Anda di halaman 1dari 53

Radiodiagnostik

Pada era maju sekarang ini, umumnya layanan radiologi telah

dikelompokkan menjadi 2 (dua) prosedur, yaitu radiologi diagnostik dan

intervensional. Radiologi diagnostik adalah cabang ilmu radiologi yang

berhubungan dengan penggunaan pesawat sinar-X untuk prosedur

diagnosis, sedangkan radiologi intervensional adalah cabang ilmu

radiologi yang berhubungan dengan penggunaan pesawat sinar-X untuk

memandu prosedur perkutaneus seperti pelaksanaan biopsi, pengeluaran

cairan, pemasukan kateter, atau pelebaran terhadap saluran atau pembuluh

darah yang menyempit (Togap, 2006).

Radiodiagnostik merupakan salah satu cabang ilmu yang

dikembangkan setelah ditemukannya sinar-X oleh Wilhem Conrad

Rontgen pada tahun 1895. Pemanfaatan sinar-X di radiodiagnostik adalah


sebagai penegak diagnosa suatu kelainan atau penyakit. Dan sejak itu

radiodiagnostik menjadi salah satu pemeriksaan dalam dunia kedokteran

(Tris, 2011).

2. Radiasi

a. Pengertian radiasi2

Radiasi merupakan salah satu bahaya potensial yang ada di sarana

kesehatan. Radiasi pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi

dari sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium

(Taspirin, 2009).

Radiasi yang ada di tempat kerja dan mempunyai pengaruh

kepada tenaga kerja dan pekerjaannya terdiri dari:

1) Radiasi elektromagnetis, yaitu gelombang-gelombang mikro

(microwave), radiasi laser, radiasi panas, sinar ultraviolet, sinar


infra merah, sinar-X dan sinar gamma.

2) Radiasi radioaktif, yaitu sinar-sinar dari bahan radioaktif

Radiasi elektromagnetik dalam bidang medik adalah radiasi yang

dikeluarkan peralatan seperti pesawat sinar-X, sinar gamma, gelombang

micro, inframerah, ultraviolet, maupun pesawat ultrasonografi

(Taspirin, 2009).

Radiasi di Instalasi radiodiagnostik rumah sakit digunakan untuk

sumber pelayanan kepada pasien yang membutuhkan radiasi untuk

membantu menegakkan diagnose penyakit, komponen lainnya yaitu

pekerja radiasi, masyarakat umum yang terdiri dari keluarga pasien dan

tenaga medis lainnya (Taspirin, 2009).


b. Sumber Radiasi

Semua individu menerima radiasi alami namun saat ini berbagai

tes diagnostik merupakan sumber terbesar pajanan radiasi sehingga4harus dilakukan usaha-usaha untuk
mengurangi radiasi tersebut.

Walaupun radiasi ionisasi dianggap memiliki potensi bahaya, resiko ini

harus dipertimbangkan selain berbagai manfaat yang akan didapatkan

oleh pasien (Pradip, 2007).

Sumber radiasi pada sarana kesehatan yang paling sering

digunakan adalah sinar-X sedangkan partikel alpha, beta, dan gamma

hanya digunakan pada rumah sakit yang memiliki instalasi

radiodiagnostik, radioterapi dan kedokteran nuklir (Taspirin, 2009).

Radiasi gamma termasuk jenis radiasi elektromagnetik. Sinar

gamma identik dengan sinar-X karena keduanya termasuk radiasi

elektromagnetik, namun panjang gelombang sinar gamma lebih pendek


dibandingkan sinar-X. Gamma memiliki daya tembus paling besar

dibandingkan alpha dan beta, namun daya ionisasinya paling kecil.

Radionuklida yang dapat mengeluarkan sinar gamma adalah Cobalt

(Co-60) dan Cesium (Cs-137) (Taspirin, 2009).

Contoh alat yang digunakan dalam pemanfaatan sumber radiasi

adalah CT-scan dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.5

GAMBAR

Gambar 1. Salah satu alat yang digunakan dalam pemanfaatan sumber radiasi yaitu CT-Scan Sumber :
Data Sekunder (Dokumen Tim Blog Wikipedia, 2011)5

GAMBAR

Gambar 2. Ruang control CT-Scan dari balik tabir atau shielding. Sumber : Data Sekunder (Dokumen Tim
Blog Wikipedia, 2011)5

Perbedaan pemancar sinar-X dan sinar Gamma dapat dilihat pada

Tabel 1. Sinar elektromagnetik ini menyebabkan kelainan-kelainan di

tubuh dan di kulit sesuai dosisnya. Pencegahan dilakukan dengan

pengukuran dosis 5(dosimeter) dari sinar dan sebagai batas aman tidak boleh melampaui

100mRad dalam satu bulan (Suma'mur 1996)


Tabel 1. Perbedaan pemancar sinar X dan sinar Gamma 6

TABEL

Sinar-X dibuat dengan cara menembakkan awan elektron pada

bahan target seperti Tungsten di dalam tabung vakum. Semakin tinggi

arus yang digunakan semakin tinggi daya tembusnya. Sumber terbuka

biasanya dalam bentuk cairan yang dapat diberikan kepada pasien

dengan cara disuntikkan ataupun diminum misalnya Yodium (I-131)

(Taspirin, 2009).

3. Kecelakaan Radiasi

Menurut Peraturan Pemerintah 63 tahun 2000 tentang Keselamatan

dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion, kecelakaan radiasi

adalah kejadian yang tidak direncanakan termasuk kesalahan operasi,


kerusakan ataupun kegagalan fungsi alat atau kejadian lain yang menjurus

timbulnya dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan atau kontaminasi

yang melampaui batas keselamatan.

