Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proteksi radiasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan

dengan teknik kesehatan lingkungan yaitu tentang proteksi yang perlu diberikan

kepada seseorang atau kelompok orang terhadap kemungkinan diperolehnya

akibat negatif dari radiasi pengion, sementara kegiatan yang diperlukan dalam

pemakaian sumber radiasi pengion masih tetap dapat dilaksanakan. Akibat negatif

ini disebut somatik apabila diderita oleh orang yang terkena radiasi, dan disebut

somatik genetik apabila dialami oleh keturunannya. Masalah utama dalam

proteksi radiasi pada penerimaan dosis rendah adalah penyakit kanker yang

merupakan resiko somatik stokastik pada dosis rendah. Untuk membatasi peluang

terjadinya efek stokastik, maka perlu adanya keselamatan radiasi.

Kateterisasi jantung adalah istilah umum yang digunakan untuk rangkaian

prosedur pencitraan untuk memasukkan kateter kedalam bilik atau pembuluh

darah jantung. Pada saat kateter berada di posisi yang telah ditentukan, maka alat

tesebut dapat digunakan untuk melaksanakan sejumlah prosedur pemeriksaan

lebih lanjut dan terapi seperti angiografi koroner (coronary angiography),

angioplasti (angioplasty) dan pemasangan katub buatan (balloon valvuloplasty).

Dalam memasukkan kateterisasi harus ada tindakan radiologi intervensional,

tindakan tersebut juga membutuhkan kehadiran dokter spesialis radiologi

intervensi (Sp. Rad) dan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (Sp. JP)
atau personil yang berada dekat dengan pasien dan sinar-x. Ada fenomena

menarik, IAEA sekarang mengeluarkan terminology baru untuk menggantikan

istilah radiologi intervensional, yaitu fluoroskopi intervensional. Oleh karena itu

proteksi radiaisi pada petugas yang terlibat dalam tindakan sangatlah perlu

dilakukan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkatnya ke

dalam proposal karya tulis ilmiah yang berjudul “PROTEKSI RADIASI

TERHADAP PETUGAS PADA PEMERIKSAAN CATH LAB DI

INSTALASI KATETERISASI JANTUNG RUMAH SAKIT UMUM dr.

ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH.”

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana penerapan proteksi radiasi terhadap petugas di instalasi

kateterisasi jantung

1.2.2 Apakah petugas sudah menerapkan proteksi radiasi sesuai standar

operasional prosedur?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Ingin mengetahui apakah penerapan proteksi radiasi sudah baik atau

belum pada petugas sesuai standar operasional prosedur?

1.3.2 ingin mengetahui sejauh mana proteksi radiasi di instalasi kateterisasi

jantung.
1.3.3 ingin mengetahui bagaimana petugas melindungi diri terhadap radiasi

sesuai atau tidak dengan standar operasional prosedur

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Bagi peneliti

Sebagai pengetahuan baru dalam menambah wawasan dan pengetahuan

kepada penulis mengenai pentingnya proteksi radiasi terhadap peneliti,

pasien maupun lingkungan dalam tindakan kateterisasi

1.4.2 Bagi petugas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan saran

yang berguna bagi petugas cathlab dan radiografer pada khususnya

mengenai penting nya memproteksi diri dari radiasi untuk menjaga

kesehatan dan keselamatan

1.4.3. Bagi institusi

Hasil penelitian ini dapat menambah kepustakaan dan referensi

mengenai proteksi radiasi terhadap petugas di instalasi kateterisasi

jantung

1.4.4 Bagi umum

Manfaat bagi umum ialah sebagai sarana yang bermanfaat bagi

masyarakat mengenai pentingnya proteksi diri dan lebih waspada

terhadap radiasi
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Radiasi

Radiasi adalah gelombang elektromagnetik dan partikel bermuatan yang

karena energi yang dimilikinya mampu mengionisasi media yang dilaluinya.

(BAPETEN, 2010)

Radiasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana energi dilepaskan oleh

atom-atom. Radiasi ini biasanya diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni

Radiasi korpuskuler (corpuscular radiation), adalah suatu pancaran atau aliran dari

atom-atom dan atau partikel-partikel sub-atom, yang mempunyai kemampuan

untuk memindahkan energi geraknya atau energi kinektiknya (kinetic energy) ke

bahan-bahan yang mereka tumbuk/bentur. Radiasi Elektromagnetis adalah suatu

pancaran gelombang (gangguan medan elektris dan magnetis) yang bisa

menyebabkan perubahan struktur dalam atom dari bahan-bahan yang dilaluinya

(Amsyari, 1989).

2.2 Jenis Radiasi

Secara garis besar radiasi digolongkan ke dalam radiasi pengion dan radiasi

non-pengion, (BATAN, 2008).

2.2.1 Radiasi pengion

Radiasi pengion adalah jenis radiasi yang dapat mengionisasi atom-atom

atau materi yang dilaluinya. karena terjadi proses ionisasi ini maka pada materi
yang dilalui radiasi akan terbentuk pasangan ion positif dan negatif. Apabila

berinteraksi dengan materi. Yang termasuk dalam jenis radiasi pengion adalah

partikel alpha, partikel beta, sinar gamma, sinar-X dan neutron. Setiap jenis

radiasi memiliki karakteristik khusus. Yang termasuk radiasi pengion adalah

partikel alfa (α), partikel beta (β), sinar gamma (γ), sinar-X, partikel neutron

(Akhadi, 2000).

2.2.2 Radiasi Non Pengion

Radiasi non-pengion adalah jenis radiasi yang tidak akan menyebabkan

efek ionisasi apabila berinteraksi dengan materi. Radiasi non-pengion tersebut

berada di sekeliling kehidupan kita. Yang termasuk dalam jenis radiasi non-

pengion antara lain adalah gelombang radio (yang membawa informasi dan

hiburan melalui radio dan televisi); gelombang mikro (yang digunakan dalam

microwave oven dan transmisi seluler handphone); sinar inframerah (yang

memberikan energi dalam bentuk panas); cahaya tampak (yang bisa kita lihat);

sinar ultraviolet (yang dipancarkan matahari).

2.3 Efek Radiasi

Efek radiasi dapat dibedakan atas :

1. Berdasarkan jenis sel yang terkena paparan radiasi

Sel dalam tubuh manusia terdiri dari sel genetic dan sel somatic. Sel

genetic adalah sel telur pada perempuan dan sel sperma pada laki-laki,
sedangkan sel somatic adalah sel-sel lainnya yang ada dalam tubuh

(BATAN, 2000).

Berdasarkan jenis sel, maka efek radiasi dapat dibedakan atas

a. Efek Genetik (non-somatik) atau efek pewarisan adalah efek yang

dirasakan oleh keturunan dari individu yang terkena paparan radiasi.

b. Efek Somatik adalah efek radiasi yang dirasakan oleh individu yang

terpapar radiasi. Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala

efek somatik sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan atas :

1) Efek segera adalah kerusakan yang secara klinik sudah dapat

teramati pada individu dalam waktu singkat setelah individu

tersebut terpapar radiasi, seperti epilasi (rontoknya rambut),

eritema (memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah

sel darah. Kerusakan tersebut terlihat dalam waktu hari sampai

mingguan pasca iradiasi.

2) Efek tertunda merupakan efek radiasi yang baru timbul setelah

waktu yang lama (bulanan/tahunan) setelah terpapar radiasi,

seperti katarak dan kanker.

2. Berdasarkan dosis radiasi

Bila ditinjau dari dosis radiasi (untuk kepentingan proteksi radiasi),

efek radiasi dibedakan atas efek stokastik dan efek deterministic (non-

stokastik).
Efek Stokastik adalah efek yang penyebab timbulnya merupakan fungsi

dosis radiasi dan diperkirakan tidak mengenal dosis ambang. Efek ini terjadi

sebagai akibat paparan radiasi dengan dosis yang menyebabkan terjadinya

perubahan pada sel. Radiasi serendah apapun selalu terdapat kemungkinan

untuk menimbulkan perubahan pada sistem biologik, baik pada tingkat

molekul maupun sel. Dengan demikian radiasi dapat pula tidak membunuh

sel tetapi mengubah sel, sel yang mengalami modifikasi atau sel yang

berubah ini mempunyai peluang untuk lolos dari sistem pertahanan tubuh

yang berusaha untuk menghilangkan sel seperti ini. Semua akibat proses

modifikasi atau transformasi sel ini disebut efek stokastik yang terjadi

secara acak. Efek stokastik terjadi tanpa ada dosis ambang dan baru akan

muncul setelah masa laten yang lama. Semakin besar dosis paparan,

semakin besar peluang terjadinya efek stokastik, sedangkan tingkat

keparahannya tidak ditentukan oleh jumlah dosis yang diterima. Bila sel

yang mengalami perubahan adalah sel genetik, maka sifat-sifat sel yang

baru tersebut akan diwariskan kepada turunannya sehingga timbul efek

genetik atau pewarisan. Apabila sel ini adalah sel somatik maka sel-sel

tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, ditambah dengan pengaruh

dari bahan-bahan yang bersifat toksik lainnya, akan tumbuh dan

berkembang menjadi jaringan ganas atau kanker.

Efek Deterministik (non-stokastik) adalah efek yang kualitas

keparahannya bervariasi menurut dosis dan hanya timbul bila dosis ambang

dilampaui. Efek ini terjadi karena adanya proses kematian sel akibat
paparan radiasi yang mengubah fungsi jaringan yang terkena radiasi. Efek

ini dapat terjadi sebagai akibat dari paparan radiasi pada seluruh tubuh

maupun lokal. Efek deterministik timbul bila dosis yang diterima di atas

dosis ambang (threshold dose) dan umumnya timbul beberapa saat setelah

terpapar radiasi. Tingkat keparahan efek deterministik akan meningkat bila

dosis yang diterima lebih besar dari dosis ambang yang bervariasi

bergantung pada jenis efek. Pada dosis lebih rendah dan mendekati dosis

ambang, kemungkinan terjadinya efek deterministik dengan demikian

adalah nol. Sedangkan di atas dosis ambang, peluang terjadinya efek ini

menjadi 100% (BATAN, 2000).

2.4 Cathlab

Cath lab adalah singkatan dari catheterization laboratory (ruang tes yang

dilengkapi alat diagnosis dengan prosedur kateter) untuk bagian kardiologi atau

jantung (BATAN, 2008).

2.4.1 Pengertian Cathlab

Cathlab adalah adalah suatu pelayanan yang di lakukan di laboratorium

kateterisasi jantung & angiografi untuk menentukan Diagnostik penyakit

jantung dan pembuluh darah dan untuk selanjutnya dilakukan Intervensi Non

Bedah sesuai indikasi secara invasive melalui pembuluh darah dengan

menggunakan kateter atau elektroda.


Cara kerja alat angiografi ini menggunakan teknik invasif dengan

memasukkan alat kateter melalui pembuluh darah vena maupun arteri yang

dipadukan dengan alat fluoroscopy guna menggambarkan pembuluh darah

secara detail. Deteksi pembuluh darah dengan alat ini bertujuan mengetahui

organ-organ tubuh yang mengalami kelainan karena penyempitan, pelebaran,

dan penyumbatan pembuluh darah.

Kemampuan alat ini beragam, di antaranya:

1. Deteksi penyakit jantung koroner;

2. Stent jantung;

3. Tindakan non bedah untuk membuka pembuluh darah koroner yang

menyempit dengan bantuan perangkat stent/ ring agar otot jantung

kembali mendapatkan suplai darah yang cukup;

4. Pemasangan alat pacu jantung (pacemaker), karena frekuensi denyut

jantung yang tidak normal (lemah);

5. Deteksi penyempitan katup jantung;

6. Deteksi kelainan jantung bawaan lahir, umumnya terjadi pada anak-anak;

7. Deteksi dan intervensi hepatoma (kanker hati);

8. Deteksi dan intervensi penyebab stroke;

9. Deteksi kelainan pembuluh darah di otak;


10. Embolisasi vaskuler.

11. Embolisasi ialah pengobatan minimal invasif yang memblok satu atau

lebih pembuluh darah yang mengalami kelainan dan malformasi.

Gambar 2.1, Alat Angiografi (Serambi Banda Aceh)

Keunggulan Cath Lab yaitu tindakan diagnostik dan terapi (intervensi)

dapat dikombinasikan dalam satu kali prosedur tindakan. Selain itu, gambar

yang disajikan lebih jelas dan detail, intervensi yang dilakukan dokter pun

lebih akurat. Kecanggihan Cath Lab juga dapat meminimalkan tindakan


pembedahan, misalnya pada pemasangan stent/ ring tidak lagi menggunakan

bedah jantung.

2.4.2 Prosedur Cath Lab

Prosedur pemeriksaan Cath Lab secara umum adalah sebagai berikut:

Pasien dijelaskan prosedur tindakan Cath Lab. Setelah paham prosedur

tindakan dan menyetujuinya, pasien diminta untuk mengisi informed concent

(lembar persetujuan untuk dilakukan diagnostik dan atau intervensi dengan

Cath Lab).

Sebelumnya pasien akan menjalani pemeriksaan laborium berkaitan

dengan fungsi ginjal dan hati. Pada kasus-kasus tertentu, pasien perlu

menjalani puasa. Saat tindakan Cath Lab, dilakukan lokal anestesi. Sehingga

pasien masih dapat melihat gambaran pembuluh darahnya yang tampak pada

layar monitor. Pada pasien anak dengan persetujuan orang tua, dilakukan

anestesi umum (general anesthesia).

2.5 Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan

dengan teknik kesehatan lingkungan yaitu, tentang proteksi yang perlu diberikan

kepada seseorang atau sekelompok orang terhadap kemungkinan diperolehnya

akibat negatif dari radiasi pengion, sementara kegiatan yang diperlukan dalam

pemakaian sumber radiasi pengion masih tetap dilaksanakan (BAPETEN, 2005).

Proteksi radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi pengaruh

radiasi yang merusak akibat paparan radiasi (PP.RI No.33 tahun 2007). Proteksi
radiasi atau keselamatan radiasi berguna untuk menciptakan kondisi agar dosis

radiasi pengion yang mengenai manusia dan lingkungan hidup tidak melampaui

nilai batas yang ditentukan. Bertujuan membatasi peluang terjadinya akibat

stokastik serta mencegah terjadinya akibat non stokastik (deterministik) serta

meyakinkan bahwa pekerjaan atau kegiatan yang menggunakan zat radio aktif atau

sumber radiasi yang dibenarkan.

2.5.1 Asas-Asas Proteki Radiasi

Falsafah baru tentang protekksi radiasi muncul dengan diterbitkannya

publikasi IRCP no. 26 tahun 1977. untuk mencapai tujuan proteksi radiasi,

yaitu terciptanya keselamatan dan kesehatan bagi pekerja, masyarakat dan

lingkungan, maka dalam falsafah proteksi radiasi diperkenalkan tiga asas

proteksi radiasi,yaitu

1. Asas jastifikasi atau pembenaran. asas ini menghendaki agar setiap

kegiatan yang dapat mengakibatkan paparan radiasi hanya boleh

dilaksanakan setelah dilakukan pengkajian yang cukup mendalam dan

diketahui bahwa manfaat dari kegiatan tersebut cukup besar

dibandingkan dengan kerugian yang dapat ditimbulkannnya.

2. Asas optimisasi. asas ini menghendaki agar paparan radiasi yang

berasal dari suatu kegiatan harus ditekan serendah mungkin dengan

mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. asas ini juga dikennal

dengan sebutan ALARA atau as low as reasonably achievable. dalam

kaitannya dengan penyusunan program proteksi radiasi, asas


optimisasi mengandung pengertian bahwa setiap komponen dalam

program telah dipertimbangkan secara saksama, termasuk besarnya

biaya yang dapat dijangkau. suatu program proteksi dikatakan

memenuhi asas optimisasi apabila semua komponen dalam program

tersebut disusun dan direncanakan sebaik mungkin dengan

memperhitungkan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ekonomi (AKHADI, 1997).

3. Asas pembatasan dosis perorangan. asas ini menghendaki agar dosis

radiasi yang diterima oleh seseorang dalam menjalankan suatu

kegiatan tidak boleh melebihi nilai batas yang telah ditetapkan oleh

instalasi yang berwenang. dengan menggunakan program proteksi

radiasi yang disusun secara baik, maka semua kegiatan yang

mengandung resiko paparan radiasi cukup tinggi dapat ditangani

sedemikian rupa sehingga nilai batas dosis yang ditetapkan tidak akan

terlampaui.

2.5.2 Prinsip Proteksi Radiasi

Upaya proteksi Menurut Taspirin (2009), pengendalian adalah hal yang

paling mendasar dari proteksi radiasi. Ada tiga prinsip dalam proteksi radiasi

yaitu pengendalian waktu, jarak dan shielding


1. Waktu

Pengaturan waktu adalah metoda penting untuk mengurangi penerima

dosis radiasi. Waktu yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan dengan

menggunakan radiasi diusahakan secepat mungkin.

2. Jarak

Dalam pengendalian jarak, berlaku hukum kuadrat terbalik yaitu semakin

besar jarak dari sumber maka dosis radiasi ditempat tersebut jauh semakin

kecil. Pe/ngendalian radiasi hambur dari ruang pemeriksaan rontgen dapat

dilakukan dengan menjaga jarak minimal 3 meter dari tabung sinar X.

3. Shielding

Ruang radiologi dan kedokteran nuklir harus mempunyai dinding dari

beton yang lebih tebal atau adanya timbal pelapis sehingga dapat menyerap

semua energi radiasi yang melaluinya. Pada jendela perlu disisipkan kaca

timbal sehingga petugas dapat mengawasi pasien selama pemeriksaan dengan

aman.

2.5.3 Nilai Batas Dosis Radiasi

Nilai Batas Dosis Pembatasan dosis radiasi baru dikenal pada tahun

1928, yaitu sejak di bentuknya organisasi internasional untuk proteksi radiasi


(International Commission on Radiological Protection/ICRP). Menurut

rekomendasi ICRP dan BAPETEN nilai batas dosis untuk:

1. Pekerja Radiasi yang di tempat kerjanya terkena radiasi yaitu:

a. Dosis efektif 20 mSv pertahun rata-rata dalam 5 tahun berturut-turut.

b. Dosis efektif 50 mSv dalam 1 tahun tertentu.

c. Dosis ekivalen untuk lensa mata 150 mSv dalam 1 tahun.

d. Dosis ekivalen untuk tangan, kaki, dan kulit 500 mSv dalam 1 tahun.

2. Untuk pekerja magang (16-18 tahun)

a. Dosis efektif 6 mSv dalam 1 tahun.

b. Dosis ekivalen untuk lensa mata 50 mSv dalam 1 tahun.

c. Dosis ekivalen untuk tangan, kaki, dan kulit 150 mSv dalam 1 tahun.

3. Untuk masyarakat umum

a. Dosis efektif sebesar 1 mSv dalam 1 tahun.

b. Dosis ekivalen untuk lensa mata sebesar 15 mSv dalam 1 tahun.

c. Dosis ekivalen untuk tangan, kaki dan kulit 50 mSv dalam 1 tahun.

Jika wanita hamil yang di tempat kerjanya terkena radiasi, diterapkan

batas radiasiyang lebih ketat. Dosis radiasi paling tinggi yang

diizinkan selama kehamilan adalah 2mSv.


Dosis tertinggi yang diizinkan untuk diterima didasarkan atas dasar

rumus akumulasi sebagai berikut : D = 5 (N18) dengan pengertian bahwa D

adalah dosis tertinggi yang diizinkan untuk diterima oleh seorang pekerja

radiasi selama masa kerjanya, dinyatakan dalam rem. N adalah usia pekerja

radiasi yang bersangkutan, dinyatakan dalam tahun.Sedangkan 18 adalah usia

daripada seseorang yang diizinkan bekerja dalam medan radiasi, dinyatakan

dalam tahun (Tim Pusat K3, 2010).

Dosis yang diizinkan untuk diterima oleh seorang pekerja radiasi

merupakan jumlah dosis yang berasal dari radiasi eksterna dan radiasi interna,

tetapi tidak termasuk dosis yang diterima dari radiasi maksud-maksud medis.

Dalam hal ini Nilai Batas Dosis yang memenuhi standar internasional ICRP

No. 60 tahun 1990 yaitu untuk petugas atau pekerja radiasi adalah 5 mSv per

tahun dengan syarat bahwa dosis rata-rata selama lima tahun berturut-turut

tidak melebihi dari 1 mSv dalam satu tahun (Tim Pusat K3, 2010). Jika dosis

melebihi Nilai Batas Dosis (NBD), maka dalam upayanya sesuai ketentuan

Bapeten no. 6 tahun 2010 tentang Pemantauan Kesehatan untuk Pekerja

Radiasi bagian 4 pasal 12 tentang Penatalaksanaan Kesehatan Pekerja yang

Mendapat Paparan Radiasi Berlebih, antara lain :

1. Kajian terhadap dosis yang diterima

2. Konseling

3. Pemeriksaan kesehatan dan tindak lanjut.


2.6 Proteksi Radiasi Pada Instalasi Radiologi

Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 tentang Keselamatan dan

Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion pasal 18 tentang Peralatan

Proteksi Radiasi dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1969 tentang Pemakaian

Isotop Radioaktip dan radiasi pasal 6 berbunyi mempunyai peralatan teknis yang

diperlukan untuk melakukan peny impanan isotop dengan baik, untuk menjamin

perlindungan teradap radiasi Peralatan protektif dan peralatan proteksi radiasi

adalah beberapa alat atau rancangan yang digunakan oleh Instalasi Radiologi dalam

hal keselamatan pekerja untuk menghindari paparan yang melebihi nilai batas

dosis. Sehingga para pekerja merasa aman dan nyaman dalam melakukan

pekerjaannya dan terjaminnya kesehatan mereka.

Menurut dr. Mardiatmo, 2008 dalam Prosedur Tetap mengenai Penggunaan

Alat Proteksi Radiasi, antara lain:

1. Setiap pekerja radiasi harus berlindung di belakang tabir proteksi (tembok

beton atau Pb (timah hitam)

2. Menggunakan tabir Pb (timah hitam) yang dilengkapi dengan kaca Pb

(timah hitam)

3. Setiap pekerja radiasi memakai apron.

4. Penggunaan radiasi seefektif mungkin sehingga mengurangi radiasi hambur.

5. Mengatur jarak antara petugas radiasi dengan sumber radiasi.

6. latarvensi Fluoroskopi berupa


a. Tabir flouroscopy harus mengandung gelas timbal dengan ketebalan yang

setara dengan 2 mm timbale untuk pesawat rontgen berkapasitas

maksimum 100 KV atau 2,5 mm timbal untuk pesawat rontgen

berkapasitas maksimum 150 KV.

b. Karet timbale yang digantungkan pada sisi tabir flouroskopi harus

mempunyai ketebalan setara dengan 0,5 timbal dengan ukuran 45 x 45

cm.

c. Tabung peswat rontgen dengan tabir flouroscopy harus dihubungkan

secara permanen dengan sebuah stop kontak otomatis harus dipasang

untuk mencegah beroperasinya pesawat apabila pusat berkas radiasi

tidak jatuh tepat di tengah-tengah tabir flouroscopy.

d. Semua peralatan flouroskopi harus dilengkapi dengan tombol pengatur

waktu yang memberikan peringatan dengan bunyi sesudah 31 waktu

penyinaran terlampaui.

Menurut Tim BAPETEN (2003), dalam hal proteksi radiasi khusus untuk

peralatan diagnostik:

1. Penyinaran radiasi medik sekecil mungkin yang bisa dicapai dengan tetap

mendapatkan informasi diagnostic yang diperlukan.

2. Parameter seperti tegangan, arus, posisi titik fokus, dinyatakan secara jelas

dan akurat.

3. Piranti yang secara otomatik bahwa radiasi selesai setelah mencapai waktu

tertentu.
4. Untuk flouroskopi, piranti yang menghidupkan tabung dengan cara ditekan

terus-menerus harus dilengkapi dengan pembatas waktu penyinaran atau

pemantau dosis masuk kulit

2.6.1 Peralatan Proteksi Radiasi

Peralatan Protektif Radiasi sebagai peralatan protektif harus sesuai

dengan rancangan yang sudah ditentukan oleh Kepenkes

1014/MENKES/SK/XI/2008. Pendekatan yang dipakai dalam menetapkan

jenis dan luas ruangan adalah :

a. Fungsi ruangan/jenis kegiatan

b. proteksi terhadap bahaya radiasi bagi petugas, pasien, lingkungan

c. Efisiensi Disisi lain juga tercantum adanya persyaratan ruangan :

1) Letak unit/instalasi radiologi hendaknya mudah dijangkau dari

ruangan gawat darurat, perawatan intensive care, kamar bedah

dan ruangan lainnya.

2) Di setiap instalasi radiologi dilengkapi dengan alat pemadam

kebakaran dan alarm sesuai dengan kebutuhan.

3) Suhu ruang pemeriksaan 20-24 °C dan kelembaban 40-60 %.

4) Suhu untuk alat sesuai dengan kebutuhan alat tersebut.

persyaratan ruangan, meliputi jenis, kelengkapan dan ukuran/luas

ruangan yang dibutuhkan sebagai berikut :


a) Ketebalan dinding Bata merah dengan ketebalan 25 cm

(duapuluh lima sentimeter) dan kerapatan jenis 2,2 g/cm3

(dua koma dua gram persentimeter kubik), atau beton dengan

ketebalan 20 cm (duapuluh sentimeter) atau setara dengan 2

mm (dua milimeter) timah hitam (Pb), sehingga tingkat 26

Radiasi di sekitar ruangan Pesawat sinar-X tidak melampaui

Nilai Batas Dosis 1 mSv/tahun (satu milisievert per tahun).

b) Ruangan dilengkapi dengan sistem pengaturan udara sesuai

dengan kebutuhan.

c) Pintu dan ventilasi

(1) Pintu ruangan Pesawat sinar-X dilapisi dengan timah

hitam dengan ketebalan tertentu sehingga tingkat Radiasi

di sekitar ruangan Pesawat sinar-X tidak melampaui

Nilai Batas Dosis 1 mSv/tahun (satu milisievert per

tahun)

(2) Ventilasi setinggi 2 (dua) meter dari lantai sebelah luar

agar orang di luar tidak terkena paparan radiasi.

(3) Di atas pintu masuk ruang pemeriksaan dipasang lampu

merah yang menyala pada saat pesawat dihidupkan

sebagai tanda sedang dilakukan penyinaran (lampu

peringatan tanda bahaya radiasi).


d) Ada tiap-tiap sambungan Pb, dibuat tumpang tindih atau

overlapping.

e) Jenis dan ukuran ruangan:

f. Jenis Shielding

(1) Ruang penyinaran atau Ruang sinar-X Ukuran ruangan

sesuai dengan kebutuhan atau besarnya alat. Sedangkan

untuk ruang sinar-X tanpa flouroskopi, minimal:

(a) Alat dengan kekuatan s/d 125 KV: 4m(p) x 3m(l)

x 2,8m(t)

(b) Alat dengan kekuatan >125 KV : 6,5m(p) x 4m (l)

x 2,8m(t)

(c) Ruang sinar –X fluoroskopi: 7,5m(p) x 5,7m(l) x

2,8m (t)

2.7 Peralatan Alat Ukur Proteksi Radiasi

2.7.1 Film Badge

Suatu alat yang lazim dipergunakan sebagai personil monitoring yang

terdiri dari sebuah paket yang berisi dua lempeng film dental (untuk sinar- X

atau gamma) atau tiga buah lempeng film dental (untuk sinar - X dan gamma,

netron) yang dibungkus dalam suatu kertas kedap sinar dan dikenakan dalam
suatu wadah plastic atau logam yang sesuai Kedua film yang digunakan

masing-masing terdiri dari emulsi yang sensitif dan yang satu lagi emulsi yang

kurang sensitif (TimBapeten, 2003).

Gambar 02, Film Badge

Proses yang terjadi pada pemonitor perorangan yang mempergunakan film ini

sama dengan proses yang terjadi pada waktu melakukan radiografi pada bidang

medis (Tim Bapeten, 2003)

Prinsip dasar yang terjadi pada film badge adalah adanya kehitam-

hitaman pada film. Kehitam-hitaman pada film tersebut yang kemudian diukur

kerapatannya dan dibandingkan atau diplot pada grafik standar antara

kerapatan dengan dosis. Pengukuran dosis film badge didasarkan pada fakta

bahwa radiasi pengion akan menyinari perak bromide yang terdapat pada

emulsi fotografi yang akan mengakibatkan kehitaman pada film tersebut.

Tingkat kehitaman yang juga disebut sebagai densitas optis dari film tersebut

secara tepat dapat diukur dengan menggunakan densitometer fotolistrik yang

pembacaannya dinyatakan sebagai logaritma intensitas cahaya yang

dipancarkan melalui film tersebut. Densitas optis dari film yang terkena radiasi
secara kulitatif berhubungan dengan besarnya penyinaran radiasi (Tim

Bapeten, 2003).

Dengan perbandingan densitas optis dari film yang dikenakan oleh

seseorang yang terkena radiasi terhadap densitas film yang terkena radiasi

dengan jumlah yang telah diketahui, maka penyinaran terhadap film yang

dikenakan oleh seseorang tersebut dapat ditentukan (Tim Bapeten, 2003).

2.7.2 TLD (dosimeter termoluminisen)

Alat pemantauan radiasi perorangan berupa ring badges yang

mengandung dosimeter termoluminisen (TLD) dapat digunakan untuk

memantau paparan radiasi tangan 10. Pemakaian TLD tersebut dalam radiologi

tidak memberikan manfaat yang besar sebab masalah teknis dengan dosimeter

tersebut dan keluhan dari beberapa dokter spesialis radiologi yang dapat

mengganggu pelaksanaan pemeriksaan. Kerugian penggunaan film dan ring

badge adalah bahwa paparan radiasi tidak secara langsung dapat dibaca, akan

tetapi membutuhkan waktu 1(satu) hingga 2(dua) bulan setelah film dan ring

badge diproses dan dievaluasi. Penggunaan kamar pengion personil seperti

dosimeter kantong dihindari dalam hal ini 10, sebab alat tersebut mahal dan

mudah pecah.
Gambar 03, TLD (Thermoliminescence Dosimeter)

Thermoliminescence Dosimeter (TLD) Beberapa kristal termasuk CaF 2

yang menggunakan Mn sebagai pencemar (impuritas) dan LiF, memancarkan

cahaya apabila Kristal-kristal tersebut dipanaskan setelah dikenai radiasi.

Kristal-kristal tersebut dinamakan Kristal termoluminesens (kristal pendar

panas) (Tim Bapeten, 2003)..Penyerapan energi radiasi oleh kristal

mengakibatkan timbulnya atom-atom dalam kristal sehingga menghasilkan

elektron-elektron dan lubang-lubang bebas dalam Kristal pendar panas.

Elektron-elektron ini ditangkap oleh pemancar dalam kisi-kisi kristalin

sehingga dapat menghalangi timbulnya energi dalam kristal tersebut (Tim

Bapeten, 2003).

Kristal-kristal yang dipanaskan melepaskan energi yang ditimbulkan

sebagai cahaya. Pengukuran keluaran cahaya bersamaan dengan meningkatnya

suhu. Suhu dimana keluaran cahaya maksimum terjadi merupakan suatu

ukuran energy pengikat elektron pada lubang di dalam tangkapan tersebut.

Jumlah cahaya yang diukur sebanding dengan jumlah electron yang ditangkap
atau dengan kata lain sebanding dengan energy yang diserap dari radiasi

pengion (Tim Bapeten, 2003).

2.7.3 Dosimeter Saku (pocket dosemeter)

Dosimeter saku mempunyai ciri dapat dibaca langsung tanpa peralatan

tambahan. Jadi nilai dosis yang telah mengenainya dapat dibaca setiap saat dan

dapat digunakan lagi. Kerugiannya, nilai dosis yang “tersimpan” pada

dosimeter ini mudah hilang ataupun berubah sehingga harus dicatat setiap

selesai pemakaian. Saat ini terdapat beberapa jenis dosimeter saku baik yang

mekanik maupun yang elektronik

Gambar 04, Dosimeter Saku

2.8 Petugas proteksi radiasi (PPR)

Pekerja radiasi adalah setiap orang yang bekerja dengan radiasi atau instalasi

radiasi pengion yang diperkirakan menerima dosis radiasi tahunan melebihi dosis

untuk masyarakat umum. Adapun didalamnya adalah petugas proteksi radiasi


(PPR) yaitu petugas yang ditunjuk oleh pengusaha instalasi dan oleh badan

pengawas yang dinyatakan mampu melaksanakan pekerjaan yang berhubungan

dengan proteksi radiasi (Muhtarom, 2011). Faktor pendukung dalam penerapan

proteksi radiasi, antara lain;

a. Pekerja radiasi menurut peraturan pemerintah NO.63 tahun 2000 pasal 1

NO. 10. pekerja radiasi adalah setiap orang yang bekerja diinstalasi yang

berhubungan dengan radiasi pengion yang diperkirakan menerima dosis

radiasi tahunan melebihi dosis untuk masyarakat umum (Tim Pusat K3,

2010).

b. Menurut Tim Pusat K3 (2010), semua pekerja radiasi merupakan bagian dari

organisasi proteksi radiasi yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban

terhadap keselamatan radiasi didaerah kerjanya antara lain:

1) Mengetahui, memahami, dan melaksanakan semua ketentuan

keselamatan kerja radiasi

2) Memanfaatkan sebaik-baiknya peralatan keselamatan radiasi yang

bersedia, bertindak secara hati-hati serta bekerja secara aman untuk

melindungi dirinya sendiri dan pekerja lain.

3) Melaporkan setiap kejadian kecelakaan bagaimanapun kecilnya kepada

petugas proteksi radiasi


4) Melaporkan setiap gangguan kesehatan yang dirasakan, yang diduga

akibat penyinaran lebih atau masuknya zat radioaktif kedalam tubuh

pekerja .

Menurut peraturan pemerintah NO.63 tahun 2000 pasal 1 NO. 9, pekerja

radiasi adalah petugas yang ditunjuk oleh pengusaha instalasi atom dan oleh

Bapeten dinyatakan mampu melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan

proteksi radiasi.

Menurut Kepmenkes RI 1014/ MENKES/ SK/ XI/ 2008, petugas proteksi

radiasi merupakan bagian dari organisasi proteksi radiasi yang memiliki tanggung

jawab dan kewajiban terhadap keselamatan radiasi didaerah kerjanya antara lain:

1. Memantau aspek operasional proteksi dan keselamatan radiasi

2. Memastikan ketersediaan dan kelayakan perlengkapan proteksi radiasi, dan

memantau pemakaiannya

3. Meninjau secara sistematik dan periodik, program pemantauan disemua

tempat dimana pesawat sinar-x digunakan

4. Memberikan konsultasi yang terkait dengan proteksi dan keselamatan

radiasi

5. Berpartisipasi dalam mendesain fasilitas radiologi

6. Memelihara rekaman

7. Mengidentifikasi kebutuhan dan mengorganisasi kegiatan pelatihan

8. Melaksanakan pelatihan penanggulangan dan pencarian keterangan dalam

hal kedaruratan
9. Melaporkan kepada pemegang izin setiap kejadian kegagalan operasi yang

berpontensi kecelakaan radiasi

10. Menyiapkan laporan tertulis mengenai pelaksanaan program proteksi dan

keselamatan radiasi dan verifikasi keselamatan yang diketahui oleh

pemegang izin untuk dilaporkan kepada kepala Bapeten.

11. Melakukan inventarisasi zat radioaktif

Dalam peraturan pemerintah No. 11 tahun 1975 mengenai petugas dan ahli

proteksi radiasi antara lain

1. Pasal 4 setiap instalasi atom harus mempunyai sekurang-kurangnya seorang

petugas proteksi radiasi

2. Pasal 5 setiap penguasa instalasi atom dengan persetujuan instalasi yang

berwenang diwajibkan menunjuk dirinya sendiri atau orang lain

dibawahnya selaku petugas proteksi radiasi .

3. Pasal 6 PPR berkewajiban menyusun pedoman kerja, instruksi, dan lain-lain

yang berlaku dalam lingkungan instalasi atom yang bersangkutan

4. Pasal 7 untuk mengawasi ditaatinya peraturan-peraturan keselamatan kerja

terhadap radiasi perlu ditunjuk ahli PPR oleh instalasi yang berwenang

Ahli PPR diwajibkan memberikan laporan kepada instalasi yang berwenang

dan Menteri Tenaga Kerja dan Koperasi secara berkala.


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan salah satu tahap penelitian yang harus

diperhatikan dengan sebaik-baiknya agar penelitian dapat dilaksanakan dengan

serasi untuk mencapai tujuan penelitian (Suyanto, 2011).

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan penulis gunakan dalam penyusun karya tulis

ilmiah ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif, instrument penelitian

sendiri dengan beberapa alat pengumpulan data berupa kuisioner dan wawancara

langsung. Data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka tetapi berupa kata-

kata, narasi, dan gambar, cenderung bersifat induktif oleh karena itu tidak

memerlukan hipotesis (Suyanto, 2011).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian Ini di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum dr. Zainoel

Abidin Banda Aceh

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari 8 juni sampai dengan 9 juli tahun

2016
3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Menurut notoadmodjo (2005), populasi adalah keseluruhan objek

penelitian atau objek yang diteliti. populasi dalam penelitian ini adalah petugas

pada pemeriksaan cathlab yang bertugas diInstalasi Kateterisasi Jantung

Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin.

3.3.2 Sampel

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah enam orang petugas

dicathlab.

3.4 Cara Pengumpulan Data

Dalam membahas permasalahan diatas maka dilakukan beberapa cara

pengumpulan data.

3.4.1 Study Perpustakaan

Merupakan metode pengumpulan data atau informasi pendukung

penelitian dengan memperoleh informasi melalui buku-buku yang penulis

dapatkan dari studi perpustakaan.

3.4.2 Observasi (Pengamatan)


Observasi penulisan dilakukan dengan cara mengamati secara langsung

atau tidak langsung faktor-faktor yang diperhatikan dalam penerapan proteksi

radiasi pada petugas cathlab di Instalasi Kateterisasi Jantung Rumah Sakit

Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

3.4.3 Wawancara

Merupakan metode pengumpulan data melalui wawancara. wawancara

dilakukan dengan media kuisioner ataupun yang melibatkan langsung petugas

atau karyawan di Instalasi Kateterisasi Jantung Rumah Sakit Umum Zainoel

Abidin Banda Aceh

3.5 Pengolahan Data

3.5.1 Editing

Dilakukan untuk meneliti atau melakukan pengecekan kembali pada

setiap masing-masing kelompok data yang terkumpul, dan apabila terdapat

kesalahan akan dilakukan perbaikan segera terhadap responden

3.5.2 Transfering

Data yang telah diberi kode disusun secara berurutan mulai dari

responden pertama sampai responden terakhir untuk dimasikkan dalam table


DAFTAR PUSTAKA

Amsyari, Radiasi Dosis Rendah dan pengaruhnya terhadap Kesehatan,

Surabaya, 1989.

Alatas, Z. 2008. Efek Radiasi Pengion dan Non Pengion pada Manusia.

Buletin ALARA, 5:99-112.

BATAN. (2008) Radiasi. [online]. Available fromURL:


http://www.batan.go.id/FAQ/faq_radiasi . php. (accessed: 03 Oct 2012 )

BATAN, 2000; “Materi Diklat Petugas Proteksi Radiasi Bidang


Radiodiagnostik”, Jakarta
www.batan.go.id
www.infonuklir.com     
www.nova-rahman.blogspot.com

Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Materi Diklat Petugas Proteksi Radiasi, 2005.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.33 Tahun 2007, tentang


Keselamatan Radiasi Pengion dan keamanan Sumber Radioaktif,
BAPETEN, Jakarta, 2007

https://dglib.uns.ac.id/...=/Proteksi-radiasi-di-instalasi-radiodiagnostik

http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/proteksiradiasi/pengenalan_radiasi/1-
1.htm diakses 20 Desember 2015

Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor 1014/MENKES/


SK/XI/2008 : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai