Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH GASTRITIS

OLEH:
KATA PENGANTAR

Puji syukur kamo panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata΄ala, karena


berkat rahmat-nya kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
“GASTRITIS” ini tepat pada waktu.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Tembilahan, 07 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1

C. Tujuan ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung .................................................... 3

2.2 Definisi Gastritis ............................................................................. 6

2.3 Epidemiologi .................................................................................. 8

2.4 Etiologi ............................................................................................ 9

2.5 Patofisiologi .................................................................................... 11

2.6 Gejala Gastritis ................................................................................ 12

2.7 Komplikasi ...................................................................................... 13

2.8 Terapi Farmakologi.......................................................................... 13

2.9 Terapi Non-Farmakologi.................................................................. 25

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 26

B. Saran ................................................................................................ 26

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gastritis atau Dyspepsia atau istilah yang sering dikenal oleh masyarakat
sebagai maag atau penyakit lambung adalah kumpulan gejala yang dirasakan
sebagai nyeri ulu hati, orang yang terserang penyakit ini biasanya sering
mual, muntah, rasa penuh, dan rasa tidak nyaman. Biasanya keluhan yang
diajukan penderita tersebut ringan dan dapat diatasi dengan mengatur
makanan, tetapi kadang-kadang dirasakan berat, sehingga ia terpaksa
meminta pertolongan dokter bahkan sampai terpaksa diberi perawatan khusus
(Wardaniati, 2016).
Menurut WHO di Indonesia pada tahun 2012 angka kejadian gastritis
mencapai 40,8% pada beberapa daerah dengan prevalensi 274.396 kasus dari
238.452.952 jiwa pendududuk. Selain itu pada tahun 2007 penyakit gastritis
menempati urutan kelima dengan jumlah penderita 218.872 dan kasus
kematian 899 orang (Suryono, 2016).
Tingginya angka kejadian gastritis dipengaruhi oleh beberapa faktor
secara garis besar penyebab gastritis dibedakan atas zat internal yaitu adanya
kondisi yang memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan, dan zat
eksternal yang menyebabkan iritasi dan infeksi.
Gastritis merupakan penyakit yang cenderung mengalami kekambuhan
sehingga menyebabkan pasien harus berulang kali untuk berobat. Salah satu
penyebab kekambuhan gastritis adalah karena minimnya pengetahuan pasien
dalam mencegah kekambuhan gastritis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, berikut
rumusan masalah makalah:
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi lambung?
2. Apa yang dimaksud gastritis?

1
3. Bagaimana epidemiologi gastritis?
4. Bagaimana etiologi gastritis?
5. Bagaimana patofisiologi gastritis?
6. Bagaimana gejala gastritis?
7. Apakah terdapat komplikasi gastritis?
8. Bagaimana terapi farmakologi gastritis?
9. Bagaimana terapi non-farmakologi gastritis?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, berikut tujuan
penulisan makalah:
1. Menggambarkan anatomi dan fisiologi lambung
2. Memaparkan pengertian gastritis
3. Memaparkan epidemiologi
4. Memaparkan etiologi gastritis
5. Memaparkan patofisiologi gastritis
6. Memaparkan gejala gastritis
7. Memaparkan komplikasi gastritis
8. Memaparkan terapi farmakologi gastritis
9. Memaparkan terapi non-farmakologi gastritis

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lambung


2.1.1 Anatomi Lambung
Lambung adalah organ pencernaan yang paling melebar, dan
terletak di antara bagian akhir dari esofagus dan awal dari usus halus.
Lambung merupakan ruang berbentuk kantung mirip huruf J, berada di
bawah diafragma, terletak pada regio epigastrik, umbilikal, dan
hipokondria kiri pada regio abdomen (Tortora & Derrickson, 2009).
Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu
kardiak, fundus, badan (body), antrum, dan pilori. Kardia adalah daerah
kecil yang berada pada hubungan gastroesofageal (gastroesophageal
junction) dan terletak sebagai pintu masuk ke lambung Fundus adalah
daerah berbentuk kubah yang menonjol ke bagian kiri di atas kardia.
Badan (body) adalah suatu rongga longitudinal yang berdampingan
dengan fundus dan merupakan bagian terbesar dari lambung. Antrum
adalah bagian lambung yang menghubungkan badan (body) ke
pilorik dan terdiri dari otot yang kuat. Pilorik adalah suatu struktur
tubular yang menghubungkan lambung dengan duodenum dan

mengandung

3
Pembagian daerah anatomi lambung (Tortora & Derrickson, 2009)
Histologi Lambung
Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama
halnya dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan modifikasi
tertentu yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan
serosa (Schmitz & Martin, 2008).
1. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan
muskularis mukosa. Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam
lamina propia dengan kedalaman yang bervariasi, dan membentuk
sumur-sumur lambung disebut foveola gastrika. Epitel yang
menutupi permukaan dan melapisi lekukan-lekukan tersebut adalah
epitel selapis silindris dan semua selnya menyekresi mukus alkalis.
Lamina propia lambung terdiri atas jaringan ikat longgar yang
disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Muskularis mukosa yang
memisahkan mukosa dari submukosa dan mengandung otot polos
(Tortora & Derrickson, 2009).
2. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah,
sistem limfatik, limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu
terdapat pleksus submukosa (Meissner) (Schmitz & Martin, 2008).
3. Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu (1)
inner oblique, (2) middle circular, (3) outer longitudinal. Pada
muskularis propia terdapat pleksus myenterik (auerbach) (Schmitz
& Martin, 2008). Lapisan oblik terbatas pada bagian badan (body)
dari lambung (Tortora & Derrickson, 2009).
4. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis

4
skuamos (mesotelium) dan jaringan ikat areolar (Tortora &
Derrickson, 2009). Lapisan serosa adalah lapisan paling luar dan
merupakan bagian dari viseral peritoneum (Schmitz & Martin,
2008).

