prurigo kehamilan dan folikulitis pruritus kehamilan menjadi satu kesatuan, erupsi atopik kehamilan, yang juga termasuk eksim pada
kehamilan
DERMATOSIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO JANIN
SELAMA KEHAMILAN
Sekilas Pandang
Pemfigoid gestationis merupakan dermatosis dengan lesi berupa erupsi
vesikulobulosa yang diperantarai melalui proses imunologis, terasa
sangat gatal, terjadi pada pertengahan hingga akhir kehamilan yang
terkait dengan risiko janin.
Kolestasis intrahepatik selama kehamilan merupakan bentuk reversibel
dari kolestasis pada akhir kehamilan yang terkait dengan kelainan
biokimia dan risiko komplikasi janin tetapi tidak memiliki lesi kulit
primer. Gejala umumnya hilang dalam 2 sampai 4 minggu setelah
melahirkan, tetapi sering ditemukan kekambuhan pada kehamilan
berikutnya.
Psoriasis pustular pada kehamilan merupakan erupsi pustular yang
jarang terjadi, bersifat akut, sering disertai dengan gejala demam,
leukositosis, dan peningkatan laju sedimentasi eritrosit. Dermatosis ini
umum dianggap sebagai salah satu varian dari psoriasis.
Epidemiologi
PG jarang terjadi, tetapi dapat ditemukan pada 1 dari 1700 hingga 1 dari 50.000
kehamilan.
Menifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada PG dapa berupa munculnya
lesi urtikaria diikuti oleh lesi vesikular pada badan dan ekstremitas yang terjadi
saat pertengahan hingga akhir kehamilan atau periode dini postpartum (Gbr. 105-
4). Tidak seperti erupsi polimorfik pada kehamilan (lihat bagian “Dermatosis
yang Tidak Berhubungan dengan Risiko Janin Selama Kehamilan”), PG termasuk
kulit periumbilikalis (Gbr. 105-5).
Gbr. 105-4 Pemfigoid gestationis. A, Plak urtikaria dan bula tegang pada bagian
wajah, leher, dan dada. B, Lesi serupa pada bagian ekstremitas.
Diagnosis
Pasien yang dicurigai mengalami PG umumnya perlu dilakukan biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi dan DIF. Pemeriksaan histopatologi
menunjukkan gambaran klasik dari pemfigoid bulosa. Pada saat kehamilan,
pemeriksaan DIF dengan ditemukannya C3 dalam pita linier pada dermal-
epidermal junction merupakan patognomonik untuk PG. Autoantibodi yang
bersirkulasi diarahkan ke target antigen yang sama seperti pada pemfigoid bulosa,
namun lebih sering diarahkan untuk melawan antigen BP180 daripada BP230.
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) atau studi imunofluoresensi tidak
langsung dapat dilakukan untuk pemeriksaan antigen BP180. ELISA memiliki
spesifikasi 96% dan sensitif untuk PG.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi erupsi polimorfik selama kehamilan, erupsi
obat, atau urtikaria (selama tahap urtikaria pemfigoid gestationis). Meskipun DIF
ditetapkan sebagai standar emas untuk pemeriksaan diagnosis, ELISA dan studi
imunofluoresensi tidak langsung yang disebutkan di atas memiliki manfaat dalam
menegakkan diagnosis.
Tatalaksana
Pengobatan dapat dimulai dengan terapi topikal menggunakan steroid dan
terapi sistemik dengan pemberian antihistamin. Antihistamin generasi pertama
lebih banyak diminati daripada antihistamin generasi kedua. Kebanyakan pasien
memerlukan pengobatan kortikosteroid sistemik. Banyak wanita menunjukkan
perbaikan secara klini dan selanjutnya dosis steroid dapat diturunkan menjadi
lebih rendah atau bahkan penghentian steroid. Dalam kasus yang tidak
memberikan respons memuaskan terhadap terapi prednisolon saja, atau dalam
kasus di mana pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid
dikontraindikasikan, pilihan modalitas terapi lainnya seperti plasmapheresis atau
imunoglobulin IV dapat dipertimbangkan.
Epidemiologi
Ikterus berkembang pada sekitar 1 dari 1500 wanita hamil. Dengan
perkiraan kejadian 70 kasus per 10.000 kehamilan di Amerika Serikat, ICP
menempati urutan kedua setelah virus hepatitis sebagai penyebab ikteus pada
wanita hamil. ICP paling sering terjadi di Skandinavia dan Amerika Selatan.
Tingkat insiden tertinggi yang dilaporkan adalah di Chili (14% hingga 16%),
sedangkan tingkat yang jauh lebih rendah terlihat pada wanita hamil di Amerika
Serikat (kurang dari 0,1% hingga 0,7%), Kanada (0,1%), Australia (0,2% hingga
1,5%), dan Eropa Tengah (0,1% hingga 1,5%).
Manifestasi Klinis
ICP adalah satu-satunya dermatosis pada kehamilan yang muncul tanpa
lesi kulit primer. Pasien secara umum datang selama trimester ketiga dengan
keluhan pruritus sedang hingga berat, yang dirasakan hanya pada telapak tangan
dan telapak kaki atau seluruh tubuh. Pruritus dimulai selama trimester pertama
dan kedua masing-masing 10% dan 25% kasus. Pruritus intens sering dikaitkan
dengan ekskoriasi sekunder, meskipun lesi kulit primer tidak ada. Awalnya,
pasien mungkin mengeluh pruritus nokturnal saja, dan gejala umumnya lebih
parah pada malam hari selama perjalanan ICP.
Gejala konstitusional seperti kelelahan, mual, muntah, atau anoreksia
dapat menyertai keluhan pruritus. Perkembangan ikterus secara klinis, urin
berwarna lebih gelap/pekat, atau feses yang berwarna terang terjadi pada sekitar 1
dari 5 pasien. Pruritus umumnya muncul lebih awal dibandingkan dengan gejala-
gejala tersebut dengan perkiraan 1 sampai 4 minggu lebih awal.
Efek berbahaya pada janin termasuk peningkatan kelahiran prematur,
gawat janin intrapartum, dan kematian janin.
Diagnosis
Peningkatan kadar serum asam empedu merupakan satu-satunya indikator
ICP yang paling sensitif. Total kadar asam empedu pada serum yang lebih besar
dari 11 µM/L menjadi penanda ICP. Pada wanita hamil yang sehat, total asam
empedu sedikit meningkat di atas batas dasar dan nilai 11 dianggap masih normal
pada akhir kehamilan. Indeks biokimia ICP yang jelas belum ditetapkan. Namun,
Brites dan rekan mengidentifikasi beberapa temuan yang umum pada ICP sebagai
berikut: (a) konsentrasi total asam empedu serum lebih besar dari 11 µM (rentang
referensi: 4,6 hingga 8,7 µM); (b) rasio cholic acid-to-chenodeoxycholic acid
lebih besar dari 1,5 (rentang referensi: 0,7 hingga 1,5) atau proporsi asam kolat
dari total asam empedu lebih besar dari 42%; (c) rasio glycine conjugates-to-
taurine conjugates asam empedu kurang dari 1 (rentang referensi: 0,9 hingga 2)
atau konsentrasi asam glikokolat lebih besar dari 2 µM (rentang referensi: 0,6
hingga 1,5 µM). Derajat pruritus dan keparahan penyakit umumnya berkorelasi
dengan konsentrasi asam empedu.
Temuan abnormal pada tes fungsi hati, di antaranya adalah peningkatan
transaminase, alkaline phosphatase, 5’-nucleotidase, kolesterol, trigliserida,
fosfolipid, dan lipoprotein X biasanya sering ditemukan. Di antara parameter ini,
alanin transaminase sangat sensitif, karena peningkatan enzim ini bukan
merupakan ciri kehamilan yang sehat tetapi biasanya ditemukan pada wanita
hamil dengan ICP. γ-Glutamyl transferase yang umumnya rendah pada akhir
kehamilan, biasanya normal atau terjadi sedikit peningkatan pada ICP. Fraksi
bilirubin langsung (atau terkonjugasi) paling sering meningkat pada ICP. Albumin
dapat ditemukan sedikit menurun, sedangkan α2-globulins dan β-globulin cukup
meningkat. Akan tetapi, tes hati rutin saja tidak cukup dijadikan sebagai dasar
untuk diagnosis ICP. Biopsi kulit tidak membantu dalam diagnosis ICP.
Diagnosis Banding
Membedakan penyebab pruritus lainnya pada wanita hamil dapat menjadi
tantangan. Ditemukannya lesi primer sebgai patokan dalam diagnosis awal tidak
berlaku pada kasus ICP, karena ICP sendiri tidak memiliki lesi primer. Penyebab
lain dari gangguan hati dan ikterus, seperti virus hepatitis dan nonviral, obat-
obatan, obstruksi hepatobilier, dan penyakit intrahepatik lainnya (misalnya, sirosis
bilier primer) harus disingkirkan. Akhirnya, harus diingat bahwa hipertiroidisme,
reaksi alergi, polisitemia vera, limfoma, pedikulosis, dan kudis masing-masing
dapat bermanifestasi sebagai pruritus umum pada wanita hamil (dan tidak hamil).
