Anda di halaman 1dari 69

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Patologi klinis adalah "subspesialisasi patologi yang berhubungan dengan
penggunaan metode laboratorium seperti kimiawi, mikrobiologi, hematologi,
dan sebagainya yang digunakan untuk diagnosis dan pengobatan penyakit."
Secara umum, patologi klinis adalah studi penyakit di lingkungan klinis
dengan menggunakan tes laboratorium. Tes laboratorium harus digunakan
dengan prosedur diagnostik lainnya. Sebelum tes laboratorium digunakan
untuk menegakkan diagnosis yang mungkin, terdapat dua prosedur diagnostik
sangat penting yaitu mendapatkan riwayat lengkap pasien, dan melakukan
pemeriksaan fisik lengkap. Pengetahuan yang diperoleh dari dua prosedur
dasar tersebut, seorang diagnosa dapat memilih prosedur diagnostik untuk
mengklarifikasi atau mengklasifikasikan masalah yang teridentifikasi
(Stockham dan Scott, 2008).
Alasan utama menganalisis sampel pasien melalui prosedur laboratorium
adalah untuk mendeteksi keadaan patologis yang tidak teridentifikasi.
Menentukan, mengklasifikasikan, atau mengkonfirmasi gangguan
patofisiologis atau keadaan penyakit. Menghilangkan (menyingkirkan)
kemungkinan penyebab penyakit hewan dan untuk menilai perubahan keadaan
patologis baik karena perkembangan alami penyakit atau karena terapi medis
atau bedah. Dokter hewan membutuhkan patologi klinis dan sering
menggunakan tes laboratorium. Hubungannya dengan metode diagnostik lain
untuk mengidentifikasi atau mengklasifikasikan keadaan patologis yang
berkembang pada mamalia domestik dan untuk mengevaluasi penyakit pada
hewan menggunakan data laboratorium yang dikumpulkan selama analisis
darah, urin, cairan tubuh, dan aspirasi jaringan (Sirois, 2020).
Kumpulan data laboratorium yang dikumpulkan pada hewan yang sakit
biasanya mencakup data hematologi, konsentrasi kimia serum atau plasma,
hasil urinalisis, dan interpretasi sitologi. Beberapa sistem tubuh misalnya,
integumen, saraf, tulang, dan kardiovaskular yang relatif mudah dievaluasi
melalui metode visual atau pencitraan seperti pemeriksaan fisik, radiografi,
dan ultrasonografi, sedangkan sistem tubuh lainnya seperti, hemik, imun,
kemih, dan endokrin, lebih baik dievaluasi dengan tes laboratorium (Stockham
dan Scott, 2008).
Keberhasilan dokter hewan bergantung pada hasil laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis, melacak perjalanan penyakit, dan
menawarkan prognosis kepada klien. Seorang dokter hewan dididik dalam
interpretasi hasil tes, sedangkan teknisi veteriner dididik untuk menghasilkan
hasil tes yang akurat (Sirois, 2020). Maka dilakukan pelatihan kompetensi
sarjana kedokteran hewan untuk mencapai gelar dokter dengan kegiatan
PPDH (Program Profesi Dokter Hewan) pada Rotasi Patologi Klinik untuk
memahami prosedur tes laboratorium dan mampu melakukan interpretasi hasil
tes laboratorium.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana metode dan interpretasi hematologi dan ulas darah pada
mamalia dan non mamalia?
1.2.2 Bagaimana metode dan interpretasi pemeriksaan sitologi?
1.2.3 Bagaimana metode dan interpretasi pemeriksaan urin?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui metode dan interpretasi hematologi dan ulas darah pada
mamalia dan non mamalia.
1.3.2 Mengetahui metode dan interpretasi pemeriksaan sitologi.
1.3.3 Mengetahui metode dan interpretasi pemeriksaan urin.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pelaksanaan kegiatan Koasistensi Pendidikan Profesi Dokter
Hewan (PPDH) Rotasi Patologi Klinik adalah mendapat pengetahuan,
pengalaman, wawasan, dan keterampilan baik softskill maupun hardskill di
bidang laboratorium patologi klinik. Manfaat lain bagi mahasiswa yang
sedang menjalankan koasistensi yaitu untuk mencapai kompetensi
professional medik veteriner.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Darah Hewan Mamalia


Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali
tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen
yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil
metabolisme, dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri.
Darah terdiri daripada beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45%
bagian dari darah, angka ini dinyatakan dalam nilai hermatokrit atau volume
sel darah merah yang dipadatkan yang berkisar antara 40 sampai 47. Bagian
55% yang lain berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan
darah yang disebut plasma darah. Korpuskula darah terdiri dari: Sel darah
merah atau eritrosit (sekitar 99%), keping-keping darah atau trombosit (0,6 -
1,0%), dan sel darah putih atau leukosit (0,2%) (Yustina dan Darmadi, 2017).
Gambaran morfologi sel darah merah matur pada kebanyakan mamalia
umumnya sangat mirip karena tidak memiliki inti, berwarna kemerahan
hingga jingga kemerahan, dan umumnya berbentuk bikonkaf, sel berbentuk
cakram. Perbedaan utama ditemukan pada ukuran sel darah merah dan derajat
pusat pucat. Dari ukuran terbesar hingga terkecil, spesies domestik yang
umum adalah sel darah merah anjing (7.0 μm), kucing (5.8 μm), sapi (5.5 μm),
domba (4.5 μm), dan kambing (3.2 μm) (Reagen dkk, 2019).

Gambar 2.1 Sel darah merah anjing (kiri). Sebagian besar sel berukuran sama dan
memiliki pusat pucat yang menonjol. Sel darah merah kucing (kanan).
Sel-sel ini lebih kecil dari sel darah merah anjing, ada sedikit variasi
dalam ukuran (anisositosis), dan mereka memiliki pucat pusat yang
terbatas; 100× objektif (Reagen dkk, 2019).
Gambar 2.2 Sel darah merah sapi (kiri). Ada sedikit variasi dalam ukuran sel-sel ini
(anisositosis), dan mereka biasanya memiliki pucat pusat yang terbatas.
Sel darah merah kambing (kanan). Perhatikan ukuran sel yang sangat
kecil dan pusat pucat yang minimal. Hal ini juga umum untuk memiliki
sedikit variasi dalam ukuran (anisositosis) dan bentuk (poikilositosis).
Sel darah merah kelinci (bawah). Ada sedikit variasi dalam ukuran sel
darah merah (anisositosis). Sebagian besar sel memiliki sentral pucat
dalam jumlah sedang; 100× objektif (Reagen dkk, 2019).
Morfologi leukosit (sel darah putih) yang pertama adalah neutrofil
tersegmentasi yang merupakan sel darah putih yang paling umum ditemukan
dalam darah perifer dari semua spesies domestik yang umum, kecuali
ruminansia, di mana limfosit adalah sel darah putih yang dominan. Neutrofil
tersegmentasi biasanya berdiameter 10-12 m dan memiliki inti tunggal dengan
beberapa lekukan, sehingga inti dibagi menjadi beberapa lobus. Biasanya, ada
tiga hingga lima lobus atau segmen per sel. Neutrofil dari spesies domestik
umum yang berbeda terlihat sangat mirip. Pengecualian utama adalah bahwa
sitoplasma neutrofil sapi sering berwarna lebih merah muda dibandingkan
dengan spesies lain. Pada spesies hewan laboratorium umum, neutrofil serupa
dalam ukuran dan bentuk dengan spesies domestik yang umum, tetapi mereka
sering memiliki butiran sitoplasma kecil yang menonjol dengan jumlah yang
bervariasi. Granula lebih kecil dari granula yang ada dalam eosinofil, dan
dengan demikian sel-sel ini dapat dengan mudah dibedakan. Kelinci dan
marmot memiliki butiran yang sangat menonjol, dan oleh karena itu sel-sel ini
disebut pseudoeosinofil. Pada kelinci, istilah yang tepat untuk sel-sel ini
adalah "heterofil." (Reagen dkk, 2019).

Gambar 2.3 Neutrofil tersegmentasi pada anjing (kiri). Sel dengan inti tersegmentasi
dan sitoplasma merah muda adalah neutrofil matang. Basofil, heterofil,
dan eosinofil kelinci (kanan). Sel dengan nukleus yang tidak
tersegmentasi dengan baik dan sitoplasma ungu muda dengan sedikit
butiran kecil berwarna ungu di kiri atas adalah basofil. Sel di kanan
bawah dengan nukleus tersegmentasi dan butiran kecil berwarna
kemerahan yang berbeda adalah heterofil. Sel dengan banyak granula
bulat besar di sisi dalam (kanan atas) adalah eosinofil. apusan darah;
100× objektif (Reagen dkk, 2019).
Limfosit adalah jenis sel kedua yang paling umum dalam darah perifer
dari sebagian besar spesies domestik dan merupakan jenis sel yang paling
umum pada ruminansia. Pada sebagian besar spesies hewan laboratorium
umum, persentase limfosit lebih besar daripada neutrofil. Biasanya, sel-sel ini
bulat, sedikit lebih kecil dari neutrofil, dan memiliki inti bulat hingga oval dan
kadang-kadang sedikit menjorok. Pola kromatin terdiri dari area kaca halus
yang bercampur dengan area yang lebih menggumpal. Terdapat sejumlah kecil
sitoplasma berwarna biru muda. Beberapa limfosit memiliki multiple, kecil,
butiran ungu merah muda di sitoplasma. Selain limfosit kecil, banyak hewan
mungkin memiliki beberapa limfosit sedang hingga besar. Ini terutama
berlaku untuk ruminansia. Seringkali, sel-sel ini memiliki lebih banyak
sitoplasma daripada limfosit kecil. Selain itu, kromatin inti ruminansia sering
lebih menonjol dengan area kondensasi yang terkadang ditandai. Hal ini dapat
menyebabkan kesimpulan yang salah bahwa nukleolus hadir dalam sel-sel ini
(Reagen dkk, 2019).

Gambar 2.4 Limfosit kecil (kiri). Sel dengan inti bulat hingga oval dan tepi
sitoplasma biru muda adalah limfosit kecil. Limfosit besar (kanan). Sel
dengan inti bulat hingga sedikit menjorok dengan sejumlah kecil
sitoplasma biru muda adalah limfosit besar. Perhatikan pola kromatin
inti yang sering terlihat pada limfosit sapi normal. apusan darah sapi;
100× objektif (Reagen dkk, 2019).
Monosit tidak ada atau hadir dalam jumlah rendah dalam darah perifer dan
terlihat sangat mirip di semua spesies domestik umum dan spesies hewan
laboratorium. Sel-sel ini biasanya berdiameter 15-20 m, dan nukleusnya dapat
berbentuk berbeda, seperti oval atau oval dengan lekukan tunggal (berbentuk
kacang merah), atau memiliki banyak lekukan dan lobulasi. Kromatin nukleus
tampak berbutir halus hingga berenda, dengan hanya sedikit area kondensasi.
Jumlah sedang sitoplasma biasanya biru abu-abu dan mungkin memiliki
banyak vakuola diskrit berukuran bervariasi (Reagen dkk, 2019).
Gambar 2.5 Monosit (kiri). Sel besar dengan nukleus yang sangat menjorok ke
dalam, sitoplasma biru keabu-abuan, dan vakuola sitoplasma
multipel adalah monosit. Eosinofil (kanan). Sel dengan nukleus
tersegmentasi dan banyak, butiran berbentuk batang kemerahan di
sitoplasma adalah eosinofil. Apusan darah kucing; 100× objektif
(Reagen dkk, 2019).
Eosinofil tidak ada atau hadir dalam jumlah yang sangat rendah pada
hewan normal. Sel-sel ini biasanya berukuran sama dari neutrofil tetapi
seringkali sedikit lebih besar. Inti sangat mirip dengan neutrofil dalam hal
mereka tersegmentasi, tetapi segmen sering tidak terdefinisi dengan baik.
Sitoplasma berwarna biru pucat dan memiliki beberapa granula kemerahan
hingga oranye kemerahan. Jumlah dan bentuk butiran sangat berbeda untuk
sebagian besar spesies domestik yang umum. Butiran eosinofilik anjing
berbentuk bulat dan cukup bervariasi dalam ukuran dan jumlah. Seringkali ada
beberapa vakuola dengan ukuran bervariasi di sitoplasma juga. Granula
eosinofilik kucing berbentuk batang dan biasanya mengisi sitoplasma (Reagen
dkk, 2019).
Basofil jarang terlihat dalam darah tepi semua spesies domestik yang
umum. Mereka paling sering terlihat pada kuda. Basofil memiliki ukuran yang
sama atau sedikit lebih besar dari neutrofil, dan sitoplasma berwarna ungu
muda. Nukleus tersegmentasi tetapi seringkali tidak sampai ke tingkat
neutrofil yang matang. Jumlah kecil, bulat, butiran sitoplasma ungu kadang-
kadang dapat ditemukan pada basofil anjing. Ada atau tidak adanya butiran
mungkin tergantung pada jenis pewarna yang digunakan. Basofil kucing
mengandung butiran kecil, bulat, lavender yang tidak jelas. Baik basofil sapi
dan kuda memiliki beberapa butiran kecil berwarna ungu di sitoplasma. Pada
kelinci, sel-sel ini lebih umum daripada kebanyakan spesies lain dan secara
teratur terlihat dalam darah perifer. Sel-selnya memiliki butiran sitoplasma
ungu yang melimpah (Reagen dkk, 2019).

Gambar 2.6 Basofil kelinci (kiri). Sel dengan inti yang tersegmentasi buruk,
sitoplasma berbusa ungu, dan beberapa butiran ungu yang berbeda
adalah basofil. Trombosit kucing (kanan). Sel kecil, bulat hingga oval,
berinti biru muda dengan granula sitoplasma merah muda hingga ungu
adalah trombosit. Perhatikan ukuran yang lebih besar dari beberapa
trombosit yang umum pada kucing; 100× objektif (Reagen dkk, 2019).
Platelet, juga dikenal sebagai trombosit, secara morfologis terlihat sangat
mirip pada spesies hewan domestik dan laboratorium umum. Trombosit kecil,
berinti, berbentuk diskoid, sel pewarnaan biru muda yang mungkin memiliki
banyak, halus, butiran merah muda sampai ungu di sitoplasma. Mereka
biasanya berdiameter 2-4 μm (Reagen dkk, 2019).
2.2 Darah Hewan Non-Mamalia
Sel darah merah reptil secara signifikan berbeda dari kebanyakan hewan
domestik. Dalam keadaan sehat, sel darah merah matur adalah sel elips dengan
inti bulat hingga oval, membran inti halus hingga minimal tidak beraturan, dan
kromatin inti berwarna gelap. Ukurannya sangat bervariasi antara spesies
reptil dan dapat berkisar dari sekitar 13 hingga 25 μm dalam dimensi
terbesarnya. Nukleus untuk rasio sitoplasma juga bervariasi antara spesies
reptil. Sitoplasma terwarnai secara homogen berwarna merah muda hingga
oranye-merah karena hemoglobin. Namun, sitoplasma mungkin tampak hijau-
biru bila diwarnai dengan diff quick atau biru bila terkena formalin. Beberapa
spesies reptil umumnya memiliki inklusi sitoplasma tunggal, kecil, homogen,
biru, bulat dalam sel darah merah individu yang sehat. Inklusi ini harus
dibedakan dari organisme infeksius dan dapat berupa organel atau artefak
yang mengalami degenerasi. Jumlah polikromatofil yang rendah dapat terjadi
pada reptil yang sehat, terutama yang sedang berganti kulit (Reagen dkk,
2019).

