Anda di halaman 1dari 37

Perubahan Arah Kebijakan Luar Negeri China

Terkait Resolusi DK PBB Terhadap Korea Utara

Siti Kemalasari Assiffa Salim


1706001346

Program Magister Departemen Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2020

BAB I

1
Universitas Indonesia
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan negara, baik barang ataupun jasa, dan
untuk meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, negara perlu menjalin
hubungan ekonomi dengan negara lain (Cohn, 2010, p. 79). Hubungan ekonomi yang
dijalin negara – negara sejatinya bukan hal yang baru, melainkan sudah dilakukan
bahkan sebelum terjadinya Perang Dunia. Keterbukaan dalam menjalin hubungan
ekonomi dengan negara lain penting untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan juga
pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Hal ini salah satunya terlihat dalam kemajuan
ekonomi yang dirasakan negara – negara Selatan pada abad ke-19 karena mulai
terintegrasi dengan negara – negara Utara (Cohn, 2010, p. 79). Sehingga, apabila ada
negara yang mengisolasikan dirinya dari negara luar maka negara tersebut akan
tertinggal dibandingkan dengan negara – negara lain.

Meningkatnya kepentingan – kepentingan ekonomi dalam hubungan internasional


membawa perubahan dalam perekonomian dunia (Feldstein, 1988). Hubungan ekonomi
yang semakin kompleks dan pesat yang terjalin antar negara menciptakan sebuah
interdependesi ekonomi, baik dalam bentuk pemberian bantuan luar negeri, investasi
luar negeri, dan perdagangan luar negeri (Mitra, 1977). Dalam interdependensi
ekonomi, jaringan perdagangan yang terhubung menciptakan efisiensi ekonomi karena
negara dapat memperoleh atau membeli barang yang tidak bisa mereka produksi sendiri,
ataupun yang memerlukan biaya yang tinggi untuk diproduksi di dalam negeri. Oleh
karena itu, negara akan mengalami kerugian atau harus mengeluarkan biaya lebih
apabila hubungan ekonomi seperti perdagangan diputuskan (Copeland, 1996, p.13).

Interdependensi ekonomi dalam hubungan internasional tidak hanya melibatkan


negara dengan perekonomian yang terbuka saja, melainkan dengan negara-negara yang
cenderung tertutup dengan perekonomian global. Salah satu contoh paling ekstrem dari
negara yang mengisolasikan diri dari sistem ekonomi global adalah Korea Utara. Korea
Utara merupakan negara yang dikenal mengisolasikan diri dari dunia internasional dan
menganut ideologi ‘juche’ atau self-reliance dalam sistem ekonominya (Bajpai, 2019; S.

2
Universitas Indonesia
Kim, 2014). Namun demikian, pada kenyataannya Korea Utara tidak sepenuhnya
tertutup kepada hubungan ekonomi dengan negara luar (Philip, 2017). Bahkan Korea
Utara memiliki produk impor dan ekspor utama seperti briket batubara, bijih besi,
tekstil, peralatan penyiaran, dan lain – lain (Bajpai, 2019). Walaupun terbilang kecil
dibandingkan dengan negara – negara lain, angka perdagangan internasional, baik impor
maupun ekspor yang dilakukan Korea Utara terus meningkat khususnya pasca tahun
2000 (OEC, 2017). Dengan kata lain, Korea Utara tidak bisa disebut menutup diri
sepenuhnya dari arus perekonomian dunia yang sudah terhubung satu sama lain (Riley
& Mullen, 2017).

Atas dasar integrasi ekonomi ini pula, Korea Utara kemudian dikenakan sanksi
ekonomi oleh Dewan Keamanan PBB untuk menekan upaya proliferasi senjata
pemusnah masal yang sedang dikembangkan negara tersebut. Diharapkan dengan
dijatuhkannya sanksi ekonomi multilateral terhadap Korea Utara, negara tersebut tidak
dapat lagi mengakses sumber-sumber finansial dan material untuk mengembangkan
senjata nuklirnya (Eckert, 2010). Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat
internasional dalam rangka kontra proliferasi senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea
Utara. Salah satu yang selalu diupayakan adalah penjatuhan sanksi ekonomi agar dapat
merubah perilaku Korea Utara. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Korea Utara
dianggap dapat memberikan tekanan maupun kesulitan ekonomi hingga akhirnya Korea
Utara merubah perilakunya dengan menghentikan upaya proliferasi senjata nuklirnya
(Kaempfer & Lowenberg, 2007). Selain itu, sanksi ekonomi adalah sebuah gerakan
internasional yang lebih kuat dibanding mediasi diplomatik (Kulessa & Starck, 1998)
dan dipraktikkan dalam bentuk pembatasan perdagangan dan atau transaksi keuangan
yang terkoordinasi guna mempengaruhi kondisi ekonomi di suatu wilayah (Davidsson,
2003, p. 4; Doxey, 1987, p. 116). Sanksi ekonomi yang dijatuhkan secara multilateral,
khususnya melalui institusi internasional akan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih
tinggi (Drezner, 2000; Hendrickson, 1994; Martin, 1992).

Rezim sanksi ekonomi terhadap Korea Utara dimulai pada tahun 2006 menyusul
peluncuran 7 misil balistik oleh Korea Utara pada tahun tersebut yang dianggap
mengancam keamanan dan perdamaian dunia (Eckert, 2010). Berdasarkan catatan DK
PBB, Korea Utara telah 6 (enam) kali melangsungkan uji coba senjata nuklir sejak

3
Universitas Indonesia
tahun 2006 (UN Security Council, 2019, p. 18). Atas rangkaian uji coba nuklir ini,
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, pernah
melayangkan kecaman keras terhadap Pemerintah Korea Utara karena uji coba nuklir
ini tidak sejalan dengan semangat untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di
kawasan dan dunia serta merupakan bentuk pelanggaran terhadap 4 (empat) Resolusi
DK PBB yang menuntut penghentian program rudal dan nuklir Pyongyang (Sofwan,
2017). Sementara itu pada tahun 2017, Korea Utara dilaporkan telah mengujicobakan
senjata nuklir paling kuat yang pernah diujicobakan oleh Korea Utara dalam bentuk
bom hidrogen (The Washington Post, 2017). Melalui kantor berita KCNA, Pemerintah
Korea Utara mengklaim bahwa telah berhasil mengujicobakan H-Bomb untuk ICBM1 di
pusat uji coba nuklirnya dengan tujuan untuk memperkuat ‘strategic nuclear force’
Korea Utara (CNBC, 2017).

Dalam hal ini, DK PBB sendiri telah beberapa kali menjatuhkan sanksi sejak
dimulailnya rangkaian uji coba nuklir Korea Utara pada tahun 2006. Adapun sanksi
PBB terhadap upaya proliferasi nuklir Korea Utara paling banyak dikeluarkan pada
tahun 2017 melalui 4 (empat) Resolusi DK PBB, yaitu Resolusi DK PBB No. 2356,
2371, 2375 dan 2397 (Schoff, 2018). Tiga resolusi terakhir, No. 2371, 2375 dan 2397,
dikeluarkan menyusul rangkaian uji coba senjata nuklir Korea Utara yang dilakukan
pada bulan Juli, September dan November 2017.

Resolusi 2371 secara spesifik melarang negara anggota PBB untuk mengekspor
sejumlah komoditas ekspor utama Korea Utara, meliputi batu bara (sumber pendapatan
eksternal terbesar Korea Utara), besi, bijih besi, timbal, bijih timah dan makanan laut.
Resolusi yang disetujui oleh 5 negara anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap DK PBB
ini juga menegaskan kembali kewajiban Korea Utara untuk tidak melakukan uji coba
nuklir lebih lanjut atau peluncuran yang menggunakan teknologi rudal balistik serta
untuk meninggalkan semua senjata nuklir dan program nuklir yang ada secara lengkap
(UN, 2017c). Resolusi 2375 yang dikeluarkan sebagai respon atas uji coba bom
hidrogen pada 3 September 2017 menetapkan blokade terhadap penjualan minyak dan
gas bumi ke Korea Utara serta melarang negara anggota PBB untuk mengimpor produk
tekstil dari Korea Utara. Negara-negara anggota PBB juga diharuskan untuk menutup
1
Intercontinental Ballistic Missile (Misil Balistik Antar Benua)

4
Universitas Indonesia
perdagangan dan kerja sama keuangan dengan Korea Utara selambat-lambatnya 120
hari sejak terbit resolusi tersebut (UN, 2017a). Sementara itu, Resolusi 2397 melarang
ekspor komoditas makanan, mesin, peralatan listrik, hasil bumi, kayu dan kapal dari
Korea Utara. Resolusi ini juga melarang ekspor peralatan industri, mesin, kendaraan
transportasi dan logam industri ke Korea Utara (UN, 2017b).

