Masalah
Analisis eksplorasi
No. yang telah Hasil eksplorasi penyebab masalah
penyebab masalah
diidentifikasi
1 Pedagogik, Literasi, dan Numerasi
Rendahnya Berdasarkan Literatur : Lebih lanjut setelah
kemampuan Referensi 1 dilakukan analisis
siswa dalam Sutrisna, N. (2021). Analisis Kemampuan Literasi Sains terhadap rendahnya
literasi kimia Peserta Didik SMA di Kota Sungai Penuh. Jurnal
kemampuan siswa
Inovasi Penelitian, Vol. 1(12), 2683.
(https://stp-mataram.e- dalam literasi kimia
journal.id/JIP/article/view/530) disebabkan:
Berdasarkan hasil studi PISA 2018 Indonesia berada 1. Kompetensi guru
pada peringkat 70 dari 78 negara partisipan. Dari hasil dalam
ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi peserta mengembangkan
didik Indonesia tergolong cukup rendah. proses literasi
kurang.
Referensi 2
Astuti, Rina. 2017. Pembelajaran Berbasis Masalah 2. Siswa tidak minat
untuk Meningkatkan Literasi Sains pada Materi dalam membaca
Hubungan Makanan dengan Kesehatan. Jurnal Pena 3. Guru lebih
Ilmiah, Vol.2 (1) :262. terfokus
(https://ejournal.upi.edu/index.php/penailmiah/article/v mengajarkan
iew/10661) rumus-rumus
Pengembangan kemampuan literasi sains yang 4. Siswa tidak
kurang baik dalam proses pembelajaran menjadi memahami
salah satu penyebab rendahnya literasi sains peserta konsep dasar
didik materi
5. Buku ajar yang
Referensi 3 kurang menarik
Ihsan, M.S., & Siti W.S. 2021. Analisis Kemampuan untuk dibaca
Literasi Sains Peserta Didik Dalam Pembelajaran Kimia 6. Sering terjadi
Menggunakan Multimedia Interaktif Berbasis Blended miskonsepsi
Learning. Jurnal Pendidikan, Matematika dan antara siswa dan
Sains/EduMatSains, Vol.6 (1) : 197-206 guru
(https://doi.org/10.33541/edumatsains.v6i1.2934)
Selain itu rendahnya literasi sains peserta didik
dipengaruhi faktor latar belakang peserta didik,
minat, intensitas belajar, dan sikap peserta didik
terhadap sains juga turut mempengaruhi rendahnya
literasi sains peserta didik.
Referensi 4
Fu’adah, H., dkk. 2017. Pengembangan Alat Evaluasi
Literasi Sains untuk Mengukur Kemampuan Literasi
Sains Siswa Bertema Perpindahan Kalor dalam
Kehidupan. Lembaran Ilmu Kependidikan UNNES
Vol.46 (1) : 7
(https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/LIK/article/vi
ew/11350/6828)
Kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi
oleh sejauh mana fungsi konitif peserta didik dapat
berkembang secara maksimal melalui sentuhan proses
pendidikan. Kemungkinan kemampuan literasi sains
pada kategori ini hanya mencapai 59,2%, yakni: (1)
guru lebih sering mengajarkan rumus-rumus
dibandingkan dengan konsep; (2) siswa kurang
memahami konsep dasar yang diajarkan oleh guru;
(3) siswa tidak mempunyai pengetahuan fakta,
peristilah dan konsep sains yang cukup
Referensi 5
Fuadi, H., dkk. 2020. Analisis Faktor Penyebab
Rendahnya Kemampuan Literasi Sains Peserta Didik.
Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan. Vol.5 (2) : 1
(https://doi.org/10.29303/jipp.v5i2.122)
Hasil analisis data ditemukan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan rendahnya literasi sains peserta didik
diantaranya adalah pemilihan buku ajar, miskonsepsi,
pembelajaran yang tidak kontekstual, dan
kemampuan membaca peserta didik.
