Anda di halaman 1dari 16

FENOMENA SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

“ STRATIFIKASI SOSIAL YANG TERJADI DI


KEHIDUPAN MASYARAKAT ”

Dosen Pengampuh : Merry Yanti, S. Sos., MA.

Disusun oleh :

Putri Okta Ersa 01011182126030

PROGRAM STUDY S1 MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberi saya kesempatan
dalam menyusun makalah yang bertema “Fenomena Sistem Sosial Budaya” dengan
lancar dan tanpa hambatan. Makalah ini akan membahas mengenai “ Stratifikasi
Sosial yang Terjadi Dikehidupan Masyarakat”.
Saya selaku penyusun menyadari banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk kritik dan saran dari semua
pihak. Saya berharap makalah ini dapat menambah wawasan dalam dunia
pendidikan khususnya pada mata kuliah Sosiologi.

Inderalaya, 24 April 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
BAB 1 ..................................................................................................................... 4
PENDAHALUAN .................................................................................................. 4
Latar Belakang .................................................................................................... 4
Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
Tujuan .................................................................................................................. 4
Manfaat ................................................................................................................ 4
BAB 2 ..................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
Pengertian Stratifikasi Sosial............................................................................... 5
Jenis Stratifikasi Ssosial ...................................................................................... 6
Ukuran Stratifikasi Sosial .................................................................................... 6
Unsur Stratifikasi Sosial ...................................................................................... 7
Kelas-kelas Dalam Masyarakat ........................................................................... 8
Stratifikasi Yang Sengaja Disusun ...................................................................... 9
Stratifikasi Sosial sebagai warisan budaya yang membentuk Pola Permukiman
Jawa ................................................................................................................... 10
Pengaruh Sistem Catur Wangsa terhadap Perwujudan Tata Spatial Kota ........ 11
Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura................................ 14
BAB 3 ................................................................................................................... 15
PENUTUP ............................................................................................................. 15
Kesimpulan ........................................................................................................ 15
Saran .................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….16
BAB 1
PENDAHALUAN

1. Latar Belakang
Stratifikasi sosial seringkali terjadi di kehidupan masyarakat. Baik dalam
kehidupan masyarakat pada zaman dahulu ataupun kehidupan masyarakat di
zaman milenial saat ini. Kehidupan dalam bermasyarakat tidak dapat
dipisahkan dari jenjang status kehidupan yang bertingkat-tingkat. Status
tersebut diakibatkan oleh banyak faktor seperti karena keturunan, pendidikan,
dan agama. Meskipun realitanya status manusia yang berbeda-beda, manusia
tidak boleh terdikotomi dengan status tersebut sehingga mengganggu
keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Satu bentuk variasi
kehidupan dari hasil perbedaan adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-
tingkatan) sosial yang terjadi melalui proses suatu bentuk kehidupan baik
berupa gagasan, nilai, norma, aktifitas sosial, maupun benda-benda. Fenomena
dari stratifikasi sosial akan selalu ada dalam kehidupan manusia, sesederhana
apapun kehidupan, berbeda satu sama lain, tergantung bagaimana mereka
menempatkannya.

2. Rumusan Masalah

 Bagaimana stratifikasi sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat?


 Faktor apa yang menyebabkan stratifikasi sosial?
 Bagaimana stratifikasi sosial di kehidupan masyarakat Jawa pada zaman
dahulu?

3. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai


fenomena social budaya khususnya pada stratifikasi sosial. Ada beberapa
pengetahuan yang berkaitan langsung dengan stratifikasi masyarakat yang
dapat dipelajari bagi para pembaca.

4. Manfaat

 Agar dapat mengetahui apa itu stratifikasi sosial.


 Untuk mengetahui tentang faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial.
 Mengetahui stratifikasi sosial dalam suku masyarakat.
BAB 2
PEMBAHASAN

1. Pengertian Stratifikasi Sosial


Istilah stratifikasi (stratification) berasal dari kata strata dan stratum yang
berarti lapisan. Karena itu stratifikasi sosial (social stratification) sering
diterjemahkan dengan pelapisan masyarakat. Sejumlah individu yang
mempunyai kedudukan (status) yang sama menurut ukuran masyarakatnya,
dikatakan berada dalam suatu lapisan (stratum). Stratifikasi sosial adalah
sistem pembedaan individu atau kelompok dalam masyarakat, yang
menempatkannya pada kelas-kelas sosial yang berbeda-beda secara hierarki dan
memberikan hak serta kewajiban yang berbeda-beda pula antara individu pada
suatu lapisan dengan lapisan lainnya.
Sistem stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas
sedang, dan kelas sedang. Dasar dan inti sistem stratifikasi masyarakat adalah
adanya ketidakseimbangan pembagian hak dan kewajiban, serta tanggung
jawab masing-masing individu atau kelompok dalam suatu sistem sosial.
Penggolongan dalam kelas-kelas tersebut berdasarkan dalam suatu sistem
sosial tertentu ke dalam suatu lapisan-lapisan yang lebih hierarkis menurut
dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dilihat dalam struktur sosial,
sebagaimana yang dikemukakan darmansyah sebagai berikut: Pertama, strata
itu terbentuk berdasarkan latar belakang kemajuan kebudayaan yang
diaktualisasikan dalam bentuk kualitas individu dan kelompok. Kedua,
setelah strata terbentuk kemudian lahirlah kelompok-kelompok yang
dipandang inferior dan superior. Ketiga, adanya kekuasaan dan wewenang yang
dimiliki oleh kaum superior.
Perbedaan kelompok-kelompok dalam masyarakat menjadi sebuah indikator
bagi klasifikasi dalam stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial dapat terjadi dari
sudut pandang blood group, karakteristik jasmaniah atau mental, proximitas,
dan interest cultural. Analisis fungsional terhadap varian kelompok tersebut
saling melengkapi dalam stuktur sosial masyarakat kompleks. Sistem sosial
dalam hal kekuasaan biasanya ditentukan oleh kelompok bood group, atau
interest cultural dan lain-lain.
2. Jenis Stratifikasi Ssosial
Berdasarkan sifat pelapisan sosial dalam suatu masyarakat, stratifikasi sosial
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (Basrowi dan Soenyono, 2004):

 Stratifikasi Sosial Tertutup (closed sosial stratification). Sistem pelapisan


dalam masyarakat yang tertutup tidak memungkinkan pindahnya orang
dari satu lapisan sosial tertentu kelapisan sosial yang lain, baik gerak
pindahnya itu ke atas (sosial climbing) atau gerak pindahnya ke bawah
(sosial sinking). Dalam sistem tertutup semacam itu satu-satunya cara
untuk menjadi anggota suatu lapisan tertentu dalam masyarakat adalah
kelahiran. Seseorang mempunyai kedudukan sosial menurut orang tuanya.
Sistem sosial yang tertutup ini terdapat di masyarakat yang menganut
sistem berkasta. Dalam sistem ini, seseorang tidak bisa mengubah
kedudukan atau status nya seperti yang dimiliki oleh orang tuanya.
 Stratifikasi Sosial Terbuka (open sosial stratification). Dalam sistem
terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk
berusaha dengan kemampuanya sendiri. Apabila mampu dan beruntung
seseorang dapat untuk naik ke lapisan yang lebih atas, atau bagi mereka
yang tidak beruntung dapat turun ke lapisan yang lebih rendah.

3. Ukuran Stratifikasi Sosial


Ukuran atau kriteria yang digunakan untuk menggolongkan stratifikasi sosial
anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan adalah sebagai berikut
(Soekanto, 1974:125):

 Kekayaan. Kekayaan merupakan dasar yang paling banyak di gunakan


dalam pelapisan masyarakat. Seseorang yang mempunyai kekayaan
banyak akan dimasukkan ke dalam lapisan atas dan yang mempunyai
kekayaan sedikit akan dimasukkan ke dalam lapisan bawah.
 Kekuasaan. Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang yang
besar akan masuk pada lapisan atas dan yang tidak mempunyai kekuasaan
akan masuk ke lapisan bawah.
 Kehormatan. Orang yang paling disegani dan dihormati, akan
dimasukkan ke lapisan atas. Dasar semacam ini, biasanya dijumpai pada
masyarakat tradisional.
 Ilmu pengetahuan. Dasar ini dipakai oleh masyarakat yang menghargai
ilmu pengetahuan, walaupun kadang-kadang masyarakat salah persepsi,
karena hanya meninjau dari gelar seseorang.
4. Unsur Stratifikasi Sosial
Menurut Narwoko dan Suyanto (2011:156), terdapat dua unsur stratifikasi
sosial di masyarakat yaitu kedudukan (status) dan peranan (role). Status
menunjukkan tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan
peranan menunjukkan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang
individu tertentu yang menduduki status tertentu.

