Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

BLADER TRAINING, KAGEL EXERCISE,PEMASANGAN DAN


PERAWATAN KATETER,IRIGASI KATETER PADA PASIEN
TURP,MANAJEMEN NYERI,PEMERIKSAAN CCT

DOSEN PENGAMPU :
Istianah, Ners., M.Kep

Disusun Oleh:
RiaSalfiani ( 041 STYC20 )

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGAM STUDI PENDIDIKAN NERS TAHAP AKADEMIK
2022

i
Kata pengantar
Puja dan puji kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah ii berjudul “Bledder
training, kagel exercise, pemasangan dan perawatan kateter, irigasi kateter pada pasien
turp, manajemen nyeri, pemeriksaan cct” ini dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini.oleh karna itu, kami meminta ibu/bapak dosen untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik dan saran dari ibu/bapak dosen sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalahselanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Mataram, 22 maret 2022

ii
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR................................................................................................................................... ii

DAFTARISI................................................................................................................................................. iii

BABI PENDAHULUAN............................................................................................................................. 1

1.1 LatarBelakang........................................................................................................................... 1

1.2 RumusanMasalah.................................................................................................................... 2

1.3 Tujuan.......................................................................................................................................... 2

1.4 Manfaat........................................................................................................................................ 3

BAB II TINJAUANTEORI......................................................................................................................... 4

2.1 Pengertian.................................................................................................................................. 4

2.2 Bledder training....................................................................................................................... 4

2.3 kagel exercise............................................................................................................................ 5

2.4 pemasangan dan perawatan kateter...............................................................................6

2.5 irigasi kateter pada pasien turp......................................................................................... 7

2.6 manajemen nyeri.................................................................................................................. 10

2.7 pemeriksaan cct.................................................................................................................... 11

DAFTARPUSTAKA................................................................................................................................. 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang

Ketika memempersiapkan pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama,
latihan kandung kemih atau bladder training harus di mulai dahulu untuk mengembangkan
tonus kandung kemih dan dengan demikian mencegah retensi. Ketika kateter terpasang,
kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi. Karena itu, pada akhirnya kandung
kemih akan kehilangan tonusnya (atonia). Apabila hal ini terjadi dan kateter di lepas, otot
detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengeliminasi urinnya.
Salah satu usaha untuk mengatasi gangguan ini adalah dengan memberikan terapi bladder
training. Bladder-retention training dilakukan dengan tujuan meningkatkan ukuran
fungsional kandung kemih dengan cara menyuruh pasien dalam jumlah yang cukup
banyak, kemudian pasien diminta menahan diri untuk berkemih selama mungkin (Pillitteri,
1999). Namun, sampai saat ini pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan
kemampuan belum dapat dijelaskan. Tujuan penyajian referat ini adalah untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai bladder training dan cara penanganannya. Pemahaman yang lebih
baik akan membantu perawat dalam usaha menerapkan terapi bladder training ini. Perawat
pada awalnya mengkaji pola berkemih klien, informasi ini memungkinkan perawat
merencanakan sebuah program yang sering memakan waktu 2 minggu atau lebih untuk di
pelajari. Walaupun program dapat mulai di laksanakan di rumah sakit atau unit rhabilitasi.
Program tersebut mungkin perlu di lanjutkan di suatu fasilitas perawatan yang luas atau di
rumah.
BLADDER TRAINING Bladder training adalah salah satu upaya untuk
mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran urin. Agar bladder training ini berhasil, klien harus menyadari dan secara fisik
mampu mengikuti program pelatihan. Program tersebut meliputi penyuluhan, upaya
berkemih yang terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Fungsi kandung kemih
sementara mungkin terganggu setelah suatu periode kateterisasi. (Potter & perry. 2005)
Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi nonfarmakologis.
(Potter & perry. 2005) Proses penyakit yang utama mempengaruhi fungsi ginjal
( meyebabkan perubahan volume atau kualitas urine). Pada awalnya secara umum di
kategorikan sebagai parenalis, renalis, atau pascarenalis. Perubahan prarenalis dalam
eliminasi urine akan menurunkan aliran darah yang
Tujuan dari bladder training antara lain :
1. untuk melatih kandung kemihyang adekuat tanpa terjadinya refluks vesioko uretral.
2. mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran air kemih
