Anda di halaman 1dari 28

Refarat

Prinsip dasar Radioterapi Pada Keganasan Kepala dan Leher

Presentator : dr. Coryza Gabrie Tan


Hari/Tanggal : Jum’at / 12 Agustus 2022
Waktu : 08.00 WIB s.d 09.00 WIB
Tempat Pembimbing : dr. Ashri Yudhistira, M.Ked (ORLHNS),

Sp. T.H.T.K.L. (K), FICS

Moderator : dr. Carlo Maulana Akbar, M.Ked (ORLHNS),

Sp.T.H.T.K.L.(K)
Penilai : 1. Prof. Dr. dr. Farhat, M.Ked (ORLHNS), Sp. T.H.T.K.L. (K)
2. dr. Vive Kananda, Sp. T.H.T.K.L

: Secara Hybrid Via Zoom, Meeting ID:

Passcode: 820 3629 3699

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN


TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
Radioterapi Pada Keganasan Kepala dan Leher

Coryza Gabrie Tan, Ashri Yudhistira

I. PENDAHULUAN

Keganasan kepala dan leher mencakup berbagai area seperti bibir dan rongga
mulut, kelenjar saliva, nasofaring, orofaring, hipofaring, laring, rongga nasal dan
paranasal, dan telinga (Dhingra et al., 2018). Keganasan kepala dan leher termasuk
kedalam urutan ketujuh sebagai keganasan dengan jumlah kasus terbanyak didunia.
Pada tahun 2020, lebih dari 900 ribu kasus baru dan lebih dari 460 ribu kematian
terjadi akibat keganasan kepala dan leher. Jumlah kasus masing-masing keganasan
kepala dan leher yakni kanker bibir dan rongga mulut (377.713 kasus), kanker laring
(184.615 kasus), kanker nasofaring (133.354 kasus), kanker orofaring (98.412 kasus),
kanker hipofaring (84.254 kasus) dan kanker kelenjar saliva (53.583 kasus) (Sung et
al., 2021).

Keganasan kepala dan leher lebih sering dialami laki-laki (2-4 kali lipat) dan
meningkat seiring pertambahan usia, terutama usia diatas 50 tahun. Sekitar 80% kasus
keganasan kepala dan leher terkait dengan kebiasaan penggunaan tembakau (Pinkas
set al., 2022). Keluhan yang dialami oleh pasien dengan keganasan kepala dan leher
bergantung dari lokasi serta staging kanker (Dhingra et al., 2018). Berdasarkan data
dari beberapa rumah sakit di Indonesia, umumnya pasien dengan keganasan kepala
dan leher datang berobat dengan stadium IV (Nathania et al., 2020).

Adapun penatalaksanaan pada keganasan kepala dan leher dapat dilakukan


radioterapi, terutama pada stadium dini, pada pasien yang bukan kandidat untuk
operasi dan pasien yang menolak operasi (Dhingra et al., 2018). Sama halnya dengan
berbagai tindakan medis lainnya, radioterapi memiliki kelebihan dan kekurangan serta
indikasi dan kontraindikasi. Memahami penggunaan radioterapi ini dapat membantu
klinisi dalam mengobati pasien dengan keganasan kepala dan leher.

1
II. Radioterapi
1. Sejarah radioterapi

Radioterapi merupakan radiasi berenergi tinggi yang dapat berasal dari sinar-
X, sinar gamma, neutron, proton dan sumber lainnya untuk membunuh sel kanker dan
mengecilkan tumor (National Cancer Institute, 2019). Penggunaan radiasi ionisasi
sebagai terapi kanker dimulai dari penemuan sinar-X pada tahun 1895 oleh Wilhelm
Conrad Roentgen. Antoine Henry Becquerel mendapatkan suatu aktivitas radiasi dari
garam uranium yang memiliki daya tembus seperti sinar-X. Beliau melakukan
eksperimen radiobiologi pada 1901. Marie Sklodowska-Curie bersama suaminya
Pierre Curie membuktikan temuan radiobiologi Becquerel dengan cara membakar
lengannya sendiri dengan menggunakan radium. Pada tahun 1903, mereka bertiga
mendapat penghargaan Nobel dibidang Fisika terkait fenomena radiasi (Shah et al.,
2020).

Semenjak temuan tersebut, penelitian mengenai radiasi sebagai suatu terapi


pada penyakit seperti kanker terus mengalami perkembangan. Penggunaan radioterapi
sebagai terapi kanker mengalami peningkatan seperti pada studi di negara Korea yang
mendapatkan bahwa terdapat peningkatan 18 kali lipat penggunaan radioterapi pada
tahun 2018 bila dibandingkan tahun 2011(Huh et al., 2019). Radioterapi ini sering
digunakan sebagai terapi tambahan pada kasus kanker. Penggunaan radioterapi
bersama dengan kemoterapi didapatkan mengalami peningkatan pada kasus kanker
kepala dan leher. Untuk operasi yang ditambah radioterapi atau kemoterapi justru
mengalami peningkatan (Schlichting et al., 2019). Pada studi lainnya juga
mendapatkan hal yang serupa yakni terdapat peningkatan penggunaan radioterapi dan
kemoterapi serta penggunaan operasi diikuti radioterapi dan kemoterapi dari tahun ke
tahun (Cooper et al., 2009).

Radiasi mengacu pada perambatan energi melalui ruang atau medium. Radiasi
terapeutik dapat diantarkan melalui dua metode yakni radiasi elektromagnetik dan
radiasi partikulat. Radiasi elektromagnetik merupakan kumpulan sinar (berasal dari
photon) yang tidak memiliki massa namun memiliki energi sedangkan radiasi
partikulat merupakan partikel yang memiliki massa dan energi. Contoh radiasi
partikulat termasuk partikel alfa, beta, proton, elektron dan neutron. Sinar UV, sinar-X

2
dan sinar-γ termasuk kedalam radiasi elektromagnetik (Shah et al., 2020; Popovtzer,
Eisbruch., 2021).

Baik radiasi elektromagnetik dan partikulat dapat mengeluarkan radiasi


ionisasi. Disebut sebagai radiasi ionisasi dikarenakan dapat mengeluarkan elektron
dari orbitnya (Popovtzer, Eisbruch., 2021). Cara kerja radioterapi dalam membunuh
sel kanker dapat secara langsung maupun tidak langsung (gambar 1). Cara kerja secara
langsung dengan cara radiasi langsung menabrak strand DNA yang mengakibatkan
kerusakan DNA pada sel sehingga sel tidak dapat membelah hingga mati. Radiasi
secara tidak langsung juga dapat memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS)
yang berasal dari radiolisis air yang juga membentuk hidroksil. ROS dan hidroksil
bebas ini yang dapat memicu stres seluler dan kerusakan biomolekul serta gangguan
jalur sinyal (Gong et al., 2021). Jaringan yang sehat umumnya resisten terhadap
radiasi sehingga efek akibat radiasi masih dapat ditangani oleh sel yang sehat melalui
DNA repair (Liu et al., 2021)

Gambar 1. Mekanisme kerusakan DNA akibat radiasi ionisasi. Efek secara langsung
berasal dari radiasi ionisasi yang merusak DNA sedangkan secara tidak langsung
melalui pembentukan radikal bebas yang dapat merusak bagian basa, strand ataupun
jembatan antar protein di DNA (Gong et al., 2021).

3
Pada umumnya radioterapi menggunakan sinar/photon (sinar-X dan sinar-γ).
Sinar-γ dihasilkan dari inti material seperti cobalt-60 yang mengalami peluruhan
radioaktif sehingga dapat memancarkan sinar-γ. Sinar-X dihasilkan berasal dari
tumbukan elektron berkecepatan tinggi dengan material yang memiliki nomor atom
tinggi seperti Tungsten-Molybdenum pada tabung sinar-X (Mehta et al., 2010).

Suatu alat bernama linear accelerator (LINAC) dapat menghasilkan energi


bertegangan tinggi berupa photon dan elektron (gambar 2). Energi dari photon diukur
dengan satuan kilovolt (kV) atau megavolt (MV) sedangkan energi dari elektron
diukur dengan satuan megaelektron volt (MeV). Radiasi diukur dengan menggunakan
satuan gray (Gy), 1 Gy = 1 J/kg (Dhingra et al., 2018).

Gambar 2. Linear accelerator, dapat menghasilkan photon (6 dan 15 MV) dan


elektron (6,9,12,15 dan 18 MeV) (Dhingra et al., 2018)

Pasien akan dibaringkan pada meja pengobatan dan mesin LINAC akan
berotasi disekitar pasien untuk menghantarkan radiasi. Untuk memastikan bahwa
pasien tidak bergerak selama penyinaran radiasi, maka digunakanlah thermoplastic
head mask (gambar 3). Ahli onkologi radiasi akan membedakan terlebih dahulu target
antara kanker dengan organ yang masih sehat. Terdapat beberapa istilah dalam proses
ini yakni gross total volume (GTV), clinical tumor volume (CTV), dan planning tumor
volume (PTV). GTV adalah istilah ukuran tumor yang terlihat dari pemeriksaan fisik
ataupun radiologi. CTV adalah area yang berisiko membawa sel kanker (mikroskopis).

4
PTV adalah perluasan sedikit (0,3-1 cm) dari GTV atau CTV untuk menghindari error
saat penyinaran (Duvvuri, Kubicek., 2013).

Gambar 3. Thermoplastic head mask untuk imobilisasi (Duvvuri, Kubicek., 2013).

Setelah menentukan volume target, dibutuhkan waktu 10 menit hingga 3 hari


untuk menentukan pemetaan dan arah sinar radiasi oleh dosimetrist dan physicist.
Kemudian ahli onkologi radiasi akan memastikan kembali bahwa volume target
dengan dosis radiasi telah adekuat serta memastikan bahwa jumlah radiasi yang
dipancarkan tidak membahayakan organ yang masih sehat. Umumnya waktu yang
diperlukan dari awal konsultasi sampai dengan dimulainya pemberian radiasi
membutuhkan 1-2 minggu. Waktu pemberian radiasi berkisar 5-10 menit dan secara
keseluruhan butuh waktu lebih kurang setengah jam (dari awal masuk hingga
keluar/from in the door to out the door) (Duvvuri, Kubicek., 2013).

Teknik radioterapi terbagi menjadi dua tipe yakni eksternal radioterapi dan
internal radioterapi. Eksternal radioterapi (teletherapy) adalah yang paling sering
digunakan dan sumber radiasi berasal dari mesin diluar tubuh sedangkan internal
radioterapi (brachytherapy) memiliki sumber atau material radioaktif yang
ditempatkan pada jaringan tumor atau sekitarnya. Eksternal radioterapi terbagi lagi
menjadi lima bagian yakni (Majeed, Gupta., 2021):

 Three-Dimensional Conformal Radiation Therapy (3D-CRT), gambar


tiga dimensi dari kanker dihasilkan dari hasil scan MRI atau CT. Hal
ini akan membantu terapi radiasi lebih akurat dan walaupun dengan
dosis tinggi dapat mengurangi risiko cedera pada sel yang sehat

5
 IMRT, bentuk terapi radiasi yang kompleks. Dengan IMRT, intensitas
radiasi dibuat bervariasi dalam tiap bagian yang berbeda (tidak seperti
3D-CRT yang menggunakan intensitas sama setiap sinarnya). IMRT
dapat menargetkan sel tumor dan menghindari sel sehat lebih baik
dibandingkan 3D-CRT
 Proton beam therapy, pada energi tinggi, proton dapat menghancurkan
sel kanker. Proton menyimpan dosis spesifik dari radioterapi pada
jaringan target. Sangat sedikit dosis radiasi diluar jaringan tumor
dibandingkan sinar-X, sehingga hal ini dapat membatasi kerusakan
pada jaringan sehat.
 Image-guided radiation therapy (IGRT), gambaran tiap hari dari tiap
medan terapi dikonfirmasi dari posisi pasien sehingga dapat
menargetkan tumor lebih tepat dan mengurangi kerusakan jaringan
sehat
 Stereotactic radiation therapy (SRT), terapi ini menggunakan dosis
radiasi yang besar dan tepat untuk tumor berukuran kecil. SRT
biasanya digunakan sebagai terapi tunggal.

Internal radioterapi atau brachitherapy dapat digunakan sebagai tambahan dari


eksternal radioterapi pada kasus tumor T1 atau T2 atau untuk kasus rekurensi.
Brachyteraphy menghantarkan radiasi ke jaringan tumor melalui penanaman impant
ataupun melalui katater/jarum (gambar 4). Brachytherapy ini terbagi menjadi dua
bagian yakni (Majeed, Gupta., 2021):

 Permanent implant, sejenis besi berukuran kecil seperti beras yang


berisi material radioaktif. Terapi ini memancarkan radiasi disekitar area
implan. Sebagian radiasi juga akan keluar dari tubuh dan hal ini
membutuhkan perlindungan lebih untuk proteksi dari paparan radiasi
lain.
 Temporary internal radiation therapy, radiasi diberikan melalui jarum,
kateter ataupun aplikator khusus. Zat radioaktif berada didalam tubuh
selama beberapa menit (kebanyakan) hingga beberapa hari.

6
Gambar 4. Jarum Brachytherapy pada kanker bibir bawah (Dhingra et al., 2018)

Kedalaman penetrasi yang dibutuhkan untuk terapi kanker ini menggunakan


pemilihan energi dan tipe teletherapy yang digunakan. Superfisial (40-100 kV) dan
orthovoltage (250 kV) terbatas penggunaannya untuk lesi superfisial. Supervoltage
(1,25 MV, cobalt-60) sinar gamma dan megavoltage (4-25 MV, LINAC) sinar-X
dapat digunakan untuk tumor yang berada didalam tubuh. Pada pasien dengan kanker
kepala dan leher, penggunaan photon 6 MV yang sering digunakan. Untuk kasus
tumor yang rekuren, penggunaan brachytherapy lebih sering digunakan (Shah et al.,
2021).

Tujuan untuk radioterapi adalah untuk memperbesar efek terapeutik dengan


menggunakan dosis maksimum kepada tumor dan diwaktu bersamaan juga
menghindari dosis radiasi yang berlebihan pada sel yang sehat. Resistensi radiasi oleh
sel kanker menjadi suatu tantangan besar dalam melakukan radioterapi. Resistensi ini
umumnya disebabkan oleh kondisi hipoksia lokal diarea pusat tumor (Madan., 2020;
Stepien et al., 2016). Kemampuan resistensi radiasi pada sel yang hipoksia sekitar 2,5-
3 kali dibandingkan sel yang teroksigenasi baik (Dhingra et al., 2018). Untuk
mengatasi resistensi radiasi ini dapat menggunakan radiosensitizer. Radiosensitizer
bertujuan untuk membantu mengatasi resistensi radiasi tanpa mengganggu respon
radiasi pada sel yang sehat. Radiosensitizer dapat menggunakan beberapa cara sebagai
berikut (Dhingra et al., 2018; Madan., 2020):

7
 Terapi hiperbarik oksigen (gambar 5), terapi yang menggunakan
oksigen murni (100%) dengan tekanan berkisar 1,5-2,5 atm. Terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut pada plasma
darah sehingga dengan demikian dapat meningkatkan kadar oksigen
pada jaringan tumor (Stepien et al., 2016).

Gambar 5. Hyperbaric oxygen chamber (sumber gambar: Columbus Regional


Health., 2017)

 Karbogen, cara ini dengan menyuruh pasien untuk menghirup


campuran gas berupa 95% oksigen dan 5% karbondioksida pada
tekanan atmosfer. Biasanya karbogen digunakan dengan kombinasi
nikotinamida. Penggunaan nikotinamida dapat memperbaiki aliran
darah sehingga meningkatkan oksigenasi ke jaringan tumor.
 Mempertahankan kadar Hb diatas 12 g/dL
 Obat-obatan kemoterapi, seperti cisplatin, 5-fluorouracil, paclitaxel,
docetaxel, dan hydroxyurea. Tiap-tiap obat tersebut memiliki cara kerja
yang berbeda-beda dan bersifat sinergis dengan radioterapi.
 Tirapazamin, agen yang selektif sitotoksik terhadap sel hipoksia. Pada
kondisi hipoksia, obat ini dapat memicu pembentukan produk rekatif
yang dapat memicu kerusakan DNA

8
Selain menggunakan radiosensitizers, penggunaan radioprotectors bertujuan
untuk melindungi jaringan yang sehat dari efek radiasi. Kebanyakan radioprotectors
bekerja dengan menghambat kerusakan DNA melalui menangkal radikal bebas. Selain
itu radioprotectors juga dapat masuk kedalam nukleus dan bertahan disekitar DNA.
Radioprotectors yang umumnya sering digunakan ialah amifostine, antioksidan
(seperti glutathione dan vitamin A, C, dan E), asam lipoat dan sistein (Dhingra et al.,
2018; Madan., 2020).

Radioterapi biasanya terbagi atau fraksinasi selama pengobatan dalam


beberapa minggu. Makna fraksinasi ini menandakan proses pembagian dosis dari
radiasi menjadi beberapa bagian/fraksi (Chmiel. Murphy., 2021). Pada fraksinasi
radioterapi setiap fraksi terdiri dari 1,8-2,0 Gy dan dilakukan setiap hari selama 5
hari/minggu. Pengobatan umumnya berlangsung selama 6-7 minggu (Dhingra et al.,
2018; Madan., 2020).

Pada kanker kepala dan leher seperti stadium awal dengan karsinoma
nasofaring, orofaring, dan laring, terapi definitifnya berupa radioterapi. Dalam
melakukan radioterapi dapat direncanakan sebelum operasi maupun sesudah operasi.
Baik melakukan radioterapi sebelum operasi maupun sesudah operasi memiliki
kelebihan dan kekurangan (tabel 1).

Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan radioterapi pre-,post-operatif (Shah et al.,


2020)
Radioterapi pre-operatif Radioterapi post-operatif
Kelebihan  Pemberian radiasi tidak  Waktu operasi tidak tertunda
terlambat akibat operasi  Tidak ada keterbatasan dosis
 Memberikan waktu  Operasi dapat selesai
tambahan untuk terapi sehingga, informasi
suportif sebelum operasi histopatologi dan evaluasi
 Dapat mengurangi ukuran tumor dan nodus limfe dapat
tumor sehingga lebih diketahui terlebih dahulu
mudah dioperasi  Residu mikroskopik dapat
 Mengurangi rekurensi secara efektif dilakukan
 Mengontrol penyakit sterilisasi dengan kontrol
subklinis pada lokasi

9
primer lokal dan atau regional
 Tidak mengganggu
oksigenasi kejaringan
tumor
Kekurangan  Keterlambatan operasi  Potensi keterlambatan dari
 Dapat memberikan efek radioterapi terutama apabila
penyembuhan luka pasca terjadi hambatan dalam
operasi penyembuhan luka pasca
 Dosis terbatas dikarenakan operasi
potensi untuk mengalami  Adanya scar dan perubahan
permasalahan vaskular pasca operasi dapat
penyembuhan luka mengurangi oksigenasi ke
 Informasi patologis tumor sehingga hal ini dapat
lengkap tidak tersedia mengurangi efektivitas
 Potensi ketidakpatuhan radiasi dalam membunuh sel
pasien, dalam respon tumor
tumor sangat baik dan
yang menolak operasi

Radiasi preoperatif membutuhkan waktu sekitar 4-6 minggu pemulihan agar


pasien dapat pulih dari reaksi peradangan akut sebelum dilakukan operasi (Shah et al.,
2020). Untuk dosis radiasi post-operatif disesuaikan dengan jenis kankernya (tabel 2)
Terdapat beberapa indikasi dari radioterapi post-operatif yakni (Dhingra et al., 2018):

 Penyebaran ekstrakapsul nodus limfe


 Invasi ke jaringan lunak
 Melibatkan dua atau lebih nodus limfe
 Ukuran diameter nodus yang terlibat > 3 cm
 Invasi vaskular dan atau perineural
 Primer multisentrik
 In-situ carcinoma

10
Selain ada radioterapi yang bersifat kuratif, terdapat juga radioterapi khusus
paliatif. Adapun indikasi radioterapi khusus paliatif dapat mengendalikan nyeri
dilakukan dengan cara mengecilkan tumor yang menekan sistem saraf. Selain itu
dengan mengecilkan tumor juga dapat membantu membebaskan jalur napas yang
mungkin obstruksi akibat tumor. Kontrol pendarahan akibat tumor juga merupakan
indikasi dari radioterapi paliatif. Dosis yang digunakan radioterapi paliatif lebih kecil
daripada dosis radioterapi kuratif (Shah et al., 2020).

Sebelum melakukan tindakan radioterapi perlu diketahui terlebih dahulu


stadium klinik, diagnosis dan tujuan dari radioterapi (kuratif atau paliatif). Pasien dan
keluarga pasien harus diberitahukan mengenai tindakan yang akan dilakukan serta
efek samping yang mungkin akan timbul akibat tindakan tersebut. Pemeriksaan fisik
dan laboratorium sebelum tindakan radioterapi adalah hal yang harus dilakukan.
Pasien juga harus dipersiapkan mental dan fisiknya sebelum menjalani radioterapi.
Keadaan umum pasien yang buruk dan status nutrisi yang buruk tidak diperbolehkan
radiasi kecuali apabila pasien memiliki suatu keadaan mengancam nyawa (seperti
obstruksi saluran makan, perdarahan masif). Kadar Hb pasien harus diatas 10 g/dL,
jumlah leukosit diatas 3000 sel/µL dan trombosit diatas 100.000/µL (PERHATI-KL.,
2015)

2. Radioterapi Pada Berbagai Kasus Keganasan Kepala dan Leher


2.1. Kanker rongga mulut
Kanker rongga mulut merupakan kanker yang berasal dari area mukosa dari
rongga mulut. Rongga mulut meliputi lapisan mukosa dari bibir, pipi, gigi, gusi, dua
pertiga anterior lidah, dasar mulut, hard palate dan retromolar trigonum posterior
(Walter et al., 2022). Faktor risiko terbesar dari kanker rongga mulut ialah merokok.
Merokok diperkirakan meningkatkan risiko kanker rongga mulut sebesar 3 kali lipat
dibandingkan non-perokok (Walter et al., 2022).
Studi yang dilakukan di lima negara oleh Dhanuthai et al (2018) mendapatkan
lima lokasi anatomik yang sering menjadi tempat penyebaran kanker rongga mulut
ialah lidah (25,4%), mukosa bukal (21,7%), gusi (14,0%), palatum (9,9%) dan mukosa
alveolar (7,9%). Di Indonesia, studi di RSUP Sanglah didapatkan bahwa lokasi
tersering kanker rongga mulut berada di gusi (36%), lidah (32%), bibir (20%), mukosa

11
bukal (8%) dan palatum (4%) (Putra, Setiawan., 2018). Gejala kanker rongga mulut
bervariasi bergantung dari lokasi kanker. Pada awal perjalanan penyakit dapat
memiliki tanda berupa corak iregular putih/kemerahan. Kemudian berlanjut
berkembang menjadi nodul dengan disertai ulserasi dan nyeri (gambar 6). Jika kanker
sudah menyebar bisa disertai disfagia, odinofagia, bicara kurang jelas, otalgia,
penurunan berat badan dan limfadenopati. Sekitar 90% kasus kanker rongga mulut
merupakan squamous cell carcinomas (Walter et al., 2022).

Gambar 6. A. Leukoplakia, B. Invasive carcinoma of the floor of the mouth , C.


Invasive carcinoma of the tongue

Saat ini panduan terkini untuk menangani kasus kanker rongga mulut berasal
dari organisasi European Head and Neck Surgery – European Society for Medical
Oncology – European Society for Radiotherapy and Oncology (EHNS-ESMO-
ESTRO) ditahun 2020 (gambar 7). Panduan ini juga dikeluarkan pada kasus kanker
orofaring, hipofaring dan laring (Machiels et al., 2020).

12
Gambar 7. Managemen kanker rongga mulut (Machiels et al., 2020)
Setelah reseksi operasi, dapat muncul berbagai tanda patologis yang hal ini
membutuhkan radioterapi adjuvan. Tanda patologis yang tergolong risiko tinggi ialah
penyebaran tumor ekstranodul dan positive surgical margin. Tanda patologis lain
yakni tumor T3/T4, invasi perineural, invasi limfovaskular, adenopati leher dan
multipel tumor melibatkan nodus limfa servikal (N2b/N2c). Dosis konvensional ialah
1,8-2,0 Gy/fraksi, sekali sehari selama 5 hari dalam seminggu. Radiasi adjuvan dengan
atau tanpa kemoterapi berkisar 60-66 Gy untuk pasien berisiko tinggi dan 50-60 Gy
untuk risiko rendah dengan radiasi selama 6 minggu setelah reseksi (Wein, Weber.,
2021).
2.2. Kanker Kelenjar saliva
Kanker kelenjar saliva tergolong keganasan yang jarang ditemukan, sekitar 3%
kasus keganasan kepala dan leher (Sirjani et al., 2021). Insidensi dari tumor kelenjar
saliva bervariasi dari 0,3-8,58/100.000 penduduk (Meyer et al., 2021). Lokasi
tersering dari tumor saliva berada di kelenjar parotis (72,9%), kelenjar minor (14%),
kelenjar submandibular (10,7%), sublingual (0,3%) dan tidak diketahui (2,1%).
Meskipun tumor parotis menjadi tumor yang sering ditemukan, namun hanya 14,7%
tumor parotis merupakan keganasan. Sebagai perbandingan, meskipun tumor
sublingual hanya menyumbang 0,3% kasus, namun 85,7% tumor sublingual
merupakan kasus keganasan (Sirjani et al., 2021).
Etiologi dari kanker kelenjar saliva masih belum diketahui. Berbagai faktor
risiko yang diketahui berperan dalam tercetus kanker kelenjar saliva antara lain
paparan radiasi, infeksi virus (EBV dan HIV), imunosupresi, sinar UV, pekerjaan
(berhubungan industri nikel atau karet), riwayat medulloblastoma, riwayat karsinoma
sel basal, ekspresi reseptor androgen dan genetik. Pasien biasanya berobat dengan
keluhan adanya benjolan di regio kelenjar saliva. Keluhan lainnya dapat berupa nyeri,
kesulitan menelan, facial weakness, obstruksi nasal dan pendarahan (Young et al.,
2022). Berdasarkan pemeriksaan histopatologi yang paling sering ditemukan yakni
karsinoma mukoepidermoid (34%) dan karsinoma adenoid kistik (22%) (Sirjani et al.,
2021).
Peranan adjuvan radioterapi memiliki manfaat dalam memperbaiki survival
pada pasien dengan risiko tinggi (positive margins atau perluasan ekstrakapsular).
Pemberian adjuvan radioterapi ini diketahui memberikan manfaat lebih ketimbang
hanya menjalani operasi (Sirjani et al., 2021). Pemberian dosis radiasi pada kasus

13
kanker kelenjar saliva berkisar 54-60 Gy/27-30 fraksi/5-6 minggu (Dhingra et al.,
2018).

2.3. Tumor Sinonasal


Tumor sinonasal merupakan tumor yang mencakup pada rongga hidung atau
sinus paranasal (Shirazi et al., 2015). Insidensi kasus tumor sinonasal diperkirakan
dibawah 1 kasus per 100.000 penduduk/tahun. Kasus tumor ini juga dibawah 1% dari
seluruh keganasan pada manusia dan kurang dari 3% dari keganasan kepala dan leher.
Puncak insidensi tumor sinonasal berada direntang usia 50-70 tahun dengan lebih
banyak dialami laki-laki (Bracigliano et al., 2021).
Pasien dengan tumor sinonasal umumnya berasal dari pekerja dibidang tekstil,
furnitur, industri (seperti nikel dan kromium), riwayat merokok, konsumsi alkohol.
Keluhan yang biasanya muncul pada pasien dengan tumor sinonasal antara lain hidung
tersumbat dan berair, sakit kepala dan atau bisa diserta pembengkakan wajah dan nyeri
di area wajah. Untuk menegakkan diagnosis jenis tumor memerlukan biopsi (Shirazi et
al., 2015). Dalam menangani tumor sinonasal, apabila dijumpai keganasan maka
diperlukan tindakan operasi + radioterapi. Dosis radioterapi yang digunakan sebesar
66-70 Gy/33-35 fraksi/6-7 minggu (Dhingra et al., 2018).
2.4. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang berasal dari epitel
nasofaring. Karsinoma nasofaring menempati urutan ke-3 sebagai kanker kepala dan
leher terbanyak (Sung et al., 2021). Karsinoma nasofaring ini memiliki insidensi yang
tinggi diwilayah Cina bagian Selatan, Malaysia dan Indonesia. Laju insidensi
bervariasi, kurang dari 1 kasus per 100.000 penduduk diwilayah non-endemik sampai
dengan 15-30 kasus per 100.000 penduduk diwilayah endemik (Shah et al., 2022).
Etiologi dari karsinoma nasofaring ini sendiri belum diketahui. Ada dugaan
keganasan ini terjadi sebagai akibat hubungan yang kompleks terkait infeksi EBV
dengan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok dan kebiasaan mengonsumsi
makanan yang diawetkan (mengandung nitrosamin). Gejala awal dari karsinoma
nasofaring umumnya epistaksis atau obstruksi nasal unilateral. Trias klasik karsinoma
nasofaring ialah massa dileher (akibat metastasis nodus limfe), otitis media dan

14
obstruksi nasal. Apabila kanker sudah stadium lanjut dapat menimbulkan keluhan
gangguan saraf seperti lumpuh saraf kranialis (Sinha, et al., 2021).
Panduan penanganan karsinoma nasofaring dapat dilihat pada gambar 8.
Panduan ini dikeluarkan oleh ESMO dan EURACAN (European Reference Network
on Rare Adult Solid Cancers) (Bossi et al., 2021). Radioterapi merupakan pilihan
manajemen untuk lesi loko-regional. Radioterapi efektif untuk semua kasus karsinoma
nasofaring (Shah et al., 2022). Dosis radiasi yang diberikan sebesar 70 Gy/35 fraksi/7
minggu bersamaan dengan kemoterapi mingguan (Dhingra et al., 2018).

Gambar 8 Algoritma penanganan kanker nasofaring (Bossi et al., 2021)


2.5. Kanker Orofaring
Kanker orofaring merupakan kanker yang berasal dari bagian pertengahan
faring (orofaring). Sekitar 90% tumor orofaring merupakan squamous cell carcinoma
(Yarbrough et al., 2022; Jamal, Anjum., 2022). Etiologi dari kanker orofaring terbagi
menjadi dua kategori yakni kanker terkait HPV dan tidak terkait HPV. HPV-16
menjadi penyebab utama dari kasus kanker terkait HPV, sedangkan kasus kanker
orofaring yang tidak terkait HPV disebabkan oleh kebiasaan konsumsi alkohol dan
merokok (Jamal, Anjum., 2022).

15
Gejala awal dari kanker orofaring ialah nyeri tenggorok, pendarahan, disfagia
dan odinofagia, otalgia, perubahan suara seperti hot potato voice (Yarbrough et al.,
2022). Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan ulser atau memutih pada bagian
sepertiga posterior lidah, dinding posterior dan lateral faring, soft palate atau tonsil.
Biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti. Pemeriksaan HPV
direkomendasikan pada semua kasus kanker orofaring (Jamal, Anium., 2022).
Panduan penanganan kanker orofaring dapat dilihat pada gambar 9.
Penggunaan radioterapi pada kasus kanker orofaring dilakukan pada kasus stadium I
dan II, stadium III dan IV (sebelumnya dilakukan operasi atau ditambah bersama
kemoterapi), metastasis dan kanker rekuren (bila tumor tidak dapat diangkat
seluruhnya) (PDQ Adult Treatment Editorial Board., 2022). Dosis radiasi yang
diperlukan pada post-operatif 56-66 Gy, untuk kondisi concurrent chemoradiotherapy
sebesar 66-70 Gy/33-35 fraksi/7 minggu (Dhingra et al., 2018).

Gambar 9. Managemen kanker orofaring (Machiels et al., 2020)

2.6. Kanker Hipofaring


Kanker hipofaring merupakan kanker yang berasal diantara orofaring dengan
esophageal. Kelompok kanker ini kemudian terbagi lagi berdasarkan lokasi anatomis
yakni post-cricoid (pharyngoesophageal junction), piriform sinus dan dinding
posterior faring. Sekitar 95% kasus kanker hipofaring merupakan squamous cell
carcinoma, sedangkan sisanya ditempati adenokarsinoma, sarkoma dan non-
epidermoid karsinoma. Tumor dari hipofaring ditandai bersifat invasi lokal dan
menyebar secara limfatik dengan 70% pasien mengalami penyebaran ke nodus
limfatik pada saat terdiagnosis (Sanders, Pathak., 2022).

16
Faktor risiko utama dari kanker hipofaring adalah merokok dan konsumsi
alkohol. Faktor risiko lain yakni defisiensi nutrisi dan refluks gastroesofagus. Sekitar
50% pasien dengan kanker hipofaring mengalami pembesaran nodus limfatik yang
tidak nyeri. Gejala lain berupa disfagia, nyeri tenggorok, suara serak dan otalgia
dikarenakan keterlibatan cabang saraf kranial X (Casper et al., 2021).
Penanganan kanker hipofaring didasarkan dari stadiumnya (gambar 10),
apabila masih awal (T1/T2) dapat dilakukan radioterapi saja; apabila mencapai
stadium lanjut (T3/T4) dapat dilakukan reseksi tumor sebagian atau total
(laingofaringektomi) dengan post-operatif kemoradiasi. Dosis radiasi yang dapat
diberikan sebesar 56-66 Gy (radioterapi post-operatif) atau 66-70 Gy/33-35 fraksi/7
minggu untuk concurrent chemoradiotherapy (Dhingra et al., 2018; Sander, Pathak.,
2022).

Gambar 10. Managemen kanker hipofaring (Machiels et al., 2020)


2.7. Kanker Laring
Kanker laring menempati urutan ke-2 terbanyak sebagai kanker kepala dan
leher. Pada tahun 2020, jumlah kasus baru kanker laring mencapai 184 ribu kasus
(Sung et al., 2021). Hampir 98% kasus kanker laring berasal dari regio supraglotis atau
glotis, dengan lokasi glotis tiga kali lebih sering dibandingkan supraglotis. Sekitar 70-
95% kasus kanker laring berhubungan dengan kebiasaan merokok (Koroulakis,
Agarwal., 2022).
Pasien dengan kanker laring umumnya laki-laki dengan riwayat kebiasaan
merokok. Suara serak umumnya sebagai gejala awal dari kanker glotis dikarenakan
imobilitas vocal cord. Apabila sudah berlanjut, gejala lain seperti nyeri menelan.
Kebalikannya, gejala awal dari kanker supraglotis umumnya nyeri menelan. Diagnosis

17
pasti kasus kanker laring adalah dengan pemeriksaan biopsi (Koroulakis, Agarwal.,
2022).
Panduan penanganan kanker laring dapat dilihat pada gambar 11. Pada kasus
stadium awal kanker laring, umumnya cukup diterapi dengan satu modalitas yakni
radioterapi lokal atau operasi. Pada kasus T1-2N0 kanker glotis, radioterapi lokal atau
operasi direkomendasikan. Terapi pada kasus T1-2N0 kanker supraglotis hampir
serupa dengan kanker glotis. Pada kasus kanker laring stadium lanjut (T3-4N1-3)
memerlukan terapi kombinasi (Koroulakis, Agarwal., 2022). Dosis radiasi yang dapat
diberikan sebesar 56-66 Gy (radioterapi post-operatif) atau 66-70 Gy/33-35 fraksi/7
minggu untuk concurrent chemoradiotherapy (Dhingra et al., 2018).

Gambar 11. Managemen kanker laring (Machiels et al., 2020)

2.8. Tumor Telinga


Tumor pada telinga sangat jarang terjadi. Klasifikasi tumor telinga didasarkan
pada lokasi tumor (eksternal, media, dan dalam). Tumor pada telinga bagian eksternal
dan media umumnya lebih mudah terdiagnosis melalui otoskop. Terkadang tumor
telinga bisa memiliki gejala yang serupa infeksi yakni nyeri dan otore. Tumor pada
telinga bagian dalam umumnya memiliki gejala kehilangan pendengaran, tinnitus,
facial weakness (O’Handley et al., 2016). Pada kasus awal tumor dapat dilakukan
hanya dengan radioterapi saja. Pada kasus stadium lanjut dapat dilakukan operasi dan
dilanjutkan radioterapi. Dosis radiasi yang diperlukan sebesar 56-66 Gy/28-33
fraksi/5-6 minggu (Dhingra et al., 2018).

18
Tabel 2. Pengobatan pada kanker kepala dan leher (Dhingra et al., 2018)
Lokasi Tumor Histologi Dosis radiasi Efek samping
Ear pinna dan BCC dan SCC 56-66 Gy/28-33 Nekrosis pinna,
kanal fraksi/5-6 minggu osteoradionekrosis tulang
auditorius temporal, OMSK, hilang
pendengaran, xerostomia
Rongga nasal SCC, karsinoma 66-70 Gy/ 33-35 fraksi/ Mata dan hidung kering,
dan sinus kistik adenoid, 6-7 minggu katarak, xerostomia
paranasal limfoma, melanoma
Nasofaring SCC, limfoma, 70 Gy/35 fraksi/ 7 Eritema, mata dan hidung
melanoma, minggu + kemoterapi kering, xerostomia
chordoma, sarkoma mingguan
Bibir dan rongga SCC, kistik adenoid RT definitif: 70 Gy/35 Eritema, trismus, mukositis,
mulut dan karsinoma fraksi/7 minggu karies gigi, xerostomia
mukoepidermoid RT post-operatif: 56-66
Gy ± kemoterapi
Orofaring SCC, kistik RT post-eporasi: 56-66 Mukositis, infeksi mulut,
adenoid, NHL, Gy disfagia, trismus, nekrosis
adenokarsinoma CCRT: 66-70 Gy /33-35 gigi, xerostomia
fraksi/7 minggu
Laring dan SCC, limfoma RT post-operatif: 56-66 Mukositis, suara serak,
hipofaring Gy disfagia,
CCRT: 66-70 Gy / 33-
35 fraksi/7 minggu
Kelenjar saliva Mukoepidermoid, 54-60 Gy/27-30 Xerostomia, eritema,
karsinoma adenoid fraksi/5-6 minggu mukositis
kistik

19
Berbagai efek samping dikarenakan radiasi pada jaringan yang cepat
membelah seperti kulit, mukosa dan sumsum tulang maka diperlukan manajemen atau
penanganan yang diringkas pada tabel 3.

Tabel 3. Efek samping jangka panjang dari radioterapi (Brook., 2020)


Efek samping Gejala Etiologi Komplikasi Penanganan
Xerostomia Mulut kering, Kerusakan Infeksi Membersihkan
sulit menelan kelenjar oportunistik, higienitas mulut,
dan berbicara saliva gangguan pH dan hidrasi adekuat,
sekretori IgA, kista stimulasi saliva,
saliva, burning terapi anti jamur
mouth syndrome dan klorheksidin
Burning mouth Perasaan Tidak Depresi, Pembersih mulut,
syndrome terbakar di diketahui kecemasan, saliva substitusi,
rongga mulut, kesulitan tidur dan antidepresan,
rasa haus makan cognitivie
meningkat, behavioral
kehilangan therapy,
perasa capsaicin
Karies gigi Karies gigi Peningkatan Osteoradionekrosis Higienitas oral,
bakteri , kehilangan gigi, managemen
pembentuk infeksi akar gigi, xerostomia,
karies, abses gigi topikal fluorida
penurunan dan agen
kadar mineralisasi
antimikroba
pada saliva
Osteoradionekrosis Nyeri, Ekstraksi Fistula, fraktur Debridement,
disgeusia, mati gigi, patologis, infeksi antibiotik,
rasa, trismus, pemasangan lokal dan sistemik oksigen
kesulitan implan dan hiperbarik

20
mengunyah dan penyakit gigi
bicara
Fibrosis Terasa kaku, Radiasi Striktur esofagus, Fisioterapi, laser
terbatas pada memicu trismus, migrain, eksternal
leher inflamasi, disfungsi sendi
vaskularisasi temporomandibular
buruk dan
scarring
Trismus Susah Fibrosis otot Gangguan Modifikasi diet,
membuka mulut mastikasi mengunyah, sulit swallow
berbicara, sulit retraining
dalam merawat
mulut
Kerusakan mata Katarak, Radiasi Kehilangan Triamsinolon,
retinopati menyerang penglihatan oksigen
lensa dan hiperbarik,
retina mata fotodinamik
Limfedema Wajah dan leher Fibrosis Scarring, sulit Drainase limfe
bengkak, nyeri internal bernapas, kongesti, manual, kompresi
berkurang gerakan dengan bandage
leher, nyeri telinga,
susah menelan dan
berbicara
Gangguan Nyeri, hilang Kerusakan Memburuknya Antinyeri, terapi
neurologis memori, gejala saraf akibat gejala, gangguan fisik, akupuntur,
seperti stroke, radiasi kualitas hidup dan antidepresan
transverse kapasitas bekerja
myelitis,
neuropati,
hipotensi
postural

21
22
III. KESIMPULAN
Kasus keganasan kepala dan leher termasuk kedalam urutan ketujuh sebagai
kanker dengan jumlah kasus terbanyak didunia. Keluhan pada pasien dengan
keganasan kepala dan leher sangat bervariasi bergantung dari lokasi tumor berasal.
Berbagai terapi dapat dilakukan untuk menangani kanker kepala dan leher, salah
satunya yakni radioterapi. Radioterapi sering digunakan untuk pasien pada stadium
awal, pasien yang menolak operasi dan pasien yang bukan kandidat untuk dioperasi.
Penggunaan radioterapi sering diberikan bersama terapi lainnya seperti kemoterapi
ataupun operasi. Penggunaan terapi kombinasi ini juga semakin meningkat pada
beberapa negara khususnya pada kasus kanker kepala dan leher. Dosis radiasi yang
diberikan pada kasus kanker kepala dan leher berbeda-beda jenis keganasan kepala
dan leher.

23
DAFTAR PUSTAKA

Bossi, P., Chan, A.T., Licitra, L., Trama, A., Orlandi, E., Hui, E.P., et al. (2021).
Nasopharyngeal carcinoma: ESMO-EURACAN Clinical Practice Guidelines for
diagnosis, treatment and follow-up. Annals of oncology : official journal of the
European Society for Medical Oncology, 32 (4), 452-465. Doi:
10.1016/j.annonc.2020.12.007
Bracigliano, A., Tatangelo, F., Perri, F., Di Lorenzo, G., Tafuto, R., Ottaiano,
A., et al. (2021). Malignant Sinonasal Tumors: Update on Histological and Clinical
Management. Current oncology (Toronto, Ont.), 28(4), 2420–2438.
https://doi.org/10.3390/curroncol28040222
Brook, I. (2020). Late side effects of radiation treatment for head and neck
cancer. Radiation oncology journal, 38(2), 84–92.
https://doi.org/10.3857/roj.2020.00213
Casper, K., Mierzwa, M., Hawkins, P. Radiotherapy and Chemotherapy of
Squamous Cell Carcinoma of the Hypopharynx and Esophagus. In: Flint, P.W.,
Francis, H.W., Haughey, B.H., Lesperance, M.M., Lund, V.J., Robbins, K.T., Thomas,
J.R. (2021). Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 7th ed: Philadelphia:
Elsevier
Chmiel, E., Murphy, A. Fractionation (radiation therapy). Reference article,
Radiopaedia.org. (accessed on 17 Jul 2022) https://doi.org/10.53347/rID-71384
Cooper, J.S., Porter, K., Mallin, K., Hoffman, H.T., Weber, R.S., Ang, K.K. et
al. (2009). National Cancer Database Report on Cancer of the Head and Neck: 10 Year
Update. Head Neck, 31(6): 748-58. Doi: 10.1002/hed.21022
Dhanuthai, K., Rojanawatsirivej, S., Thosaporn, W., Kintarak, S., Subarnbhesaj,
A., Darling, M., et al. (2018). Oral cancer: A multicenter study. Medicina oral,
patologia oral y cirugia bucal, 23(1), e23–e29. https://doi.org/10.4317/medoral.21999
Dhingra, P.L., Dhingra, S. (2018). Diseases of Ear, Nose and Throat & Head
and Neck Surgery. 7th ed, New Delhi: Elsevier
Duvvuri, U., Kubicek, G.J. Principles of Radiation Oncology. In: Johnson, J.T.,
Rosen, C.A. (2013). Bailey’s Head and Neck Surgery: Otolaryngology. 5th ed.

24
Gong, L., Zhang, Y., Liu, C., Zhang, M., & Han, S. (2021). Application of
Radiosensitizers in Cancer Radiotherapy. International journal of nanomedicine, 16,
1083–1102. https://doi.org/10.2147/IJN.S290438
Huh, S. J., Park, W., & Choi, D. H. (2019). Recent trends in intensity-modulated
radiation therapy use in Korea. Radiation oncology journal, 37(4), 249–253.
https://doi.org/10.3857/roj.2019.00577
Jamal, Z., Anjum, F. (2022). Oropharyngeal Squamous Cell Carcinoma.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563268/ [accessed 19 July
2022]
Koroulakis, A., Agarwal, M. (2022). Laryngeal Cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526076/ [accessed 19 July 2022]
Liu, Y. P., Zheng, C. C., Huang, Y. N., He, M. L., Xu, W. W., & Li, B. (2021).
Molecular mechanisms of chemo- and radiotherapy resistance and the potential
implications for cancer treatment. MedComm, 2(3), 315–340.
https://doi.org/10.1002/mco2.55
Machiels, J. P., René Leemans, C., Golusinski, W., Grau, C., Licitra, L.,
Gregoire, V. (2020). Squamous cell carcinoma of the oral cavity, larynx, oropharynx
and hypopharynx: EHNS-ESMO-ESTRO Clinical Practice Guidelines for diagnosis,
treatment and follow-up. Annals of oncology : official journal of the European Society
for Medical Oncology, 31(11), 1462–1475.
https://doi.org/10.1016/j.annonc.2020.07.011
Madan, R. Radiosensitizers and Radioprotectors. In: Mallick, S., Rath, G.K.,
Benson, R (eds). (2020). Practical Radiation Oncology. New Delhi: Springer Nature
Majeed, N., Gupta, V. (2021). Adverse effects of radiation therapy. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563259/ [accessed 16 July 2022]
Mehta, S. R., Suhag, V., Semwal, M., & Sharma, N. (2010). Radiotherapy: Basic
Concepts and Recent Advances. Medical journal, Armed Forces India, 66(2), 158–
162. https://doi.org/10.1016/S0377-1237(10)80132-7
Meyer, M. T., Watermann, C., Dreyer, T., Ergün, S., & Karnati, S. (2021). 2021
Update on Diagnostic Markers and Translocation in Salivary Gland
Tumors. International journal of molecular sciences, 22(13), 6771.
https://doi.org/10.3390/ijms22136771

25
Nathania, N., Dewi, Y.A., Permana, A.D. (2020). Profile of head and neck
cancer patients from 2013-2018 at Dr.Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
ORLI, 51(2), 141-145
National Cancer Institute. (2019). Radiation Therapy to Treat Cancer. Available
from: https://www.cancer.gov/about-cancer/treatment/types/radiation-therapy
[accessed 15 July 2022]
O’Handley, J. G., Tobin, E. J., & Shah, A. R. (2012).
Otorhinolaryngology. Textbook of Family Medicine, 300–342.
https://doi.org/10.1016/B978-1-4377-1160-8.10019-3
PDQ Adult Treatment Editorial Board. (2022). Oropharyngeal Cancer Treatment
(Adult) (PDQ). Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK65723/
[accessed 19 July 2022]
PERHATI-KL (Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorok
Bedah Kepala Leher). (2015). Modul VII.2 Prinsip Radioterapi Keganasan Kepala
Leher.
Pinkas, W., Jankowski, M., & Wierzba, W. (2022). Awareness of Head and
Neck Cancers: A 2021 Nationwide Cross-Sectional Survey in Poland. Journal of
clinical medicine, 11(3), 538. https://doi.org/10.3390/jcm11030538
Popovtzer, A., Eisbruch, A. Radiotherapy for Head and Neck Cancer: Radiation
Physics, Radiobiology, and Clinical Principles. In: Flint, P.W., Haughey, B.H.,
Lesperance, M.M., Lund, V.J., Robbins, K.T., Thomas, J.R. (2021). Cummings
Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 7th ed. Philadelphi: Elsevier
Putra, I.G.A.M.S., Setiawan, I.G.B. (2018). Angka kejadian kanker rongga
mulut pada pasien Di RSUP Sanglah dengan riwayat merokok dan minum minuman
beralkohol dalam periode januari 2015 – juni 2016. E-Jurnal Medika, 7(1), 33-36
Sanders, O., Pathak, S. (2022). Hypopharyngeal Cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567720 [accessed 19 July 2022]
Schlichting, J. A., Pagedar, N. A., Chioreso, C., Lynch, C. F., & Charlton, M. E.
(2019). Treatment trends in head and neck cancer: Surveillance, Epidemiology, and
End Results (SEER) Patterns of Care analysis. Cancer causes & control : CCC, 30(7),
721–732. https://doi.org/10.1007/s10552-019-01185-z
Shah, J.P., Patel, S.G., Singh, B., Wong, R.J. (2020). Jatin Shah’s Head and
Neck Surgery and Oncology. 7th ed. Philadelphia: Elsevier

26
Shah, A.B., Zulfiqar, H., Nagalli, S. (2022). Nasopharyngeal Carcinoma.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554588/ [accessed 18 July
2022]
Shirazi, N., Bist, S. S., Selvi, T. N., & Harsh, M. (2015). Spectrum of Sinonasal
Tumors: A 10-year Experience at a Tertiary Care Hospital in North India. Oman
medical journal, 30(6), 435–440. https://doi.org/10.5001/omj.2015.86
Sinha, S., Gajra, A. (2021). Nasopharyngeal cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459256/ [accessed 18 July 2022]
Sirjani, D.B., Lewis, J.S., Beadle, B.M., Sunwoo, J.B. Malignant Neoplasm of
the Salivary Glands. In: Flint, P.W., Francis, H.W., Haughey, B.H., Lesperance, M.M.,
Lund, V.J., RObbins, K.T., Thomas, J.R. (2021). Cummings Otolaryngology: Head
and Neck Surgery. 7th ed: Philadelphia: Elsevier
Stepien, K., Ostrowski, R. P., & Matyja, E. (2016). Hyperbaric oxygen as an
adjunctive therapy in treatment of malignancies, including brain tumours. Medical
oncology (Northwood, London, England), 33(9), 101. https://doi.org/10.1007/s12032-
016-0814-0
Sung, H., Ferlay, J., Siegel, R.L., Laversanne, M., Soerjomataram, I., Jemal, A.,
Bray, F. (2021). Global Cancer Statistics 2020: GLOBOCAN Estimates of Incidence
and Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. Ca: a Cancer Journal for
Clinician, 71(3), 209-249. Doi: 10.3322/caac.21660
Walter, C., Brar, S., Pepper, T. (2022). Oral Mucosa Cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK565867/ [accessed 18 July 2022]
Wein, R.O., Weber, R.S. Malignant Neoplasm of the Oral Cavity. In: Flint,
P.W., Francis, H.W., Haughey, B.H., Lesperance, M.M., Lund, V.J., RObbins, K.T.,
Thomas, J.R. (2021). Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 7th ed:
Philadelphia: Elsevier
Yarbrough, W.G., Zanation, A., Patel, S., Mehra, S. Head and Neck. In:
Townsend, C.M., Beauchamp, R.D., Evers, B.M., Mattox, K.L. (2022). Sabiston
Textbook of Surgery. 21st ed. Philadelphia: Elsevier
Young, A., Okuyemi, O.T. (2022). Malignant Salivary Gland Tumors. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563022/ [accessed 18 July 2022]

27

Anda mungkin juga menyukai