Ada beberapa faktor penyebab rendahnya kemampuan
literasi sains peserta didik Indonesia yang dikemukakan
oleh para peneliti berkaitan dengan hasil PISA
Indonesia. Diantaranya a). Pemilihan buku ajar, b).
Miskonsepsi, c). Pembelajaran tidak kontekstual, d).
Rendahnya kemampuan membaca, dan e).
Lingkungan dan iklim belajar yang tidak kondusif.
Referensi 6
Suparya, I, K., dkk. 2022. Rendahnya Literasi Sains:
Faktor Penyebab Dan Alternatif Solusinya. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Citra Bakti. Vol.9 (1) : 1
(https://doi.org/10.38048/jipcb.v9i1.580)
Hasil dari analisis yang dilakukan didapatkan bahwa
faktor penyebab rendahnya literasi sains siswa adalah:
a) penggunaan buku ajar yang belum tepat, b)
miskonsepsi siswa, c) pembelajaran yang tidak
kontekstual, d) rendahnya kemampuan membaca, e)
lingkungan dan iklim belajar, f) infrastruktur
sekolah, g) sumber daya manusia, h) manajemen
sekolah.
Wawancara
PAKAR
Ucia Mahya Dewi, M.Pd. (Dosen Kimia Unsyiah
Kuala)
• Generasi yang instan membuat siswa tidak suka
literasi lebih baik menerka atau membaca langsung
ke akhir tanpa memperhatikan step by step.
• Pengaruh game dan sosial media membuat siwa
malas untuk membaca
• Ketersediaan buku di perpustakaan yang kurang
bervariasi
• Siswa tidak memiliki ketertarikan dalam literasi
REKAN SEJAWAT
Tuti Kusrini, S.Pd. (Kepala Sekolah SMK TI Swasta
Budi Agung)
• Tidak adanya sudut baca di dalam kelas karena
gedung sekolah gabungan
• Tidak adanya perpustakaan di sekolah
• Literasi hanya disampaikan secara teori saat apel
dan tidak ada praktek ke siswa
• Buku sekolah yang kurang bervariasi
Tiur Ida Roulina Tambunan, S.Pd. Gr. (Guru kimia
SMA Swasta BUDI AGUNG)
• Setelah selesai literasi Siswa tidak bisa menalar apa
yang diinginkan soal.
• Siswa tidak membawa buku dalam pelajaran
matematika.
• Literasi yang kurang membuat siswa kesulitan dalam
memahami konsep
• Dalam keseharian minat membaca para siswa masih
rendah, kurang nya kesadaran diri akan pentingnya
membaca
Siswa kurang Berdasarkan Literatur : Lebih lanjut setelah
aktif dalam Referensi 1 dilakukan analisis
pembelajaran Ferdian, dkk. 2018. Analisis Kesiapan Belajar Siswa terhadap Siswa
Kelas X Mipa Dalam Pembelajaran Kimia. Jurnal
kurang aktif dalam
Pendidikan Kimia Undiksha. Vol.2 (1) : 2
(https://doi.org/10.23887/jjpk.v2i1.21177) pembelajaran
Kesiapan belajar dapat mendorong siswa untuk disebabkan:
memberikan respon positif dan berperan aktif dalam 1. Ketidaktertarikan
proses pembelajaran. Dengan adanya kesiapan belajar siswa terhadap
siswa akan termotivasi untuk mengoptimalkan hasil beberapa materi
belajarnya. Minat siswa merupakan faktor utama yang kimia
menentukan derajat keaktifan belajar siswa
2. Minat siswa
Referensi 2 rendah dalam
Supadmi, N.L., dkk. 2017. Penerapan Metode Mind belajar
Mapping Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil 3. Pembelajaran
Belajar Kimia Siswa Kelas X MIA. Jurnal Pendidikan terpusat pada guru
Kimia Indonesia. Vol.1 (2) : 3 dan 5 4. Konsep tidak
(https://doi.org/10.23887/jpk.v1i2.12811) sampai
Sebelum dilaksanakan pembelajaran dengan mind
seluruhnya
mapping, proses pembelajaran didominasi oleh guru,
sehingga siswa kurang aktif dalam mengikuti kepada siswa
pembelajaran kimia yang mengakibatkan hasil belajar 5. Siswa tidak
juga rendah. Mind Mapping sebagai metode memiliki
pembelajaran aktif dapat menghubungkan informasi keberanian
yang telah dimiliki dengan pengetahuan atau informasi mengemukakan
baru. Setelah dilaksanakan pembelajaran dengan
pendapat
menggunakan metode Mind Mapping, siswa lebih aktif
dan senang dalam mengikuti pelajaran kimia 6. Tidak adanya
Melalui proses pembelajaran dengan menerapkan diagnostik awal
metode pembelajaran Mind Mapping yang mampu guru terhadap
menciptakan suasana menyenangkan, menarik, siswa
mengaktifkan siswa, melibatkan siswa dan memberikan
siswa untuk berkreasi sendiri sesuai dengan
keinginanya. Hal tersebut akan dapat membangkitkan
aktivitas siswa terhadap pelajaran kimia. Namun, 7. Persiapan awal
sebaliknya bila metode pembelajaran yang belajar siswa
diterapkan guru kurang memberi tantangan pada kurang
siswa, maka aktivitas siswa untuk mengikuti proses
8. Metode
pembelajaran kimia justru akan berkurang. Sehingga
hasil belajar yang diperoleh juga kurang maksimal. pembelajaran
kurang menarik
Referensi 3
Fajri, L., dkk. 2012. Upaya Peningkatan Proses Dan
Hasil Belajar Kimia Materi Koloid Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe Tgt (Teams Games
Tournament) Dilengkapi Dengan Teka-Teki Silang Bagi
Siswa Kelas Xi Ipa 4 Sma Negeri 2 Boyolali Pada
Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012. Jurnal
Pendidikan Kimia (JPK), Vol.1 (1) : 2
(https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/29169/Upaya-
Peningkatan-Kualitas-Proses-Dan-Hasil-Belajar-
Kimia-Materi-Koloid-Melalui-Pembelajaran-
Kooperatif-Tipe-Tgt-Teams-Games-Tournament-
Dilengkapi-Dengan-Teka-Teki-Silang-Bagi-Siswa-
Kelas-XI-Ipa-4-Sma-Negeri-2-Boyolali-Pada-
Semester-Genap-Tahun-Ajaran-2)
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran
kimia yaitu metode konvensional atau ceramah dan
pemberian tugas. Metode ceramah ini kurang efektif
dalam memicu keaktifan siswa, disamping juga
menyebabkan kebosanan dan kejenuhan pada diri siswa.
Referensi 4
Rostika, D., 2020. Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Stad Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Kimia. Indonesian Journal of Educational Development
Vol.1 (2) : 3,9
(https://doi.org/10.5281/zenodo.4004041)
Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan
ciri-ciri sebagai berikut: 1) antusias dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran, 2) terjadi interaksi antara siswa
dengan guru, 3) terjadi interaksi antara siswa dengan
siswa, 4) adanya kerjasama kelompok, 5) aktivitas siswa
dalam kelompok, 6) aktivitas siswa dalam
melaksanakan pembelajaran, 7) keterampilan siswa
menggunakan alat peraga dan 8) partisipasi siswa dalam
menyimpulkan materi pelajaran.
Pada siklus I ini keterlibatan siswa selama proses
pembelajaran masih dikatakan kurang karena hanya
sekitar 65,45% siswa yang menunjukkan keaktifan
selama proses pembelajaran berlangsung. Jumlah siswa
yang berani untuk bertanya maupun
mengungkapkan pendapatnya di depan kelas masih
sedikit. Selain itu dalam pelaksanaan diskusi siswa
belum dapat bekerjasama dengan baik, masih
terdapat siswa yang hanya bergantung pada siswa
lain yang lebih pintar di dalam kelompoknya.
Kendala lainnya adalah mungkin peneliti terlalu
cepat dalam menyampaikan materi kepada siswa,
sehingga siswa kurang memahami materi yang
disampaikan. Kurangnya waktu yang tersedia
menjadi salah satu penyebabnya juga karena materi
kimia unsur terlalu banyak.
Referensi 5
Sulaiman, N., 2012. Efektivitas Model Pembelajaran
Novick Dalam Pembelajaran Kimia Kelas XII IA2
SMAN 1 Donri-Donri (Studi Pada Materi Pokok Gugus
Fungsi). Jurnal Chemica Vol.13 (2) : 2
(https://doi.org/10.35580/chemica.v13i2.629)
Model pembelajaran yang umumnya diterapkan oleh
guru kimia di SMA Negeri 1 Donri-donri adalah model
pembelajaran konvensional. Pada model pembelajaran
ini, guru bertindak sebagai teacher centered, guru
berperan aktif dalam proses pembelajaran
sedangkan siswa berperan sebagai penerima materi dan
cenderung pasif di kelas, siswa hanya mendengar,
mencatat, menghafal, dan bahkan lebih banyak
diam saat proses pembelajaran berlangsung.
Wawancara
PAKAR
Ucia Mahya Dewi, M.Pd. (Dosen Kimia Unsyiah
Kuala)
• Siswa tidak tertarik dengan materi pembelajarannya
• Metode pembelajaran guru kurang bervariasi
• Siswa merasa jenuh dengan pembelajaran kimia
• Media dan sumber belajar yang kurang memadai
• Belum adanya diagnostik awal guru dalam
pembelajaran dalam kimia
• Konsep pembelajaran yang belum dipahami siswa
REKAN SEJAWAT
Auliya Rahma Lola Rajana Harahap, S.Pd. (Guru
Matematika SMK TI BUDI AGUNG)
• Persiapan belajar kurang dilihat dari siswa tidak
membawa buku pelajaran
• Seringnya siswa datang terlambat
• Materi yang disampaikan tidak dapat diserap dengan
baik
Referensi 4
Imansari, Maulida. 2018. Analisis Literasi Kimia
Peserta Didik Melalui Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Bermuatan Etnosains. Junal Inovasi Pendidikan Kimia.
Vol.12 (2): 2204
(https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JIPK/article/v
iew/15480)
Proses pembelajaran yang hanya melakukan kegiatan
pengamatan belum melakukan kegiatan praktikum,
sehingga peserta didik belum terbiasa untuk
menafsirkan bukti ilmiah dengan menyusun data
hasil percobaan dan menuliskan reaksi dari data,
serta belum terbiasa mengkomunikasikan dan
bertanya pada guru, kemudian menuliskan
kesimpulan dari data yang diperoleh
Referensi 5
Rosmalinda, D., 2020. Kemampuan Kimia dan
Matematika Siswa MAN 2 Kota Jambi: Relasi dalam
Fakta. Tarbawi : Jurnal Ilmu Pendidikan. Vol.16 (1) : 3-
8
(https://doi.org/10.32939/tarbawi.v16i01.494)
Pada lembaran soal kimia peneliti melampirkan rumus-
rumus tentang laju rekasi dan larutan asam basa, yang
dapat digunakan siswa untuk mencari jawaban soal
kimia. Tujunnya agar peneliti dapat melihat tingkat
pemahaman konsep yang dimiliki siswa, melalui
kemampuan memilih rumus yang tepat serta
keterampilan menentukan langkah-langkah
penyelesaian soal.
Sebanyak 66,7% siswa menjawab kendala yang mereka
hadapi selama belajar kimia yaitu kesulitan saat
memahami konsep. Karena hal itulah kimia masuk
dalam kategori pelajaran yang tidak disukai siswa.
Kesulitan memahami konsep itu sendiri disebabkan
ketidaksesuaian metode mengajar yang digunakan
guru sehingga tidak bisa membuat siswa tertarik
terhadap kimia. Semua unsur lingkungan belajar
seperti bahan pelajaran, alat, siswa dan guru saling
berkaitan dan mempengaruhi serta berfungsi sesuai
dengan tujuan
Referensi 6
Rahmi, C., dkk. 2021. Kemampuan Representasi
Submikroskopik Siswa Pada Konsep Ikatan Kimia.
Lantanida Journal, Vol.9 (1) : 11
(http://dx.doi.org/10.22373/lj.v9i1.9336)
Kesulitan siswa dalam memahami ilmu kimia ditandai
dengan ketidakmampuan siswa dalam memahami
konsep-konsep kimia dengan benar. Penyebabnya
adalah munculnya anggapan guru bahwa
kemampuan konseptual siswa semata-mata
ditunjukkan oleh kemampuan menyelesaikan
konsep algoritmik. Selain itu, bahan ajar yang
digunakan tidak menyajikan konsep dengan
mengaitkan ketiga level representasi kimia yakni
makroksopik, submikroskopik, dan simbolik.
Rendahnya kemampuan representasi mikroskopik siswa
dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
siswa belum terbiasa dalam menggambarkan bentuk
submikroskopik dari ion, elektron dan bentuk
molekul.
Referensi 7
Qashdi, A., 2021. Pengaruh Model Pembelajaran Think
Pair Share Dengan Menggunakan Prezi Dekstop
Terhadap Pemahaman Konsep Kimia Siswa.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN
DAN PENGABDIAN 2021, “Penelitian dan
Pengabdian Inovatif pada Masa Pandemi Covid-19”.
Vol.1 (1) : 2
(http://prosiding.rcipublisher.org/index.php/prosiding/a
rticle/view/109)
Rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan
soal latihan menekankan pada pemahaman konsep
membuktikan bahwa siswa masih banyak yang tidak
mampu menyatakan ulang kembali arti atau
pengertian dari konsep materi pembelajaran kimia
yang telah dipelajari, bahkan terkadang siswa masih
banyak yang sulit dalam mengklasifikasikan objek
menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya
seperti mengelompokkan unsur-unsur yang
merupakan isotop, isobar, atau isoton.
Referensi 8
Adlim, M., dkk. 2017. Model Analisis Penyebab
Rendahnya Penguasan Konsep Yang Diuji Dalam Ujian
Nasional (Kajian Pada Materi Ilmu Kimia Pada Siswa
Sma/Ma Sekitar Kampus Unsyiah). Jurnal Pencerahan.
Vol.11 (1) : 7,9,10
(http://jurnal.unsyiah.ac.id/JPP/article/view/8103/6581)
Tabel 4 juga menunjukkan urutan ke 3 penyebab
kegagalan penguasaan konsep asam basa ialah
disebabkan karena siswa kurang diberikan latihan
(33% respon).
Konsisten dengan pengakuan guru faktor utama
kegagalan penguasan konsep termokimia menurut siswa
adalah soal-soalnya melibatkan multikonsep (46,67%
respon) dan faktor rendahnya kemampuan mengingat
rumus (29,41% respon). Selain itu kurang penguasaan
faktor perhitungan kimia menjadi penentu
keberhasilan siswa (25,08% respon). Faktor lemah
penguasaan matematika merupakan penyebab ke 3
dengan frekuensi (46,67% respon). prioritas ke-2
penyebab rendahnya penguasaan konsep adalah
kurangnya diberikan contoh-contoh ilustrasi berupa
gambar yang relevan dan dapat diamati oleh siswa
di sekelilingnya (40,00% respon)
Wawancara
PAKAR
Ucia Mahya Dewi, M.Pd. (Dosen Kimia Unsyiah
Kuala)
• Siswa tidak tertarik dengan materi pembelajarannya
• Metode pembelajaran guru kurang bervariasi
• Siswa merasa jenuh dengan pembelajaran kimia
• Media dan sumber belajar yang kurang memadai
• Belum adanya diagnostik awal guru dalam
pembelajaran dalam kimia
REKAN SEJAWAT
Aulia Rahma Lola Rajana Harahap, S.Pd. (Guru
Matematika SMK TI BUDI AGUNG)
• Persiapan belajar kurang dilihat dari siswa tidak
membawa buku pelajaran
• Seringnya siswa datang terlambat
• Materi yang disampaikan tidak dapat diserap dengan
baik
Wawancara
PAKAR
Freddy Tua Musa Panggabean, S.Pd, M.Pd (Dosen
Kimia UNIMED)
• Desain pembelajaran tidak sesuai dengan sintaks
pembelajaran
• Tidak adanya modifikasi silabus
• Tidak adanya kolaborasi antara model pembelajaran
dengan media pembelajaran
• Guru tidak kreatif dalam pengelolaan kelas
REKAN SEJAWAT
Tuti Kusrini, S.Pd. (Kepala Sekolah SMKTI Budi
Agung)
• tidak adanya motivasi guru untuk mencoba
mengubah model pembelajaran yang dilakukan
• Siswa hanya diajak untuk mendengarkan dan
pembelajaran menjadi satu arah.
• penguasaan materi yang diajarkan kurang maksimal
• kurangnya kemapuan siswa dalam berfikir kritis
Referensi 5
Andromeda., dkk. 2020. Evaluasi Kompetensi
Pedagogik Guru Kimia Dalam Menyusun Instrumen
Penilaian Higher Order Thinking Skill (HOTS) Siswa
SMA. Edukimia. Vol.2 (2) :2-5
(https://doi.org/10.24036/ekj.v2.i2.a134)
Sebagian besar KD pada kurikulum 2013 revisi 2017
menuntut siswa untuk memiliki kemampuan berpikir
tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS)
sehingga guru harus menyiapkan instrumen penilaian
yang mengacu pada HOTS. Namun, masih banyak guru
yang mispersepsi terhadap HOTS dan menganggap
bahwa soal HOTS merupakan soal yang sulit. Hal ini
menyebabkan pemahaman guru terhadap soal-soal
HOTS masih rendah
Kurangnya pemahaman guru terhadap pelaksanaan
penilaian HOTS siswa tentu akan mengakibatkan
perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran
menjadi tidak tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran
kimia.
Lebih jauh lagi instrumen yang digunakan guru
untuk menilai kemampuan berpikir tingkat tinggi
berdasarkan KD dikhawatirkan tidak mengukur
kemampuan yang diharapkan.
Beberapa kesulitan yang ditunjukkan pada hasil
penyusunan instrumen adalah (1) guru tidak
memahami HOTS; (2) guru memahami level
berpikir HOTS adalah analisis, evaluasi dan kreasi,
namun guru tidak mengetahui bahwa level berpikir
tersebut bisa diukur jika menggunakan kata kerja
pada level berpikir tertentu
Referensi 6
Saraswati, P, M, S., & Gusti, N, S, A., 2020.
Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Dalam
Menyelesaikan Soal HOTS Mata Pelajaran Matematika.
Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar. Vol.4 (2) : 3-10
(https://doi.org/10.23887/jisd.v4i2.25336)
Kemampuan siswa dalam menerima pembelajaran
serta cara siswa menyelesaikan masalah pada soal
matematika yang berbeda juga membuat mereka
memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
berbeda pula.
Akan tetapi pada kajian penelitian oleh Schulz &
FitzPatrick (2016) menemukan para guru menunjukkan
ketidakpastian tentang konsep HOTS dan mereka
tidak siap untuk mengajar atau menilai HOTS.
Tak dapat dipungkiri hasil penelitian tersebut akibat
dari, tidak terbiasanya siswa dalam mengerjakan
soal tipe HOTS. Siswa cenderung terbiasa dengan
pembelajaran dan pemberian soal betipe LOTS.
Kemampuan berpikir HOTS cukup serta rendahnya
kemampuan menjawab soal ranah kognitif C6 juga
akibat dari, kurangnya latihan untuk membuat
rancangan langkah penyelesaian masalah pada soal.
Pada faktor kendala siswa juga disebut siswa jarang
mengerjakan bentuk uraian berbasis masalah (soal
cerita) sehingga siswa belum terbiasa menentukan
cara apa yang digunakan untuk menjawab soal
tersebut.
Siswa juga terbiasa dengan bentuk soal pilihan
ganda dengan cara menjawab soal tanpa disertai
penulisan cara atau langkah-langkah memperoleh
jawaban.
Bersumber pada teori Wilson (2000) penyebab kendala
yang dialami siswa tersebut ialah kegiatan
pembelajaran yang masih berbasis hanya
transformasi ilmu hanya berpangkal pada ranah
kognitif C1, C2 dan C3 saja atau LOTS, tanpa
kegiatan mengkritisi dan menemukan yang berada pada
ranah C4 hingga C6 atau HOTS. Sehingga siswa
kesulitan dalam menjawab soal berupa aplikasi. Siswa
cenderung melakukan kesalahan menjawab soal karena
soal yang diberikan berbeda dengan prosedur yang
diberikan oleh gurunya.
Referensi 7
Retnawati, H., Djidu, H., Kartianom, Apino, E., &
Anazifa, R. D. (2018). Teachers’ knowledge about
higherorder thinking skills and its learning strategy.
Problems of Education in the 21st Century, 76(2), 215–
230.
(http://www.scientiasocialis.lt/pec/node/files/pdf/vol
76/215-230.Retnawati_Vol.76-2_PEC.pdf)
Menunjukkan bahwa pengetahuan guru tentang
HOTS, kemampuan mereka untuk meningkatkan
HOTS siswa, memecahkan masalah berbasis HOTS,
dan kegiatan mengukur HOTS siswa masih rendah.
Referensi 8
Yuliati, S. R., & Lestari, I. 2018 . Higher-Order
Thinking Skills (Hots) Analysis of Students in Solving
Hots Question in Higher Education. Perspektif Ilmu
Pendidikan, 32(2), 181–188.
https://doi.org/10.21009/pip.322.10
Belum terdapatnya kegiatan pelatihan dan
pengukuran kemampuan tersebut berdampak pada
rendahnya kemampuan siswa pada ranah kognitif
analisis, evaluasi dan mencipta
Wawancara
PAKAR
Freddy Tua Musa Panggabean, S.Pd, M.Pd (Dosen
Kimia UNIMED)
• Guru tidak meng-upgrade diri dalam pembuatan soal
HOTS
• Guru belum menguasai materi yang akan diberikan
• Guru tidak terbiasa mengerjakan soal HOTS
• Guru tidak melakukan uji instrumen statistik pada
soal HOTS
• Kurangnya kemampuan guru dalam literasi sains
• Guru tidak memahami konsep soal LOTS dan HOTS
• Guru sering mengalami miskonsepsi pada materi
kimia
• Tidak adanya seleksi akademik dalam proses
penerimaan siswa
• Siswa jarang mengikuti kompetisi sains/olimpiade
sains
Ucia Mahya Dewi, M.Pd. (Dosen Kimia Unsyiah
Kuala)
• Kemampuan matematika dasar siswa kurang
• Penguasaaan siswa kurang baik
• Siswa terbiasa menjawab secara teoritik bukan
konsep
• siswa tidak terbiasa menerima soal berbentuk cerita
• guru jarang memberikan soal berbentuk cerita
• daya kreatifitas siswa dalam mencerna soal cerita
kurang
• pemilihan buku ajar yang kurang sesuai dengan
materi
• miskonsepsi membuat siswa kesulitan mengerjakan
soal HOTS
• masalah matematika yang diangkat tidak kontekstual
• prasarana sekolah tidak mendukung pembelajaran
matematika
REKAN SEJAWAT
Auliya Rahma Lola Rajana Harahap, S.Pd.(Guru
matematika SMK TI SWASTA BUDI AGUNG)
• Kelas X SMK belum menerapkan soal HOTS hanya
soal Rutin karena daya tangkap siswa yang kurang
• Soal rutin lebih memudahkan siswa memahami
konsep, padahal kelas sudah dituntut dapat
mengerjakan soal HOTS
• Siswa kesulitan dalam mengerjakan soal berbasis
HOTS.
• Siswa tidak dapat menyelesaikan soal yang berbasis
HOTS