Gambar 2.15 Sel darah merah reptil. Sel darah merah normal dari ular dan kadal.
Terkadang sel darah merah memiliki inklusi kebiruan kecil di
sitoplasma seperti yang ditunjukkan pada sel darah merah ular.
Dibandingkan dengan sel darah merah dewasa, polikromatofil
memiliki sitoplasma biru dan nukleus yang lebih besar dan tidak terlalu
gelap. Darah ular (Boa constrictor) dan iguana hijau; 100× objektif
(Reagen dkk, 2019).
Heterofil sebagian besar reptil memiliki sitoplasma yang mengandung
banyak granula memanjang, umumnya lonjong hingga batang hingga
berbentuk gelendong, granul oranye hingga merah-coklat yang sebagian dapat
mengaburkan nukleus. Ukuran heterofil bervariasi dengan spesies reptil dan
dapat bervariasi dalam ukuran dari sekitar 10 hingga 23 μm dengan diameter.
Sebaliknya, inti heterofil dari kadal, seperti iguana hijau (Iguana iguana) dan
inland bearded dragon (Pogona vitticeps), berlobus. Lobulasi tidak begitu
menonjol seperti pada neutrofil mamalia. Granula heterofil mungkin terlihat
kurang jelas dengan apusan darah cepat bila dibandingkan dengan apusan
darah pewarnaan Wright (Reagen dkk, 2019).
Gambar 2.7 (c) Apusan darah dari iguana yang diwarnai dengan quick stain tetapi
tidak overstain. Warnanya cocok dengan warna yang diharapkan dari
sel darah reptil (d) Apusan darah dari iguana yang sama seperti gambar
(c) tetapi diwarnai dengan pewarnaan Wright; Monosit, Limfosit, dan
Trombosit (kanan). Sel mononuklear bulat dengan sitoplasma biru
berlimpah dan inti bulat hingga oval adalah monosit (kiri). Sel bulat
dengan inti bulat dan sedikit sitoplasma adalah limfosit kecil (bagian
atas). Sel-sel berinti oval yang mengelompok dengan sedikit sitoplasma
biru adalah trombosit (kanan bawah). Apusan darah iguana hijau
(Iguana iguana); 100× objektif (Reagen dkk, 2019).
Dalam keadaan sehatan, limfosit reptil dan amfibi secara morfologis mirip
dengan mamalia. Ukuran limfosit dapat berkisar dari sekitar 5 hingga 15 μm
dengan diameter tergantung pada spesiesnya. Dalam apusan darah yang sama,
mungkin ada limfosit yang lebih kecil dan limfosit yang lebih besar. Limfosit
memiliki inti bulat tunggal yang terletak eksentrik, jumlah sitoplasma biru
pucat hingga biru yang rendah, dan rasio nukleus terhadap sitoplasma yang
tinggi. Kromatin halus sampai kasar menggumpal. Sel darah yang terkadang
membingungkan dengan limfosit termasuk trombosit (trombosit) dan sel darah
merah yang belum matang (Reagen dkk, 2019).
Trombosit biasanya berbentuk oval, memiliki pewarnaan yang sangat
pucat hingga sitoplasma yang tidak berwarna, dan mudah menggumpal pada
apusan darah (Gambar 2.17). Sel darah merah yang belum matang yang
berbentuk bulat mungkin membingungkan dengan limfosit; namun, limfosit
memiliki nukleus yang terletak secara eksentrik versus nukleus yang terletak
di pusat khas dari sel darah merah yang belum matang, dan limfosit umumnya
memiliki rasio nukleus terhadap sitoplasma yang lebih tinggi (yaitu jumlah
sitoplasma yang lebih rendah dibandingkan dengan ukuran nukleus). Pola
kromatin sel darah merah yang belum matang akan lebih mirip dengan sel
darah merah (termasuk polikromatofil) pada apusan yang sama (Reagen dkk,
2019).
Monosit kebanyakan reptil dan amfibi mirip dengan mamalia. Namun,
beberapa monosit reptil mungkin memiliki granulasi sitoplasma merah muda
seperti debu yang halus. Sel-sel ini juga disebut sebagai azurofil atau monosit
azurofilik. Monosit adalah sel mononuklear besar dengan jumlah sitoplasma
biru hingga abu-abu yang melimpah. Inti berbentuk oval hingga bulat,
terkadang menjorok atau berbentuk "U". Monosit umumnya lebih besar,
memiliki lebih sedikit kondensasi kromatin daripada limfosit, dan memiliki
rasio inti terhadap sitoplasma yang lebih rendah. Monosit mungkin memiliki
beberapa vakuola sitoplasma yang jelas (Reagen dkk, 2019).
Eosinofil reptil memiliki sitoplasma tidak berwarna sampai biru pucat
yang mengandung banyak butiran sitoplasma merah-oranye terang sampai
merah muda; namun, beberapa spesies reptil seperti iguana hijau memiliki
butiran eosinofil yang berwarna biru pucat hingga abu-abu. Ukuran eosinofil
bervariasi sesuai dengan spesies reptil dan dapat berkisar dari diameter sekitar
9 hingga 20 μm. Eosinofil dengan butiran merah-oranye hingga merah muda
dapat dibedakan dari heterofil dalam apusan darah yang sama dengan bentuk
butiran (umumnya bulat pada eosinofil) dan/atau warna butiran (lebih
intens/warna cerah pada eosinofil) (Reagen dkk, 2019).

Gambar 2.7 Eosinofil (kiri). Sel mononuklear bulat (a, b) dengan butiran sitoplasma
kebiruan adalah eosinofil. Apusan darah yang ditunjukkan pada
gambar (a) diwarnai dengan pewarnaan cepat; apusan darah yang
ditunjukkan pada gambar (b) diwarnai dengan pewarnaan Wright dan
berasal dari hewan yang sama; Basofil (kanan). Dua sel bulat hingga
oval dengan butiran sitoplasma ungu tua dan vakuola sitoplasma
kecil yang jelas adalah basofil (kiri dan kanan lapangan). Apusan
darah iguana hijau (Iguana iguana); 100× objektif (Reagen dkk,
2019).
Basofil dari reptil dan amfibi memiliki banyak butiran sitoplasma
berwarna ungu tua atau magenta yang umumnya bulat dan kecil. Granula
mungkin sangat banyak sehingga mengaburkan nukleus. Ukuran basofil reptil
bervariasi menurut spesiesnya tetapi dapat berkisar dari diameter sekitar 7
hingga 20 μm. Perbedaan dari basofil mamalia adalah bahwa inti basofil pada
reptil dan amfibi umumnya bulat hingga lonjong dan tidak berlobus seperti
pada mamalia. Sitoplasma basofil terkadang terlihat bervakuola atau berbusa
karena prosedur pewarnaan; namun, beberapa butiran ungu tua akan tetap ada
dan mungkin lebih mudah ditemukan di atas nukleus (Reagen dkk, 2019).

Gambar 2.8 Sel darah merah unggas normal. Sel elips dengan inti bulat hingga oval
dan kromatin inti berwarna gelap adalah sel darah merah. Gambar (b)
berasal dari apusan darah cepat dan berisi heterofil matang dan dua
trombosit di kiri tengah hingga bawah lapangan; gambar (a) berasal dari
apusan darah perwarnaan Wright. Angsa (genus tidak ditentukan, a) dan
cockatiel (Nymphicus hollandicus, b) apus darah; 100× objektif.
(Reagen dkk, 2019).
Morfologi sel darah unggas sangat mirip dengan morfologi sel darah
reptil. Granulosit unggas (heterofil, eosinofil, dan basofil) paling berbeda dari
granulosit mamalia; namun, limfosit dan monosit unggas serupa, secara
morfologis, dengan mamalia. Mirip dengan reptil, unggas juga memiliki sel
darah merah berinti. Dalam keadaan sehat, sel darah merah matang adalah sel
elips dengan inti bulat hingga oval dan kromatin inti berwarna gelap (Gambar
2.8. Heterofil dari ayam dan kalkun berdiameter sekitar 13 μm. Monosit dari
ayam dan kalkun berdiameter sekitar 14 μm. Eosinofil dari ayam dan kalkun
berdiameter sekitar 12 μm (Reagen dkk, 2019).
2.3 Hematologi
Hematologi adalah ilmu yang mempelajari tentang komponen seluler
darah. Darah terdiri dari sel dan plasma. Sel-sel tersebut adalah sel darah putih
(leukosit), eritrosit (eritrosit), dan trombosit. Komponen plasma terdiri dari
air, protein, elektrolit/mineral, lipid, karbohidrat terlarut, asam amino, dan zat
nonseluler lainnya seperti hormon. Setiap komponen darah memiliki fungsi
spesifik dan dapat berubah sebagai respons terhadap keadaan penyakit
(Rosenfeld dan Dial, 2010). Hitung darah lengkap (CBC) adalah panel tes
diagnostik yang memberikan banyak informasi tentang parameter darah. Profil
hematologi meliputi pengukuran hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct) atau
volume sel terkemas (PCV), indeks sel darah merah (volume sel rata-rata
(MCV), rata-rata hemoglobin sel darah (MCH), konsentrasi hemoglobin sel
darah rata-rata (MCHC)), jumlah sel total (trombosit, sel darah merah (RBC)
dan sel darah putih (WBC)), jumlah WBC diferensial dan komentar oleh ahli
hematologi veteriner tentang morfologi populasi eritrosit, leukosit dan
trombosit. CBC secara rutin dilakukan pada pasien yang sakit karena kelainan
yang ada pada darah dapat menunjukkan jenis proses penyakit yang terjadi
pada pasien (Barger dan Macneill, 2015).
Pengukuran PCV dan jumlah sel dapat dilakukan secara manual dengan
menggunakan tabung mikrohematokrit dan hemositometer. Metode
mikrohematokrit untuk perhitungan PCV adalah cara paling sederhana untuk
menilai massa sel darah merah secara manual. PCV ditentukan dengan
mensentrifugasi darah antikoagulan dalam tabung kapiler kecil untuk
memisahkan sel dari plasma. PCV dihitung dengan membagi panjang eritrosit
yang dikemas dengan panjang total eritrosit yang dikemas, buffy coat dan
plasma. Berbagai perangkat sederhana (Gambar 9) tersedia untuk melakukan
pengukuran ini, tetapi hanya penggaris yang diperlukan (Day dan Kohn,
2012).

Gambar 2.9 Pembaca dengan skala parabola geser untuk memudahkan pengukuran
volume sel yang dikemas atau mikrohematokrit dari tabung kapiler
(Day dan Kohn, 2012).
Protein plasma dapat diukur dengan menggunakan refraktometer
(Gambar 2.10). Tabung mikrohematokrit dicetak dan dipatahkan di atas buffy
coat. Setetes plasma dinyatakan pada prisma dan nilai protein dibaca dari
skala (Villiers dan Ristic, 2016).

Gambar 2.10 Pengukuran protein plasma menggunakan refraktometer. (a) Tabung


mikrohematokrit diberi skor tepat di atas buffy coat, menggunakan
silet. (b) Tabung rusak di garis skor. (c) Plasma dikeluarkan dari
tabung ke prisma refraktometer dengan cepat menjentikkan tabung ke
bawah menuju prisma, berhati-hati untuk tidak menyentuh prisma
dengan tabung. Penutup prisma kemudian diganti dan protein plasma
dibaca dari skala internal (Villiers dan Ristic, 2016).
Penghitungan sel manual dilakukan dengan hemositometer yang diatur
oleh Neubauer, kaca penutup yang dikalibrasi, pipet kapiler sekali pakai, dan
ruang reservoir plastik yang berisi volume pengencer yang telah diukur
sebelumnya. Hemositometer adalah ruang kaca transparan yang menampung
suspensi sel di bawah mikroskop untuk penghitungan. Ruang ini memiliki
kedalaman 0,1 mm dan memiliki ruang yang terdefinisi dengan baik dengan
volume yang diketahui. Volume dibagi oleh kisi sembilan kotak 1 mm 2 yang
terukir di dasar ruangan. Kotak pusat dari kisi ini dibagi lagi menjadi 25 kotak
dengan ukuran yang sesuai untuk menghitung sel darah merah pada
pengenceran yang sesuai. Darah diencerkan untuk mencapai kepadatan sel
yang sesuai untuk penghitungan dengan wadah pengencer. Untuk
penghitungan eritrosit pengencerannya adalah 1:200, untuk leukosit 1:20 dan
untuk trombosit 1:100. Jumlah total kemudian dihitung menggunakan faktor
koreksi yang memperhitungkan volume penghitungan dan faktor pengenceran.
Hitungan dilakukan dalam rangkap dua pada sisi yang berbeda dari kisi
hemositometer. Jumlah eritrosit dan leukosit dari kedua tempat tersebut
seharusnya hanya bervariasi masing-masing sebesar 20% dan 10%, jika
dilakukan dengan benar. Jika jumlah dua sel konsisten, rata-rata keduanya
dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan hitungan per liter (Day
dan Kohn, 2012).
Metode pemeriksaan hemoglobin paling sederhana adalah metode Sahli,
pada metode Sahli hemoglobin dihidrolisis dengan HCl menjadi asam hematin
yang berwarna coklat, warna yang terbentuk dibandingkan dengan warna
standar. Perubahan warna asam hematin dibuat dengan cara pengenceran,
sehingga warna sama dengan warna standar. Penggunaan HCl dikarenakan
asam klorida adalah asam monoprotik yang sulit menjalani reaksi redoks.
Selain itu juga merupakan asam yang paling tidak berbahaya dibandingkan
asam kuat lainnya. HCl mengandung ion klorida yang tidak reaktif dan tidak
beracun. Cara ini kurang baik karena tidak semua hemoglobin dapat diubah
menjadi asam hematin misalnya karboksihemoglobin, methemoglobin dan
sulfhemoglobin. Hasil pemeriksaan dipengaruhi oleh faktor subjektivitas,
warna standar pudar, penyinaran, faktor kesalahan mencapai 5%-10 %
(Norsiah, 2015).
2.4 Metode Pembuatan Ulas Darah
Apusan darah digunakan untuk melakukan penghitungan diferensial sel
darah putih (leukosit), untuk memperkirakan jumlah trombosit, dan untuk
mengevaluasi fitur morfologis leukosit, sel darah merah (RBC), dan trombosit.
Apusan darah dapat dibuat dengan menggunakan teknik wedge smear atau
teknik coverslip. Wedge smear adalah jenis preparasi yang paling umum
digunakan. Teknik coverslip sering digunakan untuk membuat apusan dari
sampel darah yang diperoleh dari spesies unggas dan hewan eksotik. Untuk
menyiapkan apusan darah, setetes darah diambil dari tabung pengumpul darah
antikoagulan ethylenediaminetetraacetic-acid (EDTA). Tetesan dapat
diperoleh baik dengan pipet transfer plastik atau dengan menempatkan dua
batang aplikator kayu ke dalam tabung darah (Gambar 2.11 a). Tetesan darah
ditempatkan ke arah ujung buram dari kaca objek mikroskop yang bersih
(Gambar 2.11 b). Ujung kaca objek kedua diletakkan pada permukaan kaca
film pertama dengan sudut 30 derajat dan ditarik kembali ke dalam tetesan
darah (Gambar 2.11 c). Ketika darah telah menyebar di sebagian besar lebar
slide spreader, darah kemudian didorong ke depan dengan gerakan yang stabil
dan cepat. Slide harus diayunkan dengan lembut ke udara agar cepat kering.
Apusan darah yang disiapkan dengan benar tipis, dengan distribusi sel yang
merata (Sirois, 2020).

