Anda di halaman 1dari 8

BAB I

Meisha, anak perempuan yang tinggal di ibu kota yang padat penduduk bersama
orang tua, dua kakak perempuan dan nenek dari pihak ibu. Meisha merasa dan tahu bila ia
bukanlah anak yang pintar dan cepat tanggap, tapi Meisha berusaha rajin untuk mengikuti
jejak kakak-kakaknya, bahkan berusaha untuk melebihi kakaknya. Banyak keinginan yang
ingin dilakukan, tetapi ragu saat memikirkannya kembali. Takut saat memikirkan masa depan
apa yang akan dia hadapi. Apa yang akan terjadi kedepannya dengan keputusanku?

Saat di sekolah dasar, Meisha adalah juara kelas berturut-turut. Ia selalu belajar
dirumah awalnya atas paksaan sang ibu. Saat kelas 4, Meisha berhenti dipaksa oleh ibunya
karena permintaan sang kakak agar Meisha bisa mandiri. Tetapi, Meisha jadi malas belajar
setelah itu, hingga ia mendapat nilai yang sangat jelek saat ulangan. Meisha diejek karena
mendapat nilai jelek. Meisha yang awalnya anak yang periang dan ramah menjadi sangat
pendiam.

Saat tahun ajaran baru di kelas 5, Meisha mencoba membuka dirinya agar bisa
kembali mendapatkan teman. Meisha pun berhasil mendapatkan teman, mereka bernama
Lisa, Keira, Salsa dan Ana. Setelah 1 semester berlalu dengan selalu bersama-sama. Jalan-
jalan di mall, mengerjakan tugas kelompok yang sering dilakukan di rumah Salsa, dan
banyak hal yang mereka lakukan. Tetapi tidak tahu siapa yang memulai, persahabatan itu
tiba-tiba retak. Meisha dengan Keira bertemu teman baru bernama Dea. Sedangkan Lisa,
Salsa, dan Ana menjadi berteman dekat dengan Najwa dan Hana.

Keira bisa menyatu dengan Dea karena memiliki kesukaan pada grup idola yang
sama. Sedangkan Meisha? Ia hanya mengikuti Keira karena merasa hanya bisa dekat dengan
Keira. Hingga akhirnya Meisha tidak peduli akhirnya berteman dengan siapa. Mereka tetap
seperti itu, hingga ketika SMP mereka kembali satu sekolah. Meisha dan Keira tetap
berteman dekat dengan Dea karena satu kelas.

Saat dikelas 2 SMP semester akhir, Meisha dan teman-temannya sedang


mempersiapkan untuk ujian kenaikan kelas. “Kalian mau gak nemenin aku dirumah hari ini
sama besok? Mumpung besok sabtu sekalian kita belajar bareng buat ujian akhir.” ucap Dea
sambil menoleh ke kursi belakang, karena Meisha dan Keira duduk dibelakang Dea.

“Kenapa ,De? Emang dirumah gak ada orang? Aku sih kayaknya boleh-boleh aja
sama ibu tapi tetep harus tanya dulu ya.” ujar Keira sambil bermain handphone. “Kalo aku
gak janji ya ,De. Tapi aku usahain kan niatnya mau belajar sekalian nemenin kamu dirumah.”
kata Meisha sambil merapikan alat tulis di meja.

“Eh...Tapi kalo gak dibolehin gak usah dipaksain ya. Aku cuman pengen ada temen
aja dirumah. Capek soalnya dengar bapak sama ibu berantem mulu. Mana kakak gak tau
pulang atau enggak hari ini dari kampus.” Dea menelungkupkan kepala di meja Meisha.

“Hmm… gak dipaksain kok, kan tanya dulu tapi doain aja boleh hehehe. Yaudah, ayo
kantin dulu aku kelaparan nih belum sarapan soalnya tadi hampir telat.” Meisha mengusap
kepala Dea sambil tersenyum.

Saat jam pelajaran selesai, Meisha dan Keira langsung minta izin untuk pergi ke
rumah Dea dan untungnya dibolehin. “Ayo langsung aja kita ke rumah Dea, nanti kita pinjem
bajunya Dea hehehe...Bolehkan ,De?” Tanya Keira. “Ya boleh dong, kan aku yang ngajak.
Tapi kita beli cemilan dulu apa lebih baik order aja?” Dea pun membuka handphone untuk
memesan grabcar.

Mereka bertiga sampai dirumah dan langsung bersih-bersih lalu makan dan istirahat
di kamar Dea di lantai dua. “Dea aku gak boong, rumah kamu sepi banget. Kayak bener-
bener gak ada suara sama sekali. Emang gak ada bibi atau siapa gitu dirumah? Ibu kamu
kemana emang ,De?” ucap Keira sambil melihat sekeliling rumah dan disetujui oleh Meisha
dengan mengangguk.

“Gak tau deh pada kemana. Semalam ibu sama bapak berantem lagi soalnya. Aku
dengar saat mereka berantem, katanya maunya pisah aja. Ibu katanya capek sama bapak yang
sudah mulai jarang kasih perhatian sama jarang pulang. Aku gak mau negatif thinking sama
bapak sih. Tapi aku takut kalau bapak sebenernya punya selingkuhan atau keluarga lain yang
gak kami tau.” Dea berkaca-kaca dan menundukkan kepala.

“Dea, dengerin aku ya. Kamu itu kuat, baik, sabar, sayang banget sama keluar, pintar
dan bertanggung jawab. Aku yakin bapak kamu pasti sayang dan bangga sama kamu jadi dia
gak bakal ngelakuin hal kaya gitu. Berdoa aja supaya hal seperti itu gak kejadian beneran.”
Meisha khawatir dengan suasana hati Dea yang akhir-akhir ini lebih suram dari biasanya.
Karena bagaimanapun biasanya Dea yang paling aktif dan ceria.

“Hmm...Aku berusaha percaya kalo bapak bakalan setia sama ibu.” Dea mulai
tersenyum kepada teman-temannya. “Yaudah kalo gitu aku lapar nih pengen makan.
Mending kita turun dulu ke bawah terus makan,” sela Keira. “Ayo, gas. Aku juga lapar
hehehe.” saut Dea dengan semangat. Lalu mereka turun ke bawah dan mulai makan.

Hari terus berganti sampai pada saat ujian kenaikan kelas tinggal menghitung jari.
Dea yang tetap masih terlihat murung dari hari ke hari dan Meisha serta Keira yang masih
menanyakan kabar dan menghiburnya. Mereka tidak tega dengan keadaan Dea, tapi tidak bisa
terlalu ikut campur karena itu adalah masalah keluarga dan bukan hal yang baik untuk orang
luar ikut campur.

Hingga akhirnya saat Meisha dan Keira pergi ke rumah Dea. Mereka melihat Dea
melakukan cutting. “Dea, Astaghfirullah kamu ngapain?” ucap Keira sambil berlari
menghentikan Dea. “Jangan aneh-aneh ya ,De. Kamu tuh sehat kenapa malah ngerusak tubuh
kamu. Bapak sama ibu kamu kemana? Kok mereka gak tau kamu kaya gini?” sambungnya.

“Hehehe…(tertawa miris) Aku gak tau bapak kemana ,Kei. Ibu ngomong sama aku
kalau mereka sekarang sudah cerai. Aku awalnya gak percaya sampe ngeliat Bapak pulang
buat beresin barang-barangnya.” ucap Dea berlinang air mata.

“Kamu sudah tanya ,De? Kenapa bapak kamu menceraikan ibumu.” tanya Meisha
sambil mengusap air mata Dea yang mulai jatuh.

“Udah ,Sha. Kata bapak, dia sama ibu udah gak sependapat, udah gak saling cinta lagi
sama capek berantem terus setiap ketemu. Aku tau sebenarnya mereka capek berantem terus.
Tapi kenapa mereka nggak mikirin aku sama kakak. Aku masih butuh dua orang tua buat
nemenin aku kelulusan dan lain-lain. Masih banyak yang belum kami lakukan bersama. Tapi
kenapa mereka malah milih pisah tanpa mikirin aku.”