3. dengan latihan kandung kemih ini juga untuk mencegah distensi yang berlebihan, untuk
mengembangkan refleks urinasi yang spontan dan efektif.
4. dapat mengosongkan kandung kemih secara teratur dan tuntas, mempertahankan urin
tanpa terbentuknya batu.
HAL-HAL YANG PERLU DI PERHATIAKN DALAM BLADDER TRAINING
Perawat pada awalnya mengkaji pola berkemih klien. Apabila klien menderita
ISK yang mendasari gangguan pola berkemih, ISK tersebut harus diobati pada waktu yang
sama. Info ini memungkinkan perawat merencanakan sebuah program yang sering
memakan waktu 2 minggu atau lebih untuk dipelajari. Tindakan berikut dapat membantu
1
pasien yang menderita inkontinensia untuk memperoleh kembali kontrol berkemihnya dan
merupakan bagian dari perawatan rehabilitatif serta restorasi
1. Mempelajari latihan untuk menguatkan dasar panggul
2. Memulai jadwal berkemih pada setiap 2 jam sepanjang siang dan sore hari, sebelum
tidur, dan setiap 4 jam pada malam hari
3. Menggunakan metode untuk mengawali berkemih. ( misalnya, air mengalir dan
menepuk paha bagian dalam).
4. Menggunakan metode untuk relaks guna membantu pengososngan kndung kemih
secara total ( misalnya, membaca dan menarik nafas dalam )
5. Jangan pernah mengabaikan keinginan untuk berkemih ( hanya jika masalah klien
melibatkan pengeluaran urine yang jarang sehingga dapat mengakibatkan retensi )
6. Mengonsumsi cairan sekitar 30 menit sebelum jadwal waktu berkemih.
7. Hindari teh, kopi, alkohol, dan minuman berkafein lainnya.
8. Minum obat-obatan diuretik yang sudah di programkan atau cairan untuk meningkatkan
diuresis (seperti teh dan kopi( dini pada pagi hari.
9. Semakin memanjangkan atau memendekkan periode antar berkemih.
10. Menawarkan pakaian dalam pelindung untuk menampung urine dan mengurangi rasa
malu klien (bukan popok). (Potter & perry. 2005) 4
HAL-HAL YANG PERLU DI PERHATIKAN SEBELUM DI LAKUKAN TINDAKAN
BLADDER TRAINING.
1. Periksa kandung kemih. bagaimana keadaannya, keras atau tidak Kandungan urinnya
bagaimana
2. Sudah ada atau belum rasa ingin mengeluarkan urin yang di alami pasien .
PERSIAPAN ALAT
1. Jam
2. Air minum dalam tempatnya
3. Obat deuritik jika diperlukan, dan gunting klem.
PROSEDUR PELAKSANAAN Untuk pasien yang terpasang kateter
1. Pasien minum cairan dengan jumlah yang sudah di ukur dari pukul 8.00 hingga 20.00
untuk menghindari distensi yang berlebihan, tidak boleh ada cairan yang di minum
(kecuali untuk membasahi bibir) sesudah pukul 22.00.
2. Sebelum kateterisasi di hentikan, kateter urin secara bergantian di jepit dengan klem
dan di lepas jepitannya ketika melakukan latihan kandung kemih.
3. Setiap 2 jam sekali, kateter di klem selama 20 menit. Tindakan ini memungkinkan
kandung kemih terisi urin dan otot detrusor berkontraksi.
4. Kemudian Pada suatu waktu yang di tentukan di lepaskan dan pasien mencoba buang
air kecil dengan cara menekan kandung kemih, melakukan perkusi abdomen atau
meregangkan sfingter ani dengan jari tangan untuk memicu kandung kemih.
5. Segera sesudah mencoba urinasi, kateterisasi (di lepas klem) di lakukan untuk
menentukan jumlah urin sisa.
6. Volume urin yang di eliminasi dan di peroleh melalui kateterisasi di ukur.
7. Kandung kemih di palpasi beberapa kali untuk menentukan apakah terjadi distensi
kanding kemih.
8. Pasien tanpa sensasi yang lazim di anjurkan untuk mewaspadai setiap tanda yang
menunjukkan penuhnya kandung kemih, seperti perspirasi, kaki atau tangan yang dingin
dan perasaan cemas.
9. Interval antar kateterisasi di perpanjang dan program latihan di laksanakan lebih lanjut
dengan berkurangnya volume urin sisa. Kateterisasi biasanya di hentikan setelah volume
urin sisa mencapai tingkatan yang aksep-tabel.
Untuk pasien yang tidak terpasang kateter
1. Beritahu klien untuk memulai jadwal berkemih pada bangun tidur, setiap 2-3 jam
2
sepanjang siang dan sore hari, sebelum tidur dan 4 jam sekali pada malam hari.
2. Berikan klien minum yang banyak sekitar 30 menit sebelum waktu jadwal untuk
berkemih
3. Beritahu klien untuk menahan berkemih dan memberitahu perawat jika rangsangan
berkemihnya tidak dapat ditahan.
4. Klien disuruh menunggu atau menahan berkemih dalam rentang waktu yang telah
ditentukan 2-3 jam sekali
5. 30 menit kemudian, tepat pada jadwal berkemih yang telah ditentukan, mintalah klien
untuk memulai berkemih dengan teknik latihan dasar panggul.
A. Latihan 1
1) intruksikan klien untuk berkonsentrasi pada otot panggul
2) Minta klien berupaya menghentikan aliran urine selama berkemih kemudian
memulainya kembali
3) Praktikkan setiap kali berkemih
Latihan 2
1) minta klien untuk mengambil posisi duduk atau berdiri.
2) Instruksikan klien mengencangkan otot - otot disekitar anus.
B. Latihan 3
1) Minta klien mengencangkan otot bagian posterior dan kemudian kontraksikan otot
anterior secara perlahan sampai hitungan ke empat.
2) Kemudian minta klien untuk merelaksasikan otot secara keseluruhan.
3) Ulangi latihan empat jam sekali, saat bangun tidur selama tiga bulan.
C. Latihan 4
1) Apabila memungkinkan anjurkan Sit-Up yang dimodifikasi (lutut ditekuk) kepada
klien.
Evaluasi
1). Klien dapat menahan berkemih dalam 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali.
2). Klien merasa senang dengan prosedur. 6. Bila tindakan point 5 seperti tersebut
dirasakan belum optimal atau terdapat gangguan :
a. Maka metode di atas dapat ditunjang dengan metode rangsangan dari eksternal misalnya
dengan suara aliran air dan menepuk paha bagian dalam
b. Menggunakan metode untuk relaksasi guna membantu pengosongan kandung kemih
secara total, misalnya dengan membaca dan menarik napas dalam.
c. Mengindari minuman yang mengandung cafein
d. Minum obat deuritik yang telah diprogramkan atau cairan untuk meningkatkan deuritik .
Sikap
a. Jaga privasi klien
b. Lakukan prosedur dengan teliti.
c. Pemberian umpan balik positif Memberikan penghargaan atas apa yang telah
dilakukannya, memberikan penghargaan atas keberhasilannya dalam melaksanakan
program bladder training.

3
BAB 11

KAGEL EXERCISE

Kegel exercise dikembangkan oleh Dr. Arnold Kegel pada tahun 1940 untuk mengatasi masalah
pada kekuatan otot dasar panggul(Rahajeng,2010: 121), dengan kata lain kegel exercise
merupakan suatu bentuk terapi latihan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan otot - otot
dasar panggul, dimana latihan ini akan berdampak pada otot dasar panggul. Hasil yang
maksimal dari latihan kegel akan diperoleh jika frekuensi latihan berkisar antara 3-5 kali
perminggu, selain itu latihan kegel juga bisa memberikan manfaat jika dilakukan 1 kali dalam
seminggu (Ichsani, 2010 dalam Lestari, 2011 : 3)
Keistimewaan dari latihan ini yaitu sangat mudah untuk melakukannya, karena dapat dilakukan
dengan berbagai posisi,saatberjalan,bekerja,ataupun istirahat(Rahajeng,2010:121).Keberhasilan
untuk melakukan latihankegel dipengaruhi oleh dukungan suami dan motivasi yang
tinggi.Dukungansuami adalah tingkatan dukungan yang diberikan kepada individu yang
memiliki hubungan emosional yang cukup dekat dengan orang tersebut (Fatimah,2009: 6).
Dukungan suami berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental,
dan dukungan informasi. Dukungan emosional yang diberikan suami yaitu seperti memberikan
motivasi, dan menunjukan rasa saying dan cinta pada
istri(Lailatushifah&Ayu,2008:3).Dukungan yang diberikan suami untuk melakukan latihan
kegel pada ibu postpartum dapat mengembalikan salah satu masalah akibat persalinan,yaitu
fungsi perkemihan. Karena ketika persalinan ibu tidak dapat menahan keluarnya air seni
(ngompol) (Proverati & Widianti, 2010 : 55). Pada ibu post partum yang mendapatkan dukungan
suami akanmemilikimotivasidalam melakukan latihan kegel. Motivasi adalah kekuatan,
dorongan, kebutuhan, semangat,tekanan,dan mekanisme psikologis yang mendorong seseorang
atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu dengan melakukan tindakan (Nursalam
& Efendi, 2008 : 39). Oleh karena itu dukungan suami sangat membantu ibu post partum
termotivasi dalam melakukan latihan kegel atau latihan otot dasar panggul.
Postpartum (puerperium) merupakan keluarnya plasenta dan kembalinya alat–alat kandungan
seperti keadaan sebelum hamil.Lama masa postpartum berlangsung selama 6 minggu atau 42
hari. Selama masa postpartum terjadi perubahan fisiologis dan psikologis
(Nurjanah,Maemunah,&Badriah,2013: 2). Perubahan fisiologis yang sering terjadi pada saat
kehamilan dan melahirkan yaitu perubahan kekuatan otot dasar panggul (Lestari, 2011 : 3).
Menurut NICE (NationalInstitute of Clinical Excellence) menjelaskanbahwakehamilandan
melahirkan menyebabkan 19,9 – 70 % mengalami penurunan kekuatan otot dasarpanggul.Post
partum dapat menyebabkan berbagai masalah,salah satunya inkontinensiaurin.Inkontinensia urin
adalahkelaurnya urin yang disebabkan kehilangan kekuatan sfingter yang tidak dapat menutup
uretra (Tracy & Whitehouse, 2012 : 16). Data dari WHO menyebutkan 200 juta penduduk di
dunia mengalamiin kontinensiaurin.Berdasarkanhasil penelitianmenjelaskan34 – 54%
perempuan setelah melahirkan dapat menyebabkan inkontinensia urin (Fillnore, 2011 : 74).
Perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu postpartum yangmengalami masalah dengan adanya
inkontinensia urin,perlu dilakukan pendidikan latihan kegel terhadap ibu postpartum. Hasil
penelitian L.Thornton.,etal,(2006:100) menjelaskan tentang hambatan untuk latihan kegel pada
ibupost partum yaitu; kekurangan waktu dan tidak mendapatkan motivasi. Penelitian tersebut
juga mendapatkan informasi dukungan suami sangat penting dalam melakukan
aktivitasfisik(Pruett.,etall,2011:102).Halitujugadiperkuatolehhasilstudi pendahuluan di
4
Puskesmas Gemolong II Sragen pada bulan Januari 2011, diperoleh informasi tentang masalah-
masalah yang berkaitan dengan aktivitas ibu masa nifas. Ibu-ibu beranggapan bahawa pada masa
nifas (puerperium) tidak boleh banyak bergerak, mereka lebih sering berbaring karena
kebanyakan mereka takut bila terlalu banyak bergerak akan membuat keadaanya semakin parah
dan memperlambat proses penyembuhan pada masa nifas. Kebayakan ibu mengalami
keterbatasan dalam beraktivitas setelah melahirkan dan masih ada beberapa daerah yang
mempercayai bahwa ibu masa nifas sebelum 40 hari tidak boleh tidur siang (Istinarini dan Betty,
2011 :102). Dukungan suami dan motivasi itu sangat penting dalam melakukan latihan kegel
untuk meningkatkan kualitas hidup.Selain itufaktor-faktor yang mempengaruhi latihan kegel ibu
post partum meliputi ; usia,tingkat pedidikan, budaya, sarana kesahatan di masyarakat yang
digunakan oleh ibu, dukungan sosial,kondisi ekonomi,dan jenis persalinan(Ernawati,2012:22-
28).Ibu post partum membutuhkan dukungan suami, motivasi dan bantuan orang disekitarnya
untuk melakukan latihan kegel.Dukungan emosional Dari suami, keluarga,teman,maupun
lingkungan sekitar dapat membantu ibu post partum dalam melakukan latihan
kegel(Dennis.,etall,2007).Penelitian yang dilakukan oleh Rahajeng,2010 diRSSA Malang
tentang “Efek Latihan Kegel pada Kekuatan Otot Dasar Panggul Ibu Pasca Melahirkan”
menjelaskan bahwa latihan kegel yang diberikan pada ibu post partum mempunyai hasil yang
sangat signifikan pada ibu yang diberikan perlakuan dengan ibu yang dikontrol untuk
mengetahui kekuatan otot dasar panggul. Keberhasilan yang didapatkan pada mereka yang
memiliki motivasi yang sangat tinggi dari tenaga kesehatan (Rahajeng.,2010:123).Latihan kegel
memberikan banyak manfaat pada fisik dan psikologis setelah melahirkan.Disisi lain yang
sangat memprihatinkan yaitu, banyak ibu post partum memiliki masalah dirumah dan
pekerjaannya untuk melakukan latihan kegel secara rutin.Adanya penelitian ini untuk
mempertahankan latihan kegel pada ibu post partum diantaranya karena kekurangan waktu dan
kekurangan dukungan suami (Pruett., et all, 2011 :102). Penelitian yang dilakuakan di Mexico
menjelaskan informasi dan dukungan emosional suami merupakan hal yang paling penting dan
berpengaruh pada latihan fisik salah satunya yaitu latihan kegel. Dukungan suami, keluarga dan
teman sangat membantu dalam melakukan latihan kegel (L.Thornton., et all, 2006 : 100-102).
Sehingga penelitian ini sangat penting dilakukan di Indonesia. Hasil penelitian terkait
(L.Thromton., et all, 2006;Dennis.,etall,2007;Pruet.,etall,2011)penelitian dukungan
suami,keluarga, teman, dan lingkungan belum dilakukan di Indonesia, sehingga sangatlah
penting dilakukan pengembangan penelitian tersebut. Hasil Studi pendahuluan yang dilakukan
di RSIA dari 3 ibu yang melakukan kontrol setelah melahirkan menyatakan bahwa mereka tidak
memiliki waktu untuk melakukan kegelexercise dengan alasan memiliki pekerjaan dan sangat
sibuk.Selain hal tersebut studi pendahuluan yang dilakukan wilayah kerja puskesmas
kedungkandang dari berbagai posyandu, ibu ibu yang mendatangi posyandu ketika
diwawancarai mengenai latihan kegel exercise, mereka menyatkan bahwa sibuk dengan anak
yang masih rewel dan belum mendapatkan pesetujuan darisuami.Berdasarkan hasil penelitian
diatas (Rahajeng., 2010 ; Tracy & Withehouse., 2012 ; Nurjanah, Maemunah, & Badriah.,
2013 ), latihan kegel yang dilakukan pada periode postpartum sangat berpengaruh terhadap
perawatan fisik dan psikologis ibu untuk mencapai kesehatan yang optimal. Latihan kegel
diberikan kepada ibu postpartum untuk mencegah terjadinya masalah selama periode postpartum
seperti perdarahan, infeksi, penurunan kekuatan otot panggul dengan cara memberikan informasi
dan demo yang merupakan intervensi utama.Informasi sartademoyang diberikan kepada ibu
postpartum adalah berupa latihan kegel yang baik (Fathurrohman, Ermiati & Solehati, 2012 : 2).
Banyak ibu yang tidak mengetahui latihan kegel setelah melahirkan,dan hal ini jarang sekali
dilakukan karena tidak adanya dukungan suami dan motivasi,padahal latihan kegel yang
5
dilakukan setelah melahirkan bertujuan untuk mencegah terjadinya penurunan kekuatan otot
panggul (Pruett., et all, 2011-102)

6
BAB 111

PEMASANGAN & PERAWATAN KATETER

Pengertian Kateter adalah selang yang digunakan untuk memasukkan atau mengeluarkan
cairan. Kateterisasi urinaria adalah memasukkan kateter melalui uretra kedalam kandung kemih
dengan tujuan mengeluarkan urin. Keteterisasi urin sedapat mungkin tidak dilakukan kecuali
bila sangat diperlukan, karna dapat menyebabkan infeksi nosokomial.
1. Tujuan
a. Untuk mengambil sempel urin guna pemeriksaan kultur mikrobiologi dengan
menghindari kontaminasi
b. Pengukuran residual urin dengan cara, melakukan reguler kateterisasi pada klien segera
setelah mengakhiri miksinya dan kemudian diukur jumlah urin yang keluar
c. Untuk pemeriksaan siatografi, kontras dimasukkan kedalam kandung kemih kedalam
kateter
d. . Untuk pemeriksaan urodinamic, yaitu cystometri dan uretral profil pessure.
2. Hal – hal yang harus diperhatikan
a. Observasi letak meatus uretra
b. Kaji adanya riwayat penyakit genetalia
c. Kaji waktu berkemih terakhir
3. Alat yang dibutuhkan
a. Bak instrumen steril berisi pinset anatomis dan kassa
b. Kom
c. Kateter sesuai ukuran
d. Sarung tanga steril
e. Cairan atiseptik
f. Spuit 10cc atau 20cc berisi aquadess atau NaCl steril
g. KY jelly
h. Urine bag
i. Plester k. Gunting perban
j. Slimut mandi
k. Sampiran
l. Perlak dan pengalas
m. Bengkok
n. Tempat specimen
4. Pelaksanaan Tahap prainteraksi
a. Mengucapkan salam terapeutik
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan
dilaksanakan
d. Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien atau keluarganya
e. Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam
f. Kien atau keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
g. Privasi klien selama berkomunikasi dihargai
h. Memperlihatkan kesabaran, penuh empati, sopan, dan perhatian serta respect selama
berkomunikasi dan tindakkan
7
i. Membuat kontrak dan kesepakatan untuk tindakkan
5. Tahap Orientasi
a. Mengucapkan salam terapeutik
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan
dilaksanakan
d. Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien atau keluarganya
e. Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam
f. Kien atau keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
g. Privasi klien selama berkomunikasi dihargai
6. Tahap orientasi
a. Memperkenalkan diri
b. Meminta persetujuan tindakkan
c. Membuat kontrak
7. pelaksanaan Tahap interaksi
a. Memberikan sampiran dan menjaga privacy
b. Mengatur posisi pasien (wanita : dorsal recumbent, pria : supinasi dan melepas pakaian
bawah)
c. Memasang perlak, pengalas dibawah bokong pasien
d. Menutup area pinggang dengan selimut pasien serta menutup daerah ekstermitas bawah
dengan selimut mandi sehingga hanya area perinal yang terpajang
e. Meletakkan bengkok di antara paha pasien
f. Menyiapkan cairan antiseptik kedalam com
g. Gunakan sarung tangan bersih
h. Membersihkan genetalia dengan cairan antiseptic
i. Buka sarung tangan dan simpan dan buang ke kantong plastik yang telah disediakan
j. Buka bungkusan luar set kateter dan urin bag dan kemudian disimpan dialas steril. Jika
pemasangan kateter dilakukan sendiri maka siapkan ky jelly ke dalam bak steril. Jangan
menyentuh area steril
k. Gunkan sarung tangan steril l. Buka sebagian bungkusan dalam kateter pegang kateter
dan berikan jelly pada ujung kateter (dengan meminta bantuan, atau dengan dilakukan
sendiri) dengan tetap mempertahankan tekhnik steril Pada laki – laki
l. Posisikan penis tegak lurus 90o dengan tubuh pasien Pada wanita
m. Buka labia minora dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk atau telunjuk dengan jari
tengah tangan tidak dominan
n. Dengan menggunakan pinset atau dengan tangan dominan masukkan kateter
o. secara perlahan hingga Unung kateter.anjurkan pasien untuk menarik nafas saat kateter
dimasukkan. Kaji kelancaran pemasukkan kateter jika ada hambatan berhenti sejenak
kemudian dicoba lagi jika masih ada tahanan kateterisasi dihentikan.
p. Pastikan bengkok yang telah disiapkan berada di ujung kateter agar urin tidak tumpah
setelah urin mengalir ambil spesimen urine bila diperlukan lalu segera sambungkan
kateter dengan urine bag
q. Kembangkan balon kateter dengan aquades atau NaCl steril sesuai volume yang tertera
pada lebel spesifikasi kateter yang dipakai
r. Tarik kateter keluar secara perlahan untuk memastikan balon kateter sudah terfiksasi
dengan baik dalam vesika urinaria
s. Bersihkan jelly yang tersisa pada kateter dengan kassa
8
t. Viksasi kateter Pada laki – laki diviksasi dengan plester pada abdomen Pada pasien
wanita diviksasi dengan plester pada pangkal paha
u. Menempatkan unrinbag ditempat tidur pada posisi yang lebih rendah dari kandung kemih
v. Lepaskan duk dan pengalas serta bereskan alat
v. Lepaskan sarung tangan
w. Rapikan kembali pasien
8. Tahap terminasi
a. Menginformasikan hasil tersebut kepada klien dan evaluasi tujuan
b. Kontrak pertemuan selanjutnya dan mengucapkan salam terminasi
c. Merapikan alat dan mengembalikan ke tempat semula
d. Mencuci tangan
9. Tahap evaluasi
a. Mengobservasi respon klien selama dan sesudah pemasangan kateter
b. Mengevaluasi produksi urin
10. Tahap dokumentasi
a. Mencatat prosedur dan respon klien selama prosedur
b. Mencatat waktu tindakkan
c. Mencatat nama perawat yang melakukan tindakan/tanda tangan

B. STANDAR OPRASIONAL PROSEDUR PERAWATAN KATETER


a. Pengertian Suatu tindakkan keperawtan kateter menetap guna mencegah terjadinya
infeksi.
b. Tujuan Sebagai acuan penerapan langkah – langkah untuk melakukan perawatan kateter
internus
c. Persiapan alat
a) Kom berisi air hangat, sabun, waslap, handuk bawah
b) Kapas lidi steril
c) Cairan antiseptic
d) Kom, kapas, pinset steril
e) Perlak
f) Bengkok dan kantung plastic
g) Korentang
h) Salep bila ada instruksi
d. Persiapan pasien
a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan perawat
b) Atur ketinggian tempat tidur sejajar dengan area kerjaa perawat
c) Persiapan petugas Sarung tanga steril
e. Pelaksanaan tindakan
a) Perawat memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarga serta menjelaskan mengenai
prosedur yang akan dilakukan
b) Perawat meminta persetujuan tindakkan kepada pasien
c) Perawat menjaga privacy pasien dengan cara memasang tirai
d) Perawat melakukan identifikasi pasien sesuai dengan prosedur
e) Perawat melakukan kebersihan tangan sesuai prosedur
f) Perawat mengenakan apd sesuai dengan prosedur
g) Perawat membuang urin yang ada di urinbag serta mengukur urin yang ada
h) Perawat membuka pakaian bawah pasien dan menurup dengan selimut
9
i) Perawat memasang perlak dibawah bokong pasien
j) Perawat memberikan posisi pasien wanita dorsal recumbent, laki laki – laki supinasi
k) Perawat membersihkan daerah perineum dengan menggunakan air hangat, sabun,
waslap, dan keringkan dengan handuk
l) Perawat mengkaji daerah meatus uretra dan jaringan sekitar perineum
m) Perawat membuka sarung tangan
n) Perawat melakukan kebersihan tangan sesuai prosedur
o) Perawat menyiapkan kom, kapas, pinset steril, dan masukkan cairan antiseptik
p) Perawat memakai sarung tangan steril
q) Perawat membuka labia mayor dan minor dengan tangan yang tidak dominan sehingga
spincter meatus uretra kelihatan dengan jelas
r) Perawat membersihkan daerah meatus uretra dengan cairan antiseptik dengan pinset
s) Perawat membersihkan ujung kateter dekat meatus uretra sepanjang kurang leboh 10cm
dengan cairan antiseptik dengan arah melingkar keluar
t) Perawat memberikan antiseptik pada daerah meatus uretra dan ujung kateter seppanjang
2,5cm u. Perawat mengganti plester yang ada pada kteter dan bersihkan bekas plester
pada kulit pasien
u) Perawat mengganti urinbag dan selang bila diperlukan dengan prinsip antiseptic
v) Perawat memeriksa kembali aliran urin didalam selang, selang tidak boleh tertekuk atau
tergulung, selang tida boleh macet dan kaku dan aman tergantung ditempat tidur
w) Perawat merapikan alat dan membuang sampah sesuai dengan prosedur
x) Perawat menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa tindakkan sudah selesai dan
undur diri
f. Perawat melepas apd
a) Perawat melakukan kebersihan tangan
b) Perawat melakukan evaluasi setelah tindakan
c) Perawat melakukan dokumentasi pelaksanaan tindakan didalam catatan perkembangan
terintegrasi

10
BAB 1V
IRIGASI KATETER PADA PASIEN TURP

TUR Prostat adalah prosedur bedah yang paling umum dan dapat dilakukan melalui
endoskopi. Prosedur TURP ini masih merupakan standar emas untuk BPH karena tidak
memerlukan insisi dan digunakan untuk kelenjar dalam ukuran beragam mulai dari sedang
sampai besar dengan volume prostat kurang dari 90 gram dan ideal bagi pasien yang punya
kelenjar kecil serta yang dipertimbangkan terjadinya resiko bedah yang buruk (Mansjoer, 2007,
Smeltzer Bare, 2002). Instrumen bedah dan optikal di masukkan secara langsung melalui uretra
ke dalan prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan
kecil dengan loop pemotong listrik. Kelenjar tidak seluruhnya diambil tetapi hanya bagian yang
menghalangi saluran. Untuk melakukan TURP sebuah resektoskop dimasukkan melalui uretra
dalam kandung kemih. Dengan lengkung/jerat pemotong dan elemen operasi khusus, dilakukan
pengangkatan jaringan prostat sedikit demi sedikit. Potongan-potongan jaringan prostat
dikeluarkan dengan evakuator. Setelah smua potongan dikeluarkan selanjutnya scop juga
dikeluarkan dan dimasukkan foley catheter three-way yang di hubungkan dengan system
drainase irigasi tertutup (Gruendemann Fernsebner, 2006). Kateterisasi menetap (foley kateter)
juga digunakan pada klien pasca operasi uretra dan struktur di sekitarnya (TUR-P), obstruksi
aliaran urin, obstruksi uretra, pada pasien inkontinensia dan disorientasi berat (Hidayat, 2006).
Irigasi kateter adalah prosedur yang dirancang untuk mencegah formasi dan retensi clots setelah
dilakukan tindakan TURP (Critine, Ng, 2001). Menurut Alfraini, Syah (2010) menjelaskan
continus blader irigasi (CBI) atau irigasi kateter merupakan tindakan membilas atau
menyalurkan cairan secara berkelanjutan pada bladder untuk mencegah pembentukan dan retensi
clots darah yang terjadi setelah operasi transurethral resection of the prostat (TURP). Menurut
Kozier dkk, (2010) menjelaskan irigasi (spooling) adalah pembilasan atau pembersihan dengan
larutan tertentu guna membersihkan kandung kemih dan kadangkala untuk memberikan obat
kedinding kandung kemih yang larutannya terdiri dari antiseptik dan antibiotik untuk
membersihkan kandung kemih atau infeksi lokal. Tindakan ini menerapkan asepsissteril.
Hal ini didukung dengan penilitian yang dilakukan oleh (Ahmad, 2005), irigasi kateter dengan
menggunakan NaCl fisiologis secara terus menerus dapat menurunkan jumlah kuman dalam
urine. NaCl termasuk cairan kristaloid yang mempunyai kelebihan diantaranya murah, mudah
didapat, anafilaksi minimal, meningkatkan output urin. Sedangkan kekuranganya menimbulkan
edema paru dan perifer bila diberikan dalam jumlah besar. Bila terjadi kelebihan cairan irigasi
masuk ke pembuluh darah melalui area yang direseksi sehingga menganggu kadar natrium
dalam darah. Literatur lain mengatakan bahwa operasi TURP akan meningkatkan risiko
hiponatremia dan syndrom TURP (Subrata, dkk, 2014).Dari hasil penelitian mengatakan teknik
pemasangan kateter dengan mengoleskan jelly di sepertiga kateter dimasukan ke dalam uretra
dan di plester dipaha lalu ditraksi Menurut (Hooton et al, 2010). Pemasangan kateter urin adalah
tindakan memasukan alat berupa selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kadung kemih
untuk mengeluarkan urin. Jelly digunakan sebagai pelumas untuk kateterisasi urin pada laki- laki
dengan prinsip steril sebelum pemasukan selang kateter sehingga mengurangi pergesekan uretra
yang menimbulkan nyeri (Chandra & Ningsih,2010). Traksi pada pasien post TURP bertujuan
mengurangi pendarahan dan menarik balon kateter kearah blader neck dan menghalangi
masuknya perdarahan prostat kedalam kadung kemih, namun masih terdapat perdarahan kecil
oleh sebab itu harus segera dipasang kateter three way. Kateter di isi sebanyak 30 cc selanjutnya
11
kateter ditarik ke bawah dipasang traksi kateter dengan harapan balon kateter akan menekan
luka bekas uretra dan difiksasi di daerah femoralis dan kaki tidak boleh ditekuk atau difleksikan
(Mochhamat Sodiq,2012).
Bila terdapat perdarahan pasca TURP ahli urologi sering melakukan traksi kateter sehingga
balon kateter tertarik ke arah bladderneck dan menghalangi masuknya perdarahan prostat ke
dalam buli- buli. Pemasangan traksi post operasi TURP pasca operasi dipasang folley kateter 24
tiga cabang dengan balon diisi 40 cc dan irigasi kateter memakai NaCl 0,9% dengan kecepatan
5000 mL/jam tujuannya pemasangan traksi ini diharapkan oleh tampon kateter dengan demikian
mencegah kebocoran dengan penekanan melalui traksi kateter diharapkan bekuandarah pada
bekas luka sayatan operasi tidak lepas sehingga membantu proses penghentian darah (Abdulah,
2009).Dari hasil penelitian (Wahyu Maryudianto, 2014) mengatakan ba teknik pemasangan
kateter dengan mengoleskan jelly di sepertiga kateter dimasukan ke dalam uretra dan di plester
dipaha lalu ditraksi Menurut (Hooton et al, 2010). Pemasangan kateter urin adalah tindakan
memasukan alat berupa selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kadung kemih untuk
mengeluarkan urin. Jelly digunakan sebagai pelumas untuk kateterisasi urin pada laki- laki
dengan prinsip steril sebelum pemasukan selang kateter sehingga mengurangi pergesekan uretra
yang menimbulkan nyeri (Chandra & Ningsih,2010). Traksi pada pasien post TURP bertujuan
mengurangi pendarahan dan menarik balon kateter kearah blader neck dan menghalangi
masuknya perdarahan prostat kedalam kadung kemih, namun masih terdapat perdarahan kecil
oleh sebab itu harus segera dipasang kateter three way. Kateter di isi sebanyak 30 cc selanjutnya
kateter ditarik ke bawah dipasang traksi kateter dengan harapan balon kateter akan menekan
luka bekas uretra dan difiksasi di daerah femoralis dan kaki tidak boleh ditekuk atau difleksikan
(Mochhamat Sodiq,2012).
Bila terdapat perdarahan pasca TURP ahli urologi sering melakukan traksi kateter sehingga
balon kateter tertarik ke arah bladderneck dan menghalangi masuknya perdarahan prostat ke
dalam buli- buli. Pemasangan traksi post operasi TURP pasca operasi dipasang folley kateter 24
tiga cabang dengan balon diisi 40 cc dan irigasi kateter memakai NaCl 0,9% dengan kecepatan
5000 mL/jam tujuannya pemasangan traksi ini diharapkan oleh tampon kateter dengan demikian
mencegah kebocoran dengan penekanan melalui traksi kateter diharapkanbekuan darah pada
bekas luka sayatan operasi tidak lepas sehingga membantu proses penghentian darah (Abdulah,
2009). Dari hasil penelitian (Wahyu Maryudianto, 2014) mengatakan bagian – bagian kateter
three way ada tiga lumen diantaranya satu lubang untuk pengunci, saru untuk saluran air dan
satunya lagi untuk saluran irigasi yang di sambungkan melalui tranfusi set dan terhubung dengan
infus NaCl 0,9%. Kateter three way yang mempunyai 3 buah jalan antara lain untuk
mengembangkan balon satu cabang sebagai pengunci, cabang lainnya digunakan untuk
mengalirkan urin dari kandung kemih dan dapat disambung dengan tabung tertutup dari kantung
urin. Dan satu percabangan lagi yang berfungsi untuk mengalirkan air pembilas (irigasi) yang
dimasukan ke dalam selang infus. Kateter ini biasanya dipakai setelah operasi prostat untuk
mencegah timbulnya bekuan darah. (Basuki, 2009). Jarak irigasi bermacam-macam antara 50-70
cm dari pasien, alasan dari jarak irigasi ini dimasudkan untuk menjaga tekanan irigasi jangan
terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah, karena apabila terlalu tinggi dikhawatirkan tekanan
terlalu tinggi masuk ke pembuluh darah yang ada di prostat yang telah direkseksi. Dan apabila
terlalu rendah aliran irigasi kurang tekanan sehingga kurang efektif untuk membilas sisa clot
yang ada di dalam. Jumlah tetesan cairan irigasi setelah operasi biasanya guyur, hari pertama
sekitar 60 tetes permenit, hari kedua sekitar 40 tetes permenit, hari ketiga intermiten. Meskipun
demikian tetesan dapat berbeda antar pasien disesuaikan kondisi pasien. Dari hasil penelitian
mengatakan salah satu hambatan dalam irigasi kateter adanya clots atau gumpalan darah yang
12
menyumbat dilubang kateter. Clots ini merupakansisa-sisajaringan hasil reseksi yang ada
didalam, menurut para ahli urologi sebelum pasang kateter dianjurkan melakukan evakuasi
dengan alat elik evakuator sampai bersih. Clots yang terkumpul dapat menimbulkan obstruksi
dan menyebabkan nyeri akibat kelebihan cairan dan ruptur kandung kemih (Afrainin,2010).
Rasa nyeri diperut atau didaerah suprabupik bermakna adanya clots atau gumpalan darah yang
banyak di kandung kemih, sehingga kandung kemih sangat teregang. Hal ini disebabkan karena
cairan irigasi yang menetes terus menurus, sedangkan aliran dibawah urine bag tidak lancar kita
curigai adanya clots yang menyumbat kateter. Cara mengatasi hambatan irigasi adalah spooling
menggunakan spuit 50 cc lubang pinggir diisi dengan NaCl 0,9% dimasukkan salah satu lubang
kateter secara pelan dilakukan secara berulang sampai aliran urin lancar yang tujuan yang untuk
membilas atau membuka clots yang menempel di ujung kateter. Tindakan spooling pada kateter
three way bisa dilakukan sampai berapa kali hingga aliran urine bag lancar dan harus sama
tetesannya dengan yang diirigasikan (Wahyu Maryudianto,2014).
Hasil penelitian mengatakan bahwa alasan perawat melepas kateter ada berbagai macam
meliputi lama kateter dilepas tiga sampai 7 hari, observasi urin sampai jernih, tidak ada warna
merah kemerahan, tidak macet, aliran kateter lancar dan bening, bisa dilakukan blader training
dulu. Menurut Afrainin, (2010) urine output juga harus dipantau untuk mengetahui ada tidaknya
hematuria dengan memantau urin dan konsistensinya jika tidak terdapat komplikasi. Kecepatan
aliran dapat dikurangi dan kateter dapat dilepas pada pertama atau hari kedua post operasi. Cara
sebelum melepas kateter dengan bladder training, yaitusalah satu upaya untuk mengembalikan
fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan keadaan normal atau fungsi optimal
neurugenik maka dilakukan bladder training. Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih
kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau
menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry, 2005). Bladder training efektif untuk
mengatasi inkontinensia urin, Bladder training sangat penting untuk meningkatkan fungsi
eliminasi berkemih pasien, jika pulang dari rumah sakit tanpa mendapatkan bladder training
yang benar maka pasien akan kebingungan ketika melakukan eliminasi berkemih, pasien
biasanya menggunakan kateter three way (kateter 3 cabang) sehingga pada waktu memberikan
pengarahan pada pasien perawat melibatkankeluarga.Menurut penelitian sebelumnya di RSU
PKU Muhammadiyah tahun (2005), bahwa berdasarkan uji statistik dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara waktu terpasang kateter dengan derajat
ketidaknyamanan (nyeri) pada pasien yang terpasang kateter uretra rata-rata lama waktu
penggunaan kateter, akibat pemasangan kateter yang lama selain terjadi infeksi saluran kemih
(ISK) dan dapat berakibat terjadinya inkotinesia urine. Masalah keperawatan yang mungkin
muncul pada fase postoperatif pada pasien dengan jenis pembedahan TURP adalah nyeri akut,
risiko perdarahan, dan risiko gangguan eliminasi urin. Smeltzer dan Bare (2003) menjelaskan
bahwa nyeri akut merupakan salah satu masalah utama yang muncul pada pasien postoperatif.
Nyeri dapat ditimbulkan karena adanya pergesekan uretra dengan terpasang kateter urine dan
juga jika terjadi sumbatan berupa bekuan darah clotsatau bekuan sisa jaringan. Clots ini
merupakan sisa-sisa jaringan hasil direseksi yang ada di dalam uretra, clots yang terkumpul
dapat menimbulkan obstruksi (Afrainin,2010).
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk penangan nyeri dapat dilakukan dengan cara
non farmakologis dan cara farmakologis. Intervensi manajemen nyeri non farmakologis dapat
dilakukan dengan teknik relaksasi.Smeltzer dan Bare (2003) menjelaskan bahwa nyeri dapat
menimbulkan respon stress, yang dapat memicu konstriksi pembuluh darah. Oleh karena itu,
teknik relaksasi dapat digunakan untuk membantu mengurangi nyeri, karena dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah untuk memperlancar aliran darah. Intervensi untuk mengatasi nyeri juga
13
dapat dilakukan dengan manajemen nyeri farmakologis. Smeltzer dan Bare (2003) menjelaskan
bahwa pada klien postoperatif, sekitar satu per tiga melaporkan nyeri hebat. Selain itu, Smeltzer
dan Bare (2003) juga menjelaskan bahwa lansia harus mendapatkan manajemen nyeri yang
adekuat setelah pembedahan.

14
BAB V

MANAJEMEN NYERI

Manajemen nyeri masih merupakan masalah yang belum terselesaikan pada semua
fasilitas pelayanan kesehatan.
1. Diperlukan suatu pemeriksaan dan penilaian nyeri yang obyektif, mudah dan dapat
digunakan oleh setiap pihak yang terlibat dalam penangan nyeri dengan hasil yang dapat
dipercaya.
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai
suatu sensori subyektif dan emosional tidak menyenangkan yang didapat, terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.
2. Tatalaksana nyeri pasca operasi masih jauh dari memuaskan meskipun kualitas dan
modalitas penanganan nyeri makin berkembang.
3. Berbagai observasi dan diskusi terhadap pasien yang pernah dilakukan operasi, keluhan
nyeri masih menjadi hal yang menakutkan bagi pasien.
4. Sebuah survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa hanya satu dari empat pasien
yang mendapatkan penanganan nyeri pasca operasi secara adekuat, apalagi di
negaranegara yang sedang berkembang seperti negara kita ini.
5. Tatalaksana nyeri yang baik dan adekuat akan mempercepat mobilisasi pasca operasi,
diet peroral bisa lebih optimal dan stress pembedahan bisa diminimalisir sehingga masa
pemulihan bisa lebih cepat serta pasien menjadi puas.
6. Tingkat kepatuhan dan pemahaman dalam menilai serta menjalankan panduan nyeri
baik oleh dokter non anestesi maupun tenaga medis lainnya misalnya perawat juga
menjadi bagian penting dalam pelayanan manajemen nyeri.
7. Sebuah penelitian oleh Trias Kusuma Sari, dkk pada tahun 2016 mengenai Implementasi
NIPS (Neonatal Infant Pain Scale) menyebutkan bahwa
tingkat kepatuhan tatalaksana nyeri sebelum tindakan invasif pada neonatus meningkat
setelah diberlakukan protokol yang ketat, sosialisasi dan penyuluhan.
8. Berkomunikasi dengan pasien yang sedang mengalami nyeri juga dibutuhkan suatu cara
khusus, agar petugas medis dan pasien dapat berkomunikasi dengan baik. Terdapat
berbagai skala penilaian nyeri yang digunakan, diantaranya uni dimensional (untuk
mengukur intensitas nyeri akut) dan skala multi dimensional (untuk mengukur intensitas
nyeri kronis).
9. Skala Uni dimensional nyeri akut yang banyak digunakan diantaranya Visual Analog
Scale ( VAS ), Verbal Rating Scale, Numeric rating Scale, dan Wong Baker Pain Rating
Scale. Sedangkan skala multi-dimensional seperti McGill Pain Questionnaire (MPQ),
Memorial Pain Assessment Card, dan sebagainya. Pada kelompok pasien neonatus
digunakan skala Neonatal Infant Pain Scale (NIPS), untuk pasien anak > 3 tahun yang
tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya
dengan angka, digunakan Wong Baker FACES Pain Scale atau Face–Legs–Activity–
Cry–Consolability (FLACCS), sedangkan pada anak >8 tahun dapat menggunakan
VAS.
10. Menegakkan keluhan nyeri pada pasien merupakan langkah yang membutuhkan kehati-
hatian untuk kelak dapat memberikan tatalaksana nyeri dengan baik. Anderson, dkk
15
menemukan ada jarak antara penilaian nyeri dengan
tatalaksana yang diberikan oleh tenaga medis, harus ada standar yang menjadi acuan
dalam menilai nyeri.
Joint Commisission on Accreditation of Healthcare Organization membuat standar
khusus yang bisa digunakan sebagai acuan untuk menilai nyeri, dimana standar
penilaian nyeri tersebut dapat digunakan disemua departemen. Standar tersebut, yaitu :
Numeric Rating Scale (NRS), Visual Analog Scale (VAS),
dan Faces Scale yang dimodifikasi oleh Wong-Baker (WBFS).
11. Suatu keadaan nyeri atau sakit dapat membuat orang terganggu untuk menjalankan
aktifitasnya dan mengharuskan seseorang untuk beristirahat, sehingga semua tugas-tugas
wajibnya tertunda. Tidak hanya sakit fisik, seseorang
atau pasien juga dapat pula terganggu psikologisnya. Keadaan demikian membuat
seseorang tersebut terganggu dalam menanggapi suatu situasi, apalagi harus sampai
mengambil keputusan. Program manajemen pengelolaan nyeri bertujuan untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan prosedur dan untuk menghindari dampak akibat
tatalaksana yang tidak adekuat. Salah satu hal yang cukup disorot adalah mengenai alat
skrining dan penilaian nyeri yang bervariasi serta perbedaan hasil penilaian nyeri yang
berbeda di antara pemberi pelayanan kesehatan di fasilitas rumah sakit. Selain itu,
dengan latar belakang pendidikan serta data demografi pasien yang berbeda pula maka
tingkat pemahaman dan pengetahuan mengenai cara penilaian nyeri menggunakan alat
skrining nyeri dapat berbeda juga. Penelitian yang dilakukan di Filipina oleh Juneth,
dkk pada tahun 2015, Numeric Rating Scale (NRS) merupakan skala yang valid
digunakan pada pasien Reumatik Artritis, dan Faces Scale sebagai alternative apabila
pasien tidak paham akan angka-angka.Unit Gawat Darurat salah satu Rumah Sakit di
New York, Amerika Serikat, tingkat nyeri pada pasien akut abdomen dapat dinilai
dalam waktu 1 menit dengan Visual Analog Scale (VAS), dengan populasi perempuan
61%, lakilaki 39%, usia rata-rata 40 tahun, dan dengan komunikasi berbahasa Inggris
dan Perancis.
12. Tahun 2001 di Negeria, Magbagbeola, dkk mencoba mengkomparasi antara Visual
Analog Scale (VAS) dan Verba Rating Scale (VRS) versi bahasa Inggris dengan bahasa
Yoruba (Nigeria), dan ternyata hasilnya sangat signifikan, bahasa Yoruba lebih mudah
dipahami oleh pasien-pasien di Nigeria.
13. Dari segala aspek dan latar belakang itulah, maka pada penelitian ini peneliti ingin
mengetahui perangkat penilaian nyeri manakah yang mudah diinterpretasikan oleh
pasien-pasien yang dirawat pasca operasi elektif orthopedi, sehingga dapat digunakan
sebagai standar pelayanan manajemen nyeri dalam menilai nyeri di RSUD Dr.Soetomo.

16
BAB V1

PEMERIKSAAN CCT

Uji pembersihan kreatinin (creatinine clearance test) adalah tes yang dilakukan untuk
mengetahui kerja ginjal dan gangguan yang terjadi pada organ tersebut. Pengujian ini dilakukan
dengan membandingkan kadar kreatinin di urine dan kadar kreatinin di dalam darah.Klirens
kreatinin (creatinine clearance/CCT) umum digunakan sebagai metode standar untuk evaluasi
laju filtrasi glomerulus (LFG) namun memiliki banyak kelemahan. Cystatin C kemudian
diperkenalkan sebagai marker endogen untuk LFG yang lebih baik dibanding CCT. Penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa formula Larsson merupakan formula berbasis cystatin C yang
baik untuk estimasi LFG (eLFG). Pemeriksaan kreatinin clearance lebih akurat menggambarkan
fungsi ginjal dibandingkan pemeriksaan serum kreatinin saja. Namun pemeriksaan ini
memelukan sampel urine 24 jam, sehingga tidak efektif, dimana pengumpulan sampel yang
tidak akurat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.Test Bersihan Kreatinin (Creatinin
Clearence Test/ CCT) Test ini untuk menentukan kemampuan fungsi ginjal lebih teliti dalam
menyaring atau membersihkan darah, menggunakan perhitungan berdasarkan pengukuran kadar
kreatinin darah, kreatinin urin 24 jam, berat badan, tinggi badan, dan volume urin yang
dikumpulkan selama 24 jam, pengumpulan urin selama 24 jam tidak boleh ada yang terbuang.
Nilai normal CCT 80 – 110 ml/menit.Beratnya kelainan ginjal diketahui dengan mengukur uji
bersihan kreatinin (creatinine clearance test/CCT). Pemeriksaan CCT ini memerlukan urin
kumpulan 12/24 jam, sehingga bila pengumpulan urin tidak berlangsung dengan baik akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan CCT. Akhir-akhir ini, penilaian faal ginjal dilakukan dengan
pemeriksaan cystatin-C dalam darah yang tidak dipengaruhi oleh kesalahan pengumpulan urin
24 jam. Cystatin adalah zat dengan berat molekul rendah yang dihasilkan oleh semua sel berinti
di dalam tubuh yang tidak dipengaruhi oleh proses radang atau kerusakan jaringan. Zat tersebut
akan dikeluarkan ginjal. Oleh karena itu, kadar cystatin dipakai sebagai indikator yang sensitive
untuk mengetahui kemunduran fungsi ginjal

17
DAFTAR PUSTAKA

Bayhakki, dkk, 2008, “Bladder Training Modifikasi Cara Kozier Pada Pasien Pasca Bedah
Ortopedi yang Terpasang Kateter Urin”. Jakarta : Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume
12, No.1
Collein I. 2012. “Pengalaman Lansia dalam Penanganan Inkontinensia Urine di Wilayah Kerja
Puskesmas Kamonji”. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), Volume 7, No.3.
Dharma, K.K, 2011, Metode Penelitian Keperawatan. Jakarta : CV. Trans Info Medika
Ermiati, 2008, “Efektifitas Bladder Training Terhadap Fungsi Eliminasi Buang Air Kecil (BAK)
pada Ibu Post Partum”. Jakarta : Jurnal Keperawatan Vol.32. No 4
Hastono, S.P & Lukis Sabri, 2013, Statistik Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers Hinora Friska,
dkk, 2014, “Pengaruh Bladder Training Terhadap Kemampuan
Berkemih Pada Pasien Pria Dengan Retensi Urin”. Jakarta : Jurnal Keperawatan Oktober
Vol.1 (1)
Ismail, D.D.S.L, 2013,” Askep Keperawatan Inkontinensia Urine”. Malang : Jurnal Ilmu
Keperawatan. Vol. 1 No. 1
Istanti YP. 2014. Sistem Perkemihan (N351). ISBN 978-602-9420-71-5. Tim PSIK FKIK UMY:
Yogyakarta.
Kasmad & Fatimah, S. 2015, “Perbedaan Penggantian Kateter Urin Menetap Hari Ke Tiga dan
Ke Tujuh Terhadap Kejadian ISK Pada Pasien Setelah Pembedahan”. Cirebon : Jurnal
Keperawatan RespatiVol. II Nomor 1

Kozier & Erb, 2009, “Perbedaan Efektivitas Teknik Pengolesan Jelly pada Kateter dan Teknik
Memasukan Jelly Langsung ke Meatus Urethra Terhadap Skala Nyeri pada Pemasangan
Kateter Urin Pria” .

Martin & Frey, 2005. “Benigna Prostat Hiperplasia (BPH), Inkontinensia Urine dan Kegel
Exercise”. Naskah Publikasi : Stikes Gombong

Mahanani, S & Maria, M.S, 2015, “Patient’s Urinary Catheter Care In Inpatient Installation
Kediri Baptist Hospital”. Kediri : Jurnal STIKES Vol. 8, No.1, Juli 2015
Notoadmojo, S 2012, Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Oktaviani, N.W. 2014, “Pengaruh BLADDER TRAINING Terhadap Fungsi Berkemih Pada
Pasien Yang Terpasang Kateter”. Gorontalo : J. Keperawatan

Pamungkas,M.R dkk, 2013, “Pengaruh Latihan Kandung Kemih (Bladder Training) Terhadap
Interval Berkemih Wanita Lanjut Usia (Lansia) dengan Inkontinensia urine”. Jurnal
Keperawatan, Vol. IX, No. 2
Putri, A.N 2016, “Hubungan Inkontinensia Urin Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien Stroke”.
Jurnal Keperwatan, Stikes Kusuma Husada
Potter, P.A & Perry, G.A, 2010, Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Edisi 4, Vol 2 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Rahayur, I & Sarlianat, 2011, “Efektifitas Bllader Training Dalam Mencegah Terjadinya
Inkontinensia Urine pada Pasien Lanjut Usia yang Terpasang Kateter Urine”.
Pontianak : Nakes Khatulistiwa Yol. XI No. I
Retno, C.I, dkk, 2012, “Perbedaan Efektivitas Teknik Pengolesan Jelly pada Kateter dan Teknik
Memasukan Jelly Langsung ke Meatus Urethra Terhadap Skala Nyeri pada Pemasangan
Kateter Urin Pria”. Pekalongan : diambil dari: https://www.academia.edu/8565409/
Saraswati, D.E, 2016. “Efektifitas Bladder Training SITZ BATH Terhadap Fungsi Eliminasi
Spontan Pada Ibu Post Partum Spontan”. Bojonegoro : Efektifitas Bladder Training Sitz
Bath Vol. 2 No. 1
Suparman, E & Rompas, J. 2008, “Inkontinensia urin pada perempuan menopause”.
Manado : Vol 32, No 1
Shabrini, R.A, dkk. 2015, Efektifitas Bladder Training Sejak Dini dan Sebelum Pelepasan
Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontinensia Urin Pada Pasien Paska Operasi.
Jakarta : J. Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. II, No. 3
Santoso, B.I. 2008, “Inkontinensia Urin pada Perempuan”. Jakarta : Maj Kedokt Indon, Yolum:
58, Nomor: 7
Sugiyono 2011, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung : alfabeta
Sumantri, A. 2011, Metodelogi Penelitian Kesehatan, Edisi 1. Jakarta : Kencan

Anda mungkin juga menyukai