A B C
Gambar 2.11 Metode wedge smear a) Tetesan darah dapat diperoleh dengan
menempatkan dua batang aplikator kayu ke dalam tabung dan
menyatukannya saat menariknya dari tabung. b) Teteskan satu tetes
darah ke ujung kaca yang buram. c) Pegang slide atas (penyebar)
sekitar 30 derajat, dan tarik kembali ke dalam tetesan darah (Sirois,
2020).
Setelah mengering, apusan darah harus diwarnai untuk membedakan
dengan jelas sel-sel individu dan untuk mengidentifikasi karakteristik seluler
yang abnormal. Apusan darah dapat diwarnai dengan pewarnaan jenis
Romanowsky. Pewarnaan Romanowsky yang umum tersedia meliputi
pewarnaan Wright dan pewarnaan Wright-Giemsa. Pewarna Romanowsky
tersedia dalam formulasi satu langkah atau tiga langkah. Komponen pewarna
mungkin agak berbeda, tetapi biasanya termasuk larutan fiksatif dan buffer
eosin dan metilen biru. Fiksatif yang digunakan biasanya 95% metanol.
Komponen eosin disangga pada pH asam, dan menodai komponen dasar sel,
seperti hemoglobin dan butiran eosinofilik. Komponen metilen biru disangga
ke pH basa, dan menodai komponen asam sel, seperti inti leukosit. Pewarnaan
tiga langkah yang memberikan hasil yang dapat diterima adalah Diff-Quick
(Sirois, 2020).
Ketika pewarnaan tiga langkah digunakan, slide dapat dibilas dengan air
suling di antara masing-masing dari tiga komponen. Pembilasan terakhir
dengan air suling harus dilakukan pada semua slide dan kemudian slide
dibiarkan kering sebelum pemeriksaan mikroskopis apusan. Lamanya waktu
pewarnaan slide bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti usia
pewarna. Untuk pewarnaan tiga langkah, waktu rata-rata untuk merendam
slide adalah 30 detik untuk setiap komponen. Sel tampak gelap jika terlalu
banyak diwarnai, sedangkan pembilasan yang ekstensif dapat
menyebabkannya terlihat pudar (Sirois, 2020).
2.5 Metode Sitologi
Sitopatologi, sering disingkat sitologi, adalah pemeriksaan mikroskopis
individu sel atau kelompok sel untuk mengidentifikasi asal mereka dan setiap
perubahan karakteristik penyakit. Sitologi adalah alat diagnostik yang cepat
dan aman yang dapat digunakan untuk menyelidiki massa superfisial atau
internal, organ internal, limfa nodul dan cairan (efusi, cairan sendi, cairan
serebrospinal (CSF), lavage bronchoalveolar (BAL), urin, cuci prostat).
Sitologi memiliki risiko komplikasi yang relatif rendah bagi pasien dan
memiliki waktu penyelesaian yang cepat. Sitologi dapat memberikan
diagnosis awal yang memungkinkan perencanaan pendekatan diagnostik dan
bedah. Keakuratan pemeriksaan sitologi dari bagian tubuh manapun sangat
bergantung pada kualitas koleksi, pewarnaann, dan iterpretasi materi.
Ketidakcukupan dalam salah satu langkah tersebut akan mempengaruhi
kualitas sitologi diagnostik (Villiers dan Ristic, 2016).
Sampel sitologi dari massa padat pada tubuh hewan atau yang diperoleh
dari prosedur pembedahan dapat dikumpulkan dengan teknik swab, scrape,
atau imprint. Fine needle biopsy juga dapat digunakan untuk beberapa sampel
padat serta sampel cairan. Sentesis mengacu pada sampel cairan yang
dikumpulkan dari rongga tubuh. Swab umumnya dikumpulkan hanya ketika
imprints, scrapings, dan aspirasi tidak dapat dilakukan, seperti pada saluran
fistula dan koleksi vagina. Area tersebut diusap dengan kapas yang lembab
dan steril atau rayon swab. Cairan isotonik steril (misalnya saline 0,9%) harus
digunakan untuk melembabkan swab. Melembabkan swab membantu
meminimalkan kerusakan sel selama pengumpulan sampel dan persiapan ulas
(Sirois, 2020).

Gambar 2.12 Sebuah kapas basah dapat digunakan untuk mengumpulkan beberapa
sampel sitologi (Sirois, 2020).
2.5.1 Swab Telinga
Sampel telinga biasanya diambil dari telinga untuk
mengidentifikasi parasit atau sel dan mikroorganisme. Sampel harus
dikumpulkan setelah pemeriksaan otoskopi awal, tetapi sebelum
dibersihkan. Sebuah cotton bud dimasukkan ke bawah ke persimpangan
antara saluran telinga vertikal dan horizontal dan diputar untuk
mengumpulkan puing-puing, yang ditransfer ke slide untuk sitologi.
Kotoran dapat dicampur dengan parafin cair, kaca penutup dioleskan dan
kaca objek diperiksa. Di bawah daya rendah (objektif 4X), Otodectes,
Demodex, telur dan debris mudah terlihat, tetapi perbesaran yang lebih
tinggi (lensa 40X atau 100X) diperlukan untuk melihat yeast atau bakteri
dengan jelas. Swab steril yang digunakan untuk mengumpulkan bahan
dapat dimasukkan ke dalam media transpor untuk kultur bakteri (Villiers
dan Ristic, 2016).

Gambar 2.13 Usap digulung pada slide kaca bersih untuk membuat noda
(Sirois, 2020).
Sampel swab telinga mungkin mengandung sejumlah wax yang
berlebihan. Hal ini dapat mengganggu evaluasi sampel. Untuk
meminimalkan efek ini, pemanasan dengan gantle pada slide mungkin
diperlukan. Melewatkan slide sebentar melalui api atau gantle heat dari
pengering rambut yang hangat dapat digunakan untuk melarutkan wax.
Panas berlebih harus dihindari, karena akan merusak komponen seluler
sampel. Selain prosedur pewarnaan Gram, ini adalah satu-satunya
keadaan di mana sampel sitologi mungkin memerlukan aplikasi panas
(Sirois, 2020).
2.5.2 Swab Luka
Swab luka dapat dilakukan dengan metode imprints yang juga
disebut sebagai cetakan apusan, dapat dibuat dari lesi eksternal pada
hewan hidup atau dari jaringan yang diambil selama pembedahan atau
nekropsi. Teknik ini mudah untuk dikumpulkan, tetapi sampel yang
dikumpulkan lebih sedikit sel daripada kerokan dan biasanya
mengandung jumlah kontaminasi yang lebih besar (bakteri dan seluler)
dibandingkan dengan fine-needles biopsi. Akibatnya, imprints dari lesi
superfisial hanya sering mencerminkan infeksi bakteri sekunder lokal
atau displasia jaringan yang diinduksi peradangan. Metode ini dengan
cara membersihkan permukaan massa ulserasi dengan saline-kain kasa
yang dibasahi, kemudian ambil slide kaca bersih, tempelkan dengan
lembut ke permukaan lesi dan segera angkat tanpa mengolesi slide
melintasi lesi. Ulangi prosedur untuk mendapatkan beberapa imprints
pada satu slide (Villiers dan Ristic, 2016).

Gambar 2.14 Beberapa imprints dari massa diperoleh dengan menempatkan


sampel pada slide (Villiers dan Ristic, 2016).
2.5.3 Kerokan Kulit
Apusan kerokan dapat dibuat dari jaringan yang dikumpulkan
selama nekropsi atau pembedahan atau dari lesi eksternal pada hewan
hidup. Pengerokan memiliki keuntungan mengumpulkan banyak sel dari
jaringan, sehingga menguntungkan bila lesi keras dan menghasilkan
sedikit sel. Kerugian utama dari kerokan adalah lebih sulit untuk
dikumpulkan dan hanya mengumpulkan sampel yang superfisial.
Akibatnya, kerokan dari lesi superfisial sering hanya mencerminkan
infeksi bakteri sekunder atau displasia jaringan yang diinduksi
peradangan, yang secara nyata menghambat penggunaannya untuk
diagnosis neoplasia (Sirois, 2020).
Terdapat dua jenis teknik kerokan, yaitu superfisial dan deep.
Kerokan superfisial memberikan informasi pada permukaan epidermis.
Teknik ini dapat digunakan untuk identifikasi parasit superfisial spesifik
seperti Cheyletiella. Teknik mengerok deep, mengumpulkan bahan dari
dalam folikel rambut dan biasanya menyebabkan sedikit perdarahan.
Biasanya dilakukan untuk mengevaluasi keberadaan tungau yang hidup
jauh di dalam folikel rambut, seperti Demodex. Kerokan biasanya
dilakukan dengan menggunakan pisau bedah ukuran 10 atau 15. Metode
ini dilakukan dengan cara mengosok pisau skalpel pada permukaan lesi
beberapa kali, kemudian pindahkan bahan yang terkumpul pada bilah ke
slide menggunakan bilah seperti kuas untuk mengolesi sampel dengan
lembut (Villiers dan Ristic, 2016).

Gambar 2.15 Pisau skalpel dapat digunakan untuk mengumpulkan sel dari
massa padat (Sirois, 2020).
2.5.4 Fine Needle Aspiration
Fine Needle Aspiration (FNA) adalah metode yang paling umum
untuk massa kulit, limfa nodul, dan organ dalam. Sampel dapat diperoleh
dengan teknik yang berbeda, tergantung pada sifat lesi. Metode khusus
jarum adalah metode yang memiliki keuntungan bahwa sel-sel halus dan
rapuh tidak rusak oleh pengisapan dan hemodilusi diminimalkan.
Metode ini biasanya digunakan untuk aspirasi massa lunak dan limfa
nodul. Metode ini diimobilisasi dengan satu tangan dengan jarum 21-23
G, 16-25 mm dimasukkan ke dalam lesi (tanpa jarum suntik). Jarum
kemudian digerakkan ke sana kemari di dalam massa, sambil
mengarahkannya ke berbagai arah. Dengan demikian, sampel akan
mewakili seluruh lesi dan bukan hanya sebagian saja (Villiers dan Ristic,
2016).

Gambar 2.16 Teknik fine needle aspiration. Massa diimobilisasi dengan satu
tangan sementara jarum dimasukkan ke dalam lesi dan
digerakkan ke sana kemari (Villiers dan Ristic, 2016).
Metode continuous suction adalah metode yang berguna untuk
aspirasi massa yang keras dan eksfoliatif yang buruk (misalnya
fibrosarcoma). Jarum 21–23 G, 16–25 mm yang dipasang pada spuit
2,5–5 ml dimasukkan ke dalam lesi, dan suction dilakukan dengan
menarik plunger. Saat hisapan dipertahankan, jarum digerakkan ke sana
kemari di dalam lesi, mengarahkannya setiap kali, dan berhati-hati untuk
menghindari mendorongnya melalui massa ke jaringan sekitarnya.
Suction kemudian dilepaskan sebelum melepaskan jarum dari lesi.
Intermittent suction adalah metode yang digunakan untuk lesi kecil di
mana jarum tidak dapat digerakkan. Jarum dengan spuit terpasang
dimasukkan ke dalam lesi dan kemudian plunger ditarik dan dilepaskan
sebentar-sebentar, menjaga jarum tetap diam. Suction kemudian
dilepaskan sebelum melepaskan jarum dari lesi. Aspirasi dari organ
dalam (hati, limpa, paru-paru, dll.) biasanya dilakukan dengan panduan
ultrasound. Setelah lesi diidentifikasi pada ultrasonografi, lokasi harus
disiapkan untuk aspirasi dengan membersihkan permukaan kulit dengan
antiseptik, berhati-hati untuk menghilangkan gel ultrasound. Setelah
aspirasi dilakukan, jarum suntik berisi udara dipasang pada jarum. Jika
teknik suction digunakan, jarum suntik harus dilepas, diisi dengan udara
dan kemudian disambungkan kembali ke jarum. Sambil memegang
ujung jarum di atas kaca objek yang bersih, pendorong ditekan dengan
cepat dan isi jarum dikeluarkan ke kaca objek (Villiers dan Ristic, 2016).
2.5.5 Cairan Abnormal Tubuh
Cairan abnormal tubuh diambil dengan metode sentesis yang
mengacu pada memasukkan jarum ke dalam rongga tubuh atau organ
apa pun untuk tujuan mengeluarkan cairan. Pengumpulan cairan dari
rongga peritoneum (abdominosentesis atau parasentesis) dan rongga
dada (thoracocentesis) biasanya dilakukan pada praktik hewan kecil.
Sampel cairan untuk evaluasi sitologi juga dapat dikumpulkan dari
sekitar tulang belakang, dari dalam sendi (artrosentesis), dan dari mata.
Anestesi umum diperlukan untuk pengumpulan cairan serebrospinal,
cairan sinovial, dan humor aquos dan vitreous. Sebelum pengumpulan
cairan peritoneum atau pleura, tempat tersebut harus disiapkan secara
aseptik dan semua peralatan dan perlengkapan harus dikumpulkan.
Mempersiapkan beberapa apusan dari cairan, segera setelah
dikumpulkan sangat membantu. Sebagian cairan harus dikumpulkan
dalam tabung EDTA (ethylenediaminetetraacetic acid) (Sirois, 2020).
Gambar 2.17 Pengumpulan cairan peritoneum dengan abdominosentesis
(Sirois, 2020).
Jarum 21-gauge paling sering digunakan dan harus dipasang pada
spuit 60 mL. Pada pasien hewan kecil, thoracocentesis biasanya
dilakukan dengan hewan dalam posisi berdiri dan jarum dimasukkan ke
dalam ruang interkostal ketujuh atau kedelapan di sepanjang aspek
tengkorak tulang rusuk. Abdominosentesis dapat dilakukan pada hewan
yang berdiri atau dengan pasien dalam posisi berbaring miring. Jarum
dimasukkan ke perut ventral di sebelah kanan garis tengah kira-kira 1
sampai 2 cm ekor ke umbilikus. Prosedurnya sedikit berbeda untuk
hewan eksotis dan hewan ternak. Kemudahan pengumpulan dapat
mencerminkan volume cairan yang ada atau tekanan di dalam rongga
tubuh itu. Total volume yang dikumpulkan harus dicatat pada saat
pengumpulan. Karakteristik kotor tertentu dari cairan tubuh harus dicatat
pada pengumpulan, termasuk warna sampel dan kekeruhan. Selanjutnya,
jumlah sel berinti total, jenis sel, dan fitur morfologi ditentukan (Sirois,
2020).
2.6 Metode Pemeriksaan Urin
Metode pemeriksaan urin menurut Sirois, (2020), meliputi sifat fisik urin,
evaluasi kimia urin, dan analisis sedimen urin. Sifat fisik urin mencakup
semua pengamatan yang dapat dilakukan tanpa bantuan mikroskop atau
reagen kimia, yaitu volume, warna, bau, transparansi, dan berat jenis urin.
Pada pemeriksaan volume urin biasanya pemilik hewan sering memberikan
informasi mengenai jumlah urin yang dikeluarkan. Pada evaluasi warna dan
kejernihan urin dengan menempatkannya dalam wadah bening dan
menahannya dengan latar belakang putih untuk dapat dibandingkan.
Gambar 2.18 Warna urin paling baik dinilai dalam pencahayaan yang baik
dengan latar belakang putih (Sirois, 2020).
Pada pemeriksaan bau, sampel dibiarkan berdiri pada suhu kamar
yang dapat mengembangkan bau amonia sebagai akibat dari pertumbuhan
bakteri. Pada pemeriksaan berat jernih urin dapat ditentukan sebelum atau
sesudah sentrifugasi, karena partikel yang mengendap selama sentrifugasi
memiliki sedikit atau tidak berpengaruh pada berat jenis. Jika urin keruh,
sampel harus disentrifugasi dan supernatan digunakan untuk menentukan
berat jenis. Berat jenis didefinisikan sebagai berat (densitas) sejumlah
cairan dibandingkan dengan jumlah air suling yang sama. Jumlah dan
berat molekul zat terlarut menentukan berat jenis urin. Untuk menentukan
berat jenis urin dapat menggunakan refraktometer, urinometer, atau strip
reagen. Berat jenis strip reagen adalah metode yang paling tidak dapat
diandalkan untuk menentukan berat jenis urin pada hewan. Berat jenis urin
lebih jarang ditentukan dengan penggunaan urinometer. Instrumen ini
membutuhkan sejumlah besar urin (sekitar 10 mL), dan umumnya
memberikan hasil yang kurang dapat direproduksi daripada refraktometer.
Berat jenis urin harus diukur dengan refractometer (Sirois, 2020).
Pengujian untuk berbagai konstituen kimia urin biasanya dilakukan
dengan strip reagen yang diresapi dengan bahan kimia yang sesuai atau
dengan tablet reagen. Ada beberapa penganalisis otomatis yang digunakan
untuk kimia serum yang juga dapat digunakan untuk pengujian urin.
Beberapa strip reagen secara bersamaan menguji banyak konstituen, yaitu
pH, protein, glukosa, keton, bilirubin, urobilinogen, hemoprotin, dan
leukosit. Strip reagen harus dicelupkan ke dalam sampel urin sehingga
terendam seluruhnya; kemudian harus dikeluarkan dan ujung panjangnya
dimiringkan di atas tisu untuk memungkinkan kelebihan urin. Urin juga
dapat ditambahkan ke strip reagen dari pipet. Perubahan warna pada setiap
bantalan reagen dicatat pada interval waktu tertentu. Konsentrasi berbagai
konstituen ditentukan dengan membandingkan warna pada strip dengan
bagan warna pada label wadah strip. Penting untuk dicatat bahwa sejumlah
besar kondisi (misalnya, obat-obatan, faktor makanan, faktor lingkungan)
dapat mempengaruhi hasil tes urinalisis (Sirois, 2020).