“Kamu harus sabar ,De. Aku tau kamu kuat dan bisa menghadapi ini. Yuk bisa
yuk ,De. Jangan lupa ada aku sama Keira yang selalu ada buat kamu. Kita teman kan? Teman
yang akan selalu menopang kamu saat kamu jatuh.” Meisha memeluk Dea disusul Keira.

“Iya, pokoknya kamu harus selalu ingat kalau kamu gak sendiri disini. Tapi, aku ingin
kamu berhenti ngelakuin hal yang tadi kamu lakuin. Lihat sekarang tangan kamu banyak
lukanya. Pasti ini masih baru-baru semua kan. Kalau gitu kita obati dulu biar tidak infeksi.”
Keira pergi mengambil kotak P3K.

“Makasih ya kalian selalu ada buat aku. Aku gak tau lagi gimana jadinya kalau gak
ada kalian disisi aku.” ucap Dea sambil menatap hangat Meisha dan Keira.
BAB II

Setelah pulang dari rumah Dea, Meisha duduk termenung di tempat tidur.
Memikirkan hal yang dilakukan Dea saat ia sampai di rumahnya.

‘Sakit gak sih yang dilakuin Dea tadi. Kenapa juga Dea ngelakuin itu saat lagi down.’
gumamnya dalam hati.

Tok..Tok..Tok..

“Iya...Siapa?” tanya Meisha sambil melihat ke arah pintu.

“Ini bunda ,Sha.” ucap bunda sambil membuka pintu. “Kenapa bun?” tanya Meisha.
“Makan malam dulu yuk. Ayah sama kakak-kakak kamu udah di meja makan juga. Nanti
keburu dingin makanannya.” ajak bunda. “Iya bun, ini Meisha baru mau turun.”

Sesampainya di meja makan, terlihat wajah sang ayah yang terlihat kusut. “Harus ya
dipanggil saat makan malam. Gak bisa apa kamu turun sendiri kaya kakak-kakak mu
ini ,Sha?” ucap sang ayah sambil menoleh ke arah Meisha. “Iya maaf ayah, ini Meisha baru
selesai bersih-bersih. Kan tadi aku baru pulang dari rumahnya Dea.”

“Main terus baru pulang jam segini. Belajar udah mau kelas 3. Mau lanjut SMA
dimana kamu kalau kerjanya main terus.” seru sang ayah dengan dingin. “Gimana nilai-nilai
ujian kenaikan kelas kamu? Kapan ambil rapotnya?”

“Alhamdulillah bagus ,ayah. Kata Wali kelas kemungkinan aku peringkat 2 dikelas.”
jawab Meisha antusias. “Peringkat 2? Dulu kakak-kakak kamu selalu peringkat 1 di kelas.
Kok kamu gak bisa peringkat 1?” tanya bunda sambil menatap Meisha.

“Bun, udah deh ini kita mau makan loh. Kenapa jadi bahas rapotnya Meisha. Itu nanti
aja. Toh, peringkat 2 juga bagus kok. Jangan kaya gitu cuman karena aku sama kakak sering
peringkat 1 pas sekolah. Kapasitas otak orang kan beda-beda.” sela kakak kedua Meisha
sambil mulai mengambil lauk di piring.

“Yaudah kita makan dulu. Ngomongin itu nanti aja lanjut lagi,” ucap sang bunda
sambil mengisi piring ayah. Bunda juga mengambilkan lauk untuk kakak-kakak Meisha dan
mereka mulai makan setelah berdoa.
Tidak ada yang memperhatikan raut wajah Meisha yang mulai murung. Meisha tidak
suka saat-saat seperti ini. Tidak ada yang tau kalau Meisha di sekolah akan berbeda dengan
Meisha di rumah.

‘Sabar ,Meisha. Kamu udah biasa menghadapi hal seperti ini. Yuk bisa bertahan
sebentar lagi.’ ucap Meisha dalam hati sambil menunduk dan mengepalkan tangan.

Setelah selesai makan, Meisha kembali ke kamar sedangkan ayah, bunda dan kakak-
kakaknya mengobrol di ruang keluarga karena para kakak baru pulang bekerja saat itu.
“Gimana hari ini kerjanya kak?” tanya ayah sambil menyeruput teh yang disiapkan oleh
bunda. “Alhamdulillah baik ,yah. Tadi aku meeting buat proyek besar dan alhamdulillah
dapet. Jadi aku dapat bonus di gaji bulan ini karena menangin proyeknya.” jawab kakak
pertama. “Kalo aku sih resep masak aku yang baru itu kan udah di accept sama atasan. Jadi
pas hari ini baru pertama kali di jual. Banyak yang beli ,yah. Katanya enak masakan aku.”
kata kakak kedua.

“Bagus kalau kaya gitu. Ayah senang dengarnya. Tapi kak, kenapa kamu gak buka
restoran aja sekalian, kan lumayan buat tambahan gitu.” usul sang ayah. “Ayah, kakak capek
lah kerja di restoran masa harus ngurusin restoran lain juga.” seru bunda.

“Gapapa bun, rencananya aku juga pengen buka usaha cafe sama temen. Tapi temen
aku yang urusin cafenya.” kata kakak kedua sambil menonton televisi.

“Coba Meisha kaya kalian yang rajin, kerja keras, pintar lagi. Ayah pasti senang.”

“Meisha bukannya pintar ya ,yah? setau aku dia rangking atas pas di sekolah. Emang
sekarang nilai dia turun atau gimana?” tanya sang kakak

“Ya kamu liat aja kak. Tadi dia baru pulang malam karena sekarang kerjanya dia
main ke rumah temannya terus. Ayah bingung orang dia bisa belajar biar nilainya bagus
kenapa harus main coba. Pusing ayah liatnya.” ucap ayah sambil geleng-geleng kepala.

“Ayah, adek kan butuh istirahat aja juga. Biarin aja sekali-kali. Yang penting di
ingetin aja jangan kebiasaan.” ujar bunda menenangkan ayah.

“Tapi kan…(menghela nafas) Yaudah deh ayah ngikut aja. Tapi kalau nilai dia makin
turun. Ayah bakalan turun tangan.” Mereka lanjut ngobrol tentang hal lain tanpa menyadari
bahwa Meisha sedari tadi mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
BAB III

Setelah pengambilan rapot. Meisha ternyata mendapat peringkat ke 3. Meisha kaget


karena wali kelasnya bilang kemungkinan ia akan mendapatkan peringkat 2. Tapi ternyata
malah mendapat peringkat 3. Sang bunda yang mengetahui itu kaget karena ingat yang
pernah dikatakan Meisha saat di meja makan waktu itu.

“Bunda, gimana caranya Meisha bilang ke ayah bun? Meisha takut kalau ayah marah”
Meisha jalan bolak-balik terus di depan sofa tempat bunda duduk. Bunda hanya terus
berwajah datar sambil menatap rapot Meisha ditangannya.

“Bunda juga gak tau ,Sha. Lagian kamu waktu itu bilangnya bisa peringkat 2, tapi
kenapa tiba-tiba jadi peringkat 3. Bunda gak suka deh liat. Nilai kamu makin turun terus.
Gimana mau kaya kakak-kakak kamu coba kalau nilainya kaya gini. Pusing bunda.”

“Ayah pulang jam berapa ,bun? Meisha mau di kamar aja. Nanti kalau ayah pulang
tolong bilang Meisha lagi istirahat ya ,bun. Makasih bunda.” seru Meisha sambil berlari ke
arah kamar tanpa mendengar jawaban bunda.

“Meisha...Meisha...Kamu nih bener-bener ya. Nanti ayah bakalan makin marah kalau
kamu enggak keluar pas dipanggil ayah. Bunda gak mau turun tangan ya kalau kaya gitu. Itu
urusan kamu sama ayah.” seru bunda sambil berteriak.

Saat sampai di kamar, Meisha langsung mengunci pintu dan berjalan ke tempat tidur
dengan melempar tas sembarang arah. Meisha menumpahkan semua tangisan yang ia tahan
sedari di sekolah. Mengetahui bahwa peringkatnya semakin menurun, hatinya terasa sakit. Ia
merasa bahwa ia sudah sangat bekerja keras dalam belajar agar orang tuanya bisa senang.
Tetapi siapa yang tau kalau nilainya tidak membaik malah sebaliknya menurun.

“Ya Allah, ayah pasti bakalan marah kalau tau nilai aku turun. Pasti ayah bakalan
nyalahin aku yang sering ke rumahnya Dea akhir-akhir ini. Padahal kan aku lagi ngehibur
Dea karena orang tuanya baru saja resmi bercerai. Tapi ayah gak tau kalau aku ngelakuin itu.
Apa aku harus jujur aja ya sama ayah soal itu. Eh...Tapi kan itu masalah pribadi orang lain.
Aduh pusing deh mikirin ini. Capek aku tuh, mending tidur aja dulu sebelum ketemu ayah.”

Setelah itu Meisha pergi bersih-bersih dilanjutkan sholat dulu baru beranjak ke tempat
tidur. Menunggu panggilan sang ayah dengan tidur akan lebih baik daripada sibuk
memikirkannya.
Hari sudah malam saat ayah pulang. Lelah setelah lembur kerja, disambut dengan
kabar yang menurutnya buruk membuat suasana hati sang ayah menjadi lebih buruk.

“MEISHA…Turun sekarang, ayah mau ngomong sama kamu.” suara menggelegar


sang ayah mengagetkan Meisha yang baru bangun.

Tidak mau membuat sang ayah lebih marah, ia cepat-cepat turun kebawah. Berhenti
sebentar di tangga terakhir. Meisha putus asa saat melihat kertas yang dipegang ayahnya.
“Meisha liat ucapan kamu yang kemarin yang benar. Kamu bilang peringkat 2. Ayah udah
mentolerir itu, tapi kamu malah peringkat 3. Mau jadi apa kamu Meisha?” tanya sang ayah
saat melihat Meisha di depan matanya.

“Ayah, Meisha minta maaf. Meisha nggak tau kenapa tiba-tiba bisa peringkat 3.
Waktu itu wali kelas bilang bisa peringkat 2 dan Meisha percaya diri. Tapi ternyata Pak
Derry nemuin nilai aku ada yang kurang dari teman aku di kelas. Meisha nggak bisa apa-apa
ayah ngeliat itu. Tidak mungkin kan Meisha protes ke guru.” jawab Meisha sambil
memainkan ujung bajunya dengan gelisah.

“Apa kamu bilang? Kamu gak bisa apa-apa? Kamu itu bisa, cuman kamu malas malah
main terus. Ayah udah bilang jangan sering main. Kamu masih aja bandel. Mau ayah hukum
dimana kamu?” seru ayah sambil mengambil tongkat di bawah meja.

Saat Meisha melihat tongkat itu, ia kembali teringat saat sang ayah memukulnya
terus-menerus saat ia berbuat salah. Meisha merasa ingin menangis. Ia tahu bila ia salah,
tetapi dia merasa bahwa hanya dia yang diperlakukan seperti itu. Kakak-kakaknya tidak
pernah dipukul ayah bila mereka salah. Meisha merasa bahwa itu tidak adil.

“Ayah mau pukul Meisha lagi? Ayah tau nggak kalau rasanya sakit saat ayah
memukul Meisha. Luka bekas pukulan ayah tidak lebih sakit dari hati Meisha saat ayah
melakukan itu. Teman-teman Meisha sering iri sama Meisha karena aku selalu peringkat atas
dan orang tua mereka menyuruh mereka mencontoh aku.” Meisha tidak bisa menahan rasa
sakitnya saat memikirkan itu.

“ Kenapa ayah gak bisa ngeliat kalau aku itu masih peringkat atas. Kenapa yang ada
dipikiran ayah cuman peringkat 1 terus-menerus. Meisha capek, yah.” Meisha meneteskan air
mata sambil melihat sang ayah.
Ayah dan bunda yang baru datang kaget melihat Meisha yang menangis di depan
mereka.

“Meisha benar-benar capek sama perlakuan ayah yang gak adil ini. Ayah bisa gak
memukul kakak kalau mereka salah. Tapi kenapa giliran Meisha yang salah, ayah selalu
pukul Meisha. Meisha ini anak ayah atau nggak sih, yah.

Anda mungkin juga menyukai