Histologi Lambung (Tortora & Derrickson, 2009)

2.1.2 Fisiologi Sekresi Getah Lambung


Setiap hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung.
Sel-sel yang bertanggung jawab untuk fungsi sekresi, terletak di lapisan
mukosa lambung. Secara umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi
dua bagian terpisah : (1) mukosa oksintik yaitu yang melapisi fundus
dan badan (body), (2) daerah kelenjar pilorik yang melapisi bagian
antrum. Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong lambung (gastric
pits), yaitu suatu invaginasi atau kantung pada permukaan luminal
lambung. Variasi sel sekretori yang melapisi invaginasi ini beberapa
diantaranya adalah eksokrin, endokrin, dan parakrin (Sherwood, 2010).
Ada tiga jenis sel tipe eksokrin yang ditemukan di dinding kantung
dan kelenjar oksintik mukosa lambung, yaitu :
1. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan
mukus yang encer.
2. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan
sel parietal. Sel utama menyekresikan prekursor enzim pepsinogen.
3. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik.
Oksintik artinya tajam, yang mengacu kepada kemampuan sel ini
untuk menghasilkan keadaan yang sangat asam.
Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen lambung dan
mereka berperan dalam membentuk getah lambung (gastric juice )
(Sherwood, 2010).
Sel mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel induk bagi
semua sel baru di mukosa lambung. Sel-sel anak yang dihasilkan dari
pembelahan sel akan bermigrasi ke luar kantung untuk menjadi sel

5
epitel permukaan atau berdiferens6iasi ke bawah untuk menjadi sel
utama atau sel parietal. Melalui aktivitas ini, seluruh mukosa lambung
diganti setiap tiga hari (Sherwood, 2010).
Kantung-kantung lambung pada daerah kelenjar pilorik terutama
mengeluarkan mukus dan sejumlah kecil pepsinogen, yang berbeda
dengan mukosa oksintik. Sel-sel di daerah kelenjar pilorik ini jenis
selnya adalah sel parakrin atau endokrin. Sel-sel tersebut adalah sel
enterokromafin yang menghasilkan histamin, sel G yang menghasilkan
gastrin, sel D menghasilkan somatostatin. Histamin yang dikeluarkan
berperan sebagai stimulus untuk sekresi asetilkolin, dan gastrin. Sel G
yang dihasilkan berperan sebagai stimuli sekresi produk protein, dan
sekresi asetilkolin. Sel D berperan sebagai stimuli asam (Sherwood,
2010).

Kelenjar oksintik di lambung (Fauci, 2008)

2.2 Definisi Gastritis


Gastritis atau lebih dikenal sebagai maag berasal dari bahasa yunani yaitu

6
gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan.
Gastritis bukan merupakan penyakit tunggal, tetapi terbentuk dari beberapa
kondisi yang kesemuanya itu mengakibatkan peradangan pada lambung.
Biasanya, peradangan tersebut merupakan akibat dari infeksi oleh bakteri
yang sama dengan bakteri yang dapat mengakibatkan borok di lambung yaitu
Helicobacter pylori. Tetapi faktor-faktor lain seperti trauma fisik dan
pemakaian secara terus menerus beberapa obat penghilang sakit dapat juga
menyebabkan gastritis.
Secara histologis dapat dibuktikan dengan inflamasi sel-sel radang pada
daerah tersebut didasarkan pada manifestasi klinis dapat dibagi menjadi akut
dan kronik (Hirlan, 2001 : 127).
Pada beberapa kasus, gastritis dapat menyebabkan terjadinya borok
(ulcer) dan dapat meningkatkan resiko dari kanker lambung. Akan tetapi bagi
banyak orang, gastritis bukanlah penyakit yang serius dan dapat segera
membaik dengan pengobatan.
Gastritis merupakan gangguan yang sering terjadi dengan karakteristik
adanya anorexia, rasa penuh, dan tidak enak pada epigastrium, nausea,
muntah.
Secara umum definisi gastritis ialah inflamasi pada dinding lambung
terutama pada mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan
gangguan yang paling sering ditemui diklinik karena diagnosisnya hanya
berdasarkan gejala klinis
Bila mukosa lambung sering kali atau dalam waktu cukup lama
bersentuhan dengan aliran balik getah duodenum yang bersifat alkalis,
peradangan sangat mungkin terjadi dan akhirnya malah berubah menjadi
tukak lambung. Hal ini disebabkan karena mekanisme penutupan pylorus
tidak bekerja dengan sempurna, sehingga terjadi refluks tersebut. Mukosa
lambung dikikis oleh garam- garam empedu dan lysolesitin (dengan kerja
detergens). Akibatnya timbul luka- luka mikro, sehingga getah lambung
dapat meresap ke jaringan-jaringan dalam dan menyebabkan keluhan-
keluhan (Obat-obat Penting hlm 262).

7
Gastritis menurut jenisnya terbagi menjadi 2, yaitu (David Ovedorf
2002) :
1. Gastritis akut
Disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat yang dapat
menyebabkan mukosa menjadi gangren atau perforasi. Gastritis akut
dibagi menjadi dua garis besar yaitu : Gastritis Eksogen akut ( biasanya
disebabkan oleh faktor-faktor dari luar, seperti bahan kimia misal : lisol,
alkohol, merokok, kafein lada, steroid , mekanis iritasi bakterial, obat
analgetik, anti inflamasi terutama aspirin (aspirin yang dosis rendah
sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung) ). Gastritis Endogen
akut (adalah gastritis yang disebabkan oleh kelainan badan).
2. Gastritis Kronik
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna
atau maligna dari lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylory (H.
Pylory). Gastritis kronik dikelompokkan lagi dalam 2 tipe yaitu tipe A
dan tipe B. Dikatakan gastritis kronik tipe A jika mampu menghasilkan
imun sendiri. Tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar lambung dan
penurunan mukosa. Penurunan pada sekresi gastrik mempengaruhi
produksi antibodi. Anemia pernisiosa berkembang pada proses ini.
Gastritis kronik tipe B lebih lazim. Tipe ini dikaitkan dengan infeksi
Helicobacter pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.

2.3 Epidemiologi
Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap delapan
negara dunia dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka kejadian
gastritis di dunia, dimulai dari negara yang angka kejadian gastritisnya paling
tinggi yaitu Amerika dengan persentase mencapai 47% kemudian diikuti oleh
India dengan persentase 43%, lalu beberapa negara lainnya seperti Inggris
22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, Perancis 29,5% dan Indonesia
40,8%. Penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Depertemen
Kesehatan RI angka kejadian gastritis di beberapa kota di Indonesia yang

8
tertinggi mencapai 91,6% yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya
seperti Surabaya 31,2%,
Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang 35,3%, Aceh
31,7% dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan yang
kurang sehat (Karwati, 2013). Berdasarkan laporan SP2TP tahun 2012
dengan kelengkapan laporan sebesar 50% atau tujuh kabupaten kota yang
melaporkan gastritis berada pada urutan kedua dengan jumlah kasus 134.989
jiwa (20,92% kasus) (Piero, 2014) .
Lanjut usia meningkatkan resiko gastritis disebabkan karena dinding
mukosa lambung semakin menipis akibat usia tua dan pada usia tua lebih
mudah untuk terinfeksi Helicobacter pylori atau penyakit autoimun daripada
usia muda. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya
satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri (Jackson,
2006).
Prevalensi gastritis pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria, hal ini
berkaitan dengan tingkat stres. Secara teori psikologis juga disebutkan bahwa
perempuan lebih banyak menggunakan perasaan dan emosi sehingga mudah
atau rentan untuk mengalami stres psikologis (Gupta, 2008).

2.4 Etiologi
Secara garis besar penyebab gastritis dibedakan atas zat internal yaitu
adanya kondisi yang memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan,
dan zat eksternal yang menyebabkan iritasi dan infeksi. Gastritis biasanya
terjadi ketika mekanisme perlindungan dalam lambung mulai berkurang
sehingga menimbulkan peradangan (inflamasi). Kerusakan ini bisa
disebabkan oleh gangguan kerja fungsi lambung, gangguan struktur anatomi
yang bisa berupa luka atau tumor, jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi
alkohol atau kopi yang berlebih, gangguan stres, merokok, pemakaian obat
penghilang nyeri dalam jangka panjang dan secara terus menerus, stres fisik,
infeksi bakteri Helicobacter pylori (Suryono, 2016).
Ketidakseimbangan antara faktor-faktor agresif (asam dan pepsin) dan

9
faktor-faktor defensif (resistensi mukosa) pada mukosa lambung dan
duodenum menyebabkan terjadinya gastritis, duodenitis, ulkus lambung dan
ulkus duodenum. Asam lambung yang bersifat korosif dan pepsin yang
bersifat proteolitik merupakan dua faktor terpenting dalam menimbulkan
kerusakan mukosa lambung-duodenum. Faktor-faktor agresif lainnya adalah
garam empedu, obat-obat ulserogenik (aspirin dan antiinflamasi nonsteroid
lainnya, kortikosteroid dosis tinggi), merokok, etanol, bakteri, leukotrien B4
dan lain-lain (Katzung, 2004).
Pemakaian obat-obatan tertentu dalam jangka panjang beresiko
mengakibatkan penyakit gastritis karena obat-obat tersebut mengiritasi
dinding lambung dan menyebabkan mukosa pelindung lambung menjadi tipis
sehingga lebih mudah terluka. Selain itu, dapat pula disebabkan faktor sosial,
yaitu situasi yang penuh stres psikologis. Suatu pengamatan terhadap seorang
pasien yang menderita fistula pada lambungnya sehingga perubahan-
perubahan pada lambung dapat diamati, ternyata mengalami peningkatan
produksi asam lambung saat dihadapkan pada situasi yang menegangkan
yang menimbulkan perasaan cemas. Timbulnya penyakit gastritis dan tukak
lambung dipicu oleh stres yang berkepanjangan. Stres yang berkepanjangan
ini muncul karena gaya hidup saat ini yang serba cepat akibat tuntutan hidup
dan tuntutan kerja, misalnya mobilitas yang tinggi maupun beban kerja yang
dirasakan berat. Gaya hidup tersebut membuat individu selalu berada dalam
ketegangan sehingga berakibat pada munculnya stres. Selain itu pola makan
yang tidak teratur dan mengkonsumsi makanan instan sebagai akibat pola
hidup serba cepat juga merupakan salah satu pencetus penyakit gastritis
(Subekti, 2011).
Helicobacter pylori merupakan penyebab utama penyakit gastritis.
Menurut penelitian, gastritis yang dipicu bakteri ini bisa menjadi gastritis
menahun karena Helicobacter pylori dapat hidup dalam waktu yang lama
dilambung manusia dan memiliki kemampuan mengubah kondisi lingkungan
yang sesuai dengan lingkungannya sehingga Helicobacter pylori akan
mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri di sekitar

10
epigastrium. Komplikasi yang dapat timbul dari gastritis, yaitu gangguan
penyerapan vitamin B12, menyebabkan anemia pernesiosa, penyerapan besi
terganggu dan penyempitan daerah antrum pylorus. Gastritis kronis jika
dibiarkan tidak terawat, akan menyebabkan ulkus peptik dan pendarahan
pada lambung. Serta dapat meningkatkan resiko kanker lambung, terutama
jika terjadi penipisan secara terus menerus pada dinding lambung dan
perubahan pada sel-sel di dinding lambung. Adapun kasus dengan penyakit
gastritis merupakan salah satu jenis kasus yang umumnya diderita oleh
kalangan masyarakat sehingga harus berupaya untuk mencegah agar tidak
terjadi kekambuhan (Suryono, 2016).

2.5 Patofisiologi
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya
bersifat jinak dan merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai
iritan lokal. Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila
terdapat ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan faktor pertahanan
(defensif) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan faktor ofensif dan
atau penurunan kapasitas defensif mukosa. Faktor ofensif tersebut meliputi
asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, infeksi Helicobacter
pylori yang bersifat gram-negatif, OAINS, alkohol dan radikal bebas.
Sedangkan sistem pertahanan atau faktor defensif mukosa gastroduodenal
terdiri dari tiga lapis yakni elemen preepitelial, epitelial, dan subepitelial
(Pangestu, 2003).
Elemen preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa
lapisan mucus bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi
terhadap berbagai bahan kimia termasuk ion hidrogen (Kumar, 2005). Lapis
pertahanan kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya
meliputi produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk
mempertahankan pH, dan membuat ikatan antar sel (Kumar, 2005).
Lapisan pertahanan ketiga adalah aliran darah dan leukosit. Komponen
terpenting lapis pertahanan ini ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat

11
(Pangestu, 2003).
Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein,
alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H. pylori
lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme tersebut
melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa pelindung,
meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga terlibat, misalnya
OAINS (indomestasin, ibuprofen, naproksen), sulfonamid, steroid, dan
digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui
mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila alkohol diminum bersama
dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak dibandingkan dengan efek
masing-masing agen tersebut bila diminum secara terpisah (Price
dan Wilson,2005).

