Anda di halaman 1dari 8

Makalah

“Ziyadatul Mabna Tadullu ‘Ala Ziyadatil Ma’na”


Dosen Pengampu : Drs. H Ahmad Rifqi Muchtar M.A

Disusun oleh :
Muhammad Azmi Muchtar (11200340000058)
Mohammad Agung Fauzi Ridwan (11180340000211)
Fatiyah Zahrah (11200340000010)

KELAS 4C
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan pengerjaan makalah ini tepat waktu. Shalawat serta salam
senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW., serta para keluarganya, sahabatnya dan para
pengikutnya hingga akhir zaman kelak.

Kami ucapkan beribu terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Qawa’id Tafsir ;
Bapak Drs. H Ahmad Rifqi Muchtar M.A atas bimbingannya dalam proses pembelajaran di mata
kuliah ini. Dan tak lupa kami ucapkan juga terimakasih kepada pihak pihak yang telah membantu
saya dalam penyusunan makalah ini.

Makalah dengan judul “Ziyadatul Mabna Tadullu ‘Ala Ziyadatil Ma’na” ini ditulis
dengan tujuan memenuhi salah satu rangkaian tugas mata kuliah Qawa’id Tafsir di Prodi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah yang selanjutnya.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan menjadi referensi untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami pribadi
khusunya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Ciputat, 4 April 2022

Tim Penyusun

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pembahasan dalam memahami Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan mengetahui
bab-bab pokoknya saja, akan tetapi perlu ditekankan bahwa ada pembahasan-pembahasan
secara spesifik yang perlu dipahami dan diterapkan dalam memahami al-Qur’an.
Dalam menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, seorang mufassir membutuhkan
kerangka berpikir dan kaidah kaidah tertentu untuk dijadikan sebagai referensi dan
pedoman dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Kedudukan kaidah-kaidah tafsir bagi Al-
Qur’an bagaikan ilmu Nahwu bagi bahasa Arab. Sebagaimana halnya ilmu Nahwu yang
mengatur segala tatanan dalam bahasa Arab baik lisan maupun lisan, kaidah-kaidah tafsir
pun berguna untuk menghindari kesalahan pemahaman serta membetulkannya dalam
menafsirkan kalam Allah.
Dalam ilmu Nahwu ada yang namanya huruf ziyadah atau huruf tambahan. Yang
ditambahkan pada suatu kata agar penggunaannya dapat sesuai dengan kondisi dan
keadaan terkait. Hal ini dalam bahasa Arab banyak ditemukan. Tetapi apakah yang
demikian itu terdapat dalam Al-Qur’an? Ada bebapa perbedaan pendapat ulama dalam
memahaminya.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan membahas mengenai ziyadah atau
tambahan dalam Al-Qur’an, lebih tepatnya mengenai bertambahnya bentuk yang
menunjukkan bertambahnya pula makna yang terkandung atau bisa dinyatakan dalam
bahasa Arab “Ziyadatul mabna tadullu ‘ala ziyadatil ma’na”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami menentukan identifikasi masalah
yaitu mengenai; asal bentuk kata, bentuk penambahan bentuk, dan fungsi penambahan
bentuk.
C. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui asal bentuk kata, bentuk penambahan bentuk, dan fungsi
penambahan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Al-ziyadah ‘bertambah’ secara etimologi dinyatakan Ibn Faris bahwa kata terdiri
dari Zay, ya, dal merupakan akar kata yang bermakna ‘menambah. (Harun, 2017, p. 321)
Al-Ziyadah diberi batasan oleh sebagian ahli “menggabungkan sesuatu yang lain
kepada sesuatu”. Al-Ziyadah secara terminologi adalah ‘huruf bukan asal’. Di antaranya
apa yang disebut huruf al-ziyadah ‘huruf-huruf tambahan. (Harun, 2017, p. 321)
Ada suatu kaidah ziyadah dalam penafsiran Al-Qur’an yaitu ‘La zaida fil Qur’an’
“Tidak ada tambahan dalam Al-Qur’an”. Ada sedikit perbedaan pendapat para ulama
dalam memahami ini. Jalan tengah yang dapat diberikan adalah dengan menyatakan: Tidak
ada Ziyadah dalam Al-Qur’an yang tidak mempunyai tujuan atau penambahan makna,
walau bisa jadi tanpa kata berlebih itu, maknanya sudah lurus. Namun dengan dengan
“penambahan” maknanya semakin lurus, jelas, dan semakin mencakup. (Shihab, 2013, pp.
106-107)
‘Ziyadatul mabna tadullu ‘ala ziyadatil ma’na’ (‫)زيادة المبنى تدل على زيادة المعني‬
“bertambahnya bentuk bertambah pula maknanya”, yang dimaksud dalam kaidah ini
adalah setiap kali ada penambhan huruf atau penambahan wazan (timbangan lafadz) atau
penambahan tasydid pasti berdampak pada penambahan makna atau penegasannya.
Atau dengan kata lain, bahwa suatu tambahan yang masuk ke dalam satu kata dalam
firman Allah Swt., pasti memberikan makna tambahan pada kata itu yang tidak akan
ditemukan bila tambahan itu tidak ada. Dalam hal itu berlaku sama apakah tambahan itu
berupa huruf, patron kata, atau tadh’if huruf. (Harun, 2017, p. 328)
Berikut beberapa contoh terkait penambahan yang dimaksud di atas :
1. Contoh Tambahan Huruf
QS. Yusuf [12] : 96
‫صي ًْر ۗا قَا َل اَلَ ْم اَقُ ْل لَّ ُك ْۙ ْم اِنِ ْْٓي ا َ ْعلَ ُم ِمنَ ه‬
َ‫ّٰللاِ َما ََل ت َ ْعلَ ُم ْون‬ ْ َ‫ع ٰلى َوجْ ِه ٖه ف‬
ِ َ‫ارتَدَّ ب‬ َ ُ‫فَلَ َّما ْٓ اَ ْن َج ۤا َء ْالبَ ِشي ُْر ا َ ْل ٰقىه‬
“ Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diusapkannya (baju itu) ke
wajahnya (Yakub), lalu dia dapat melihat kembali. Dia (Yakub) berkata, “Bukankah telah
aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

3
Dalam al-Tahrir wat-Tanwir dikatakan “keguanaan pendekatan (al-ta’kid) dalam
ayat ini adalah untuk menyatakan karamah yang dimiliki nabi ya’kub karena hal itu
(terciumnya olehnya bau yusuf) suatu hal di luar kebiasaan (khariq lil-adalah).
Dan dalam al-Matsal al-A’la dikatakan “bila diperhatikan kisah yusuf bersama
saudara-saudaranya sejak mereka menjatuhkannya kedalam sumur sampai kedatangan
pembawa berita gembira kepada ayahnya itu, masa sudah begitu lama berlalu, para
mufassir berbeda pendapat mengenai lamanya masa itu, kalau waktunya tidak lama sekali
tentu kata “an” tidak akan diletakan setelah “lamma” dan sebelum kata kerja dan ayat itu
akan berbunyi
ُ ‫فَلَ َّما َجا َء ْالبَش‬
‫ِير‬
Kehalusan makna dan isyarat-isyarat seperti itu tidak akan diperoleh dari para ahli
ilmu nahwu, karena hal itu memang tidak masuk bidang perhatian mereka. (Harun, 2017,
pp. 328-329)
2. Contoh Yang Dipindahkan Dari Satu Patron Ke Patron Yang Lebih Tinggi
a. QS. Al-Qamar [54] : 42
َ َ‫َكذَّب ُْوا بِ ٰا ٰيتِنَا ُك ِل َها فَا َ َخ ْذ ٰن ُه ْم ا َ ْخذ‬
‫ع ِزيْز ُّم ْقتَدِر‬
“Lalu Kami azab mereka sebagai azab dari yang Maha Perkasa Maha Kuasa.”
Patron Muqtadir itui lebih dalam daripada Qaadir, karena maknanya adalah bahwa
Ia kuasa dengan sangat sempurna kuasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat menolak
terlaksananya kekuasan-Nya. (Harun, 2017, p. 329)
b. QS. Maryam [19] : 65

َ ‫ص‬
‫طبِ ْر ِل ِعبَادَتِ ٖ ۗه‬ ْ ‫…فَا ْعبُ ْدهُ َوا‬

“…Maka sembahlah Dia dan persabarlah dalam beribadah kepada-Nya.”


QS. Thaha [20] : 132
‫علَ ْي َه ۗا‬ َ ‫ص‬
َ ‫طبِ ْر‬ َّ ‫َوأْ ُم ْر اَ ْهلَكَ بِال‬
ْ ‫ص ٰلوةِ َوا‬
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan persabarlah kamu
dalam mengerjakannya.”
Patron ishthabir “persabarlah” lebih dalam daripada ‘sabarlah’. (Harun, 2017, pp.
329-330)
3. Contoh Tadh’if
QS. Al-Isra’ [17] : 90
4
ً ‫ض يَ ْۢ ْنب ُْو‬
‫ع ْۙا‬ ِ ‫َوقَالُ ْوا لَ ْن نُّؤْ ِمنَ لَكَ َحتهى ت َ ْف ُج َر لَنَا ِمنَ ْاَلَ ْر‬
“Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kami pancarkan
mata air dan bumi untuk kami.”
Ada qira’at mutawatir yang membacanya tufajjira, dengan tasydid. Di dalam
Hujjah al-Qira’at dikatakan, “Kata kerja dari pelaku itu diberi tasydid karena pemancaran
mata air itu terjadi silih berganti.” (Harun, 2017, p. 330)
4. Sesuatu Yang Lebih Kuat Dari Tadh’if; Yaitu Tasydid
QS. Nuh [71] : 10
‫ار ْۙا‬ َ َ‫فَقُ ْلتُ ا ْست َ ْغ ِف ُر ْوا َربَّ ُك ْم اِنَّهٗ َكان‬
ً َّ‫غف‬
“Maka Aku katakan kepada mereka; ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya
dia adalah Maha Pengampun.”
Ghaffar lebih dalam dari ghaafir, karena thadh’if menunjukkan banyak dan
seringnya pengampunan-Nya. (Harun, 2017, p. 330)

5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang dimaksud dengan ‘Ziyadatul mabna tadullu ‘ala ziyadatil ma’na’ adalah
bahwa bertambahnya huruf dalam Al-Qur’an itu pastinya memberikan makna
tambahan yang tidak akan ditemukan bila tambahan itu tidak ada. Meskipun ada sedikit
perbedaan ulama dalam memahami makna ziyadah dalam Al-Qur’an, namun kita dapat
mengambil jaln tengahnya dengan menyatakan bahwa: Tidak ada Ziyadah dalam Al-
Qur’an yang tidak mempunyai tujuan atau penambahan makna, walau bisa jadi tanpa
kata berlebih itu, maknanya sudah lurus. Namun dengan dengan “penambahan”
maknanya semakin lurus, jelas, dan semakin mencakup.
Ziyadatul mabna sendiri terdiri dari empat bentuk :
1. Pertambahan huruf
2. Perpindahan dari satu parton (bina’) ke patron lain yang lebih tinggi
3. Tadh’if
4. Yang lebih kuat dari tadh’if, yaitu tasydid.
B. Kritik dan Saran
Kami yang menyusun makalah berterima kasih kepada setiap pihak yang ikut serta
dalam proses penyusunan makalah ini. Penyusunan makalah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada khususnya tim penyusun dan umumnya bagi para
pembaca sekalian. Kami mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat
kesalahan dan kekurangan dan kami terbuka untuk kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah makalah selanjutnya.

6
DAFTAR PUSTAKA

Harun, P. D. (2017). Kaidah-Kaidah Tafsir. Jakarta: Penerbit QAF.


Shihab, M. Q. (2013). Kaidah Tafsir. Ciputat, Tangerang: Penerbit Lentera Hati.

Anda mungkin juga menyukai