Perjalanan Klinis dan Prognosis
Ciri khas yang ditemukan pada ICP adalah gejala dan kelainan biokimia
terkait yang biasanya sembuh dalam 2 hingga 4 minggu setelah melahirkan.
Kekambuhan selama kehamilan berikutnya terjadi pada sekitar 45% hingga 70%
pasien. Beberapa wanita mengalami ICP berulang memiliki riwayat mengonsumsi
kontrasepsi oral atau penggunaan alat kontrasepsi hormonal, seperti estrogen
sintetis dan agen progestasional.
Prognosis ibu umumnya baik, meskipun wanita dengan kasus yang parah
cenderung mengalami perdarahan postpartum sekunder akibat deplesi vitamin K.
Selain itu, wanita yang terkena ICP memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi kolelitiasis atau penyakit kandung empedu. Risiko janin pada ICP
termasuk peningkatan angka prematuritas, gawat janin, dan kematian janin.
Komplikasi ini umumnya berkorelasi dengan kadar asam empedu yang lebih
tinggi dan dikaitkan dengan anoksia plasenta akut dan peningkatan insiden cairan
ketuban yang terkontaminasi oleh mekonium.
Tatalaksana
Tujuan dari terapi ICP adalah untuk mengurangi kadar asam empedu
serum dan dengan demikian dapat mempertahankan kehamilan, mengurangi
gejala yang dikeluhkan oleh ibu dan mengurangi risiko janin. Pendekatan
interdisipliner yang dilakukan dengan pengawasan terhadap janin yang intens
sangat penting dalam tatalaksana ICP.
Meskipun dalam kasus banyak yang ditemukan ICP ringan, terkadang
perbaikan gejala maupun klinis dapat dicapai dengan pemberian emolien dan agen
antipruritik topikal, asam ursodeoxycholic (UDCA), asam empedu hidrofilik
alami, adalah pengobatan pilihan lainnya yang tersedia saat ini. UDCA
mengurangi gejala ibu dan risiko janin. UDCA memberikan efek hepatoprotektif
melalui peningkatan ekskresi asam empedu hidrofobik, metabolit progesteron
sulfat, dan senyawa hepatotoksik lainnya. UDCA menurunkan kadar asam
empedu dalam kolostrum, darah pada tali pusat dan cairan ketuban. Hasil dari
beberapa percobaan dalam skala kecil secara acak dan terkontrol dibandingkan
dengan plasebo menunjukkan bahwa ketika UDCA diberikan pada dosis antara
450 mg dan 1200 mg setiap hari, UDCA ditoleransi dengan baik dan sangat
efektif dalam mengendalikan kelainan fungsi klinis dan hati yang menentukan
ICP. Percobaan secara acak dan terkontrol yang membandingkan UDCA head-to-
head dengan deksametason atau cholestyramine menunjukkan bahwa efikasi dari
UDCA lebih unggul.
Terdapat percampuran data dalam literatur mengenai partus yang lebih
awal. Tinjauan sistematis mengenai lahir mati usia aterm yang tidak dapat
dijelaskan secara pasti penyebabnya, melainkan terkait temuan kondisi kehamilan
dengan ICP menjadi bahan evaluasi berupa bukti yang mendukung ICP sebagai
indikasi medis atau penyebab persalinan dini pada usia kehamilan kurang dari 39
minggu tidak ditemukan bukti yang mendukung manajemen aktif (persalinan dini)
untuk ICP. Artikel ini melaporkan angka lahir mati pada kedua kelompok—pasien
yang perawatan obstetriknya termasuk atau tidak termasuk manajemen aktif—
masing-masing mirip dengan angka kelahiran mati nasional. Sebuah studi
retrospektif baru-baru ini melaporkan bahwa persalinan pada usia kehamilan 36
minggu akan mengurangi risiko kematian perinatal dibandingkan dengan
manajemen hamil. Kebanyakan penulis merekomendasikan induksi persalinan
dini, biasanya pada usia kehamilan 38 minggu atau lebih awal.
Epidemiologi
Psoriasis pustular pada kehamilan sangat jarang terjadi, dengan insiden yang
terlapor hanya sekitar 350 kasus dijelaskan dalam literatur Eropa dan Amerika
pada tahun 2000.
Manifestasi Klinis
Psoriasis pustular pada kehamilan ditandai dengan erupsi akut yang terjadi
pada awal trimester pertama, tetapi umumnya selama trimester ketiga, dari
kehamilan dengan gangguan. Kondisi ini bermanifestasi berupa patch eritematosa
yang tepinya dipenuhi pustula subkorneal (Gbr. 105-6). Erupsi biasanya diawali
dari daerah fleksor, menyebar secara sentrifugal dan terkadang generalisata. Lesi
subungual dapat menyebabkan onikolisis. Jarang ditemukan keterlibatan selaput
lendir yang dapat menyebabkan erosi yang menyakitkan. Wajah, telapak tangan,
dan telapak kaki biasanya tidak terkena. Ruam juga dapat disertai dengan keluhan
gatal atau rasa sakit.
Gbr. 105-6 Psoriasis pustular pada kehamilan. Patch eritematosa dipenuhi dengan
pustula subkornea.
Onset erupsi disertai dengan gejala konstitusional seperti demam,
menggigil, malaise, diare, mual, dan artralgia.
Komplikasi ibu yang mengancam jiwa jarang terjadi tetapi dapat terjadi
akibat hipokalsemia berat dan sepsis bakteri. Jarang ditemukan kasus dengan
komplikasi tetani, delirium, dan kejang terjadi jika hipokalsemia parah.
Komplikasi yang paling ditakuti adalah insufisiensi plasenta yang dapat
menyebabkan lahir mati atau kematian neonatus. Untuk alasan tersebut, induksi
untuk persalinan dini sering dipertimbangkan.
Diagnosis
Meskipun gambaran klinis umumnya khas dan dapat dibedakan, tetapi
biopsi sangat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis ini. Pemeriksaan
histopatologi menunjukkan gambaran klasik psoriasis pustular. Pemeriksaan
laboratorium awal harus mencakup hitung darah lengkap dan panel metabolik
komprehensif dengan perhatian khusus pada tingkat kalsium. Gangguan
laboratorium yang paling umum berupa adanya leukositosis, neutrofilia,
peningkatan laju sedimentasi eritrosit, anemia hipoferik, dan hipoalbuminemia.
Lebih jarang dapat ditemukan kadar kalsium, fosfat, dan vitamin D yang
menurun. Kadar hormon paratiroid serum jarang menurun. Kultur isi pustula dan
darah tepi umumnya negatif kecuali dibarengi dengan infeksi sekunder.
Diagnosis Banding
Pada Tabel 105-3 diuraikan beberapa daftar diagnosis banding psoriasis pustular
pada kehamilan.
Tabel 105-3 Diagnosis Banding Psoriasis Pustular pada Kehamilan
Paling Menyerupai (Most Likely)
Erupsi obat pustular (pustulosis eksantematosa generalisata akut)
Pemfigoid gestationis
Dipertimbangkan (Consider)
Pemfigus vulgaris
Dermatitis herpetiformis
Dermatosis pustular subkornea
Erupsi pustular pada penyakit usus besar
Selalu Disingkirkan (Always Rule Out)
Penyebab infeksi dari erupsi pustular
Tatalaksana
Umumnya resolusi tercapai setelah melahirkan. Akan teteapi, mengingat
perjalanan klinisnya yang progresif secara konsisten, pengobatan diindikasikan
untuk mengurangi risiko komplikasi janin dan ibu selama kehamilan. Tatalaksana
topikal, yang meliputi pembalut basah (wet dressings) dan kortikosteroid topikal,
jarang meneunjukkan keberhasilan apabila digunakan sebagai monoterapi.
Narrowband ultraviolet B yang dikombinasikan dengan steroid topikal telah
dilaporkan berhasil dalam kasus yang juga jarang terjadi.
Kortikosteroid sistemik berdasarkan literatur merupakan terapi yang dapat
diandalkan. Saat ini, siklosporin dan infliximab dianggap sebagai terapi lini
pertama. Siklosporin telah berhasil digunakan pada dosis antara 5 mg/kg dan 10
mg/kg setiap hari. Infliximab yang merupakan agen penghambat faktor nekrosis
tumor, telah berhasil digunakan tanpa efek samping pada janin, tetapi dengan
perhatian bahwa pemberian vaksin yang tergolong ke dalam vaksin hidup harus
ditunda pada bayi baru lahir dari ibu yang diterapi dengan infliximab. Meskipun
pertimbangan mengenai manfaat dan risiko dari blokade faktor nekrosis tumor
selama kehamilan harus dipertimbangkan, agen ini (termasuk etanercept dan
adalimumab) mungkin memiliki peran dalam tatalaksana.
