Anda di halaman 1dari 5

ESSAY ONKOLOGI RADIASI

dr. Dio Pratama


CPPDS Onkologi Radiasi
Periode Januari 2024

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
penduduk yang sangat banyak, sejumlah 273 juta jiwa pada tahun 2021. Jumlah tersebut
berbanding lurus dengan jumlah fasilitas Kesehatan yang ada di Indonesia. Menurut data
Kemenkes tahun 2018, fasilitas Kesehatan di Indonesia terdiri dari sekitar 9.993 puksesmas,
8.841 klinik, dan 2.724 rumah sakit. Hampir semua penanganan kasus kanker di Indonesia
bertumpu pada fasilitas kesehatan tersebut, mulai dari puskesmas hingga rumah sakit
Rujukan tersier yang mampu melakukan radioterapi.
Kanker adalah salah satu penyakit tidak menular dengan jumlah pasien terbanyak di
dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2018, jumlah penderita kanker di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Dari
prevalensi 1,4 kasus per 1000 penduduk pada tahun 2013, menjadi 1,8 kasus per 1000
penduduk pada tahun 2018. Hal ini juga sebanding dengan biaya untuk penangan pasien
kanker oleh BPJS Kesehatan, yang mencapai 4,15 triliun rupiah pada tahun 2019. Hal ini
merupakan bukti bahwa kanker adalah salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia.
Salah satu terapi utama untuk pasien kanker adalah radioterapi.
Radioterapi adalah modalitas terapi yang menggunakan radiasi pengion untuk
pengobatan kanker. Tujuan penggunaan radioterapi adalah untuk memberikan dosis radiasi
maksimal yang diperlukan untuk merusak atau membunuh sel kanker, tanpa mengganggu
jaringan normal di sekitarnya. Radioterapi mempengaruhi sel kanker dengan cara merusak
DNA dari sel, yang akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan pembelahan sel
kanker tersebut (Washington, 2017). Radioterapi juga merupakan salah satu komponen utama
dalam pegobatan kanker yang memerlukan kolaborasi multidisipliner.

Perkembangan radioterapi di Indonesia saat ini


Dalam sejarahnya, menurut Gondhowiardjo et. al. (2019), Indonesia membuka center
radioterapi dengan pesawat LINACS pertama pada tahun 1982, kemudian diikuti beberapa
center lain dan juga pembukaan rumah sakit kanker nasional. Namun, perkembangan
radioterapi ini sempat terhambat karena krisis ekonomi tahun 1998. Pada tahun 1998, hanya
ada 20 center radioterapi untuk melayani 200 juta jiwa masyarakat Indonesia. Tapi dengan
advokasi dari Indonesian Radiation Oncology Society (IROS), perkembangan ini kembali
berlanjut pada tahun 2010. Bersamaan dengan transformasi pelayanan dari radioterapi 2D
menjadi 3D, dan juga perkembangan teknologi Intensity-modulated Radiation Therapy
(IMRT).
Menurut data dari IROS, pada akhir tahun 2020 hanya 16 dari 34 provinsi di
Indonesia yang memiliki akses kepada pelayanan radioterapi. Dari 47 center radioterapi yang
ada, jumlah pesawat radioterapi megavoltage di Indonesia sebanyak 82 pesawat, yang terdiri
dari 60 pesawat LINACS, 21 pesawat kobalt, dan 1 pesawat tomotherapy. Padahal menurut
perhitungan IROS, Indonesia membutuhkan 265-427 pesawat megavoltage untuk bisa
memberikan pelayanan ideal kepada semua pasien kanker di seluruh Indonesia. Dari angka
tersebut, dapat disimpulkan bahwa saat ini hanya 31% kebutuhan radioterapi di Indonesia
yang terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah fasilitas radioterapi di Indonesia masih
belum mencapai jumlah ideal.
Tapi melihat upaya oleh pemerintah yang mengutamakan pelayanan penyakit tidak
menular, salah satunya adalah kanker, maka diharapkan bahwa perkembangan radioterapi di
Indonesia dapat lebih baik lagi. Didukung dengan teknologi radioterapi yang semakin
berkembang, seperti Intensity-modulated Radiation Therapy (IMRT), Image-guided
Radiation Therapy (IGRT), Volumetric Modulation Arc Therapy (VMAT), dan Helical
Tomotherapy, diharapkan pelayanan radioterapi bagi pasien dapat semakin baik dan semakin
merata untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Perbandingan teknologi radioterapi di Indonesia dan di luar negeri saat ini


Perbedaan dari teknologi radioterapi di Indonesia dan luar negeri adalah sebuah hal
yang patut menjadi perhatian. Beberapa center di luar negeri, seperti Eropa, telah mulai
berfokus pada penggunaan Particle Therapy. Apa yang membedakan Particle Therapy
dengan radioterapi menggunakan foton yang banyak digunakan di Indonesia?
Particle therapy adalah penggunaan partikel dengan Linear Energy Transfer (LET)
yang tinggi, seperti proton dan ion karbon, untuk diarahkan kepada sel kanker. Hal ini adalah
salah satu jenis terbaru dari radioterapi yang membuka kesempatan lebih lanjut untuk
meningkatkan perawatan dan penelitian untuk kanker. Salah satu keunggulan dari partikel
dengan LET tinggi adalah dapat melepaskan energi yang tinggi pada sel tumor, tanpa banyak
memepengaruhi jaringan sehat di sekitarnya. Penggunaan partikel dengan LET tinggi ini juga
tidak membutuhkan banyak berkas sinar, karena dengan jumlah sinar yang lebih sedikit
dibandingkan dengan terapi foton, energi yang dilepaskan ke dalam sel sudah mencukupi.
Karena hal itu juga, particle therapy dapat mengurangi efek toksisitas pada pasien. Pada
beberapa kasus tumor yang radioresisten seperti kordoma dan kondrosarkoma, penggunaan
proton juga menghasilkan efek yang superior dibandingkan dengan penggunaan foton
(Durante, M. dan Paganetti, H., 2016).
Tetapi, particle therapy juga memiliki beberapa kekurangan yang menyebabkan
penggunaannya belum bisa dilakukan secara luas. Menurut Grau et. al (2020), penggunaan
proton dan ion karbon hanya bisa diberikan pada kanker jenis tertentu. Biaya yang digunakan
juga akan lebih besar dibandingkan dengan radioterapi menggunakan foton. Terlebih lagi,
masih diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk membuktikan bahwa
particle therapy memiliki profil klinis yang lebih baik dibandingkan dengan radioterapi
menggunakan foton.
Untuk saat ini, teknologi particle therapy belum terlalu populer di Indonesia karena
biaya yang sangat tinggi. Dan untuk saat ini, Indonesia lebih berfokus dalam pemerataan dan
peningkatan jumlah fasilitas radioterapi di seluruh wilayah Indonesia menggunakan
radioterapi foton.

Perkembangan pengobatan kanker saat ini dan masa depan


Saat ini mayoritas pengobatan pasien kanker di Indonesia masih menggunakan 2 jenis
modalitas, yaitu bedah dan kemoterapi. Radioterapi masih terbatas dan belum bisa
menjangkau seluruh Indonesia. Di sisi lain, kesadaran masyarakat Indonesia tentang deteksi
dini dan pencegahan kanker juga masih rendah. Beberapa faktor tersebut yang pada akhirnya
membuat penanganan pasien kanker di Indonesia belum optimal. Hal ini sangat berbeda jika
dibandingkan dengan pengobatan kanker di luar negeri, yang sudah lebih merata dan optimal.
Dari sisi modalitas pengobatan, negara lain juga sudah mulai menggunakan 2 jenis terapi
yang lebih modern, yaitu immunotherapy dan targeted therapy.
Immunotherapy adalah pengobatan kanker yang menggunakan sistem imun tubuh
untuk melawan kanker. Jika pengobatan kanker sebelumnya lebih berfokus untuk
melemahkan sel kanker secara langsung, maka immunotherapy ini berfokus untuk
mengaktifkan dan menguatkan respon alami imun tubuh untuk melawan sel kanker. Salah
satu jenis obat yang digunakan adalah immune checkpoint inhibitor (ICI), yang akan
menargetkan molekul yang melemahkan system tubuh. ICI akan membuat imun tubuh
menjadi teraktivasi dan lebih kuat untuk melawan sel kanker (Esfahani et. Al, 2020). Obat
jenis lain adalah Adoptive Cell Therapy (ACT), yang dalam prosesnya akan bekerja
menggunakan sel imun spesifik terhadap sel kanker. Obat ini akan memodifikasi sel imun
dalam tubuh pasien untuk mengeluarkan reseptor yang akan mengenali molekul spesifik
dalam sel kanker, dan akhirnya akan membuat sel imun aktif untuk melawan sel kanker
tersebut. Contoh obat golongan ini adalah Ipilimumab, Pembrolizumab, dan Atezolizumab
(Roschewski et. al., 2020).
Targeted therapy adalah terapi kanker yang menggunakan obat untuk menghambat
enzim spesifik, reseptor growth factor, dan signal transducer pada sel kanker, yang pada
akhirnya mempengaruhi proses intrasel pada sel kanker. Terapi ini akan mempengaruhi
beberapa jalur dalam sel kanker, seperti RAS–RAF–MEK pathway dan PI3K–AKT–mTOR
pathway. Contoh obat golongan ini adalah Everolimus, Dabrafenib, dan Erlotinib
(Tsimberidou, 2015).
Dalam pengembangan ke depan, dapat ditemukan obat-obat jenis baru dalam 2
kategori pengobatan tersebut, ataupun dapat menggabungkan kedua pengobatan tersebut
untuk mendapat efek yang lebih maksimal dalam pengobatan kanker. Karena kedua golongan
terapi tersebut dapat bersinergi untuk mendapatkan efek yang lebih maksimal. Walaupun,
masih diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut terkait efek sinergi dari kedua
obat ini.
Kombinasi dari immunotherapy dan radioterapi juga terbukti untuk meningkatkan efikasi dari
immunotherapy, tetapi penelitian dan pengembangan lebih lanjut masih dibutuhkan untuk
modalitas terapi ini (Jayalie, V.F. dan Nuryadi, E., 2022)

Pengalaman menangani keluarga dengan penyakit kanker/terminal.


Secara pribadi, saya punya pengalaman dalam mendampingi dan merawat keluarga
yang kemungkinan mengidap ca cervix. Kejadian ini bermula pada sekitar tahun 2011, saat
itu saya masih duduk di bangku SMP. Nenek saya yang berusia sekitar 60 tahun mulai
mengalami keluhan-keluhan yang tidak diketahui penyebabnya, dan keluhan tersebut sering
sekali muncul. Mulai dari nyeri perut, nyeri kepala, dan yang paling sering adalah sesak
nafas. Hal ini menyebabkan gangguan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga orang
tua saya mengajak nenek untuk tanggal bersama kami sehingga bisa memudahkan perawatan.
Selama tanggal dengan kami, nenek sudah kami periksakan ke beberapa dokter, mulai
dari dokter paru, dokter Penyakit dalam, dokter bedah, hingga dokter saraf. Dan dari semua
dokter itu, tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti tentang penyebab dari keluhan
yang dirasakan nenek. Walaupun sudah minum obat dan kontrol secara rutin, keluhan
tersebut tetap saja muncul dan intensitasnya semakin sering sehingga sangat mempengaruhi
aktivitas nenek sehari-hari. Dokter-dokter yang merawat nenek sudah menyarankan untuk
pemeriksaan xray dan CT scan kepala, tapi nenek menolak. Hal tersebut karena nenek mulai
merasa lelah untuk berobat. Nenek yang awalnya merupakan seseorang yang riang dan penuh
semangat, lama-kelamaan menjadi seseorang yang murung dan tidak bertenaga. Selama
tinggal bersama kami, nenek menjadi orang yang berbeda jauh dengan nenek yang dulu saya
kenal. Walaupun sudah diberi motivasi oleh kakek dan kedua orang tua saya, nenek tetaplah
murung.
Pada awal tahun 2012, gejala sesak yang dirasakan nenek semakin parah sehingga
nenek harus rawat inap di rumah sakit. Setelah dilakukan xray dan CT scan thorax, ternyata
ditemukan efusi pleura bilateral dan bercak-bercak di kedua lapang paru nenek. Hal tersebut
membuat dokter paru yang merawat nenek curiga bahwa temuan ini merupakan akibat dari
suatu metastasis. Setelah mendengar informasi tersebut, kakek dan nenek memutuskan untuk
tidak melanjutkan pengobatan yang selama ini telah dilakukan. Kami sudah berusaha dan
memberikan motivasi untuk melanjutkan pengobatan, tetapi beliau tetap teguh dengan
pendiriannya.
Karena kami merasa sudah tidak bisa lagi membujuk nenek untuk melanjutkan
pengobatan, akhirnya kami hanya bisa memberikan perawatan untuk mengurangi gejala yang
dirasakan oleh nenek. Semakin lama, nenek semakin lemah. Dan pada beberapa bulan
terakhir, nenek hanya bisa tertidur lemah di tempat tidur ditemani kakek di sampingnya. Lalu
seperti yang kami takutkan sejak awal, pada suatu pagi di bulan Agustus 2012 nenek tidak
bisa dibangunkan dari tidur lelapnya.
Pada riwayatnya, ternyata nenek pernah menjalani operasi total histerektomi beberapa
tahun sebelumnya karena masalah yang tidak saya ketahui. Tapi setelah operasi tersebut,
nenek sudah tidak pernah bercerita terhadap keluarga yang lain. Dari hal tersebut, kedua
orang tua saya mencurigai bahwa nenek saya mengidap ca cervix.
Dari pengalaman tersebut saya bisa menyimpulkan, bahwa kanker adalah masalah
yang kompleks, baik dari segi medis maupun psikologis. Bagaimana melelahkannya
seseorang untuk berobat dan mencari kesembuhan. Bagaimana seseorang yang awalnya ceria
dan penuh semangat, bisa menjadi seseorang yang murung dan tidak bertenaga. Bagaimana
beratnya menjadi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, saya memiliki harapan agar
bisa berkontribusi lebih banyak dalam pengobatan dan penanganan kanker melalui bidang
onkologi radiasi.
DAFTAR PUSTAKA

Billan, S., Kaidar-Person, O. dan Gil, Z., 2020. Treatment after progression in the era of
immunotherapy. The Lancet Oncology, 21(10), pp.e463-e476.

Durante, M. dan Paganetti, H., 2016. Nuclear physics in particle therapy: a review. Reports
on Progress in Physics, 79(9), p.096702.

Esfahani, K., Roudaia, L., Buhlaiga, N.A., Del Rincon, S.V., Papneja, N. and Miller, W.H.,
2020. A review of cancer immunotherapy: from the past, to the present, to the future. Current
Oncology, 27(s2), pp.87-97.

Gondhowiardjo, S., Sekarutami, S.M., Giselvania, A., Octavianus, S. dan Assegab, M.I.,
2019. Improving access to radiation therapy in Indonesia. Appl Rad Oncol, 8, pp.17-21.

Grau, C., Durante, M., Georg, D., Langendijk, J.A. dan Weber, D.C., 2020. Particle therapy
in Europe. Molecular oncology, 14(7), pp.1492-1499.

Jayalie, V.F. dan Nuryadi, E., 2022. Combination of Adoptive Cell Therapy and
Radiotherapy in Cancer Management. Radioterapi & Onkologi Indonesia, 13(1).

Octavianus, S. dan Gondhowiardjo, S., 2022. Radiation therapy in Indonesia: estimating


demand as part of a national cancer control strategy. Appl Radiat Oncol, 11, pp.35-42.

Roschewski, M., Longo, D.L. dan Wilson, W.H., 2022. Chimeric Antigen Receptor T-cell
Therapy for Large B-cell Lymphoma: Who, When, and How?. The New England journal of
medicine, 386(7), p.692.

Tsimberidou, A.M., 2015. Targeted therapy in cancer. Cancer chemotherapy and


pharmacology, 76, pp.1113-1132.

Washington, C.M. dan Leaver, D.T., 2017. Principles and practice of radiation therapy-e-
book. Elsevier Health Sciences.

Anda mungkin juga menyukai