2.6 Gejala Gastritis


Gejala gastritis atau maag diantarnya yaitu tidak nyaman sampai nyeri
pada saluran pencernaan terutama bagian atas, mual, muntah, lambung terasa
penuh, kembung, bersendawa, merasa cepat kenyang, perut keroncongan dan
sering kentut serta timbulnya luka pada dinding lambung. Gejala ini bisa
menjadi akut, berulang dan kronis. Disebut kronis bila gejala itu
berlangsung lebih dari satu bulan terus-menerus dan gastritis ini dapat
ditangani sejak awal yaitu: mengkonsumsi makanan lunak dalam porsi kecil,
berhenti mengkonsumsi makanan pedas dan asam, berhenti merokok serta
minuman beralkohol dan jika memang diperlukan dapat minum antasida
sekitar setengah jam sebelum makan atau sewaktu makan (Misnadiarly,
2009).

Tanda dan Gejala Penyebab

Mual HCl meningkat

Adanya penekanan terhadap saraf vagus, dan

12
Muntah
memberikan reflek ingin
muntah

Karena lambung banyak terisi HCl maka

Tidak Nafsu Makan lambung akan terasa penuh, selain itu rasa mual
juga dapat menyebabkan tidak nafsu makan

Nyeri Peradangan oleh agen iritasi lambung terhadap


lambung

Perdarahan lambung akibat erosi oleh agen iritasi


Hematesis lambung yang mengenai pembuluh darah
di lambung

Dalam tinja terdapat Perdarahan lambung akibat erosi oleh agen iritasi
darah lambung yang mengenai pembuluh darah
di lambung

Lambung yang terisi HCl yang penuh dapat


Mulut terasa asam menyebabkan HCl terasa sampai di
rongga mulut

2.7 Komplikasi
Komplikasi gastritis dibagi menjadi dua yaitu gastritis akut dan gastritis
kronik. Gastristis akut komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna bagian
atas berupa hematemesis dan melena. Komplikasi ini dapat berakhir syok
hemoragik. Gastritis kronik komplikasinya adalah perdarahan saluran cerna
bagian atas, ulkus, perforasi dan anemia (Mansjoer, 2001).

2.8 Terapi Farmakologi


2.8.1 Antagonis reseptor H2 histamin
Obat golongan ini akan cepat diabsorbsi secara oral dan akan
memblok kerja dari histamin pada sel parietal dan mengurangi sekresi

13
asam. Obat ini akan mengurangi nyeri akibat gastritis dan
meningkatkan kecepatan penyembuhan gastritis (Neal,2005 )
Empat macam obat yang digunakan yaitu simetidin, ranitidin,
famotidin dan nizatidin. Simetidin dan antagonis H2 lainya diberikan
secara per-oral, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dan
diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat. Ranitidin
memiliki masa kerja yang panjang dan lima sampai sepuluh kali lebih
kuat. Efek farmakologi famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20−50
kali lebih kuat dibandingkan dengan simetidin dan 3−20 kali lebih kuat
dibandingkan ranitidin. Efek farmakologi nizatidin sama seperti
ranitidin, nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan sedikit yang terjadi
metabolisme (Mycek, 2001)
Contoh obat:
a. Simetidin
Simetidin mempunyai efek antiandrogen, namun jarang
menyebabkan ginekomastia. simetidin juga terikat pada sitokrom
P-450 dan bisa menurunkan metabolisme dalam hati (misalnya :
warfarin, fenitoin dan teofilin) (Neal, 2005).
- Indikasi : ulserasi gaster dan duodenum jinak, tukak stomal,
refluks oesofagitis, kondisi lain dimana pengurangan asam
lambung bermanfaat (BNF, ed.68, hlm 52)
- Kontraindikasi : hipersensitivitas (ISO vol.46, 2011-2012)
- Efek samping : jarang terjadi dan berupa diare (sementara),
nyeri otot, pusing- pusing dan reaksi kulit. Pada penggunaan
lama dengan dosis tinggi dapat terjadi impotensi dan
gynecomatia ringan, yaitu buah dada yang membesar (Tjay,
2015)
- Farmakokinetik : Simetidin mudah diserap dari saluran
gastrointestinal dan konsentrasi plasma puncak diperoleh
setelah sekitar satu jam saat diberi perut kosong; Puncak kedua
bisa terlihat setelah sekitar 3 jam. Makanan menunda laju dan

14
mungkin sedikit mengurangi tingkat penyerapan, dengan
konsentrasi plasma puncak terjadi setelah sekitar 2 jam.
Ketersediaan hayati simetidin setelah dosis oral adalah sekitar
60 sampai 70%. Simetidine didistribusikan secara luas dan
memiliki volume distribusi sekitar 1 liter/kg dan lemah terikat,
sekitar 20%, untuk protein plasma. Itu Waktu paruh eliminasi
dari plasma sekitar 2 jam dan meningkat pada gangguan ginjal
(Martindale ed.36, 2009)
- Dosis : Gastritis, 1 dd 800 mg setelah makan malam. Ulkus
peptikus 2 dd 400 mg pada waktu makan atau 1 dd 800 mg
selama 4 minggu dan maksimal 8 minggu. Dosis pemeliharaan
guna mencegah kambuh, malam hari 400 mg selama 3-6 bulan.
Intravena 4-6 dd 200 mg (Tjay, 2015)
b. Ranitidin
Daya menghambat senyawa ini lebih kuat dibandingkan
dengan simetidin. Tidak merintangi perombakan oksidatif dari
obat-obat lain sehingga tidak mengakibatkan interaksi yang tidak
diinginkan (Tjay, 2015)
- Indikasi : pengobatan jangka pendek tukak duodenum aktif,
tukak lambung aktif, mengurangi gejala refluks esofagitis.
- Interaksi Obat : ranitidine tampaknya tidak mempengaruhi
sitokrom P450 untuk sebagian besar, dan karena itu dianggap
memiliki sedikit efek pada metabolisme obat lain. Namun,
seperti halnya antagonis H2 lainnya, efeknya pada pH lambung
bisa mengubah penyerapan dari beberapa obat lain (Martindale
Ed.36, 2009 )
- Efek samping : penglihatan kabur; juga dilaporkan
pankreatitis, gerakan disengaja gangguan, nefritis interstisial,
alopesia (BNF, ed.68 hlm 53).
- Farmakokinetik : Ranitidin mudah diserap dari saluran
gastrointestinal dengan konsentrasi puncak dalam plasma