Kecelakaan radiasi merupakan suatu keadaan tidak normal yang

timbul karena tidak terkendalinya sumber radiasi yang secara langsung

atau tidak langsung dapat membahayakan jiwa, kesehatan dan harta benda.

Kecelakaan radiasi mempunyai ciri adanya medan radiasi yang tinggi atau

terjadinya pelepasan zat radioaktif yang tidak dapat dikendalikan dalam

jumlah cukup besar sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan efek

yang serius atau kematian (Tim Bapeten, 2003a

).

Menurut Tim Bapeten (2003a

), faktor utama kecelakaan terjadi


sebagai akibat tiga faktor utama yaitu faktor manusia, faktor instalasi atau

peralatan teknis, dan faktor sarana atau lingkungan kerja. Penyebab 8timbulnya kecelakaan yang
berkaitan dengan ketiga faktor tersebut secara

umum dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu :

a. Kondisi instalasi dan lingkungan

Keadaan fisik atau lingkungan instalasi yang berbahaya sehingga

memungkinkan atau terdapat peluang terjadinya suatu kecelakaan.

Kondisi instalasi yang tidak aman ini dapat dikendalikan dengan

peralatan yang mempunyai sistem pengaman yang baik dan teruji, serta

adanya prosedur keselamatan kerja yang memadai.

b. Tindakan operator

Tindakan yang menyimpang dari operator terhadap prosedur

keselamatan dan segala ketentuan keselamatan.


Hal tersebut diatas antara lain disebabkan karena faktor-faktor

sebagai berikut :

1) Kurang pengetahuan tentang cara kerja peralatan, mesin, instalasi

atau sifat bahan yang digunakan.

2) Tidak atau kurang memiliki ketrampilan.

3) Memiliki cacat tubuh yang tidak tampak.

4) Bekerja dalam keadaan letih dan lesu.

5) Sikap dan tingkah laku kerja yang tidak sesuai ketentuan.

Menurut Tim Bapeten (2003a

), potensi bahaya radiasi secara

umum dapat dibagi dalam dua kategori :9

1) Potensi bahaya radiasi sebagai akibat adanya kegiatan operasi

fasilitas atau instalasi yang memanfaatkan tenaga nuklir (penelitian,


energi listrik, kesehatan, industri dan sebagainya).

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahwa setiap fasilitas

atau instalasi nuklir harus mempunyai izin dari BAPETEN, maka

segala resiko dan dampak radiasi yang mungkin akan terjadi telah

dihipotesiskan atau diramalkan dalam Laporan Analisis Keselamatan

(LAK) sehingga tindakan pencegahan dari potensi bahaya telah

dapat ditentukan sesuai dengan karakteristik fasilitas. Sebagai contoh

adalah pembatasan dosis, pemonitoran radiologi, pembagian daerah

kerja dan sebagainya.

2) Potensi bahaya radiasi yang timbul sebagai akibat terjadinya

kecelakaan radiasi.

Dalam kondisi ini diperlukan tindakan penanggulangan atau

intervensi untuk mengurangi penerimaan penyinaran yang lebih


tinggi agar dosis yang diterima personil serendah mungkin. Jika

kecelakaan menyebabkan tercemarnya lingkungan maka diperlukan

suatu tindakan untuk mengembalikan kondisi lingkungan seperti

semula.

4. Efek radiasi

Efek radiasi tergantung dari dose ekivalen yang diterima, dose rate,

jaringan terkena, jumlah atau luasnya area terpajan. Sekecil apapun radiasi

yang diterima akan berpengaruh karena akan terakumulasi. Secara alami11sel kita juga mempunyai
kemampuan untuk memperbaiki apabila ada

kerusakan, tentu saja tergantung seberapa parah kerusakan yang diderita.

Sesuai dengan kenyataan tersebut maka dosis radiasi kecil yang diberikan

secara berkala akan menimbulkan efek berbeda jika radiasi diberikan

sekaligus dalam dosis besar (Taspirin, 2009).


Efek radiasi pengion adalah mutagenik, karsinogenik dan

teratogenik. Anak-anak lebih sensitif daripada orang dewasa. Akibat buruk

dari radiasi pengion dikenal sebagai efek somatik apabila diderita oleh

orang yang terkena radiasi dan disebut efek herediter apabila dialami oleh

keturunannya (Taspirin, 2009).

Gelombang mikro mempunyai pengaruh kepada tenaga kerja yang

bekerja di daerah sumber radiasi. Pengaruhnya terutama gangguan faal

tubuh. Sindroma klinis terbagi tiga, yaitu stadium permulaan, stadium

dengan gejala-gejala menengah dan stadium lanjut. Pada stadium pertama

gejala-gejalanya adalah asthenia yang berupa perubahan vasovegetatif

jenis vagotonik. Prosesnya reversibel dan segera pulih kembali setelah

radiasi berhenti. Pada tingkat lanjut terdapat kelainan neuro-vaskuler yang

ditandai perubahan-perubahan pada tonus pembuluh darah, paroxysma,


dan kecenderungan kuatnya reaksi simpatis. Gambaran klinis menyerupai

sindroma gangguan diencephalon dengan perubahan-perubahan sangat

terlihat pada electroencephalogram. Pada tingkat ini, proses pathologis13kecil, kemungkinan dapat pulih
atau dapat berakibat fatal (sama'mur 1996)

Sinar elektromagnetik lainnya menyebabkan kelainan-kelainan di

tubuh dan di kulit sesuai dengan dosisnya. Salah satu contoh kelainan

adalah luka bakar oleh sinar-X ataupun sinar gamma. Akibat-akibat

lainnya adalah impotensi, kerusakan system hemopolitik, dan leukemia.

Pencegahan dilakukan dengan pengukuran dosis tidak melebihi dosis

5. Pekerja radiasi

Pekerja Radiasi adalah setiap orang yang bekerja di instalasi nuklir

atau instansi radiasi pengion yang diperkirakan menerima dosis radiasi


tahunan melebihi dosis untuk masyarakat umum. Adapun di dalamnya

adalah Petugas Proteksi Radiasi (PPR) yaitu petugas yang ditunjuk oleh

pengusaha instalasi dan oleh Badan Pengawas yang dinyatakan mampu

melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan proteksi radiasi

(Muhtarom, 2011).

Begitu pula perhatian dalam hal tugas pokok tenaga kerja yang

berada di Instalasi Radiodiagnostik yang mampu menjadi faktor

pendukung dalam penerapan keselamatan kerja radiasi itu sendiri, antara

lain:

a. Pekerja radiasi

Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 pasal 1 no. 10,

pekerja radiasi adalah setiap orang yang bekerja di instalasi nuklir atau

instalasi yang berhubungan dengan radiasi pengion yang diperkirakan 14(menerima dosis radiasi
tahunan melebihi dosis untuk masyarakat umum
(Tim Pusat K3, 2010).

Menurut Tim Pusat K3 (2010), semua pekerja Radiasi merupakan

bagian dari organisasi proteksi radiasi yang memiliki tanggung jawab

dan kewajiban terhadap keselamatan radiasi di daerah kerjanya antara

lain :

1) Mengetahui, memahami, dan melaksanakan semua ketentuan

keselamatan kerja radiasi.

2) Memanfaatkan sebaik-baiknya peralatan keselamatan radiasi yang

tersedia, bertindak secara hati-hati serta bekerja secara aman untuk

melindungi dirinya sendiri dan pekerja lain.

3) Melaporkan setiap kejadian kecelakaan bagaimanapun kecilnya

kepada Petugas Proteksi Radiasi.


4) Melaporkan setiap gangguan kesehatan yang dirasakan, yang

diduga akibat penyinaran lebih atau masuknya zat radioaktif ke

dalam tubuh pekerja.

b. Petugas Proteksi Radiasi (PPR)

Menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 pasal 1 no. 9,

pekerja radiasi adalah petugas yang ditunjuk oleh Pengusaha Instalasi

Atom dan oleh Bapeten dinyatakan mampu melaksanakan pekerjaan

yang berhubungan dengan proteksi radiasi.

Menurut Kepmenkes RI 1014/MENKES/SK/XI/2008, petugas

proteksi radiasi merupakan bagian dari organisasi proteksi radiasi yang 16

memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap keselamatan radiasi

di daerah kerjanya antara lain :

1) Memantau aspek operasional Proteksi dan Keselamatan Radiasi.


2) Memastikan ketersediaan dan kelayakan perlengkapan Proteksi

Radiasi, dan memantau pemakaiannya.

3) Meninjau secara sistematik dan periodik, program pemantauan di

semua tempat dimana pesawat sinar-X digunakan.

4) Memberikan konsultasi yang terkait dengan Proteksi dan

Keselamatan Radiasi.

5) Berpartisipasi dalam mendesain fasilitas radiologi.

6) Memelihara rekaman.

7) Mengidentifikasi kebutuhan dan mengorganisasi kegiatan

pelatihan.

8) Melaksanakan pelatihan penanggulangan dan pencarian keterangan

dalam hal kedaruratan.

9) Melaporkan kepada Pemegang Izin setiap kejadian kegagalan


operasi yang berpotensi Kecelakaan Radiasi.

10) Menyiapkan laporan tertulis mengenai pelaksanaan program

Proteksi dan Keselamatan Radiasi dan verifikasi keselamatan yang

diketahui oleh Pemegang Izin untuk dilaporkan kepada Kepala

Bapeten.1811) Melakukan inventarisasi zat radioaktif.

Dalam Peraturan pemerintah no 11 tahun 1975 Bab III mengenai

Petugas dan Ahli Proteksi Radiasi, antara lain:

1) Pasal 4 : setiap instalasi atom harus mempunyai sekurangkurangnya seorang petugas proteksi radiasi.

2) Pasal 5 : setiap penguasa instalasi atom dengan persetujuan instansi

yg berwenang diwajibkan menunjuk dirinya sendiri atau orang lain

dibawahnya selaku petugas proteksi radiasi.

PPR bertanggungjawab atas segala sesuatu yang


berhubungan dengan keselamatan setiap orang dalam lingkungan

kekuasaanya kepada penguasa instalasi atom.

3) Pasal 6 : PPR berkewajiban menyusun pedoman kerja, instruksi,

dan lain-lain yang berlaku dalam lingkungan instalasi atom yang

bersangkutan.

4) Pasal 7 : untuk mengawasi ditaatinya peraturan-peraturan

keselamatan kerja terhadap radiasi perlu ditunjuk ahli PPR oleh

instalasi yang berwenang.

Ahli PPR diwajibkan memberikan laporan kepada instansi

yang berwenang dan Menteri Tenaga Kerja dan Koperasi secara

berkala.

6. Nilai Batas Dosis

Pembatasan dosis radiasi baru dikenal pada tahun 1928, yaitu sejak
dibentuknya organisasi internasional untuk proteksi radiasi (International 20Commission on Radiological
Protection/ICRP). Pelopor proteksi radiasi

yang terkenal adalah seorang ilmuwan dari Swedia bernama Rolf Sievert.

Ia lahir pada tahun 1896 ketika Henri Becquerel menemukan zat radioaktif

alam. Sievert kemudian diabadikan sebagai satuan dosis paparan radiasi

dalam sistem Satuan Internasional (SI). 1 Sievert (Sv) menunjukkan

berapa besar dosis paparan radiasi dari sumber radioaktif yang diserap oleh

tubuh per satuan massa (berat), yang mengakibatkan kerusakan secara

biologis pada sel/jaringan (Fakhrul, 2008).

Ketentuan tentang Nilai Batas Dosis menurut Tim Pusat K3 (2010),

dimaksudkan untuk mengatur dengan lebih tegas nilai pemaparan dan

dosis radiasi tertinggi yang masih diizinkan untuk diterima oleh pekerja

radiasi dalam menjalankan pekerjaannya sesuai dengan Bab II pasal 3


Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja

Terhadap Radiasi. Setiap Pengusaha Instalasi atom diizinkan menentukan

sendiri nilai batas dosis yang sesuai dengan kondisi setempat asal tidak

melebihi nilai tertinggi yang diterapakan dalam ketentuan ini.

Dosis tertinggi yang diizinkan untuk diterima didasarkan atas dasar

rumus akumulasi sebagai berikut : D = 5 (N-18) dengan pengertian bahwa

D adalah dosis tertinggi yang diizinkan untuk diterima oleh seorang

pekerja radiasi selama masa kerjanya, dinyatakan dalam rem. N adalah

usia pekerja radiasi yang bersangkutan, dinyatakan dalam tahun.

Sedangkan 18 adalah usia daripada seseorang yang diizinkan bekerja

dalam medan radiasi, dinyatakan dalam tahun (Tim Pusat K3, 2010).21Dosis yang diizinkan untuk
diterima oleh seorang pekerja radiasi

merupakan jumlah dosis yang berasal dari radiasi eksterna dan radiasi
interna, tetapi tidak termasuk dosis yang diterima dari radiasi maksudmaksud medis. Dalam hal ini Nilai
Batas Dosis yang memenuhi standard

internasional ICRP No. 60 tahun 1990 yaitu untuk petugas atau pekerja

radiasi adalah 5 mSv per tahun dengan syarat bahwa dosis rata-rata selama

lima tahun berturut-turut tidak melebihi dari 1 mSv dalam satu tahun (Tim

Pusat K3, 2010).

Dosis yang diizinkan untuk diterima oleh seorang pekerja radiasi

didasarkan atas pengaruhnya pada organ tubuh yang paling sensitif

terhadap radiasi yaitu sumsum tulang merah (red bone marrow), kelenjar

kelamin (gonad), dan tubuh secara keseluruhan. Apabila dosis akumulasi

pekerja radiasi untuk jangka waktu tertentu tidak diketahui harus dianggap

bahwa pekerja tersebut telah menerima dosis radiasi sebesar Nilai Batas

Tertinggi untuk jangka waktu tersebut (Tim Pusat K3, 2010).

Jika dosis melebihi Nilai Batas Dosis (NBD), maka dalam upayanya
sesuai ketentuan Bapeten no. 6 tahun 2010 tentang Pemantauan Kesehatan

untuk Pekerja Radiasi bagian 4 pasal 12 tentang Penatalaksanaan

Kesehatan Pekerja yang Mendapat Paparan Radiasi Berlebih, antara lain :

a. Kajian terhadap dosis yang diterima

b. Konseling

c. Pemeriksaan kesehatan dan tindak lanjut 23

7. Upaya proteksi

Menurut Taspirin (2009), pengendalian adalah hal yang paling

mendasar dari proteksi radiasi. Ada tiga prinsip dalam proteksi radiasi

yaitu pengendalian waktu, jarak dan shielding.

a. Waktu

Pengaturan waktu adalah metoda penting untuk mengurangi

penerima dosis radiasi. Waktu yang digunakan untuk melakukan


pemeriksaan dengan menggunakan radiasi diusahakan secepat

mungkin.

b. Jarak

Dalam pengendalian jarak, berlaku hukum kuadrat terbalik yaitu

semakin besar jarak dari sumber maka dosis radiasi ditempat tersebut

jauh semakin kecil. Pengendalian radiasi hambur dari ruang

pemeriksaan rontgen dapat dilakukan dengan menjaga jarak minimal

3 meter dari tabung sinar X.

c. Shielding

Ruang radiologi dan kedokteran nuklir harus mempunyai

dinding dari beton yang lebih tebal atau adanya timbal pelapis

sehingga dapat menyerap semua energi radiasi yang melaluinya.


Pada jendela perlu disisipkan kaca timbal sehingga petugas dapat

mengawasi pasien selama pemeriksaan dengan aman.

Menurut dr. Mardiatmo, 2008 dalam Prosedur Tetap mengenai

Penggunaan Alat Proteksi Radiasi (Lampiran 5), antara lain:25

a. Setiap pekerja radiasi harus berlindung di belakang tabir proteksi

(tembok beton atau Pb (timah hitam)).

b. Menggunakan tabir Pb (timah hitam) yang dilengkapi dengan

kaca Pb (timah hitam).

c. Setiap pekerja radiasi memakai apron.

d. Penggunaan radiasi seefektif mungkin sehingga mengurangi

radiasi hambur.

e. Mencegah pengulangan foto.

f. Mengatur jarak antara petugas radiasi dengan sumber radiasi.


Upaya-upaya proteksi yang dilakukan oleh Instalasi

Radiodiagnostik adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan

Sesuai peraturan yang berlaku, maka pekerja radiasi harus

diperiksa kesehatannya sebelum mulai bekerja, selama bekerja

minimal setahun sekali, dan saat berhenti sebagai pekerja radiasi.

Mengingat adanya kemungkinan pindahnya seorang pekerja

radiasi ke instalasi lain, maka diperlukan suatu koordinasi

pemeriksaan kesehatan pekerja radiasi bagi instalasi-instalasi yang

menggunakan radiasi, sehingga data kesehatan sebelumnya bisa

dipindahkan dengan cara yang mudah di tempat kerja yang baru.

Data kesehatan tersebut sangat penting untuk memantau kesehatan

pekerja radiasi, masalah ansuransi maupun untuk menunjang


penanganan medik pada kasus kecelakaan radiasi (Bambang, 2007)27

Pengawasan kesehatan terhadap pekerja radiasi harus

didasarkan pada prinsip-prinsip pemeriksaan kesehatan pada

umumnya. Pengawasan kesehatan meliputi :

1) Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja

Pemeriksaan ini meliputi penyelidikan terhadap riwayat

kesehatannya termasuk semua penyinaran terhadap radiasi

pengion dari pekerjaan sebelumnya yang diketahui diterimanya

atau dari pemeriksaan dengan pengobatan medik dan juga

peneyelidikan secara klinik untuk menentukan keadaan umum

kesehatannya. Pemeriksaan khusus dilakukan terhadap organ

yang dianggap peka terhadap radiasi misalnya pemeriksaan

hematologi, dermatologi, ophtalmologi, paru-paru, neurologi dan


atau kandungan (Dartini, 2007).

Pemeriksaan kesehatan sebelum masa kerja akan

memberikan informasi mengenai kondisi kesehatan pekerja

radiasi pada saat akan mulai bekerja dan penyakit-penyakit apa

saja yang pernah diderita. Masukan ini akan diperlukan sebagai

bahan acuan untuk setiap perubahan keadaan kesehatan yang

terjadi di kemudian hari waktu ia bekerja di medan radiasi.

Pemeriksaan kesehatan ini pada prinsipnya sama seperti halnya di

tempat kerja lainnya, tetapi harus disertakan aspek-aspek yang

merefleksikan efek kesehatan spesifik pada pekerja radiasi.

Temuan awal harus dijadikan sebagai dasar uji kesehatan pekerja 28sesuai tugasnya dan sebagai
referensi (pembanding) terhadap

perubahan yang terjadi selama beekrja dan sesudahnya (Tetriana


dan Evalisa, 2007).

2) Pemeriksaan kesehatan berkala selama bekerja

Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk menentukan

keadaan kesehatan pekerja dalam menjalankan tugasnya.

Pemeriksaan ini dilakukan sekurang-kurangnya satu tahun sekali

atau lebih tergantung pada kondisi penyinaran yang diterima oleh

pekerja (Dartini, 2007).

Pemeriksaan kesehatan selama masa kerja dilakukan secara

berkala minimal sekali dalam setahun. Pemaparan terhadap

radiasi dan peristiwa kontaminasi dengan zat radioaktif dapat saja

terjadi tanpa diketahui oleh si pekerja radiasi, karena itu

diperlukan usaha untuk mendeteksi akibat yang ditimbulkannya.

Di pihak lain, perubahan kondisi kesehatan pekerja radiasi dapat


nampak seolah-olah sebagai akibat radiasi pengion namun pada

kenyataannya ditimbulkan oleh penyebab lain. Frekuensi uji

berkala seharusnya minimal sekali dalam setahun, bergantung

pada umur dan kesehatan pekerja, sifat tugas, dan tingkat pajanan

terhadap radiasi (Tetriana dan Evalisa, 2007).

3) Pemeriksaan kesehatan pada waktu pemutusan hubungan kerja

Setiap pekerja radiasi pada saat memutuskan hubungan

kerja dengan instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan30sumber radiasi diwajibkan menjalankan
pemeriksaan kesehtaan

secara teliti dan menyeluruh atas beban instalasi yang

memanfaatkan sumber radiasi. Dokter instalasi dapat menentukan

perlunya pengawasan kesehatan setelah putusnya hubungan kerja

untuk mengawasi kesehatan orang yang bersangkutan selama


dianggap perlu atas biaya pengusaha instalasi (Dartini, 2007).

Pada waktu berhenti sebagai pekerja radiasi, pekerja

tersebut akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan untuk

menentukan kondisi kesehatannya pada saat berhenti bekerja. Jika

diperlukan dapat diberikan pemeriksaan tambahan sebagai tindak

lanjut (follow up). Petugas kesehatan pada unit medik fasilitas

nuklir sebaiknya memahami cara dan kondisi kerja sebagai

pekerja radiasi serta bahaya radiasi yang mungkin akan

mengancamnya (Tetriana dan Evalisa, 2007).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 172/MENKES/PER/III/1991, maka pemeriksaan

kesehatan pekerja radiasi terdiri dari:

a) Pemeriksaan jasmani (fisik)


b) Pemeriksaan laboratorium

c) Pemeriksaan lain yang dianggap perlu

b. Proteksi Paparan Radiasi

Untuk menjamin kesehatan pekerja radiasi tetap dalam kondisi

aman dan terkendali maka kegiatan pemeriksaan kesehatan pekerja 32radiasi harus didukung juga oleh
ketentuan yang mengatur cara-cara

yang aman dalam penggunaan radiasi. Di dalam Peraturan

Pemerintah no 63 tahun 2000 tentang "keselamatan dan kesehatan

Terhadap pemanfaatan radiasi pengion dijelaskan secara gamblang

mengenai asas-asas proteksi radiasi yang terdiri dari asas justifikasi

(justification of practices), limitasi (dose limitation), dan optimisasi

(optimization of protection and safety) untuk setiap kegiatan yang

mengakibatkan penerimaan dosis radiasi pada seseorang berdasarkan


rekomendasi ICRP. Keempat asas yang telah dikenal secara luas

tersebut khususnya di lingkungan penguasa instalasi dan pengguna

adalah sebagai berikut :

1) Asas justifikasi, yaitu setiap kegiatan yang memanfaatkan

radioaktif atau sumber radiasi lainnya hanya boleh dilakukan

apabila menghasilkan keuntungan yang lebih besar kepada

seseorang yang terkena penyinaran radiasi atau bagi masyarakat,

dibandingkan dengan kerugian yang mungkin diakibatkan,

dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, ekonomi, dan faktor

lainnya yang sesuai. Dalam melakukan pengkajian perlu

diperhitungkan pula estimasi kerugian yang berasal dari

penyinaran yang tidak dapat diramalkan sebelumnya.

2) Asas limitasi, yaitu penerimaan dosis oleh seseorang tidak boleh


melampaui nilai batas dosis yang ditetapkan Badan Pengawas

(BP). Yang dimaksud nilai batas dosis disini adalah dosis radiasi 34yang diterima dari penyinaran eksterna
dan interna selama 1

(satu) tahun dan tidak bergantung pada laju dosis. Penetapan nilai

batas dosis ini tidak memperhitungkan penerimaan dosis untuk

tujuan medik yang berasal dari radiasi alam.

3) Asas optimisasi, yaitu proteksi dan keselamatan terhadap

penyinaran yang berasal dari sumber radiasi yang dimanfaatkan,

harus diusahakan sedemikian rupa sehingga besarnya dosis yang

diterima seseorang dan jumlah orang yang tersinari sekecil

mungkin dengan memperhatikan faktor sosial dan ekonomi.

Terhadap dosis perorangan yang berasal dari sumber radiasi harus

diberlakukan pembatasan dosis yang besarnya harus dibawah


nilai batas dosis (Tetriana dan Evalisa, 2007).

Menurut Tim Bapeten (2003a

), dalam hal proteksi radiasi

khusus untuk peralatan diagnostik:

1) Penyinaran radiasi medik sekecil mungkin yang bisa dicapai

dengan tetap mendapatkan informasi diagnostik yang

diperlukan.

2) Parameter seperti tegangan, arus, posisi titik fokus, dinyatakan

secara jelas dan akurat.

3) Piranti yang secara otomatik bahwa radiasi selesai setelah

mencapai waktu tertentu.35

4) Untuk fluroskopi, piranti yang menghidupkan tabung dengan

cara ditekan terus-menerus harus dilengkapi dengan pembatas


waktu penyinaran atau pemantau dosis masuk kulit.

Menurut dr. Mardiatmo, 2008 dalam Prosedur Tetap mengenai

Proteksi Radiasi Terhadap Pasien (Lampiran 6), antara lain:

1) Pemeriksaan radiologi hanya bisa dikerjakan atas perintah dokter.

2) Menghindari pengulangan dalam pembuatan foto.

3) Membuat batasan atau mengatur kolimator sedemikian rupa

sehingga sedikit terjadi hamburan sinar radiasi.

4) Menggunakan proteksi atau apron untuk penderita, misal proteksi

untuk gonad, dan lain-lain.

5) Menghindari pemeriksaan bagi wanita hamil, kalau tidak terlalu

dibutuhkan.

6) Apabila pemeriksaan sangat dibutuhkan kepada penerita yang

sedang hamil maka bagian janin atau perut harus ditutup dengan
load, sehingga janin terhindar dari radiasi.

Menurut dr. Mardiatmo, 2008 dalam Prosedur Tetap mengenai

Proteksi Radiasi Terhadap Lingkungan (Lampiran 7), antara lain:

1) Penempatan sinar-X harus ditempatkan di ruang yang kedap

radiasi.

2) Tidak ada bocoran radiasi yang keluar dari ruangan pesawat sinarX baik lewat tembok dan pintu.37

3) Memberi tanda di setiap pintu masuk maupun pintu keluar dengan

lampu merah dalam keadaan menyala berarti sedang terjadi

pemeriksaan.

4) Memberi tanda yang bisa dibaca oleh umum bahwa ruangan

tersebut ada daerah radiasi.

5) Memberi pengertian kepada pengantar penderita agar tidak ikut

masuk kedalam ruang pemeriksaan.


c. Peralatan Protektif dan Proteksi Radiasi

Menurut Peraturan Pemerintah no 63 tahun 2000 tentang

Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion

pasal 18 tentang Peralatan Proteksi Radiasi dan Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1969 tentang Pemakaian Isotop Radioaktip

mempunyai peralatan teknis

yang diperlukan untuk melakukan penyimpanan isotop dengan baik,

untuk menjamin perlindungan terhadap radiasi

Peralatan protektif dan peralatan proteksi radiasi adalah

beberapa alat atau rancangan yang digunakan oleh Instalasi

Radiologi dalam hal keselamatan pekerja untuk menghindari paparan

yang melebihi nilai batas dosis. Sehingga para pekerja merasa aman
dan nyaman dalam melakukan pekerjaannya dan terjaminnya

kesehatan mereka. 39

1) Peralatan Protektif Radiasi

Sebagai peralatan protektif harus sesuai dengan rancangan

yang sudah ditentukan oleh Kepmenkes

1014/MENKES/SK/XI/2008. Pendekatan yang dipakai dalam

menetapkan jenis dan luas ruangan adalah :

a) Fungsi ruangan/jenis kegiatan

b) Proteksi terhadap bahaya radiasi bagi petugas, pasien,

lingkungan

c) Efisiensi

Disisi lain juga tercantum adanya persyaratan ruangan :

a) Letak unit/instalasi radiologi hendaknya mudah dijangkau dari


ruangan gawat darurat, perawatan intensive care, kamar bedah

dan ruangan lainnya.

b) Di setiap instalasi radiologi dilengkapi dengan alat pemadam

kebakaran dan alarm sesuai dengan kebutuhan.

c) Suhu ruang pemeriksaan 20-24 °C dan kelembaban 40 - 60 %.

d) Suhu untuk alat sesuai dengan kebutuhan alat tersebut.

Persyaratan ruangan, meliputi jenis, kelengkapan dan

ukuran/luas ruangan yang dibutuhkan sebagai berikut :

a) Ketebalan dinding

Bata merah dengan ketebalan 25 cm (duapuluh lima

sentimeter) dan kerapatan jenis 2,2 g/cm3 (dua koma dua gram

per sentimeter kubik), atau beton dengan ketebalan 20 cm40

(duapuluh sentimeter) atau setara dengan 2 mm (dua


milimeter) timah hitam (Pb), sehingga tingkat 26 Radiasi di

sekitar ruangan Pesawat sinar-X tidak melampaui Nilai Batas

Dosis 1 mSv/tahun (satu milisievert per tahun).

b) Ruangan dilengkapi dengan sistem pengaturan udara sesuai

dengan kebutuhan.

c) Pintu dan ventilasi.

(1)Pintu ruangan Pesawat sinar-X dilapisi dengan timah hitam

dengan ketebalan tertentu sehingga tingkat Radiasi di

sekitar ruangan Pesawat sinar-X tidak melampaui Nilai

Batas Dosis 1 mSv/tahun (satu milisievert per tahun).

(2)Ventilasi setinggi 2 (dua) meter dari lantai sebelah luar agar

orang di luar tidak terkena paparan radiasi.

(3)Di atas pintu masuk ruang pemeriksaan dipasang lampu


merah yang menyala pada saat pesawat dihidupkan sebagai

tanda sedang dilakukan penyinaran (lampu peringatan tanda

bahaya radiasi).

d) Pada tiap-tiap sambungan Pb, dibuat tumpang tindih atau

overlapping.

e) Jenis dan ukuran ruangan:

(1) Ruang penyinaran atau Ruang sinar-X42Ukuran ruangan sesuai dengan kebutuhan atau

besarnya alat. Sedangkan untuk ruang sinar-X tanpa

fluroskopi, minimal:

(a) Alat dengan kekuatan s/d 125 KV: 4m(p) x 3m(l) x

2,8m(t)

(b) Alat dengan kekuatan >125 KV: 6,5m(p) x 4m(l) x


2,8m(t)

(c) Ruang sinar-X fluoroskopi: 7,5m(p) x 5,7m(l) x 2,8m(t)

(2) Ruang CT-Scan

Ukuran ruangan adalah 6m (p) x 4m (l) x 3m (t) dan

dilengkapi dengan:

(a) Ruang operator

(b) Ruang mesin

(c) Ruang AHU/chiller

2) Peralatan Proteksi Radiasi

a) Film Badge

Suatu alat yang lazim dipergunakan sebagai personil

monitoring yang terdiri dari sebuah paket yang berisi dua

lempeng film dental (untuk sinar-X atau gamma) atau tiga


buah lempeng film dental (untuk sinar-X dan gamma, netron)

yang dibungkus dalam suatu kertas kedap sinar dan dikenakan

dalam suatu wadah plastik atau logam yang sesuai. Kedua film

yang digunakan masing-masing terdiri dari emulsi yang 44

sensitif dan yang satu lagi emulsi yang kurang sensitif (Tim

Bapeten, 2003a

).

Proses yang terjadi pada pemonitor perorangan yang

mempergunakan film ini sama dengan proses yang terjadi pada

waktu melakukan radiografi pada bidang medis (Tim Bapeten,

2003a

).

Prinsip dasar yang terjadi pada film badge adalah adanya


kehitam-hitaman pada film. Kehitam-hitaman pada film

tersebut yang kemudian diukur kerapatannya dan dibandingkan

atau diplot pada grafik standar antara kerapatan dengan dosis.

Pengukuran dosis film badge didasarkan pada fakta bahwa

radiasi pengion akan menyinari perak bromide yang terdapat

pada emulsi fotografi yang akan mengakibatkan kehitaman

pada film tersebut. Tingkat kehitaman yang juga disebut

sebagai densitas optis dari film tersebut secara tepat dapat

diukur dengan menggunakan densitometer fotolistrik yang

pembacaannya dinyatakan sebagai logaritma intensitas cahaya

yang dipancarkan melalui film tersebut. Densitas optis dari

film yang terkena radiasi secara kulitatif berhubungan dengan


besarnya penyinaran radiasi (Tim Bapeten, 2003a

).

Dengan perbandingan densitas optis dari film yang

dikenakan oleh seseorang yang terkena radiasi terhadap

densitas film yang terkena radiasi dengan jumlah yang telah 46

diketahui, maka penyinaran terhadap film yang dikenakan oleh

seseorang tersebut dapat ditentukan (Tim Bapeten, 2003a

).

b) Thermoliminescence Dosimeter (TLD)

Beberapa kristal termasuk CaF2 yang menggunakan Mn

sebagai pencemar (impuritas) dan LiF, memancarkan cahaya

apabila Kristal-kristal tersebut dipanaskan setelah dikenai

radiasi. Kristal-kristal tersebut dinamakan kristal


termoluminesens (kristal pendar panas) (Tim Bapeten, 2003a

).

Penyerapan energi radiasi oleh kristal mengakibatkan

timbulnya atom-atom dalam kristal sehingga menghasilkan

elektron-elektron dan lubang-lubang bebas dalam kristal

pendar panas. Elektron-elektron ini ditangkap oleh pemancar

dalam kisi-kisi kristalin sehingga dapat menghalangi timbulnya

energi dalam kristal tersebut (Tim Bapeten, 2003a

).

Kristal-kristal yang dipanaskan melepaskan energi yang

ditimbulkan sebagai cahaya. Pengukuran keluaran cahaya

bersamaan dengan meningkatnya suhu. Suhu dimana keluaran

cahaya maksimum terjadi merupakan suatu ukuran energi


pengikat elektron pada lubang di dalam tangkapan tersebut.

Jumlah cahaya yang diukur sebanding dengan jumlah elektron

yang ditangkap atau dengan kata lain sebanding dengan energi

yang diserap dari radiasi pengion (Tim Bapeten, 2003a

)48Jadi intensitas cahaya yang dipancarkan pada saat

pemanasan kristal standar panas secara langsung sebanding

dengan dosis radiasi yang diserap oelh kristal tersebut (Tim

Bapeten, 2003a

). Beberapa peralatan protektif dan peralatan

proteksi radiasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis Peralatan Protektif dan Proteksi Radiasi 48

TABEL

c) Alat Pelindung Diri


Semua alat pelindung diri harus diperhatikan dengan

seksama dan disimpan dengan baik ketika tidak digunakan.

Semua alat pelindung diri harus dalam kondisi bersih dan siap

digunakan, jadwal pemeliharaan oleh produsen harus diingat

dan dilakukan termasuk pergantian bagian yang rusak atau

terjadwal untuk diganti (Tim Pusat K3, 2009).

(1) Alat pelindung mata (Goggles)49

Salah satu masalah tersulit dalam pencegahan

kecelakaan adalah pencegahan kecelakaan yang menimpa

mata. Orang yang tidak terbiasa dengan kacamata

biasanya tidak memakai perlidungan tersebut dengan

alasan mengganggu pelaksanaan pekerjaan dan

Menurut Tim Pusat K3 (2009), goggles mempunyai


fungsi untuk melindungi mata dari:

(a) Percikan bahan-bahan korosif.

(b) Kemasukan debu atau partikel-partikel yang

melayang di udara.

(c) Lemparan benda-benda kecil.

(d) Pancaran gas atau uap kimia yang dapat menyebabkan

iritasi mata.

(e) Radiasi gelombang elektromagnetik yang mengion

maupun tidak mengion.

(f) Benturan atau pukulan benda keras atau benda tajam.

Menurut Tim Pusat K3 (2009), goggles mempunyai

spesifikasi atau ketentuan sebagai berikut:

(a) Tahan terhadap api.


(b) Tahan terhadap lemparan atau percikan benda kecil.

(c) Lensa tidak boleh memiliki efek distorsi.51

(d) Mampu menahan radiasi gelombang elektromagnetik

pada panjang gelombang tertentu.

(2) Alat pelindung tangan (Sarung tangan atau Gloves)

Sarung tangan harus diberikan kepada tenaga kerja

dengan pertimbangan akan bahaya-bahaya dan persyaratan

Menurut Tim Pusat K3 (2009), gloves mempunyai

fungsi untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari

pajanan api, panas, dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi

mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan pukulan,

tergores, terinfeksi. Alat pelindung tangan harus sesuai

antara potensi bahaya dengan bahan sarung tangan yang


dikenakan pekerja. Potensi bahaya dan bahan sarung

tangan yang sesuai dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis sarung tangan sesuai potensi bahaya52

TABEL

(3) Pakaian pelindung (Apron)

Menurut Tim Pusat K3 (2009), pakaian pelindung

berfungsi untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh

dari kotoran, debu, bahaya percikan bahan kimia, radiasi,

panas, bunga api maupun api. Untuk spesifikasinya adalah

pakaian pelindung dari kulit untuk tenaga kerja yang

mengerjakan pengelasan, pakaian pelindung untuk

pemadam kebakaran, pakaian pelindung untuk pekerja

yang terpajan radiasi tidak mengion, pakaian pelindung


untuk pekerja yang terpajan radiasi mengion, pakaian

pelindung terbuat dari plastik untuk tenaga kerja yang

bekerja kontak dengan bahan kimia.

d) Surveymeter

Menurut Tim Bapeten (2003b

), surveymeter adalah alat

yang digunakan untuk mengetahui tingkat radiasi di suatu

tempat dalam satuan laju dosis. Pemilihan surveymeter yang

akan digunakan harus didasarkan pada jenis radiasi, energi

radiasi, dan kondisi tempat kerja.53

Anda mungkin juga menyukai