Penjatuhan sanksi ekonomi kepada Korea Utara atas upaya proliferasi nuklirnya ini
dilakukan mengingat Korea Utara melakukan hubungan perdagangan dengan banyak
negara. Dengan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, masyarakat
internasional berharap dapat menekan perekonomian Korea Utara sehingga negara
tersebut bersedia untuk tunduk pada hukum internasional dan menghentikan upaya
proliferasi nuklirnya. Adapun pembatasan ekspor komoditas yang tidak terkait langsung
dengan proliferasi nuklir, seperti tekstil dan batu bara, dilakukan karena negara ini
menyuplai sebagian besar pemasukan negaranya dari perdagangan internasional untuk
mendukung program nuklirnya (Sang-Hun, 2019). Sementara itu, pembatasan sejumlah
komoditas untuk diimpor ke Korea Utara seperti minyak mentah, karet dan produk gas
alam lainnya, dilakukan karena produk ini berkaitan erat dengan pembangunan program
nuklirnya (Wee, 2019).

Berdasarkan catatan Komite Sanksi 1718 DK PBB, hingga 2 Januari 2020, 50


negara anggota PBB telah mengirimkan laporan implementasi paragraf 8 Resolusi 2397
terkait repatriasi tenaga kerja Korea Utara, 91 negara telah melaporkan laporan
implementasi Resolusi 2375 dan 88 negara telah melaporkan implementasi Resolusi
2371. Dalam sambutan pembukaan briefing Komite Sanksi 17182, Christoph Heusgen,
Ketua Komite Sanksi 1718 mengatakan bahwa sangat penting bagi negara anggota PBB
untuk mengimplementasikan resolusi PBB secara utuh. Untuk memastikan kepatuhan
penuh, semua Negara Anggota didesak untuk bekerja sama sepenuhnya dengan Komite
atau Panel, dan untuk menyediakan, secara rahasia jika perlu, informasi apa pun yang

2
Komite 1718 adalah Komite di bawah DK PBB yang dibentuk pada 14 Oktober 2006 untuk
mengawasi implementasi Resolusi DK PBB No. 1718 serta seluruh sanksi terkait dengan Korea
Utara, meliputi Resolusi 1874 (2009), 2087 (2013), 2094 (2013), 2270 (2016), 2321 (2016),
2371 (2017), 2375 (2017) dan 2397 (2017). Anggota Komite ini terdiri atas 15 negara anggota
DK PBB dan menghasilkan keputusan melalui konsensus (UN Security Council, 2012).

5
Universitas Indonesia
mereka miliki tentang pelaksanaan sanksi, termasuk setiap pelanggaran sanksi
(Heusgen, 2019).

Negara-negara yang menjadi mitra dagang utama Korea Utara seperti China, India 3

dan Indonesia juga turut mengimplementasikan sanksi PBB tersebut di negaranya

masing-masing. China sebagai contoh, pada 22 September 2017, telah menetapkan

penangguhan penerbitan izin kepada warga negara DPRK untuk datang dalam rangka

bekerja. Pada 5 Januari 2018, China sepenuhnya melarang ekspor besi, baja, mesin

industri, kendaraan transportasi, dan minyak mentah. China juga melarang impor

produk agrikultur, produk bumi dan bebatuan dari Korea Utara. Berdasarkan komite

sanksi 1718, China telah mengirimkan laporan implementasi pada 2 November 2017, 12

Desember 2017, dan 15 Maret 2018. Sementara itu, India melalui laporannya kepada

DK PBB pada 6 Desember 2017 berkomitmen untuk mengimplementasikan seluruh

Resolusi DK disesuaikan dengan semangat hukum domestik. Berdasarkan komite

laporan kepatuhan Resolusi No. 2371 dan 2375 yang dikirimkan Indonesia ke Komite

Sanksi 1718 DK PBB pada 14 Maret 2018, Kementerian Luar Negeri Indonesia juga

melaporkan telah mengambil sejumlah langkah nasional.

Namun demikian, sekalipun telah ada sanksi ekonomi internasional yang dijatuhkan

kepada Korea Utara sejak tahun 2017, sejumlah sumber menyebut bahwa perekonomian

Korea Utara malah terbilang stabil dalam beberapa tahun terakhir dan jauh dari istilah

‘total collapse’ (Hanke, 2018; Jeong-ho, 2018; Kopf, 2018). Padahal, sanksi terhadap

Korea Utara tersebut dijatuhkan dengan pertimbangan bahwa putusnya jalur – jalur

3
Negara tujuan ekspor utama Korea Utara adalah China ($ 1,58 miliar), Pakistan ($ 27,8 juta)
dan India ($ 25 juta). Sementara itu, Negara eksportir utama ke Korea Utara adalah China ($
3,23 miliar), Rusia ($ 74,1 juta) dan India ($ 59,1 juta). Indonesia merupakan negara tujuan
ekspor ke-6 Korea Utara dengan angka ekspor mencapai U$ 1,93 juta (OEC, 2017).

6
Universitas Indonesia
dagang dengan mitra ekonomi Korea Utara akan memberikan dampak ekonomi yang

cukup signifikan sehingga akhirnya akan membuat Korea Utara memenuhi tuntutan

Dewan Keamanan PBB. Restriksi - restriksi dalam resolusi 2371 tersebut bahkan

diestimasi akan mengurangi sepertiga dari pemasukan luar negeri Korea Utara, atau

sekitar satu milyar dolar AS per tahunnya (United Nations, 2017). Duta Besar Korea

Selatan untuk Diplomasi Publik, Park En-na, bahkan menyebut bahwa secara umum

perekonomian Korea Utara semakin membaik. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan

data satelit, Amerika Serikat meyakini bahwa Korea Utara masih mengimpor lebih dari

jumlah impor maksimal minyak mentah sebagaimana yang diamanatkan Resolusi DK

PBB No. 2397. PBB juga mencatatat bahwa transfer produk minyak mentah yang

dilakukan oleh Korea Utara di tahun 2018 mencapai angka 57 juta barrel, atau senilai

US$ 5,7 juta (Cohen, 2019).

Sementara itu, sejak sanksi DK PBB No. 2375 yang melarang ekspor batu bara oleh

Korea Utara diberlakukan pada 5 Agustus 2017, hingga Januari 2018 tercatat masih

terdapat 3 kali ekspor batu bara dari Korea Utara ke beberapa negara seperti Korea

Selatan dan Jepang melalui Russia (VOA News, 2018a). Sejalan dengan hal tersebut,

Korea Utara juga masih terus melanjutkan upaya proliferasi nuklirnya sekalipun

berbagai sanksi ekonomi telah dijatuhkan kepada Korea Utara. Berdasarkan laporan

Alastair Morgan, Koordinator Panel of Experts DK PBB, Korea Utara masih terus

melanjutkan proliferasi nuklirnya berdasarkan observasi di beberapa fasilitas nuklirnya.

Selain itu, rezim Kim Jong-un juga masih mengujicobakan kemampuan balistik

misilnya melalui uji coba pada bulan Mei dan Juli 2019 (Morgan, 2019).

7
Universitas Indonesia
Lebih lanjut lagi, data dari Institute for Science and International Security (ISIS)

menunjukkan bahwa hingga Februari 2019 tercatat terjadi dugaan pelanggaran terkait

kepatuhan resolusi DK PBB terhadap Korea Utara oleh 56 negara (Albright, Burkhard,

Gostelow, Lim, & Stricker, 2019). China tercatat sebagai salah satu negara yang

melakukan cukup banyak pelanggaran. Dalam laporan tersebut China diduga melakukan

pelanggaran yang terkait dengan transaksi bisnis dan keuangan, penjualan/pembelian

komoditas, dan pengiriman (Albright et al., 2019). Komisi Tinjauan Ekonomi-

Keamanan AS-China bahkan menyebut bahwa China telah ‘mengendorkan’ penegakan

sanksi terhadap Korea Utara. Hal ini terlihat dengan telah kembalinya para pekerja

Korea Utara ke sejumlah proyek di timur laut China, meningkatnya kegiatan ekonomi

dan pariwisata di kota-kota perbatasan, kembalinya penerbangan antar negara dan

kunjungan diplomatik antara pejabat tinggu kedua negara membahas perkembangan

ekonomi (Reuters, 2018; VOA News, 2018b). Selain itu pada Desember 2019, China

bersamaan dengan Rusia juga mengusulkan Dewan Keamanan PBB mencabut larangan

sejumlah ekspor Korea Utara yang meliputi mengekspor patung, makanan laut dan

tekstil (Nikkei Asian Review, 2019; Reuters, 2019).

1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Menanggapi sanksi yang dikeluarkan melalui resolusi DK PBB No. 2371, 2375, dan
2397, China telah menunjukkan komitmennya terhadap sanksi ekonomi yang dijatuhkan
kepada Korea Utara dengan mengirimkan laporan kepatuhan kepada komite sanksi
1718. Pada 22 September 2017 China juga telah menangguhkan penerbitan izin kerja
kepada warga negara Korea Utara dan pada 5 Januari 2018, China juga telah melarang
sepenuhnya ekspor besi, baja, mesin industri, kendaraan transportasi, dan minyak
mentah. Selain itu, China juga telah melarang impor produk agrikultur, produk bumi
dan bebatuan dari Korea Utara. Status China sebagai anggota tetap Dewan Keamanan

8
Universitas Indonesia
PBB menjadikan China sebagai negara yang paling berkepentingan dalam menjalankan
resolusi Dewan Keamanan PBB.

Namun demikian sekalipun telah melakukan laporan kepatuhan dan


mengimplementasikan sanksi, seiring berjalannya waktu China kian melemahkan
penegakkan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara. Perubahan sikap China ini terlihat
dari dilakukannya pelanggaran terhadap sejumlah restriksi yang diatur dalam Resolusi
DK PBB. China, bersamaan dengan Rusia, juga pernah mengajukan pencabutan
sejumlah restriksi terhadap Korea Utara kepada DK PBB. Berangkat dari permasalahan
di atas, dirumuskan masalah dalam bentuk: “Mengapa China merubah sikapnya terkait
penjatuhan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara?”

1.3 Tujuan Penelitian

Dari pertanyaan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap alasan
mengapa China merubah arah kebijakan luar negerinya terkait penjatuhan sanksi
ekonomi yang dijatuhkan terhadap Korea Utara. Adapun untuk menjawab pertanyaan
penelitian, akan dilakukan analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan kebijakan Luar Negeri negara terhadap suatu regulasi internasional,
khususnya yang terkait sanksi ekonomi terhadap Korea Utara. Gambaran terkait
perubahan kebijakan luar negeri ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai
faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi perubahan komitmen negara
terhadap sanksi internasional.

1.4 Signifikansi

Di tataran teoritik, penelitian ini diharapkan berkontribusi dalam memperluas


perspektif dalam melihat perubahan kebijakan luar negeri suatu negara. Di tataran
empirik, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memahami faktor – faktor
yang mempengaruhi perubahan atau pergeseran komitmen China terhadap implementasi
sanksi DK PBB terhadap Korea Utara. Melalui pemahaman mengenai faktor – faktor
yang mempengaruhi perubahan Kebijakan Luar Negeri ini diharapkan gambaran umum

9
Universitas Indonesia
faktor yang mempengaruhi negara dapat dipahami dan dilihat korelasinya dengan
perubahan sikap negara terhadap sanksi internasional yang sudah disepakati.

1.5 Tinjauan Pustaka

Kajian akademis terdahulu yang membahas isu kegagalan sanksi ekonomi


internasional telah menggunakan berbagai sudut pandang dan level analisis. Beberapa
pendekatan teoretikal dan konseptual yang berulang digunakan untuk membedah
persoalan ini diantaranya membahas kegagalan sanksi ekonomi pada level internasional
dan di level domestik, baik di negara pengirim sanksi maupun negara target sanksi. Di
luar kedua level analisis tersebut, masih dapat ditemukan beberapa kajian yang tidak
secara spesifik membahas isu ini berdasarkan satu formulasi kerangka analisis yang
utuh.

Level analisis yang paling banyak digunakan untuk membedah faktor kegagalan
sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada sebuah entitas internasional adalah pendekatan
di level interasional. Kajian yang menggunakan pendekatan di level ini melihat
bagaimana aspek tekanan ekonomi dan politik dari institusi internasional serta
multilateralisme dapat mempengaruhi keberhasilan dari sebuah sanksi ekonomi.
Menggunakan konsep rezim sanksi internasional (Habib, 2016; S. H. Kim & Martin-
Hermosillo, 2013; Rubenstein & Farrall, 2009; Wood, 1998), banyaknya negara
anggota PBB yang tidak serius dalam mengimplementasikan resolusi Dewan Keamanan
PBB yang juga menunjukkan kelemahan PBB dalam menegakkan resolusinya adalah
penyebab ketidakberhasilan dari sanksi ekonomi yang dijatuhkan. Terlebih lagi, negara
anggota dari Dewan Keamanan PBB seperti China juga memiliki kepentingan khusus
terhadap Korea Utara sehingga menghambat pengenaan sanksi ekonomi.

Sementara itu dengan menggunakan konsep tahapan efektivitas sanksi ekonomi


internasional (I. Kim & Lee, 2019), pengkaji melihat bahwa faktor keberhasilan dan
kegagalan sanksi ekonomi dapat dilihat melalui tiga fase, yaitu upaya menimbulkan
kesulitan ekonomi (imposition of economic pain) yang berujung pada tekanan politik
(conversation to political pressure) sehingga dapat tercipta kesepakatan damai. Pengkaji
menyimpulkan bahwa faktor China dan non-China sangat mempengaruhi efektivitas

10
Universitas Indonesia
pengenaan sanksi ekonomi pada Korea Utara. Kepentingan China yang menjadikan
Korea Utara sebagai buffer statenya, dan kondisi ekonomi Korea Utara yang terisolisir
dan memiliki resistensi terhadap tekanan ekonomi eksternal menganggu efektifitas fase
keberhasilan sanksi ekonomi yang dijatuhkan. Menggunakan konsep dinamika sanksi
(Kwon, 2016) pengkaji melihat bahwa sanksi ekonomi akan berhasil apabila tercipta
kondisi yang mendukung dimana para negara pengirim tidak dipengaruhi oleh
kepentingan nasionalnya masing – masing sehingga restriksi ekonomi dapat secara
langsung menyentuh kerentanan negara target.

Analisis kajian terdahulu yang menggunakan pendekatan pada level internasional


setidaknya menghasilkan tiga argumentasi utama. Pertama, lemahnya kemampuan PBB
untuk mengimplementasikan resolusi PBB adalah karena tidak semua negara anggota
PBB atau negara pengirim serius untuk menegakkan resolusi PBB. Kedua, faktor
kepentingan China yang mempengaruhi kepatuhannya dalam mengimplementasikan
Resolusi DK PBB mempengaruhi keberhasilan dari sebuah rezim sanksi ekonomi.
Ketiga, lemahnya leverage masyarakat internasional terhadap Pyongyang beserta
kondisi internal Korea Utara kurang kondusif terhadap perubahan mempengaruhi
pengenaan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara itu sendiri.

Simpulan utama pendekatan pada level internasional di atas menunjukan beberapa


kekurangan dari kajian ini. Pertama, kajian terdahulu yang menekankan kepada
kurangnya komitmen negara pengirim dalam sanksi yang dijatuhkan secara multilateral
melalui institusi seperti PBB kurang memperhatikan sejauh mana kepatuhan ataupun
ketidakpatuhan dari negara pengirim terhadap sanksi yang seharusnya diberlakukan.
Sehingga sekalipun negara pengirim disebut tidak serius terhadap komitmennya, tidak
jelas bagaimana seharusnya bentuk kepatuhan negara pengirim terhadap sanksi yang
ada. Kedua, para pengkaji meliahat bahwa sanksi yang dijatuhkan harus mampu
menyasar titik vulnerabilitas dari negara target namun tidak belum mengaitkannya
dengan bentuk pemerintahan yang berjalan dari negara target pada tingkat domestik.

Kajian lainnya lebih menggunakan pendekatan pada level domestik negara target
maupun pengirim untuk membedah sanksi ekonomi terkait upaya kontra proliferasi

11
Universitas Indonesia
nuklir Korea Utara. Beberapa konsep yang digunakan oleh pengkaji politik untuk
membedah isu sanksi ekonomi antara lain konsep Reformasi Ekonomi Domestik
(Haggard & Noland, 2010), dan Perubahan Rezim (Chen, 2017). Kelompok kajian
terdahulu ini berargumen bahwa struktur dan ideologi politik maupun ekonomi
domestik dari Korea Utara menyebabkan sanksi ekonomi yang dijatuhkan tidak
memberikan pengaruh yang signifikan bagi Korea Utara.

Menggunakan konsep Reformasi Ekonomi Domestik, Haggard dan Noland (2010)


melihat bahwa kurangnya antusiasme Korea Utara dalam mematuhi Resolusi DK PBB
adalah karena Korea Utara memilik metode yang berbeda dalam mengelola
perekonomiannya. Pemerintah Korea Utara cenderung menghindari kerjasama regional
maupun bergabung dengan institusi keuangan global dan lebih memilih metode yang
lebih konvensional. Korea Utara juga hanya mencari mitra kerjasama tertentu, seperti
China, Iran, Suriah, dan Mesir. Masih dalam pendekatan domestik, konsep Perubahan
Rezim (2006) melihat bahwa kegagalan sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Korea
Utara disebabkan oleh struktur dan sejarah politik Korea Utara, yaitu pembangunan
kekuatan nuklir yang sudah ‘menyatu’ dengan ideologi Korea Utara.

Berbagai faktor domestik di negara target maupun pengirim memainkan peranan


penting terhadap kegagalan ataupun keberhasilan sanksi ekonomi yang dijatuhkan
kepada Korea Utara, khususnya dalam upaya kontra proliferasi nuklir. Namun dari
simpulan kajian yang menggunakan pendekatan domestik tersebut, pengkaji belum
secara spesifik melihat kondisi domestik seperti apa yang mempengaruhi keberhasilan
sanksi ekonomi. Analisa yang menggunakan pendekatan domestik kurang mampu
memberikan penjelasan yang lebih rinci menggunakan data. Khususnya pada negara
pengirim, penggunaan data diperlukan karena ketika sanksi ekonomi dijatuhkan, pada
akhirnya implementasi tidak dilakukan oleh negara sebagai satu entitas, tetapi ada aktor
– aktor ekonomi maupun politik pada tingkat domestik yang menentukan dilakukan atau
tidaknya sanksi ekonomi tersebut.

Selain kajian-kajian terdahulu di atas, terdapat sejumlah kajian lainnya yang


membedah isu sanksi ekonomi terhadap Korea Utara namun tidak secara spesifik

12
Universitas Indonesia
menggunakan sebuah konsep teoritik tertentu (Bapat & Kwon, 2014; Hart, 2000;
Hufbauer et al. 2007; Martin, 1992; Wagner, 1988). Adapun simpulan umum dari kajian
terdahulu tersebut adalah bahwa sanksi ekonomi akan lebih efektif apabila dijatuhkan
secara multilateral menggunakan institusi internasional. Sanksi ekonomi juga dianggap
akan lebih efektif dijatuhkan kepada negara yang menganut ideologi politik demokrasi.

Dari tiga kelompok kajian terdahulu di atas, dapat disimpulkan bahwa sejumlah
faktor pada level internasional dan domestik sangat mempengaruhi keberhasilan sanksi
ekonomi yang dijatuhkan terhadap sebuah negara. Pada tingkat internasional, faktor-
faktor ini meliputi lemahnya penegakkan sanksi oleh DK PBB dan lemahnya komitmen
negara pengirim yang dipengaruhi oleh kepentingan masing – masing negara sehingga
menyebabkan kegagalan atau kurang efektifnya sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada
Korea Utara. Pada level domestik, faktor kondisi ekonomi domestik serta ideologi
politik Korea Utara juga dianggap turut mempengaruhi keberhasilan sanksi yang
dikenakan terhadap negara tersebut.

Dari simpulan tersebut diatas, terlihat bahwa faktor-faktor di level internasional


memainkan peran paling penting dalam memastikan efektivitas sanksi PBB. Di antara
faktor-faktor di level internasional tersebut, penulis menilai bahwa faktor komitmen
negara pengirim dalam mengimplementasikan sanksi menjadi kunci utama keberhasilan
sanksi ekonomi yang dijatuhkan secara multilateral. Namun sekalipun faktor negara
pengirim sanksi telah banyak disebut sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan
sanksi ekonomi yang dijatuhkan secara multilateral, pembahasannya hanya berhenti
pada pengaruh kepentingan nasional secara umum saja. Belum ada yang secara spesifik
melihat bagaimana kondisi sosio politik pada tingkat domestik negara pengirim yang
pada akhirnya mewakili komitmen negara pengirim di tingkat internasional. Padahal,
melalui kajian mendalam pada tingkat domestik, dapat diketahui perubahan komitmen
suatu negara terhadap implementasi sebuah rezim sanksi ekonomi, yang pada akhirnya
dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan kegagalan sanksi ekonomi yang dijatuhkan
oleh DK PBB terhadap Korea Utara.

13
Universitas Indonesia
Selain itu, sekalipun telah ada penulis yang menyinggung adanya faktor China
dalam keberhasilan atau kegagalan sanksi terhadap Korea Utara, belum ada yang secara
spesifik menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan sikap China dalam
menegakkan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara. Analisa mengenai sikap China
terhadap sanksi ini menjadi penting untuk dilakukan secara lebih dalam mengingat
China sebagai negara anggota tetap PBB yang seharusnya menjadi penjuru dalam
penegakkan resolusi PBB terbukti menjadi salah satu negara besar yang tergolong tidak
memiliki komitmen yang kuat dalam menegakkan sanksi ekonomi DK PBB terhadap
Korea Utara. Oleh karenanya, penulis berupaya mengisi kesenjangan praktis tersebut
dengan menggunakan teori perubahan Kebijakan Luar Negeri dalam melihat pergeseran
perubahan kepatuhan China terhadap sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Korea
Utara. Analisa terhadap pergeseran komitmen China terhadap sanksi ini dibutuhkan
karena akan memperluas pemahaman mengenai kegagalan sanksi ekonomi yang
dijatuhkan Dewan Keamanan PBB kepada Korea Utara.

1.6 Kerangka Analisis

Pemahaman mengenai Kebijakan Luar Negeri cukup kompleks karena keberagaman


definisi oleh berbagai teoritisi dalam menjelaskan pengertian Kebijakan Luar Negeri
(Dugis, 2008). Secara sederhana, Dugis (2008) mendefinisikan Kebijakan Luar Negeri
sebagai tindakan otoritatif yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga
aspek yang diinginkan dari lingkungan internasional ataupun mengubah aspek-aspek
yang tidak diinginkan di lingkungan internasional (Dugis, 2008). Sementara itu,
Rosenau (1976) memahami Kebijakan Luar Negeri sebagai sebuah hasil dari interaksi
yang kompleks antara orientasi negara (cluster of orientations), komitmen dan rencana
aksi (commitment and plans for action), dan perilaku terhadap negara lain (form of
behavior).

Holsti (1983) melihat Kebijakan Luar Negeri sebagai kombinasi dari orientasi
(orientation), peran nasional (national roles), tujuan (objectives), dan aksi (action).
Tindakan yang diambil pemerintah terkait hubungan atau isu internasional dalam
Kebijakan Luar Negeri dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang beserta

14
Universitas Indonesia
tujuan dan orientasi yang jelas untuk menyelesaikan maupun menanggapi permasalahan
dan isu pada lingkup internasional (Dugis, 2008; K. J. Holsti, 1983; Modelski, 1962;
Wilkenfeld, 1980). Berdasarkan definisi – definisi terkait Kebijakan Luar Negeri, Dugis
(2008) menyimpulkan setidaknya ada 3 (tiga) aspek utama Kebijakan Luar Negeri, yaitu
sumber Kebijakan Luar Negeri (sources), proses dalam menjadikan sumber penjadi
kebijakan (process), dan aksi yang dilakukan dalam implementasi kebijakan (action).

Merujuk pada Barkdull & Harris (2002), Dugis (2008) kemudian membagi teori
untuk memahami Kebijakan Luar Negeri menjadi 3 (tiga) kategori; systemic theory,
societal theory, dan state-centric theory. Systemic theory adalah teori yang menganalisa
dan menjelaskan Kebijakan Luar Negeri dengan menekankan kepada pentingnya
pengaruh sistem internasional. Societal theory melihat Kebijakan Luar Negeri sebagai
produk hasil kombinasi antara politik domestik dan budaya dari negara yang menjadi
objek. Sementara state-centric theory mencari jawaban terkait Kebijakan Luar Negeri
dengan melihat pada struktur negara beserta individu yang mengimplementasikan
Kebijakan Luar Negeri di negara tersebut (Barkdull & Harris, 2002; Dugis, 2008).

Holsti (1982) menggunakan istilah restrukturisasi atau Foreign Policy Restructuring


(FPR) dalam melihat perubahan Kebijakan Luar Negeri. Restrukturisasi Kebijakan Luar
Negeri yang dikemukakan oleh Holsti (1982) berbeda dengan perubahan Kebijakan
Luar Negri yang dianggapnya ‘normal’ yang terjadi secara bertahap, lambat, dan
sedikit spillovers antara sektor geografis atau fungsional dan ditandai oleh keterkaitan
yang rendah antara para pencari keuntungan (K. Holsti, 2016; Shaltout, 2018).
Sementara perubahan Kebijakan Luar Negeri, atau yang disebut restrukturisasi oleh
Holsti menyentuh akar orientasi yang sedang berjalan, terjadi secara tiba – tiba dan
tidak bertahap, dan biasanya melibatkan hubungan berbagai sector (K. Holsti, 2016;
Shaltout, 2018).

Restrukturisasi Kebijakan Luar Negeri seringkali terjadi sebagai bentuk respon


terhadap sebuah ancaman. Pada era modern, ancaman ini tidak selalu dikategorikan ke
dalam ancaman yang bersifat militeristik. Ancaman yang berakibat pada perubahan
Kebijakan Luar Negeri dapat berupa ancaman budaya, sosial, keamanan, politik,

15
Universitas Indonesia
infomasi, ekonomi, dan lain – lain (Korany & Dessouki, 2008; Shaltout, 2018).
Beragam proses yang terkait dengan interdependensi yang terus tumbuh juga dapat
mendorong kemunculan ancaman – ancaman tersebut. Oleh karena itu, restrukturisasi
dapat dihasilkan dari pertimbangan militer dan strategis, kondisi domestik dan eksternal,
seperti kerentanan ekonomi, konsekuensi sosial dari modernisasi, ketergantungan,
perselisihan ideologis antara faksi, xenofobia, neo kolonialisme, nasionalisme, dll.
(Holsti, 1982; Shaltout, 2018). Negara yang melakukan perubahanKebijakan Luar
Negeri, secara sistematis menghilangkan pola hubungan eksternalnya dengan negara
lain baik dalam bidang diplomatik, militer, budaya, dan komersil ataupun menarik diri
dari komitmen (disengagement).

Variabel dependen dalam penjelasan Holsti (1982) terkait perubahan Kebijakan


Luar Negeri diuraikan dengan istilah; (1) perubahan signifikan dalam pola hubungan
Luar Negeri dalam bidang diplomatik, budaya, komersial dan militer, dan (2)
identifikasi kebijakan baru berkenaan dengan 'agen' asing di dalam negeri (K. Holsti,
2016). Pembahasan Holsti terkait perubahan Kebijakan Luar Negeri digunakan untuk 2
(dua) hal. Pertama, untuk menyediakan bukti mengenai persepsi pembuat kebijakan
terhadap kondisi ekternal dan domestik negara yang menyebabkan dilakukannya
perubahan Kebijakan Luar Negeri dan juga keinginan untuk merubah kontak eksternal.
Faktor – faktor seperti persepsi ancaman militer dan non-militer, perhitungan
keuntungan dan kerugian dari ketergantungan terhadap eksternal dan ancaman internal
lainnya seperti faksionalisme politik domestik, prestisme, komitmen ideologi dari
kelompok – kelompok dalam negeri, nilai budaya, karakter dari para pembuat kebijakan
utama, dan lain – lain (K. Holsti, 2016). Kedua, analisa Kebijakan Luar Negeri Holsti
juga dilakukan untuk menjawab alasan mengapa para pembuat kebijakan melakukan
restrukturisasi tertentu (K. Holsti, 2016).

Melengkapi pemahaman mengenai perubahan Kebijakan Luar Negeri yang telah


dijelaskan oleh Holsti (1982), Hermann (1990) berpendapat bahwa perubahan
Kebijakan Luar Negeri dalam hubungan internasional adalah hal mendasar dan wajar
dilakukan oleh negara dan tidak ada satupun era dan negara yang imun terhadap
perubahan – perubahan di dunia (Hermann, 1990). Hermann menggunakan istilah

16
Universitas Indonesia
foreign policy redirection dalam melihat perubahan Kebijakan Luar Negeri. Sekalipun
perubahan kebijakan luar negeri dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi, perubahan
kebijakan luar negeri menjadi perhatian khusus karena perubahan menyentuh konstituen
domestik, yang secara tidak langsung berisikan tuntutan yang sangat mungkin
memberikan konsekuensi bagi negara lain (Hermann, 1990).

Secara garis besar, perubahan kebijakan luar negeri dilatarbelakangi oleh dua hal.
Pertama, yaitu perubahan yang diakibatkan oleh perubahan rezim ataupun transformasi
negara. Kedua, yaitu perubahan yang terjadi ketika pemerintahan yang sedang menjabat
melakukan perubahan dalam arah kebijakannya. Bentuk perubahan yang kedua ini juga
dianggap bersifat ‘self-correcting’ karena perubahan Kebijakan Luar Negeri dilakukan
oleh aktor yang sama (existing actor ) (Hermann, 1990). Selanjutnya, Hermann juga
secara spesifik menyebut 4 (empat) faktor yang mendari pemicu perubahan Kebijakan
Luar Negeri yang disebut dengan change agents atau agen perubahan. Pertama, leader
driven. Kondisi ini biasanya terjadi ketika pembuat kebijakan memaksakan visi dan
kehendaknya sendiri dalam pengalihan dasar pada kebijakan luar negeri. Perubahan ini
seringkali terjadi di negara otoriter. Pada perubahan ini, pemimpin harus memiliki
keyakinan, kekuatan, dan energi untuk memaksa pemerintahnya untuk mengubah arah
kebijakan.

Kedua, bureaucratic advocacy. Perubahan ini terjadi dari sekelompok orang di dalam
pemerintahan yang pada akhirnya mampu mengarahkan kebijakan luar negeri. Agen
perubahan ini tidak meliputi seluruh pemerintahan, tetapi kelompok – kelompok yang
tersebar di dalam pemerintahan yang tersebar di organisasi ataupun institusi berbeda -
beda dan menjadi advokat dilakukannya perubahan. Agar advokasi dapat berjalan
efektif, suara yang berasal dari kelompok – kelompok tersebut harus berada pada posisi
yang baik agar memiliki akses ke pejabat yang lebih tinggi untuk menyampaikan
perubahan.

Ketiga, domestic restructuring. Agen ini mengacu pada segmen masyarakat yang
secara politis relevan dudukungannya dibutuhkan oleh suatu rezim yang sedang
menjabat. Dukungan tersebut menjadikan segmen masyarakat ini sebagai agen

17
Universitas Indonesia
perubahan. Dinamika dari agen ini dapat berbeda – beda tergantung pada sistem politik
negara itu sendiri. Pada negara tertentu, masyarakat elit tertentu bisa memiliki
kekuasaan untuk mempengaruhi pemerintah maupun rezim itu sendiri dalam kebijakan
luar negeri.

Keempat, external shock. Faktor ini merujuk pada sumber perubahan kebijakan luar
negeri yang berasal dari situasi internasional. Biasanya, situasi internasional ini
merupakan peristiwa internasional yang dramatis sehingga mendorong negara untuk
secara langsung memberikan respon melalui perubahan kebijakan luar negerinya.
Situasi internasional ini juga dapat diartikan sebagai persepsi pemimpin negara terhadap
sebuah lingkungan internasional. Namun demikian persepsi ini seringkali bersifat
ambigu karena interpretasi yang dapat berbeda dari setiap negara.

Keempat agen perubahan tersebut menunjukkan bahwa faktor domestik maupun


internasoinal memberikan pengaruh terhadap perubahan kebijakan luar negeri
(Hermann, 1990). Hermann juga menekankan bahwa keempat faktor tersebut tidak
harus ada seluruhnya untuk dapat mendorong perubahan kebijakan luar negeri namun,
beberapa diantaranya dapat muncul secara bersamaan sehingga menjadi agen
perubahan. Faktor – faktor tersebut kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan
kebijakan luar negeri melalui proses pengambilan keputusan. Namun demikian,
Hermann menyebutkan bahwa faktor tersebut tidak serta merta merujuk kepada
terjadinya perubahan kebijakan luar negeri. Terdapat proses pengambilan keputusan
yang pada akhirnya menentukan tingkatan perubahan kebijakan luar negeri.
Pengambilan keputusan terjadi melalui beberapa tahapan (Hermann, 1990), yaitu
sebagai berikut:

18
Universitas Indonesia
Tahapan Pengambilan Keputusan

Recogni
tion of
discrep Develop Implem
ant ment of entation
Initial policy informa alternat of new
expectations tion ives policy

Externa Postulat Buildin


l ion of a g
actor/en connecti authorit
vironme on ative
ntal between consens
stimuli problem us for
and choice
policy

Sumber: Diolah oleh penulis (dari Hermann 1990)

Menurut Hermann (1990), proses pengambilan keputusan memainkan peran penting


dalam menentukan perubahan pada Kebijakan Luar Negeri. Proses pengambilan
keputusan dapat menghambat maupun mendorong terjadinya perubahan. Apabila proses
pengambilan keputusan mendorong terjadinya perubahan, maka dari itu perubahan
Kebijakan Luar Negeri dapat terlihat dalam beberapa tingkatan. Hermann
mengklasifikasikan perubahan Kebijakan Luar Negeri ke dalam beberapa tingkatan,
yaitu:

1) Adjustment Changes. Perubahan terjadi pada tingkat upaya, baik meningkat atau
menurun, dan/atau dalam lingkup penerima (recipient country). Pada tingkat ini apa
yang dilaksanakan, bagaimana dilaksanakan dan tujuan kebijakan luar negeri masih
belum berubah.
2) Program Changes. Perubahan terjadi pada metode atau cara dalam mencapai tujuan
atau dalam penyelesaian masalah. Pada tingkat ini perubahan lebih bersifat
kualitatif, yaitu meliputi penggunaan instrumen kenegaraan yang baru seperti
melalui negosiasi diplomatik bukan menggunakan kekuatan militer. Pada tingkat ini

19
Universitas Indonesia
apa yang dilaksanakan dan bagaimana dilaksanakan mengalami perubahan, namun
tujuan dari kebijakan luar negeri tidak berubah.
3) Problem/Goal Changes. Masalah atau tujuan utama yang pada awalnya merupakan
tujuan dari kebijakan luar negeri diganti atau ditinggal begitu saja. Pada tingkat ini
perubahan terjadi pada tujuan kebijakan luar negeri.
4) International Orientation Changes. Perubahan ini merupakan tingkat paling
ekstrem dari perubahan Kebijakan Luar Negeri karena meliputi perubahan orientasi
yang menyeluruh terhadap permasalahan dunia. Dibandingkan tingkat yang lain,
pada tingkat ini perubahan terjadi pada lebih dari satu kebijakan, dan juga meliputi
peran dan aktivitas negara di lingkup internasional.
Tingkat perubahan yang telah dijelaskan Hermann (1990) dapat dilihat dalam
bagan berikut:

Tingkat Perubahan Kebijakan Luar Negeri Hermann

Tingkat Perubahan Kebijakan


Apa Bagaimana Tujuan Orientasi
Luar Negeri

Adjustment Changes

Program Changes X X

Problem/Goal Changes X

International Orientation
X
Changes

X = Terjadi perubahan pada


Sumber: Diolah oleh penulis (dari Hermann 1990)

20
Universitas Indonesia
Sedangkan keseluruhan hubungan antara agen perubahan, proses pengambilan
keputusan, dan tingkat perubahan kebijakan luar negeri yang dijelaskan Hermann
dapat dilihat dalam bagan berikut:

Foreign Policy Redirection

Sumber: Hermann (1990)

Berdasarkan kombinasi dari kesemua varibel dan indikator yang telah diuraikan
milik Holsti dan Hermann, kerangka analisis yang akan digunakan untuk membedah
perubahan sikap China terhadap sanksi ekonomi DK PBB yang dijatuhkan kepada
Korea Utara dapat diviualisasikan dalam bagan dibawah ini.

Tabel 1.1 Komponen Teori

Faktor Eksternal
Ancaman Militer
Ancaman non-militer
Pertimbangan strategis
Struktur pada hubungan
sebelumnya Proses Perubahan
External shock Pengambilan Kebijakan
Keputusan Luar Negeri

Faktor Domestik
Ancaman internal
Kondisi Ekonomi 21
Restrukturisasi Domestik Universitas Indonesia
Bureaucratic Advocacy
Leader-driven
Sumber: Olahan sendiri (dari Hermann, 1990, Holsti, 2016)

Kerangka analisis tersebut akan digunakan sebagai dasar analisis perubahan sikap
China terhadap sanksi ekonomi yang dijatuhkan kepada Korea Utara. Analisis dalam
penelitian ini akan menggunakan variabel – variabel komponen faktor eksternal dan
faktor domestik China. Tujuan atau intensi perubahan Kebijakan Luar Negeri dapat
dilihat melalui pernyataan dari para pembuat kebijakan, dan dapat diakses dari berbagai
sumber seperti pidato, konfrensi pers, pernyataan partai, dan juga siaran radio (K.
Holsti, 2016). Indikasi dari perubahan Kebijakan Luar Negeri dapat dilihat dari
perubahan yang signifikan dalam aksi, transaksi, komitmen, dan bahkan kebijakan itu
sendiri. Indikasi kebijakan luar negeri ditandai dengan perubahan signifikan pada jenis
tindakan, transaksi, dan / atau komitmen berikut (K. Holsti, 2016):

1. Jumlah perjanjian atau treaty yang ditandatangani;


2. Jumlah dan / atau negara mitra perjanjian (misalnya, sambil mempertahankan
beberapa perjanjian perjanjian dengan negara A, negara B dengan cepat
meningkatkan jumlah perjanjian dengan C, F dan G, ini menunjukkan pola
diversifikasi diplomatik dan komersial yang dilakukan negara B;
3. Komitmen baru terkait penempatan kemampuan militer di luar negeri, atau
mengakhiri komitmen sebelumnya;
4. Perubahan signifikan dalam jumlah dan tujuan siswa yang dikirim ke luar negeri
untuk belajar;
5. Pola pemungutan suara di General Assembly;
6. Arah perdagangan luar negeri dan tingkat konsentrasi perdagangan, serta ukuran
perdagangan absolut;
7. Jumlah dan arah kunjungan ke luar negeri oleh kepala negara atau pemerintah;
8. Angka dan lokasi misi diplomatik di luar negeri.

Terkait perubahan – perubahan tersebut, Holsti (2016) menekankan bahwa


perubahan orientasi Kebijakan Luar Negeri tidak hanya berupa aksi dan komitmen yang
bersifat outward-oriented saja. Perubahan orientasi Kebijakan Luar Negeri juga dapat
berupa serangkaian kebijakan yang dirancang untuk mengurangi atau meningkatkan

22
Universitas Indonesia
jumlah penetrasi asing, baik resmi maupun tidak resmi (K. Holsti, 2016). Indikator –
indikator perubahan lainnya yang juga disebutkan Holsti diantaranya adalah:

1. Pengusiran atau penerimaan personil militer, pangkalan dan / atau peralatan


asing;
2. Pengusiran warga asing yang tinggal di negara itu; pembatasan warga asing baru
yang memasuki negara itu, atau menarik peraturan yang sebelumnya membatasi
warga asing yang masuk;
3. Restriksi baru terkait ukuran pembukaan lembaga diplomatik asing atau terkait
pergerakan diplomat asing di negara tuan rumah, atau sebalikya;
4. Menutup negara untuk wisatawan dari negara-negara tertentu, atau mendirikan
hambatan administratif seperti untuk secara efektif menurunkan jumlah turis
yang datang dari negara tertentu, atau sebaliknya;
5. Sensor selektif atau total dari buku yang masuk, film, radio dan televisi, atau
pencabutan sensor semacam itu, atau sebaliknya;
6. Restriksi terhadap investasi luar negeri dari negara tertenti, atau sebaliknya;
7. Nasionalisasi properti atau perusahaan asing;
8. Pembatasan yang ketat pada jumlah siswa atau akademisi yang berasal dari
negara tertentu, atau perubahan signifikan terkait pembatasan serupa yang sudah
ada;
9. Pengusiran organisasi non-profit (kemanusiaan, edukasi, budaya) asing yang
sudah masuk, atau restriksi terhadap pada mereka yang berusaha mendapatkan
mendapatkan akses ke dalam negeri, atau sebaliknya;
10. Restriksi terhadap impor komoditas tertentu dari negara tertentu, dan
diberlakukan karena alasan lain selain alasan ekonomi (K. Holsti, 2016).

Berdasarkan serangkaian indikator perubahan yang telah banyak disebutkan


sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perubahan Kebijakan Luar Negeri yang tidak
harus berupa kebijakan yang tertulis secara formal dan resmi. Perubahan Kebijakan
Luar Negeri juga dapat dilihat sebagai sebuah perubahan sikap negara terhadap negara
lain, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, maupun keamanan terhadap negara
tertentu.

23
Universitas Indonesia
Jika divisualisasikan, logika analisis penelitian ini dapat dilihat di bagan di bawah
ini.

Tabel 1.2 Operasionalisasi Teori

Variabel Indikator Empirik

Tingkat
Melemahnya komitmen/penegakkan
Perubahan
Adjustment Changes China terkait sanksi ekomi kepada
Kebijakan Luar
Korea Utara
Negeri

External Sikap Amerika Serikat terhadap China


Actor/Environmental
Stimuli

China menjadikan Korea Utara sebagai


Faktor Eksternal
Pertimbangan strategis proksi untuk mengungguli Amerika
Serikat

Struktur pada hubungan


sebelmnya

Leader Driven Keinginan Xi Jinping untuk mendorong


denuklirisasi di semenanjung Korea
Faktor Domestik
Kondisi Ekonomi Proporsi perdagangan dengan Korea
Utara di China

Sumber : Diolah oleh penulis

24
Universitas Indonesia
Dalam konteks penegakkan sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Korea Utara,
hal – hal yang dianggap sebagai faktor perubahan sikap China sudah dapat ditelurusi
sejak dilakukannya uji coba nuklir pada tahun 2017. Faktor eksternal yang
mempengaruhi perubahan sikap China menjadi krusial untuk menggambarkan
bagaimana hal tersebut mempengaruhi sikap China, khususnya yang terkait sanksi
ekonomi terhadap Korea Utara. Khususnya pada kasus China, faktor eksternal menjadi
sangat penting melihat posisi China sebagai negara paling kuat di kawasan Asia, dan
juga saingan Amerika Serikat dalam lingkup internasional yang lebih luas. Selain itu
gambaran mengenai hal – hal yang menjadi latar belakang perubahan sikap China tidak
bisa dijelaskan secara menyeluruh tanpa penjelasan mengenai faktor pada tingkat
domestik (Hermann, 1990).

Komitmen China dalam menjalankan sanksi ekonomi tersebut menjadi penting untuk
disorot karena melihat posisi China sebagai sebagai salah satu negara terkuat di Asia
(Hui, 2011) dan juga anggota tetap DK PBB. Analisa ini juga pada akhirnya akan dapat
memperluas pemahaman mengenai kegagalan sanksi ekonomi yang dijatuhkan DK PBB
kepada Korea Utara. Chesterman dan Pouligny (2003) juga menyebut bahwa
keberhasilan sanksi yang dijatuhkan PBB sangat tergantung pada masing – masing
negara. Proses pengambilan keputusan digunakan untuk melihat apakah agen perubahan
memperkuat atau memperlemah kebijakan luar negeri. Pada kasus ini sudah terlihat
bahwa China melemahkan komitmennya terhadap sanksi kepada Korea Utara, oleh
karena itu penelitian ini akan fokus kepada faktor yang menjadi penyebab berubahnya
sikap China.

1.7 Hipotesis

Berdasarkan konsep Restrukturisasi Kebijakan Luar Negeri (Holsti, 1986), Peneliti


berasumsi bahwa faktor eksternal dan internal China mempengaruhi komitmen China
terhadap sanksi ekonomi DK Keamanan PBB terhadap Korea Utara. Ancaman militer
dan non-militer beserta kepentingan China di kawasan mempengaruhi penegakkan
sanksi yang dilakukan oleh China. Hal – hal ini mempengaruhi perubahan sikap China
dalam menegakkan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara yang dilihat sebagai salah
satu bentuk perubahan Kebijakan Luar Negeri.

25
Universitas Indonesia
1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode causal-


process tracing/CPT atau penelusuran proses kausal. Merujuk pada beberapa ahli,
penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengeksplorasi, memahami dan menafsirkan
fenomena sosial secara mendalam dalam pengaturan alaminya (Creswell 2002; Pope &
Mays 1995; Denzin & Lincoln, 1994). Dengan menggunakan penelitian kualitatif
peneliti ingin mengumpulkan informasi yang lebih banyak dan mendapatkan gambaran
yang lebih rinci tentang suatu masalah, kasus atau kejadian (Arora dan Stoner 2009).
Diharapkan melalui fitur-fitur dalam penelitian kualitatif, penyebab berubahnya sikap
China terhadap sanksi ekonomi yang dikenakan terhadap Korea Utara dapat
dieksplorasi dan ditafsirkan sebagaimana konteks sosial yang berlaku.

Adapun data penelitian akan dihimpun dari sumber data primer meliputi wawancara
dengan stakeholder terkait implementasi sanksi DK Keamanan PBB di Indonesia, yaitu
Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata (KIPS) Kementrian Luar
Negeri, Kedutaan Besar China untuk Indonesia serta pakar terkait konflik semenanjung
Korea di Indonesia. Sedangkan untuk data sekunder akan dihimpun dari buku, jurnal,
maupun artikel dari media-media online dan cetak dengan rentang waktu data yang
dikumpulkan adalah Januari 2017 sampai dengan tahun 2019. Data dikumpulkan
dengan melakukan studi pustaka dan penulusuran berita, khususnya dari media daring
yang terkait dengan posisi China dalam resolusi DK PBB No. 2371, 2375 dan 2397,
hubungan China dengan Korea Utara, serta kondisi . Setelah data berhasil dikumpulkan,
penulis melakukan triangulasi agar data yang diperoleh valid dan reliable untuk
digunakan sebagai dasar dalam analisa. Triangulasi dilakukan dengan cara
membandingkan sejumlah data yang didapatkan dalam penelitian dan mencocokan data
temuan dengan pertanyaan di dalam penelitian.

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam


pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data (Moleong, 1993: 103). Analisis data
dalam penelitian ini menggunakan causal-process tracing (CPT). Menurut Blatter dan
Haverland (2014), pendekatan CPT sangat cocok digunakan untuk menjawab

26
Universitas Indonesia
pertanyaan 'mengapa' dan 'bagaimana' karena berfokus pada kondisi penyebab,
konfigurasi, dan mekanisme yang memungkinkan munculnya sebuah hasil yang
spesifik. Adapun hal yang dielaborasi dalam CPT adalah “gambaran yang koheren dari
objek: [...] aliran langkah-langkah berkelanjutan dalam proses kausal yang mengarah
pada hasil yang spesifik” (Kurniawan, 2018: 35). Sejalan dengan hal tersebut, Blatter
dan Haverland juga mengemukakan konsep comprehensive storylines sebagai salah satu
dari tiga tujuan CPT. Comprehensive storylines adalah narasi atau alur cerita yang
memberikan gambaran umum dari keseluruhan proses yang mengarah pada hasil
dengan tujuan untuk melihat dinamika apa yang sebenarnya muncul dalam proses
tersebut (Blatter & Haverland, 2014: 70).

Dengan menggunakan teknik analisis CPT, faktor – faktor perubahan Kebijakan


Luar Negeri akan mendukung penjelasan mengenai mengapa China melakukan
perubahan sikap dalam menegakkan sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Korea
Utara. Adapun dalam melihat perubaan sikap China, penjabaran faktor – faktor dimulai
sejak tahun 2017 ketika resolusi yang baru dikeluarkan hingga tahun 2018.

1.9 Sistematika Penulisan

Tesis ini terbagi dalam empat bab, dengan sistematika pembahasan sebagai
berikut:

Bab 1 (satu) adalah bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, definisi konseptual, kerangka teori, yang terdiri dari
peringkat analisis serta landasan teoritik, hipotesa, dan metodologi penelitian yang
terdiri dari teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Kemudian yang terakhir
adalah sistematika pembahasan.

Bab 2 (dua) menjelaskan konteks dan lingkungan strategis dari objek penelitian meliputi
gambaran umum resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2371, 2375 dan 2397, respon
China internasional terkait sanksi yang dikeluarkan, hubungan China dengan Korea
Utara, dan gambaran umum terkait perubahan sikap China terkait sanksi yang
dikeluarkan.

27
Universitas Indonesia
Bab 3 (tiga) merupakan bagian pembahasan yang berisikan analisis terkait perubahan
sikap China terhadap sanksi ekonomi yang dikenakan terhadap Korea Utara
menggunakan kerangka analisis perubahan Kebijakan Luar Negeri yang telah disusun
pada bab I. Faktor – faktor eksternal dan domestik dalam perubahan Kebijakan Luar
Negeri China akan dibahas untuk melihat perubahan sikap China terhadap penegakkan
sanksi.

Bab 4 (empat) adalalah bagian penutup yang berisikan simpulan dan rekomendasi.
Bagian simpulan akan menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan temuan yang
didapatkan dari analisis pada bab sebelumnya.

28
Universitas Indonesia
BAB II (DRAFT)
GAMBARAN UMUM

2.1 Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Proliferasi Nuklir Korea Utara

2.1.1 Sanksi Ekonomi oleh Dewan Keamanan PBB kepada Korea Utara

2.1.2 Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2371, 2375, dan 2397

2.2 Penegakkan Sanksi Ekonomi oleh China terhadap Korea Utara berdasarkan
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2371, 2375, dan 2397

2.3 Hubungan China-Korea Utara

29
Universitas Indonesia
BAB III (DRAFT)

PEMBAHASAN

3.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri China terkait Isu Nuklir Korea Utara

Adjusment Change

3.2 Latar Belakang Perubahan Kebijakan China

3.2.1 Faktor Domestik

Beijing, moreover, has shown that there are limits on the pressure it will
exert on Pyongyang. It believes that pushing too hard would only reduce its
ability to shape North Korea’s behavior and potentially provoke more risk-
acceptant behavior should such pressure prove destabilizing. The United
States, therefore, should not place undue reliance on resolving the North
Korean nuclear conundrum solely through Chinese pressure.

3.2.2 Faktor Eksternal


a. Hubungan China – Amerika Serikat
b. Faktor Rusia
c. Peran Korea Utara dalam Konflik China – Amerika Serikat

30
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Albright, D., Burkhard, S., Gostelow, B., Lim, M., & Stricker, A. (2019). 56
countries[1] involved in violating UNSC Resolutions on North Korea during last
reporting period | Institute for Science and International Security.
Bajpai, P. (2019). How the North Korea Economy Works. Retrieved February 10, 2020,
from https://www.investopedia.com/articles/investing/013015/how-north-korea-
economy-works.asp
Barkdull, J., & Harris, P. G. (2002). Environmental change and foreign policy: a survey
of theory. Global Environmental Politics, 2(2), 63–91.
Blatter, J., & Haverland, M. (2014). Case studies and (causal-) process tracing. In
Comparative policy studies (pp. 59–83). Springer.
Chen, J. (2017). Why Economic Sanctions on North Korea Fail to Work? China
Quarterly of International Strategic Studies, 3(04), 513–534.
CNBC. (2017). North Korea hydrogen bomb: Read the full announcement from
Pyongyang. Retrieved January 2, 2020, from
https://www.cnbc.com/2017/09/03/north-korea-hydrogen-bomb-read-the-full-
announcement-from-pyongyang.html
Cohen, A. (2019). North Korea Illegally Trades Oil, Coal, With China’s Help.
Retrieved January 4, 2020, from
https://www.forbes.com/sites/arielcohen/2019/03/21/north-korea-illegally-trades-
oil-coal-with-chinas-help/#279fe1cc301a
Cohn, T. H. (2010). The Liberal Perspective. In Global political economy: Theory and
practice - 5th ed. (5th ed., pp. 77–102).
Davidsson, E. (2003). Towards A Definition of Economic Sanctions. The Economist,
(18), 144.
Doxey, M. P. (1987). International sanctions in contemporary perspective. Springer.
Drezner, D. W. (2000). Bargaining, enforcement, and multilateral sanctions: when is
cooperation counterproductive? International Organization, 54(1), 73–102.
Dugis, V. (2008). Explaining foreign policy change. Masyarakat Kebudayaan Dan
Politik, 21(2), 101–104.
Eckert, S. E. (2010). United Nations nonproliferation sanctions. International Journal,

32
Universitas Indonesia
65(1), 69–83.
Feldstein, M. (1988). International economic cooperation: Introduction. International
Cooperation, Chicago-London, 1–10.
Habib, B. (2016). The enforcement problem in Resolution 2094 and the United Nations
Security Council sanctions regime: sanctioning North Korea. Australian Journal of
International Affairs, 70(1), 50–68.
Haggard, S., & Noland, M. (2010). Sanctioning North Korea: The political economy of
denuclearization and proliferation. Asian Survey, 50(3), 539–568.
Hanke, S. (2018). North Korea’s Economic Crisis -- What Crisis? Retrieved January 4,
2020, from https://www.forbes.com/sites/stevehanke/2018/04/24/north-koreas-
economic-crisis-what-crisis/#26340b62437a
Hendrickson, D. C. (1994). The Democratist Crusade: Intervention, Economic
Sanctions, and Engagement. World Policy Journal, 11(4), 18–30.
Hermann, C. F. (1990). Changing course: when governments choose to redirect foreign
policy. International Studies Quarterly, 34(1), 3–21.
Heusgen, C. (2019). Chair’s statement1718 Committee Open brief. New York.
Retrieved from
https://www.un.org/securitycouncil/sites/www.un.org.securitycouncil/files/
open_briefing_to_member_states_on_13_september_2019.pdf
Holsti, K. (2016). Restructuring foreign policy: A neglected phenomenon in foreign
policy theory. In Kalevi Holsti: A Pioneer in International Relations Theory,
Foreign Policy Analysis, History of International Order, and Security Studies (pp.
103–119). Springer.
Holsti, K. J. (1983). International Politics: A Framework for Analysis (Englewood.
Hui, S. (2011). Engaging an Emerging Superpower: Understanding China as a Foreign
Policy Actor. Chatham House Asia Programme Paper.
Jeong-ho, L. (2018). Kim, the economy and why UN sanctions did not bring North
Korea to the summit table | South China Morning Post. Retrieved January 4, 2020,
from https://www.scmp.com/news/china/diplomacy-defence/article/2148515/kim-
economy-and-why-un-sanctions-did-not-bring-north
Kaempfer, W. H., & Lowenberg, A. D. (2007). The political economy of economic

33
Universitas Indonesia
sanctions. In Handbook of defense economics (Vol. 2, pp. 867–911). Elsevier.
Kim, I., & Lee, J.-C. (2019). Sanctions for Nuclear Inhibition: Comparing Sanction
Conditions between Iran and North Korea. Asian Perspective, 43(1), 95–122.
Kim, S. (2014). Luxury Goods in North Korea: Tangible and Symbolic Importance to
the Kim Jong-un Regime. On Korea, 7, 127–141.
Kim, S. H., & Martin-Hermosillo, M. (2013). The effectiveness of economic sanctions
against a nuclear North Korea. North Korean Review, 99–110.
Kopf, D. (2018). North Korea’s economy is slowly improving, despite sanctions and
mismanagement. Retrieved January 4, 2020, from https://qz.com/1300685/the-
state-of-the-north-korean-economy-might-surprise-you/
Korany, B., & Dessouki, A. E. H. (2008). Foreign Policy Approaches and Arab
Countries: A Critical Evaluation and an Alternative Framework’. Foreign Policy of
Arab States: The Challenge of Globalization.
Kulessa, M., & Starck, D. (1998). Peace through sanctions. In Global policy forum.
Bonn: Development and Peace Foundation.
Kurniawan, Y. (2018). The Politics of Securitization in Democratic Indonesia. Springer.
Kwon, B. R. (2016). The conditions for sanctions success: a comparison of the Iranian
and North Korean cases. Korean Journal of Defense Analysis, 28(1), 139–161.
Martin, L. L. (1992). Coercive cooperation: Explaining multilateral economic
sanctions. Princeton University Press.
Mitra, P. K. (1977). Reflections on International Economic Cooperation. The
Bangladesh Development Studies, 5(4), 371–392.
Modelski, G. (1962). A theory of foreign policy. Praeger for the Center of International
Studies, Princeton University.
Moleong, L. (1993). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Morgan, A. (2019). Recent Developments in The UN Sanctions Regime on The DPRK.
New York. Retrieved from
https://www.un.org/securitycouncil/sites/www.un.org.securitycouncil/files/
open_briefing_to_member_states_on_13_september_2019.pdf
Nikkei Asian Review. (2019). China and Russia propose lifting North Korea sanctions -
Nikkei Asian Review. Retrieved March 24, 2020, from

34
Universitas Indonesia
https://asia.nikkei.com/Spotlight/N-Korea-at-crossroads/China-and-Russia-
propose-lifting-North-Korea-sanctions
OEC. (2017). North Korea (PRK) Exports, Imports, and Trade Partners. Retrieved
from https://oec.world/en/profile/country/prk/
Philip, W. (2017). Which countries trade with North Korea? | World News | Sky News.
Retrieved February 10, 2020, from https://news.sky.com/story/which-countries-
trade-with-north-korea-11021304
Reuters. (2018). China appears to relax North Korea sanctions: report to U.S. Congress
- Reuters. Retrieved March 24, 2020, from https://www.reuters.com/article/us-
northkorea-usa-congress/china-appears-to-relax-north-korea-sanctions-report-to-
us-congress-idUSKCN1NJ387
Reuters. (2019). China, Russia propose lifting some U.N. sanctions on North Korea,
U.S. says not the time - Reuters. Retrieved March 24, 2020, from
https://www.reuters.com/article/us-northkorea-usa-un/china-russia-propose-lifting-
of-some-u-n-sanctions-on-north-korea-idUSKBN1YK20W
Riley, C., & Mullen, J. (2017). 4 ways China could hurt North Korea’s economy.
Retrieved February 11, 2020, from
https://money.cnn.com/2017/08/11/news/economy/north-korea-china-trump/
index.html
Rubenstein, K., & Farrall, J. M. (2009). Introduction: Filling or Falling between the
Cracks? Law’s Potential.
Sang-Hun, C. (2019). North Korea’s State-Run Economy Falters Under Sanctions,
Testing Elite Loyalty - The New York Times. Retrieved February 17, 2020, from
https://www.nytimes.com/2019/04/18/world/asia/north-korea-economy-
sanctions.html
Schoff, J. L. (2018). Understanding UN Sanctions on North Korea. Retrieved January 2,
2020, from https://carnegieendowment.org/publications/interactive/north-korea-
sanctions
Shaltout, H. F. (2018). An Evaluation of Holsti’s Concept of Foreign Policy
Restructuring: Has FPR Been Sufficiently Covered in the Arab World? Asian
Social Science, 14(8).

35
Universitas Indonesia
Sofwan, R. (2017). Indonesia Kecam Rudal Korut, Desak Pyongyang Patuhi PBB.
Retrieved January 2, 2020, from
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171129104254-106-258854/
indonesia-kecam-rudal-korut-desak-pyongyang-patuhi-pbb
The Washington Post. (2017). North Korea’s latest nuclear test was so powerful it
reshaped the mountain above it. Retrieved January 2, 2020, from
https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/09/14/orth-koreas-
latest-nuclear-test-was-so-powerful-it-reshaped-the-mountain-above-it/
UN. (2017a). Security Council Imposes Fresh Sanctions on Democratic People’s
Republic of Korea, Including Bans on Natural Gas Sales, Work Authorization for
Its Nationals. Meetings Coverage and Press Releases. Retrieved from
https://www.un.org/press/en/2017/sc12983.doc.htm
UN. (2017b). Security Council Tightens Sanctions on Democratic People’s Republic of
Korea, Unanimously Adopting Resolution 2397 (2017). Meetings Coverage and
Press Releases. Retrieved from
https://www.un.org/press/en/2017/sc13141.doc.htm
UN. (2017c). Security Council Toughens Sanctions Against Democratic People’s
Republic of Korea, Unanimously Adopting Resolution 2371 (2017). Meetings
Coverage and Press Releases. Retrieved from
https://www.un.org/press/en/2017/sc12945.doc.htm
UN Security Council. (2012). Security Council Committee established pursuant to
resolution 1718 (2006). Retrieved January 17, 2020, from
https://www.un.org/securitycouncil/sanctions/1718
UN Security Council. (2019). Subsidiary Organs of The United Nations Security
Council. Retrieved from https://www.un.org/securitycouncil/content/subsidiary-
bodies
United Nations. (2017). Security Council Toughens Sanctions Against Democratic
People’s Republic of Korea, Unanimously Adopting Resolution 2371 (2017) |
Meetings Coverage and Press Releases. Retrieved February 9, 2020, from
https://www.un.org/press/en/2017/sc12945.doc.htm
VOA News. (2018a). Despite Sanctions, N. Korea Reportedly Exported Coal to S.

36
Universitas Indonesia
Korea, Japan via Russia | Voice of America - English. Retrieved January 4, 2020,
from https://www.voanews.com/east-asia/despite-sanctions-n-korea-reportedly-
exported-coal-s-korea-japan-russia
VOA News. (2018b). Report: China Appears to Ease North Korea Sanctions | Voice of
America - English. Retrieved March 24, 2020, from
https://www.voanews.com/east-asia-pacific/report-china-appears-ease-north-korea-
sanctions
Wee, H. (2019). Kim Jong Un pursues this energy strategy to keep North Korea afloat.
Retrieved February 17, 2020, from https://www.cnbc.com/2019/04/11/kim-jong-
un-pursues-this-energy-strategy-to-keep-north-korea-afloat.html
Wilkenfeld, J. (1980). Foreign policy behavior: The interstate behavior analysis model.
SAGE Publications, Incorporated.
Wood, M. C. (1998). The interpretation of Security Council resolutions. Max Planck
Yearbook of United Nations Law Online, 2(1), 73–95.

37
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai