Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Prevalensi Reumatoid Arthritis bervariasi di berbagai populasi di dunia. World


Health Organisation (2016 diambil dari Hasibuan & Antomi 2022) telah
memperkirakan kasus Reumathoid Arthritis di dunia mencapai 20% dengan kasus
tertinggi terjadi pada mereka yang berusia 55 tahun. Angka kejadian Reumathoid
arthritis akan terus meningkat seiring dengan penambahan usia seseorang.
Berdasarkan hasil analisis prevalensi Reumathoid Arthritis di Asia Tenggara
mencapai 0,4% kasus. Prevalensi pada wanita lebih tinggi mencapai 0,75%
dibandingkan dengan laki-laki mencapai 0,16% yang secara statistik telah
dinyatakan signifikan dan pada tahun 2018 jumlah prevalensi sebesar 31,6%
(Rispawati et al., 2021). Jumlah prevalensi reumathoid arthritis di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas pada tahun 2018 mencapai 7,30%, angka tertinggi
terjadi di Aceh sebesar 13,3% sedangkan yang terendah terjadi di Sulawesi Barat
sebesar 3,2%. Sementara prevalensi yang terjadi di Jawa Tengah mencapai 6,78%
(Andri et al., 2020).

Reumathoid artrhitis adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada lansia
(Sibarani, Silaban & Sinaga, 2020). Reumathoid arthritis merupakan penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi yang terjadi secara kronik dan menyerang
sistem muskuloskeletal namun organ dan sistem tubuh dapat terlibat secara
keseluruhan dan biasanya timbul rasa tidak nyaman karena nyeri pada sendi,
terjadi pembengkakan dan jaringan synovial mengalami destruksi serta terjadinya
gangguan pergerakan (Pebrianti & Sari, 2021). Reumathoid arthritis secara khas
berkembang secara perlahan dengan ditandai adanya peradangan yang sering
kambuh pada sendi dan struktur lain yang berhubungan (Wibowo & Zen, 2017).

Penyebab reumatoid astritis belum diketahui secara pasti, namun faktor


predisposisinya adalah mekanisme imunitas dan faktor metabolik serta infeksi
virus (Wibowo & Zen, 2017). Gejala yang sering ditimbulkan adalah rasa nyeri
pada persendian dan lebih sering terjadi pada sendi tangan dan sendi kaki dengan
nyeri yang ditimbulkan mulai dari skala ringan hingga skala berat yang dapat
mengakibatkan lansia kesulitan melakukan aktifitas karena mobilitas fisiknya
terganggu (Muliani, Suprapti & Nurkhotimah, 2021).

Menurut Fauzi (2019) dalam Rispawati et. al. (2021) dampak yang terjadi pada
lansia yang mengalami reumathoid arthritis apabila tidak segera ditangani akan
menimbulkan kerusakan sendi, peradangan pada pembuluh darah, mata, terjadinya
sindrom carpal tunner. Dampak yang terjadi juga menimbulkan rasa nyeri yang
mengganggu kenyamanan dan aktivitas sehari-hari sehingga mobilitas fisiknya
terbatas serta yang paling ditakutkan terjadi kecacatan bahkan bisa mengancam
jiwa penderitanya (Andri et al., 2020).

Penatalaksanaan untuk mengurangi nyeri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
dengan terapi farmakologi maupun non farmakologi. Terapi farmakologi
merupakan terapi yang dilakukan menggunakan obat-obatan berupa obat
DMARID, Kortikosteroid dan NSAID sepeti ibuprofen dan naprexen yang
digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan kejadian bengkak yang dialami lansia
penderita reumathoid arthritis dengan cara kerjanya memperlambat perkembangan
reumatid artritis dan menyelamatkan persendian serta jaringan yang disekitarnya
dari kerusakan secara permanen (syamsudin & Astuti, 2021). Penatalaksanaan
untuk mengurangi nyeri apabila secara terus menerus menggunakan obat-obatan
(Farmakologi) akan berisiko menimbulkan kerusakan akibat toksisitas pada
gastrointestinal dan kardio renal. Cara untuk menghindari resiko yang ditimbulkan
dari terapi farmakologi maka bisa menggunakan cara non farmakologi yaitu
dengan terapi okupasi, fisioterapi, hand exercise, pediatri dan diet serta
dilakukannya masase pada area yang mengalami nyeri seperti pemberian tindakan
foot massage atau massase kaki (Rispawati et al., 2021).

Terapi non farmakologi berupa foot massage (massase pada kaki) merupakan
salah satu metode yang paling umum digunakan untuk mengurangi nyeri karena
dapat membantu pembangunan kembali keseimbangan pada tubuh dan mampu
meningkatkan aliran darah serta dapat mengurangi rasa nyeri dengan manfaat
memberikan block pada transmisi nyeri dan mengaktifkan hormon endorphine
sehingga membantu merelaksasikan otot dan nyeripun berkurang (Muliani,
Suprapti & Nurkhotimah, 2019).

Penelitian yang dilakukan Rispawaati et al., (2021) diperoleh hasil terdapat


perbedaan antara sebelum dan sesudah dilakukan tindakan foot massage (massase
pada kaki) terhadap penurunan skala nyeri. Data hasil uji statistik menunjukkan
H0 ditolak yang berarti ada pengaruh yang signifikan antara penerapan foot
massage pada penderita reumathoid arthritis.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk menerapkan tindakan


intervensi berupa foot massage (massase kaki) pada lansia yang mengalami nyeri
akibat reumathoid arthritis. Penulis berharap dengan ditetapkannya intervensi foot
massage dapat digunakan sebagai sarana tindakan non farmakologi untuk
menurunkan skala nyeri pada lansia yang mengalami penyakit reumathoid
arthritis.

Rumusan Masalah

Apakah pemberian terapi massase pada kaki dapat menurunkan nyeri reumathoid
arthritis pada lansia?

Tujuan Penulisan

Tujuan Umum

Anda mungkin juga menyukai