Anda di halaman 1dari 11

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas

ALY AULIA Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan,


Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183, Email:
alydunk@gmail.com

bersifat abstrak yang ada di sekitar manusia. Tidak


terkecuali Al-Qur’an, sebagai kitab suci mau tidak
mau harus menggunakan bahasa sebagai
medianya. Dalam kajian ini dipaparkan bagaimana
fungsi bahasa dengan rangkaian kata-katanya
mampu mengekspresikan esensi, makna, wujud,
sesuatu yang tidak ada, masa lalu, masa sekarang,
masa akan datang, dan lain sebagainya yang
tentunya tidak terlepas dari konteks wacana
dengan segala unsurnya.
Kata kunci: Komunikasi Al Qur’an, Bahasa, dan
Media

PENDAHULUAN
Komunikasi menjadi hal yang tidak lepas
dari aktivitas manusia baik itu secara langsung
maupun tidak langsung. Di awal kehidupan
Komunikasi Alquran: pun, manusia sudah berkomunikasi. Dari bayi
sampai akhir hayat, dimana pun kita berada
Bahasa sebagai Media selalu melakukan komunikasi sehingga

Ekspresi Verbalistik komunikasi menjadi sentral dalam


berkehidupan. Di lingkungan sosial utamanya,
komunikasi dijadikan penghubung antara satu
hal dengan hal lainnya.
ABSTRACK Dalam perspektif Islam, komunikasi itu
Language is a symbol or emblem of the most tidak hanya pada manusia tapi juga pada
widely used. primary means to express thoughts, Tuhan Yang Maha Esa. Allah menyampaikan
feelings, intentions, and goals. This is done by
wahyu-Nya melalui komunikasi dengan
using words to represent different aspects of
malaikat jibril dan disampaikan kepada nabi
reality. Language can represent a lot of facts,
phenomena, and even something abstract that is
untuk umat manusia. Komunikasi kita kepada
around humans. No exception to the Qur’an, the Allah diantaranya tercermin melalui ibadah-
holy book would not want to use language as a ibadah fardhu seperti shalat, puasa, zakat, dan
medium. In this study described how language haji yang bertujuan untuk membentuk
functions with a series of words to express the ketakwaan kita. Sedangkan komunikasi dengan
essence, meaning, form, something that is not sesama manusia terwujud melalui penekanan
there, past, present, future, and other things that hubungan sosial yang disebut dengan
certainly can not be separated from the context of muamalah, yang tercermin dalam semua aspek
the discourse with all its elements. kehidupan manusia, seperti sosial, budaya,
Keyword: Communication of the holy Quran,
politik dan ekonomi, seni dan lain sebagainya.
Language, and Media
Pentingnya memahami komunikasi baik itu
pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an
ABSTRAK maupun komunikasi sesama kita senantiasa
Bahasa merupakan simbol atau lambang yang dituntut untuk dapat berkomunikasi positif
paling banyak digunakan. sarana utama untuk
sehingga terbangun suatu hubungan yang
menyatakan pikiran, perasaan, maksud, serta
dilandasi oleh suatu ideologi yaitu keyakinan.
tujuan. Hal tersebut dilakukan dengan
menggunakan kata-kata untuk merepresentasikan
Terkadang dari pesan-pesan yang
berbagai aspek realitas. Bahasa dapat mewakili disampaikan menjadi keliru pemaknaan
banyak fakta, fenomena, dan bahkan sesuatu yang maupun penafsirannya, hal ini akan
2
Jurnal KOMUNIKATOR

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

mengakibatkan sesuatu yang fatal dalam data primer adalah beberapa ayat suci Al-
menjalankan syariat agama maupun amanah. Qur’an yang berhubungan dengan penelitian
Disinilah perlunya memahami komunikasi dan ini. Sedangkan sumber data sekunder berasal
pemaknaan yang mendalam terkait pesan-pesan dari studi literatur, buku maupun laporan-
yang diterima, yang mana penyampaian Al- laporan penelitian yang terkait dengan
Qur’an menggunakan media ekspresi penelitian ini.
komunikasi yang berbasis budaya yaitu arab
yang didalam tataran kongkret adalah PEMBAHASAN
penggunaan bahasa arab. Adalah akan menjadi A. BAHASA SEBAGAI MEDIA
persoalan sangat besar dan bias jadi tidak Tuhan tidak menciptakan manusia,
mungkin menemukan jalan keluarnya di dalam kemudian membiarkan manusia menempuh
ukuran-ukuran semenara, sebagian, alternatif jalan hidup sesuai dengan kehendaknya.
atau pengganti, apabila Al-Qur’an demikian Namun Tuhan memberikan petunjuk
sulit untuk difahami dan terlebih lagi ketika kepadanya, menerangkan mengenai kebaikan
telah menjadi tuntutan pada sikap dan dan kebatilan. Tuhan memerintahkan manusia
prilaku. untuk tunduk kepada-Nya dan menjauhi segala
Inilah yang mendorong kami menulis larangan-Nya. Tuhan kemudian menurunkan
kajian ini. Diharapkan dapat dijadikan sebagai kitab suci kepada umat manusia.
upaya pendalaman pemahaman mengenai Kitab suci tersebut mau tidak mau harus
komunikasi Al-Qur’an melalui bahasa yang menggunakan bahasa, sementara bahasa
memanfaatkan tulisan dan suara sebagai manusia terbatas (mutanâhîy) dan cukup
karakter komunikasi verbalistik. Dengan beragam. Manusia sendiri terbatas (mutanâhîy)
mengetahui standar bahasa dan makna kata, dan hanya mampu memahami sesuatu yang
kita akan lebih mudah dalam berinteraksi dan terbatas. Maka kemudian Tuhan menggunakan
berkomunikasi dengan Al-Qur’an khususnya bahasa manusia. Bahasa adalah kemampuan
dalam memberikan informasi dan penjelasan lisan yang mirip dengan kegiatan produksi,
dari pesan-pesan atau muatan-muatan yakni kemampuan lisan dalam mengungkapkan
berdimensi ruhaniyah. Sehingga Allah, alam suatu makna yang dimaksud dengan segala
akhirat, malaikat dan sejenisnya yang biasa keindahannya (Khaldun, 1979: 81). Dalam
dijadikan objek-objek sentral dalam Al-Qur’an Ensyclopedia Britannica dituliskan bahwa bahasa
akan amat mudah untuk difahami dan adalah “a system of conventional spoken or written
melahirkan pengaruh dengan tujuan-tujuan symbols by means of which human beings, as
dari-Al-Qur’an yang diturunkan untuk umat members of a social group and participants in its
manusia. culture, communicate.” Bahasa merupakan sistem
simbol baik itu berupa ucapan maupun
METODE PENELITIAN tulisan yang dipakai oleh manusia – sebagai
Penelitian ini menggunakan penelitian anggota kelompok sosial dan pelaku budaya-
kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri adalah untuk berkomunikasi.
Catherine Marshal (Jonathan Sarwono, 2006: Tuhan kemudian memilih bahasa sesuai
193) mendefinisikan penelitian kualitatif dengan bangsa yang bersangkutan. Dengan
sebagai proses yang mencoba untuk demikian, apa yang dikehendaki Tuhan dalam
mendapatkan pemahaman yang lebih baik kitab suci akan dapat dipahami manusia. Jika
mengenai kompleksitas yang ada dalam kitab suci diturunkan dengan bahasa Tuhan,
interaksi manusia. tentu terjadi keterputusan pemahaman, karena
Objek penelitiannya adalah Al-Quran manusia tidak mampu memahami bahasa
khususnya dalam konteks berinteraksi dan Tuhan yang tidak terbatas. Maka kitab suci
berkomunikasi dengan Al-Qur’an. Sumber yang sejatinya sebagai petunjuk bagi manusia
3
Vol. 5 No.1 Mei 2013

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

menjadi tidak berguna. Untuk itulah, bersangkutan, namun ia tetap kalâmullah yang
mengapa Tuhan menurunkan kitab suci sesuai lepas dari ruang dan waktu. Maka tidak heran
dengan bahasa bangsanya masing-masing jika al-Quran akan selalu sesuai dengan
(Muhammad Bakar Ismail Habib, 1999; 71). perkembangan zaman kapan dan di manapun.
Firman Allah: Sederhananya, kita mesti membedakan
antara bahasa al-Qur’an dan substansi atau
jauharatu’l Qur’an atau rûhu’l Qur’an sebagai
kalam nafsiy. Rûhu’l Qur’an adalah kalam
Tuhan yang azal karena berkaitan dengan sifat
Tuhan (Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Azzarqani,
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, 1988; 18). Tuhan sendiri azal maka secara
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia otomatis seluruh sifat Tuhan, termasuk juga
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada kalam Tuhan harus azal. Segala yang azal
mereka”. (QS. Ibrâhîm: 4) memiliki sifat tidak terbatas (lâ mutanâhîy).
Karena rûhu’l Qur’an adalah sifat Tuhan, maka
Al-Qur’an adalah kalâmullah yang ia juga tidak terbatas. Tidak heran jika
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., kemudian upaya manusia untuk menggali apa
dengan bahasa Arab dan merupakan mukjizat yang terkandung dalam al-Qur’an tiada pernah
meski hanya satu ayat. Meski demikian, bukan sampai pada titik akhir. Manusia akan selalu
berarti al-Qur’an dikhususkan bagi bangsa menemukan hal baru dalam al-Qur’an. Singkat
Arab, karena secara tegas Tuhan mengatakan kata bahwa al-Qur’an dengan bahasa yang
bahwa al-Qur’an untuk semua alam, terbatas, namun mengandung pengetahuan
sebagaimana firman-Nya: yang tidak terbatas.
Implikasi dari statemen di atas baru akan
nampak ketika kita berinteraksi dengan nash al-
Qur’an. Melihat bahasa al-Qur’an tadi yang
makhluk, maka berinteraksi dengan bahasa al-
Qur’an berarti berinteraksi dengan makhluk.
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al- Membaca nash al-Qur’an berarti
Furqân (yaitu al-Qur’an) kepada hamba-Nya, berinteraksi dengan dua hal sekaligus, pertama
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada bahasa al-Qur’an yang makhluk dan kedua
seluruh alam”. (QS. Al-Fulrqân:1). rûhu’l Qur’an yang bukan makhluk. Dengan
demikian, interaksi dengan al-Qur’an tetap
Kalam adalah lafazh yang tersusun yang tidak boleh membuang nilai sakralitas al-
dapat dipahami sesuai dengan makna terapan Qur’an.
bahasa (Muhammad Muhyiddin Abdul Lathif, Ketika manusia ingin memahami kalam
1989; 5). Bahasa juga selalu mengalami Tuhan, maka ia harus mendalami bahasa yang
dialektika dengan alam sehingga bahasa akan digunakan Tuhan. Karena al-Qur’an berbahasa
selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Arab, secara otomatis untuk dapat memahami
Dilihat dari definisi mengenai kalam, sejarah bahasa al-Qur’an kita juga harus kembali
perkembangan bahasa dan bahasa sebagai kepada kaidah dasar yang ada dalam struktur
sesuatu yang terbatas (mutanâhîy) dapat bahasa Arab. Rûhu’l Qur’an biasa dikaji oleh
diambil kesimpulan bahwa bahasa al-Quran ulama kalam, sementara bahasa al-Quran
adalah makhluk (ciptaan). Karena bahasa al- banyak di kaji oleh ulama ushul. Bahkan, bisa
Qur’an tidak lepas dari bahasa yang biasa dikatakan bahwa kajian kebahasaan yang
digunakan umat manusia. Al-Qur’an turun dilakukan oleh ulama ushul jauh lebih
sesuai dengan bahasa bangsa yang progresif dibandingkan dengan para ulama
4
Jurnal KOMUNIKATOR

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

bahasa. Para ulama ushul mengkaji makna kebahasaan, seperti ibnu Malik, Abdul Qâhir
kebahasaan yang tidak tersentuh oleh ulama al-Jurjani, Sibawaih dan lain-lain.
nahwu. Mereka kemudian mengembangkan Pengertian yang dapat disampaikan oleh
ilmu semantik dalam kajian al-Qur’an. Dari kata-kata di dalam bahasa Arab bukan saja
kajian kebahasaan itulah muncul berbagai banyak bernuansa spiritualistic, melainkan juga
kaidah ushûliyyah (Mas’ud bin Musa Falusi, paling dapat memberikan informasi dan
2004; 315). Kajian bahasa dalam ushul fiqih penjelasan dari pesan-pesan atau muatan-
mencakup manthûq dan mafhum, khâs, ‘âm, dan muatan berdimensi ruhaniyah. Sehingga Allah
musytarak, al-wâdhihu al-dalâlah dan ghairu’l SWT, alam akhirat, malaikat dan sejenisnya
wâdhihi al-dalâlah, haqîqah, majâz, sharîh dan yang biasa dipergunakan sebagai objek-objek
kinâyah, al-bayân dan terakhir ma’aniy al-hurûf. sentral dan Al-Qur’an akan menjadiamat
Bagian-bagian di atas merupakan mudah difahami dan melahirkan pengaruh
standarisasi para ulama ushul untuk sejalan dengan tujuan-tujuan dari Al-Qur’an
memahami makna dibalik bahasa nash al- diturunkan untuk umat manusia.
Qur’an. Tentu saja kaidah tersebut dibuat dan Kaitannya dengan struktur kebahasaan,
disusun setelah mereka mengadakan kajian bahasa Arab merupakan bahasa sangat kaya.
induktif terhadap perkembangan dan Minimal ada 12 cabang ilmu yang masih
penggunaan bahasa Arab dalam masyarakat berada dalam ruang lingkup bahasa Arab, dari
Arab. Hal ini artinya, penggunaan bahasa Arab nahwu, sharf, bayân, badî’, ma’aniy, ‘arudh dan
sebuah pendekatan semata. Meskipun sebagainya. Kesalahan sedikit dalam bahasa
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Arab dapat merubah makna secara
bahasa Arab yang dipilih sebagai bahasanya keseluruhan. Dari sini, penggunaan bahasa
Allah SWT untuk berkomunikasi dengan Arab bukan berarti bahwa kata, istilah atau
manusia, memiliki banyak kelebihan. kalimat adalah sangat cocok untuk
Tiap bahasa memiliki sejarah dan struktur menyampaikan hakikat, kandungan sampai
yang berbeda. Tentunya, ini juga berimplikasi dengan makna sebenarnya dari apa yang
kepada makna yang terkandung dalam bahasa dimaksudkan dan dituju Allah SWT melalui
tersebut. Karena kalamullah dalam al-Qur’an Al-Qur’an.
juga bagian dari bahasa, maka kita tidak
mungkin memberikan interpretasi kandungan B. BAHASA; ANTARA KATA DAN MAKNA
al-Qur’an tanpa mengetahui lebih jauh standar Manusia adalah makhluk sosial. Ia akan
makna bahasa al-Qur’an. Karena al-Qur’an selalu membutuhkan orang lain. Pedagang
berbahasa Arab, mau tidak mau kita juga harus membutuhkan pembeli, petani membutuhkan
kembali kepada sejarah dan struktur yang peralatan untuk menggarap sawah seperti sabit
berkembang dalam tata bahasa Arab. dan cangkul, sementara sabit dan cangkul
Dapat dikatakan bahwa bahasa Arab adalah dibuat oleh pande besi, dan demikian
bahasa yang stabil. Bahasa Arab, sebagaimana seterusnya. Dalam berinteraksi dengan sesama
diungkapkan oleh Abied al-Jabiriy adalah manusia, tentu membutuhkan perantara
bahasa musthana’ah (bahasa yang dibuat). Maka komunikasi sehingga orang lain dapat
dalam struktur bahasa Arab terdapat memahami apa yang kita inginkan. Sarana
terminologi tsulâtsiy, rubâ’iy, khumâsiy dan tersebut sering disebut dengan bahasa. Bahasa
sudâsiy (Muhammad ‘Abid al-Jabiri, 82). sendiri sebenarnya hanyalah simbol. Dan
Bahasa Arab sejak masa Rasul Saw. hingga saat maksud dari simbol itu adalah makna yang
ini hampir tidak jauh mengalami perubahan. terkandung dibalik bahasa. Bahasa juga
Terbukti, al-Qur’an yang turun 14 abad yang berfungsi untuk mengidentifikasi sesuatu.
lalu masih dapat dipahami. Kita juga masih Tanpa bahasa, tidak akan dapat diketahui atau
menggunakan karya ulama klasik dalam kajian diidentifikasi antara satu benda dengan benda
5
Vol. 5 No.1 Mei 2013

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

lainnya. Dengan kata lain, tujuan bahasa Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka,
adalah memberikan definisi atas sesuatu. edisi ketiga, Jakarta 2003 hal. 1025. Paul
Bahasa bisa berbentuk ungkapan yang Ricoeur pengupas secara detail perbedaan
terdiri dari huru-huruf, bahasa isyarat, seperti antara semantik dengan semeutik. Lihat lebih
dengan lambaian tangan, menggelengkan jauh, Filsafat Wacana hal 15-57).
kepala, mengangguk dan lain sebagainya, Bahasa sebenarnya merupakan bentuk
bahasa tulisan, atau bisa juga dengan ekspresi atas sesuatu yang terkumpul dalam
memberikan contoh terhadap esensi tertentu. otak manusia. Ketika kita melihat sesuatu yang
Hanya saja, bahasa dengan susunan kata-kata berada di alam nyata, katakanlah manusia,
lebih umum dan lebih banyak digunakan. bayangan atau gambaran dalam otak kita
Bahasa dengan kata-kata tersebut mampu adalah wujud manusia itu. Demikian juga
mengekspresikan esensi, makna, wujud, ketika kita melihat sebuah pohon, maka yang
sesuatu yang tidak ada, masa lalu, masa ada dalam bayangan otak kita adalah wujud
sekarang, masa akan datang, dan lain pohon.
sebagainya. Ia juga mampu Bahasa hanyalah wujud dari gambaran
mengidentifikasikan sesuatu secara detail sesuatu, bukan sesuatu itu sendiri. Maka kata-
seperti memberikan berbagai definisi dalam kata akan selalu berkisar pada makna di dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan (Sya’ban otak manusia. Kata-kata bisa jadi bervariasi,
Muhammad Ismail, 1999;179). sementara wujud benda dalam alam nyata
Menurut ahli logika, manusia sering adalah satu. Keberadaan variasi bahasa di
disebut dengan hewan yang berbicara, karena dunia adalah contoh kongkret mengenai
manusia mampu mengekspresikan sesuatu statemen ini.
dengan susunan bahasa. Berbicara juga berarti Sesungguhnya kata diletakkan untuk
berfikir, karena apa yang dikeluarkan tidak mengidentifikasi makna sebagaimana
akan pernah lepas dari makna yang terkandung dimaksud, lepas apakah makna tersebut berada
dalam otak manusia. Perbedaan antara bahasa di alam realita ataukah tidak. Di katakan
manusia dengan bahasa binatang adalah bahwa demikian, karena tidak semua kata mempunyai
bahasa manusia tersusun dari kata-kata yang wujud dalam alam nyata. Ada sebagian kata
dapat menunjukkan pada makna-makna yang memiliki makna tertentu, namun hanya
tertentu. Sementara bahasa binatang hanya ada dalam bayangan otak manusia, seperti
bersifat insting yang biasanya dibarengi dengan ilmu pengetahuan, wawasan, gramatikal bahasa
gerakan tertentu. Dengan demikian, bahasa dan lain sebagainya.
binatang tidak mungkin terdiri dari susunan Kata-kata juga dapat dijadikan sebagai
kata-kata yang dapat memberikan makna secara identifikasi atas nisbah suatu perbuatan,
menyeluruh. Inilah yang membedakan antara seperti pelaku pekerjaan (subyek), yang dikenai
manusia dengan hewan lainnya(Abdul ‘Azhim pekerjaan (obyek) dan seterusnya. Ia juga dapat
Ibrahim Muhammad al-Muth’i, 1992; 25). mengidentifikasikan makna dari kata majemuk
Ilmu yang mengkaji mengenai makna dibalik atau susunan kalimat.
kata atau bahasa sering disebut dengan ilmu Namun mana yang lebih dahulu muncul,
wacana atau semantic (Ilmu semantik adalah kata-kata ataukah makna? Pertanyaan yang
ilmu tentang makna kata dan kalimat, atau cukup sederhana, namun tidak mudah
ilmu tentang pengetahuan mengenai seluk- mencari jawabannya. Ada beberapa pertanyaan
beluk dan pergeseran arti kata, atau ilmu lanjutan yang mesti kita lontarkan. Apakah
tentang bagian struktur bahasa yang kata pertama kali ada dalam benak kita karena
berhubungan dengan makna ungkapan atau makna memang sudah melekat pada kata
struktur makna suatu wicana. Lihat, Kamus sehingga secara otomatis juga akan muncul
Besar Bahasa Indonesia, Departemen kata yang sesuai dengan makna tersebut,
6
Jurnal KOMUNIKATOR

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

sebagaimana ungkapan yang muncul dari orang bahwa makna ibarat tubuh, sementara bahasa
lain, kemudian kita membacanya dan adalah pakaiannya. Sesungguhnya pakaian itu
memahami maknanya? terpisah dari badan, dan ia juga datang setelah
Ataukah makna muncul terlebih dahulu badan. Menurut ‘Abdul Qahir bahwa
dibandingkan dengan kata. Maksudnya, dalam sesungguhnya seorang pembicara itu sudah
diri kita sudah memiliki makna tertentu yang memikirkan makna kata yang akan ia
dimaksud kemudian kita mencari kata yang ungkapan. Kemudian makna-makna tadi
sesuai dengan makan tersebut sehingga tidak menyusun kata dengan sendirinya. Kata-kata
terjadi kesalahan dalam memilih kata. Ataukah itu lah yang kemudian menjadi ungkapan
kata dengan makna datang dalam diri manusia kalimat.
secara bersamaan, yang terletak di tempat Namun demikian, tidak sedikit yang
tertentu dalam diri kita, kemudian semakin beranggapan bahwa antara makna dengan kata
lama semakin jelas dan muncul dengan kata tidak dapat dipisah-pisahkan. Kata merupakan
sekaligus mengandung makna tertentu? Dari bagian dari makna, sebagaimana makna juga
situ kemudian dikeluarkan dengan kata-kata bagian tak terpisahkan dari kata.
atau ungkapan kalimat persis seperti kata dan Mengungkapkan susunan kata berarti secara
makna yang masih ada dalam diri kita? otomatis menghendaki makna. ketika manusia
Para ulama, baik ulama klasik maupun berfikir, sesungguhnya ia tidak berfikir dari
kontemporer sama sekali tidak ada kesepakatan makna saja, namun juga dari kata yang sudah
seputar permasalahan di atas. Kebanyakan dari ada dalam dirinya. Bahkan proses berpikir dan
mereka membedakan antara kata dengan berbicara dengan dirinya sendiri yang tiada
makna. Pada umumnya, mereka kunjung habis, juga dengan menggunakan kata.
mendahulukan makna sebelum kata. Bagi Tanpa itu pemikiran akan kosong. Hanya
mereka, makna terlebih muncul dalam diri perkataan yang ada dalam diri kita merupakan
manusia, kemudian manusia memilih kata-kata kata yang tidak terungkapkan dengan suara,
yang sesuai untuk diungkapkan. Ba’syir bin sementara ketika kita berbicara, ungkapan kata
Alma’mar pernah berkata, “Barang siapa yang ada dalam diri itu kemudian berubah
mempunyai ungkapan makna yang indah, maka menjadi kata-kata yang bersuara.
pilihlah kata-kata yang indah pula”(Jamaluddin Ringkas kata, hampir semua bersepakat
‘Abdurrahim bin al-Hasan al-Asnawi, Dr. bahwa kata yang sudah terucapkan tidak dapat
Sya’ban Muhammad Ismail; 179-181) dipisahkan dari makna (Abu al-Husain
Hal ini senada dengan ungkapan ‘Abdul Muhammad bin Ali bin Thayib al-Bashri; 9-
Qahir al-Jurjani. Baginya, bahasa merupakan 10). Hanya yang menjadi perbedaan pendapat
ekspresi dari apa yang tersimpan dalam diri adalah, kata yang belum terucap yang masih
manusia. Untuk itu, ia menganjurkan agar kita terpendam dalam diri manusia. Sebagian
mencari kata-kata yang sesuai dengan situasi mereka menganggapnya hanya berupa makna
dan kondisi serta sesuai dengan makna yang saja, sementara yang lainnya menganggap
dimaksud. Ia juga menganjurkan kita untuk bahwa hal itu merupakan kata yang juga
selektif dalam memilih kata, mencari kata-kata memiliki makna.
yang indah untuk diungkapkan. Dari sini Sebagian ulama mendefinisikan kata adalah
dapat diketahui bahwa bahasa seseorang lebih suara atau kumpulan dari suara yang terdiri
fashîh dari pada bahasa orang lain. Fashîh atau dari huruf-huruf yang sudah diketahui bersama
tidak suatu ungkapan kalimat tentu diketahui bagi manusia sebagai bagian dari pembicaraan
dari susunan ungkapan kalimat yang ia sehingga dapat difungsikan sebagai sarana
gunakan (Abdul Qâhir al-Jurjani, 2000; 43- untuk tukar informasi. Makna adalah apa yang
44). dimaksud dari kata-kata tersebut (Ali
Ada suatu ungkapan yang mengatakan Muhammad Hasan al-‘Ammari, 1999; 20-36).
7
Vol. 5 No.1 Mei 2013

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Kata yang terucapkan itu kemudian disebut hingga mengetahui berbagai istilah dalam
dengan khithâb (wacana). Manusia yang bahasa. Namun demikian, manusia tetap tidak
mengucapkan kata kemudian disebut dengan mampu menjangkau seluruh nama yang ada di
mukhâtib (pembicara). Pendengar kata disebut dunia.
dengan mukhâthab. Lingkungan yang mengitari Bagi ibnu Hazm, bahasa pertama manusia
perkataan manusia disebut dengan bî’atu’l adalah tauqifiy. Kemudian manusia
khithâb (lingkungan wacana) yang mencakup berinteraksi dengan alam sehingga manusia
ruang, waktu, budaya dan segala sesuatu yang mengembangkan dan membentuk berbagai
berkaitan dengan materi suatu peradaban. istilah baru dalam bahasa (Al-Imam al-Jalil Abi
Bî’atu’l khithâb (lingkungan wacana) sangat Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin
berpengaruh terhadap kandungan suatu Hazm al-Zhahiriy,tt; 31). Bagi mereka yang
wacana. Hal ini dikarenakan kebutuhan mengatakan bahwa bahasa adalah tauqîfiy,
manusia akan sangat terpengaruh oleh memberikan beberapa dalil, di antaranya
lingkungan wacana yang mengitarinya (Walid adalah:
Munir, 2003; 7-8). Pertama:
Pertanyaannya kemudian, siapakah yang
pertama kali menciptakan wacana atau kata-
kata tersebut? Di sini juga terjadi perbedaan di
kalangan para ulama. Menurut ‘Ubad bin
Sulaiman yang berlian Muktazilah, bahwa
bahasa yang memiliki makna tersebut datang
dengan sendirinya pada manusia. Hanya saja
pendapat tersebut banyak ditentang oleh “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-
ulama lain. Menurut Asnawi, jika saja bahasa nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
itu datang dengan sendirinya pada manusia, mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
tentunya setiap manusia secara otomatis dapat berfirman:”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
memahami bahasa manusia lainnya. Juga benda itu jika memang kamu orang yang
semestinya tidak terdapat kata-kata yang benar!”. (QS. Al-Baqarah: 31)
memiliki perbedaan makna seperti kata qurû’
yang berarti haidh dan suci, atau al-jaun yang Ayat di atas menunjukkan bahwa Adam
berarti hitam dan putih sekaligus. Dari ini dan juga para malaikat bukanlah peletak
maka Asnawi berpendapat bahwa bahasa tentu bahasa. Dari sini dapat diambil kesimpulan
ada yang menciptakan. bahwa bahasa diciptakan Tuhan secara
Namun bagaimana bahasa itu dapat sampai langsung. Adam belajar dari Tuhan, sementara
kepada manusia?. Sebagian ulama menganggap malaikat belajar dari Adam. Yang dimaksudkan
bahwa bahasa pertama turun dari Tuhan secara (nama-nama) adalah kata-kata yang
tauqîfiy. Tuhanlah yang secara langsung memiliki makna tertentu. Dengan demikian,
mengajarkan bahasa kepada manusia. Manurut yang biasanya digunakan untuk
ibnu Hazm, secara logika tidak mungkin mengidentifikasikan kata benda saja, di sini
manusia sebagai pencipta bahasa. Menurutnya, mencakup kata benda, kata kerja, huruf dan
jika manusia adalah pencipta bahasa, tentu nama-nama istilah tertentu.
manusia memiliki pengetahuan sempurna. Kedua:
Segala sesuatu yang berada dalam alam nyata
telah ia ketahui. Namun kenyataannya, hal ini
tidak terjadi. Terbukti bahwa manusia ketika
lahir ke dunia belum mengetahui apapun juga. “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang
Kemudian satu demi satu ia belajar bahasa kamu dan bapak-bapak kamu mengada-
8
Jurnal KOMUNIKATOR

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

adakannya”. (QS. Al-Najm: 23) Dengan demikian, bilamana Adam melihat


tanda-tanda tertentu pada binatang, katakanlah
Ayat di atas memberikan keterangan bagi unta, maka seketika itu juga ia mengetahui
kita bagaimana Tuhan mencela suatu bangsa bahwa binatang itu adalah unta. Dengan
yang memberikan nama-nama bukan seperti mengetahui ciri-ciri tersebut, Adam juga dapat
yang dikehendaki-Nya. Jika sebagian nama memanfaatkannya sebagai alat transportasi dan
adalah tauqîfiy, tentu juga berlaku bagi juga membawa barang tertentu. di sini
sebagian yang lain. berasal dari kata yang berarti sesuatu yang
Ketiga: diketahui hakikatnya.
Kedua: bisa jadi yang dimaksudkan dengan
diajarkan nama-nama kepada Adam adalah
ilham; kemampuan Adam untuk meletakkan
bahasa.
Ketiga: bisa jadi apa yang dipelajari Adam
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, hanyalah bahasa secukupnya saja. Kemudian
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia manusia berinteraksi dengan sesama dan alam
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada sehingga bahasa akan berkembang sesuai
mereka”. (QS. Ibrâhîm: 4) dengan tempat dan waktu.
Keempat: adapun celaan Tuhan terhadap
Allah Swt. telah memberikan anugerah suatu kaum yang memberikan nama selain
kepada manusia dengan perbedaan lisan dan nama yang dikehendaki Tuhan, adalah karena
dijadikannya sebagai tanda-tanda kebesaran- kaum tersebut menganggap suatu benda
Nya. Dan yang dimaksudkan dengan lisan di sebagai Tuhan dengan nama-nama yang mereka
sini bukanlah lisan yang merupakan bagian buat sendiri. Jadi celaan bukan pada penamaan
dari anggota tubuh manusia, namun lisan suatu benda, tapi karena anggapan sebagai
sebagai bahasa manusia. Hanya saja disebutkan Tuhan, seperti Tuhan Lata, Uzza dan lain
dengan lisan sebagai ungkapan metaforis sebagainya.
(majâz). Kelima: meski bahasa adalah terapan, bukan
Keempat: jika bahasa bukan tauqîfiy, berarti bahwa tiap orang harus mengajarkannya
tentunya peletak bahasa harus mengajarkan kepada orang lain agar mampu memahami apa
kepada orang lain agar mereka juga memahami yang dimaksud. Orang lain akan paham
apa yang dimaksud. Orang lain tersebut juga dengan sendirinya dengan kebiasaan dan
perlu memberikan pengajaran kepada yang tradisi, sebagaimana anak kecil ketika ia baru
lain, dan demikian seterusnya. Dengan dalam tahap belajar bahasa (Jamaluddin
demikian akan terjadi pengajaran secara ‘Abdurrahim bin al-Hasan al-Asnawi, Sya’ban
berantai, dan ini tidak masuk akal. Maka akan Muhammad Ismail ed, tt; 190).
lebih tepat jika bahasa adalah tauqîfiy. Lepas dari perdebatan awal suatu bahasa,
Sementara bagi mereka yang menganggap namun tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa
bahwa bahasa pertama bukanlah bersifat mengalami perkembangan dari waktu ke
tauqîfiy, memberikan beberapa argumen waktu. Bahasa akan selalu mengikuti situasi
sebagai berikut: dan kondisi. Kebutuhan manusia yang
Pertama: maksud dari lafazh dalam semakin kompleks, kemajuan teknologi
ayat di atas bukanlah bahasa, namun ciri-ciri modern dan interaksi manusia yang semakin
dan tanda-tanda atas sesuatu. Seperti kuda cepat secara tidak langsung juga berpengaruh
yang dapat digunakan sebagai alat transportasi, terhadap bahasa manusia. Bahasa tidak lagi
unta untuk membawa barang-barang, batu dimonopoli satu dua bangsa, namun banyak
untuk berburu, dan demikian seterusnya. terjadi akulturasi antar bahasa. Dan bahasa
9
Vol. 5 No.1 Mei 2013

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

akan selalu berkembang sejalan dengan pernyataan koeksi dari al-Qur’an atas
perkembangan ruang dan waktu. penggunaan kata-kata, seperti kata yang
dilarang dipakai yang sebagai gantinya memakai
C. BAHASA SEBAGAI MEDIA EKSPRESI kata .
VERBAL
Bahasa dapat diartikan sebagai alat (media)
untuk mengungkapkan tujuan dan pikiran
seseorang kepada orang lain yang ada di
sekelilingnya, baik berupa simbol bunyi dalam
bentuk ujaran maupun berupa simbol huruf
dalam bentuk tulisan. “ Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah
Ada beberapa hal yang sangat menentukan kamu katakana Râ’inâ tetapi katakanlah,
dalam penggunaan bahasa, baik itu lisan ‘Unzur nâ, dan dengarkan. Dan orang-orang
maupun tulisan. Jika dalam ragam bahasa kafir akan mendapat azab yang pedih.” (Q.S.
lisan, penutur (pembicara) dapat dibanu Al-Baqarah: 104)
dengan dramatisasi, seperi gerak tangan, raut
muka, tinggi rendahnya suara atau tekanan Kata diatas yang artinya perhatikanlah
untuk memberikan pemahaman atau arti kami diambil dari kata ‘muraa`ah’, tetapi
kepada lawan bicaranya. Sedangkan dalam orang-orang Yahudi biasa mengatakan
bahasa tulisan, hal itu tidak dapat ‘raa`unah’ yang dalam bahasa mereka berarti
dilambangkan, oleh karenanya diperlukan ‘teramat bodoh, dungu dan cadel’ sebagai
kelengkapan unsur tata bahasa, baik bentuk ejekan kepada Nabi. Namun Muhammad
kata maupun susunan kalimat, kebenaran Abduh dalam tafsirnya tidak yakin dengan
kaidah ejaan, ketepatan pilihan kata, dan pendapat di atas, karena ia tidak tahu pasti
pungtuasi sangat membantu menanamkan arti apakah maknanya memang demikian dalam
bagi pembacanya. bahasa Ibrani (Rasyid Ridha, tt; 335).
Prinsip bahasa sebagai madia komunikasi Menurutnya, jelas bahwa makna itu
tampak jelas digambarkan al-Qur’an saat Musa dalam bahasa Arab adalah “saling perhatian”
a.s. diutus untuk menghadap Fir’aun. Ia (caring), namun ucapan itu dipandang kurang
meminta kepada Tuhan agar ditemani oleh sopan ditujukan kepada Nabi saw karena
Harun a.s. yang memiliki kecakapan berbicara berarti memosisikan Nabi saw sejajar dengan
melebihi dirinya. kita, dan seakan-akan Nabi saw itu tidak
perhatian (lihat. QS. Al-Hujarat/49:2). Atau
maknanya “saling perhatian” seperti seperti
saling perhatiannya keledai ketika sedang
merumput. Maksudnya, “perhatikanlah kami,
kami perhatikan pula engkau!” Menurutnya,
makna terakhir itulah yang dimaksudkan oleh
“ Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih orang-orang Yahudi. Makna itu juga tidak
lidahnya dari pada aku, maka utuslah dia pantas ditujukan kepada Nabi karena
bersamaku sebagai pembantukuuntuk mengandung penghinaan dan pelecehan
membenarkan (perkataan)kum sungguh aku terhadap Nabi saw beserta agama yang beliau
takut mereka akan mendustakanku.” (Q.S. Al- bawa (lihat. QS. An-Nisa’/4:46).
Qasas: 34) Allah mengganti sapaan yang dapat
diplesetkan menjadi penghinaan itu
Selain itu, al-Qur’an juga memperhatikan dengan artinya “perhatikan kami!”
pemilihan penggunaan kosakata, sering ada Dalam kata terkandung makna “tunggu”
10
Jurnal KOMUNIKATOR

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

dan “perlambat” tempo ucapan itu. Setelah sangat berperan dalam menyampaikan “pesan”
para sahabat itu diminta untuk atau isi wacana tersebut, termasuk
mengatakan bila ingin meminta tunggu, mempengaruhi pemilihan ragam bahasa dan
mereka diminta oleh Allah untuk pemilihan kata-kata yang dijadikan simbol
mendengarkan keterangan Nabi, untuk menyampaikan pesan tadi. Unsur
‘dengarkanlah!’ Penjelasan Nabi saw perlu seperti adegan sangat mempengaruhi intonasi
didengarkan dengan baik karena hal itu kalimat yang diujarkan, demikain juga unsur
menyangkut ajaran-ajaran agama yang perlu topik dan peristiwa.
dijalankan. Konsep wacana ini ketika dihubungkan
Dengan itu maka orang-orang mukmin dengan naskah Al-Qur’an, berarti semua unsur
dilarang mengucapkan kata-kata itu, (dan konteks wacana tersebut pasti ada dan
katakanlah) yakni sebagai gantinya, yang mempengaruhi, bahkan berperan dalam
menentukan makna pesan Qur’ani. Alih-alih
artinya lihatlah kami; (dan dengarlah olehmu)
potongan ayat pendek (ayat) tidaklah
apa-apa yang dititahkan dengan kesediaan
selamanya berperan dalam menyampaikan
untuk mematuhinya (dan bagi orang-orang
pesan karena sering kalimat berikutnya
kafir disediakan siksaan pedih) yang
menerangkan atau merinci, bahkan dapat juga
menyakitkan sekali, yaitu neraka. Yang tidak
menjawab pernyataan pada kalimat pertama.
menghormati dan menghargai Nabi saw
Oleh karena itu, dalam menyikapi naskah al-
hanyalah orang kafir. Nabi adalah guru dan
Qur’an hendaknya dipandang sebagai wacana,
pemimpin yang perlu dihormati. Bila tidak
bukan suatu yang terpisah dan berdiri sendiri.
dihargai. pendidikan dan dakwah dari guru
Tidak juga dipandang sebagai suatu yang
tidak akan berhasil. Hanya orang kafir yang
terlepas dari konteks wacana dengan segala
tidak menghormati dan menghargai guru atau
unsurnya.
pemimpin mereka. Mereka itu berdosa dan
Berkenaan dengan hal ini, Arkoun menulis
karena itu akan masuk neraka. Umat Islam
bahwa al-Qur’an adalah sebuah korpus
jangan meniru-niru orang kafir itu supaya
homogen, bukan korpus percontohan yang
pendidikan dan dakwah berhasil dan tidak
diangkat secara semena-mena dengan kaidah-
berdosa pula, dan terhindar dari neraka
kaidah dan pengusutan yang direncanakan
Jelaslah disini, bahasa sebagai alat
sebelumnya. Semua ujaran yang dikandungnya
komunikasi yang merupakan rentetan kalimat
dihasilkan dalam situasi wacana yang sama.
yang haruslah saling berkaitan antara satu
Perlu dicermati bahwa yang dimaksud dengan
dengan yang lain hingga membuahkan arti yang
situasi wacana adalah sejumlah keadaan dalam
bermakna. Oleh karena itu, dalam melihat
lingkungan tempat suatu tindak pengujaran
suatu naskah tidak lagi dipandang sebagai
(baik secara tertulis maupun secara lisan)
suatu bahasa dalam bentuk struktur, frase
terjadi (Arkoun, 1988; 93-95). Dari sini
ataupun kata, tetapi sebagai susunan kalimat
tampak jelas, ketika menyikapi naskah al-
yang saling berkaitan dan menghubungkan satu
Qur’an yang ada, harus dipandang sebagai
proposisi dengan proposisi lainnya yang
wacana dengan segala unsurnya.
membentuk satu kesatuan yang dinamakan
Selanjutnya, apabila dilihat dari segi yang
wacana (Hasan Alwi dkk, 2000; 419). Jadi yang
lebih luas, berbagai betuk bahasa dalam
dimaksud dengan wacana adalah sekelompok
pengungkapan bias dilihat sangat menyeluruh,
kalimat yang saling bertautan dan merupakan
dalam arti mencakup berbagai ragam bahasa;
satu kesatuan. Dan setiap wacana memiliki
dari sudut topik, didapatkan bahwa bahasa al-
konteks yang terdiri atas berbagai unsur,
Qur’an ada yang menyangkut perdagangan,
seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu,
perundangan (hukum), bahasa interaksi sosial
tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk
sehar-hari, bahasa teknik dialog, pendidikan,
amanat, kode, dan sarana. Konteks wacana ini
11
Vol. 5 No.1 Mei 2013

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

dan lain-lainnya. Semuanya dapat dilihat al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. (tt). Takwînu’l ‘Aqli’l
dalam wacana dan mencermati susunannya. ‘ArabiyBairut; Al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabiy.
Bagaimana al-Qur’an mengkomunikasikan al-Jurjani, Abdul Qâhir. (2000). Dalâ’ilu’l I’jâz, Kairo;
pesannya ketika berkrnan dengan hukum, tata Maktabah al-Usrah.
al-Muth’i, Abdul ‘Azhim Ibrahim Muhammad. (1992).
cara dan metode pendidikan, bagaimana pula
Khashâ’ish al-Ta’bîr al-Qur’ânî, Kairo; Maktabah
ketika berkenaan dengan situasi perang cerita
Wahbah.
masa silam, mengisahkan suatu kejadian, dan
al-Ulwani, Thaha Jabir dalam mukadimah buku karya
lain-lain., yang semuanya menjadi “tren” Dr. Walid Munir. (2003). Al-Nash al-Quraniy
pembahasan tersendiri dalam ulumul qur’an Mina’l Jumlah ilâ’l ‘âlam, Kairo; Al-Ma’had al-
kontenporer ataupun kajian al-Qur’an dari ‘Alamiy li’l Fikri al-Islâmiy.
sudut linguistik dan stilitika al-Qur’an. Alwi, Hasan dkk. (2000). Tata Bahasa Bahasa
Indonesia, Balai Pustak, Jakarta.
SIMPULAN al-Zhahiriy, Al-Imam al-Jalil Abi Muhammad Ali bin
Dari keseluruhan pemaparan yang sudah Ahmad bin Sa’id bin Hazm. (tt). Al-Ihkâm fî
penulis kemukakan diatas, dengan demikian Ushûli’l Ahkâm, Dâr al-kutub al-Ilmiyah, Beirut.
Arkoun, Mohammed Kajian Kontenporer Al-Qur’an,
dapat disimpulkan, komunikasi melalui media
Terj. Hidayatullah. (1988). , Cet. I. Bandung;
bahasa, orang dapat menerima ataupun
Pustaka.
mengirim suatu pesan, dengan ini penerima
Azzarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim. (1988).
(komunikan) dapat memahami maksud dari Manâhilu’l ‘Irfân fî ‘Ulûmi’l Qur’an, Beirut; Dâr al-
pengirim pesan (komunikator) yang Kutub al-‘llmiyyah.
harapannya mampu mempengaruhi perubahan Departemen Agama RI. (1993). Al-Qur’an dan
prilaku, cara hidup masyarakat dan nilai-nilai Terjemahnya. Semarang; Al-Waah.
sosial agama. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2003).
Karena perlunya pemaknaan pesan yang Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga.
telah diwahyukan Allah kepada nabi Jakarta; Balai Pustaka.
Muhammad saw melalui Malaikat Jibril Encyclopedia Britanica.(2001), Deluxe Edition, CD-
sehingga kita sebagai umat dapat menafsirkan ROM.
sesuai kebenaran-kebenaran terdahulu, posisi Falusi, Mas’ud bin Musa. (2004). Madrasah al-
Mutakallimîn wa Manhajuhâ fî Dirâsati Ushûli’l
pemahaman terhadap situasi wacana menjadi
Fiqh, Riyad; Maktabah al-Rusy.
penting. Walaupun bahasa al-Qur’an pada
Habib, Muhammad Bakar Ismail. (1999). Ushûlu’l
dasarnya adalah bahasa ujaran yang kemudian
Fiqhi Wafq manhâji Ahli al-Sunnati wa al-Jamâ’ati
disajikan (dipelihara) dalam tulisan, kemudian al-Qur’ân al-Karîm dalîlu al-Adillati wa Ashlu al-
ketika menyikapi naskah al-Qur’an dipandang Ushûl, Beirut; Dâr al-kutub al-Ilmiyah.
sebagai suatu yang tidak terlepas dari konteks Khaldun, Abdurrahman Ibnu. (1979). Tarikh Al-
wacana dengan segala unsurnya. Allâmah Ibnu Khaldûn, Al-Muqaddimah, Bairut;
Dâr- Al-Kitâb Al-Lubnâniy
DAFTAR PUSTAKA Lathif, Muhammad Muhyiddin Abdul. (1989). Al-
al-‘Ammari, Ali Muhammad Hasan. (1999). Tuhfah al-Tsâniyah bi Syarhi al-Muqadimah al-
Qadhiyatu’l Lafzhi wa’l Ma’na wa Atsaruhâ fî Jurûmiyyah, Kairo; Maktabah al-Sunnah.
Tadwîni’l Balâghah al-Arabiyyah, Kairo; Maktabah Sarwono, Jonathan, 2006. Metode Penelitian
Wahbah. Kuantitatif dan Kualitatif,
al-Asnawi , Jamaluddin ‘Abdurrahim bin al-Hasan, Yogyakarta: Graha Ilmu
Sya’ban Muhammad Ismail ed et. (1999),
Nihâyatu al-Sûli fî Syarhi Minhâji’l Wushûli Ilâ
‘Ilmi’l Ushûl, Beirut; Dâr Ibnu Hazm.
al-Bashri, Abu al-Husain Muhammad bin Ali bin
Tha.yib. (tt) Al-Mu’tamad fî Ushûli’l Fiqh, Beirut;
Dâr al-kutub al-Ilmiyah.

Anda mungkin juga menyukai