Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Sosiologi Islam Muhlasin, M.Pd.I

AGAMA DAN STRATIFIKASI SOSIAL

Kelompok 9

Disusun Oleh:

Salimah Maskani Hasibuan (12040421324)

Siddik Nasution (12040415422)

Siti Delviana Rambe (12040421313)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Agama Dan
Stratifikasi Sosial “ dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita. Kami menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna.

Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan tugas
makalah yang telah kami buat dimasa mendatang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.Semoga tugas makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi perbaikan tugas makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Pekanbaru, 7 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….....iii
BAB I………………………………………………………………………….....1
PENDAHULUAN……………………………………………………………….1

A.Latar Belakang .............................................................................................. 1

B.Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

C.Tujuan Penulisan ........................................................................................... 1


BAB II…………………………………………………………………………..2
PEMBAHASAN…………………………………………………………………2

A. Pengertian Agama dan Stratifikasi Sosial ................................................ 2

B. Karakteristik Stratifikasi Sosial............................................................... 5

C. Unsur-unsur Stratifikasi Sosial...................................................................... 6

D. Sifat Stratifikasi Sosial ................................................................................ 7

E. Pengaruh Agama terhadap Stratifikasi Sosial ................................................ 7


BAB III…………………………………………………………………………10
PENUTUP………………………………………………………………………10

A. Kesimpulan ............................................................................................ 10

B. Saran ...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehadiran agama dalam tatanan kehidupan sosial-kemasyarakatan di semua tingkat
lapisan di seluruh pelosok dunia-mau tidak mau adalah sebuah fakta sosial yang tak
terelakkan. Berbagai bentuk tindakan baik secara individual maupun kolektif seringkali
melibatkan unsur keberagamaan yang mengikat. Sedikit banyak kehadiran agama ini telah
memberikan sumbangsih bagi terciptanya prinsip-prinsip berinteraksi yang sejak dahulu
hingga kini terbentuk dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat dimanapun pasti
mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa
kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga
tertentu yang terhormat, diberbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidakah sama.
Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak
masyarakat mengenal kehidupan bersama, dalam masyarakat yang masih sederhana lapisan-
lapisan masyarakat pada awalnya didasarkan pada perbedaan seks, umur atau bahkan
kekuasaan. Max Weber, dia lebih menekankan mengenai lembaga sosial yang ada di agama
itu sendiri, disini menurutnya terjadi kerjasama secara timbal balik diantara semua lembaga
sosial, dan dalam kerjasama menunjukkan tentang betapa pentingnya lembaga agama dan
pengaruhnya atas semua lembaga sosial lainnya. Agama dan stratifikasi sosial juga dua hal
yang berbeda, namun tidak dipungkiri bahwa dalam kehidupan beragama terdapat bukti-
bukti adanya stratifikasi yang terjadi dalam masyarakat beragama tersebut.

B.Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Agama dan Stratifikasi Sosial?
2. Apa Karakteristik Stratifikasi Sosial ?
3. Apa saja Unsur-unsur Stratifikasi Sosial ?
4. Apa saja Sifat Stratifikasi Sosial?
5. Apa Pengaruh Agama terhadap Stratifikasi Sosial?

C.Tujuan Penulisan
1. untuk mengetahui Pengertian Agama dan Stratifikasi Sosial
2. untuk mengetahui Karakteristik Stratifikasi Sosial
3. untuk mengetahui Unsur-unsur Stratifikasi Sosial
4. untuk mengetahui Sifat Stratifikasi Sosial
5. untuk mengetahui Pengaruh Agama terhadap Stratifikasi Sosial

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama dan Stratifikasi Sosial


Pitirim A. Sorokin mengemukakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk
atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis, perwujudannya adalah
adanya kelas-kelas tinggi dan kelas rendah, selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari
lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak
dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial juga lebih berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-
kelompok bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya
mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa yang tidak sama dengan kelompok yang lainnya,
secara rinci ada tiga aspek yang merupakan karakteristik strifikasi sosial yaitu:
1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan.
Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi tentu memiliki kesanggupan dan
kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan anggota masyarakat yang dibawahnya.
2. Perbedaan dalam gaya hidup.
Cara berpakaian seorang direktur atau presiden akan sangat berbeda dengan gaya berpakaian
para tukang becak atau pembantu rumah tangga, hal ini bukan semata-mata untuk
penampilan saja, tetapi lebih mengarah pada tuntutan pekerjaan, coba kita bayangkan apa
yang terjadi andai saja seorang direktur ataupun presiden tidak berpakaian rapi selayaknya
biasanya, pasti pamor mereka akan turun sebagai golongan strata tinggi.
3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya.
Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas
yang diperolehnya, hal ini akan mempermudah mereka memenuhi segala apa yang mereka
butuhkan, yang tentu saja hal ini tidak dapat dinikmati oleh pegawainya.
Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyrakat adalah
kedudukan dan peran, dimana disamping unsur pokok dalam sistem stratifikasi sosial, juga
mempunyai arti yang sangat penting bagi system sosial masyrakat. Status menunjukkan
tempat atau posisi orang dalam masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan aspek dinamis
dari status, yaitu merupakan tingkah laku yang diharapkan dari seseorang individu yang
menduduki status tertentu. Dan untuk penjelasan lebih lanjut berikut merupakan pengertian
secara konkrit dari Kedudukan dan peran.

2
Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan
sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut:.

a. Ukuran kekayaan

Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat
ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak
mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula
sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang
rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda
tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

b. Ukuran kekuasaan dan wewenang

Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan
teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran
kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam
masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya,
kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

c. Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-
orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial
masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya
mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para
orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

d. Ukuran ilmu pengetahuan

Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai
ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati
lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan
ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau
profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor
ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari
kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang
dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk
memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan
seterusnya. Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap

3
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka hal itu akan menjadi bibit
yang dapat menumbuhkan adanya system berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Pelapisan
sosial merupakan proses menempatkan diri dalam suatu lapisan (subyektif) untuk
penempatan orang kedalam lapisan tertentu

Contoh Subyektif:
1. Sekelompok orang karena faktor tertentu (biasanya status) tidak mau disamakan dengan
sekelompok yang lain.
2. Sekelompok orang yang lebih kaya kadang merasa risih bergaul dengan yang miskin
Contoh Obyektif:
1. Sekolompok orang merasa minder ( faktor tertentu) apabila bergaul dengan orang
kelasnya lebih diatasnya.
Seorang ahli filsafat dari Yunani yang kenamaan yaitu Aristoteles pernah mengatakan
bahwa di dalam tiap-tiap Negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka
yang miskin, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. Ucapan demikian itu sedikit
banyaknya membuktikan pada zaman itu dan diduga pada zaman-zaman sebelumnya orang
telah mengakui adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan
bertingkat-tingkat dari bawah ke atas.

Seorang Sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin pernah mengatakan bahwa


sisem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang
hidup teratur. Dalam kebudayaan masyarakat kita menjumpai berbagai pernyataan yang
menyatakan persamaan manusia. Di bidang hukum, misalnya, kita mengenal anggapan
bahwa dihadapan hukum semua orang adalah sama; pernyataan serupa kita jumpai pula di
bidang agama. Dalam adat Minangkabau kita mengenal ungkapan “tagok sama tinggi, duduk
samo rendah”, yang berarti bahwa semua orang dianggap sama. Namun dalam kenyataan
sehari-hari, kita mengalami adanya ketidaksamaan. Kita melihat bahwa dalam semua
masyarakat dijumpai ketidaksamaan di bidang kekuasaan, sedangkan sisanya dikuasai. Kita
pun mengetahui bahwa anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan kriteria lain,
misalnya berdasarkan kekayaan dan penghasilan, atau berdasarkan prestise dalam
masyarakat. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam
sosiologi dinamakan stratifikasi sosial (sosial stratification).

Kata stratification berasal dari kata “stratum”, jamaknya: strata yang berarti lapisan.
Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang rendah. Selanjutnya
menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab nilai-

4
nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat. Bentuk-bentuk lapisan dalam
masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali, akan tetapi lapisan-lapisan tersebut tetap ada,
sekalipun dalam masyarakat yang kapitalis, demokratis, komunis dan lain sebagainya.
Lapisan-lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan
bersama dalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang taraf
kebudayaan masih sederhana, lapisan-lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada
perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, golongan budak dan bukan
budak, pembagian kerja dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin
kompleks semakin majunya perkembangan teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks
pula system lapisan-lapisan dalam masyarakat. Sejak lahir orang memperoleh sejumlah status
tanpa memandang perbedaan individu atau kemampuan.

Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya ini anggota masyarakat dibeda-
bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam
kelompok tertentu seperti kasta dan kelas. Berdasarkan status yang diperoleh ini kita
menjumpai berbagai macam stratifikasi. Bentuk konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat
tersebut bermacam-macam. Namun pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu:

1. Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomis,

2. Kelas yang didasarkan pada faktor politis,

3. Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.

Ketiga bentuk tersebut biasanya saling berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, mereka yang
termasuk lapisan tertentu atas dasar politis, biasanya menduduki lapisan tertentu pula dalam
lapisan atas dasar ekonomis, dan biasanya mereka juga menduduki jabatan-jabatan tertentu
dalam masyarakat.

B. Karakteristik Stratifikasi Sosial


Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu:

1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki


strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan
anggota masyarakat yang di bawahnya

2. Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seorang direktur perusahaan, selain dituntut
selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan

5
aksesoris-aksesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan, seperti memakai dasi,
bersepatu mahal, berolahraga tenis atau golf, memakai pakaian merk terkenal, dan
perlengkapan-perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya.