a. Kedudukan (status)

Kedudukan merupakan tempat atau posisi seseorang dalam suatu


kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok
tersebut atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok lainnya di
dalam kelompok yang lebih besar lagi. Kedudukan sosial artinya adalah
tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan
orang-orang lain, dalam lingkungan pergaulannya, prestasinya dan hak-hak
serta kewajibannya.

Menurut proses perkembangannya, status sosial dapat dibedakan menjadi dua


macam, yaitu:

 Ascribet status (status yang diperoleh atas dasar keturunan).


Kedudukan ini diperoleh atas dasar turunan atau warisan dari orang
tuanya, jadi sejak lahir seseorang telah diberi kedudukan dalam
masyarakat. Kedudukan ini tidak memandang perbedaan-perbedaan
ruhaniah dan kemampuan seseorang tapi benar-benar didapatkan dari
keturunan (kelahiran).
 Achieved status (status yang diperoleh atas dasar usaha yang
dilakukan secara sengaja). Kedudukan ini diperoleh setelah seseorang
berusaha melalui usaha-usaha yang dilakukan berdasarkan
kemampuannya agar dapat mencapai kedudukan yang diinginkan.

b. Peranan (role)

Peranan (Role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status).


Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Setiap orang
mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola pergaulan
hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peranan tersebut menentukan apa
yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan apa yang diberikan oleh
masyarakat kepadanya.
Berdasarkan pelaksanaannya, peranan sosial dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu:

 Peranan yang diharapkan (expected roles), yaitu cara ideal dalam


pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat
menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan secermat-cermatnya
dan peranan ini tidak dapat di tawar dan harus di laksanakan seperti yang
di tentukan peranan jenis ini antara lain peranan hakim, peranan
protokoler, diplomatik, dan sebagainya.
 Peranan yang di sesuaikan (actual roles), yaitu cara bagaimana
sebenarnya itu dijalankan. Peranan ini pelaksanaannya lebih luwes, dapat
disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu, peranan yang disesuaikan
mungkin tidak cocok dengan situasi setempat, tetapi kekurangannya yang
muncul dapat dianggap wajar oleh masyarakat

5. Kelas-kelas Dalam Masyarakat


Kelas sosial (social class) adalah semua orang dan keluarga yang sadar akan
kedudukannya di dalam suatu lapisan, sedangkan kedudukan mereka itu
diketahui serta diakui oleh masyarakat umum.
Kurt B. Mayer berpendapat bahwa istilah kelas hanya dipergunakan untuk
lapisan yang berdasarkan atas unsur-unsur ekonomis, sedangkan lapisan yang
berdasarkan atas kehormatan kemasyarakatan dinamakan kelompok kedudukan
(status group). Max Waber mengatakan pembedaan antara dasar-dasar
ekonomis dan dasar-dasar kedudukan sosial, akan tetapi dia tetap menggunakan
istilah kelas bagi semua lapisan. Ada kelas yang bersifat ekonomis dibagi lagi
dalam kelas yang berdasarkan atas pemilikan tanah dan benda-benda, serta
kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan
kecakapannya. Joseph Schumpeter mengatakan bahwa terbentuknya kelas
dalam masyarakat karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan
keperluan-keperluan yang nyata, akan tetapi maka kelas dan gejala-gejala
kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui
riwayat terjadinya.
Apabila pengertian kelas ditinjau lebih mendalam maka akan dijumpai
beberapa kriteria tradisional, yaitu:
 Besar atau ukuran jumlah anggota-anggotanya.
 Kebudayaan yang sama, yang menentukan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban warganya.
 Kelanggengan.
 Tanda-tanda/lambang-lambang yang merupakan ciri-ciri khas.
 Batas-batas tegas (bagi kelompok itu terhadap kelompok lain).
 Antagonisme tertentu

6. Stratifikasi Yang Sengaja Disusun


Chester F. Barnard, membatasi diri pada uraian tentang sistem pembagian
kedudukan dalam organisasi formal yang di dalam masyarakat merupakan
bagian-bagian yang khusus. Akan tetapi dikatakan olehnya bahwa faktor-faktor
yang terdapat di dalam organisasi-organisasi itu selalu mampunyai hubungan
timbal-balik dengan keadaan di dalam masyarakat luas, dimana organisasi-
organisasi itu berada. Menurut Barnard, sistem pembagian kedudukan pada
pokoknya diperlukan secara mutlak, agar organisasi dapat bergerak secara
teratur untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh para penciptanya. Sistem
kedudukan dalam organisasi formal timbul karena perbedaan-perbedaan
kebutuhan. Kepentingan dan kemampuan individual yang mencakup hal-hal
sebagai berikut:
 Perbedaan kemampuan individu.
 Perbedaan-perbedaan yang menyangkut kesukaran-kesukaran untuk
melakukan bermacam-macam jenis pekerjaan.
 Perbedaan kepentingan masing-masing jenis pekerjaan.
 Keinginan pada kedudukan yang formal sebagai alat sosial atau alat
organisasi.
 Kebutuhan akan perlindungan bagi seseorang.
7. Stratifikasi Sosial sebagai warisan budaya yang membentuk Pola
Permukiman Jawa
Masyarakat Jawa pada umumnya masih meyakini keraton sebagai pusat dan
merupakan tempat tinggal Raja dan menjadikan sebagai kiblat dalam tata hidup
dan tata nilai serta tata permukiman masyarakat. Tata permukiman masyarakat
Jawa terdapat hirarki ruang sebagai manifestasi dari kedudukannya atau
tingkatannya dalam masyarakat, misalnya keraton sebagai tempat tinggal raja
menjadi pusat permukiman dengan tingkat tertinggi dan ruang-ruang lainnya
membentuk lingkaran secara imajiner (melingkar mengikuti pusat) secara
bertingkat sejalan dengan status dalam masyarakat. Semakin rendah status
dalam masyarakat maka bertempat semakin luar dalam lingkar imajiner
(semakin jauh dari pusat) (Junianto, 2016). Perjalanan panjang sejarah kerjaan
Matarm Islam yang dimulai dengan berdirinya keraon Pajang di sebelah barat
Surakarta, berpindah ke Kotagede hingga berpindah di Kartasura sistem
kehidupan masyarakt menjadi berubah.

Masyarakat yang semula dipimpin oleh seorang Kiai, berubah menjadi


kerakaan dengan susunan hirarki dimana raja sebagai puncak tertinggi, diikuti
lapisan bangsawan, abdi dalem, pengiring dan para abdi. Berdasarkan penelitian
dari Junianto (2016), maka didapat tata pola permukiman kerajaan Pajang
sampai dengan Surakarta:

a. Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang terletak pada sebelah barat wilayah kota Surakarta


sekarang. Keraton pajang sebagai pusat tatanan kota Kerajaan dikelilingi oleh
tembok sebagai pembatas ruang. Keraton Pajang sebagai ruang yang bersifat
sakral meliputi istana kerajaan sebagai kediaman raja dan alun-alun. Disebelah
kanan istana terdapat bangunan rumah tinggal pangawal istana dan serdau.
Tatanan ini menunjukan areal yang bersifat profan dan sakral. Tumenggung
sebagai pimpinan pemerintahan atas anama raja, berada pada sebelah barat
keraton. Tempat tinggal putra mahkota berlokasi di depan pasar. Unsurunsur
lain seperti kepatihan,pasar, pos pengawas pasar terletak disebelah alun-alun
utara.

b. . Kerajaan Plered

Kerajaan Plered terletak sekitar 57 km sebelah timur Yogyakarta. Kerajaan


Plered dikelelilingi oleh tembok pagar kota dengan ketinggian 6-7 meter.
Didalam tembok keraton terdapat istana raja dan rumah para pangerah yang
terdapat pada sepanjang jalan pintu gerbang menuju istana kerajaan sebagai
kediaman raja. Selain itu juga terdapat bangsal kencana, rumah jaga Gedong
Kemuning, masjid keraton Suranata, Gedong kedondong dan sumur Guleng
tempat memandikan keris. Disebelah utara kompleks keraton terdapat alun-alun
berukuran 300 x 400 meter dengan masjid disebelah baratnya dan di dalam
komplek masjid terdapat makam.

c. Kerajaan Kartasura

Sama dengan kerajaan sebelumnya, pusat kegiatan kerajaan Kartasura juga


berada pada sekitar Keraton. Kerajaan Karasura terletak dibagian barat luar kota
Surakarta yang sekarang. Pada masa kerajaan Kartasura pihak-pihak asing
seperti Belanda, Cina dan Arab mulai masuk dan mempengaruhi kerajaan.
Pihak asing mulai membangun perkampungan masing-masing meskipun yang
paling mempengaruhi Kartasura adalah Belanda. Pada masa kerajaan Kartasura
terdapat alunalun selatan sebagai pengganti Segarayasa (laut buatan).
Segarayasa memiliki makna simbolis berupa sumber kehidupan dan bersifat
profane. Alunalun utara yang menyatu dengan masjid dianggap sebagai ruang
sakral. Keraton memiliki dua orientasi, yaitu ruang yang bersifat sakral dan
profan. Sebelah utara keraton lebih bersifat sakral dan sebelah selatan bersifat
profan. Pada masa kerajaan Kartasura, tembok sebagai pembatas antar ruang
sakral dan ruang profane serta sebagai garis jelas dari status dalam masyarakat
kota kerajaan semakin Nampak.

d. . Kerajaan Surakarta

Seperti Kartasura, Kerajaan Suakarta juga memiliki dua alun-alun yaitu


alunalun utara dan alunalun selatan yang masing-masing ditanamai dua buah
pohon beringin pada pertengahan alunalun dan komplek keraton berada diantara
dua aunalun tersebut. Pada bagian dalem keraton dipisahkan oleh tembok
setinggi 3 meter dengan tembok keraton yang ke dua (benteng). Di dalam
benteng terdapat keraton, dalem terpisah dengan bangunan keraton lainnya.
Diantara tembok keraton yang pertama dan kedua terdapat hunian para
pangeran yang bertugas dalam pemerintahan da abdi dalem. Komplek keraton
beserta alun-alun menunjukan ciribagian kota yang sakral. Permukiman orang
asing yang beragama lain dan daerah eksteritorial seperti Mangkunegara dan
‘kota Eropa’ terdapat pada sebelah utara. Sehingga, daerah alunalun Utara
dianggap bersifat profane sedangkan daerah sebelah selatan bersifat sakral.

8. Pengaruh Sistem Catur Wangsa terhadap Perwujudan Tata Spatial


Kota
Peninggalan Kerajaan Hindu Di Bali: Kasus Kota Karangasem Kota
Karangasem merupakan salah satu kota peninggalan kerajaan Karangasem
dibali yang memiliki karakteristik spatial kota dan kehidupan masyarakat yang
khas. Hal ini dipengaruhi oleh sistem stratifikasi sosial masyarakat yang terbagi
menjadi beberapa golongan yaitu catur wangsa (kelompok sosial) yang
selanjutnya mempengaruhi penampakan kota Karangasem secara fisik spatial.

Kota Karangasem merupakan salah satu kota lama peninggalan kerajaan


Hindu di Bali yang masyarakatnya telah terbagi menjadi beberapa golongan
dengan strata sosialnya. Pembagian golongan atau kelompok tersebut
didasarkan pada jenis pekerjaan, garis keturunan da nasal masyarakatnya.
Pembagian golongan masyarakat tersebut salah satunya adalah catur wangsa.
Sistem catur wangsa mengelompokan masyarakat menjadi empat golongan
berdasarkan garis keturunan dan starata sosialnya dalam masyarakat yang
dipengaruhi oleh masuknya agama Hindu di Bali. Selain catur wangsa,
masyarakat Bali juga mengenal catur warna dalam pengelompokan masyarakat.
Catur warna terdiri dari dua kata yaitu, catur adalah empat dan warna atau vri
yaitu memilih pekerjaan. Sehingga catur warna diartikan sebagai sistem
pembagian masyarakat kedalam empat golongan berdasarkan konsep dharma
atau swadharma, yaitu sesuai dengan kewajiban, bakat atau jenis pekerjaan.
Sedangkan catur wangsa atau catur jatma dipahami sebagai
pembagianmasyarakat menjadi empat kelompok berdasarkan jati (lahir), yaitu
sesuai dengan garis keturunan atau kelahiran yang pada akhirnya menciptakan
masyarakat dengan sistem kasta yang terkait dengan keturunan atau ras tertentu.
Sistem Catur Wangsa, meliputi Triwangsa dan Non Triwangsa. Triwangsa
terbagi menjadi Brahmana, Ksatrya dan Wesya, sedangkan Non Triwangsa
turun menjadi sudra. Brahmana adalah golongan rohaniawan dan cendekiawan
yang berkewajiban mengembangkan ilmu pengetahuan dan turunannya.
Golongan kedua adalah ksatrya yang merupakan golongan pemimpim yang
memiliki kewajiban dalam menjalankan pemerintahan dan militer serta turunan
dari kedua hal tersebut. Wesya adalah golongan ketiga berupa golongan
pedagang yang memiliki wewenang dalam perdagangan danbertanggung jawab
atas kesejahteraan masyarakat dan golongan terakhir adalah sudra yang
merupakan kelompok masyarakat dengan golongan terendah sebagai pekerja.
Stratifikasi Sosial sebagai warisan budaya yang membentuk Pola Permukiman.
Masyarakat Bali membagi masyarakatnya ke dalam 4 kelompok masyarakat
yang disebut sebagai catur wangsa. Catur wangsa terdiri atas kelompok
brahmana, kstarya, wesya dan sudra. Tiap kelompok masyarakat tersebut
kemudian memiliki bentuk hunian yang khusus sesuai dengan fungsi dan
kedudukannya dalam masyarakat. Kelompok brahmana sebagai kelompok
masyarakat tingkat pertama memiliki hunian yang disebut geria. Puri adalah
isana bagi raja dan keluarganya yang merupakan golongan ksatria sedangkan
punggawa atau masyarakat dengan darah biru (bangsawan) yang tidak
memegang kekuasaan dan keluarganya tinggal dalam hunian yang disebut jero.
Umah atau rumah adalah hunian bagi golongan sudra. Masing-masing hunian
tersebut juga terbagi atas kelompok-kelompok ruang dengan pembedaan ruang
sakral dan ruang profan yang juga diartikan sebagai tingkat kesucian setiap
ruang.

a. Puri

Puri memiliki nilai utama yaitu ruang dengan tingkat yang paling suci atau
sakral. Sebagai ruang yang memiliki tingkat utama, puri memiliki pekarangan
yang luas dan terletak pada penempatan agung yang dianggap sebagai simpang
sakral dan pusat dunia, sehingga menjadi pusat kota Karangasem. Dalam
wilayah Kota Karangasem, terdapat empat puri yang terletak di sekitar areal
catuspatha, yaitu:

 Puri Amlaraja atau Puri Kelodan di sebelah kaja kauh (barat laut)
catuspatha;
 Puri Gede Karangasem di sebelah kaja (utara)
 Puri Agung Karangasem atau Puri Kanginan di sebelah kaja kangin
(timur laut) catuspatha; dan
 Puri Kaleran disebelah kaja (utara) Puri Gede Karangasem.

Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh puri di Kota Karangasem terletak di


sebelah kaja (utara) catuspatha yang merupakan areal hulu, dan terletak di areal
pusat kota sebagai areal utama Kota Karangasem.

a. Geria dan Jero

Geria bernilai madya yaitu ruang yangberada diantara suci dan nista. Jero
sebagai hunian bagi penggawa atau bangsawan yang tidak memegang
kekuasaan jero terletak pada sekitar areal puri karena merupakan perluasan dari
puri karena masih dalam bagian keluarga raja. Dalam wilayah Kota
Karangasem.

Geria merupakan hunian brahmana dengan pekarangan yang lebih kecil


dibandingkan dengan puri dan terletak pada sekitar kawasan puri hal ini
dikarenakan pada zaman dulu brahmanan bertugas sebagai penasehat raja dan
penanggung jawab berbagai ritual keagamaan.

b. Umah

Umah bernilai nista yaitu ruang yang berada paling luar dan bernilai tidak
suci yang terletak pada pinggiran atau luar kota. Hunian masyarakat tersebut
juga membentuk kelompok-kelompok hunian sendiri, yaitu hunian yang
berbentuk umah-banjarr pakraman untuk masyarakt kelompok sudra dan rumah
kampong untuk masyarakat dengan golongan yang berada diluar golongan
tersebut (pendatang) terutama yang berasal dari Lombok dan Jawa membentuk
hunian.
Berdasarkan penjelasan dapat diketahui bahwa terdapat kesesuaian konsep
trimandala dalam konsep hunian triwangsa yang kemudian membagi kota
Karangasem menjadi 3 mandala berdasarkan hirarkinya, yaitu:

 Utama mandala. Merupakan wilayah pusat kota yang ditandai dengan


keberadaan puri sebagai hunian dengan nilai utama.
 Madya mandala. Ialah wilayah sekitar pusat kota yang ditandai dengan
keberadaan jero dan geria sebagai hunian dengan nilai madya atau
tengah.
 Nista mandala. Merupakan wilayah yang berada pada pinggiran kota
yang ditandai dengan keberadaan umah-banjar pakraman dan rumah-
kampung.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem catur


wangsa memiliki pengaruh terhadap perwujudan tata spatian Kota
Karangasem. Statifikasi sosial masyarakat dimanifestasikan kedalam ketiga
lapisan ruang yang menunjukan ruang utama, madya dan nista.

9. Kajian Desain Lanskap Permukiman Tradisional Madura


Masyarakat Madura termasuk dalam masyarakat yang menganut hubungan
hubungan kekerabatan yang memperhitungkan atau mengikuti garis keturunan
laki-laki dan perempuan secara sama dan setara sehingga tidak ada perbedaan
antara keluarga lakilaki dan perempuan (Rifa’i, 2007). Namun, keterkaitan
dalam keluarga sangat besar, hal ini dapat terlihat dalam penataan permukiman
masyarakat Madura. Masyarakat Madura yang penduduknya mayoritas
memeluk agama Islam menjadikan pola sika dan perilaku masyarakat Madura
didasarkan pada keyakinan kepada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu sistem stratifikasi sosial, harga diri yang melekat kuat serta sistem
kekerabatan yang menjadi dasar dan landasan perilaku masyarakat Madura
(Wiyata, 2002).
BAB 3
PENUTUP

1. Kesimpulan
Sistem stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi,
kelas sedang, dan kelas sedang. Stratifikasi sosial dalam masyarakat di
beberapa pulau Indonesia memiliki suatu sistem stratifikasi yang tersendiri
Masyarakat Jawa khususnya daerah pedesaan mengalami perubahan-
perubahan struktural dalam pola penguasaan tanah. Perubahan-perubahan
tersebut melemahkan sistem kelas “horizontal” tradisional didesa,
meningkatkan sistem kelas “vertikal” yang mengarah pada pembagian
golongan di desa Jawa, yaitu: Kelompok penduduk desa, Indung, Nusup,
tlosor, atau bujang. Startifikasi sosial berdasarkan sistem kasta dalam
masyarakat Bali menggunakan catur wangsa yaitu Brahmana, Ksatria,
Waisya, Sudra.

2. Saran
Oleh karena itu saya menyarankan bagi para pembaca untuk mengetahui lebih
luas mengenai stratifikasi dari berbagai sumber. Saya menyadari makalah ini
terdapat banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Murdiyatmoko, Janu, Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat, (Jakarta: Grafindo Media Pratama),
2010.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Media Utama, 1999).

---------,Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers), 1993.

Waluya, Bagja Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, (Jakarta: PT. Setia Purna, 2007

Karsidi Ravik, Sosiologi Pendidikan, (Semarang: UNS Press, 1998), hal. 175

Indianto Muin, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 48.

Darmansyah, Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional, t,th), hal. 143

Muchlisin Riadi. Pengertian, Jenis, Ukuran dan Unsur Stratifikasi Sosial. Kajian Pustaka 2018

Leibo, Jefta. 1995. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Andi Offset.

Wulansari, Dewi. 2009. Sosiologi: Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.

Soekanto, Soerjono. 1974. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. 2011. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Perdana
Media Group.

Basrowi, Muhammad dan Soenyono. 2004. Pengantar Sosiologi. Surabaya: Lutfansah Mediatama

SOEKANTO, SURYONO, Sosiologi suatu Pengantar oleh Soerjono Soekanto, Ed. Baru 4,
Cet. 30, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2000

Boby Rahman, Ega Selviyanti, Studi Literatur : Peran Stratifikasi Sosial Masyarakat, Jurnal
Planologi Vol. 15, No. 2, Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai