Anda di halaman 1dari 30

PERUBAHAN KULIT DAN PENYAKIT KULIT SELAMA KEHAMILAN

PERUBAHAN UMUM YANG TERKAIT DENGAN KEHAMILAN


Sekilas Pandang
 Perubahan kulit terjadi akibat perubahan yang berkaitan dengan endokrin,
metabolik, dan imunologis yang umum terjadi selama kehamilan.
 Gangguan pigmentasi, termasuk hiperpigmentasi, penggelapan linea alba,
dan melasma merupakan perubahan yang paling sering ditemukan selama
kehamilan.
 Perubahan ukuran nevus yang signifikan tidak termasuk ke dalam
perubahan kulit yang umum selama kehamilan.
 Perubahan struktural yang dilaporkan terjadi selama kehamilan termasuk
yang paling sering adalah striae distensae.
 Pruritus merupakan keluhan umum yang dikeluhkan selama kehamilan,
tetapi juga dapat terkait dengan kambuhnya penyakit kulit yang sudah ada
sebelumnya atau timbulnya penyakit kulit tertentu yang baru terjadi
selama kehamilan.
Kehamilan ditandai dengan perubahan yang berkaitan dengan endokrin,
metabolik, dan imunologis. Perubahan tersebut menghasilkan beberapa perubahan
yang dapat diamati pada kulit, baik secara fisiologis maupun patologis. Pada
Tabel 105-1 dicantumkan daftar mengenai perubahan fisiologis di dalam kulit
beserta penjelasannya secara lengkap.
Tabel 105-1 Perubahan Fisiologis Kulit Selama Kehamilan
Pigmentasi
 Hiperpigmentasi (genitalia, aksila, bekas luka baru)
 Areola sekunder
 Linea nigra
 Melasma (cholasma, mask of pregnancy)
Rambut
 Hirsutisme
 Penebalan rambut kulit kepala
 Telogen eflluvium post partum
 Alopesia androgenik post partum
Kuku
 Hiperkeratosis subungual
 Onikolisis distal
 Transverse grooving
 Kuku rapuh
 Pertumbuhan kuku yang lebih cepat
Kelenjar
 Peningkatan fungsi ekrin (kecuali pada area telapak tangan) (miliaria,
eksim dishidrotik, hiperhidrosis)
 Peningkatan aktivitas tiroid yang diakibatkan oleh defisiensi yodium
 Peningkatan fungsi sebasea (pertumbuhan tuberkel Montgomery)
 Penurunan fungsi apokrin
Perubuhan struktural
 Striae distensae (striae gravidarum)
 Moloskum fibrosum gravidarum (acrohordons)
Vaskular
 Spider angioma (spider nevi, nevi aranei)
 Eritema palmaris
 Edema nonpitting (pada tangan, pergelangan kaki, kaki, wajah)
 Varises
 Cutis marmorata
 Ketidakstabilan vasomotor
 Dermografisme/pruritus
 Purpura
 Hiperemia atau hiperplasia gingiva
 Granuloma piogenik (granuloma gravidarum, epulis kehamilan)
 Wasir/hemoroid
 Hemangioma, hemangioendothelioma, glomangioma
 Telangiektasia nevoid unilateral (telangiektasia superfisial dermatomal
unilateral)
Mukosa
 Gingivitis (gingivitis marginal, hipertrofi papilomatosa pada gusi)
 Tanda Jacquemier-Chadwick (perubahan warna kebiruan pada vagina
dan leher rahim)
 Tanda Goodell (pelunakan serviks)
Gangguan pigmentasi merupakan dari perubahan fisiologis yang paling
umum ditemukan selama kehamilan. Hiperpigmentasi pada areola, aksila, dan
genitalia dapat ditemukan selama kehamilan. Linea nigra merupakan penggelapan
yang biasanya bersifat reversibel pada linea alba. Linea alba sendiri merupakan
suatu manifestasi kehamilan pada kulit yang berupa patch linier hipopigmentasi
yang memanjang dari simfisis pubis ke prosesus xiphoid sternal (Gbr. 105-1).
Melasma atau chloasma ditandai dengan lesi hiperpigmentasi pada wajah yang
tidak teratur, terlihat seperti noda, yang terjadi pada 70% wanita hamil (Gbr. 105-
2). Kondisi melasma biasanya diperparah oleh riwayat paparan sinar matahari dan
oleh riwayat konsumsi kontrasepsi oral pada wanita tidak hamil. Melasma dapat
mengalami regresi pascapersalinan, tetapi seringkali ditemukan berlanjut dan
menjadi tantangan dalam hal terapeutik terkait melasma.
Gbr. 105-1 Linea nigra. Sebuah garis hiperpigmentasi yang memanjang dari
simfisis pubis ke proses xiphoid sternum. Hiperpigmentasi sering lebih jelas
ditemukan di bawah umbilikus.

Gbr. 105-2 Melasma. Bercak, hiperpigmentasi berbintik-bintik yang terlihat jelas


pada pipi dan kulit bibir bagian atas.
Perubahan nevus melanositik secara historis dianggap "normal" selama
kehamilan. Akan tetapi, hanya sedikit penelitian yang secara objektif mempelajari
apakah dan bagaimanakah mekanisme nevus dapat terjadi selama kehamilan.
Pennoyer dan rekannya secara fotografis melalukan studi terhadap 129 nevus
melanositik selama kehamilan pada 22 wanita kulit putih yang sehat. Hanya 8
nevus (6,2%) yang mengalami perubahan diameter terhitung sejak trimester
pertama hingga trimester ketiga, dengan rata-rata perubahan ukuran nol. Para
peneliti kemudian menyimpulkan bahwa perubahan signifikan dalam ukuran
nevus (tidak termasuk nevus pada perut saat hamil) tampaknya tidak termasuk ke
dalam karakteristik yang umum ditemukan pada sebagian besar kehamilan.
Perubahan pada nevus yang dapat diamati melalui pemeriksaan dermoskopi
selama kehamilan antara lain berupa pelebaran diameter dan perubahan struktur
yang terlihat terutama pada tubuh bagian depan. Sampai penelitian terkontrol
lebih lanjut dilakukan, setiap lesi pigmentasi pada wanita hamil yang mengalami
perubahan morfologi (ukuran, warna, atau bentuk) atau gejala (mulai gatal,
berdarah, atau bersisik) harus dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan
secara histopatologi.
Perubahan struktural yang paling umum ditemukan selama kehamilan
adalah striae distensae yang juga dikenal sebagai striae gravidarum atau bahasa
sehari-hari adalah stretch mark (Gbr. 105-3). Daerah predileksi dari striae
merupakan area yang paling rentan terhadap peregangan, termasuk perut, pinggul,
bokong, dan payudara. Faktor-faktor yang diketahui seperti riwayat keluarga,
riwayat pribadi, dan ras tergolong ke dalam faktor prediktor terkuat dari risiko
wanita hamil untuk mengalami striae distensae. Faktor-faktor tersebut memiliki
risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan berat badan selama
kehamilan atau perubahan indeks massa tubuh. Temuan ini sangat mendukung
kecenderungan genetik pada kondisi terkait. Perubahan vaskular juga sering
terjadi dan dikategorikan ke dalam perubahan struktural. Spider angioma
merupakan lesi vaskular yang paling umum diamati selama kehamilan.

Gbr. 105-3 Striae distensae.


Pruritus merupaka keluhan yang umum yang dikeluhkan selama
kehamilan. Keluhan ini dapat bersifat fisiologis, tetapi dapat menandai munculnya
penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya atau timbulnya penyakit kulit tertentu
yang baru terjadi selama kehamilan. Sisa dari bab ini selanjutnya akan
menguraikan kondisi yang relatif lebih jarang tetapi dapat menjadi temuan
spesifik bagi kehamilan. Tabel 105-2 memberikan gambaran umum terkait
kondisi tersebut.
Tabel 105-2 Ringkasan Dermatosis Selama Kehamilan
Morfologi Distribusi Onset Umum Risiko Janin Sinonim
Pemfigoid Papula dan Dimulai pada batang tubuh, Trimester kedua Kelahiran kurang Herpes gestationis
(herpes) plak urtikaria kemudian menyebar atau ketiga, atau masa kehamilan
gestationis berkembang menjadi erupsi umum segera setelah Kelahiran
menjadi Tidak melibatkan daerah melahirkan prematur
vesikel dan wajah, mukosa, telapak Pemfigoid
bula tangan dan kaki getationis neonatus
Kolestasis Ekskoriasi dan Umum, termasuk telapak Trimester ketiga Kelahiran Kolestasis obstetrik
intrahepatik papula tangan dan telapak kaki prematur Kolestasis kehamilan
selama ekskoriasi ± Gangguan janin Ikterus kehamilan berulang
kehamilan ikterus Kematian janin Ikterus kolestatik kehamilan
Ikterus idiopatik kehamilan
Prurigo gravidarum
Ikterus gravidarum
Psoriasis Patch Dimulai pada daerah fleksor Trimester ketiga Insufisiensi Impetigo herpetiformis
pustular pada eritematosa Generalisasi menunjukkan plasenta dapat
kehamilan dengan pustula penyebaran sentrifugal menyebabkan
subkornea di neonatus lahir mati
tepinya atau kematian
neonatus
Papula urtikaria “Polimorfik” Dimulai dalam bagian striae Trimester ketiga Tidak ada Erupsi polimorfik kehamilan
pruritus dan plak termasuk pada perut atau segera Ruam bourne toxemic
pada kehamilan papula dan Menyebar ke sisa badan dan setelah kehamilan
plak urtikaria ± kemudian ekstremitas melahirkan Nurse’s late onset prurigo
vesikel Tidak mengenai umbilikus of pregnancy
Eritema toksemia kehamilan
Erupsi atopik Plak dan patch Wajah, leher, dada, flexor Sebelum Tidak ada Eksim pada kehamilana
kehamilan tipe-E eksim ekstremitas trimester ketiga
Erupsi atopik Papula yang Ekstremitas, kadang-kadang Sebelum Tidak ada Prurigo kehamilana
kehamilan tipe-P mengalami badan trimester ketiga Prurigo Besnier Gestationis
ekskoriasi atau Nurse’s early onset prurigo
berkrusta of pregnancy
Papular dermatitis of
Spangler atopic
eruption of pregnancy
Sebuah klasifikasi baru yang diusulkan oleh Ambros-Rudolph dan rekan yang menggabungkan entitas yang sebelumnya berbeda
a

prurigo kehamilan dan folikulitis pruritus kehamilan menjadi satu kesatuan, erupsi atopik kehamilan, yang juga termasuk eksim pada
kehamilan
DERMATOSIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO JANIN
SELAMA KEHAMILAN
Sekilas Pandang
 Pemfigoid gestationis merupakan dermatosis dengan lesi berupa erupsi
vesikulobulosa yang diperantarai melalui proses imunologis, terasa
sangat gatal, terjadi pada pertengahan hingga akhir kehamilan yang
terkait dengan risiko janin.
 Kolestasis intrahepatik selama kehamilan merupakan bentuk reversibel
dari kolestasis pada akhir kehamilan yang terkait dengan kelainan
biokimia dan risiko komplikasi janin tetapi tidak memiliki lesi kulit
primer. Gejala umumnya hilang dalam 2 sampai 4 minggu setelah
melahirkan, tetapi sering ditemukan kekambuhan pada kehamilan
berikutnya.
 Psoriasis pustular pada kehamilan merupakan erupsi pustular yang
jarang terjadi, bersifat akut, sering disertai dengan gejala demam,
leukositosis, dan peningkatan laju sedimentasi eritrosit. Dermatosis ini
umum dianggap sebagai salah satu varian dari psoriasis.

Pemfigoid (Herpes) Gesationis


Pemfigoid (herpes) gestationis (PG) merupakan bentuk dermatosis yang
ditandai dengan lesi berupa erupsi vesikulobulosa, yang sering dikeluhkan dengan
gejala sangat gatal, terjadi pada pertengahan hingga akhir kehamilan dan periode
dini postpartum. Dermatosis ini secara alamiah dimulai pada saat kehamilan
memasuki trimester kedua atau ketiga dengan menifestasi klinis munculnya lesi
urtikaria yang terasa sangat gatal, terjadi secara tiba-tiba dengan dasar berupa
kulit normal atau eritematosa. PG dikaitkan dengan peningkatan insiden ibu hamil
dengan kurang masa kehamilan dan bayi lahir prematur.

Epidemiologi
PG jarang terjadi, tetapi dapat ditemukan pada 1 dari 1700 hingga 1 dari 50.000
kehamilan.
Menifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada PG dapa berupa munculnya
lesi urtikaria diikuti oleh lesi vesikular pada badan dan ekstremitas yang terjadi
saat pertengahan hingga akhir kehamilan atau periode dini postpartum (Gbr. 105-
4). Tidak seperti erupsi polimorfik pada kehamilan (lihat bagian “Dermatosis
yang Tidak Berhubungan dengan Risiko Janin Selama Kehamilan”), PG termasuk
kulit periumbilikalis (Gbr. 105-5).

Gbr. 105-4 Pemfigoid gestationis. A, Plak urtikaria dan bula tegang pada bagian
wajah, leher, dan dada. B, Lesi serupa pada bagian ekstremitas.

Gbr. 105-5 Pola ruam pada pemfigoid (herpes) gestationis.


Etiologi dan Patogenesis
PG diperantarai melalui proses imunologis dan deposisi linier C3, dengan
atau tanpa imunoglobulin (Ig) G, dapat dilihat pada dermal-epidermal junction
melalui pemeriksaan direct immunofluorescence (DIF). Selain terjadi pada
kehamilan yang normal, PG juga dapat terjadi pada kehamilan abnormal (seperti
mola hidatidosa, koriokarsinoma), dipengaruhi oleh jaringan yang diturunkan dari
paternal berperan dalam patogenesis kondisi tersebut.

Diagnosis
Pasien yang dicurigai mengalami PG umumnya perlu dilakukan biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi dan DIF. Pemeriksaan histopatologi
menunjukkan gambaran klasik dari pemfigoid bulosa. Pada saat kehamilan,
pemeriksaan DIF dengan ditemukannya C3 dalam pita linier pada dermal-
epidermal junction merupakan patognomonik untuk PG. Autoantibodi yang
bersirkulasi diarahkan ke target antigen yang sama seperti pada pemfigoid bulosa,
namun lebih sering diarahkan untuk melawan antigen BP180 daripada BP230.
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) atau studi imunofluoresensi tidak
langsung dapat dilakukan untuk pemeriksaan antigen BP180. ELISA memiliki
spesifikasi 96% dan sensitif untuk PG.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi erupsi polimorfik selama kehamilan, erupsi
obat, atau urtikaria (selama tahap urtikaria pemfigoid gestationis). Meskipun DIF
ditetapkan sebagai standar emas untuk pemeriksaan diagnosis, ELISA dan studi
imunofluoresensi tidak langsung yang disebutkan di atas memiliki manfaat dalam
menegakkan diagnosis.

Perjalanan Klinis dan Prognosis


PG dikaitkan dengan insiden kelahiran prematur dan risiko berat badan
lahir rendah; risiko komplikasi janin ini berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit yang dialami oleh ibu. Oleh karena itu, wanita yang mengalami PG harus
dipantau secara ketat oleh dokter kandungan yang menangani selama kehamilan.
Prognosis ibu sangat baik, dengan sebagian besar kasus sembuh dalam
beberapa bulan pascapersalinan; teteapi, bisa jadi diperlukan waktu berminggu
minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai remisi total tercapai.
Tujuh puluh lima persen wanita pascapersalinan mengalami kekambuhan dan
membutuhkan perawatan. Eksaserbasi dapat terjadi saat pascapersalinan akibat
konsumsi kontrasepsi oral dan selama siklus menstruasi berlangsung.
Bayi baru lahir dari ibu yang mengalami PG dapat ditemukan menifestasi
pada kulit berupa lesi bulosa yang bersifat sementara dan biasanya tidak
memerlukan terapi. Perkembangan lesi ini berkaitan dengan transfer plasenta
secara pasif dari antibodi anti basement membrane zone. Jika ibu telah
mendapatkan terapi dengan prednisolon dosis tinggi jangka panjang, maka bayi
harus dilakukan pengawasan oleh karena adanya kemungkinan insufisiensi
adrenal.

Tatalaksana
Pengobatan dapat dimulai dengan terapi topikal menggunakan steroid dan
terapi sistemik dengan pemberian antihistamin. Antihistamin generasi pertama
lebih banyak diminati daripada antihistamin generasi kedua. Kebanyakan pasien
memerlukan pengobatan kortikosteroid sistemik. Banyak wanita menunjukkan
perbaikan secara klini dan selanjutnya dosis steroid dapat diturunkan menjadi
lebih rendah atau bahkan penghentian steroid. Dalam kasus yang tidak
memberikan respons memuaskan terhadap terapi prednisolon saja, atau dalam
kasus di mana pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid
dikontraindikasikan, pilihan modalitas terapi lainnya seperti plasmapheresis atau
imunoglobulin IV dapat dipertimbangkan.

Kolestasis Intrahepatik Selama Kehamilan


Kolestasis intrahepatik selama kehamilan (ICP) merupakan kolestasis
yang bersifat reversibel dan langka yang biasanya terjadi pada akhir kehamilan,
ketika konsentrasi serum estrogen mencapai puncaknya. Svanborg dan Ohlsson
pada tahun 1939, pertama kali membedakan kondisi ini sebagai manifestasi klinis
yang berbeda, yang tidak termasuk ke dalam bentuk ikterus lainnya yang terjadi
selama kehamilan. Istilah lainnya seperti kolestasis obstetrik, kolestasis
kehamilan, ikterus kehamilan berulang, ikterus kolestatik kehamilan, ikterus
idiopatik kehamilan, prurigo gravidarum, pruritus gravidarum, dan ikterus
gravidarum merupakan istilah lain dari ICP. Kasus ICP ringan, di mana pruritus
tidak disertai dengan ikterus, sebelumnya dikenal dengan istilah prurigo
gravidarum.

Epidemiologi
Ikterus berkembang pada sekitar 1 dari 1500 wanita hamil. Dengan
perkiraan kejadian 70 kasus per 10.000 kehamilan di Amerika Serikat, ICP
menempati urutan kedua setelah virus hepatitis sebagai penyebab ikteus pada
wanita hamil. ICP paling sering terjadi di Skandinavia dan Amerika Selatan.
Tingkat insiden tertinggi yang dilaporkan adalah di Chili (14% hingga 16%),
sedangkan tingkat yang jauh lebih rendah terlihat pada wanita hamil di Amerika
Serikat (kurang dari 0,1% hingga 0,7%), Kanada (0,1%), Australia (0,2% hingga
1,5%), dan Eropa Tengah (0,1% hingga 1,5%).

Manifestasi Klinis
ICP adalah satu-satunya dermatosis pada kehamilan yang muncul tanpa
lesi kulit primer. Pasien secara umum datang selama trimester ketiga dengan
keluhan pruritus sedang hingga berat, yang dirasakan hanya pada telapak tangan
dan telapak kaki atau seluruh tubuh. Pruritus dimulai selama trimester pertama
dan kedua masing-masing 10% dan 25% kasus. Pruritus intens sering dikaitkan
dengan ekskoriasi sekunder, meskipun lesi kulit primer tidak ada. Awalnya,
pasien mungkin mengeluh pruritus nokturnal saja, dan gejala umumnya lebih
parah pada malam hari selama perjalanan ICP.
Gejala konstitusional seperti kelelahan, mual, muntah, atau anoreksia
dapat menyertai keluhan pruritus. Perkembangan ikterus secara klinis, urin
berwarna lebih gelap/pekat, atau feses yang berwarna terang terjadi pada sekitar 1
dari 5 pasien. Pruritus umumnya muncul lebih awal dibandingkan dengan gejala-
gejala tersebut dengan perkiraan 1 sampai 4 minggu lebih awal.
Efek berbahaya pada janin termasuk peningkatan kelahiran prematur,
gawat janin intrapartum, dan kematian janin.

Etiologi dan Patogenesis


Patogenesis dari ICP belum sepenuhnya dapat dijelaskan secara pasti.
Akan tetapi, interaksi faktor hormonal, genetik, lingkungan, dan pencernaan
diperkirakan menyebabkan kolestasis biokimia pada individu yang memiliki
kerentanan. Peran penting dari perubahan hormonal sebagai penyebab dari ICP
diamati sebagai berikut: (a) ICP merupakan penyakit yang terjadi pada usia akhir
kehamilan, sesuai dengan periode kadar hormon plasenta tertinggi; (b) ICP secara
spontan mereda saat post partum ketika konsentrasi hormon menjadi normal; (c)
kehamilan kembar dan kembar tiga, yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi hormon yang lebih besar berkaitan dengan insiden ICP yang lebih
tinggi; dan, (d) ICP berulang selama kehamilan berikutnya terjadi pada sekitar
45% hingga 70% pasien.
Perbedaan secara geografis dan pengelompokan familial menunjukkan
kecenderungan peran dari genetik. ICP diyakini merupakan kondisi poligenetik,
dengan gen kandidat diantaranya adalah yang bermutasi dalam berbagai bentuk
kolestasis turunan lainnya: ABCB4 (multidrug resistance gene3), ABCB11
(pompa ekspor garam empedu), dan ATP8B1 (FIC1). Penurunan angka baru-baru
ini dalam tingkat prevalensi di Chili, laporan mengenai tingkat insiden yang lebih
tinggi terjadi selama musim dingin, dan laporan tentang penurunan relatif dari
kadar selenium pada beberapa pasien ICP semuanya mendukung peran faktor
lingkungan dan saluran pencernaan terkait etiologi dari ICP. Setidaknya 1 studi
mengkonfirmasi temuan yakni risiko infeksi virus hepatitis C yang lebih tinggi
pada wanita dengan ICP.

Diagnosis
Peningkatan kadar serum asam empedu merupakan satu-satunya indikator
ICP yang paling sensitif. Total kadar asam empedu pada serum yang lebih besar
dari 11 µM/L menjadi penanda ICP. Pada wanita hamil yang sehat, total asam
empedu sedikit meningkat di atas batas dasar dan nilai 11 dianggap masih normal
pada akhir kehamilan. Indeks biokimia ICP yang jelas belum ditetapkan. Namun,
Brites dan rekan mengidentifikasi beberapa temuan yang umum pada ICP sebagai
berikut: (a) konsentrasi total asam empedu serum lebih besar dari 11 µM (rentang
referensi: 4,6 hingga 8,7 µM); (b) rasio cholic acid-to-chenodeoxycholic acid
lebih besar dari 1,5 (rentang referensi: 0,7 hingga 1,5) atau proporsi asam kolat
dari total asam empedu lebih besar dari 42%; (c) rasio glycine conjugates-to-
taurine conjugates asam empedu kurang dari 1 (rentang referensi: 0,9 hingga 2)
atau konsentrasi asam glikokolat lebih besar dari 2 µM (rentang referensi: 0,6
hingga 1,5 µM). Derajat pruritus dan keparahan penyakit umumnya berkorelasi
dengan konsentrasi asam empedu.
Temuan abnormal pada tes fungsi hati, di antaranya adalah peningkatan
transaminase, alkaline phosphatase, 5’-nucleotidase, kolesterol, trigliserida,
fosfolipid, dan lipoprotein X biasanya sering ditemukan. Di antara parameter ini,
alanin transaminase sangat sensitif, karena peningkatan enzim ini bukan
merupakan ciri kehamilan yang sehat tetapi biasanya ditemukan pada wanita
hamil dengan ICP. γ-Glutamyl transferase yang umumnya rendah pada akhir
kehamilan, biasanya normal atau terjadi sedikit peningkatan pada ICP. Fraksi
bilirubin langsung (atau terkonjugasi) paling sering meningkat pada ICP. Albumin
dapat ditemukan sedikit menurun, sedangkan α2-globulins dan β-globulin cukup
meningkat. Akan tetapi, tes hati rutin saja tidak cukup dijadikan sebagai dasar
untuk diagnosis ICP. Biopsi kulit tidak membantu dalam diagnosis ICP.

Diagnosis Banding
Membedakan penyebab pruritus lainnya pada wanita hamil dapat menjadi
tantangan. Ditemukannya lesi primer sebgai patokan dalam diagnosis awal tidak
berlaku pada kasus ICP, karena ICP sendiri tidak memiliki lesi primer. Penyebab
lain dari gangguan hati dan ikterus, seperti virus hepatitis dan nonviral, obat-
obatan, obstruksi hepatobilier, dan penyakit intrahepatik lainnya (misalnya, sirosis
bilier primer) harus disingkirkan. Akhirnya, harus diingat bahwa hipertiroidisme,
reaksi alergi, polisitemia vera, limfoma, pedikulosis, dan kudis masing-masing
dapat bermanifestasi sebagai pruritus umum pada wanita hamil (dan tidak hamil).
Perjalanan Klinis dan Prognosis
Ciri khas yang ditemukan pada ICP adalah gejala dan kelainan biokimia
terkait yang biasanya sembuh dalam 2 hingga 4 minggu setelah melahirkan.
Kekambuhan selama kehamilan berikutnya terjadi pada sekitar 45% hingga 70%
pasien. Beberapa wanita mengalami ICP berulang memiliki riwayat mengonsumsi
kontrasepsi oral atau penggunaan alat kontrasepsi hormonal, seperti estrogen
sintetis dan agen progestasional.
Prognosis ibu umumnya baik, meskipun wanita dengan kasus yang parah
cenderung mengalami perdarahan postpartum sekunder akibat deplesi vitamin K.
Selain itu, wanita yang terkena ICP memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi kolelitiasis atau penyakit kandung empedu. Risiko janin pada ICP
termasuk peningkatan angka prematuritas, gawat janin, dan kematian janin.
Komplikasi ini umumnya berkorelasi dengan kadar asam empedu yang lebih
tinggi dan dikaitkan dengan anoksia plasenta akut dan peningkatan insiden cairan
ketuban yang terkontaminasi oleh mekonium.

Tatalaksana
Tujuan dari terapi ICP adalah untuk mengurangi kadar asam empedu
serum dan dengan demikian dapat mempertahankan kehamilan, mengurangi
gejala yang dikeluhkan oleh ibu dan mengurangi risiko janin. Pendekatan
interdisipliner yang dilakukan dengan pengawasan terhadap janin yang intens
sangat penting dalam tatalaksana ICP.
Meskipun dalam kasus banyak yang ditemukan ICP ringan, terkadang
perbaikan gejala maupun klinis dapat dicapai dengan pemberian emolien dan agen
antipruritik topikal, asam ursodeoxycholic (UDCA), asam empedu hidrofilik
alami, adalah pengobatan pilihan lainnya yang tersedia saat ini. UDCA
mengurangi gejala ibu dan risiko janin. UDCA memberikan efek hepatoprotektif
melalui peningkatan ekskresi asam empedu hidrofobik, metabolit progesteron
sulfat, dan senyawa hepatotoksik lainnya. UDCA menurunkan kadar asam
empedu dalam kolostrum, darah pada tali pusat dan cairan ketuban. Hasil dari
beberapa percobaan dalam skala kecil secara acak dan terkontrol dibandingkan
dengan plasebo menunjukkan bahwa ketika UDCA diberikan pada dosis antara
450 mg dan 1200 mg setiap hari, UDCA ditoleransi dengan baik dan sangat
efektif dalam mengendalikan kelainan fungsi klinis dan hati yang menentukan
ICP. Percobaan secara acak dan terkontrol yang membandingkan UDCA head-to-
head dengan deksametason atau cholestyramine menunjukkan bahwa efikasi dari
UDCA lebih unggul.
Terdapat percampuran data dalam literatur mengenai partus yang lebih
awal. Tinjauan sistematis mengenai lahir mati usia aterm yang tidak dapat
dijelaskan secara pasti penyebabnya, melainkan terkait temuan kondisi kehamilan
dengan ICP menjadi bahan evaluasi berupa bukti yang mendukung ICP sebagai
indikasi medis atau penyebab persalinan dini pada usia kehamilan kurang dari 39
minggu tidak ditemukan bukti yang mendukung manajemen aktif (persalinan dini)
untuk ICP. Artikel ini melaporkan angka lahir mati pada kedua kelompok—pasien
yang perawatan obstetriknya termasuk atau tidak termasuk manajemen aktif—
masing-masing mirip dengan angka kelahiran mati nasional. Sebuah studi
retrospektif baru-baru ini melaporkan bahwa persalinan pada usia kehamilan 36
minggu akan mengurangi risiko kematian perinatal dibandingkan dengan
manajemen hamil. Kebanyakan penulis merekomendasikan induksi persalinan
dini, biasanya pada usia kehamilan 38 minggu atau lebih awal.

Psoriasis Pustular pada Kehamilan (Impetigo Hepetiformis)


Psoriasis pustular pada kehamilan umumnya dianggap sebagai salah satu
varian dari psoriasis pustular yang disebabkan oleh perubahan hormonal yang
terjadi selama kehamilan; namun, beberapa penulis berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan temuan klinis yang berbeda. Von Hebra pertama kali
menggunakan istilah impetigo herpetiformis pada tahun 1872 untuk
menggambarkan lesi di kulit berupa erupsi pustular akut dengan onset yang biasa
terjadi selama trimester ketiga kehamilan.

Epidemiologi
Psoriasis pustular pada kehamilan sangat jarang terjadi, dengan insiden yang
terlapor hanya sekitar 350 kasus dijelaskan dalam literatur Eropa dan Amerika
pada tahun 2000.
Manifestasi Klinis
Psoriasis pustular pada kehamilan ditandai dengan erupsi akut yang terjadi
pada awal trimester pertama, tetapi umumnya selama trimester ketiga, dari
kehamilan dengan gangguan. Kondisi ini bermanifestasi berupa patch eritematosa
yang tepinya dipenuhi pustula subkorneal (Gbr. 105-6). Erupsi biasanya diawali
dari daerah fleksor, menyebar secara sentrifugal dan terkadang generalisata. Lesi
subungual dapat menyebabkan onikolisis. Jarang ditemukan keterlibatan selaput
lendir yang dapat menyebabkan erosi yang menyakitkan. Wajah, telapak tangan,
dan telapak kaki biasanya tidak terkena. Ruam juga dapat disertai dengan keluhan
gatal atau rasa sakit.

Gbr. 105-6 Psoriasis pustular pada kehamilan. Patch eritematosa dipenuhi dengan
pustula subkornea.
Onset erupsi disertai dengan gejala konstitusional seperti demam,
menggigil, malaise, diare, mual, dan artralgia.
Komplikasi ibu yang mengancam jiwa jarang terjadi tetapi dapat terjadi
akibat hipokalsemia berat dan sepsis bakteri. Jarang ditemukan kasus dengan
komplikasi tetani, delirium, dan kejang terjadi jika hipokalsemia parah.
Komplikasi yang paling ditakuti adalah insufisiensi plasenta yang dapat
menyebabkan lahir mati atau kematian neonatus. Untuk alasan tersebut, induksi
untuk persalinan dini sering dipertimbangkan.

Etiologi dan Patogenesis


Meskipun umumnya dianggap sebagai bentuk dari psoriasis pustular
namun penyakit ini dapat dibedakan dengan bentuk psoriasis pustular lain
melalaui beberapa hal, diantaranya yakni tidak adanya riwayat keluarga yang
positif, resolusi gejala yang terjadi secara mendadak saat melahirkan, dan
kecenderungan untuk kambuh hanya pada kehamilan berikutnya. Selain itu, faktor
yang diketahui memicu kekambuhan dari psoriasis pustular berupa infeksi,
paparan obat-obatan tertentu, atau penghentian kortikosteroid sistemik secara tiba-
tiba. Kondisi-kandisi tersebut kurang ditemukan pada sebagian besar pasien
dengan psoriasis pustular selama kehamilan.

Diagnosis
Meskipun gambaran klinis umumnya khas dan dapat dibedakan, tetapi
biopsi sangat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis ini. Pemeriksaan
histopatologi menunjukkan gambaran klasik psoriasis pustular. Pemeriksaan
laboratorium awal harus mencakup hitung darah lengkap dan panel metabolik
komprehensif dengan perhatian khusus pada tingkat kalsium. Gangguan
laboratorium yang paling umum berupa adanya leukositosis, neutrofilia,
peningkatan laju sedimentasi eritrosit, anemia hipoferik, dan hipoalbuminemia.
Lebih jarang dapat ditemukan kadar kalsium, fosfat, dan vitamin D yang
menurun. Kadar hormon paratiroid serum jarang menurun. Kultur isi pustula dan
darah tepi umumnya negatif kecuali dibarengi dengan infeksi sekunder.

Diagnosis Banding
Pada Tabel 105-3 diuraikan beberapa daftar diagnosis banding psoriasis pustular
pada kehamilan.
Tabel 105-3 Diagnosis Banding Psoriasis Pustular pada Kehamilan
Paling Menyerupai (Most Likely)
 Erupsi obat pustular (pustulosis eksantematosa generalisata akut)
 Pemfigoid gestationis
Dipertimbangkan (Consider)
 Pemfigus vulgaris
 Dermatitis herpetiformis
 Dermatosis pustular subkornea
 Erupsi pustular pada penyakit usus besar
Selalu Disingkirkan (Always Rule Out)
 Penyebab infeksi dari erupsi pustular

Perjalanan Klinis dan Prognosis


Psoriasis pustular pada kehamilan secara klasik muncul selama trimester
ketiga, tetapi terdapat laporan kasus yang terjadi pada awal trimester pertama,
selama masa nifas, pada wanita tidak hamil yang menggunakan kontrasepsi oral,
dan pada wanita pascamenopause. Gejala selalu progresif sepanjang kehamilan.
Karakteristik utama dari penyakit ini adalah resolusi gejala yang terjadi secara
cepat setelah melahirkan. Kekambuhan pada kehamilan berikutnya sering terjadi
dan secara khas lebih parah dengan onset yang lebih awal pada kehamilan.
Beberapa laporan eksaserbasi menstruasi berikutnya terjadi baik selama atau
segera sebelum menstruasi tecantum dalam literatur. Penyakit yang lebih luas
umumnya menandakan prognosis yang lebih buruk.

Tatalaksana
Umumnya resolusi tercapai setelah melahirkan. Akan teteapi, mengingat
perjalanan klinisnya yang progresif secara konsisten, pengobatan diindikasikan
untuk mengurangi risiko komplikasi janin dan ibu selama kehamilan. Tatalaksana
topikal, yang meliputi pembalut basah (wet dressings) dan kortikosteroid topikal,
jarang meneunjukkan keberhasilan apabila digunakan sebagai monoterapi.
Narrowband ultraviolet B yang dikombinasikan dengan steroid topikal telah
dilaporkan berhasil dalam kasus yang juga jarang terjadi.
Kortikosteroid sistemik berdasarkan literatur merupakan terapi yang dapat
diandalkan. Saat ini, siklosporin dan infliximab dianggap sebagai terapi lini
pertama. Siklosporin telah berhasil digunakan pada dosis antara 5 mg/kg dan 10
mg/kg setiap hari. Infliximab yang merupakan agen penghambat faktor nekrosis
tumor, telah berhasil digunakan tanpa efek samping pada janin, tetapi dengan
perhatian bahwa pemberian vaksin yang tergolong ke dalam vaksin hidup harus
ditunda pada bayi baru lahir dari ibu yang diterapi dengan infliximab. Meskipun
pertimbangan mengenai manfaat dan risiko dari blokade faktor nekrosis tumor
selama kehamilan harus dipertimbangkan, agen ini (termasuk etanercept dan
adalimumab) mungkin memiliki peran dalam tatalaksana.
Dalam semua kasus, status cairan dan elektrolit harus dipantau dan
dilakukan pemberian koreksi secara cepat apabila ditemukan kelainan.
Pemantauan janin sangat penting karena perlambatan denyut jantung janin
mungkin merupakan tanda awal hipoksemia janin. Fungsi jantung dan ginjal ibu
dapat terganggu dengan perkembangan penyakit ini dan karena itu juga harus
dipantau. Induksi persalinan adalah pilihan ketika gejala tidak mereda meskipun
terapi suportif dan farmakologis telah diberikan. Armamentarium terapeutik yang
tersedia setelah terminasi kehamilan atau setelah melahirkan pada ibu yang tidak
menyusui dapat ditambahkan dengan beberapa modalitas terapi seperti psoralen
oral dan ultraviolet A, retinoid oral, dan metotreksat.

DERMATOSIS YANG TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO


JANIN SELAMA KEHAMILAN
Sekilas Pandang
 Erupsi polimorfik selama kehamilan (sebelumnya papula urtikaria
pruritik dan plak kehamilan) adalah dermatosis pruritus yang umum,
terbatas, dan terasa sangat gatal yang terjadi hampir secara eksklusif
pada primigravida selama masa akhir kehamilan.
 Erupsi atopik selama kehamilan (AEP) merupakan istilah yang relatif
baru diperkenalkan yang terdiri dari folikulitis pruritus kehamilan,
prurigo kehamilan, dan eksim kehamilan. Lesi biasanya muncul
sebelum trimester ketiga dan dapat menyerupai dermatitis atopik klasik
(AEP, tipe E) atau menjadi papular (AEP, tipe P).

Erupsi Polimorfik Selama Kehamilan (Papula Urtikaria Pruritik dan Plak


Kehamilan)
Erupsi polimorfik kehamilan (PEP) merupakan dermatosis umum, jinak,
terasa sangat gatal yang terjadi hampir secara eksklusif pada primigravida selama
trimester ketiga dan periode awal postpartum. PEP (sebelumnya disebut papula
urtikaria pruritik dan plak kehamilan) identik dengan ruam toksemia kehamilan
Bourne, Nurse’s late onset prurigo of pregnancy, dan eritema toksik kehamilan.

Epidemiologi
Insiden PEP berkisar antara 1 dari 300 dan 1 dari 130 kehamilan.

Manifestasi Klinis
PEP biasanya terjadi pada primigravida selama trimester terakhir
kehamilan (mulai rata-rata: 35 minggu); namun, kasus PEP klasik dapat terjadi
lebih awal pada kehamilan dan pada periode awal postpartum. PEP bersifat
polimorfik, lesi dapat berupa urtikaria (paling sering), vesikular, purpura,
polisiklik, targetoid, atau ekzematosa (Gbr. 105-7). Lesi tipikal berupa papula
urtikaria eritematosa 1-2 mm, papula urtikaria eritematosa yang dikelilingi oleh
halo berwarna pucat yang sempit. Erupsi dimulai dari daerah abdomen, biasanya
di dalam striae gravidarum, dan menunjukkan periumbilical sparing (Gbr. 105-
8). Pruritus umumnya bersifat sjalan dengan erupsi dan terlokalisir pada kulit
yang terkena. Penyebaran dengan cepat meliputi paha, bokong, payudara, dan
lengan merupakan hal yang biasa ditemukan pada PEP. Keterlibatan telapak
tangan, telapak kaki, atau kulit di atas payudara umumnya tidak terjadi. Pruritus
parah dapat mengganggu tidur, dan tidak ada gejala sistemik lainnya yang pernah
dilaporkan.
Gbr. 105-7 Papula urtikaria pruritik dan plak kehamilan. A, Lesi paling awal
berukuran 1 sampai 2 mm, eritematosa, papula urtikaria yang terlokalisasi di
dalam dan di sekitar striae distensae dan tidak mengenai umbilikus. B, Papula
menyatu membentuk plak eritematosa yang menyebar hingga melibatkan bokong
dan paha. C, Plak urtikaria pada payudara. Sebagai catatan, payudara juga
menunjukkan “arreola sekunder”, penggelapan fisiologis, dan perluasan retikuler
dari pigmentasi areolar. Ditemukan juga striae distensae yang terlihat pada
payudara serta tuberkel Montgomery pada areola.

Gbr. 105-8 Pola ruam pada erupsi polimorfik selama kehamilan.

Etiologi dan Patogenesis


Patogenesis masih belum diketahui secara pasti. Beberapa teori
mengemukakan bahwa peningkatan distensi kulit abdomen menyebabkan
perubahan kolagen dan/atau jaringan elastik, sehingga memicu imunoreaktivitas
pada ibu terhadap rangsangan nonantigenik sebelumnya. Peningkatan
imunoreaktivitas reseptor progesteron telah diamati pada lesi PEP dan
menyebabkan aktivasi progesteron keratinosit.

Faktor Risiko
Hubungan antara PEP dan kehamilan ganda ditunjukkan oleh angka
kehamilan kembar dan kembar tiga yang lebih tinggi dari perkiraan dalam
sebagian besar literatur. Hubungan yang tidak dapat dijelaskan dengan janin laki-
laki dan kelahiran melalui operasi sesar telah dilaporkan meskipun tidak
konsisten. Laporan yang menghubungkan PEP dengan peningkatan berat badan
ibu-janin masih diperdebatkan.

Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan temuan secara klinis ketika
pasien datang dengan erupsi di lokasi yang khas pada masa akhir kehamilan.
Biopsi harus dilakukan jika PG dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.
Temuan histopatologi, meskipun tidak spesifik, umumnya termasuk parakeratosis,
spongiosis, dan kadang-kadang eksositosis eosinofil (spongiosis eosinofilik).
Dermis yang berdekatan dapat mengalami edema dan mengandung infiltrat
limfosit perivaskular yang bercampur dengan jumlah eosinofil dan neutrofil yang
bervariasi. Studi DIF mengungkapkan baik granular maupun tidak adanya deposit
C3, IgM, atau IgA pada dermo-epidermal junction atau di sekitar pembuluh darah,
dan pemeriksaan indirect immunofluorescence dengan hasil negatif.

Diagnosis Banding
Pada Tabel 105-4 diuraikan beberpa diagnosis banding dari PEP.
Tabel 105-4 Diagnosis Banding dari Erupsi Polimorfik Selama Kehamilan
Paling Menyerupai (Most Likely)
 Pemfigoid gestationis
 Erupsi atopik selama kehamilan
 Dermatitis kontak
Dipertimbangkan (Consider)
 Erupsi obat
 Exantema virus
 Pityriasis rosea
 Dermatitis eksfoliatif atau eksim
Selalu Disingkirkan (Always Rule Out)
 Skabies

Perjalanan Klinis dan Prognosis


PEP sebagian besar ditemukan pada primigravida saat usia trimester
terakhir, meskipun dapat terjadi pada awal trimester pertama. Terdapat beberapa
laporan kasus yang melaporkan PEP terjadi pada periode awal postpartum. Durasi
dari gejala biasanya singkat, rata-rata 6 minggu. Jarang ditemukan gejala yang
parah dan bertahan lebih dari 1 minggu. Remisi secara spontan terjadi dalam
beberapa hari setelah melahirkan. Jarang terjadi kekambuhan pada kehamilan
berikutnya atau akibat mengonsumsi kontrasepsi oral. Prognosis janin dan ibu
tidak terpengaruh. Terdapat satu laporan mengenai keterlibatan bayi baru lahir.

Tatalaksana
Meskipun tidak berbahaya bagi ibu dan janin, pruritus seringkali bersifat
intens dan berlangsung terus menerus sehingga dirasakan sering mengganggu.
Mengurangi atau menghilangkan gejala pruritus biasanya dilakukan dengan
pemberian kortikosteroid topikal dan/atau antihistamin oral. Kortikosteroid oral
dalam waktu singkat jarang diperlukan, tetapi secara efektif mengontrol gejala
pada kebanyakan kasus yang refrakter terhadap pengobatan topikal. Induksi
persalinan dini sebelumnya dipertimbangkan dalam kasus di mana pruritus parah
berlangsung terus menerus, tetapi memiliki kekurangan yakni peningkatan
morbiditas janin atau ibu (selain pruritus tanpa henti) dan umumnya dianggap
tidak perlu. Sifat dan perjalanan alamiah dari PEP mampu meredakan kecemasan
pada ibu hamil.

Erupsi Atopik Selama Kehamilan


Erupsi atopik selama kehamilan (AEP) merupakan kondisi pruritus
bersifat jinak selama kehamilan yang ditandai dengan erupsi eksim (AEP, tipe E)
dan/atau papular (AEP, tipe P) pada individu dengan riwayat atopik pribadi
dan/atau familial dan/atau peningkatan kadar IgE serum. AEP menunjukkan
kompleks penyakit yang terdiri dari temuan yang sebelumnya berbeda prurigo
kehamilan dan folikulitis pruritus kehamilan, serta eksim pada kehamilan, yang
sebelumnya tidak dianggap sebagai dermatosis spesifik kehamilan. Ambros-
Rudolph dan rekan mengusulkan terminologi AEP pada tahun 2006. AEP
termasuk Besnier’s prurigo gestationis, Nurse’s early-onset prurigo of pregnancy
dan papular dermatitis of Spangle.

Epidemiologi
AEP terdiri dari sekitar 50% dari semua penyakit kulit yang terjadi selama
kehamilan, sehingga AEP merupakan gangguan pruritus yang paling umum pada
kehamilan. AEP cenderung muncul lebih awal pada kehamilan daripada penyakit
kulit terkait kehamilan lainnya.

Manifestasi Klinis
Pada 20% pasien AEP datang dengan gejala dermatitis atopik yang sudah
ada sebelumnya, sedangkan sisanya pada pasien yang mengalami erupsi atopik
untuk pertama kalin (atau setelah remisi yang lama). Erupsi eksema klasik
terutama mengenai permukaan fleksor dan wajah terjadi pada dua pertiga individu
yang terkena (AEP, tipe E; Gbr. 105-9). Sepertiga sisanya ditemukan lesi papular
(AEP, tipe-P; Gbr. 105-10) yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai prurigo
kehamilan. Lesi tipe-P merupakan papula diskrit, pruritus, ekskoriasi dengan
predileksi pada permukaan ekstensor (Gbr. 105-11), dengan keterlibatan badan
yang lebih jarang. Gejalan klinis eksim, termasuk xerosis atau telapak tangan
hiperlinear, dapat ditemukan pada pasien dengan salah satu subtipe. Hal yang
membedakan AEP termasuk onset awal kehamilan (sebelum trimester ketiga) dan
riwayat atopi pribadi dan/atau keluarga.
Gbr. 105-9 Pola ruam untuk erupsi eksema pada erupsi atopik selama kehamilan.

Gbr. 105-10 Pola ruam untuk erupsi papula pada erupsi atopik selama kehamilan.

Gbr. 105-11 Erupsi atopik kehamilan, tipe P (sebelumnya, prurigo kehamilan).


Beberapa papula diskrit, ekskoriasi menunjukkan kecenderungan pada permukaan
ekstensor.

Etiologi dan Patogenesis


AEP diperkirakan dipicu oleh pergeseran terkait kehamilan dalam ekspresi profil
sitokin yang mengarah ke ekspresi preferensi sitokin T-helper 2.

Faktor Risiko
Faktor risiko AEP termasuk riwayat atopi pribadi dan/atau keluarga.

Diagnosis
Diagnosis sebagian besar ditegakkan secara klinis karena gambaran
histopatologi yang tidak spesifik dan studi imunofluoresensi langsung dan tidak
langsung dengan hasil negatif. Total serum IgE meningkat pada 20% sampai 70%
individu dengan AEP, meskipun relevansi klinis dari pengujian serum IgE tidak
jelas. Tes serologi tidak menemukan kelainan lainnya.

Diagnosis Banding
Penyakit kulit tertentu lainnya pada kehamilan, terutama ICP dan PEP,
harus disingkirkan, seperti folikulitis mikroba dan dermatitis kontak alergi yang
terjadi pada wanita hamil.

Perjalanan Klinis dan Prognosis


Onset biasanya terjadi sebelum usia kehamilan trimester ketiga. Lesi
merespon dengan cepat terhadap terapi; namun, kekambuhan pada kehamilan
berikutnya sering terjadi, konsisten dengan diatesis atopik. Prognosis ibu dan
janin sangat baik, bahkan pada kasus yang parah. Pada ibu dengan riwayat atopi
yang diketahui, bayi akan berisiko lebih tinggi terkena dermatitis atopik. Pada ibu
tanpa riwayat erupsi eksema, risiko kekambuhannya di luar kehamilan tidak
diketahui.

Tatalaksana
Pemberian terapi bertujuan untuk memperbaiki gejala pruritus dan dapat
dilakukan dengan pemberian emolien, kortikosteroid topikal potensi menengah,
dan antihistamin. Benzoil peroksida dapat membantu untuk lesi di daerah badan,
lesi folikel, dan fototerapi ultraviolet B dapat digunakan pada kasus yang parah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis berterima kasih kepada Dr. Julie Karen, yang berkontribusi pada versi
sebelumnya dari bab ini dalam edisi ke-8.

Anda mungkin juga menyukai