3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seorang yang
menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya.
Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan
fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil.

C. Unsur-unsur Stratifikasi Sosial


Hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teori sosiologi tentang system berlapis-
lapisan dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Status sosial adalah
tempat dimana seseorang dihubungkan dengan orang-orang lainnya dalam suatu sistim sosial
atau hasil penilaian orang lain thd diri seseorang dengan siapa ia berhubungan.

Cara Memperoleh Status:

1. Ascribed Status – Kedudukan yang diperoleh berdasarkan keturunan, kelahiran Masyarakat


tidak dapat memilih Bukan berdasar pada kemampuan

2. Achieved Status Kedudukan yang diperoleh berdasarkan usaha yang sengaja Berdasarkan
pada kemampuan Sosial Role (Peranan Sosial) adalah perilaku normatif seseorang karena
kedudukannya atau pola perilaku yang diharapkan sesuai dengan status yang disandangnya
dan juga merupakan sisi lain dari kedudukan yang bila seseorang melaksanakan hak &
kewajiabannya sesuai dengan kedudukannya berarti telah menjalankan peranannya.
Kedudukan dan peranan merupakan unsur-unsur baku dalam system berapis-lapis, juga
mempunyai arti yang penting bagi system sosial masyarakat. Yang diartikan sebagai system
sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik antar individu dalam
masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku individu tersebut.
Dalam hubungan timbal balik tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti
yang penting, karena langgengnya suatu masyarakat tergantung dari keseimbangan
kepentingan-kepentingan individu termaksud. Jadi system sosial merupakan wadah terjadinya
proses interaksi sosial. Terjadinya stratifikasi sosial atau system pelapisan dalam masyarakat
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya
artinya tanpa disengaja, dan system pelapisan yang terjadi karena dengan disengaja disusun
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adanya system yang berlapis-lapis di dalam
masyarakat, dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi

6
adapula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang biasanya
menjadi alasan terjadinya lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya
adalah kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seseorang
kepada masyarakat, dan mungkin juga harta, dalam batas-batas tertentu. Ada juga system
stratifikasi sosial yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Hal itu
biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam
organisasi-organisasi formal, seperti misalnya pemerintahan, perusahaan, partai politik,
angkatan bersenjata atau perkumpulan.

D. Sifat Stratifikasi Sosial


Sifat system berlapis-lapisan di dalam masyarakat, dapat bersifat tertutup (closed
social stratification) dan ada pula yang bersifat terbuka (open social stratification). Yang
bersifat membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain,
baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Dalam system yang demikian, satu-
satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah
karena kelahiran. Sebaliknya dalam system yang terbuka, setiap anggota masyarakat
mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan, atau
bagi mereka yang tidak beruntung untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan yang
dibawahnya. Pada umumnya system terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada
setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat dari system
yang tertutup.

E. Pengaruh Agama terhadap Stratifikasi Sosial


a. Golongan petani

Pengaruh situasi dan kondisi golongan petani dapat mempengaruhi sikap mental
mereka. Situasi dan kondisi tersebut antara lain faktor klimatologis dan hidrologis seperti
musim dingin (penghujan) dan musim panas (kering), faktoe flora dan fauna seperti tanaman
jagung, padi sayuran, palawija yang penggarapannya dibantu dengan hewan ternak yang
dipelihara. kaum petani pada umumnya memiliki kecenderungan religious lebih besar
dibandingkan dengan kelompok manusia dari kelas sosial lain. Misalnya kaum petani
mengadakan upacara selamatan pada saat penanaman benih padi dan pada saat panen padi.
Orang jawa biasa menyebut upacara ini sebagai upacara "wiwit" (mulai pemotongan padi)
ditujukan untuk menghormati Dewi Sri atau Dewi Padi yang dipercayai oleh masyarakat
petani sebagai pelindung kesuburan padi. Perilaku religius petani ini tampak pada aktivitas

7
pertanian yang diwarnai, gotong-royong, kekeluargaan, dan memakai nilai agama dan nilai
budaya setempat, dengan shalat hajat, pembacaan ayat al-Quran dan shalawat serta doa-doa
selamat yang mengawali aktivitas pertanian dalam praktik menentukan kesepakatan waktu,
tanggal hari dan bulan mulai pertanian, yakni mulai memilih paung padi, memalai, atau
menaradak, melacak, membalur, menanjang, mengatam padi, dan menyimpan padi, selalu
dibarengi dengan adat-istiadat dan ritual agama, simbol dan benda yang bermakna.

Implikasi dari perilaku religius berupa kepedulian beragama yang berbasis lingkungan,
berupa pengeluaran zakat, infaq, shadaqah, membangun fasilitas sosial, berupa mesjid,
langgar, madrasah, jalan, jembatan, serta kepedulian sosial berupa kas wakaf untuk
membantu fakir miskin, dan anak yatim, honor guru Madrasah serta pengobatan orang sakit
yang tak mampu.Sedangkan etos kerja petani meliputi kerja keras, sedang, dan malas serta
perilaku tekun, cermat, disiplin, hemat, rasional dan penuh perhitungan, dan tipologi kerja
termasuk subsistem konsumtif dan produktif konsumtif.Kata Kunci: Perilaku, religius,
aktifitas dan ekonomi

b.Golongan Pengrajin dan Pedagang Kecil

Golongan ini hidup dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan golongan petani.
Golongan ini tidak terlalu tertarik dengan hukum alam (pertanian). Hidup yang mereka jalani
berlandaskan ekonomi yang menggunakan perhitungan rasional. Dalam menghadapi tuntutan
hidupnya, masyarakat golongan pengrajin dan pedagang kecil tidak menyandarkan hidupnya
pada alam melainkan melakukan perencanaan yang pasti. Mereka percaya bahwa pekerjaan
yang baik jika dilakukan dengan teliti dan tekun akan membawa keberkahan. Namun
akhirnya, agama yang mereka pilih agama etis yang rasional (unsur emosi tidak memainkan
peranan penting).

c.Golongan Pedagang Besar

Masyarakat yang ada dalam golongan ini memiliki jiwa yang jauh dari konsep tentang
compensation (imbalan) moral. Golongan ini berorientasi pada keduniawian yang menutup
kecenderungan pada agama yang profetis dan etis. Semakin besar kemewahan yang mereka
miliki maka semakin kecil hasrat mereka terhadap agama yang mengarah pada dunia lain.
Apabila mereka masuk salah satu agama, maka perhatian mereka pada pendalaman iman
melalui ajaran agama dan ibadah kehadirannya agak langka, tetapi mereka tidak akan
keberatan memberikan bantuan uang atau barang demi kemajuan agama yang dianutnya.

8
Sedangkan kegiatan yang mengarah kedalam pengembangan agama yang dianutnya akan
mereka serahkan pada oranglain.

d.Golongan Kelas yang Beruntung.

Sebaiknya kelas yang beruntung --golongan elite dan hartawan- memiliki sikap
mental yang lain lagi terhadap agama. Menurut Weber golongan ini sejajar dengan golongan
pegawai negeri (birokrat), tidak menaruh gagasan tentang keselamatan, dosa, dan kerendahan
hati, namun mereka haus akan kehormatan. Pada mereka tidak ada keinginan untuk
mengembangkan gagasan keselamatan, dan agama mereka anggap sebagai suatu fungsi
pembenaran bagi pola kehidupan dan situasi mereka di dunia.[1][15]Kalau kita pertanyakan
motivasi mana yang melatarbelakangi sikap mental mereka itu, maka jawabannya harus kita
kembalikan kepada sikap kelas ini terhadap tiga "titik putus" (the breaking points) yang telah
kita lihat pada uraian sebelumnya, yaitu kelangkaan, ketedakpastian, dan ketidakmampuan
manusia.Terhadap dua "titik putus" yang pertama (yaitu kelangkaan dan ketidakpastian) pada
golongan ini tidak terdapat masalah yang menakutkan. Sehingga, Kedudukan dan kekayaan
yang mereka miliki cukup memberikan jaminan yang aman.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Agama memberi perananan penting dalam kehidupan masyarakat, karena agama
memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki nilai terapan pada norma-norma
masyarakat untuk memberikan keabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola
perilaku manusia, baik level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah
pedoman hidup pada umumnya, agama merupakan sistem sosial yang dipercayai oleh
para penganutnya yang berproses pada kekuatan non empiris yang dipercayai dan
didayagunakan untuk keselamatan diri sendiri dan masyarakat.
Sedangkan Stratifikasi sosial merupakan pembedaan di dalam manusia antar kelas
yang tersusun bertingkat dan dikenal sebagai pelapisan sosial. Lapisan sosial
merupakan sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian dari individu maupun
kelompok, Stratifikasi sosial dianggap sebagai pembedaan sosial yang bersifat
vertikal.

B. Saran
Dengan selesainya penulisan makalah ini semoga pembaca bisa mengetahui
dan dapat memahami dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.maka penulis berharap
kritik dan saran yang dapat mendukung dimasa akan datang.

10
DAFTAR PUSTAKA
Narwoko, Dwi J dan Suyanto, Bagong (Editor), Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana, 2007, Cet III.

Soekanto, Soejono, Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1982.

Tumanggor, Rusmin, Sosiologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia

11

Anda mungkin juga menyukai