15
terjadi sekitar 2 sampai 3 jam setelah dosis oral. Ranitidine
melintasi penghalang plasenta dan disebarkan ke ASI
(Martindale ed.36, 2009)
- Dosis : 1 dd 300 mg sesudah makan malam selama 4-8
minggu, sebagai pencegah 1 dd 150 mg, i.v 50 mg sekali
(Tjay, 2015)
c. Famotidin
- Indikasi : tukak usus 12 jari, hipersekresi patologis seperti
sindrom zollinger Ellison dan edenoma endokrin berganda
(ISO Vol.46, 2011-2012).
- Efek samping : sembelit; mulut kering, mual, muntah, perut
kembung, anoreksia, kelelahan, sesak, pneumonia interstisial,
kejang, parestesia (BNF, ed.68 hlm 53).
- Dosis : Ulserasi gaster dan duodenum jinak, pengobatan 40 mg
di malam hari selama 4-8 minggu; pemeliharaan (duodenal
ulserasi), 20 mg di malam hari, Refluks oesofagitis, 20-40 mg
dua kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan, 20 mg dua
kali sehari Antasida (BNF, ed.68 hlm 53)
- Farmakokinetik : Famotidine mudah diserap di saluran
gastrointestinal namun tidak sempurna dengan konsentrasi
puncak di plasma terjadi 1 sampai 3 jam setelah dosis oral.
Ketersediaan hayati famotidine oral sekitar 40- 45% dan tidak
terpengaruh secara signifikan dengan adanya makanan.
Waktu paruh eliminasi dari plasma dilaporkan terjadi sekitar 3
jam dan berkepanjangan pada gangguan ginjal. Famotidine
lemah terikat, sekitar 15 sampai 20%, ke plasma protein.
Sebagian kecil famotidin adalah dimetabolisme di hati menjadi
famotidin S- oksida. Tentang 25 sampai 30% dosis oral, dan
65 sampai 70% dari intravena Dosis, diekskresikan tidak
berubah dalam air kencing dalam 24 jam, terutama dengan
sekresi tubular aktif (Martindale Ed.36, )

16
d. Nizatidin
- Efek samping : sembelit; mulut kering, mual, muntah, perut
kembung, anoreksia, kelelahan, sesak, pneumonia interstisial,
kejang, parestesia (BNF, ed.68 hlm 53). Dosis dan indikasi :
Ulserasi gaster, duodenum atau terkait NSAID,
Pengobatannya, 300 mg di malam hari atau 150 mg dua kali
sehari selama 4-8 minggu; pemeliharaan, 150mg dimalam hari.
Penyakit refluks gastroesofagus, 150-300 mg dua kali setiap
hari sampai 12 minggu
2.8.2 Antasida
Antasida meningkatkan pH lumen lambung. Peningkatan tersebut
meningkatkan kecepatan pengosongan lambung. Sehingga efek antasida
menjadi pendek. Pelepasan gastrin meningkat dan karena hal ini
menstimulasi pelepasan asam, maka antasida dibutuhkan lebih banyak
(Neal, 2015).
Antasida tidak mengurangi volume HCL yang dikeluarkan
lambung tetapi peningkatkan pH dapat menurunkan aktivitas pepsin.
Mula kerja antasida sangat bergantung pada kelarutan dan kecepatan
netralisasi asam, sedangkan kecepatan pengosongan lambung sangat
menentukan masa kerjanya. Antasida digolongkan menjadi 2 macam
yaitu antasida sistemik dan nonsistemik. Antasida sistemik yang
diabsorbsi melalui usus halus sehingga urin akan bersifat alkalis dan
menyebabkan alkalosis metabolik dan antasida nonsistemik yang tidak
diabsorbsi melalui usus halus sehingga tidak akan menyebabkan
alkalosis metabolik (Ganiswara, 2015 )
1. Senyawa antasida :
- Natrium bikarbonat merupakan satu-satunya antasida yang
larut air dan sangat berguna. Natrium bikarbonat bekerja cepat
tetapi mempunyai efek sementara dan bikarbonat yang
diabsorbsi dalam dosis tinggi dapat menyebabkan alkalosis
sistemik.

17
- Magnesium hidroksida dan magnesium trisilikat tidak larut
dalam air dan bekerja cukup cepat. Magnesium mempunyai
efek laksatif dan bisa menyebabkan diare.
- Alumunium hidroksida bekerja relatif lambat. Ion Al3+
membentuk kompleks dengan obat-obatn tertentu (misalnya
tetrasiklin) dan cenderung menyebabkan konstipasi.
Campuran senyawa magnesium dan alumunium bisa
digunakan untuk meminimalkan efek pada motilitas (Tjay,
2015) Efek samping dari obat antasida bervariasi tergantung
zat komposisinya.
Alumunium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi,
sedangkan magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare.
Kombinasi keduanya dapat membantu menormalkan fungsi usus.
Selain menyebabkan alkalosis sistemik, natrium bikarbonat
melepaskan CO2 yang dapat menimbulkan sendawa dan kembung
(Mycek, 2001).
Contoh obat:
a. Antasida DOEN
- Indikasi : mengurangi gejala kelebihan asam lambung,
gastritis, tukak lambung, tukak usus 12 jari
- Kontraindikasi : disfungsi ginjal berat
- Efek samping : sembelit, diare, mal,muntah
- Interaksi obat : simetidin dan tetrasiklin mengurangi
absorbsi obat
- Dosis : dewasa sehari 3-4x 1-2 tab atau 1-2 sdt suspensi.
Anak 6-12 tahun sehari 3-4x ½ - 1 tab atau ½ (ISO Vol.46,
2011-2012).
2.8.3 Penguat Mukosa Lambung
1. Sukralfat
Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini membentuk polimer
mirip lem dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik

18
tukak secara selektif. Sukralfat hampir tidak diabsorpsi secara
sistemik. Obat yang bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan
pepsin ini terutama efektif terhadap tukak duodenum. Karena
suasana asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, pemberian
bersama Antagonis H2 atau antasid menurunkan bioavailabilitas
(FKUI).
- Indikasi : Sukralfat sama efektifnya dengan simetidin untuk
pengobatan tukak lambung dan tukak duodenum. Data terbatas
menunjukkan bahwa derajat kekambuhan ulkus lebih rendah
etelah pemberian sukralfat (FKUI).
- Farmakokinetik : Sukralfat hanya sedikit diserap di
gastrointestinal traktus setelah pemberian oral. Namun, bisa
ada beberapa pelepasan ion aluminium dan sukrosa sulfat;
sejumlah kecil sukrosa sulfat mungkin akan diserap dan
diekskresikan, terutama dalam urin (Martindale 36th ed. Hal
1772).
- Dosis : Dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1g, 4
kali sehari dalam keadaan lambung kosong (1 jam sebelum
makan), selama 4-8 minggu. Pemberian antasid untuk
mengurangi nyeri dapat diberikan dengan interval 1 jam
setelah sukralfat. Untuk pencegahan stress ulcer diberikan 1g,
6 kali sehari sebagai suspensi oral (FKUI).
- Efek Samping : Konstipasi adalah yang paling sering
dilaporkan merugikan. Meskipun diare, mual, muntah, perut
kembung, atau ketidaknyamanan lambung juga bisa terjadi.
Efek samping lainnya ialah mulut kering, pusing, mengantuk,
sakit kepala, vertigo, sakit punggung, dan kulit ruam. Reaksi
hipersensitivitas seperti pruritus, edema, urtikaria, kesulitan
pernafasan, rhinitis, laringospasme, dan pembengkakan wajah
telah dilaporkan (Martindale 36th ed. Hal 1772). Karena
sukralfat mengandung alumunium, penggunaannya pada

19
pasien gagal ginjal harus hati-hati. Data keamanannya pada
wanita hamil belum ada, jadi sebiknya tidak digunakan
(FKUI).
- Interaksi : Sukralfat bisa mengganggu penyerapan obat-obatan
lain dan sudah dianjurkan bahwa pemberian selang 2 jam
antara sukralfat dan obat non-antasid. Beberapa obat yang
dipengaruhi absorbsinya oleh sukralfat antara lain simetidin,
ranitidin, digoksin, antibakteri fluoroquinolon, ketokonazol,
levothyroxine, phenytoin, tetrasiklin, quinidine, teofilin dan
warfarin. Interval pemberian antara sukralfat dan antasida
adalah 30 menit. Selang waktu 1 jam untuk pemberian
sukralfat dan makanan enteral (Martindale 36th ed. Hal 1772).
2. Misoprostol
Suatu analog metilester prostaglandin E1. Obat ini berefek
menghambat sekresi HCl dan bersifat sitoprotektif untuk mencegah
tukak saluran cerna yang diinduksi obat-obat AINS. Misoprostol
adalah prostaglandin sintetik pertama yang efektif secara oral.
Obat ini menyembuhkan tukak lambung dan duodenum, efeknya
berbeda bermakna dibanding plasebo dan sebanding dengan
simetidin. Misoprostol menyembuhkan tukak duodenum yang telah
refrakter terhadap AH2. Pada penelitian klinis, misoprostol sama
efektif dengan simetidin untuk pengobatan jangka pendek tukak
duodenum dan jelas efektif untuk menyembuhkan tukak lambung.
Tetapi AH2 atau tukak sukralfat lebih sering dipilih untuk
pengobatan tukak bukan karena obat AINS, karena efek
sampingnya ringan (FKUI)
- Indikasi : Menstimulasi mekanisme perlindungan mukosa
lambung dan menghambat sekresi asam lambung. Berdasarkan
ini membantu pengobatan tukak lambung dan juga
ditambahkan dengan NSAIDs (Tjay dan Kirana, 2015).
- Farmakokinetik : Misoprostol dilaporkan cepat diserap dan

20
dimetabolisme menjadi bentuk aktifnya (misoprostol acid; SC-
30695) setelah dosis oral; konsentrasi plasma puncak asam
misoprostol terjadi sekitar 15-30 menit. Makanan mengurangi
peningkatan tetapi tidak tingkat penyerapannya. Asam
misoprostol dimetabolisme lebih lanjut dengan oksidasi
sejumlah organ tubuh dan diekskresikan terutama di dalam
urine. Waktu paruh eliminasi plasma dilaporkan terjadi antara
20 dan 40 menit. Asam misoprostol terdistribusi ke dalam ASI
(Martindale 36th ed. Hal 1772).
- Dosis : Oral, dewasa 200mg 4 kali/ hari atau 400 mg 2 kali/
hari. Obat ini diindikasikan untuk profilaksis tukak lambung
pada pasien berisiko tinggi (usia lanjut dan pasien yang pernah
menderita tukak lambung atau perdarahan saluran cerna yang
memerlukan AINS) (FKUI).
- Efek Samping : Diare (kadang kala bisa parah dan
membutuhkan penarikan, dikurangi dengan memberi dosis
tunggal tidak melebihi 200 mikrogram dan dengan
menghindari antasida yang mengandung magnesium), dan juga
sakit perut, dispepsia, perut kembung, mual dan muntah-
muntah, pendarahan vagina abnormal (termasuk perdarahan
intermenstruasi, menorrhagia dan pasca menopause
perdarahan), ruam dan pusing (BNF 68 Hal. 55). Misoprostol
sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil. Dalam suatu
penelitian dilaporkan timbulnya pendarahan 50% wanita hamil
trisemester I, dan 7% mengalami keguguran (FKUI).
2.8.4 Inhibitor Pompa Proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam
lambung lebih kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses terakhir
produksi asam lambung, lebih distal dari AMP (FKUI).
1. Esomeprazol
- Indikasi : Esomeprazol adalah S-isomer penghambat pompa

21
proton omeprazol dan digunakan sama dengan pengobatan
penyakit maag peptik dan terkait NSAID ulserasi, pada refluks
gastroesofagus penyakit dan sindrom Zollinger-Ellison
(Martindale 36th ed. Hal 1729).
- Farmakokinetik : Esomeprazol cepat diserap setelah dosis oral,
dengan t ½ terjadi setelah sekitar 1-2 jam. Esomeprazol terikat
pada protein plasma sekitar 97%. Ini dimetabolisme secara
luas di hati oleh isoenzim sitokrom P450 CYP2C19 terhadap
metabolit hidroksi dan desmethyl, yang tidak berpengaruh
pada sekresi asam lambung. Pengingat dimetabolisme oleh
isoenzim sitokrom P450 CYP3A4 sampai esomeprazol sulfon.
Dengan diulang dosis, ada penurunan first-pass metabolism
dan pembersihan sistemik, mungkin disebabkan oleh
penghambatan dari isoenzim CYP2C19. Namun, tidak ada
akumulasi sekali pakai sehari-hari. Penghapusan plasma waktu
paruh sekitar 1,3 jam. Hampir 80% dari Dosis oral dieliminasi
sebagai metabolit dalam urin (Martindale 36th ed. Hal 1729).
- Dosis : Dosis oral 20 mg setiap hari, selama 4-8 minggu,
digunakan dipengobatan ulserasi terkait NSAID; dosis 20 mg/
hari juga dapat digunakan untuk profilaksis pada pasien
berisiko lesi semacam itu yang membutuhkan terus
pengobatan NSAID. Untuk pengobatan sindroma Zollinger-
Ellison, dianjurkan dosis oral esomeprazol awal 40 mg/ 2x
sehari, yang kemudian disesuaikan sesuai kebutuhan.
Mayoritas pasien dapat dikontrol pada dosis antara 80 dan 160
mg setiap hari, meski dosis 240 mg telah diberikan. Dosis di
atas 80 mg setiap hari seharusnya diberikan dalam 2 dosis
terbagi. Dosis Parenteral, dosis serupa di atas bisa diberikan
secara intravena untuk penyakit refluks gastroesofagus dan
NSAID. Esomeprazol diberikan sebagai garam natrium dengan
injeksi intravena lambat setidaknya 3 menit atau infus

22
intravena selama 10 sampai 30 menit. Dosis esomeprazol
mungkin perlu dikurangi pada pasien dengan gangguan hati
(Martindale 36th ed. Hal 1729).
- Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah,
tremor, impotensi, petechiae, dan purpura; Sangat jarang
kolitis, diangkat kolesterol serum atau trigliserida (BNF Ed. 68
hlm. 56).
2. Lansoprazol
- Indikasi : Pengobatan jangka pendek tukak usus, tukak
lambung dan refluks esofagus (ISO Vol. 45, 2010-2011).
- Farmakokinetik : Lansoprazol cepat diserap setelah dosis oral,
dengan konsentrasi plasma puncak dicapai setelah sekitar 1,5-2
jam. Bioavailabilitas dilaporkan 80% atau lebih bahkan dengan
dosis pertama, meski obatnya harus diberikan dalam bentuk
lapisan enterik karena lansoprazol tidak stabil pada pH asam.
Makanan dapat memperlambat penyerapan lansoprazole dan
mengurangi bioavailabilitas sekitar 50%. Ini banyak
dimetabolisme di hati, terutama dengan sitokrom P450
isoenzim CYP2C19 untuk membentuk 5-hydroxyl-
lansoprazole dan oleh CYP3A4 untuk membentuk
lansoprazole sulfon. Metabolit diekskresikan terutama di
kotoran melalui empedu; hanya sekitar 15 sampai 30% dari
dosis diekskresikan dalam urin. Waktu paruh eliminasi plasma
adalah sekitar 1-2 jam tapi durasi tindakannya banyak lebih
lama Lansoprazol sekitar 97% terikat pada plasma protein.
- Dosis : Ulkus gastrik jinak, 30mg setiap hari di pagi hari
selama 8 minggu. Ulkus duodenum, 30mg setiap hari di pagi
hari selama 4 minggu; perawatan 15mg/ hari. Ulkus duodenum
atau gastrik terkait NSAID, 30mg/ hari selama 4 minggu,
dilanjutkan 4 minggu lagi jika tidak sepenuhnya sembuh;
profilaksis, 15-30mg/ hari. Sindrom Zollinger-Ellison (dan

23
hypersecretory lainnya kondisi), awalnya 60mg/; dosis harian
120 mg atau lebih diberikan dalam dua dosis terbagi. Penyakit
refluks gastroesofagus, 30mg/ hari di pagi selama 4 minggu,
lanjutkan untuk 4 minggu lagi jika tidak sepenuhnya sembuh;
pemeliharaan 15-30 mg perhari. Dispepsia terkait asam, 15-
30mg/ hari di pagi hari selama 2-4 minggu (BNF Ed. 68 hlm.
56).
- Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah,
tremor, impotensi, petechiae, dan purpura; Sangat jarang
kolitis, diangkat kolesterol serum atau trigliserida (BNF Ed. 68
hlm. 56).
3. Omeprazole
- Indikasi : Tukak duodenal, tukak gastrik, tukak peptik, refluks
esofagitis erosif/ ulseratif, sindrom Zollinger-Ellison (ISO Vol.
45, 2010-2011).
- Farmakokinetik : Omeprazol cepat tapi diserap dalam
pemberian oral dosis. Penyerapan tidak dipengaruhi secara
signifikan oleh makanan. Omeprazol adalah asam labil dan
farmakokinetik berbagai formulasi dikembangkan untuk
meningkatkan bioavailabilitas oral yang beragam. Penyerapan
omeprazol juga tampaknya bergantung pada dosis;
meningkatkan dosis diatas 40mg telah dilaporkan meningkat.
Konsentrasi plasma secara non linier karena metabolisme
hepatik pertama yang jenuh. Sebagai tambahan, ketersediaan
hayati lebih tinggi setelah penggunaan jangka panjang.
Ketersediaan hayati omeprazol dapat meningkat pada pasien
lansia Pada penyerapan, omeprazol hampir seluruhnya
dimetabolisme di hati, terutama oleh sitokrom P450 isoenzim
CYP2C19 membentuk hidroksi omeprazol, dan sebagian kecil
oleh CYP3A4 untuk membentuk omeprazole sulfon.
Metabolitnya tidak aktif, dan sebagian besar diekskresikan

24
dalam urin dan pada tingkat yang lebih rendah di dalam
empedu. Waktu paruh eliminasi dari plasma sekitar 0,5-3 jam
(Martindale 36th ed. Hal 1755).
- Dosis : Dewasa sehari 1 x 20-40mg. Lama terapi : tukak usus
2-4 minggu. Tukak lambung dan refluks esofagitis yang erosif
4-8 minggu. Sindrom Zollinger-Ellison: sehari 1x 60mg.
Maksimal 120mg/ hari. Dosis 80mg harus diminum dalam dua
dosis terbagi (ISO Vol. 45, 2010-2011).
- Efek Samping : glossitis, pankreatitis, anoreksia, gelisah,
tremor, impotensi, petechiae, dan purpura; Sangat jarang
kolitis, diangkat kolesterol serum atau trigliserida (BNF Ed. 68
hlm. 56)
-
2.9 Terapi Non-Farmakologi
Berikut ini adalah gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan
mencegah timbulnya gangguan pada lambung, antara lain:
- Atur pola makan
- Olah raga teratur
- Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi
lambung (coklat, keju, dan lain-lain)
- Hindari mengkonsumsi makanan yang menimbulkan gas di lambung
(kol, kubis, kentang, melon, semangka, dan lain-lain)
- Hindari mengkonsumsi makanan yang terlalu pedas
- Hindari minuman dengan kadar caffein, alkohol, dan kurangi rokok
- Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
- Kelola stres psikologi seefisien mungkin

25
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu kardiak,
fundus, badan (body), antrum, dan pilori. Gastritis atau Dyspepsia maag
adalah kumpulan gejala yang dirasakan sebagai nyeri ulu hati.
Penyebab gastritis dibedakan atas zat internal yaitu adanya kondisi yang
memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan, dan zat eksternal yang
menyebabkan iritasi dan infeksi. Gejala gastritis diantaranya tidak nyaman
sampai nyeri pada saluran pencernaan terutama bagian atas, mual, muntah,
lambung merasa penuh, kembung, bersendawa, merasa cepat kenyang, perut
keroncongan dan sering kentut serta timbulnya luka pada dinding lambung.
Terapi yang diberikan pada penyakit gastritis berupa terapi farmakologi
dan non-farmakologi. Terapi farmakologi yang biasa digunakan diantarnya :
(1) Antagonis reseptor H2 histamin : Simetidin, Ranitidin,
Famotidin,Nizatidin (2) Antasida terdiri dari senyawa Natrium
Bikarbonat, Magnesium Hidroksida dan Alumunium Hidroksida : Antasida
DOEN (3) Penguat Mukosa : Sukralfat dan Misoprostol (4) Inhibitor Pompa
Proton (PPI) : Esomeprazol, Lansoprazol,
Omeprazol,Tenatoprazole, Pantoprazole dan Rabeprazole
Sedanglan terapi non-farmakologi diantaranya : (1) Atur pola makan (2)
Olah raga teratur (3) Hindari makanan berlemak tinggi dan makanan yang
menimbulkan gas di lambung (4) Hindari mengkonsumsi makanan yang
terlalu pedas dan minuman dengan kadar caffein, alkohol, dan kurangi rokok
(5) Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung (6) Kelola stres psikologi
seefisien mungkin

B. SARAN
1. Salah satu cara yang baik untuk terhindar atau mencegah terjadinya
penyakit gastrtitis baik yang kronis maupun akut yakni dimulai dari cara

26
hidup sehat dan selalu memperhatikan konsumsi makanan dan
minum kita sehari-hari dan yang tidak kalah pentingnya selalu
memperhatikan kondisi psikologi agar tidak terlalu banyak fikiran (stres).
2. Apabila telah memiliki riwayat penyakit gastritis baik akut maupun
kronis dan telah terbiasa mengonsumsi obat, hendaknya konsumsi obat
juga diperhatikan agar tidak terjadi peningkatan penyakit dan kembali
lagi selalu memperhatikan asupan makan serta minuman sehari-hari.
3. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan
penulisan makalah di kemudian hari.

27
DAFTAR PUSTAKA

Arif et al. 2000. Kapita Selekta Kedoktern Edisi III Jilid 1. Media Aesculapiusn
FK UI, Jakarta.
Crowin EJ, Schmitz G, Hans L. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Fauci AS, Kasper D, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, USA, Harrison’s Principles of
Internal Medicine, USA, The Mc Graw- Hill Companies Inc. 2008.
Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009,
Lippincott’s Illustrated Review Pharmacology 4thEd, Pliladelphia: Williams
& Wilkins (329-335, 502-509).
Ganiswarna G .2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Gupta, MK. 2008. Kiat mengendalikan pikiran dan bebas stres. Jakarta : PT
Intisari Mediatama.
Hirlan. 2009. Gastritis dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing.
Jackson, S. 2006. Gastritis. Diambil dari
http://www.gicare.com/pated/ecd9546.htm. Diakses tanggal 23 februari
2018.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
Pelayanan Primer Edisi 1.
Kumar, V., Cotran, RS., Robbins, SL. 2002. The Oral cavity and the
Gastrointestinal Tract In: Robbins Basic Pathology 7th Ed. Philladephia. WB
Saunders Company. 543–90.
Ikatan Apoteker Indonesia. 2011. ISO: Informasi Spesialite Obat Indonesia
Volume 46. Jakarta : PT ISFI.
Katzung, B,G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik.Edisi 8. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran.
Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Ed. II Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hlm 492.

28
Misnadiarly. 2009. Mengenal Penyakit Organ Cerna: Gastritis (Dyspepsia atau
Maag), Infeksi Mycobacteria pada Ulcer Gastrointestinal. Pustaka Populer
Obor. Jakarta.
Neal, Michael J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Ed.5. Erlangga, Jakarta
Pangestu, A. 2003. Paradigma Baru Pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik.
Diambil dari http://www.pgh.or.id//lambung-per.htm Diakses tanggal 23
februarir 2018.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol.2.
Jakarta: EGC.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th Ed. Canada:
Yolanda Cossio.
Schmitz & Martin. 2008.
Subekti, Tri dan Muhana Sofiati Utami. 2011. Metode Relaksasi Untuk
Menurunkan Stres dan Keluhan Tukak Lambung pada Penderita Tukak
Lambung Kronis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Jurnal Psikologi Volume 38, No. 2, Desember 2011: 147 – 163.
Suryono dan Ratna Dwi Meilani. 2016. Pengetahuan Pasien Dengan Gastritis
Tentang Pencegahan Kekambuhan Gastritis. Kediri: Akademi Keperawatan
Pamenang Pare. Jurnal AKP vol. 7 no. 2.
Tortora GJ, Derrickson B. 2009. Princeples of Anatomy and Physiology. USA :
Jhon Wiley & Sons,Inc.
Tjay, H. T. & Rahardja, K. 2015. Obat-obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan
Efek Sampingnya, Edisi VI, Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Wardaniati, Isna, dkk. 2016. Gambaran Terapi Kombinasi Ranitidin Dengan
Sukralfat Dan Ranitidin Dengan Antasida Dalam Pengobatan Gastritis Di
Smf Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (Rsud) Ahmad Mochtar
Bukittinggi. Padang. Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1.

29

Anda mungkin juga menyukai