
Hasil Hasil Hasil
Leukosit 16.1 /ul 16.1 /ul 13.1 /ul 4-12 mm

Eritrosit 4.06 jt/ul 4.06 jt/ul 4.06 jt/ul 4.2-6,2 jt/ul

Hb 10.6 gr/dl 10.6 gr/dl 11.9 gr/dl 12-16 gr/dl

Hemotokrit 31.3 % 31.3 % 31.3 % 37-47 %

MCV 77.1 77.1 77.1 80-93

MCH 24.6 pf 24.6 pf 24.6 pf 27-81 Pf

MCHC 31.9 fr/ dl 31.9 fr/ dl 31.9 fr/ dl 32-36 fr/dl

Trombosit 578.000/ul 578.000/ul 578.000/ul 150-350/ul

3. Data antropometri

Antropometri
- TB = 150 cm
- BB = 40 kg
BB( kg) 40(kg) 40 (kg)
- IMT = 2 2 = 2 2 = 2 = 17.7 kg/m
2
TB (m ) 1,40 (m ) 1.40(m )
(kurang)
- BBI = (TB-100)- 10%
= (150-100)-10 %
= 50-5.0
= 45 Kg

27
4. Fisik dan klinis
a. Fisik

Hari/tanggal Keterangan
jumat / 7 maret 2017 Keaadaan umum : lemas dan nyeri
Kesadaran : compos mentis
sabtu / 8 maret 2017 Keadaan umum : lemas dan nyeri
Kesadaran : compos mentis
minggu / 9 maret 2017 Keadaan umum : lemas berkurang,
nyeri masih terasa.
Kesadaran : compos mentis

b. Klinis

17-3-2017 18-3-2017 19-3-2017


Pemeriksaan
Hasil Hasil Hasil
Nadi 90 x/menit 90 x/menit 90 x/menit
Tekanan darah 130/70 mmHg 120/80 mmHg 120/80mmHg
Suhu 36,80C 36,80C 36,80C

5. Riwayat Personal

Riwayat personal Hasil


a. Sosial Budaya  Tinggal bersama keluarga
 Suku aceh

b. Riwayat Obat  Ringer Laktat


(20tetes/menit)
c. Riwayat penyakit  Hipertensi (+)
dulu

28
 Alergi (+)
d. Data umum pasien  Perempuan
 83 th

6. SkrinningGizi

Skrinning Hasil
Anoreksia +
Mual/Muntah -
Konstipasi -
Kesulitan menelan -
Nyeri +
batuk +

7. Standar komperatif

Energi : 1433.4 kkal


KH : 215.0 gr
Protein : 71.6 gr
Lemak : 31.8 gr

29
B. Nutricional Diagnosis
1. Domain Asupan

Problem(masalah Etiologi(penyebab) Sign/Sympthom(tanda


) atau gejala)
NI-2.1 Terbatasnya Pasien sedang dalam
Inadekuat oral food makanan yang kondisi atau perawatan
dan beverage diberikan untuk (TBC)
intake golongan manula.

2. Domain Klinis Penyakit

Problem(masalah Etiologi(penyebab) Sign/Sympthom(tanda


) atau gejala)
Perubahan nilai lab Gangguan fungsi Hb = 10.6 gr/dl
terkait gizi organ

3. Domain Perilaku

Problem(masalah Etiologi(penyebab) Sign/Sympthom(tanda


) atau gejala)
(NB-1.3) dikaitkan rendahnya Kurangnya kemauan
Belum siap dalam motivasi diri sendiri untuk merubah
melakukan diet maupun keluarga kebiasaan atau
atau perubahan menghadapi kendala
pola hidup yang ada

C. Intervensi Gizi
a. Penatalaksanaan Diet
1. Jenis diet : Diet TETP I + tinggi Fe + RG
2. Bentuk makanan : Makanan Lunak (M2)

30
3. Rute pemberian makanan: Oral
4. Frekuensi : 3 x makanan utama, 2 x makanan
selingan
5. Tujuan Diet :
 Memberikan makanan secukupnya atau lebih dari pada
biasa untuk memenuhi kebutuhan protein dan kalori.
 Menambah berat badan hingga mencapai normal
 Mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan.
 Mencapai kadar Hb normal
6. Syarat Diet :
  energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB
 Tinggi Protein yaitu 2,0-2,5 g/kg BB
 Cukup mineral dan Vitamin
 lemak cukup, yaitu 10-25 % dari kebutuhan energi
total
 karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energi
total
 Mudah dicern
 Diberikan secara bertahap.
 Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan
dihindari.

b. Konseling Gizi
1. Konseling mengenai pola makan teratur dan seimbang.
2. Memberi pengetahuan tentang bahan makanan yang boleh
dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi.

c. Perhitungan Kebutuhan
BEE = 655 + (9.6 x BB) + (1.8 x TB) - (4.7 x U)
= 655 + (9.6 x 40) + (1.8 x 150) – (3.7 x 83)

31
= 918.9 kkal

TEE = BEE x F.aktifitas x F.stress


= 918,9 x 1.2 x 1.3
= 1433.4 kkal

Perhitungan zat gizi makro


 Protein = 20/100 x 1433.4 kkal = 286.6/4 = 71.6 gram
 Lemak = 20/100 x 1433.4 kkal = 286.6/9 = 31.8 gram
 KH = 60/100 x 1433.4 kkal = 860.0/4 = 215.0 gram

D. Monitoring Dan Evaluasi Gizi


1. Monitoring
a. Asupan/Pola Makan Pasien
 Pola makan pasien yaitu 3x makanan utama 2x selingan.
 Total asupan pasien selama 3 hari :

Hari I Hari II Hari III


E = 1087.9 kkal E = 1297.6 kkal E = 1168.3 kkal
P = 42.9 gr P = 52.3 gr P = 47.7 gr
L = 26.6 gr L = 32.4 gr L = 20.9 gr
KH = 168.0 gr KH = 198.8 gr K = 198.2 gr

32
Sehingga diperoleh :
Energi = 82.6 % (kategori baik)
Protein = 66.5 % (kategori cukup)
Lemak = 83.7% (kategori baik)
KH = 87.5% (kategori baik)

Keterangan :
Baik ≥ 70 %
Cukup ≥ 50-69 %
Kurang ≤ 49

b. Fisik
Secara fisik , keaadaan pasien sudah mulai terjadi perubahan rasa
nyeri yang dirasakan pada paha sebelah kanan sudah sedikit berkurang
, namun pasien masih mengalami batuk-batuk.

c. Klinis
Secara klinis , tekanan darah pasien juga sudah mencapai normal yaitu
menurut hasil pemeriksaan hasil pada hari ke tiga tekanan darah
pasien yaitu 120/80mmHg.

d. Biokimia
Secara biokimia , hasil pemeriksaan di laboratorium menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar Hb pasien, pada pemeriksaan awal yang
dilakukan diperoleh kadar Hb pasien 10.6 gr/dl dan pada pemeriksaan
dihari ketiga Hb pasien mengalami peningkatan yaitu 11.9 gr/dl

33
2. Evaluasi
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa setelah dimonitoring pola
makan pasien menjadi 3 kali makanan utama dan 2 kali selingan.
Terjadi perubahan asupan makanan.tetapi jumlah asupan masih tidak
stabil dibuktikan dengan hasil recall hari pertama meningkat, namun
hari kedua asupannya kembali menurun, dan dihari ketiga asupan
makan pasien kembali meningkat.Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapat bahwa terjadi peningkatan Hb menjadi 11.9 gr/dl.
Terdapat perubahan perilaku setelah diberikan konseling, yaitu
setelah diberikan konseling pasien sudah mau berkomunikasi lebih
banyak dan sudah mau meningkatkan asupan makannya.

3. Kajian Gizi
Keadaan pasien masih belum sembuh total jadi disarankan kepada
pasien untuk mengikuti saran dan diet yang dianjurkan oleh ahli gizi,
dan menghindari makanan yang dapat memicu komplikasi dan
tekanan darah. Dan karena pengaruh usia makan disarankan untuk
mengkonsumsi makanan yang mudah untuk dicerna.

34
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Hasil recall hari pertama pasien memiliki asupan energi 1087.9 kkal,
protein 42.9 gr, lemak 26.6 gr dan karbohidrat 168.0 gr.
2. Hasil recall hari kedua pasien memiliki asupan energi 1297.6 kkal, protein
52.3 gr, lemak 32.4 gr dan karbohidrat 198.8gr.
3. Hasil recall hari ketiga pasien memiliki asupan energy 1168.3 kkal, protein
47.7 gr, lemak 20.9 gr dan karbohidrat 198.2 gr.
4. Terjadi peningkatan asupan , walaupun masih belum stabil.
5. Terjadi perubahan data biokimia dan hasil pemeriksaan klinis pasien
terkait keluhan pasien.
6. Keadaan pasien dihari ketiga sudah mulai terlihat membaik.
7. Terjadi perubahan perilaku pasien dengan meningkatkan asupan
makannya.

B. Saran

Agar pasien dapat menjalankan diet sesuai penyakitnya dan merubah pola

makannya secara baik dan siap menerapkan pola hidup sehat.

35
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pusaka Utama. Jakarta

Silvia W, dan Siti Zulfah . 2016 . Terapai Diet Pada Bebagai Penyakit. Politeknik

Kesehatan Kemenkes Aceh.

Beck ME . 1993 . Ilmu Gizi Dan Diet Hubungannya Dengan Penyakit-Penyakit :

EGC

Asti retno.2009. Patofisologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tubercolusis.

Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI. Jakarta.

Pedoman Diagnosisi dan Pelaksaan Tubercullosis Indonesia. Ikatan Dokter

Indonesia.2004

Guyton & Hall, 2002. Tatalaksaan Fraktur Femur .

Helmi.2012. Klasifikasi FrakturFemur. Gramedia.Jakarta

36
37

Anda mungkin juga menyukai