Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN FUNGSI REPRODUKSI


PADA REMAJA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Asuhan Kebidanan Holistik pada


Remaja dan Pra Nikah

Oleh:
RATNA DAMAYANTI
NIM PO.71.24.4.22.031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN PROGRAM PROFESI


JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
TAHUN 2022
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN

PENDAHULUAN

“Gangguan Fungsi Reproduksi


Pada Remaja”

Disusun Oleh:
RATNA DAMAYANTI
NIM PO.71.24.4.22.031

Menyetujui,

Pembimbing Klinik Pembimbing Institusi

(Sri Suharti, Am.Keb) (Elita Vasra, SST., M.Keb)


NIP. 196905091991032003 NIP. 197305191993012001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Bidan

Elita Vasra, SST, M.Keb


NIP.
197305191993012001
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Laporan
Pendahuluan terkait Gangguan Fungsi Reproduksi Pada Remaja. Penulisan
Laporan Pendahuluan ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas praktik
Asuhan Kebidanan Holistik Remaja dan Pra Nikah Program Studi Pendidikan
Profesi Bidan Poltekkes Kemenkes Palembang. Laporan ini terwujud atas
bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu. Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Muhamad Taswin, S.Si, Apt, MM, M.Kes. selaku Direktur Poltekkes
Kemenkes Palembang.
2. Ibu Nesi Novita, S.SiT, M.Kes. selaku Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Palembang.
3. Ibu Elita Vasra, SST, M.Keb. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi
Bidan Poltekkes Kemenkes Palembang dan selaku Pembimbing Institusi.
4. Ibu Dr. Meriance, M.Kes selaku Kepala Puskesmas Tujuh Ulu
5. Ibu Sri Suharti, Am.Keb. selaku Pembimbing Lahan.
6. Seluruh pegawai dan staf Puskesmas Tujuh Ulu.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan pendahuluan ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk menerima
kritik dan saran sebagai masukan, guna kesempurnaan penulisan laporan pendahuluan ini
dan penulis mohon maaf kepada semua pihak atas kesalahan dan kepada Allah SWT
mohon ampun. Penulis berharap semoga laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Palembang, September 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I TINJAUAN TEORI..................................................................................1
A. Remaja............................................................................................................1
B. Menstruasi .....................................................................................................2
C. Premenstrual Syndrom ..................................................................................4
D. Disminore ......................................................................................................12
BAB II TINJAUAN TEORI ASUHAN KEBIDANAN....................................18
A. Data Subjektif................................................................................................18
B. Data Objektif.................................................................................................19
C. Mengantisipasi Masalah Potensial................................................................20
D. Menentukan Kebutuhan Segera.....................................................................21
E. Menyusun Rencana Tindakan.......................................................................21
F. Melakukan Pelaksanaan................................................................................21
G. Evaluasi.........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan suatu periode atau masa tumbuhnya
seseorang dalam masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa, yang meliputi
semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa
dewasa(Putri et al., 2022) . Remaja dapat dikelompokkan dalam tahap berikut
:
a. Pra Remaja (11 atau 12-13 atau 14 tahun)
Pra remaja ini memiliki masa yang sangat pendek, kurang lebih hanya
satu tahun; untuk laki-laki berusia 11 atau 12-13 atau 14 tahun. Pada
tahap ini masa yang sukar untuk berkomunikasi dengan orang tua.
Perkembangan fungsi-fungsi tubuh terganggu karena mengalami
perubahan-perubahan seperti perubahan hormonal yang dapat
menunjukkan peningkatan reflektivenes tentang diri remaja yang berubah
dan meningkat berkenaan dengan apa yang orang pikirkan tentang
mereka.
b. Remaja Awal (13 atau 14-17 tahun)
Pada tahap ini perubahan terjadi sangat pesat dan mencapai puncaknya.
Emosional yang tidak seimbang dan tidak stabil dalam banyak hal
terdapat pada usia ini. Remaja mencari identitas diri, dimana statusnya
tidak jelas. Pola-pola hubungan social mulai berubah. Seperti orang
dewasa muda, remaja sering merasa berhak membuat keputusan sendiri.
Pada masa perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas
sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak dan idealitas dan
semakin banyak waktu diluangkan diluar keluarga.
c. Remaja Lanjut (17-20 atau 21 tahun)
Pada tahap ini remaja ingin menjadi puat perhatian; ia ingin menonjolkan
dirinya, caranya lain dengan remaja awal. Pada tahap ini remaja idealis,
mempunyai cita-cita tinggi, bersemangat dan mempunyai energi yang
besar. Ia berusaha memantapkan identitas diri, dan ingin mencapai
ketidaktergantungan emosiona. Pada tahap ini pencapaian identitas diri

1
sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealitas, dan
semakin banyak waktu diluangkan diluar keluarga.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak
menuju dewasa. Pada awal masa remaja, kamu akan mengalami berbagai
perubahan yang mencolok baik secara fisik maupun psikis. Tahap ini disebut
pubertas. Pubertas pada anak perempuan biasanya terjadi pada usia 10 hingga
14 tahun, semntara pada anak laki-laki biasanya terjadi pada usia 12 hingga
15 tahun. Setelah usia 14 atau 15 tahun, perubahan tetap akan terjadi namun
tidak sedrastis pada masa pubertas. Perubahan ini akan terus berlangsung
hingga akhir masa remaja, yaitu usia 19 tahun (Musmiah et al., 2019).
Remaja merupakan tahapan penting dalam kesehatan reproduksi.
Masa remaja merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia yang
disebut juga dengan masa transisi, dimana terjadi perubahan fisik yang cepat,
terkadang tidak seimbang dengan perubahan kejiwaaan/mental
(Windiyaningsih, 2018).

B. Menstruasi
1. Pengertian Menstruasi
Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat terlepasnya
lapisan endometrium uterus. Usia normal bagi seorang wanita mendapat
menstruasi untuk pertama kalinya pada usia 12 atau 13 tahun. Tetapi ada juga
yang mengalaminya lebih awal, yaitu pada usia 8 tahun dan paling lambat yaitu
usia 18 tahun. Menstruasi adalah bagian alami dari siklus reproduksi wanita
dimana terjadinya pengeluaran darah rahim secara berkala melalui vagina yang
merupakan tanda alami dari pubertas. Dalam kehidupan wanita, menarche
adalah salah satu momen remaja yang paling berkesan dan menentukan dimana
masa ini menggambarkan transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa (Alharbi et
al., 2018).
2. Fase-Fase Menstruasi
Mekanisme terjadinya perdarahan menstruasi terjadi dalam satu siklus
terdiri atas 4 fase:
a. Fase Folikuler / Proliferasi (hari ke-5 sampai hari ke-14)
b. Fase Lutea /Fase Sekresi/ Fase Pramenstruasi (hari ke-14 sampai hari ke-28)
c. Fase Menstruasi (hari ke-28 sampai hari ke-2 atau 3)
2
d. Fase Regenerasi/Pascamenstruasi (hari ke-1 sampai hari ke-5)
3. Macam – Macam Gangguan Menstruasi
Gangguan haid dan siklusnya dalam masa reproduksi dapat digolongkan
dalam :
a. Kelainan siklus menstruasi
1) Amenorrhea
Amenorrhea adalah tidak adanya menstruasi. Kategori amenorrhea
primer jika wanita di usia 16 tahun belum mengalami menstruasi,
sedangkan amenorrhea sekunder adalah yang terjadi setelah
menstruasi. Secara klinis, kriteria amenorrhea adalah tidak adanya
menstruasi selama enam bulan atau selama tiga kali tidak menstruasi
sepanjang siklus menstruasi sebelumnya. Berdasarkan penelitian,
amenorrhea adalah apabila tidak ada menstruasi dalam rentang 90
hari. Amenorrhea sering terjadi pada wanita yang sedang menyusui,
tergantung frekuensi menyusui dan status nutrisi dari wanita tersebut
(Kusmiran, 2016).
2) Oligomenorrhea
Oligomenorrhea adalah tidak adanya menstruasi untuk jarak interval
yang pendek atau tidak normalnya jarak waktu menstruasi yaitu jarak
siklus mentruasi 35-90 hari.
3) Polymenorrhea
Polymenorrhea adalah sering mentruasi yaitu jarak siklus menstruasi
yang pendek kurang dari 21 hari.
b. Kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya perdarahan pada menstruasi
Gangguan perdarahan terbagi menjadi tiga, yaitu perdarahan yang
berlebihan/banyak, perdarahan yang panjang, dan perdarahan yang sering.
Terminologi mengenai jumlah perdarahan meliputi: pola aktual perdarahan,
fungsi ovarium, dan kondisi patologis. Abnormal Uterin Bleeding (AUB)
adalah keadaan yang menyebabkan gangguan perdarahan menstruasi
(Kusmiran, 2016).
Secara umum terdiri dari :
1) Menorrahgia, yaitu kondisi perdarahan yang terjadi regular dalam
interval yang normal, durasi dan aliran darah lebih banyak.
2) Metrorrahgia, yaitu kondisi perdarahan dalam interval irregular,
3
durasi dan aliran darah berlebihan/banyak.
3) Polymenorrhea, yaitu kondisi perdarahan dalam interval kurang dari
21 hari.

c. Gangguan lain yang berhubungan dengan menstruasi


1) Premenstruasi Syndrome (PMS)
Premenstruasi Syndrome (PMS) atau gejala premenstruasi, dapat
menyerta sebelum dan saat menstruasi, seperti perasaan malas
bergerak, badan menjadi lemas, serta mudah lelah. Nafsu makan
meningkat dan suka makan makanan yang rasanya asam. Emosi
menjadi labil. Biasanya wanita mudah marah, sensitive, dan perasaan
negative lainnya. Saat PMS, gejala yang sering timbul adalah
mengalami kram perut, nyeri kepala, pingsan, berat badan bertambah
karena tubuh menyimpan air dalam jumlah yang banyak serta
pinggang terasa pegal (Kusmiran, 2016).
2) Dysmenorrhea
Pada saat menstruasi, wanita kadang mengalami nyeri. Sifat dan
tingkat rasa nyeri bervariasi, mulai dari ringan hingga yang berat.
Kondisi tersebut dinamakan Dysmenorrhea, yaitu keadaan nyeri yang
hebat dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Dysmenorrhea
merupakan suatu fenomena simptomatik meliputi nyeri abdomen,
kram, dan sakit punggung. Gejala gastrointestinal seperti mual dan
diare dapat terjadi sebagai gejala menstruasi (Kusmiran, 2016).

C. Premenstrual Syndrome
1. Pengertian Premenstrual Syndrome
Premenstrual Syndrome atau PMS merupakan kumpulan gejala fisik,
psikologis, dan emosi yang menyebabkan ketidaknyamanan fisik atau rasa
nyeri, PMS muncul ketika poses terjadinya menstruasi/haid pada wanita dan
memiliki siklus kekambuhan. PMS muncul 7 sampai 10 hari sebelum
menstruasi dan berakhir setidaknya tiga hari saat menstruasi (Afiyanti &
Pratiwi, 2017).

4
Sindrom premenstruasi merupakan kumpulan gejala fisik, psikologis,
dan emosi yang berkaitan dengan siklus menstruasi pada wanita, dan secara
konsisten terjadi selama tahap luteal (pasca ovulasi). Terjadi akibat adanya
perubahan hormonal yang berhubungan dengan siklus saat ovulasi (pelepasan
sel telur dari ovarium) dan menstruasi.

2. Faktor Penyebab PMS


Penyebab PMS secara pasti belum diketahui. Dimungkinkan bahwa
faktor hormonal menjadi faktor penyebab PMS. Faktor hormonal terjadi karena
adanya ketidakseimbangan antara kadar hormon estrogen yang lebih tinggi
sedangkan kadar hormon progesteron lebih rendah. Perubahan hormonal dapat
mempengaruhi kerja neurotransmitter seperti serotonin yang berhubungan
dengan siklus ovulasi (pelepasan sel telur dari ovarium) dan menstruasi
Serotonin sangat mempengaruhi suasana hati, dimana berhubungan dengan
gejala depresi, kecemasan, kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan tidur,
agresif, dan peningkatan selera makan. Defisiensi serotonin meningkatkan
gangguan PMS (Reeder et al., 2014).
3. Faktor Risiko PMS
Beberapa faktor yang menyebabkan wanita berisiko mengalami PMS,
yaitu:
a. Faktor genetik
Premenstrual Syndrome (PMS) akan lebih sering terjadi pada
wanita dengan riwayat PMS pada keluarganya. Ibu yang mempunyai
riwayat PMS, akan berpeluang besar memiliki anak perempuan yang
menderita PMS. Kejadian PMS dua kali lebih tinggi terjadi pada kembar
identik atau satu telur (monozigot), dibandingkan dengan kembar dua telur
(dizigotik).
b. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh dapat mempengaruhi kejadian PMS. IMT
sendiri dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Wanita
yang memiliki IMT >25,5 mempunyai resiko lebih tinggi mengalami PMS,
dibandingkan wanita dengan IMT <20. Setiap peningkatan 1 kg/m dalam
indeks massa tubuh, akan didapatkan peningkatan sebanyak 3% berisiko
5
mengalami PMS. Semakin bertambahnya berat badan seseorang makan
cenderung untuk mengalami PMS (Ratikasari, 2015).
c. Usia menarche
Usia menarche merupakan usia dimana wanita mengalami
menstruasi untuk pertama kalinya. Usia menarche <12 tahun berisiko 2,3 kali
lebih besar mengalami PMS, dibandingkan dengan wanita yang mengalami
menarche lebih lambat, karena usia <12 tahun, proses pematangan dari sisi
fisiologis dan psiologis yang belum sepenuhnya sempurna (Zuhana & Suparni,
2017).
d. Kualitas Tidur
Kualitas tidur akan terlihat dari pola tidur seseorang. Baik buruknya
pola tidur akan memengaruhi sekresi berbagai hormon yang terdapat dalam
tubuh. Pola tidur yang buruk akan meningkatkan keparahan dari gejala
PMS yang dirasakan. Wanita yang memiliki kualitas tidur yang buruk
berpeluang mengalami PMS gejala sedang hingga berat. Kualitas tidur
yang buruk biasanya dipengaruhi oleh penggunaan gadget yang belebihan
(Ratikasari, 2015).
e. Kekurangan Zat-Zat Gizi Dan Pola Makan
Kurangnya vitamin B (terutama B6), vitamin E, vitamin C,
magnesium, zat besi, dan seng akan memperparah gejala PMS. Kurangnya
konsumsi vitamin B6 lebih mudah atau satu kali lebih besar mengalami
gejala PMS dibandingkan dengan menkonsumsi vitamin B6 sesuai
kebutuhan yang dianjurkan. Wanita yang mempunyai kebiasaan
mengonsumsi makanan seperti tinggi gula, tinggi garam, minuman bersoda,
konsumsi kafein, dan kurangnya konsumsi makanan tinggi serat, dapat
memperberat gejala PMS, dimana kejadiannya dua kali lebih besar dari
yang tidak mengkonsumsi makan tersebut (Faiqah & Sopiatun, 2015).
f. Usia
Kejadian PMS akan semakin sering muncul dan mengganggu,
seriring bertambahnya usia. Terutama pada wanita usia 30-45 tahun. Pada
usia tersebut, termasuk dalam kategori risiko tinggi karena karena wanita
cenderung mengalami penurunan kondisi medis yang berkaitan dengan
sistem reproduksi (Mufida, 2015).
g. Kegiatan fisik

6
Aktivitas fisik merupakan kegiatan harian yang mengeluarkan
energi, yang mencakup kegiatan bekerja, pekerjaan rumah tangga, dan
kegiatan di sekolah. Kurangnya berolahraga atau aktivitas fisik dapat
menyebabkan semakin beratnya gejala PMS. Olahraga lari dikatakan dapat
mengurangi keluhan PMS. Olahraga dapat membuat hormon endorphin
muncul, yang akan membuat perasaan lebih tenang dan santai (Mufida,
2015).

h. Stres
Stres sangat memengaruhi terjadinya PMS pada wanita. Gejala-
gejala PMS akan semakin berat dirasakan, apabila wanita tersebut
mengalami tekanan yang terus menerus. Tekanan tersebut dapat muncul
dari lingkungan kerja, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Hal itu
dibenarkan dalam penelitian yang menjelaskan bahwa stres secara
psikologis dapat muncul akibat satu atau lebih stresor. Respon stres
melibatkan aktivitas sistem saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan
pengeluaran hormon adrenalin dari bagian medulla kelenjar adrenalin.
Kejadian stres baik akut maupun stres yang berlangsung terus menerus
akan mengaktifkan hipotalamus pituaitari adrenal (HPA), yang dapat
menyebabkan pengeluaran hormon kortisol (Adityarini & Purnawati,
2013).
Terjadinya HPA akan memengaruhi beberapa kerja siklus yang ada
ditubuh, salah satunya siklus menstruasi. Dimana hipotalamus akan
merangsang pelepasan Gonadotropin Rereasing Hormone (GnRH) yang
dapat menyebabkan pembentukan dan pelepasan dari Leutinizing Hormone
(LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari kelenjar pituitari.
Selanjutnya ovarium akan melepaskan hormon estrogen dan progesteron
yang akan memberikan efek pada tubuh, salah satunya pada uterus.kortisol
yang dilepaskan saat stres dapat menghambat pelepasan dari GnRH, LH,
dan estrogen. Kortisol juga dapat menurunkan sensitivitas target organ
pada estrogen. Proses inilah yang dapat memicu dan memperberat gejala-
gejala PMS.

7
Menurut Reeder at el., (2014), menjelaskan bahwa wanita sering
kali mengaitkan gejala PMS dengan stres, tetapi ditemukan hubungan yang
bermakna antara PMS dengan peristiwa kehidupan yang menekan individu.
Wanita yang mengalami kehidupan penuh dengan tekanan berkemungkinan
memunculkan gejala PMS menjadi lebih berat.
4. Gejala PMS
Nugroho dan Utama (2014) menjelaskan terkait gejala yang dialami
setiap wanita berbeda-beda. Gejala-gejala yang dapat muncul saat mengalami
PMS, sebagai berikut (Nugroho & Utama, 2014):
a. Perubahan Fisik
1) Perut kembung
2) Nyeri pada payudara
3) Perubahan nafsu makan
4) Sembelit
5) Pusing atau sakit kepala
6) Nyeri daerah panggul atau nyeri area sendi
7) Susah tidur
8) Kelelahan
9) Pembengkakan
b. Perubahan Emotional
1) Mudah marah
2) Cemas
3) Depresi
4) Mudah tersinggung
5) Gelisah
6) Sebentar gelisah, sebentar bahagia
c. Perubahan Mental
1) Sulit berkonsentrasi
2) Kalut (perasaan tidak karuan atau kacau)
5. Tipe-tipe PMS
Andriyani (2013) menjelaskan terkait dengan tipe-tipe PMS, sebagai
berikut (Andriyani, 2013):
a. PMS tipe A (anxiety)

8
Tipe ini ditandai dengan gejala seperti rasa cemas, sensitif, dan
emosi tidak stabil. Bahkan wanita mengalami depresi ringan. Gejala
tersebut muncul akibat ketidakseimbangan hormon estrogen dan
progesteron. Kadar hormon estrogen lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar hormon progesteron. PMS tipe A, dapat menyebabkan kekurangan
vitamin B6 dan magnesium, dianjurkan untuk banyak mengonsumsi
makanan banyak mengandung serat.
b. PMS tipe H (hyperhydration)
Tipe ini ditandai dengan gejala seperti edema (pembengkakan
tangan dan kaki), perut kembung, nyeri pada payudara, dan peningkatan
berat badan sebelum menstruasi. Pembengkakan terjadi akibat
pengumpulan air pada jaringan ekstrasel, karena tingginya asupan garam
atau gula.
c. PMS tipe C (craving)
Tipe ini ditandai dengan gejala seperti rasa lapar keinginan untuk
mengonsumsi makanan manis (biasanya coklat) dan karbohidrat sederhana
(biasanya gula). Rasa ingin mengonsumsi makanan manis, dapat timbul
akibat stres, tinggi garam pada diet makanan, tidak terpenuhinya lemak
esensial (omega 6), atau kurangnya magnesium di dalam tubuh.
d. PMS tipe D (depression)
Tipe ini ditandai dengan gejala seperti rasa depresi, ingin menangis,
lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit dalam mengucapkan katakata
(verbalisasi), dan muncul rasa ingin melakukan bunuh diri. PMS tipe D
biasanya muncul bersamaan dengan PMS tipe A, karena tipe D muncul
secara murni hanya 3% saja. PMS tipe D murni, disebabkan oleh
ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen, dimana hormon
progesteron memiliki kadar lebih tinggi dibandingkan dengan hormon
estrogen dalam siklus haid.
Kombinasi PMS tipe D dengan PMS tipe A, muncul karena
disebabkan oleh stres, kekurangan asam amino tyrosine, kekurangan
magnesium, dan vitamin B (terutama B6). Biasanya satu hari menjelang
menstruasi dan pada hari pertama menstruasi, akan timbul kram perut.
Sebagian banyak wanita, mengeluhkan sakit perut atau lebih tepatnya kram
perut.
9
6. Terapi PMS
Pengobatan yang pasti untuk sindrom pramenstruasi tidak ada karena
patofisiologi yang tepat untuk sindrom pramenstruasi tidak diketahui, sehingga
sebagian besar pengobatan dilakukan dengan tujuan menghilangkan gejalanya
saja (Ryu & Kim, 2015). Secara umum, pengobatan dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu terapi bukan obat, terapi dengan obat, dan terapi bedah (Rad
et al., 2018). Menurut American College of Obstetricians and Gynecologiests
(ACOG) terapi lini pertama untuk PMDD (Premenstrual Dysphoric Disorder)
adalah terapi farmakologi, sedangkan untuk sindrom pramenstruasi pertama
harus diterapi dengan non farmakologi terlebih dahulu untuk kasus dengan
derajat gejala. Tidak ada terapi standar yang digunakan dalam sindrom
pramenstruasi karena pengobatan sindrom pramenstruasi bersifat individual
sesuai dengan profil gejala pasien (Ryu & Kim, 2015).
a. Terapi non Farmakologi
1) Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup yang dapat dilakukan yaitu latihan
aerobik secara teratur, pengaturan pola makan, managemen stres, dan
penyesuaian waktu tidur, terutama selama periode pramenstruasi (Ryu
& Kim, 2015). Dalam sebuah penelitian tahun 2018 di Iran
menunjukkan pengurangan gejala fisik sindrom pramenstruasi setelah
melakukan latihan aerobik secara teratur selama 8 minggu (Dehnavi et
al., 2018). Seringkali orahraga adalah modifikasi gaya hidup yang
paling efektif untuk terapi sindrom pramenstruasi ataupun PMDD dan
hal ini telah didukung oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG). Modifikasi pola makan yang disarankan yaitu
meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks atau protein karena
bahan ini diyakini meningkatkan triptofan yang merupakan prekursor
serotonin, akibatnya terjadi peningkatan kadar serotonin (Ryu & Kim,
2015). Sedangkan untuk managemen stres dapat melakukan relaksasi,
meditasi, yoga, atau teknik pernapasan (Mishra et al., 2018).
2) Cognitive Behavior Therapy (CBT)
Terapi perilaku kognitif adalah teknik terapi yang menekankan
perubahan pikiran, perilaku, dan emosi yang bermasalah menjadi lebih
baik sehingga dapat meningkatkan fungsi dalam kehidupan sehari-hari
10
(Ryu & Kim, 2015). Pada penelitian tahun 2016 oleh Maddineshat et
al., metode grup CBT yang dilakukan dalam delapan sesi dengan jarak
satu minggu antar sesi efektif untuk mengurangi gejala sindrom
pramenstruasi (Maddineshat et al., 2016). Dalam setiap sesi, setiap
individu mencatat aktivitas mereka dan membawa catatan tersebut
pada sesi berikutnya. Terapi dimulai dengan pengenalan terapis dan
anggota kelompok, pemberian materi tentang PMS, dan teknik terapi
yang akan dilakukan. Kemudian dilakukan evaluasi gejala yang
dialami serta melatih anggota menceritakan pengalaman mereka
tentang PMS. Pada akhir setiap sesi, terapis memberikan kesimpulan
umum tentang masalah yang telah dibahas (Maddineshat et al., 2016).

3) Suplemen
Pada perempuan PMS dengan ketidakstabilan suasana hati
terdapat perubahan siklik dalam kadar kalsium, sehingga meminum
kalsium karbonat 1.200mg setiap hari dapat menurunkan 48% gejala
emosional dan fisik sindrom pramenstruasi (Ryu & Kim, 2015). Untuk
suplemen vitamin B6 80mg jika dikonsumsi setiap hari dapat
mengurangi gejala perubahan mood, namun jika dikonsumsi >100mg
setiap hari dapat menyebabkan neuropati perifer. Hal ini terjadi karena
bentuk tidak aktif dari B6, piridoksin, secara kompetitif menghambat
bentuk vitamin B6 aktif sehingga menimbulkan gejala keracunan
vitamin B6 yang mirip dengan gejala defisiensi vitamin B6 yaitu
neuropati perifer. Penelitian tahun 2016 melaporkan bahwa vitamin D
dan vitamin E juga dapat digunakan sebagai terapi yang efektif dan
terjangkau untuk sindrom pramenstruasi (Karamali et al., 2016).
4) Herbal
Ekstrak Vitex agnus-castus (chasteberry) dapat mengurangi
gejala edem pada payudara, sakit kepala, perasaan cepat marah, dan
mood yang labil. Ekstrak buah ini dapat dikaitkan dengan penurunan
kadar gonadotropin, estrogen, progesteron, dan prolaktin, serta peran
sekunder sebagai agonis dopamine (Ryu & Kim, 2015).
b. Terapi Farmakologi
11
1) SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Abnormalitas transmisi serotonin sebagai akibat dari
berkurangnya reseptor transporter serotonin ditemukan pada
perempuan PMS/PMDD (Appleton, 2018). Peningkatan kadar
serotonin dapat dicapai dengan pemberian SSRI sehingga SSRI dapat
digunakan sebagai terapi lini pertama untuk sindrom pramenstruasi
(El-Gizawy et al., 2018). Sertraline, paroxetine, fluoxetine, citalopram,
dan escitalopram dapat digunakan untuk mengobati gejala psikologis
PMS dan PMDD serta telah terbukti meringankan beberapa gejala
fisik seperti perut kembung, nyeri payudara, dan perubahan nafsu
makan (Appleton, 2018).

2) SNRI (Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor)


SNRI seperti venlafaxine digunakan untuk mengobati
PMS/PMDD pada perempuan dengan gejala psikologis yang dominan.
Efek dapat dicapai relatif singkat, tiga hingga empat minggu, dan
dipertahankan selama siklus menstruasi berikutnya (Hofmeister et al.,
2016). Namun SNRI memiliki lebih sedikit studi yang telah
mengevaluasi kemanjurannya dalam terapi PMS/PMDD (Appleton,
2018).
3) Kontrasepsi Oral
Studi menunjukkan bahwa kontrasepsi oral memberikan
manfaat untuk mengobati gejala fisik dan psikologis PMS atau PMDD
karena kontrasepsi oral dapat mengurangi fluktuasi hormon seks yang
diyakini sebagai patofisiologi PMS dan PMDD (Appleton, 2018;
Hofmeister et al., 2016). Banyak penelitian juga telah menunjukkan
bahwa kontrasepsi oral kombinasi (etinil estradiol dan drospirenon)
memberikan hasil yang konsisten (Ryu & Kim, 2015). Kontrasepsi
oral dengan atau tanpa drospirenon efektif dalam mengurangi perut
kembung, mastalgia, sakit kepala, pertambahan berat badan, dan
pembengkakan ekstremitas (Hofmeister et al., 2016).
c. Terapi Bedah

12
Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk pengobatan sindrom
pramenstruasi. Keputusan untuk melakukan pembedahan harus
mempertimbangkan kondisi klinis, usia, keinginan untuk hamil, dan
kualitas hidup setiap pasien (Ryu & Kim, 2015). Sebelum keputusan untuk
dilakukan pembedahan, pasien harus diuji coba melalui semua terapi medis
yang tersedia (Appleton, 2018). Ketika kombinasi ooforektomi bilateral
dan histerektomi dianggap tepat, penggantian estrogen harus dilakukan
tanpa perlu mempertimbangkan perlindungan endometrium menggunakan
progesteron, yang pada akhirnya akan mengembalikan gejala sindrom
pramenstruasi (El-Gizawy et al., 2018). Namun, jika uterus dipertahankan,
yang berarti hanya dilakukan ooforektomi bilateral maka progestin
diperlukan (Appleton, 2018).

D. Dismenore
1. Pengertian Dismenore
Dismenore didefinisikan sebagai nyeri pada saat menstruasi (Okoro et
al., 2013). Kata dismenore berasal dari bahasa Yunani, yaitu dysmenorrhea,
yang menurut arti katanya terdiri atas “dys” berarti sulit, “meno” berarti bulan,
dan “rrhea” berarti aliran (Madhubala & Jyoti, 2012). Dismenore merupakan
nyeri menstruasi yang dikarakteristikan sebagai nyeri singkat sebelum atau
selama menstruasi yang merupakan permasalahan ginekologikal utama, yang
sering dikeluhkan oleh wanita.
2. Epidemiologi Dismenore
Kejadian dismenore di dunia sangat tinggi. Rata-rata lebih dari 50%
perempuan disetiap negara mengalami dismenore. Penelitian di Georgia pada
tahun 2012 di ketahui bahwa prevalensi 7 kejadian dismenore yaitu 52,07% dan
akibat dari nyeri tersebut dilaporkan bahwa 69,78% diantaranya tidak hadir ke
sekolah (Gagua et al., 2012).
3. Klasifikasi Dismenore
a. Dismenore primer
Dismenore primer adalah kondisi yang berhubungan dengan siklus
ovulasi. Penelitian menunjukan bahwa dismenore primer memiliki dasar
biokimia dan terjadi akibat pelepasan prostaglandin selama mens. Selama
13
fase luteal dan menstruasi berjalan prostaglandin F2alfa (PGR, Pelepasan
(PGF2a) yang berlebihan meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi
uterus dan menyebabkan vasospasme dari arteriol uterus, menyebabkan
iskemia dan perut bagian bawah. Respons sistemik terhadap PGF2a
meliputi nyeri pinggang, kelemahan, berkeringat, gejala gastrointestinal
(anoreksia, mual, muntah, dan diare) dan gejala sistem saraf pusat (rasa
mengantuk, sinkop, sakit kepala, dan konsentrasi buruk). Nyeri biasanya
dimulai pada saat onset menstruasi dan berlangsung selama 8-4 jam
(Lowdermilk et al., 2013).
b. Dismenore Sekunder
Dismenore sekunder adalah nyeri menstruasi yang terjadi
belakangan dalam kehidupan, umurnnya setelah usia 25 tahun. Hal ini
berhubungan dengan abnormalitas panggul seperti adenomiosis
endometriosis, penyakit radang panggul, polip endometrium, mioma
submukosa atau interstisial (fibroid uterus), atau penggunaan alat
kontrasepsi dalam kandungan. Nyeri sering kali dimulai beberapa hari
sebelum mens, namun hal ini dapat terjadi pada saat ovulasi dan berlanjut
selama hari-hari pertama menstruasi atau dimulai setelah menstruasi
terjadi. Berbeda dengan dismenore primer, nyeri pada dismenore sekunde
sering kali bersifat tumpul, menjalar dari perut bagian bawal ke arah
pinggang atau paha. Wanita sering kali mengalam perasaan membengkak
atau rasa penuh dalam panggul (Lowdermilk et al., 2013).
4. Etiologi Dismenore
a. Dismenore primer
Dismenore primer adalah proses normal yang dialami ketika
menstruasi. Kram menstruasi primer disebabkan oleh kontraksi otot rahim
yang sangat intens, yang dimaksudkan untuk melepaskan lapisan dinding
rahim yang tidak diperlukan lagi. Dismenore primer disebabkan oleh zat
kimia alami yang diproduksi oleh sel-sel lapisan dinding rahim yang disebut
prostaglandin. Prostaglandin akan merangsang otot otot halus dinding rahim
berkontraksi. Makin tinggi kadar prostaglandin, kontraksi akan makin kuat,
sehingga rasa nyeri yang dirasakan juga makin kuat. Biasanya, pada hari
pertama menstruasi kadar prostaglandin sangat tinggi. Pada hari kedua dan
selanjutnya, lapisan dinding rahim akan mulai terlepas, dan kadar
14
prostaglandin akan menurun. Rasa sakit dan nyeri menstruasi pun akan
berkurang seiring dengan makin menurunnya kadar prostaglandin (Sinaga,
2017).
b. Dismenore sekunder
Dismenore sekunder umumnya disebabkan oleh kelainan atau
gangguan pada sistem reproduksi, misalnya fibroid uterus, radang panggul,
endometriosis atau kehamilan ektopik. Dismenore sekunder dapat diatasi
hanya dengan mengbati atau menangani penyakit atau kelainan yang
menyebabkannya (Sinaga, 2017).
5. Patofisiologi Dismenore
Peningkatan produksi prostaglandin dan pelepasannya (terutama
PGF2α) dari endometrium selama menstruasi menyebabkan kontraksi uterus
yang tidak terkoordinasi dan tidak teratur sehingga menimbulkan nyeri. Selama
periode menstruasi, wanita yang mempunyai riwayat dismenore mempunyai
tekanan intrauteri yang lebih tinggi dan memiliki kadar prostaglandin dua kali
lebih banyak dalam darah (menstruasi) dibandingkan dengan wanita yang tidak
mengalami nyeri. Uterus lebih sering berkontraksi dan tidak terkoordinasi atau
tidak teratur. Akibat peningkatan aktivitas uterus yang abnormal tersebut, aliran
darah menjadi berkurang sehingga terjadi iskemia atau hipoksia uterus yang
menyebabkan timbulnya nyeri. Mekanisme nyeri lainnya disebabkan oleh
protaglandin (PGE2) dan hormon lain yang membuat saraf sensori nyeri
diuterus menjadi hipersensitif terhadap kerja bradikinin serta stimulus nyeri
fisik dan kimiawi lainnya (Reeder et al., 2014).
Kadar vasopresin mengalami peningkatan selama menstruasi pada
wanita yang mengalami dismenore primer. Apabila disertai dengan peningkatan
kadar oksitosin, kadar vasopresin yang lebih tinggi menyebabkan
ketidakteraturan kontraksi uterus yang mengakibatkan adanya hipoksia dan
iskemia uterus. Pada wanita yang mengalami dismenore primer tanpa disertai
peningkatan prostaglandin akan terjadi peningkatan aktivitas alur 5-
lipoksigenase. Hal seperti ini menyebabkan peningkatan sintesis leukotrien,
vasokonstriktor sangat kuat yang menginduksi kontraksi otot uterus (Reeder et
al., 2014).
6. Tanda dan Gejala Dismenore
Dismenore menyebabkan nyeri pada perut bagian bawah, yang bisa
15
menjalar ke punggung bagian bawah dan tungkai. Nyeri dirasakan sebagai kram
yang hilang-timbul atau sebagai nyeri tumpul yang terus menerus ada. Biasanya
nyeri mulai timbul sesaat sebelum atau selama menstruasi, mencapai puncaknya
dalam waktu 24 jam dan setelah 2 hari akan menghilang. Dismenore juga sering
disertai oleh sakit kepala, mual, sembelit atau diare dan sering berkemih.
Kadang sampai terjadi muntah (Nugroho et al., 2014).
a. Dismenore primer
Gejala-gejala umum seperti rasa tidak enak badan, lelah, mual,
muntah, diare, nyeri punggung bawah, sakit kepala, kadang-kadang dapat
juga disertai vertigo atau sensasi jatuh, perasaan cemas dan gelisah, hingga
jatuh pingsan6. Nyeri dimulai beberapa jam sebelum atau bersamaan
dengan awitan menstruasi dan berlangsung selama 48 sampai 72 jam. Nyeri
yang berlokasi di area suprapubis dapat berupa nyeri tajam, dalam, kram,
tumpul dan sakit. Sering kali terdapat sensasi penuh di daerah pelvis atau
sensasi mulas yang menjalar ke paha bagian dalam dan area lumbosakralis.
Beberapa wanita mengalami mual dan muntah, sakit kepala, letih, pusing,
pingsan, dan diare, serta kelabilan emosi selama menstruasi (Reeder et al.,
2014). Ciri-ciri atau gejala dismenore primer, yaitu a) Nyeri berupa keram
dan tegang pada perut bagian bawah; b) Pegal pada mulut vagina; c) Nyeri
pinggang; d) Pegal-pegal pada paha; e) Pada beberapa orang dapat disertai
mual, muntah, nyeri kepala, dan diare (Sari et al., 2012).
b. Dismenore Sekunder
Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenore
sekunder yang terbatas pada onset haid. Dismenore terjadi selama siklus
pertama atau kedua setelah haid pertama, dismenore dimulai setelah usia 25
tahun. Ciri-ciri atau gejala dismenore sekunder, yaitu a) Darah keluar
dalam jumlah banyak dan kadang tidak beraturan; b) Nyeri saat
berhubungan seksual; c) Nyeri perut bagian bawah yang muncul di luar
waktu haid; d) Nyeri tekan pada panggul; e) Ditemukan adanya cairan yang
keluar dari vagina; f) Teraba adanya benjolan pada rahim atau rongga
panggul (Sari et al., 2012).
7. Faktor Risiko Dismenore
Banyak teori telah dikemukakan untuk menerangkan penyebab
dismenore primer, tetapi patofisiologisnya belum jelas dimengerti. Faktor yang
16
memegang peranan sebagai penyebab dismenore primer adalah Prostaglandin.
Prostagladin terbentuk dari asam lemak tak jenuh yang disintesis oleh seluruh
sel yang ada dalam tubuh6. Hal ini menyebabkan kontraksi otot polos yang
akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Banyak faktor lain yang menyebabkan
dismenore primer antara lain:
a. Faktor Endokrin
Pada umumnya kejang yang terjadi pada dismenore disebabkan
oleh kontraksi otot uterus yang berlebihan. Hormon estrogen merangsang
kontraktiltas uterus, sedangkan hormon progesteron menghambat atau
mencegahnya.
b. Faktor Konstitusi
Faktor konstitusi seperti anemia dan penyakit menahun juga dapat
mempengaruhi timbilnya dismenore. Saat seseorang menderita anemia
maka sensitivitas tubuh terhadap nyeri akan meningkat. Hipersensitivitas
pada jaringan ini dipengaruhi karena adanya peningkatan kadar
prostaglandin dalam tubuh. Prostaglandin sendiri merupakan zat yang
dihasilkan oleh jaringan yang sedang terluka, sehingga peningkatan
prostaglandin dapat dipengaruhi oleh adanya kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh anemia.
c. Merokok
Rokok adalah stimula yang tidak hanya menyebabkan ketegangan
dalam sistem saraf, tetapi juga mendistorsi produksi hormon yang
menyebabkan produksi prostaglandin yang berlebihan. Oleh karena itu,
wanita perokok lebih cenderung mengalami nyeri menstruasi.
d. Kekurangan Gizi
Kekurangan gizi disebabkan oleh asupan yang kurang pada zat gizi
dan diet yang tidak sehat. Zat gizi dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
makro nutrien dan mikro nutrien. Kekurangan zat gizi makro, seperti
essensial fatty acid (asam lemak esensial) akan memicu dismenore, karena
essensial fatty acid ini berfungsi sebagai bahan awal untuk mengatur
hormon molekul seperti molekul (prostaglandin) yang mengatur aktivitas
sel. Menurut penelitian terdapat hubungan antara zat gizi mikro kalsium
dan vitamin C dengan kejadian dismenore (Saraswati et al., 2020).
e. Stres
17
Stress psikologis dan fisiologis terhadap peristiwa yang
mengganggu keseimbangan seseorang dalam beberapa cara yang
menyebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak yang mengakibatkan
menstruasi tidak teratur atau kram menstruasi.
f. Status Gizi
Wanita yang memiliki berat badan berlebih memiliki resiko dua kali
lebih kuat mengalami nyeri menstruasi daripada wanita yang berat badan
normal. Sedangkan status gizi yang kurang dapat memperparah keadaan
dismenore tersebut.
g. Usia Menarche
Menarche adalah menstruasi pertama terjadi yang merupakan ciri
khas kedewasaan seorang wanita yang sehat dan tidak hamil. Status gizi
remaja mempengaruhi terjadinya menarche baik dari fakotr usia terjadinya
menarche, adanya keluhan-keluhan selama menarche maupun lamanya hari
menarche. Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat
menstruasi (menarche) bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi
rata-ratanya 12,5 tahun. Statistik menunjukan bahwa usia menarche
dipengaruhi oleh faktor keturunan, keadaan gizi dan kesehatan umum.
8. Kewenangan dan Peran Bidan Terhadap Kasus Dismenore
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan remaj
a. Peran bidan salah satunya untuk masalah gangguan reproduksi terutama pada
dismenore primer. Upaya pencegahan dan penanganan gangguan reproduksi bida
n merupakan fasilitator dalam mempromosikan kesehatan misalnya adanya peny
uluhan mengenai menstruasi pada remaja dan penanganan non farmakologi seper
ti teknik relaksasi pada dismenore sesuai kewenangan bidan berdasarkan kompet
ensi ke-1 bidan di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
9. Penatalaksanaan Dismenore
Untuk mengurangi rasa nyeri bisa diberikan obat anti peradangan non-
steroid (misalnya ibu profen, naproxen dan asam mefenamat). Obat ini akan
sangat efektif jika mulai diminum 2 hari sebelum menstruasi dan dilanjutkan
sampai hari 1-2 menstruasi. Menurut Nugroho, selain dengan obat-obatan, rasa
nyeri juga bisa dikurangi dengan yakni (Nugroho et al., 2014):
a. Istirahat yang cukup.
b. Olah raga yang teratur (terutama berjalan).
18
c. Pemijatan.
d. Yoga atau senam
e. Kompres hangat di daerah perut.
Untuk mengatasi mual dan muntah bisa diberikan obat anti mual, tetapi
mual dan muntah biasanya menghilang jika kramnya telah teratasi. Gejala juga
bisa dikurangi dengan istirahat yang cukup serta olah raga secara teratur. Apabila
nyeri terus dirasakan dan mengganggu kegiatan sehari-hari, maka diberikan pil
KB dosis rendah yang mengandung estrogen dan progesteron atau diberikan
medroxiprogesteron. Pemberian kedua obat tersebut dimaksudkan untuk
mencegah ovulasi (pelepasan sel telur) dan mengurangi pembentukan
prostaglandin, yang selanjutnya akan mengurangi 29 beratnya dismenore. Jika
obat ini juga tidak efektif, maka dilakukan pemeriksaan tambahan (misalnya
laparoskopi). Jika dismenore sangat berat bisa dilakukan ablasio endometrium,
yaitu suatu prosedur dimana lapisan rahim dibakar atau diuapkan dengan alat
pemanas. Pengobatan untuk dismenore sekunder tergantung kepada penyebabnya
(Nugroho et al., 2014).

Adapun metode alternatif digunakan untuk pengobatan dismenore primer,


dan ada pendekatan perawatan diri, seperti terapi panas dan olahraga, untuk
menghilangkan rasa sakitnya. Juga, pengobatan pengobatan komplementer atau
alternatif seperti akupunktur dan aromaterapi telah digunakan, tetapi ada bukti
terbatas untuk mendukung kemanjurannya. Perawatan aromaterapi dengan
minyak esensial untuk menghilangkan rasa sakit pada dismenore primer adalah
metode yang paling banyak digunakan dalam praktik komplementer. Minyak
atsiri dapat dioleskan dengan pijatan atau saat mandi, atau dapat dihirup. Ketika
perawatan aromaterapi dengan minyak esensial dilakukan dengan pijat perut,
minyak diserap melalui kulit dan menembus jaringan (Banikarim, 2015).

19
BAB II
TINJAUAN TEORI ASUHAN KEBIDANAN

A. Data Subjektif
1. Biodata
Nama : Nama perlu ditanyakan agar tidak keliru bila ada kesamaan
nama dengan klien lain.
Umur : Untuk mengetahui klasifikasi usia remaja.
Pendidikan : Pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan pola pikir
remaja.
Pekerjaan : Untuk mengetahui aktivitas sehari hari remaja dan juga sosial
ekonomi.
Alamat : Untuk mengetahui karakteristik geografis remaja berasal.
2. Keluhan Utama
Apa yang dirasakan remaja pada saat ini, baik keluhan fisik, psikis maupun
sosial.
3. Riwayat Menstruasi
Untuk mengetahui riwayat obstetrik remaja.

4. Riwayat Kesehatan
Untuk mengetahui riwayat penyakit yang bisa berdampak pada kesehatan
remaja.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ditanyakan mengenai latar belakang kesehatan keluarga terutama penyakit
keturunan.

6. Pola Kebiasaan
a. Nutrisi :
Makanan perlu dikaji terutama konsumsi serat (buah dan sayur) juga
perilaku pemenuhan kebutuhan nutrisi/pola makan dan minum perhari.
b. Personal Hygiene :
Menjaga kebersihan tubuh akibat metabolisme dan kemungkinan
keringat berlebih dan lembab yang terjadi pada remaja.

20
7. Pola Kebiasaan
a. Nutrisi :
Makanan perlu dikaji terutama konsumsi serat (buah dan sayur) juga
perilaku pemenuhan kebutuhan nutrisi/pola makan dan minum perhari.
b. Personal Hygiene :
Menjaga kebersihan tubuh akibat metabolisme dan kemungkinan
keringat berlebih dan lembab yang terjadi pada remaja.
c. Eliminasi :
BAK hendaknya 3-4x/hari berwarna kuning jernih tidak terdapat endapan
ataupun busa. BAB 1x/hari konsistensi lembek dan berwarna khas.
d. Istirahat :
Pola istirahat hendaknya minimal tidur malam selama 6 jam, pola waktu
tidurnya pukul berapa, kulaitas tidurnya, hal ini bermanfaat untuk
menjaga kesehatan dan metabolisme remaja.
e. Aktivitas
Aktifitas merupakan salah satu faktor yang kemungkinan dapat
menyebabkan timbulnya dismenore terutama kurangnya olahraga pada
remaja.
B. Data Objektif
1. Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Perlu dikaji untuk melihat tampilan umum remaja
Kesadaran : Composmentis

Tensi normal : 90 / 60 mmHg – 140 / 90 mmHg


Nadi normal : 80 – 100x / menit
Suhu normal : 36,5 o C – 37,5 o C
Nafas normal : 18 – 25x / menit

2. Pemeriksaan Antropometri
Berat badan dan Tinggi badan (IMT), Lingkar lengan atas (LiLA).
3. Pemeriksaan Fisik Khusus
a) Kepala
Untuk mengetahui kebersihan kulit kepala, kerontokan rambut, tebal dan
panjang rambut beserta warna rambut.

21
b) Muka
Untuk mengetahui adakah oedem, pucat atau tidak.
c) Mata
Untuk mengetahui adakah konjungtiva anemis dan sklera ikterus.
d) Telinga
Untuk mengetahui fungsi pendengaran adakah serumen ataupun sekret
yang keluar dari telinga.
e) Hidung
Untuk mengetahui adakah polip,secret dan pernapasan cuping hidung.
f) Mulut dan Gigi
Mulut : Mengetahui kelembaban bibir adakah sariawan.
Gigi : Mengetahui adakah gigi yang berlubang dan
karies.
g) Leher
Mengetahui adakah pembesaran kelenjar tyroid.
h) Ketiak
Mengetahui adakah pembesaran kelenjar getah bening.
i) Dada
Tidak dilakukan pemeriksaan
j) Abdomen
Tidak dilakukan pemeriksaan
k) Genetalia
Mengetahui banyaknya darah menstruasi
l) Ekstremitas
Atas : Mengetahui adakah varises, oedem ataupun cacat.
Bawah : Mengetahui adakah varises, oedem ataupun cacat.
C. Mengantisipasi Masalah Potensial
Masalah yang dapat timbul dari diagnosa dan sebagai bidan harus
mempertimbangkan upaya pencegahan.
D. Menentukan Kebutuhan Segera
Kebutuhan yang segera diberikan adalah : Konseling perilaku hidup sehat dan
penatalaksanaan self hypnosis.
E. Menyusun Rencana Tindakan
Tindakan yang bisa diberikan antara lain : Konseling perilaku hidup sehat dan

22
penatalaksanaan self hypnosis
Bidan dapat memberikan nasehat kepada remaja, diantaranya :
1. Konseling menstruasi, dismenore dan personal hygiene.
2. Pendidikan kesehatan
3. Dukungan psikologis terhadap remaja
F. Melakukan Penatalaksanaan
Perencanaan yang sudah disusun dilaksanakan sesuai dengan kompetensi dan
kewenangan Bidan.
G. Evaluasi
Langkah ini sebagai evaluasi asuhan yang sudah diberikan kepada remaja dan
tindak lanjut yang diambil Bidan.

23
DAFTAR PUSTAKA
Adityarini, G. A., & Purnawati, S. (2013). HUbungan Stres Psikologis terhadap Prevalensi
Sindrom Pramenstrual (PMS) pada Mahasiswi Semester I Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Skripsi, 1–10.

Afiyanti, Y., & Pratiwi, A. (2017). Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi Perempuan :
Promosi, Permasalahan dan Penanganannya dalam Pelayanan Kesehatan dan
Keperawatan. Rajawali Pers.

Alharbi, K. K., Alkharan, A. A., Abukhamseen, D. A., Altassan, M. A., Alzahrani, W., &
Fayed, A. (2018). Knowledge, readiness, and myths about menstruation among students
at the Princess Noura University. Journal of Family Medicine and Primary Care, 7(6),
1197–1202. https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc

Andriyani, A. (2013). Panduan Kesehatan Wanita. As Salam Publishing.

Appleton, S. M. (2018). Premenstrual Syndrome : Evaluation and Treatment. CLINICAL


OBSTETRICS AND GYNECOLOGY, 00(00).
https://doi.org/10.1097/GRF.0000000000000339

Banikarim, C. (2015). Primary dysmenorrhea in adolescents in: M. Geffner, D. Blake. (Eds.),


http://www.uptodate.com/contents/primary-dysmenorrhea-in-adolescents, 2015

Dehnavi, Z. M., Jafarnejad, F., & Goghary, S. S. (2018). The effect of 8 weeks Aerobic
Exercise on Severity of Physical Symptoms of Premenstrual Syndrome : a Clinical Trial
Study. 18, 1–7. https://doi.org/https://doi.org/10.1186/s12905-018-0565-5

El-Gizawy, Z. A., Shaughn, P. M., & O’Brien. (2018). Premenstrual Syndrome . In


Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology (Vol. 9).
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/9781119211457.ch49

Faiqah, S., & Sopiatun, R. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pre Menstrual
Syndrome pada Mahasiswa TK II Semester III Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes
Mataram. Jurnal Kesehatan Prima, 9(2), 1486–1494. https://doi.org/10.32807/jkp.v9i2.70

Gagua, T., Tkeshelashvili, B., & Gagua, D. (2012). Primary dysmenorrhea : prevalence in
adolescent population of Tbilisi , Georgia and risk factors. J Turkish-German Gynecol
Assoc, 13(4), 162–168. https://doi.org/10.5152/jtgga.2012.21

Hofmeister, S., Bodden, S., & College, M. (2016). Premenstrual Syndrome and Premenstrual
Dysphoric Disorder. American Family Physician, 94(23), 236–240.

Karamali, M., Dadkhah, F., Sadrkhanlou, M., Jamilian, M., Ahmadi, S., Jafari, P., & Asemi, Z.
(2016). Effects of Probiotic Supplementation on Glycaemic Control and Lipid Profile in
Gestational Diabetes : A Randomized , Double-blind , Placebo-controlled trial. Diabetes
& Metabolism, 8, 4–11. https://doi.org/10.1016/j.diabet.2016.04.009

Kementerian Kesehatan RI. (2020). KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/320/2020 TENTANG STANDAR PROFESI
BIDAN (pp. 1–90). Kemenkes.
Kusmiran, E. (2016). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Salemba Medika.
Lowdermilk, D., Perry, S., & Cashion, M. C. (2013). Keperawatan Maternitas (2-Vol Set).
Maddineshat, M., Keyvanloo, S., Lashkardoost, H., Arki, M., & Tabatabaeichehr, M. (2016).
Effectiveness of Group Cognitive-Behavioral Therapy on Symptoms of Premenstrual
Syndrome ( PMS ) . Iranian Journal of Psychiatry, 11(1), 30–36.

Madhubala, C., & Jyoti, K. (2012). Relation Between Dysmenorrhea and Body Mass Index in
Adolescents with Rural Versus Urban Variation. The Journal Of Obstetrics And
Gynecology Of India, 62(4), 442–445. https://doi.org/10.1007/s13224-012-0171-7

Mishra, S., Ellot, H., & Marwaha, R. (2018). Premenstrual Dysphoric Disorder.

Mufida, E. (2015). Faktor yang Meningkatkan Risiko Premenstrual Syndrome pada


Mahasiswi. Jurnal Biometrika Dan Kependudukan, 4(1), 7–13.

Musmiah, S. B., Rustaman, N. Y., & Saefudin. (2019). Selamat Datang Masa Remaja.
Penerbit Deepublish.

Nugroho, T., Nurrezki, Warnaliza, D., & Wilis. (2014). Buku Asuhan Kebidanan Nifas 3. Nuha
Medika.

Nugroho, T., & Utama, B. I. (2014). Masalah Kesehatan Reproduksi Wanita. Nuha Medika.
Okoro, R. N., Malgwi, H., Pharm, B., & Okoro, G. O. (2013). Evaluation of Factors that
Increase the Severity of Dysmenorrhoea among University Female Students in Maiduguri
, North Eastern Nigeria. The Internet Journal of Allied Health Science and Practice,
11(4), 1–10.

Putri, N. R., Sumartini, E., Yuliyanik, Mustary, M., & Wardhani, Y. (2022). Kesehatan
Reproduksi Remaja (Oktavianis (ed.)). Get Press.

Rad, M., Sabzevary, M. T., & Dehnavi, Z. M. (2018). Factors Associated with Premenstrual
Syndrome in Female High School Students. Journal of Education and Health Promotion,
7, 1–5. https://doi.org/10.4103/jehp.jehp

Ratikasari, I. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Sindrom


Pramenstruasi (PMS) pada Siswi SMA 112 Jakarta Tahun 2015.

Reeder, S. J., Martin, L. L., & Koniak-Griffin, D. (2014). Keperawatan Maternitas :


Kesehatan Wanita, Bayi, dan Keluarga. EGC.

Ryu, A., & Kim, T. H. (2015). Premenstrual syndrome: A mini review. Elsevier Ireland, 82(4),
436–440. https://doi.org/10.1016/j.maturitas.2015.08.010

Saraswati, P. D. W., Suiraoka, I. P., & Kusumajaya, A. A. N. (2020). Consumption Level of


Calcium , Zinc , Vitamin E and Primary Dysmenorea in the Students at Senior High
School. Jurnal Kesehatan, 10(3). https://doi.org/ISSN 2086-7751 (Print), ISSN 2548-
5695 (Online)

Sari, W., Indrawati, L., & Harjanto, B. D. (2012). Panduan Lengkap Kesehatan Wanita.
Penebar Plus.

Sinaga, E. (2017). Manajemen Kesehatan Menstruasi. l IWWASH Global One.

Windiyaningsih, C. (2018). Epidemiologi Kesehatan Reproduksi. In PT Raja Grafindo


Persada (1st ed., Vol. 1, Issue April). PT Raja Grafindo Persada.

Zuhana, N., & Suparni. (2017). Hubungan Usia Menarche Dengan Kejadian Sindrom
Premenstruasi Di SMP Negeri I Sragi Kabupaten Pekalongan Tahun 2016. Jurnal
Kebidanan Indonesia, 8(1), 17–26.

Anda mungkin juga menyukai