Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

DASAR KESEHATAN MASYARAKAT

PELINDUNGAN KESEHATAN MASYARAKAT TERHADAP PEREDARAN OBAT DAN


MAKANAN DARING

Disusun oleh :

KELOMPOK 13

1. NUR FITRIANI NPM 2106762553


2. NATASYA AMALIA AGUSTINE NPM 2106762521
3. TRIYUNI RIZKYA MIKA NPM 2106762710

S1 EKSTENSI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYSARAKAT

UNIVERSITAS INDONESIA

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pelindungan Kesehatan Masyarakat
terhadap Peredaran Obat dan Makanan Daring”.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih
baik lagi di masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 25 November 2021

2
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 4
1.2 RUMUSAN MASALAH 6
1.3 TUJUAN 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN INDONESIA ...........8
2.1.1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BADAN POM RI ...........8
2.1.2 STRUKTUR ORGANISASI BADAN POM RI ...........9
2.1.3 DEPUTI BIDANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN DAN BAHAN
BERBAHAYA .........10
2.2 SURVEILAN KEAMANAN PANGAN DI BEBERAPA NEGARA .........11
2.3 SURVEILAN KEAMANAN PANGAN DI BADAN POM ........ 13
BAB 3 STUDI KASUS 15
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 PENGARUH POSITIF DAN NEGATIF DARI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
INFORMASI DAN KOMUNIKASI PADA BIDANG PENGAWASAN OBAT DAN
MAKANAN 16
4.2 TANTANGAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DI INDONESIA
BERDASARKAN RENCANA STRATEGIS BPOM 2020-2024 DAN CONTOH
PENERAPANNYA 17
4.3 ASPEK-ASPEK YANG MEMPENGARUHI LEGALITAS PRODUK OBAT DAN
PANGAN DI INDONESIA DAN KEBIJAKAN YANG MENGATUR PENGAWASAN
OBAT DAN MAKANAN ILEGAL YANG DIDISTRIBUSIKAN SECARA DARING
MAUPUN KONVENSIONAL 19
4.4 MASYARAKAT DAN PEMERINTAH MENANGGAPI PERMASALAHAN
PEREDARAN OBAT DAN MAKANAN ILEGAL YANG DIDISTRIBUSIKAN SECARA
DARING 20
BAB 5 PENUTUP

3
5.1 SIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23

4
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada era globalisasi saat ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah
membuat masyarakat tidak dapat lepas dari penggunaan perangkat komunikasi dan internet.
Perkembangan penggunaan media internet sebagai sarana komunikasi menjadi semakin pesat
setelah internet mulai dapat diakses melalui telepon seluler dan bahkan kemudian muncul istilah
telepon cerdas (smartphone). Penggunaan media dalam jaringan (daring) saat ini menjadi efektif
dalam menjangkau masyarakat dengan akses yang lebih cepat, kapan pun, di mana pun, dan oleh
siapa pun. Keefektifan ini sangat memudahkan masyarakat seiring dengan tingkat mobilitas
masyarakat yang tinggi yang membutuhkan segala sesuatu dengan segera. Di lain pihak, para
pelaku bisnis memerlukan media pemasaran yang efektif dengan tujuan memperluas pangsa
pasarnya (Puspitarini & Nuraeni, 2019: 72). Bagi pelaku usaha, keberadaan media sosial
merupakan media pemasaran yang paling mudah dan murah. Oleh karena itu, wajar media sosial
dijadikan sebagai media promosi andalan dengan didukung oleh situs web (website) atau blog
perusahaan yang dapat menampilkan profil perusahaan secara lengkap. Bahkan tidak jarang para
pelaku usaha hanya memiliki media sosial saja tanpa ada situs web atau pun blog, namun tetap
aktif dalam persaingan bisnis. Pemerintah menyadari adanya transisi menuju ekonomi digital dan
menyambut era digital ini dengan mengembangkan sektor UMKM. Selain mendorong sektor
UMKM, tentunya berbagai peredaran daring produk membutuhkan peran pemerintah yang lebih
luas sebagai regulator dan pengawas agar masyarakat terlindungi. Selain itu, pandemi Covid-19
telah membuat pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di
mana semua kegiatan dilakukan dari rumah, baik kegiatan belajar, pekerjaan, bahkan peribadatan.
Hal ini membuat penggunaan internet menjadi semakin meningkat. Masyarakat menjadi malas
untuk beraktivitas di luar rumah termasuk enggan mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan untuk
memeriksakan kondisi kesehatannya karena adanya kekhawatiran tertularnya Covid-19. Daring
hanyalah sebuah alternatif dalam kegiatan promosi dan penjualan yang ditawarkan secara
konvensional. Namun, hal ini menjadi ilegal apabila institusi atau pelaku penjualan daring tidak
memiliki izin usaha, tidak memenuhi persyaratan sertifikasi, lisensi, registrasi, dan persyaratan
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Produk yang ditawarkan pun tidak memenuhi

5
ketentuan izin edar, persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, produk ilegal, palsu,
kedaluwarsa, terlarang, dan lainnya.

Menurut Qona’ah dan Afianto (2020: 46), obat ilegal adalah obat dengan izin edar Rahmi
Yuningsih Pelindungan Kesehatan Masyarakat terhadap Peredaran Obat dan... 51 palsu dan tidak
memiliki nomor registrasi; obat yang kandungannya tidak sesuai dengan tulisan yang tercantum
dalam kemasan; obat yang standarnya tidak sesuai klaim; obat palsu; penyalahgunaan obat; obat
yang telah kedaluwarsa dan dijual kembali; obat impor yang masuk secara ilegal karena tidak
berkoordinasi dengan pihak BPOM dan tidak berlabel bahasa Indonesia; dan obat tradisional yang
mengandung bahan obat kimia. Berdasarkan kutipan tersebut, obat ilegal yang beredar secara
daring sudah diidentifikasikan berbagai jenisnya. Namun, di luar unsur kesengajaan dan
pengenaan sanksi hukum, masih banyak masyarakat yang belum mengerti berbagai obat ilegal
yang beredar secara daring. Mereka menjadi konsumen obat ilegal karena sudah terbiasa
menggunakan atau pun terpengaruh dari iklan, promosi, dan testimoni pengguna lainnya.
Masyarakat juga sering kali tidak menyadari bahwa data transaksi akan terekam dan akan menjadi
bukti yang kuat dalam pengawasan yang dilakukan pemerintah. Pada tahun 2020, BPOM telah
merilis hasil pencapaian dan temuan pelanggaran selama tahun 2019. Pelanggaran yang paling
sering ditemukan adalah peredaran obat dan makanan yang secara masif masih meluas melalui
daring. Obat dan makanan yang diperjualbelikan secara daring banyak yang belum mendapat izin
edar BPOM sehingga belum teruji keamanannya.

Ada peluang untuk memalsukan obat keras dengan menambahkan bahan kimia berbahaya,
misalnya obat peningkat stamina pria. Konsumen bisa jadi tidak merasakan dampak buruknya
secara langsung, hanya merasakan kuat, namun dampak buruknya ke badan akan dirasakan dalam
waktu dekat maupun dalam jangka panjang. Jenis obat lainnya yang biasa diperjualbelikan secara
daring dan ilegal adalah misoprostol yang kerap disalahgunakan sebagai obat aborsi ilegal. Obat
tersebut tersedia secara bebas pada situs jual beli daring. Obat tersebut termasuk dalam obat yang
membutuhkan resep dokter untuk mendapatkannya (Sulaiman, 2019). Sejatinya obat keras tanpa
resep dokter berisiko merugikan pasien karena tidak ada pengawasan dari dokter dan apoteker
dalam penggunaan dan penyimpanan obat tersebut. Kondisi pasien dan masyarakat yang lemah di
bidang kesehatan menjadikan pasien dan masyarakat tidak dapat mengambil keputusan sendiri
dalam penggunaan obat keras. Kemungkinan terjadinya penyalahgunaan, over dosis,

6
kontraindikasi, dan timbulnya efek samping obat pada tubuh dapat merugikan masyarakat dan
memperburuk kondisi kesehatan. Peredaran daring obat dan makanan memiliki risiko beredarnya
obat-obatan tertentu yang sering disalahgunakan dan produk ilegal yang merugikan kesehatan
masyarakat. Di sisi lain, kebijakan pengawasan peredaran obat dan makanan secara daring masih
tersebar dalam berbagai peraturan perundangan. Salah satunya yang dikeluarkan oleh BPOM
melalui Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang
Diedarkan secara Daring. Dalam teori kebijakan publik, terdapat berbagai aktor yang terlibat
dalam implementasi kebijakan publik, yaitu: kalangan birokrasi, pihak swasta, dan peran serta
masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tulisan ini bertujuan mengkaji peran
pemerintah, keterlibatan pihak swasta, dan peran serta masyarakat dalam pengawasan peredaran
daring obat dan makanan sebagai wujud pelindungan kesehatan masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Bagaimana pengaruh positif dan negatif dari perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi pada bidang pengawasan obat dan makanan?
b. Apa saja yang termasuk kedalam tantangan pengawasan obat dan makanan di Indonesia
dan contoh penerapannya berdasarkan rencana Strategis BPOM 2020-2024?
c. Apa saja aspek-aspek yang mempengaruhi legalitas produk obat dan pangan di
Indonesia? Bagaimana kebijakan yang mengatur pengawasan obat dan makanan ilegal
yang didistribusikan secara daring maupun konvensional?
d. Bagaimana masyarakat dan pemerintah harus menanggapi permasalahan peredaran obat
dan makanan ilegal yang didistribusikan secara daring?
1.3 TUJUAN
a. Mengetahui pengaruh positif dan negatif dari perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi pada bidang pengawasan obat dan makanan
b. Mengetahui tantangan pengawasan obat dan makanan di Indonesia dan contoh
penerapannya berdasarkan rencana Strategis BPOM 2020-2024
c. Mengetahui aspek-aspek yang mempengaruhi legalitas produk obat dan pangan di
Indonesia dan mengetahui kebijakan yang mengatur pengawasan obat dan makanan
ilegal yang didistribusikan secara daring maupun konvensional
d. Mengetahui masyarakat dan pemerintah harus menanggapi permasalahan peredaran obat
dan makanan ilegal yang didistribusikan secara daring

7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia

2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Badan POM RI

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat pada industri


obat, kosmetik, alat kesehatan, dan makanan. Banyak industri telah memiliki teknologi
canggih sehingga produk-produk tersebut dapat dihasilkan dalam skala yang besar dengan
waktu yang singkat. Selain itu, dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi, banyak
produk-produk serupa dari luar negeri ikut meramaikan pasar di Indonesia. Peredaran
produk obat, kosmetik, alat kesehatan dan makanan tersebut perlu mendapatkan
pengawasan dari pemerintah. Jika tidak, akan banyak beredar produk- produk yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kelayakan dan keamanannya. Produk yang tidak layak dan
aman tersebut berupa produk rusak atau terkontaminasi bahan berbahaya yang terjadi pada
proses produksi, distribusi, maupun konsumsinya.
Untuk itu, telah dibentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang
bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari
bahaya penggunaan produk obat dan makanan. Pengawasan ini sebelumnya ditangani oleh
departemen kesehatan, tetapi karena bertambah kompleksnya permasalahan yang ada dan
kebijakan-kebijakan yang harus diambil maka tugas ini perlu ditangani secara khusus.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Badan POM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen
(LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan
Departemen Kesehatan Kesejahteraan Sosial. Untuk melaksanakan tugasnya, Badan POM
diberi kewenangan untuk menyusun rencana nasional dan kebijakan nasional secara makro
di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan sistem informasi di bidang
pengawasan obat dan makanan, menetapkan standar penggunaan bahan tambahan tertentu
untuk makanan dan pedoman untuk mengawasinya, memberi ijin peredaran obat serta
mengawasi industri-industri farmasi, dan menetapkan pedoman penggunaan konservasi,
pengembangan, dan pengawasan tanaman obat.
Visi Badan POM :

8
Visi dari Badan POM RI adalah Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan
yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat.
Misi Badan POM :

a. Melakukan Pengawasan Pre-Market Berstandar Internasional.


b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten.
c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di Berbagai Lini.
d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan
Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.
e. Membangun Organisasi Pembelajaran (Learning Organization).

2.1.2 Struktur Organisasi Badan POM RI

Badan POM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun


2000 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan Badan POM RI ini ditindaklanjuti dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBADAN
POM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Berikut ini adalah
struktur organisasi Badan POM terdiri dari :
1. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
2. Sekretariat Utama
3. Inspektorat
4. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif (NAPZA)
5. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
6. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
7. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional

9
8. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan
9. Pusat Riset Obat dan Makanan
10. Pusat Informasi Obat dan Makanan

11. Unit Pelaksana Teknis Badan POM

2.1.2. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya bertugas


untuk merumuskan kebijakan di bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya secara menyeluruh (Total Food Safety and Hazardous Control). Pengawasan
pangan atau bahan berbahaya yang dilakukan mulai dari bahan mentah hingga siap
dikonsumsi (from farm to table).
Tugas Deputi ini cukup berat, karena pengawasan secara menyeluruh tersebut
melibatkan faktor-faktor yang cukup kompleks. Dari mulai diproduksi hingga mencapai
konsumsi, bahan tersebut akan melewati mata rantai yang sulit untuk dilacak. Beberapa
mata rantai tersebut adalah budidaya, pengolahan, distribusi, pemasaran, dan konsumsi
yang melibatkan pelaku-pelaku seperti produsen, distributor, pengecer, jasaboga, eksportir,
importir, dan instansi-instansi terkait di luar Badan POM yang bertugas untuk mengawasi
mata rantai produksi pangan, maka pengawasan pangan dan bahan berbahaya secara
menyeluruh dilakukan dengan pendekatan terhadap pelaku-pelaku tersebut.
Dalam undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 3, tujuan
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah :
1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi
kepentingan kesehatan manusia
2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab
3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga wajar dan terjangkau sesuai
dengan kebutuhan masyarakat

Keamanan pangan dipengaruhi oleh setiap tahapan proses yang dilaluinya, sejak
dari bahan mentah sampai ke produk jadi di tangan konsumen. Untuk memberikan jaminan
keamanan pangan maka perlu dilakukan cara-cara pengendalian pada setiap mata rantai

10
proses penanganan dan pengolahan pangan, mulai dari lapangan (sawah, kebun, kolam,
serta praktek-praktek pertanian yang baik), proses pengolahan, penggudangan dan
penyimpanan, distribusi dan pemasaran, sampai kepada konsumsi oleh konsumen.
Untuk itu, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
memiliki Kebijakan Peningkatan Keamanan Pangan, yaitu :

1. Meningkatkan kemampuan Badan POM dalam melakukan berbagai kegiatan yang


terkait dengan risk assessment, risk management, dan risk communication.
2. Meningkatkan networking antar lembaga secara terpadu dalam berbagai kegiatan
yang terkait dengan keamanan pangan baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Meningkatkan kesadaran produsen, khususnya industri rumah tangga akan
pentingnya keamanan pangan bagi perlindungan konsumen dan peningkatan daya
saing industri pangan secara lokal, regional, maupun global.
4. Meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya keamanan pangan bagi
kesehatan masyarakat dan ikut mengawasi keamanan pangan yang dikonsumsinya.
5. Meningkatkan tindakan secara hukum (enforcement) bagi mereka yang melanggar
peraturan perundang-undangan pangan (Fardiaz 2001).

Dalam melaksanakan strategi ini Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan


dan Bahan Berbahaya dibantu oleh lima direktorat yaitu, Direktorat Penilaian Keamanan
Pangan, Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
Pangan, Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, dan Direktorat Surveilan
dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

2.2 SURVEILAN KEAMANAN PANGAN DI BEBERAPA NEGARA

Mengacu kepada modul BPOM (2011), berikut adalah sistem surveilan keamanan pangan di
beberapa negara :

1. USA

Dalam penjaminan keamanan pangan, kegiatan US-FDA terfokus pada kesehatan


masyarakat, nilai gizi dan pelabelan. Risiko yang dikaji adalah risiko kimia, mikrobiologi,
toksikologi dan nilai gizi dari pangan farm to table termasuk pangan siap saji. US-FDA

11
memiliki pendekatan acceptable atau yang dapat diterima daripada pendekatan limit yang
dapat sangat bervariasi antar negara, antar kondisi dan antar industri. Keputusan terhadap
suatu permasalahan di US-FDA selama ini selalu didasarkan pada risiko sebenarnya dan
bukan pada risiko yang diperkirakan. Dengan demikian maka kajian risiko merupakan
kegiatan yang mutlak dilakukan dan menjadi inti dari pengambilan keputusan. Hal ini
dimungkinkan karena kebijakan tingkat tinggi memberikan dukungan bagi pelaksanaan
semua kegiatan tersebut.

2. CANADA

Di Canada, institusi yang bertanggung jawab dibidang keamanan pangan adalah


Canadian Food Inspection Agency (CFIA) yang tugasnya adalah melakukan sampling
produk untuk dianalisis kandungan residu kimia dan mikrobiologisnya. Selain itu institusi
ini juga memberikan respon pada kondisi food safety emergencies. Di Canada, penentuan
standar pangan sudah didasarkan pada kajian risiko kesehatan terkini. Kegiatan surveilan
dilakukan untuk mengidentifikasi dan menginvestigasi emerging issue sedangkan untuk
mendapatkan data paparan dilakukan dengan metode TDS. Aktivitas monitoring dan
surveilan merupakan dasar utama untuk menjamin dan memelihara keamanan pangan di
Canada. Salah satu contoh kegiatan surveilan keamanan pangan yang baru-baru ini
dilakukan adalah Microbiological Risk Assessment (MRA) pada Listeria monocytogenes.

3. AUSTRALIA DAN NEW ZEALAND

Di Australia dan New Zealand, institusi yang bertugas memonitor keamanan


pangan adalah Food Standards Australia New Zealand (FSANZ). Instansi tersebut
memonitor pangan untuk menjamin agar pangan aman dan sesuai dengan standar untuk
kontaminan mikrobiologi, residu pestisida dan kontaminan kimia. FSANZ berfungsi
sebagai pusat pengumpulan data dari unit-unit kesehatan di Australia dan New Zealand
termasuk di dalamnya hasil dari uji kesesuaian survei dengan target tertentu yang
dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan.

4. EUROPEAN UNION (EU)

Dalam melakukan kajian risiko dibentuk European Food Safety Authority (EFSA)
yang bersifat independen yang bertugas memasok informasi ke Europian Commision (EC).

12
EFSA bertugas melakukan pengumpulan data terkait pangan dan pakan dari negara
anggota untuk menyusun laporan surveilan tahunan. Kajian risiko EFSA dilakukan oleh
komite saintifik yang meliputi bahan tambahan pangan, penggunaan material yang kontak
dengan pangan, bahan tambahan untuk pakan, residu proteksi tanaman, kesehatan
tanaman, GMO, alergen, gizi dan produk dietetik, bahaya biologi, kontaminan pada rantai
pangan, dan kesehatan hewan. Selain itu juga risiko spesifik seperti BSE. Hasilnya antara
lain diinformasikan di dalam sistem RASFF. Contoh kegiatan surveilan keamanan pangan
dari negara anggota EC antara lain yang sudah dilakukan di Belanda dan Inggris berupa
kajian terhadap bahaya mikrobiologis. Bahaya mikrobiologis yang dikaji meliputi
Salmonella, Campylobacter, E. coli O157:H7, dan L. monocytogenes.

5. HONGKONG

Instansi yang menyelenggarakan kegiatan surveilan keamanan pangan di


Hongkong adalah The Center for Food Safety (TCFS). Kegiatan surveilan keamanan
pangan yang dilakukan meliputi 3 skema, yaitu surveilan keamanan pangan rutin,
surveilan keamanan pangan dengan target pangan tertentu, dan surveilan keamanan pangan
musiman untuk tujuan impor baik di tingkat pedagang atau pengecer untuk diuji
kandungan kimia dan mikrobiologinya. Hasilnya diumumkan setiap bulan sehingga
masyarakat dapat mengikuti kondisi keamanan pangan setiap waktu. Sebagai contoh
pangan yang dianalisis tahun 2010 adalah sekitar 8800 setiap tahunnya dengan proporsi
pengujian mikrobiologis 29%, kimia 65% dan radioaktif 6%.

2.3 SURVEILAN KEAMANAN PANGAN DI BADAN POM

Badan POM RI merupakan salah satu lembaga pemerintah non-departemen yang


memiliki peran penting dalam menjalin keamanan pangan di Indonesia. Badan POM
sendiri bertindak sebagai leading sector dalam penyusunan kebijakan tentang mutu dan
keamanan pangan dengan dibantu oleh instansi terkait lainnya. Untuk mendeteksi masalah
keamanan pangan tersebut dan risikonya terhadap kesehatan masyarakat, diperlukan
kegiatan surveilan keamanan pangan guna memantau kecenderungan (trend) keamanan
pangan (Mardiono 2007). Pada prinsipnya, surveilan bertujuan memperoleh informasi
untuk dijadikan dasar dalam melakukan suatu tindakan. Tindakan tersebut ditujukan untuk

13
perencanaan, pengkajian, dan pelaksanaan pengawasan penyakit-penyakit akibat pangan
(Sparringa et al. 2002).
Surveilan keamanan pangan di Indonesia masih mempunyai konotasi surveilan
pada penyakit-penyakit akibat pangan (foodborne diseases) yang umumnya diketahui dari
kasus keracunan pangan atau KLB keracunan pangan. Masalah keamanan pangan tidak
terbatas pada kasus/KLB keracunan pangan saja, namun identifikasi faktor-faktor risiko
(risk factors) penyakit akibat pangan yang ada di lapangan perlu mendapat perhatian
(Sparringa 2002). Sebenarnya Badan POM RI sejak lama telah melaksanakan monitoring
dan survei keamanan pangan yang ditujukan pada pengawasan untuk penegakan hukum.
Prioritas pengawasan pangan lebih dititikberatkan pada pengawasan yang bersifat
preventif (Fardiaz 2001), sehingga survei keamanan pangan di sepanjang rantai pangan
perlu dilaksanakan diluar kegiatan inspeksi dalam rangka pengawasan pangan dan survei
yang berhubungan dengan kasus atau KLB Keracunan Pangan.
Pelaksanaan survei harus dilaksanakan menurut mekanisme baku yang mengikuti
proses analisis risiko yaitu kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko. Setiap
survei harus dikumpulkan datanya, diolah, dianalisis, dilakukan interpretasi serta
ditindaklanjuti dalam suatu sistem yang terintegrasi (Sparringa et al. 2002). Untuk itu
diperlukan Mekanisme Surveilan Keamanan Pangan dan Tindak Lanjut.

14
BAB 3 STUDI KASUS

15
BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 PENGARUH POSITIF DAN NEGATIF DARI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI


INFORMASI DAN KOMUNIKASI PADA BIDANG PENGAWASAN OBAT DAN
MAKANAN
Dampak positif pada pemanfaatan sistem informasi kesehatan terkini dan teknologi
informasi untuk upaya cepat tanggap pengawasan obat dan makanan, dan komunikasi
efektif risiko. Kerja sama lintas sektor diperlukan untuk mendapatkan data pola penyakit,
data resistensi antibiotika, data outbreak keracunan pangan dan data dampak produk
ilegal/palsu. Teknologi informasi “Track and Trace” dapat memperkuat rantai pasokan
manajemen/distribusi obat dan makanan untuk melindungi masyarakat dari produk-produk
ilegal dan palsu.
Perkembangan teknologi tersebut telah memfasilitasi teknologi produksi sehingga
jenis dan volume obat, makanan dan kosmetik semakin beragam. Dengan perkembangan
teknologi ini berdampak pada trend produk dunia kedepan, diantaranya: 1) meningkatnya
produk bioteknologi (monoclonal anti bodi) atau protein terapetik/biosimilar (eritropoetin,
insulin, dll); 2) pengembangan probiotik sebagai obat penyakit lifestyle, meningkatkan
fungsi pencernaan pada pasien yang memiliki kelainan enzim; pengembangan obat dengan
nanoteknologi; targeted organ medicine; blood product dan sel punca; 3) Teknologi nano
juga telah dikembangkan dalam pembuatan kosmetik dan pangan, bahkan bentuk sediaan
kosmetik terus berinovasi yang membutuhkan pengawalan pengujian mutu dan keamanan
sesuai inovasi tersebut.
Selain itu, dampak negatif perkembangan teknologi yang sudah tersebar di seluruh
pelosok Indonesia salah satunya berdampak pada semakin banyaknya pengguna internet.
Total populasi rakyat Indonesia diperkirakan sebesar 265 juta jiwa, dimana sebanyak 130
juta orang (49%) merupakan pengguna aktif sosial media pada bermacam platform.
Dengan tingkat pertumbuhan pengguna sosial media mencapai 23% pada tahun 2018,
sebanyak 79% pengguna aktif internet di Indonesia menghabiskan waktu menggunakan
internet selama 8-9 jam sehari. Kondisi tersebut menjadi potensi pasar bagi penetrasi
ekonomi digital dan berkembangnya e-commerce. Implikasinya adalah konsumen akan
semakin mudah untuk mendapatkan berbagai layanan dan barang yang dibutuhkan.

16
Pengguna intenet yang melakukan pembelian dan jasa layanan sebanyak 40%, dan
diperkirakan perputaran ekonomi di dunia e-commerce mencapai US$ 593 Juta per tahun
untuk produk obat, makanan dan kosmetik.
Tingginya minat masyarakat terhadap transaksi online ditambah kurangnya
pengetahuan masyarakat dalam memilih obat yang aman masih rendah, menjadi peluang
bagi pelaku usaha untuk mendulang keuntungan besar dengan memanfaatkan
ketidaktahuan masyarakat terhadap aspek keamanan mutu dan kemanfaatan produk. Era
digital membawa penyaluran dan peredaran obat di masyarakat menjadi cukup fleksibel
sehingga tidak jarang masyarakat tidak memperhatikan aspek ketentuan distribusi obat
yang sesuai peraturan. Dengan demikian, BPOM harus segera beradaptasi untuk
melakukan digitalisasi instrumen pengawasan yang berbasis kemandirian industri dalam
memastikan keamanan, mutu dan gizi produk yang dihasilkan.

4.2 TANTANGAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DI INDONESIA


BERDASARKAN RENCANA STRATEGIS BPOM 2020-2024 DAN CONTOH
PENERAPANNYA

PELUANG TANTANGAN
- Ekspektasi masyarakat yang tinggi terkait - Globalisasi, Perdagangan Bebas dan
peran BPOM dalam pengawasan Obat dan Komitmen Internasional
Makanan - Besarnya pendapatan perkapita berdampak
- Adanya gerakan reformasi birokrasi dan peningkatan konsumsi Obat dan Makanan
pengembangan pelayanan publik - Meningkatnya tren back to nature di
- Adanya Instruksi Presiden No.3 Tahun masyarakat
2017 tentang Peningkatan Efektivitas - Perubahan pola hidup masyarakat (sosial
Pengawasan Obat dan Makanan dan ekonomi)
- Percepatan pelayanan public - Munculnya (kembali) berbagai penyakit
- Meningkatnya jumlah permohonan baru
pendaftaran produk Obat dan Makanan - Perubahan iklim dunia
- Perkembangan teknologi - Berkembangnya fasilitas industri farmasi

17
- Terjalinnya kerjasama dengan instansi serta peningkatan kapasitas produksinya
terkait - Teknologi Informasi sebagai sarana KIE
- Jumlah industri Obat dan Makanan yang yang sangat cepat, pelayanan publik dan
berkembang pesat pengawasan post market Obat dan Makanan
- Kesehatan menjadi kewenangan yang - Demografi dan Perubahan Komposisi
diselenggarakan secara konkuren antara Penduduk
pusat dan daerah - Implementasi Program Fortifikasi Pangan -
- Peran Kerjasama Multilateral dan Bilateral Nilai impor Obat dan Makanan tinggi
(AFTA, AEC, etc) terhadap peningkatan - Maraknya penjualan Obat dan Makanan
daya saing produk dalam negeri ilegal secara online
- Kerjasama dengan aparat penegak hokum - - Adanya penggunaan obat bahan alam di
Jenis produk Obat dan Makanan sangat fasilitas pelayanan kesehatan
bervariasi - Masih banyaknya jumlah pelanggaran di
- Agenda Sustainable Development Goals bidang Obat dan Makanan
(SDGs) - Indonesia adalah negara ke-4 dengan
- Besarnya kontribusi industri pengolahan jumlah populasi lanjut usia tertinggi
termasuk industri Obat dan Makanan - Kurangnya dukungan dan kerjasama dari
terhadap output nasional pemangku kepentingan di daerah
- Tingginya laju pertumbuhan penduduk - Ketergantungan impor bahan baku obat
menyebabkan peningkatan demand Obat dan sangat tinggi
Makanan - Berkurangnya ketersediaan pangan yang
- Adanya Program Nasional (JKN dan SKN) berkualitas dengan harga yang kompetitif
- Peningkatan permohonan sertifikasi dan - Desentralisasi bidang kesehatan belum
resertifikasi CPOB optimal
- Tersedianya teknologi informasi yang - Lemahnya penegakan hokum
memadai - Rendahnya pengetahuan dan kemampuan
- Pertumbuhan signifikan penjualan obat di teknis UMKM obat tradisional
tingkat nasional

Untuk itu, ada 4 (empat) isu strategis dari permasalahan pokok yang dihadapi BPOM
sesuai dengan peran dan kewenangannya agar lebih optimal, yaitu:

18
1. Penguatan kebijakan teknis pengawasan (Regulatory System)
2. Penguatan koordinasi pengawasan Obat dan Makanan
3. Penguatan Penegakan Hukum dan Penindakan
4. Kemitraan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan

4.3 ASPEK-ASPEK YANG MEMPENGARUHI LEGALITAS PRODUK OBAT DAN


PANGAN DI INDONESIA DAN KEBIJAKAN YANG MENGATUR PENGAWASAN
OBAT DAN MAKANAN ILEGAL YANG DIDISTRIBUSIKAN SECARA DARING
MAUPUN KONVENSIONAL
1. Aspek kesehatan-menjamin Produk Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar
keamanan, manfaat/khasiat, dan mutu
2. Aspek sosial-meningkatkan kepercayaan publik terhadap kualitas produk Obat dan
Makanan yang beredar
3. Aspek ekonomi mendorong daya saing industri Obat dan Makanan dengan semakin
mudahnya perizinan dan sertifikasi obat dan makanan dengan tetap mempertimbangkan
aspek keamanan dan mutu produk, termasuk jaminan produk halal, dukungan
pengembangan obat dan makanan baru, serta mendorong ketersediaan bahan baku
dalam negeri melalui riset, meniadakan penyelundupan dan peredaran produk ilegal dan
palsu, serta memperluas penggunaan teknologi dalam pengawasan obat dan makanan
4. Aspek keamanan nasionalmeningkatkan penegakan hukum terhadap kasus
pelanggaran/kejahatan Obat dan Makanan yang merupakan kejahatan kemanusiaan,
termasuk bioterorisme.
5. Aspek teknologi – meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan berbasis teknologi
informasi untuk menghadapi tren peredaran obat dan makanan daring di era Revolusi
Industri

Dalam hal tersebut pelaku Industri Farmasi harus memenuhi beberapa aspek
legalitas atau izin dari pemerintah seperti:
1. Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Pedagang Besar Farmasi Cabang, dan
Apotek yang menyelenggarakan peredaran Obat secara daring wajib memberikan
laporan secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

19
2. Laporan sebagaimana dimaksud diatas paling sedikit memuat informasi: a. nama
dan alamat Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Pedagang Besar Farmasi
Cabang, dan Apotek; b. tanggal, bulan, dan tahun mulai penyelenggaraan peredaran
Obat secara daring; c. nama PSEF dan alamat website/Uniform Resource Locator
(URL) untuk Apotek yang bekerja sama dengan PSEF dalam menyelenggarakan
peredaran Obat secara daring; d. daftar Obat yang diedarkan secara daring; dan e.
data transaksi Obat yang diedarkan secara daring
3. Laporan sebagaimana dimaksud diatas merupakan bagian dari laporan rutin

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan, yang menyebutkan bahwa Badan POM menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai peraturan perundang-
undangan, yaitu melakukan pengawasan Obat dan Makanan dari hulu hingga ke hilir,
termasuk peredaran secara daring.

BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang
Diedarkan secara Daring. Pasal 7 menyebutkan bahwa peredaran obat secara daring
hanya dapat dilaksanakan untuk obat yang termasuk dalam golongan obat bebas, obat
bebas terbatas, dan obat keras. Adapun ketentuan mengenai obat keras dijelaskan pada
Pasal 8, yaitu obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib
berdasarkan resep yang ditulis secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan

4.4 MASYARAKAT DAN PEMERINTAH MENANGGAPI PERMASALAHAN


PEREDARAN OBAT DAN MAKANAN ILEGAL YANG DIDISTRIBUSIKAN
SECARA DARING
Maraknya penjualan obat secara daring semakin meningkatkan potensi
penyalahgunaan obat dan penyebaran obat ilegal, termasuk obat palsu. Obat bukan komoditi
ekonomi biasa namun produk yang harus dijaga persyaratan keamanan, khasiat, dan
mutunya. Karena itu, Badan POM melakukan pengawasan secara komprehensif mulai dari
produk sebelum beredar hingga beredar di pasaran, termasuk melaksanakan penegakan

20
hukum dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu tugas penting Badan POM dalam
memberikan perlindungan kepada masyarakat adalah melakukan pengawasan terhadap Obat
dan Makanan yang beredar di masyarakat agar aman, legal, dan memenuhi persyaratan.
Peraturan ini disusun sebagai dasar hukum yang digunakan untuk pengawasan
peredaran obat secara daring serta memuat pengaturan pada aspek pencegahan dan aspek
penindakan (sanksi) dengan ruang lingkup pengaturan pengawasan peredaran dengan
mekanisme business to business dan business to consumer. Hal tersebut sesuai dengan
amanat Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan, yang menyebutkan bahwa Badan POM menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu
melakukan pengawasan Obat dan Makanan dari hulu hingga ke hilir, termasuk peredaran
secara daring.
Kondisi ini mendorong Badan POM terus meningkatkan intensitas dari penegakkan
hukum selama masa krisis pandemi. upaya penindakan yang dilakukan yaitu bekerja sama
dengan pihak penegak hukum lainnya dari Kepolisian dari Bareskrim dan pihak-pihak
terkait.
Pemerintah juga melakukan kegiatan pengawasan post-market sebagai upaya hilir
pengawasan obat dan makanan yang mencangkup kegiatan law enforcement (kegiatan
bidang penyidik dan penindakan) sebagai salah satu upaya untuk memberikan dampak
tindak lanjut pelanggaran di bidang Obat dan Makanan yaitu pemberian efek jera pelaku
tindakan pidana Obat dan Makanan yang selanjutnya diharapkan akan berdampak pada
penurunan pelanggaran dibidang Obat dan Makanan dalam kegiatan penyidikan BPOM.

21
BAB 5 PENUTUP

5.1 SIMPULAN
Dampak positif kerja sama lintas sektor diperlukan untuk mendapatkan data pola
penyakit, data resistensi antibiotika, data outbreak keracunan pangan dan data dampak
produk ilegal/palsu. Teknologi informasi “Track and Trace” dapat memperkuat rantai
pasokan manajemen/distribusi obat dan makanan untuk melindungi masyarakat dari produk-
produk ilegal dan palsu. Dampak negatif semakin banyaknya pengguna internet. Total
populasi rakyat Indonesia diperkirakan sebesar 265 juta jiwa, dimana sebanyak 130 juta
orang (49%) merupakan pengguna aktif sosial media pada bermacam platform. Dengan
tingkat pertumbuhan pengguna sosial media mencapai 23% pada tahun 2018, sebanyak 79%
pengguna aktif internet di Indonesia menghabiskan waktu menggunakan internet selama 8-9
jam sehari. Ada 4 (empat) isu strategis dari permasalahan pokok yang dihadapi BPOM
sesuai dengan peran dan kewenangannya agar lebih optimal, yaitu penguatan kebijakan
teknis pengawasan (Regulatory System), penguatan koordinasi pengawasan Obat dan
Makanan, penguatan Penegakan Hukum dan Penindakan, kemitraan dan bimbingan kepada
pemangku kepentingan. Ada beberapa aspek legalitas yaitu aspek kesehatan, aspek sosial,
aspek ekonomi, aspek keamanan, aspek tenologi dan pelaku industri farmasi, perarturan
presiden nomor 80 tahun 2017 tentang badan pengawasan obat dan makanan dan BPOM
nomor 8 tahun 2020 tentang badan pengawasan makanan. Pemerintah juga melakukan
kegiatan pengawasan post-market sebagai upaya hilir pengawasan obat dan makanan yang
mencangkup kegiatan law enforcement (kegiatan bidang penyidik dan penindakan) sebagai
salah satu upaya untuk memberikan dampak tindak lanjut pelanggaran di bidang Obat dan
Makanan yaitu pemberian efek jera pelaku tindakan pidana Obat dan Makanan yang
selanjutnya diharapkan akan berdampak pada penurunan pelanggaran dibidang Obat dan
Makanan dalam kegiatan penyidikan BPOM dengan pihak penegakhukum dari kepolisian
dari bareskrim.

22
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tahun 2020-2024
Budianto, Y. (2021). Pembuatan konten kreatif skala domestik naik daun. Kompas, hal. B.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2019). Penjelasan BPOM RI tentang peredaran obat keras
yang dijual online/daring. Diakses dari https://www.pom.go.id/
new/view/more/klarifikasi/97/PenjelasanBpom-Ri-Tentang-Peredaran-Obat-KerasYang-
Dijual- online-Daring.html
Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2020). Laporan tahunan kementerian komunikasi dan
informatika tahun 2019. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Puspitarini, D. S., & Nuraeni, R. (2019). Pemanfaatan media sosial sebagai media promosi (studi
deskriptif pada happy go lucky house). Jurnal Common, 3(1), 71– 80. Diakses dari
https://ojs.unikom.ac.id/ index.php/common/article/view/1950/1307
Sagita, R. A., Hayu, I., & Djumiarti, T. (2013). Analisis peran aktor implementasi dalam
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Semarang. Journal of Public Policy and Management
Review, 2(4), 61–70. doi: 10.14710/jppmr.v2i4.3559
Setiadi, A. (2016). Pemanfaatan media sosial untuk efektifitas komunikasi. Cakrawala - Jurnal
Humaniora Bina Sarana Informatika, 16(2). doi: 10.31294/jc.v16i2.1283
Yuningsih, Rahmi. 2021. Pelindungan Kesehatan Masyarakat terhadap Peredaran Obat Dan
Makanan Daring. Jakarta: Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI
http://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/2020/pdf diunduh pada tanggal 24
November 2021
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/19059/Minimalisir-Potensi-Penyalahgunaan-Obat-
Daring--Badan-POM-Gelar-Sosialisasi-Peraturan-Nomor-8-Tahun-2020.html diunduh pada
tanggal 25 November 2021
Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Pengawasan Obat
dan Makanan Yang Diedarkan Secara Daring
https://jdih.pom.go.id/download/product/861/8/2020 diunduh pada tanggal 26 November 2021
https://nasional.sindonews.com/read/176392/13/bpom-peredaran-obat-ilegal-secara-online-
meningkat-selama-pandemi-covid-19-1601021380 diunduh pada tanggal 26 November 2021
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/19059/Minimalisir-Potensi-Penyalahgunaan-Obat-
Daring--Badan-POM-Gelar-Sosialisasi-Peraturan-Nomor-8-Tahun-2020.html diunduh pada
tanggal 26 November 2021

23

Anda mungkin juga menyukai