Gambar 2.19 Wadah uji strip reagen dan strip dipstick kombinasi (Sirois, 2020).
Pemeriksaan mikroskopis sedimen urin merupakan bagian penting dari
urinalisis lengkap, terutama untuk mengenali penyakit pada saluran kemih.
Banyak kelainan pada sampel urin yang tidak dapat dideteksi dengan strip tes
atau tablet reagen, dan seringkali informasi yang lebih spesifik dapat diperoleh
dengan mengamati sedimen urin. Selain itu, pemeriksaan sedimen urin
kadang-kadang membantu dalam diagnosis penyakit sistemik. Sampel terbaik
untuk pemeriksaan sedimen adalah sampel pagi hari atau sampel yang
dikumpulkan setelah beberapa jam kekurangan air. Karena sampel tersebut
lebih terkonsentrasi, kemungkinan menemukan elemen yang terbentuk
meningkat. Sedimen harus diperiksa saat urin masih segar, karena bakteri akan
berkembang biak jika sampel dibiarkan pada suhu kamar untuk jangka waktu
tertentu. Perubahan lain juga dapat terjadi pada sampel seiring bertambahnya
usia (Sirois, 2020).
Urin yang dikumpulkan dengan cystocentesis adalah sampel terbaik untuk
pemeriksaan mikroskopis. Jika sampel tidak dapat diperiksa dalam waktu 1
jam setelah pengumpulan, sampel harus didinginkan atau diawetkan. Untuk
pengukuran semikuantitatif unsur-unsur yang terbentuk dalam urin, volume
urin yang digunakan dan volume sedimen yang diperoleh harus dicatat. Jika
volume yang cukup telah diperoleh, 5-10 mL sampel yang tercampur dengan
baik harus ditempatkan dalam tabung sentrifus berbentuk kerucut dan
disentrifugasi selama 3-5 menit pada sekitar 1000-2000 rpm, tergantung pada
radius sentrifus. Setelah sentrifugasi, volume sedimen dicatat, dan supernatan
dituang dengan hati-hati untuk meninggalkan kira-kira 0,5 mL urin di dasar
tabung. Endapan disuspensikan dengan mencampurnya perlahan dengan pipet
(Sirois, 2020).
Sedimen dapat diperiksa dengan pewarnaan maupun tidak. Memeriksa
sedimen yang tidak diwarnai terlebih dahulu memungkinkan evaluasi
spesimen yang lebih baik. Untuk memeriksa sedimen yang tidak terwarnai,
setetes kecil sedimen tersuspensi ditempatkan pada kaca objek bersih, ditutup
dengan kaca penutup, dan diperiksa segera. Penggunaan pewarna dalam
sedimen dapat membantu mengidentifikasi jenis sel yang berbeda. Namun,
pewarna sering memasukkan artefak ke dalam sedimen, terutama bahan
endapan dan bakteri. Pewarnaan sedimen urin yang tersedia termasuk
pewarnaan Sternheimer-Malbin (Sedi-Stain, Becton, Dickinson, Franklin
Lakes, NJ) dan 0,5% biru metilen baru, yang mengandung sedikit formalin.
Satu tetes pewarna dicampur dengan sedimen tersuspensi sebelum
menempatkan setetes sedimen pada slide mikroskop. Sebuah kaca penutup
ditempatkan di atas setetes sedimen berwarna (Sirois, 2020).
Gambar 2.20 Sedimen urin bernoda dan tidak bernoda disiapkan untuk pemeriksaan
mikroskopis (Sirois, 2020).
Salah satu metode yang dapat menyederhanakan prosedur urinalisis adalah
dengan menyiapkan dua tetes sedimen urin berdampingan pada slide
mikroskop yang sama. Tetesan yang ditambahkan pewarna dapat digunakan
untuk mengidentifikasi sel, sedangkan sisi yang tidak diwarnai dapat
digunakan untuk mengukur unsur-unsur dalam urin. Spesimen awalnya harus
diamati di bawah daya rendah (10x lensa objektif) untuk mengevaluasi
kualitas keseluruhan preparasi dan untuk mengidentifikasi elemen yang lebih
besar, seperti cast atau agregat sel. Seluruh area di bawah kaca penutup harus
diperiksa, karena cast cenderung bermigrasi ke arah tepi kaca penutup. Cast
dan kristal diidentifikasi dan dilaporkan sebagai jumlah yang diamati per
medan daya rendah. Lensa berdaya tinggi (lensa objektif 40x) diperlukan
untuk mengidentifikasi sebagian besar objek secara akurat, untuk mendeteksi
bakteri, dan untuk membedakan jenis sel. Minimal 10 bidang mikroskopis
harus diamati dengan lensa berdaya tinggi. Sel epitel, sel darah merah, dan sel
darah putih dilaporkan sebagai jumlah rata-rata yang diamati per bidang daya
tinggi. Bakteri dilaporkan sedikit, sedang, atau banyak, dan karakteristik
morfologisnya (misalnya, kokus, basil) dicatat (Sirois, 2020).
BAB III. METODE
3.1 Metode Pemeriksaan
3.1.1 Metode Hematologi
1. Pemeriksaan Eritrosit
Sampel Darah
 Diambil menggunakan pipet thoma hingga skala 0.5.
 Dibersihkan ujung pipet menggunakan tisu.
 Dicampurkan sampel darah dengan reagen Hayem
(mamalia), Reagen Natt-Herrick (non-mamalia).
 Dicampurkan sampel darah dengan reagen hingga
mencapai skala 101.
 Dihomogenkan, kemudian dibuang 2-3 tetes dari pipet.
 Diletakkan hemositometer yang telah diberi cover slip di
mikroskop. Dengan perbesaran kecil, cari kamar hitung.
Kemudian, semprotkan larutan darah dan reagen ke
hemositometer.
 Dibiarkan beberapa menit agar sel memenuhi kamar
hitung.
 Dihitung jumlah sel darah merah pada 5 kotak di kamar
hitung eritrosit, dengan perbesaran kuat.
Hasil

2. Penetapan Kadar Hemoglobin Sahli

Sampel Darah

•Diisi tabung sahli dengan HCL 0.1 N hingga mencapai


volume terendah (2 g/dL).
•Diambil darah dengan pipet sahli hingga mencapai 20
mikroliter.
•Diteteskan darah ke dalam tabung sahli.
•Dihomogenkan. Diamkan 6-10 menit..
•Diteteskan akuades sambil diaduk hingga warna larutan
sama dengan warna standar.
•Dinyatakan hasil dalam satuan gr/dL atau gr/100 ml

Hasil
3. Penetapan Nilai Hematokrit
Sampel Darah
•Dimasukkan ke tabung mikrohematokrit hingga terisi ¾
bagian.
Disumbat salah satu ujung tabung mikrohematokrit
dengan menggunakan clay seal.
•Dimasukkan tabung mikrohematokrit ke dalam mesin
sentrifus dengan posisi clay seal menghadap ke luar.
•Disentrifus dengan kecepatan 16,000 RPM selama 3-5
menit.
•Dibaca dengan menggunakan microhematocrit reader dan
hasil dinyatakan dalam % (persen).
Hasil

4. Penetapan Total Protein Plasma (TPP)


Mikrohematokrit
•Dipatahkan mikrohematokrit yang sudah disentrifugasi
untuk memisahkan bagian plasma dan sel.
•Disimpan bagian plasma dan bagian sel dapat dibuang.
•Diteteskan plasma pada refractometer dan dibaca
kandungan total protein. Hasil dinyatakan dalam g/100
mL.
Hasil
5. Pemeriksaan Fibrionogen
Mikrohematokrit
•Dipanaskan mikrohematokrit utuh pada waterbath selama 2
menit.
•Dipatahkan tabung mikrohematokrit untuk memisahkan
bagian plasma dan sel.
•Diteteskan plasma pada refraktometer dan dibaca. Hasil
dinyatakan dalam g/100mL.
•Ditentukan nilai total fibrinogen: Hasil TPP sebelum
dipanaskan – Hasil TPP sesudah dipanaskan.
Hasil•
6. Perhitungan Leukosit
Sampel Darah

•Diambil menggunakan pipet thoma hingga skala 0.5 (skala


dapat berubah mengikuti konsistensi darah).
•Dibersihkan ujung pipet menggunakan tisu.
•Dicampurkan sampel darah dengan reagen Turk (mamalia),
Modified Rees Ecker (non-mamalia), hingga mencapai
skala 11.
•Dihomogenkan, kemudian dibuang 2-3 tetes dari pipet.
•Diletakkan hemositometer yang telah diberi cover slip di
mikroskop. Dengan perbesaran kecil, cari kamar hitung.
Kemudian, disemprotkan larutan darah dan reagen ke
hemositometer.
•Dibiarkan beberapa menit agar sel memenuhi kamar hitung.
•Dihitung jumlah sel darah putih pada 4 kotak di kamar
hitung leukosit, dengan perbesaran kuat.
Hasil•

3.1.2 Pembuatan Preparat Ulas Darah

Sampel Darah
• Dilakukan Metode apus darah
• Sampel darah yang diambil kemudian diteteskan pada
bagian ujung objek glass
• Tetesan darah kemudian ditempelkan dengan bagian ujung
object glass lain, setelah darah merata pada bagian bawah
object glass, dilakukan apus darah dengan posisi object
glass 30°
• Apusan darah difiksasi menggunakan methanol
• kemudian diwarnai dengan pewarnaan giemsa untuk
pengamatan diferensial leukosit.

Hasil
3.1.3 Pemeriksaan Sitologi
1. Swab Telinga
Sampel Eksudat
 Diswab sampel serumen telinga yang didapatkan pada
object glass secara tipis menggunakan cotton bud.
 Ditutup preparat menggunakan cover glass lalu diamati
menggunakan mikroskop.

Hasil
2. Swab Luka

Sampel Serumen
 Ditempelkan object glass pada lesi luka kulit yang
bereksudat kemudian dibiarkan kering.
 Diwarnai preparat menggunakan metode pewarnaan Diff-
Quik yang diawali dengan fiksasi menggunakan metanol
selama 2-5 detik.
 Setelah difiksasi, dilanjutkan dengan pewarnaan eosin
selama 25-30 detik.
 Diwarnai dengan methylene blue selama 25-30 detik.
 Dibuang pewarna dan dibilas menggunakan air mengalir
secara perlahan hingga warna pada preparat hilang dan
hanya tersisa di area yang terwarnai.
 Dikeringkan preparat dengan cara diangin-anginkan lalu
diamati menggunakan mikroskop.

Hasil

3. Kerokan Kulit
Sampel Kerokan Kulit
 Lesi crustae kulit dikerok menggunakan scalpel blade
 Hasil kerokan kulit diamati menggunakan mikroskop
Hasil

4. Cairan Abnormal Tubuh


Sampel Cairan
 Dilakukan metode abdominocentesis untuk memperoleh
sampel cairan.
 Ditusukkan IV cath pen ukuran 24 G pada abdomen.
 Diaspirasi cairan menggunakan spuit 3 cc untuk
mendapatkan sampel cairan tubuh.
 Diteteskan sampel cairan di object glass lalu diamati di
bawah mikroskop.
 Diwarnai preparat dengan pewarnaan Diff-Quick lalu
kembali diamati di bawah mikroskop .
Hasil

3.1.4 Pemeriksaan Urin


1. Pemeriksaan Fisik
Sampel Urin
 Diletakkan sampel urin pada tabung reaksi.
 Dievaluasi sampel dari parameter fisiknya yang meliputi
bau, warna, kejernihan, dan berat jenis.
Hasil
2. Pemeriksaan Kimia
Sampel Urin
 Diambil sampel urin sebanyak 1 mL menggunakan
pipet.
 Diambil tes strip urin dipstick dan diteteskan urin ke
atas dipstick kemudian ditunggu hingga berubah warna.
 Dicocokkan hasil tes dengan perubahan warna pada
parameter yang tertera dibagian kemasan dipstick.
Hasil
a. Uji Protein
Sampel Urin
 Dimasukkan sampel urin sebanyak 2.5 mL ke dalam
tabung reaksi.
 Ditambahkan 2 tetes albumin (untuk kontrol).
 Ditambahkan 5 tetes asam sulfosalisilat 20%.
 Diamati reaksi yang terjadi.
Hasil
b. Uji Glukosa
Sampel Urin
 Dimasukkan sampel urin sebanyak 10 mL ke dalam
tabung reaksi.
 Ditambahkan 0.5 mL reagen Nylander.
 Ditambahkan 5 tetes glukosa (untuk kontrol).
 Dimasukkan tabung reaksi pada waterbath untuk di
rebus dalam air mendidih selama 5 menit.
 Diamati reaksi yang terjadi.
Hasil

3. Pemeriksaan Kualitas Urin


a. Sedimen
Sampel Urin
 Disentrifus sampel urin dengan kecepatan 6000
rpm selama 5 menit.
 Dipipet bagian sedimen kemudian diteteskan di
object glass.
 Diamati preparat menggunakan mikroskop.

Hasil
b.Uji Benda Keton

Sampel Urin
 Dimasukkan 10 mL urin ke dalam tabung reaksi.
 Ditambahkan 0.5 mL asam asetat glasial.
 Ditambahkan Na Nitroprusside 5%.
 Ditambahkan 3 mL amoniak pekat melalui dinding
tabung perlahan (untuk kontrol).
 Ditambahkan 4-5 tetes aseton.
 Diamati perubahan reaksi yang terjadi.
Hasil
c. Uji Darah

Sampel Urin
 Dimasukkan sampel urin sebanyak 1 mL ke dalam
tabung reaksi.
 Ditambahkan 0.5 mL larutan Benzidine.
 Ditambahkan 2 tetes darah (untuk kontrol).
 Diamati perubahan reaksi yang terjadi.
Hasil

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Hematologi dan Ulas Darah Mamalia
4.1.1 Eritrosit
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan eritrosit pada mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(106/µL) (106/µL)
Anjing 1.6 5.5-8.5 Anemia
Kucing 0.8 6.54-12.20 Anemia
Kelinci 1.2 5.46 – 7.94 Anemia
Kambing 7.5 8-18 Anemia
Sapi 5.8 4.9-7.5 Normal
Hasil pemeriksaan eritrosit menggunakan hemositometer pada
hewan di atas mengalami penurunan dari kisaran normal pada anjing,
kucing, kelinci, dan kambing. Penurunan eritrosit dinamakan anemia.
Menurut Puspita, dkk (2021), anemia adalah turunnya kapasitas atau
kemampuan darah membawa oksigen ke seluruh tubuh karena turunnya
nilai PCV, konsentrasi hemoglobin, dan jumlah eritrosit. Turunnya
kapasitas darah dalam membawa oksigen akan berimbas pada turunnya
level oksigen pada organ dan jaringan tubuh. Anemia merupakan temua
laboratoris dan sindrom klinis, bukan suatu diagnosis penyakit, untuk
itu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan penyebab
yang mendasari terjadinya anemia.
4.1.2 Kadar Hemoglobin (Hb)
Tabel 4.2 Hasil kadar hemoglobin pada mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(g/dL) (g/dL)
Anjing 10 12.0-18.0 Anemia
Kucing 8.2 9.8-16.2 Anemia
Kelinci 12 10.4 – 17.4 Normal
Kambing 9.2 8-12 Normal
Sapi 7.2 8.4-12.0 Anemia
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin menggunakan Sahli meter
pada hewan diatas adalah mengalami penurunan pada anjing, kucing,
dan sapi. Hb menunjukkan kapasitas transportasi oksigen darah dan
harus kira-kira sepertiga dari Hct. Molekul Hb yang ada dalam eritrosit
membawa O2 ke jaringan, membantu menghilangkan CO2 dari tubuh,
dan berkontribusi pada pemeliharaan pH darah. Jumlah Hb dalam
eritrosit meningkat selama pematangan eritrosit. Zat besi dibutuhkan
untuk pembentukan molekul Hb, maka hewan yang kekurangan zat besi
dapat menjadi anemia karena zat besi dibutuhkan untuk menghasilkan
molekul Hb (Barger dan Macneill, 2015).
Defisiensi zat besi di sebabkan karena asupan makanan tidak
memenuhi kebutuhan tubuh atau ketika ada faktor eksternal (non-
resorptif) seperti kehilangan darah kronis. Anemia defisiensi zat besi
hanya berkembang selama minggu ke bulan dari kehilangan darah
kronis atau kejadian berulang dihewan saat remaja dan dewasa.
Penyebab kehilangan darah eksternal kronis termasuk ektoparasitism,
endoparasitism, hematuria, epistaksis, patologi kulit hemoragik,
koagulopati, trombositopenia, dan perdarahan gastrointestinal. Tingkat
dehidrasi pada anjing selain dilihat dari platelet bisa juga dilihat dengan
turunnya kadar hemoglobin dalam darah (Mahindra dkk, 2020).
4.1.3 Kadar PCV (Packed Cell Volume)
Tabel 4.3 Hasil kadar PCV pada mamalia
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(%) (%)
Anjing 34 37.0-55.0 Anemia
Kucing 25 30.3-52.3 Anemia
Kelinci 24 33-50 Anemia
Kambing 37 22 – 38 Normal
Sapi 41 21 – 30 Polisitemia
Hasil pemeriksaan kadar PCV menggunakan mikrohematokrit
reader pada hewan di atas adalah mengalami penurunan pada anjing,
kucing, kelinci, dan mengalami kenaikan pada sapi dari kisaran normal.
Nilai yang kurang dari kisaran normal mengindikasikan anemia. Anemia
yang ditandai PCV rendah dengan protein plasma rendah menunjukkan
perdarahan baru atau sedang berlangsung. Protein plasma sedang hilang
bersama dengan eritrosit. Perdarahan internal pada awalnya hanya
menyebabkan penurunan ringan pada protein plasma, setelah itu protein
direabsorbsi dengan cepat dan kembali normal, sedangkan pada
perdarahan eksternal terjadi penurunan protein plasma yang lebih nyata
(Villiers dan Ristic, 2016).
PCV rendah dengan protein plasma normal menunjukkan bahwa
anemia disebabkan oleh hemolisis atau penurunan produksi eritrosit.
PCV tinggi dengan protein plasma tinggi terlihat dengan dehidrasi. Air
yang hilang dari tubuh menyebabkan peningkatan konsentrasi eritrosit
dan protein. Namun, parameter ini hanya memberikan perkiraan kasar
status hidrasi hewan. PCV tinggi dengan protein plasma normal tidak
biasa dan menunjukkan polisitemia absolut atau peningkatan jumlah
eritrosit. Protein plasma tinggi dengan PCV rendah atau normal biasanya
disebabkan oleh hiperglobulinemia. Lebih sering, peningkatan PCV
terlihat pada pasien yang mengalami dehidrasi, sebagai akibat dari
volume cairan yang lebih rendah di pembuluh darah (Sirois, 2020).
4.1.4 Hasil Perhitungan MCV, MCH, dan MCHC
Tabel 4.4 Hasil perhitungan MCV pada mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(fl) (fl)
Anjing 212.5 60.0-77.0 Makrositik
Kucing 312 35.9-53.1 Makrositik
Kelinci 200 58.5 – 66.5 Makrositik
Kambing 49.3 16-25 Makrositik
Sapi 70.6 36-50 Makrositik
Indeks eritrosit menentukan kualitas eritrosit dengan
menggambarkan rata-rata ukuran eritrosit atau Mean Corpuscular
Volume (MCV) (Day dan Kohn, 2012). Sumsum tulang merespon
hilangnya eritrosit dengan meningkatkan produksi eritrosit dan, setelah
fase jeda awal 3-5 hari, peningkatan jumlah retikulosit dilepaskan ke
dalam sirkulasi. Karena retikulosit lebih besar dari eritrosit matur, mean
corpuscular volume (MCV) akan meningkat yang disebut sebagai
makrositik. Hasil perhitungan MCV pada mamalia didapatkan bahwa
anjing, kucing, kelinci, kambing, dan sapi mengalami peningkatan dari
kisaran normal yang diartikan sebagai makrositik (Villiers dan Ristic,
2016).
Hasil dari perhitungan MCV (Lampiran 1.) pada mamalia
didapatkan bahwa anjing, kucing, kelinci, kambing, dan sapi mengalami
peningkatan MCV (makrositik). Penyebab MCV meningkat adalah
anemia regeneratif dimana peningkatan retikulosit yang bersirkulasi,
yang lebih besar. Pada kucing peningkatan MCV terjadi karena adanya
Infeksi virus leukemia dan penyakit mieloproliferatif, dimana selama
eritropoiesis terjadi keterlambatan pematangan inti bersamaan dengan
produksi hemoglobin normal, mengakibatkan pembelahan sel yang lebih
sedikit sebelum inti diekstrusi. Pada anjing peningkatan MCV terjadi
karena adanya Stomatositosis herediter pada Malamute Alaska dan
Miniatur Schnauzers, dimana stomatosit adalah eritrosit berbentuk
cangkir yang terbentuk ketika eritrosit mengambil kelebihan natrium dan
air (Villiers dan Ristic, 2016).
Tabel 4.5 Hasil perhitungan MCH pada mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(pg) (pg)
Anjing 62.5 19.5-24.5 Hiperkromik
Kucing 102.5 11.8-17.3 Hiperkromik
Kelinci 100 18.7 – 22.7 Hiperkromik
Kambing 83.4 5.20-8 Hiperkromik
Sapi 13.7 14-19 Hipokromik
MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin) yang dinyatakan dalam
pikogram (pg) dan menunjukkan jumlah rata-rata (berat) hemoglobin per
rata-rata eritrosit. MCH tidak memperhitungkan volume eritrosit karena
dihitung dengan membagi Hb dengan jumlah eritrosit. Hasil
pemeriksaan MCH pada mamalia (Lampiran 1.) didapatkan bahwa
anjing, kucing, kelinci dan kambing mengalami peningkatan
(hiperkromik) dari sapi mengalami penurunan (hipokromik) dari kisaran
normal. peningkatan dan penurunan MCH dan MCHC sama-sama
dipengaruhi oleh penyakit. Penyebab hipokromasia termasuk
retikulositosis, defisiensi besi, defisiensi tembaga, dan toksisitas timbal.
Penyebab hiperkromasia termasuk hemolisis dan pemberian oksiglobin.
Namun hiperkromasia sejati (eritrosit yang mengandung peningkatan
jumlah Hb) tidak terjadi (Barger dan Macneill, 2015).
Tabel 4.6 Hasil perhitungan MCHC pada mamalia
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(%) (%)
Anjing 29.4 32.0-36.0 Hipokromik
Kucing 32.8 28.1-35.8 Normal
Kelinci 50 33 – 50 Normal
Kambing 24.8 30-36 Hipokromik
Sapi 19.5 38-43 Hipokromik
MCHC (Mean corpuscular haemoglobin concentration)
menunjukkan konsentrasi rata-rata hemoglobin per eritrosit. MCHC
dihitung dengan membagi Hb dengan HCT dan, karena yang terakhir
dipengaruhi oleh ukuran eritrosit, MCHC adalah indikator yang lebih
berguna dari jumlah hemoglobin yang ada dalam eritrosit. Jika hewan
normal memiliki MCV di bawah kisaran normal, MCHC mungkin
rendah, meskipun sel-selnya mengandung jumlah hemoglobin yang
relatif normal terhadap ukurannya (sel yang lebih kecil harus memiliki
hemoglobin total yang lebih sedikit daripada sel besar). MCHC, yang
mengoreksi variasi ukuran sel ini, akan normal.
Hasil perhitungan MCHC pada mamalia (Lampiran 1.) didapatkan
bahwa anjing, kambing, dan sapi mengalami penurunan (hipokromasia)
dari kisaran normal. Sedangkan kucing dan kelinci masih dalam kisaran
normal. MCHC normal mendefinisikan eritrosit sebagai normokromik
dan terlihat pada anemia non-regeneratif serta pada hewan normal.
Penurunan MCHC identik dengan hipokromasia dan terlihat pada
anemia regeneratif dan defisiensi besi (Villiers dan Ristic, 2016).
4.1.5 Pemeriksaan Total Protein Plasma
Tabel 4.7 Hasil pemeriksaan total protein plasma mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(g/dL) (g/dL)
Anjing 7.6 5-7.8 Normal
Kucing 8 6-8.5 Normal
Kelinci 8 4.5-5.5 Meningkat
Kambing 6.6 6-7.5 Normal
Sapi 10.3 5.36-8.36 Meningkat
Hasil pemeriksaan total protein plasma menggunakan
refraktormeter didapatkan hasil bahwa adanya peningkatan dari kisaran
normal pada kelinci dan sapi. Naik turunnya kadar protein total dalam
peredaran darah dipengaruhi oleh konsentrasi albumin atau globulin
atau bahkan keduanya. Konsentrasi globulin dapat meningkat akibat
infeksi kronis (parasit, bakteri, atau virus), penyakit hati (sirosis,
penyumbatan saluran empedu), sindrom karsinoid, radang sendi atau
reumatik, ulkus pada kolon, myeloma dan leukemia, penyakit autoimun,
gagal ginjal, karena dehidrasi ringan, gagal jantung, kelebihan hormon
glukokortikoid, dan turunannya menyebabkan peningkatan konsentrasi
albumin (Senja dkk, 2020).

4.1.6 Fibrinogen
Tabel 4.8 Hasil pemeriksaan fibrinogen mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(g/dL) (g/dL)
Anjing 1.6 2-4 Hipofibrinogenemia
Kucing - 2-4 Normal
Kelinci 2.4 0.3-0.9 Hiperfibrinogenemia
Kambing 0.4 0.1-0.4 Normal
Sapi 0.8 0.32-1.35 Normal
Hasil pemeriksaan fibrinogen dengan memanaskan
mikrohematokrit dan diamati menggunakan refraktometer didapatkan
hasil bahawa terdapat penurunan pada anjing dan peningkatan pada
kelinci. Fibrinogen diubah menjadi fibrin yang tidak larut selama
kaskade koagulasi, yang mengarah pada pembentukan bekuan darah
yang stabil. Peningkatan kadar fibrinogen menandakan peradangan
nonspesifik sementara penurunan kadar dapat terjadi akibat insufisiensi
hati yang parah, disseminated intravascular coagulation (DIC) atau,
jarang, defisiensi kongenital (defisiensi faktor I). Adanya bekuan dalam
sampel atau penggunaan lithium heparin sebagai antikoagulan akan
menyebabkan penurunan kadar fibrinogen yang salah (Villiers dan
Rictic, 2016).
4.1.7 Leukosit
Tabel 4.9 Hasil pemeriksaan leukosit mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(g/dL) (g/dL)
Anjing 5.2 6.0-17.0 Leukopenia
Kucing 5.1 2.87-17.02 Normal
Kelinci 3.4 5.5 – 12.5 Leukopenia
Kambing 6.9 4-13 Normal
Sapi 6.2 5.1-13.3 Normal
Hasil perhitungan leukosit pada kucing, kambing, dan sapi adalah
dalam kisaran normal, sedangkan pada anjing dan kelinci mengalami
penurunan (leukopenia). Leukosit (sel darah putih) termasuk granulosit
(neutrofil, eosinofil dan basofil) dan sel mononuklear (monosit dan
limfosit). Perubahan leukosit dapat mempengaruhi setiap jenis sel darah
tepi. Proses penyakit dapat menurunkan atau meningkatkan jumlah
leukosit yang bersirkulasi. Pola perubahan jumlah leukosit absolut dari
setiap jenis sel digunakan untuk mengidentifikasi penyakit yang
mendasari yang bersifat inflamasi (menular dan tidak menular),
metabolik, dan neoplastik, dan untuk mengidentifikasi respons fisiologis
terhadap kegembiraan dan stres. Jumlah total leukosit memberikan
informasi tentang jumlah total leukosit dan mengidentifikasi leukositosis
atau leukopenia. Jumlah sel diferensial memberikan jumlah absolut
setiap leukosit dan memungkinkan karakterisasi lengkap dari
leukositosis atau leukopenia (yaitu, pola leukogram). Setiap pola
leukogram dapat digunakan untuk mengembangkan daftar kemungkinan
proses penyakit (diagnosis diferensial) (Rosenfeld dan Dial, 2010).
Leukosit sangat penting untuk pertahanan, dan untuk inisiasi serta
kontrol inflamasi dan imunitas. Neutrofil, makrofag, dan sel natural
killer (NK) (sel limfoid khusus) memberikan respons imun bawaan,
yang merupakan garis pertahanan pertama melawan patogen yang
menyerang dan tidak melibatkan memori imunologis. Sel-sel limfoid
mengatur respons imun adaptif atau didapat, yang diaktifkan oleh
peradangan yang disebabkan oleh patogen apa pun yang melewati
respons bawaan. Respon imun adaptif mengembangkan memori
imunologis. Selain sebagai sel efektor (melaksanakan fungsi), leukosit
berperan penting dalam regulasi hemopoiesis, inflamasi dan imunitas.
Meskipun umumnya protektif terhadap jaringan inang, leukosit juga
terlibat dalam inflamasi yang merugikan, alergi, dan immunemediated
disease (Villiers dan Rictic, 2016).

4.1.8 Ulas Darah


Tabel 4.10 Ulas darah pada mamalia.
Spesies Gambar Gambar
(Reagen dkk,2019)
Anjing

40x obj 100x obj


Ket. Limfosit kecil. Sel kecil dengan inti bulat yang terletak di tengah
dan tepi sitoplasma biru muda adalah limfosit kecil (panah hitam).
Kucing

100x obj
40xobj

Ket. Neutrofil (panah hitam) dan basofil tersegmentasi. Sel di kiri


bawah adalah neutrofil tersegmentasi, dan sel di kanan atas adalah
basofil.
Kelinci

100x obj
40x obj
Ket Basofil, heterofil (panah hitam), dan eosinofil. Sel dengan nukleus
yang tidak tersegmentasi dengan baik dan sitoplasma ungu muda
dengan jumlah granula kecil berwarna ungu di kiri atas adalah
basofil. Sel di kanan bawah dengan nukleus tersegmentasi dan
butiran kecil berwarna kemerahan yang berbeda adalah heterofil.
Sel dengan banyak granula bulat besar di sisi dalam (kanan atas)
adalah eosinofil.
Kambin
g

10x obj 100x obj


Ket Eosinofil (panah hitam). Sel dengan nukleus memanjang dan
banyak, kecil, butiran kemerahan bulat di sitoplasma adalah
eosinofil.
Sapi

40x obj 100x obj

Ket. Limfosit kecil (panah hitam). Sel dengan inti bulat hingga oval dan
tepi sitoplasma biru muda adalah limfosit kecil.

4.1.9 Hasil Perhitungan Relatif dan Absolut Leukosit Mamalia


Tabel 4.11 Hasil perhitungan relatif dan absolut monosit mamalia.
Spesies Relati Absolut Kisaran Keterangan
f (103/µL) Normal
(%) (103/µL)
Anjing 10 0.52 0.15-1.35 Normal
Kucing 11 0.5 0.05-0.67 Normal
Kelinci 10 3.4 4-12 Normal
Kambing 10 0.6 0-0.5 Monositosis
Sapi 6 0.3 0.1-0.7 Normal
Hasil perhitungan nilai monosit pada anjing, kucing, kelinci, dan sapi
adalah masih dalam kisaran normal, namun pada kambing mengalami
peningkatan dari kisaran normal (monositosis). Menurut Weiss dan
Wardrop (2010), monositosis dapat terjadi akibat kondisi reaktif,
termasuk adanya infeksi dan nekrosis. Penyebab infeksi termasuk infeksi
bakteri akut, kronis, infeksia jamur, infeksi riketsia, dan infeksi
protozoa. Gangguan nekrosis yang terkait dengan monositosis berupa
perdarahan, hemolisis, neoplasia ganas, infark, dan trauma. Pada kondisi
nekrosis, monosit sebagai makrofag diperlukan untuk memfagositosis
debris nekrotik dan memulai penyembuhan luka. Pada ruminan,
monositosis kadang-kadang terlihat sebagai bagian dari respons stres,
tetapi tidak sesering pada spesies lain.
Tabel 4.12 Hasil perhitungan relatif dan absolut limfosit mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
(%) (103/µL) Normal
(103/µL)
Anjing 26 1.3 1.0-4.8 Normal
Kucing 12 0.6 0.92-6.88 Limfopenia
Kelinci 20 0.6 28-50 Limfopenia
Kambing 10 0.6 2-9 Limfopenia
Sapi 27 1.6 1.8-8.1 Limfopenia
Hasil perhitungan nilai limfosit pada anjing adalah dalam kisaran
normal, sedangkan pada kucing, kelinci, kambing, dan sapi mengalami
penurunan dari kisaran normal (limfopenia). Limfopenia paling sering
terlihat sebagai akibat dari kortikosteroid eksogen atau endogen yang
menyebabkan pergeseran limfosit dari sirkulasi. Limfosit merupakan
fitur umum dari stress hemogram. Namun, pada peradangan akut,
limfopenia mungkin tidak hanya menjadi respons 'stres' tetapi dapat
terjadi akibat peningkatan margin limfosit ke tempat peradangan dan ke
limfo nodul, ditambah dengan berkurangnya migrasi keluar dari limfo
nodul (Villiers dan Rictic, 2016).
Limfopenia juga merupakan gambaran fase akut dari banyak infeksi
virus, dan dapat terlihat pada sepsis atau endotoksemia. Limfopenia
terjadi pada beberapa penyakit virus melalui kerusakan virus langsung
pada jaringan limfoid dan melalui redistribusi limfosit dari stres atau
paparan antigen. Pada kucing yang mengalami limfopenia, terinfeksi
panleukopenia dan infeksi FeLV. Penyebab lain limfopenia adalah
hilangnya limfa yang kaya limfosit, contohnya termasuk chylothorax dan
gangguan sirkulasi limfatik normal oleh penyakit inflamasi, infeksi, atau
neoplastik. Pada ruminansia, penyebab limfopenia yang paling sering
adalah respon stres yang diinduksi kortikosteroid. Limfopenia juga dapat
terjadi pada fase akut infeksi virus, ehrlichial, mikoplasma atau bakteri
lain dan septikemia (Weiss dan Wardrop, 2010).
Tabel 4.13 Hasil perhitungan relatif dan absolut neutrofil mamalia.
Spesies Relati Absolut Kisaran Keterangan
f (103/µL) Normal
(%) (103/µL)
Anjing 46 2.3 3.0-11.5 Neutropenia
Kucing 69 3.5 2.30-10.29 Normal
Kelinci 60 2.0 38-54% Neutrofilia
Kambing 77 5.3 1-7.2 Normal
Sapi 53 3.2 1.7-6.0 Normal
Hasil perhitungan nilai neutrofil pada kucing, kambing, dan sapi
adalah dalam kisaran normal, sedangkan pada anjing mengalami
penurunan (neutropenia) dari kisaran normal nilai absolut dan kelinci
mengalami peningkatan (neutrofilia) dari kisaran normal nilai relatif.
Neutropenia umumnya merupakan akibat dari permintaan yang
berlebihan dan peningkatan migrasi dari sirkulasi ke jaringan, penurunan
kelangsungan hidup sel, dan ranulopoiesis yang berkurang atau tidak
efektif. Permintaan yang berlebihan paling sering terjadi pada infeksi
bakteri yang parah, seperti pyometra, peritonitis atau pyothorax.
Pengurangan granulopoiesis disebabkan oleh penyakit sumsum tulang
atau toksisitas obat. Sedangkan neutrofilia dapat terjadi karena secara
fisiologis seperti tekanan emosional, ketakutan, stress, respon inflamasi
akut, seperti infeksi bakteri, immune-mediated disease, neoplasia, dan
nekrosis jaringan. Peningkatan permintaan neutrofil sebagai respons
terhadap patogen dan inflamasi (Villiers dan Rictic, 2016).
Tabel 4.14 Hasil perhitungan relatif dan absolut basofil mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
(%) (103/µL) Normal
(103/µL)
Anjing 16 0.8 0.0-0.1 Basofilia
Kucing 2 0.1 0.01-0.26 Normal
Kelinci 3 0.1 2.5-7.5 Normal
Kambin 2 0.1 0-0.1 Basofilia
g
Sapi 0 0 0-0.2 Normal
Hasil perhitungan nilai basofil pada kucing, kelinci, dan sapi dalam
kisaran normal, sedangkan anjing dan kambing mengalami peningkatan
(basofilia). Secara umum, basofil bereaksi serupa dengan eosinofil,
yaitu, cenderung meningkat sebagai respons terhadap infeksi parasit dan
hipersensitivitas; juga kadang-kadang terlihat pada hemogram inflamasi.
Namun, perbedaan yang signifikan dalam jumlah basofil tidak sering
dilaporkan pada ruminansia. Basofilia terjadi pada kambing yang
terinfeksi dengan nematoda. Basofilia juga dapat terlihat pada hewan
dengan neoplasia sel mast atau terjadi sebagai bentuk leukemia
granulositik kronis pada anjing dan kucing (Villiers dan Rictic, 2016).
Tabel 4.15 Hasil perhitungan relatif dan absolut eosinofil mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
Normal
(%) (103/µL) (103/µL)
Anjing 2 0.1 0.1-1.2 Eosinofilia
Kucing 6 0.3 0.17-1.57 Normal
Kelinci 7 0.2 0.5-3.5 Eosinofilia
Kambin 1 0.06 0.05-0.6 Normal
g
Sapi 1 0.06 0.1-0.7 Eosinopenia
Hasil perhitungan eosinofil pada kucing dan kambing adalah dalam
kisaran normal, pada anjing dan kelinci mengalami peningkatan dari
kisaran normal, dan sapi mengalami penurunan dari kisaran normal.
Eosinofilia biasanya menunjukkan peradangan eosinofilik. Namun,
peradangan eosinofilik dalam jaringan sering kali tidak disertai dengan
eosinofilia yang terdeteksi dalam darah karena eosinofil memiliki waktu
paruh yang sangat singkat dalam darah. Penyebab paling umum dari
eosinofilia pada anjing adalah parasitisme. Baik endoparasit maupun
ektoparasit menyebabkan eosinofilia. Namun, perubahan ini terjadi lebih
sering dan lebih besar dengan endoparasit yang bermigrasi melalui
jaringan tubuh dan memiliki kontak host - jaringan yang
berkepanjangan. Peradangan atau reaksi hipersensitivitas lokal pada
sistem pencernaan, pernapasan, dan genitourinari dan pada kulit yang
dimediasi oleh degranulasi sel mast juga menyebabkan eosinofilia
(Weiss dan Wardrop, 2010).
Pada ruminansia, eosinopenia merupakan komponen dari respon
stres. Eosinopenia ekstrim juga telah dilaporkan pada infeksi Theileria
parva dan Theileria annulata pada sapi. Racun dan penyebab lain dari
nekrosis sumsum tulang, fibrosis, atau penekanan dapat menyebabkan
pansitopenia yang mencakup eosinopenia (Weiss dan Wardrop, 2010).
4.2 Hasil Hematologi dan Ulas Darah Non-Mamalia
4.2.1 Eritrosit
Tabel 4.16 Hasil perhitungan eritrosit pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(106/µL)
(106/µL)
Iguana 0.64 1.5-3.5 Anemia
Ayam 2.74 2.5-3.5 Normal
Hasil perhitungan eritrosit menggunakan hemositomer pada iguana
adalah mengalami penurunan (anemia) dari kisaran normal dan pada
ayam dalam kisaran normal. Reptil memiliki RBC lebih rendah
dibandingkan dengan mamalia dan burung, dan RBC tampaknya
hubungan terbalik dengan ukuran eritrosit. Kadal cenderung memiliki
eritrosit yang lebih kecil daripada reptil lainnya; oleh karena itu,
memiliki RBC yang lebih tinggi. Penyebab anemia pada reptil mirip
dengan yang dijelaskan pada mamalia. Anemia dapat diklasifikasikan
sebagai hemoragik (yaitu, kehilangan darah), hemolitik (yaitu,
peningkatan penghancuran eritrosit), atau anemia depresi (yaitu,
penurunan produksi eritrosit) (Thrall dkk, 2012).
4.2.2 Kadar Hemoglobin (Hb)
Tabel 4.17 Hasil perhitungan kadar hemoglobin pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(g/dL) (g/dL)
Iguana 8.2 9.1-12.2 Anemia
Ayam 8.6 7.0-13.0 Anemia
Hasil perhitungan kadar hemoglobin pada iguana dan ayam adalah
mengalami penurunan (anemia). Hemoglobin pada ayam tidak
terpengaruh oleh usia. Penyebab anemia pada iguana dan ayam antara
lain anemia hemoragik, anemia hemolitik, dan anemia depresi. Penyebab
paling umum dari anemia hemoragik pada ayam termasuk cedera
traumatis, parasit penghisap darah, koagulopati, dan lesi hemoragik pada
organ dalam, seperti neoplasma ulserasi, ulserasi lambung, dan pecahnya
hati atau limpa. Infestasi berat dengan ektoparasit penghisap darah
seperti kutu atau tungau (yaitu, tungau Dermanyssus) atau dengan
parasit gastrointestinal seperti Coccidia dapat menyebabkan anemia
hemoragik yang parah pada ayam. Sedangkan pada iguana, penyebab
lain, seperti koagulopati atau lesi ulseratif, harus dipertimbangkan juga.
Anemia hemolitik dapat terjadi akibat parasitemia, septikemia, dan
toksisitas. Sebagian besar parasit darah unggas berpotensi menyebabkan
anemia pada inangnya; namun, dua parasit yang paling sering dikaitkan
dengan anemia hemolitik adalah Plasmodium dan Aegyptianella.
Salmonellosis atau Spirochetosis yang biasanya menyebabkan
septikemia bakteri yang mengakibatkan anemia hemolitik berat. Anemia
depresi biasanya berhubungan dengan penyakit inflamasi kronis,
terutama yang berhubungan dengan agen infeksi. Penyebab lain yang
harus dipertimbangkan untuk anemia depresi pada iguana termasuk
penyakit ginjal atau hati kronis, neoplasia, bahan kimia, dan mungkin,
hipotiroidisme (Thrall dkk, 2012).
4.2.3 Kadar PCV (Packed Cell Volume)
Tabel 4.18 Hasil perhitungan kadar PCV pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(%) (%)
Iguana 54 33-44 Polisitemia
Ayam 30 22.0-35.0 Normal
Hasil perhitungan kadar PCV pada ayam adalah dalam kisaran normal,
sedangkan iguana mengalami peningkatan (polisitemia) dari kisaran
normal,. Polisitemia mengacu pada peningkatan konsentrasi eritrosit
dalam darah yang dibuktikan dengan peningkatan PCV, jumlah eritrosit,
dan konsentrasi hemoglobin. Polisitemia dapat bersifat relatif atau
absolut. Polisitemia relatif dapat terjadi karena penurunan volume
plasma atau redistribusi eritrosit. Contoh yang pertama termasuk
dehidrasi dan perpindahan cairan tubuh. Yang terakhir adalah hasil dari
kontraksi limpa yang paling sering terlihat pada hewan yang sangat aktif
seperti kucing dan kuda (Thrall dkk, 2012).
Polisitemia absolut disebabkan oleh peningkatan aktual massa eritrosit
dan mungkin primer atau sekunder. Polisitemia absolut sekunder terjadi
akibat produksi eritrosit yang berlebihan akibat peningkatan konsentrasi
eritropoietin, yang selanjutnya merupakan akibat sekunder dari hipoksia
umum, hipoksia ginjal lokal, atau produksi eritropoietin yang berlebihan
oleh tumor. Polisitemia absolut primer (yaitu, polisitemia vera) dianggap
sebagai kelainan mieloproliferatif yang berdiferensiasi baik di mana
eritropoiesis terjadi terlepas dari konsentrasi eritropoietin. Meskipun
polisitemia primer jarang terjadi, masih lebih sering terjadi daripada
polisitemia sekunder. Polisitemia primer biasanya didiagnosis dengan
menyingkirkan polisitemia relatif dan polisitemia sekunder (Thrall dkk,
2012).
4.2.4 Hasil Perhitungan MCV, MCH, dan MCHC
Tabel 4.19 Hasil perhitungan MCV pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(fl) (fl)
Iguana 843.7 165-305 Makrositik
Ayam 109.4 104.0-135.0 Normal
Hasil perhitungan MCV pada ayam adalah dalam kisaran normal,
sedangkan pada iguana mengalami peningkatan (makrositik) dari kisaran
normal. MCV meningkat diartikan sebagai eritrosit makrositik yang
berukuran besar. Penyebab paling umum dari makrositosis adalah
peningkatan jumlah eritrosit imatur yang polikromatofilik pada film
darah yang diwarnai dengan Wright. Beberapa obat antikonvulsan,
seperti fenobarbital, fenitoin, dan primidon, diduga dapat menginduksi
makrositosis (Thrall dkk, 2012).
Tabel 4.20 Hasil perhitungan MCH pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(pg) (pg)
Iguana 128.1 48-78 Hiperkromik
Ayam 31.3 32.0-43.9 Hipokromik
Hasil perhitungan MCH pada iguana adalah mengalami peningkatan
(hiperkromik) dan pada ayam mengalami penurunan (hipokromik) dari
kisaran normal. Derajat hiperkromik atau retikulositosis dalam film
darah reptil normal umumnya rendah, dan mewakili kurang dari 1% dari
populasi eritrosit. Hal ini terkait dengan rentang hidup eritrosit yang
panjang (600-800 hari pada beberapa spesies) dan, oleh karena itu,
dengan tingkat pergantian eritrosit reptil yang lambat dibandingkan
dengan burung dan mamalia. Tingkat metabolisme reptil yang relatif
rendah juga dapat menjadi faktor. Reptil muda cenderung memiliki
derajat hiperkromik yang lebih besar daripada yang dewasa. Peningkatan
hiperkormik dan jumlah eritrosit yang belum matang terlihat pada reptil
yang merespons kondisi anemia. Reptil muda atau mereka yang
mengalami ekdisis juga dapat menunjukkan peningkatan hiperkromik
dan konsentrasi eritrosit yang belum matang. Sedangkan hipokromasia
pada ayam dapat terlihat pada defisiensi besi, penyakit inflamasi kronis
terkait dengan penyerapan besi sebagai bagian dari pertahanan ayam
terhadap agen infeksi, dan toksikosis timbal. Hipokromasia juga dapat
dikaitkan dengan defisiensi nutrisi, terutama anemia defisiensi besi
(Thrall dkk, 2012).
Tabel 4.21 Hasil perhitungan MCHC pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(%) (%)
Iguana 15.1 20-38 Hipokromik
Ayam 28.6 30.2-36.2 Hipokromik
Hasil dari perhitungan MCHC pada iguana dan ayam adalah
mengalami penurunaan (hipokromik) dari kisaran normal. Hipokromik
ditujukan dengan eritrosit hipokromik pucat dan mengalami peningkatan
pusat pucat sebagai akibat dari penurunan konsentrasi hemoglobin akibat
kekurangan zat besi. Hipokromasia dapat terlihat pada defisiensi besi,
penyakit inflamasi kronis, dan toksikosis timbal. Hipokromasia juga
dapat dikaitkan dengan defisiensi nutrisi, terutama anemia defisiensi
besi. Keracunan logam berat, terutama dengan keracunan timbal dan
seng, dapat mengakibatkan munculnya eritrosit yang belum matang dan
abnormal dalam darah perifer. Toksikosis timbal kronis juga dapat
dikaitkan dengan pelepasan eritrosit yang tampak normal dan belum
matang secara tepat ke dalam darah perifer. Perubahan morfologi
eritrosit cenderung terjadi ketika konsentrasi timbal dalam darah lebih
besar dari 3 mg/L dan oleh karena itu berhubungan dengan toksikosis
timbal yang parah. Penurunan MCHC merupakan indikator yang lebih
sensitif dari keracunan timbal pada unggas daripada hipokromasia
(Thrall dkk, 2012).
4.2.5 Pemeriksaan Total Protein Plasma (TPP)
Tabel 4.22 Hasil pemeriksaan TPP pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(g/dL) (g/dL)
Iguana 9.8 4.9-7.6 Meningkat
Ayam 5 4,0–5,2 Normal
Hasil pemeriksaan total protein plasma menggunakan rekfraktometer
pada ayam adalah dalam kisaran normal, sedangkan pada iguana
mengalami peningkatan dari kisaran normal. Peningkatan konsentrasi
protein total dapat terjadi akibat peningkatan konsentrasi albumin,
globulin, atau keduanya. Namun, peningkatan konsentrasi albumin atau
globulin tidak selalu menghasilkan peningkatan konsentrasi protein total
yang dapat dideteksi. Peningkatan konsentrasi albumin dan globulin
secara bersamaan paling sering disebabkan oleh dehidrasi, yang
menyebabkan hilangnya air plasma dan peningkatan relatif pada kedua
fraksi protein (Thrall dkk, 2012).
4.2.6 Fibrinogen
Tabel 4.23 Hasil perhitungan fibrinogen pada non mamalia
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(g/dL) (g/dL)
Iguana 2 0.1-0.3 Hiperfibrinogenemia
Ayam 1 0.1-0.3 Hiperfibrinogenemia
Hasil perhitungan fibrinogen pada iguana dan ayam adalah meningkat
dari kisaran normal. Hiperfibrinogenemia sekunder dapat terjadi akibat
infeksi bakteri. Peningkatan konsentrasi fibrinogen plasma paling sering
dikaitkan dengan kondisi inflamasi dan dehidrasi, tetapi juga telah
dikenali dengan kehamilan dan neoplasia. Pada kondisi dehidrasi,
fibrinogen meningkat sebanding dengan protein plasma lainnya. Pada
kondisi inflamasi, fibrinogen adalah sebagai protein fase akut positif,
yang dapat meningkatkan konsentrasi plasma karena peradangan (Thrall
dkk, 2012).
4.2.7 Leukosit
Tabel 4. 24 Hasil perhitungan leukosit pada non mamalia.
Spesies Hasil Kisaran Normal Keterangan
(103/µL) (103/µL)
Iguana 109.6 8.2-25.2 Leukositosis
Ayam 106.7 12-30 Leukositosis
Hasil perhitungan leukosit menggunakan hemositometer pada iguana
dan ayam adalah terjadi peningkatan (leukositosis) dari kisaran normal.
Leukositosis, seringkali merupakan hasil dari proses fisiologis, infeksi,
atau inflamasi. Leukositosis fisiologis dipicu oleh kegembiraan,
ketakutan, dan aktivitas otot yang berlebihan. Peningkatan heterofil atau
limfosit dapat menyebabkan leukositosis. Leukositosis dapat dikaitkan
dengan pelepasan epinefrin atau pengerahan tenaga otot, yang keduanya
menyebabkan peningkatan curah jantung, peningkatan tekanan darah,
dan pembersihan leukosit dari mikrovaskuler ke aliran utama sirkulasi
(Weiss dan Wardrop, 2010).

4.2.8 Ulas Darah


Tabel 4.25 Hasil ulas darah pada non-mamalia.
Spesies Gambar Gambar
(Reagen dkk,2019)
Iguana

100x obj

Ket. Limfosit (panah hitam). Sel bulat dengan inti bulat tunggal dan
jumlah sitoplasma biru yang rendah adalah limfosit. Eosinofil
(panah kuning). Sel mononuklear bulat dengan butiran sitoplasma
kebiruan adalah eosinofil.
Ayam

10xobj 100x obj

Ket. Heterofil (panah hitam). Sel dengan inti berlobus dan butiran
sitoplasma merah-oranye tidak jelas adalah heterofil matang.
Limfosit kecil (panah kuning). Sel dengan inti bulat sampai agak
oval, kromatin yang menggumpal kasar, dan sejumlah kecil
sitoplasma biru adalah limfosit kecil.
4.2.9 Hasil Perhitungan Relatif dan Absolut Leukosit Mamalia
Tabel 4.26 Hasil perhitungan monosit pada non mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
(%) Normal
(103/µL) (103/µL)
Iguana 13 14.2 0.4-2.3 Monositosis
Ayam 26 27.7 0.00 – 0.50 Monositosis
Hasil perhitungan monosit pada iguana dan ayam adalah mengalami
peningkatan (monositosis) dari kisaran normal. Monositosis
menunjukkan penyakit inflamasi, terutama peradangan granulomatosa.
Monositosis sering dikaitkan dengan penyakit menular yang disebabkan
oleh organisme yang biasanya menyebabkan peradangan granulomatosa,
seperti Mycobacterium dan Chlamydophila, dan jamur, seperti
Aspergillus. Granuloma bakteri kronis dan nekrosis jaringan masif juga
dapat menyebabkan monositosis. Dalam kebanyakan situasi, monositosis
paling sering dikaitkan dengan bersamaan heterofilia. Monositosis telah
terlihat pada defisiensi nutrisi tertentu, seperti defisiensi seng, juga
(Thrall dkk, 2012).
Tabel 4.27 Hasil perhitungan limfosit pada non mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
(%) (103/µL) Normal
(103/µL)
Iguana 6,4 70.1 5.2-14.4 Limfositosis
Ayam 15 16.0 1.27 – 10.20 Limfositosis
Hasil perhitungan limfosit pada iguana dan ayam adalah mengalami
peningkatan (limfositosis) dari kisaran normal. Pada iguana jumlah
limfosit dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, fisiologis, dan
jenis kelamin. Jumlah limfosit tertinggi pada musim panas dan iguana
betina memiliki limfosit lebih tinggi dari jantan. Limfositosis dapat
terjadi pada kondisi peradangan, penyembuhan luka, penyakit virus, dan
infestasi parasit seperti Anasakiasis dan Spirochidiasis. Limfositosis juga
terjadi selama ekdisis. Sama halnya dengan iguana, pada ayam
limfositosis terjadi sebagai stimulus antigen seperti infeksi virus kronis,
infeksi bakteri kronis, infeksi jamur, penyakit parasit, neoplasia limfoid
seperti limfosarkoma dan leukemia limfositik, dan toksisitas seng (Weiss
dan Wardrop, 2010).
Tabel 4.28 Hasil perhitungan heterofil pada non mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
(%) (103/µL) Normal
(103/µL)
Iguana 6 6.5 0.6-6.4 Heterofilia
Ayam 30 3.2 1.01 – 13.20 Normal
Hasil perhitungan nilai absolut heterofil pada ayam adalah dalam
kisaran normal, sedangkan pada iguana mengalami peningkatan
(heterofilia). Konsentrasi heterofil pada reptil juga dipengaruhi oleh
faktor musiman. Misalnya, konsentrasi heterofil tertinggi selama bulan-
bulan musim panas. Karena fungsi utama heterofil adalah fagositosis,
peningkatan yang signifikan dalam jumlah heterofil reptil biasanya
dikaitkan dengan penyakit inflamasi, terutama infeksi mikroba dan
parasit atau jaringan. cedera. Kondisi noninflamasi yang dapat
menyebabkan heterofilia termasuk stres (yaitu, kelebihan
glukokortikosteroid), neoplasia, dan leukemia heterofilik (Thrall dkk,
2012).
Tabel 4.29 Hasil perhitungan basofil pada non mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
(%) (103/µL) Normal
(103/µL)
Iguana 6 6.5 0.1-1.2 Basofilia
Ayam 18 19.2 0.00 – 0.40 Normal
Hasil perhitungan basofil pada ayam adalah dalam kisaran normal,
sedangkan pada iguana mengalami peningkatan (basofilia) dari kisaran
normal. pada reptil, jumlah basofil bervariasi menurut spesies, infestasi
parasit, dan faktor lainnya. Basofilia dapat dikaitkan dengan infeksi
parasit dan virus (Thrall dkk, 2012).
Tabel 4.30 Hasil perhitungan eosinofil pada non mamalia.
Spesies Relatif Absolut Kisaran Keterangan
(%) (103/µL) Normal
(103/µL)
Iguana 11 12.0 0.0-0.4 Eosinoflia
Ayam 8 8.5 0.00 – 0.74 Eosinoflia
Hasil perhitungan eosinofil pada iguana dan ayam adalah mengalami
peningkatan (eosinophilia) dari kisaran normal. pada reptile, jumlah
eosinofil bervariasi dalam hubungannya dengan beberapa faktor, seperti
spesies, musim, dan infestasi parasite. Sedangkan eosinofilia pada ayam
terjadi pada kondisi ayam yang memiliki edema wajah; ayam percobaan
terinfeksi Schistosoma atau secara alami terinfeksi Trichostrongylus
tenuis; dan pada puyuh, ayam, dan bebek yang disuntik secara
intraperitoneal dengan serum kuda atau albumin serum sapi (Weiss dan
Wardrop, 2010).
4.3 Hasil Sitologi
4.3.1 Swab Telinga
Kucing domestic short hair, berjenis kelamin jantan, dengan
kondisi hyperkeratosis serta saborrhea pada dorsal kepala hingga
tengkuk. Dilakukan swab pada telinga dengan teknik roll menggunakan
cotton bud steril dan dilakukan sitologi dengan pewarnaan diff-quick,
didapatkan hasil seperti gambar (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Hasil sitologi swab telinga pada kucing menggunakan pewarnaan
diff-quick, ditemukan adanya bentukan oval basofilik, seperti
kacang yang menyerupai kokus bakteri dalam jumlah lebih dari
50. 40x objektif (Dokumentasi Pribadi, 2022).
Berdasarkan gambar di atas, ditemukan adanya bentukan oval
basofilik seperti kacang yang menyerupai bakteri kokus dalam jumlah
lebih dari 50. Menurut Villiers dan Ristic (2016), bentukan tersebut
normal pada kebanyakan anjing dalam jumlah rendah (<5 per lapang
pandang), sedangkan pada kasus ini, ditemukan >5 pada satu lapang
pandang. Dari gambaran tersebut dapat didiagnosa bahwa kucing
mengalami otitis Malassezia. Malassezia (Pityrosporum) adalah tunas
kecil yeast yang mirip dengan Candida. Biasanya ditemukan pada swab
telinga dengan otitis kronis yang tidak responsif terhadap terapi
antibiotik (Willard dan Tvedten, 2012).
4.3.2 Kerokan Kulit
Marmut jantan jenis Sheba, berumur kurang lebih 1 tahun yang
dipelihara dalam 1 kandang bersama kelinci. Ditemukan adanya crustae
pada telinga dan sela-sela kaki. Dilakukan pengerokan kulit secara
dalam pada bagian crustae telinga hingga berdarah. Hasil kerokan
dijatuhkan langsung pada gelas objek, lalu diamati dimikroskop
perbesaran 10x objektif dan idapatkan bentukan seperti Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Hasil kerokan kulit secara dalam bagian tepi telinga marmut
ditemukan adanya tungai family sarcoptidae. 10x objektif
(Dokumentasi Pribadi, 2022).
Hasil gambar diatas ditemukan tungau dengan kaki pendek dan
sepasang kaki ke-3 dan ke-4 tidak terlihat. Kakinya memiliki bentukan
seperti cakar, memiliki anus berada di posterior. Tubuhnya bulat, pipih
di bagian perut, dan cembung di bagian punggung. Dari ciri-ciri tersebut
dapat diidentifikasi bahwa tungau yang berada di gambar adalah
Sarcoptes sp. tungau ini membuat terowongan di lapisan superfisial
epidermis sela jari kaki, paw, dan pinggiran telinga (Taylor dkk, 2016).
4.3.3 Swab Luka
Marmut jantan jenis Sheba, berumur kurang lebih 1 tahun yang
dipelihara dalam 1 kandang bersama kelinci. Ditemukan adanya crustae
pada telinga dan sela-sela kaki. Dilakukan swab luka yang terlebih
dahulu dilakukan kerokan kulit secara dalam hingga berdarah. Swab luka
dilakukan dengan menempelkan gelas objek pada luka lalu dilakukan
sitologi dengan pewarnaan diff-quick dan didapatkan bentukan seperti
pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Hasil swab luka terbuka pada telinga marmut karena hasil dari
kerokan kulit secara dalam hingga berdarah. Ditemukan adanya
eosinofil (panah hitam) dan eritrosit, 40x objektif (Dokumentasi
Pribadi, 2022).
Berdasarkan gambar di atas, ditemukan adanya eosinofil yang
ditunjuk dengan tanda panah. Eosinofil ditunjukan dalam bentuk sel
dengan nukleus yang tidak tersegmentasi dengan baik dan banyak, besar,
bulat, dan terdapat butiran kemerahan di sitoplasma. Pada gambar juga
ditemukan adanya eritrosit karena saat dilakukan swab luka yang didapat
adalah darah hasil dari kerokan dalam. Pada sel darah merah marmut
terdapat sedikit variasi dalam ukuran sel darah merah (anisositosis).
Sebagian besar sel memiliki sentral pucat dalam jumlah sedang (Reagen
dkk, 2019).
4.3.4 Cairan Abnormal Tubuh
Kucing domestik berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih
satu tahun ditemukan dijalan dengan kondisi malnutrisi, cachexia,
oligouria, sempoyongan, ocular discharge, mukosa pucat, sedikit
tremor, dan rambut terlihat kusam. Dilakukan pemeriksaan radiologi di
Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Brawijaya, ditemukan
adanya opasitas yang mengarah pada cairan di abdomen, kemudian
dilakukan abdominocentesis menggunakan butterfly needle. Didapatkan
cairan berwarna putih keruh agak kekuningan sedikit dan kental,
kemudian dilakukan sitologi dengan pewarnaan diff-quick dan
didapatkan hasil seperti pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Hasil sitologi abdominocentesis pada kucing, ditemukan adanya


neutrofil yang mengelilingi makrofag, 40x objektif
(Dokumentasi Pribadi, 2022).
Dari hasil sitologi abdominocentesis ditemukan adanya neutrofil
yang mengelilingi makrofag. Makrofag adalah sel mononuklear besar
dengan sitoplasma pucat hingga biru muda yang melimpah dan nukleus
berbentuk bulat hingga seperti kacang merah. Makrofag sering
mengandung vakuola atau sel dan/atau debris yang sebelumnya telah
difagositosis jika terjadi inflamasi atau jika cairan telah ada dalam
waktu lama (Raskin dan Meyer, 2016). Menurut Villiers dan Ristic
(2016), temuan sitologi berupa sejumlah makrofag yang rendah, sel
mesotelial, neutrofil, dam sesekali adanya limfosit merupakan jenis
cairan transudat, miskin protein. Cairan efusi ini biasanya merupakan
hasil dari dinamika cairan yang berubah. Pada kasus ini, malnutrisi
berat juga dapat menyebabkan efusi transudat. Biasanya, transudat
berupa cairan bening tidak berwarna.
4.4 Hasil Pemeriksaan Urin
Kucing jantan dengan gejala tidak mau makan, bulak balik litter box
dengan posisi buang air kecil, namun tidak ada urin yang keluar, saat dipalpasi
vesika urinari mengalami distensi. Dilakukan pemasangan urin kateter, dan
didapatkan urin seperti pada Gambar 4.5.

4.4.1 Pemeriksaan Fisik

Gambar 4.5 Urin yang didapatkan dari pemasangan urin kateter (Dokumentasi
Pribadi, 2022).
Urin didapatkan dari pemasangan urin kateter dan didapatkan
10mL urin berwarna merah kecoklatan dengan bau merujuk pada
amonia, terlihat keruh, dan berat jenis 1.010 menggunakan urin dipstick.
Menurut Sirois (2020), volume urin normal adalah 20-40 mL/kg BB,
dengan warna urin normal adalah kuning muda sampai kuning karena
adanya pigmen yang disebut urokrom. Urin yang berwarna merah atau
merah-coklat menunjukkan adanya sel darah merah (hematuria) atau
hemoglobin (hemoglobinuria). Urin normal memiliki bau khas yang
bervariasi antar spesies. Urine kucing, kambing, dan babi jantan
memiliki bau yang menyengat. Bau amonia dapat terjadi pada sistitis
yang disebabkan oleh bakteri yang memproduksi urease (Proteus spp.
atau Staphylococcus spp.) dan yang telah memetabolisme urea menjadi
amonia.
Berat jenis normal kucing adalah 1.030 dengan rentang 1.001-
1.080. Pada kasus isostenuria dengan bj 1.008–1.012 dapat
mengindikasikan banyak kondisi yang menyebabkan polidipsi (banyak
minum) atau polyuria (produksi urin meningkat) atau pada hewan
normal dalam keadaan tertentu. BJ dalam kisaran ini dengan azotemia
mendukung diagnosis gagal ginjal (Villiers dan Ristic, 2016), namun
mengukur BJ urin menggunakan strip reagen adalah metode yang paling
tidak dapat diandalkan untuk menentukan pada hewan, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan menggunakan refraktometer dan pemeriksaan
lebih lanjut.
4.4.2 Kimia Urin
Pada pemeriksaan kimia urin kucing menggunakan urin dipstick dan
dikonfirmasi dengan uji protein, glukosa, keton dan darah menggunakan
reagen. Hasil yang didapatkan terjadi pada Tabel 4.31.
Tabel 4.31 Hasil pemeriksaan kimia urin menggunakan urin dipstick.
Indikator Hasil Kisaran Keterangan
Normal (Villiers dan Ristic, 2016)
Ph 8 6.0–7.5 pH >7.5 dapat disebabkan karena
adanya bakteri penghasil urease karena
infeksi saluran kemih atau kontaminasi
sampel.
Leukosit +3 Negatif Esterease yang diproduksi oleh leukosit
merupakan indikator pyuria namun
tidak direkomendasikan karena banyak
positif palsu, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan mikroskopis.
Nitrit Negatif Negatif Tidak direkomendasikan (negatif
palsu). Nitrit yang dihasilkan oleh
bakteri Gram-negatif hanya dapat
dideteksi jika urin berada di VU
setidaknya selama 4 jam sebelum
pengambilan sampel.
Protein 3+ Negatif Disebabkan oleh penyakit saluran
500mg/ atau kemih terutama ginjal atau mungkin
dL sedikit sistem genital. Kadang-kadang
sejumlah kecil protein ditemukan
dalam urin hewan normal. Positif palsu
terjadi ketika urin yang sangat encer,
karena konsentrasi protein mungkin di
bawah sensitivitas metode pengujian;
Pigmenturia; dan Peningkatan palsu
pada urin yang sangat basa (pH >8).
Glukosa +1 50 Negatif Jumlah glukosa dalam urin (glucosuria)
(2,8 tergantung pada kadar glukosa darah
mg/dL) dan pada kecepatan filtrasi glomerulus
dan resorpsi tubulus. Glukosuria
biasanya tidak terjadi pada hewan
normal kecuali kadar glukosa darah
melebihi ambang ginjal (sekitar 170
hingga 180 mg/dL untuk anjing). Pada
konsentrasi ini, resorpsi tubulus tidak
dapat mengikuti filtrasi glomerulus
glukosa, dan glukosa masuk ke dalam
urin. Hasil positif palsu untuk glukosa
dapat terlihat setelah penggunaan
berbagai obat, termasuk asam askorbat
(vitamin C), morfin, salisilat (misalnya
aspirin), sefalosporin, dan penisilin.
Keton Negatif Negatif Strip tes reagen urin tidak cukup
mengidentifikasi pasien sampai ketosis
telah hadir untuk beberapa waktu.
Peningkatan palsu terjadi pada kondisi
pigmenturia dengan urin yang sangat
pekat dan asam. Penurunan palsu
terjadi pada kondisi sampel urin yang
sudah lama.
Uro- Negatif Negatif Tidak direkomendasikan karena tidak
bilinogen konsisten positif dalam keadaan
hemolitik
Bilirubin Negatif Negatif Dapat disebabkan karena hemolisis,
disfungsi hati, kolestasis obstruktif
hepatic, kolestasis obstruktif pasca-
hepatik, dan kolestasis fungsional
(karena sepsis). Peningkatan palsu
dapat terjadi karena metabolit etodolak
(NSAID), kehadiran indican (produk
perincian yang berasal dari triptofan).
Penurunan palsu dapat terjadi karena
suplementasi asam askorbat dan
paparan sinar matahari (bilirubin
menurun dengan paparan sinar UV)
Eritrosit >+4 Negatif Perdarahan (hematuria) di mana saja di
saluran urogenital, peradangan (infeksi,
kristaluria), neoplasia, trauma
(termasuk trauma pengambilan
sampel), dan koagulopati Beberapa
kondisi sistemik juga dapat
menyebabkan hematuria. Peningkatan
palsu dapat terjadi karena peroksidase
mikroba (infeksi saluran kemih atau
kontaminasi sampel). Penurunan palsu
dapat terjadi karena sampel tidak
tercampur (eritrosit mengendap), urin
yang sangat pekat, asam askorbat dan
formaldehida.
Hemo- Negatif Negatif Hemoglobinuria biasanya
globin menunjukkan hemolisis intravascular,
lisis eritrosit dengan sampel urin yang
sudah lama, myoglobinuria, dan
methaemoglobinuria.
Uji protein

BAB V. Penutup
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Daftar Pustaka
Barger, A.M. dan Macneill, A.L. 2015.Clinical Pathology and Laboratory
Techniques for Veterinary Technicians. Wiley Blackwell: Lowa.
Day, M.J. dan Kohn, B. 2012. BSAVA Manual of Canine and Feline Haematology
and Transfusion Medicine. 2nd Ed. BSAVA: Gloucester, UK.
Mahindra, A.T., Batan, I.W., dan Nindhia, T.S. 2020. Gambaran Hematologi
Anjing Peliharaan Di Kota Denpasar. Jurnal Indonesia Medicus Veterinu
s9(3):314-324.
Norsiah, W. 2015. Perbedaan Kadar Hemoglobin Metode Sianmethemoglobin
Dengan Dan Tanpa Sentrifugasi Pada Sampel Leukositosis. Medical
Laboratory Technology Journal 1 (2) : 73-74.
Raskin, R.E. dan Meyer, D.J. 2016. Canine and Feline Cytology : A Colour Atlas
and Interpretation Guide, 3rd ed. Elsevier : St. Louis Missouri.
Reagan, W.J., Rovira, A.R.I., DeNicola, D.B. 2019. Veterinary Hematology Atlas
of Common Domestic and Non-Domestic Spesies. 3rd Ed. Wiley Blackwell:
Hoboken.
Rosenfeld, A.J. dan Dial, S.M. 2010. Clinical Pathology for the Veterinary Team.
Wiley Blackwell: Lowa.
Senja, N.O., Widyastuti, S.K., dan Erawan, I.G.M.K. 2020. Kadar Protein Total
Serum Sapi Bali Betina. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus. 9(4):502-
511.
Sirois, M. 2020. Laboratory Procedures for Veterinary Technicians. 7th Ed.
Elsevier: St. Louis.
Stockham, S.L. dan Scott, M.A. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical
Pathology. 2nd Ed. Blackwell Publishing: Iowa, USA.
Taylor, M.A., Coop, R.L., dan Wall, R,L. 2016. Veterinary Parasitology. 4th ed.
Wiley Blackwell: UK.
Thrall, M.A., Weiser, G., Allison, R.W., dan Campbell, T.W. 2012. Veterinary
Hematology and Clinical Chemistry. 2nd. Wiley-Blackwell : USA.
Villiers, E. dan Ristic, J. 2016. BSAVA Manual of Canine and Feline Clinical
Pathology. 3rd Ed. BSAVA: Gloucester, UK.
Weiss, D.J. dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. 6th Ed.
Blackwell: USA.
Willard, M.D dan Tvedten, H. 2012. Small Animal Clinical Diagnosis by
Laboratory Methods. Elsevier Saunders: St. Louis, Missouri.
Yustina dan Darmadi. 2017. Buku Ajar: Fisiologi Hewan. Program Studi
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau. ISBN 098-602-50749-6-7.

Anda mungkin juga menyukai