Sp.T.H.T.K.L.(K)
Penilai : 1. Prof. Dr. dr. Farhat, M.Ked (ORLHNS), Sp. T.H.T.K.L. (K)
2. dr. Vive Kananda, Sp. T.H.T.K.L
I. PENDAHULUAN
Keganasan kepala dan leher mencakup berbagai area seperti bibir dan rongga
mulut, kelenjar saliva, nasofaring, orofaring, hipofaring, laring, rongga nasal dan
paranasal, dan telinga (Dhingra et al., 2018). Keganasan kepala dan leher termasuk
kedalam urutan ketujuh sebagai keganasan dengan jumlah kasus terbanyak didunia.
Pada tahun 2020, lebih dari 900 ribu kasus baru dan lebih dari 460 ribu kematian
terjadi akibat keganasan kepala dan leher. Jumlah kasus masing-masing keganasan
kepala dan leher yakni kanker bibir dan rongga mulut (377.713 kasus), kanker laring
(184.615 kasus), kanker nasofaring (133.354 kasus), kanker orofaring (98.412 kasus),
kanker hipofaring (84.254 kasus) dan kanker kelenjar saliva (53.583 kasus) (Sung et
al., 2021).
Keganasan kepala dan leher lebih sering dialami laki-laki (2-4 kali lipat) dan
meningkat seiring pertambahan usia, terutama usia diatas 50 tahun. Sekitar 80% kasus
keganasan kepala dan leher terkait dengan kebiasaan penggunaan tembakau (Pinkas
set al., 2022). Keluhan yang dialami oleh pasien dengan keganasan kepala dan leher
bergantung dari lokasi serta staging kanker (Dhingra et al., 2018). Berdasarkan data
dari beberapa rumah sakit di Indonesia, umumnya pasien dengan keganasan kepala
dan leher datang berobat dengan stadium IV (Nathania et al., 2020).
1
II. Radioterapi
1. Sejarah radioterapi
Radioterapi merupakan radiasi berenergi tinggi yang dapat berasal dari sinar-
X, sinar gamma, neutron, proton dan sumber lainnya untuk membunuh sel kanker dan
mengecilkan tumor (National Cancer Institute, 2019). Penggunaan radiasi ionisasi
sebagai terapi kanker dimulai dari penemuan sinar-X pada tahun 1895 oleh Wilhelm
Conrad Roentgen. Antoine Henry Becquerel mendapatkan suatu aktivitas radiasi dari
garam uranium yang memiliki daya tembus seperti sinar-X. Beliau melakukan
eksperimen radiobiologi pada 1901. Marie Sklodowska-Curie bersama suaminya
Pierre Curie membuktikan temuan radiobiologi Becquerel dengan cara membakar
lengannya sendiri dengan menggunakan radium. Pada tahun 1903, mereka bertiga
mendapat penghargaan Nobel dibidang Fisika terkait fenomena radiasi (Shah et al.,
2020).
Radiasi mengacu pada perambatan energi melalui ruang atau medium. Radiasi
terapeutik dapat diantarkan melalui dua metode yakni radiasi elektromagnetik dan
radiasi partikulat. Radiasi elektromagnetik merupakan kumpulan sinar (berasal dari
photon) yang tidak memiliki massa namun memiliki energi sedangkan radiasi
partikulat merupakan partikel yang memiliki massa dan energi. Contoh radiasi
partikulat termasuk partikel alfa, beta, proton, elektron dan neutron. Sinar UV, sinar-X
2
dan sinar-γ termasuk kedalam radiasi elektromagnetik (Shah et al., 2020; Popovtzer,
Eisbruch., 2021).
Gambar 1. Mekanisme kerusakan DNA akibat radiasi ionisasi. Efek secara langsung
berasal dari radiasi ionisasi yang merusak DNA sedangkan secara tidak langsung
melalui pembentukan radikal bebas yang dapat merusak bagian basa, strand ataupun
jembatan antar protein di DNA (Gong et al., 2021).
3
Pada umumnya radioterapi menggunakan sinar/photon (sinar-X dan sinar-γ).
Sinar-γ dihasilkan dari inti material seperti cobalt-60 yang mengalami peluruhan
radioaktif sehingga dapat memancarkan sinar-γ. Sinar-X dihasilkan berasal dari
tumbukan elektron berkecepatan tinggi dengan material yang memiliki nomor atom
tinggi seperti Tungsten-Molybdenum pada tabung sinar-X (Mehta et al., 2010).
Pasien akan dibaringkan pada meja pengobatan dan mesin LINAC akan
berotasi disekitar pasien untuk menghantarkan radiasi. Untuk memastikan bahwa
pasien tidak bergerak selama penyinaran radiasi, maka digunakanlah thermoplastic
head mask (gambar 3). Ahli onkologi radiasi akan membedakan terlebih dahulu target
antara kanker dengan organ yang masih sehat. Terdapat beberapa istilah dalam proses
ini yakni gross total volume (GTV), clinical tumor volume (CTV), dan planning tumor
volume (PTV). GTV adalah istilah ukuran tumor yang terlihat dari pemeriksaan fisik
ataupun radiologi. CTV adalah area yang berisiko membawa sel kanker (mikroskopis).
4
PTV adalah perluasan sedikit (0,3-1 cm) dari GTV atau CTV untuk menghindari error
saat penyinaran (Duvvuri, Kubicek., 2013).
Teknik radioterapi terbagi menjadi dua tipe yakni eksternal radioterapi dan
internal radioterapi. Eksternal radioterapi (teletherapy) adalah yang paling sering
digunakan dan sumber radiasi berasal dari mesin diluar tubuh sedangkan internal
radioterapi (brachytherapy) memiliki sumber atau material radioaktif yang
ditempatkan pada jaringan tumor atau sekitarnya. Eksternal radioterapi terbagi lagi
menjadi lima bagian yakni (Majeed, Gupta., 2021):
5
IMRT, bentuk terapi radiasi yang kompleks. Dengan IMRT, intensitas
radiasi dibuat bervariasi dalam tiap bagian yang berbeda (tidak seperti
3D-CRT yang menggunakan intensitas sama setiap sinarnya). IMRT
dapat menargetkan sel tumor dan menghindari sel sehat lebih baik
dibandingkan 3D-CRT
Proton beam therapy, pada energi tinggi, proton dapat menghancurkan
sel kanker. Proton menyimpan dosis spesifik dari radioterapi pada
jaringan target. Sangat sedikit dosis radiasi diluar jaringan tumor
dibandingkan sinar-X, sehingga hal ini dapat membatasi kerusakan
pada jaringan sehat.
Image-guided radiation therapy (IGRT), gambaran tiap hari dari tiap
medan terapi dikonfirmasi dari posisi pasien sehingga dapat
menargetkan tumor lebih tepat dan mengurangi kerusakan jaringan
sehat
Stereotactic radiation therapy (SRT), terapi ini menggunakan dosis
radiasi yang besar dan tepat untuk tumor berukuran kecil. SRT
biasanya digunakan sebagai terapi tunggal.
6
Gambar 4. Jarum Brachytherapy pada kanker bibir bawah (Dhingra et al., 2018)
7
Terapi hiperbarik oksigen (gambar 5), terapi yang menggunakan
oksigen murni (100%) dengan tekanan berkisar 1,5-2,5 atm. Terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut pada plasma
darah sehingga dengan demikian dapat meningkatkan kadar oksigen
pada jaringan tumor (Stepien et al., 2016).
8
Selain menggunakan radiosensitizers, penggunaan radioprotectors bertujuan
untuk melindungi jaringan yang sehat dari efek radiasi. Kebanyakan radioprotectors
bekerja dengan menghambat kerusakan DNA melalui menangkal radikal bebas. Selain
itu radioprotectors juga dapat masuk kedalam nukleus dan bertahan disekitar DNA.
Radioprotectors yang umumnya sering digunakan ialah amifostine, antioksidan
(seperti glutathione dan vitamin A, C, dan E), asam lipoat dan sistein (Dhingra et al.,
2018; Madan., 2020).
Pada kanker kepala dan leher seperti stadium awal dengan karsinoma
nasofaring, orofaring, dan laring, terapi definitifnya berupa radioterapi. Dalam
melakukan radioterapi dapat direncanakan sebelum operasi maupun sesudah operasi.
Baik melakukan radioterapi sebelum operasi maupun sesudah operasi memiliki
kelebihan dan kekurangan (tabel 1).
9
primer lokal dan atau regional
Tidak mengganggu
oksigenasi kejaringan
tumor
Kekurangan Keterlambatan operasi Potensi keterlambatan dari
Dapat memberikan efek radioterapi terutama apabila
penyembuhan luka pasca terjadi hambatan dalam
operasi penyembuhan luka pasca
Dosis terbatas dikarenakan operasi
potensi untuk mengalami Adanya scar dan perubahan
permasalahan vaskular pasca operasi dapat
penyembuhan luka mengurangi oksigenasi ke
Informasi patologis tumor sehingga hal ini dapat
lengkap tidak tersedia mengurangi efektivitas
Potensi ketidakpatuhan radiasi dalam membunuh sel
pasien, dalam respon tumor
tumor sangat baik dan
yang menolak operasi
10
Selain ada radioterapi yang bersifat kuratif, terdapat juga radioterapi khusus
paliatif. Adapun indikasi radioterapi khusus paliatif dapat mengendalikan nyeri
dilakukan dengan cara mengecilkan tumor yang menekan sistem saraf. Selain itu
dengan mengecilkan tumor juga dapat membantu membebaskan jalur napas yang
mungkin obstruksi akibat tumor. Kontrol pendarahan akibat tumor juga merupakan
indikasi dari radioterapi paliatif. Dosis yang digunakan radioterapi paliatif lebih kecil
daripada dosis radioterapi kuratif (Shah et al., 2020).
11
bukal (8%) dan palatum (4%) (Putra, Setiawan., 2018). Gejala kanker rongga mulut
bervariasi bergantung dari lokasi kanker. Pada awal perjalanan penyakit dapat
memiliki tanda berupa corak iregular putih/kemerahan. Kemudian berlanjut
berkembang menjadi nodul dengan disertai ulserasi dan nyeri (gambar 6). Jika kanker
sudah menyebar bisa disertai disfagia, odinofagia, bicara kurang jelas, otalgia,
penurunan berat badan dan limfadenopati. Sekitar 90% kasus kanker rongga mulut
merupakan squamous cell carcinomas (Walter et al., 2022).
Saat ini panduan terkini untuk menangani kasus kanker rongga mulut berasal
dari organisasi European Head and Neck Surgery – European Society for Medical
Oncology – European Society for Radiotherapy and Oncology (EHNS-ESMO-
ESTRO) ditahun 2020 (gambar 7). Panduan ini juga dikeluarkan pada kasus kanker
orofaring, hipofaring dan laring (Machiels et al., 2020).
12
Gambar 7. Managemen kanker rongga mulut (Machiels et al., 2020)
Setelah reseksi operasi, dapat muncul berbagai tanda patologis yang hal ini
membutuhkan radioterapi adjuvan. Tanda patologis yang tergolong risiko tinggi ialah
penyebaran tumor ekstranodul dan positive surgical margin. Tanda patologis lain
yakni tumor T3/T4, invasi perineural, invasi limfovaskular, adenopati leher dan
multipel tumor melibatkan nodus limfa servikal (N2b/N2c). Dosis konvensional ialah
1,8-2,0 Gy/fraksi, sekali sehari selama 5 hari dalam seminggu. Radiasi adjuvan dengan
atau tanpa kemoterapi berkisar 60-66 Gy untuk pasien berisiko tinggi dan 50-60 Gy
untuk risiko rendah dengan radiasi selama 6 minggu setelah reseksi (Wein, Weber.,
2021).
2.2. Kanker Kelenjar saliva
Kanker kelenjar saliva tergolong keganasan yang jarang ditemukan, sekitar 3%
kasus keganasan kepala dan leher (Sirjani et al., 2021). Insidensi dari tumor kelenjar
saliva bervariasi dari 0,3-8,58/100.000 penduduk (Meyer et al., 2021). Lokasi
tersering dari tumor saliva berada di kelenjar parotis (72,9%), kelenjar minor (14%),
kelenjar submandibular (10,7%), sublingual (0,3%) dan tidak diketahui (2,1%).
Meskipun tumor parotis menjadi tumor yang sering ditemukan, namun hanya 14,7%
tumor parotis merupakan keganasan. Sebagai perbandingan, meskipun tumor
sublingual hanya menyumbang 0,3% kasus, namun 85,7% tumor sublingual
merupakan kasus keganasan (Sirjani et al., 2021).
Etiologi dari kanker kelenjar saliva masih belum diketahui. Berbagai faktor
risiko yang diketahui berperan dalam tercetus kanker kelenjar saliva antara lain
paparan radiasi, infeksi virus (EBV dan HIV), imunosupresi, sinar UV, pekerjaan
(berhubungan industri nikel atau karet), riwayat medulloblastoma, riwayat karsinoma
sel basal, ekspresi reseptor androgen dan genetik. Pasien biasanya berobat dengan
keluhan adanya benjolan di regio kelenjar saliva. Keluhan lainnya dapat berupa nyeri,
kesulitan menelan, facial weakness, obstruksi nasal dan pendarahan (Young et al.,
2022). Berdasarkan pemeriksaan histopatologi yang paling sering ditemukan yakni
karsinoma mukoepidermoid (34%) dan karsinoma adenoid kistik (22%) (Sirjani et al.,
2021).
Peranan adjuvan radioterapi memiliki manfaat dalam memperbaiki survival
pada pasien dengan risiko tinggi (positive margins atau perluasan ekstrakapsular).
Pemberian adjuvan radioterapi ini diketahui memberikan manfaat lebih ketimbang
hanya menjalani operasi (Sirjani et al., 2021). Pemberian dosis radiasi pada kasus
13
kanker kelenjar saliva berkisar 54-60 Gy/27-30 fraksi/5-6 minggu (Dhingra et al.,
2018).
14
obstruksi nasal. Apabila kanker sudah stadium lanjut dapat menimbulkan keluhan
gangguan saraf seperti lumpuh saraf kranialis (Sinha, et al., 2021).
Panduan penanganan karsinoma nasofaring dapat dilihat pada gambar 8.
Panduan ini dikeluarkan oleh ESMO dan EURACAN (European Reference Network
on Rare Adult Solid Cancers) (Bossi et al., 2021). Radioterapi merupakan pilihan
manajemen untuk lesi loko-regional. Radioterapi efektif untuk semua kasus karsinoma
nasofaring (Shah et al., 2022). Dosis radiasi yang diberikan sebesar 70 Gy/35 fraksi/7
minggu bersamaan dengan kemoterapi mingguan (Dhingra et al., 2018).
15
Gejala awal dari kanker orofaring ialah nyeri tenggorok, pendarahan, disfagia
dan odinofagia, otalgia, perubahan suara seperti hot potato voice (Yarbrough et al.,
2022). Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan ulser atau memutih pada bagian
sepertiga posterior lidah, dinding posterior dan lateral faring, soft palate atau tonsil.
Biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti. Pemeriksaan HPV
direkomendasikan pada semua kasus kanker orofaring (Jamal, Anium., 2022).
Panduan penanganan kanker orofaring dapat dilihat pada gambar 9.
Penggunaan radioterapi pada kasus kanker orofaring dilakukan pada kasus stadium I
dan II, stadium III dan IV (sebelumnya dilakukan operasi atau ditambah bersama
kemoterapi), metastasis dan kanker rekuren (bila tumor tidak dapat diangkat
seluruhnya) (PDQ Adult Treatment Editorial Board., 2022). Dosis radiasi yang
diperlukan pada post-operatif 56-66 Gy, untuk kondisi concurrent chemoradiotherapy
sebesar 66-70 Gy/33-35 fraksi/7 minggu (Dhingra et al., 2018).
16
Faktor risiko utama dari kanker hipofaring adalah merokok dan konsumsi
alkohol. Faktor risiko lain yakni defisiensi nutrisi dan refluks gastroesofagus. Sekitar
50% pasien dengan kanker hipofaring mengalami pembesaran nodus limfatik yang
tidak nyeri. Gejala lain berupa disfagia, nyeri tenggorok, suara serak dan otalgia
dikarenakan keterlibatan cabang saraf kranial X (Casper et al., 2021).
Penanganan kanker hipofaring didasarkan dari stadiumnya (gambar 10),
apabila masih awal (T1/T2) dapat dilakukan radioterapi saja; apabila mencapai
stadium lanjut (T3/T4) dapat dilakukan reseksi tumor sebagian atau total
(laingofaringektomi) dengan post-operatif kemoradiasi. Dosis radiasi yang dapat
diberikan sebesar 56-66 Gy (radioterapi post-operatif) atau 66-70 Gy/33-35 fraksi/7
minggu untuk concurrent chemoradiotherapy (Dhingra et al., 2018; Sander, Pathak.,
2022).
17
pasti kasus kanker laring adalah dengan pemeriksaan biopsi (Koroulakis, Agarwal.,
2022).
Panduan penanganan kanker laring dapat dilihat pada gambar 11. Pada kasus
stadium awal kanker laring, umumnya cukup diterapi dengan satu modalitas yakni
radioterapi lokal atau operasi. Pada kasus T1-2N0 kanker glotis, radioterapi lokal atau
operasi direkomendasikan. Terapi pada kasus T1-2N0 kanker supraglotis hampir
serupa dengan kanker glotis. Pada kasus kanker laring stadium lanjut (T3-4N1-3)
memerlukan terapi kombinasi (Koroulakis, Agarwal., 2022). Dosis radiasi yang dapat
diberikan sebesar 56-66 Gy (radioterapi post-operatif) atau 66-70 Gy/33-35 fraksi/7
minggu untuk concurrent chemoradiotherapy (Dhingra et al., 2018).
18
Tabel 2. Pengobatan pada kanker kepala dan leher (Dhingra et al., 2018)
Lokasi Tumor Histologi Dosis radiasi Efek samping
Ear pinna dan BCC dan SCC 56-66 Gy/28-33 Nekrosis pinna,
kanal fraksi/5-6 minggu osteoradionekrosis tulang
auditorius temporal, OMSK, hilang
pendengaran, xerostomia
Rongga nasal SCC, karsinoma 66-70 Gy/ 33-35 fraksi/ Mata dan hidung kering,
dan sinus kistik adenoid, 6-7 minggu katarak, xerostomia
paranasal limfoma, melanoma
Nasofaring SCC, limfoma, 70 Gy/35 fraksi/ 7 Eritema, mata dan hidung
melanoma, minggu + kemoterapi kering, xerostomia
chordoma, sarkoma mingguan
Bibir dan rongga SCC, kistik adenoid RT definitif: 70 Gy/35 Eritema, trismus, mukositis,
mulut dan karsinoma fraksi/7 minggu karies gigi, xerostomia
mukoepidermoid RT post-operatif: 56-66
Gy ± kemoterapi
Orofaring SCC, kistik RT post-eporasi: 56-66 Mukositis, infeksi mulut,
adenoid, NHL, Gy disfagia, trismus, nekrosis
adenokarsinoma CCRT: 66-70 Gy /33-35 gigi, xerostomia
fraksi/7 minggu
Laring dan SCC, limfoma RT post-operatif: 56-66 Mukositis, suara serak,
hipofaring Gy disfagia,
CCRT: 66-70 Gy / 33-
35 fraksi/7 minggu
Kelenjar saliva Mukoepidermoid, 54-60 Gy/27-30 Xerostomia, eritema,
karsinoma adenoid fraksi/5-6 minggu mukositis
kistik
19
Berbagai efek samping dikarenakan radiasi pada jaringan yang cepat
membelah seperti kulit, mukosa dan sumsum tulang maka diperlukan manajemen atau
penanganan yang diringkas pada tabel 3.
20
mengunyah dan penyakit gigi
bicara
Fibrosis Terasa kaku, Radiasi Striktur esofagus, Fisioterapi, laser
terbatas pada memicu trismus, migrain, eksternal
leher inflamasi, disfungsi sendi
vaskularisasi temporomandibular
buruk dan
scarring
Trismus Susah Fibrosis otot Gangguan Modifikasi diet,
membuka mulut mastikasi mengunyah, sulit swallow
berbicara, sulit retraining
dalam merawat
mulut
Kerusakan mata Katarak, Radiasi Kehilangan Triamsinolon,
retinopati menyerang penglihatan oksigen
lensa dan hiperbarik,
retina mata fotodinamik
Limfedema Wajah dan leher Fibrosis Scarring, sulit Drainase limfe
bengkak, nyeri internal bernapas, kongesti, manual, kompresi
berkurang gerakan dengan bandage
leher, nyeri telinga,
susah menelan dan
berbicara
Gangguan Nyeri, hilang Kerusakan Memburuknya Antinyeri, terapi
neurologis memori, gejala saraf akibat gejala, gangguan fisik, akupuntur,
seperti stroke, radiasi kualitas hidup dan antidepresan
transverse kapasitas bekerja
myelitis,
neuropati,
hipotensi
postural
21
22
III. KESIMPULAN
Kasus keganasan kepala dan leher termasuk kedalam urutan ketujuh sebagai
kanker dengan jumlah kasus terbanyak didunia. Keluhan pada pasien dengan
keganasan kepala dan leher sangat bervariasi bergantung dari lokasi tumor berasal.
Berbagai terapi dapat dilakukan untuk menangani kanker kepala dan leher, salah
satunya yakni radioterapi. Radioterapi sering digunakan untuk pasien pada stadium
awal, pasien yang menolak operasi dan pasien yang bukan kandidat untuk dioperasi.
Penggunaan radioterapi sering diberikan bersama terapi lainnya seperti kemoterapi
ataupun operasi. Penggunaan terapi kombinasi ini juga semakin meningkat pada
beberapa negara khususnya pada kasus kanker kepala dan leher. Dosis radiasi yang
diberikan pada kasus kanker kepala dan leher berbeda-beda jenis keganasan kepala
dan leher.
23
DAFTAR PUSTAKA
Bossi, P., Chan, A.T., Licitra, L., Trama, A., Orlandi, E., Hui, E.P., et al. (2021).
Nasopharyngeal carcinoma: ESMO-EURACAN Clinical Practice Guidelines for
diagnosis, treatment and follow-up. Annals of oncology : official journal of the
European Society for Medical Oncology, 32 (4), 452-465. Doi:
10.1016/j.annonc.2020.12.007
Bracigliano, A., Tatangelo, F., Perri, F., Di Lorenzo, G., Tafuto, R., Ottaiano,
A., et al. (2021). Malignant Sinonasal Tumors: Update on Histological and Clinical
Management. Current oncology (Toronto, Ont.), 28(4), 2420–2438.
https://doi.org/10.3390/curroncol28040222
Brook, I. (2020). Late side effects of radiation treatment for head and neck
cancer. Radiation oncology journal, 38(2), 84–92.
https://doi.org/10.3857/roj.2020.00213
Casper, K., Mierzwa, M., Hawkins, P. Radiotherapy and Chemotherapy of
Squamous Cell Carcinoma of the Hypopharynx and Esophagus. In: Flint, P.W.,
Francis, H.W., Haughey, B.H., Lesperance, M.M., Lund, V.J., Robbins, K.T., Thomas,
J.R. (2021). Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 7th ed: Philadelphia:
Elsevier
Chmiel, E., Murphy, A. Fractionation (radiation therapy). Reference article,
Radiopaedia.org. (accessed on 17 Jul 2022) https://doi.org/10.53347/rID-71384
Cooper, J.S., Porter, K., Mallin, K., Hoffman, H.T., Weber, R.S., Ang, K.K. et
al. (2009). National Cancer Database Report on Cancer of the Head and Neck: 10 Year
Update. Head Neck, 31(6): 748-58. Doi: 10.1002/hed.21022
Dhanuthai, K., Rojanawatsirivej, S., Thosaporn, W., Kintarak, S., Subarnbhesaj,
A., Darling, M., et al. (2018). Oral cancer: A multicenter study. Medicina oral,
patologia oral y cirugia bucal, 23(1), e23–e29. https://doi.org/10.4317/medoral.21999
Dhingra, P.L., Dhingra, S. (2018). Diseases of Ear, Nose and Throat & Head
and Neck Surgery. 7th ed, New Delhi: Elsevier
Duvvuri, U., Kubicek, G.J. Principles of Radiation Oncology. In: Johnson, J.T.,
Rosen, C.A. (2013). Bailey’s Head and Neck Surgery: Otolaryngology. 5th ed.
24
Gong, L., Zhang, Y., Liu, C., Zhang, M., & Han, S. (2021). Application of
Radiosensitizers in Cancer Radiotherapy. International journal of nanomedicine, 16,
1083–1102. https://doi.org/10.2147/IJN.S290438
Huh, S. J., Park, W., & Choi, D. H. (2019). Recent trends in intensity-modulated
radiation therapy use in Korea. Radiation oncology journal, 37(4), 249–253.
https://doi.org/10.3857/roj.2019.00577
Jamal, Z., Anjum, F. (2022). Oropharyngeal Squamous Cell Carcinoma.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563268/ [accessed 19 July
2022]
Koroulakis, A., Agarwal, M. (2022). Laryngeal Cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526076/ [accessed 19 July 2022]
Liu, Y. P., Zheng, C. C., Huang, Y. N., He, M. L., Xu, W. W., & Li, B. (2021).
Molecular mechanisms of chemo- and radiotherapy resistance and the potential
implications for cancer treatment. MedComm, 2(3), 315–340.
https://doi.org/10.1002/mco2.55
Machiels, J. P., René Leemans, C., Golusinski, W., Grau, C., Licitra, L.,
Gregoire, V. (2020). Squamous cell carcinoma of the oral cavity, larynx, oropharynx
and hypopharynx: EHNS-ESMO-ESTRO Clinical Practice Guidelines for diagnosis,
treatment and follow-up. Annals of oncology : official journal of the European Society
for Medical Oncology, 31(11), 1462–1475.
https://doi.org/10.1016/j.annonc.2020.07.011
Madan, R. Radiosensitizers and Radioprotectors. In: Mallick, S., Rath, G.K.,
Benson, R (eds). (2020). Practical Radiation Oncology. New Delhi: Springer Nature
Majeed, N., Gupta, V. (2021). Adverse effects of radiation therapy. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563259/ [accessed 16 July 2022]
Mehta, S. R., Suhag, V., Semwal, M., & Sharma, N. (2010). Radiotherapy: Basic
Concepts and Recent Advances. Medical journal, Armed Forces India, 66(2), 158–
162. https://doi.org/10.1016/S0377-1237(10)80132-7
Meyer, M. T., Watermann, C., Dreyer, T., Ergün, S., & Karnati, S. (2021). 2021
Update on Diagnostic Markers and Translocation in Salivary Gland
Tumors. International journal of molecular sciences, 22(13), 6771.
https://doi.org/10.3390/ijms22136771
25
Nathania, N., Dewi, Y.A., Permana, A.D. (2020). Profile of head and neck
cancer patients from 2013-2018 at Dr.Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
ORLI, 51(2), 141-145
National Cancer Institute. (2019). Radiation Therapy to Treat Cancer. Available
from: https://www.cancer.gov/about-cancer/treatment/types/radiation-therapy
[accessed 15 July 2022]
O’Handley, J. G., Tobin, E. J., & Shah, A. R. (2012).
Otorhinolaryngology. Textbook of Family Medicine, 300–342.
https://doi.org/10.1016/B978-1-4377-1160-8.10019-3
PDQ Adult Treatment Editorial Board. (2022). Oropharyngeal Cancer Treatment
(Adult) (PDQ). Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK65723/
[accessed 19 July 2022]
PERHATI-KL (Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorok
Bedah Kepala Leher). (2015). Modul VII.2 Prinsip Radioterapi Keganasan Kepala
Leher.
Pinkas, W., Jankowski, M., & Wierzba, W. (2022). Awareness of Head and
Neck Cancers: A 2021 Nationwide Cross-Sectional Survey in Poland. Journal of
clinical medicine, 11(3), 538. https://doi.org/10.3390/jcm11030538
Popovtzer, A., Eisbruch, A. Radiotherapy for Head and Neck Cancer: Radiation
Physics, Radiobiology, and Clinical Principles. In: Flint, P.W., Haughey, B.H.,
Lesperance, M.M., Lund, V.J., Robbins, K.T., Thomas, J.R. (2021). Cummings
Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 7th ed. Philadelphi: Elsevier
Putra, I.G.A.M.S., Setiawan, I.G.B. (2018). Angka kejadian kanker rongga
mulut pada pasien Di RSUP Sanglah dengan riwayat merokok dan minum minuman
beralkohol dalam periode januari 2015 – juni 2016. E-Jurnal Medika, 7(1), 33-36
Sanders, O., Pathak, S. (2022). Hypopharyngeal Cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567720 [accessed 19 July 2022]
Schlichting, J. A., Pagedar, N. A., Chioreso, C., Lynch, C. F., & Charlton, M. E.
(2019). Treatment trends in head and neck cancer: Surveillance, Epidemiology, and
End Results (SEER) Patterns of Care analysis. Cancer causes & control : CCC, 30(7),
721–732. https://doi.org/10.1007/s10552-019-01185-z
Shah, J.P., Patel, S.G., Singh, B., Wong, R.J. (2020). Jatin Shah’s Head and
Neck Surgery and Oncology. 7th ed. Philadelphia: Elsevier
26
Shah, A.B., Zulfiqar, H., Nagalli, S. (2022). Nasopharyngeal Carcinoma.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554588/ [accessed 18 July
2022]
Shirazi, N., Bist, S. S., Selvi, T. N., & Harsh, M. (2015). Spectrum of Sinonasal
Tumors: A 10-year Experience at a Tertiary Care Hospital in North India. Oman
medical journal, 30(6), 435–440. https://doi.org/10.5001/omj.2015.86
Sinha, S., Gajra, A. (2021). Nasopharyngeal cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459256/ [accessed 18 July 2022]
Sirjani, D.B., Lewis, J.S., Beadle, B.M., Sunwoo, J.B. Malignant Neoplasm of
the Salivary Glands. In: Flint, P.W., Francis, H.W., Haughey, B.H., Lesperance, M.M.,
Lund, V.J., RObbins, K.T., Thomas, J.R. (2021). Cummings Otolaryngology: Head
and Neck Surgery. 7th ed: Philadelphia: Elsevier
Stepien, K., Ostrowski, R. P., & Matyja, E. (2016). Hyperbaric oxygen as an
adjunctive therapy in treatment of malignancies, including brain tumours. Medical
oncology (Northwood, London, England), 33(9), 101. https://doi.org/10.1007/s12032-
016-0814-0
Sung, H., Ferlay, J., Siegel, R.L., Laversanne, M., Soerjomataram, I., Jemal, A.,
Bray, F. (2021). Global Cancer Statistics 2020: GLOBOCAN Estimates of Incidence
and Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. Ca: a Cancer Journal for
Clinician, 71(3), 209-249. Doi: 10.3322/caac.21660
Walter, C., Brar, S., Pepper, T. (2022). Oral Mucosa Cancer. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK565867/ [accessed 18 July 2022]
Wein, R.O., Weber, R.S. Malignant Neoplasm of the Oral Cavity. In: Flint,
P.W., Francis, H.W., Haughey, B.H., Lesperance, M.M., Lund, V.J., RObbins, K.T.,
Thomas, J.R. (2021). Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 7th ed:
Philadelphia: Elsevier
Yarbrough, W.G., Zanation, A., Patel, S., Mehra, S. Head and Neck. In:
Townsend, C.M., Beauchamp, R.D., Evers, B.M., Mattox, K.L. (2022). Sabiston
Textbook of Surgery. 21st ed. Philadelphia: Elsevier
Young, A., Okuyemi, O.T. (2022). Malignant Salivary Gland Tumors. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK563022/ [accessed 18 July 2022]
27