com
U a
Karena kinerja Direktorat Jenderal Pajak yang adalah administrator perpajakan selalu
diukur dengan penerimaan pajak, maka dalam rangka penerimaan negara melalui
pajak, DJP mengeluarkan berbagai produk administrasi, dari berupa surat
korespondensi biasa sampai dengan surat paksa yang setara dengan putusan hakim
(grosse) serta produk-produk hukum lainnya. Beberapa surat/produk tersebut tentu
saja tidak semuanya memuaskan rasa keadilan Wajib Pajak. Maka untuk memenuhi
rasa keadilan tersebut diaturlah upaya hukum dalam UU KUP, salah satunya adalah
gugatan.
Dalam UU KUP pasal 23 ayat 2 ditegaskan bahwa wajib pajak atau penanggung pajak
dapay melakukan gugatan : “Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap” :
Produk hukum yang menjadi obyek gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU huruf a,
b, dan d sudah jelas disebut, yaitu: Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Pengumuman Lelang, SKP,dan SK Keberatan. Namun tidak demikian dengan
Obyek gugatan huruf c yang hanya menyebutkan ‘keputusan yang berkaitan dengan
pelaksanaan keputusan’.
Bagaimana dengan pengertian Pasal 23 huruf ayat (2) huruf c “Keputusan yang berkaitan
dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1)
dan Pasal 26; ” ?
1. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata
cara penerbitan;
2. Surat Keputusan Pembetulan;
3. Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau
tata cara penerbitan;
4. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
5. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
6. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
7. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
8. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Sebuah opini mengatakan bahwa terdapat dua unsur obyek gugatan dalam pasal 23
ayat (2) huruf c, yaitu : keputusan dan pelaksanaan keputusan, dengan pengertian
masing-masing adalah :
Keputusan berjenjang dapat ditafsirkan telah melalui proses review yang merupakan
proses administrasi yang masih menjadi domain DJP. DJP masih diberikan kesempatan
untuk mereview keputusan administrasi sebelum disengketakan di pengadilan. Hal ini
sesuai dengan loso hukum ‘dua alat bukti’ keputusan hakim. DJP bertindak sebagai
‘hakim’ atas keputusan yang dikeluarkannya (STP, SKP, SP, dan lain-lain). Bukti pertama
yaitu keputusan pertama (STP, SKP, dan keputusan lainnya) dan bukti ke-2 yaitu
keputusan Pasal 16, 25, dan 36 UU KUP. Dengan dua alat bukti tersebut maka DJP
sebagai ‘hakim’ telah inkracht atas keputusanya sehingga upaya hukum lanjutan ke
hakim berikutnya, yaitu hakim Pengadilan Pajak.
Prinsip keputusan berjenjang sebenarnya berlaku untuk seluruh obyek gugatan (selain
tindakan penagihan dengan Surat Paksa). STP tidak dapat langsung digugat tanpa
terlebih dahulu melaui proses Pasal 36 ayat (1) huruf a dan c UU KUP. Demikian juga
SKP tidak dapat langsung digugat tanpa melalui proses Pasal 36 ayat (1) huruf b dan d
UU KUP. Tindakan Penagihan dengan Surat Paksa (SP) dapat langsung digugat karena
Surat Paksa setara dengan putusan hakim (grosse), sehingga proses sengketa haruslah
ke hakim berikutnya yaitu Hakim Pengadilan Pajak (PP) karena merupakan sengketa
pelaksanaan atau eksekusi Surat Paksa (SP) dan tidak lagi masalah penerbitannya.
1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
2. Jangka Waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak
adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
3. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan adalah 30 hari sejak
tanggal diterima Keputusan yang digugat.
4. Jangka waktu sebagaimana dimaksud tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
5. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud adalah 14 hari terhitung sejak
berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.
6. Terhadap 1 pelaksanaan penagihan atau 1 Keputusan diajukan 1 Surat Gugatan
7. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidak dapat diajukan
kembali.
8. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau
kewajiban perpajakan.
9. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan
penagihan Pajak ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai
ada putusan Pengadilan Pajak.
Gugatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa
hukumnya.
Apabila selama proses Gugatan, pemohon Gugatan meninggal dunia, Gugatan dapat
dilanjutkan oleh warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam
hal pemohon Gugatan pailit.
Apabila selama proses Gugatan pemohon Gugatan melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud
dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Pencabutan Gugatan
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang gugatan di atas disimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) unsur
yang harus diperhatikan oleh wajib pajak dalam mengajukan gugatan yaitu: a).
Menyangkut prosedur dari suatu keputusan, artinya suatu keputusan perpajakan
diterbitkan dengan tidak dilakukan sesuai prosedur maka atas setiap keputusan
tersebut dapat diajukan gugatan. b). Jika menyangkut materi dari suatu keputusan
maka memperhatikan pasal 23 ayat 2 huruf c UU KUP.
Proses surat menyurat dari KPP seperti halnya surat himbauan, pemberitahuan, atau
panggilan pemeriksaan, bukanlah suatu keputusan yang dapat digugat. Hal ini karena
surat-surat tersebut tidak mempunyai akibat hukum bagi Wajib Pajak. Surat Perintah
Pemeriksaan Pajak juga belum memenuhi unsur suatu keputusan memang dapat
dikatakan mempunyai akibat hukum, yaitu timbul kewajiban untuk memenuhi Pasal 29
UU KUP dan status baru sebagai terperiksa, namun belum bersifat nal.
1. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
2. Pasal 1, 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
3. Pasal 1, 40, 41, 42, 43, 44, 45 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
4. Pasal 37 PP 74 Tahun 2011
Artikel Terkait
Sekilas Tentang Sengketa Pajak
Sekilas Tentang Pengurangan Sanksi
Netralitas Petugas Penelaah Keberatan
Konsekuensi Keputusan Keberatan dan Banding