Dalam semua kasus, status cairan dan elektrolit harus dipantau dan
dilakukan pemberian koreksi secara cepat apabila ditemukan kelainan.
Pemantauan janin sangat penting karena perlambatan denyut jantung janin
mungkin merupakan tanda awal hipoksemia janin. Fungsi jantung dan ginjal ibu
dapat terganggu dengan perkembangan penyakit ini dan karena itu juga harus
dipantau. Induksi persalinan adalah pilihan ketika gejala tidak mereda meskipun
terapi suportif dan farmakologis telah diberikan. Armamentarium terapeutik yang
tersedia setelah terminasi kehamilan atau setelah melahirkan pada ibu yang tidak
menyusui dapat ditambahkan dengan beberapa modalitas terapi seperti psoralen
oral dan ultraviolet A, retinoid oral, dan metotreksat.
Epidemiologi
Insiden PEP berkisar antara 1 dari 300 dan 1 dari 130 kehamilan.
Manifestasi Klinis
PEP biasanya terjadi pada primigravida selama trimester terakhir
kehamilan (mulai rata-rata: 35 minggu); namun, kasus PEP klasik dapat terjadi
lebih awal pada kehamilan dan pada periode awal postpartum. PEP bersifat
polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria (paling sering), vesikular, purpura,
polisiklik, targetoid, atau ekzematosa (Gbr. 105-7). Lesi tipikal berupa papula
urtikaria eritematosa 1-2 mm, papula urtikaria eritematosa yang dikelilingi oleh
halo berwarna pucat yang sempit. Erupsi dimulai dari daerah abdomen, biasanya
di dalam striae gravidarum, dan menunjukkan periumbilical sparing (Gbr. 105-
8). Pruritus umumnya bersifat sjalan dengan erupsi dan terlokalisir pada kulit
yang terkena. Penyebaran dengan cepat meliputi paha, bokong, payudara, dan
lengan merupakan hal yang biasa ditemukan pada PEP. Keterlibatan telapak
tangan, telapak kaki, atau kulit di atas payudara umumnya tidak terjadi. Pruritus
parah dapat mengganggu tidur, dan tidak ada gejala sistemik lainnya yang pernah
dilaporkan.
Gbr. 105-7 Papula urtikaria pruritik dan plak kehamilan. A, Lesi paling awal
berukuran 1 sampai 2 mm, eritematosa, papula urtikaria yang terlokalisasi di
dalam dan di sekitar striae distensae dan tidak mengenai umbilikus. B, Papula
menyatu membentuk plak eritematosa yang menyebar hingga melibatkan bokong
dan paha. C, Plak urtikaria pada payudara. Sebagai catatan, payudara juga
menunjukkan “arreola sekunder”, penggelapan fisiologis, dan perluasan retikuler
dari pigmentasi areolar. Ditemukan juga striae distensae yang terlihat pada
payudara serta tuberkel Montgomery pada areola.
Faktor Risiko
Hubungan antara PEP dan kehamilan ganda ditunjukkan oleh angka
kehamilan kembar dan kembar tiga yang lebih tinggi dari perkiraan dalam
sebagian besar literatur. Hubungan yang tidak dapat dijelaskan dengan janin laki-
laki dan kelahiran melalui operasi sesar telah dilaporkan meskipun tidak
konsisten. Laporan yang menghubungkan PEP dengan peningkatan berat badan
ibu-janin masih diperdebatkan.
Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan temuan secara klinis ketika
pasien datang dengan erupsi di lokasi yang khas pada masa akhir kehamilan.
Biopsi harus dilakukan jika PG dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.
Temuan histopatologi, meskipun tidak spesifik, umumnya termasuk parakeratosis,
spongiosis, dan kadang-kadang eksositosis eosinofil (spongiosis eosinofilik).
Dermis yang berdekatan dapat mengalami edema dan mengandung infiltrat
limfosit perivaskular yang bercampur dengan jumlah eosinofil dan neutrofil yang
bervariasi. Studi DIF mengungkapkan baik granular maupun tidak adanya deposit
C3, IgM, atau IgA pada dermo-epidermal junction atau di sekitar pembuluh darah,
dan pemeriksaan indirect immunofluorescence dengan hasil negatif.
Diagnosis Banding
Pada Tabel 105-4 diuraikan beberpa diagnosis banding dari PEP.
Tabel 105-4 Diagnosis Banding dari Erupsi Polimorfik Selama Kehamilan
Paling Menyerupai (Most Likely)
Pemfigoid gestationis
Erupsi atopik selama kehamilan
Dermatitis kontak
Dipertimbangkan (Consider)
Erupsi obat
Exantema virus
Pityriasis rosea
Dermatitis eksfoliatif atau eksim
Selalu Disingkirkan (Always Rule Out)
Skabies
Tatalaksana
Meskipun tidak berbahaya bagi ibu dan janin, pruritus seringkali bersifat
intens dan berlangsung terus menerus sehingga dirasakan sering mengganggu.
Mengurangi atau menghilangkan gejala pruritus biasanya dilakukan dengan
pemberian kortikosteroid topikal dan/atau antihistamin oral. Kortikosteroid oral
dalam waktu singkat jarang diperlukan, tetapi secara efektif mengontrol gejala
pada kebanyakan kasus yang refrakter terhadap pengobatan topikal. Induksi
persalinan dini sebelumnya dipertimbangkan dalam kasus di mana pruritus parah
berlangsung terus menerus, tetapi memiliki kekurangan yakni peningkatan
morbiditas janin atau ibu (selain pruritus tanpa henti) dan umumnya dianggap
tidak perlu. Sifat dan perjalanan alamiah dari PEP mampu meredakan kecemasan
pada ibu hamil.
Epidemiologi
AEP terdiri dari sekitar 50% dari semua penyakit kulit yang terjadi selama
kehamilan, sehingga AEP merupakan gangguan pruritus yang paling umum pada
kehamilan. AEP cenderung muncul lebih awal pada kehamilan daripada penyakit
kulit terkait kehamilan lainnya.
Manifestasi Klinis
Pada 20% pasien AEP datang dengan gejala dermatitis atopik yang sudah
ada sebelumnya, sedangkan sisanya pada pasien yang mengalami erupsi atopik
untuk pertama kalin (atau setelah remisi yang lama). Erupsi eksema klasik
terutama mengenai permukaan fleksor dan wajah terjadi pada dua pertiga individu
yang terkena (AEP, tipe E; Gbr. 105-9). Sepertiga sisanya ditemukan lesi papular
(AEP, tipe-P; Gbr. 105-10) yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai prurigo
kehamilan. Lesi tipe-P merupakan papula diskrit, pruritus, ekskoriasi dengan
predileksi pada permukaan ekstensor (Gbr. 105-11), dengan keterlibatan badan
yang lebih jarang. Gejalan klinis eksim, termasuk xerosis atau telapak tangan
hiperlinear, dapat ditemukan pada pasien dengan salah satu subtipe. Hal yang
membedakan AEP termasuk onset awal kehamilan (sebelum trimester ketiga) dan
riwayat atopi pribadi dan/atau keluarga.
Gbr. 105-9 Pola ruam untuk erupsi eksema pada erupsi atopik selama kehamilan.
Gbr. 105-10 Pola ruam untuk erupsi papula pada erupsi atopik selama kehamilan.
Faktor Risiko
Faktor risiko AEP termasuk riwayat atopi pribadi dan/atau keluarga.
Diagnosis
Diagnosis sebagian besar ditegakkan secara klinis karena gambaran
histopatologi yang tidak spesifik dan studi imunofluoresensi langsung dan tidak
langsung dengan hasil negatif. Total serum IgE meningkat pada 20% sampai 70%
individu dengan AEP, meskipun relevansi klinis dari pengujian serum IgE tidak
jelas. Tes serologi tidak menemukan kelainan lainnya.
Diagnosis Banding
Penyakit kulit tertentu lainnya pada kehamilan, terutama ICP dan PEP,
harus disingkirkan, seperti folikulitis mikroba dan dermatitis kontak alergi yang
terjadi pada wanita hamil.
Tatalaksana
Pemberian terapi bertujuan untuk memperbaiki gejala pruritus dan dapat
dilakukan dengan pemberian emolien, kortikosteroid topikal potensi menengah,
dan antihistamin. Benzoil peroksida dapat membantu untuk lesi di daerah badan,
lesi folikel, dan fototerapi ultraviolet B dapat digunakan pada kasus yang parah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada Dr. Julie Karen, yang berkontribusi pada versi
sebelumnya dari bab ini dalam edisi ke-8.