Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

Studi Eksperimen Pengaruh Torrefaksi pada Karakteristik


Bahan Bakar Padat dari Biomassa Residu Hutan
Tanti Utami Dewi 1*, Priyambodo Nur Ardi Nugroho 1,2
1
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya,
Jl. Teknik Kimia, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia
2
Department of Advanced Mechanical System Engineering,
Kumamoto University, Kurokami, 2-39-1, Kumamoto 860-8555, Japan
*
E-mail: tanti.dewi@gmail.com

Abstrak

Torrefaksi saat ini menjadi salah satu metode konversi biomassa yang menarik karena kemampuannya sebagai
salah satu pilihan energi terbarukan. Bahan bakar campuran batu bara dengan biomassa yang telah mengalami
proses torrefaksi dipandang sebagai bahan bakar yang paling murah saat ini dan merupakan metode yang
menjanjikan. Pemilihan bahan bakar biomassa berdasarkan karakteristiknya sangat diperlukan untuk
memastikan agar proses pembakaran dapat tercapai dengan baik. Dua tipe residu biomassa dari hutan (tandan
sawit kosong dan bambu) telah diteliti dengan berbagai suhu penahanan torrefaksi dan waktu penahanan
torrefaksi yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan hubungan positif antara suhu dan waktu torrefaksi
dengan kenaikan nilai kalor. Kadar air juga menurun bersamaan dengan semakin tingginya suhu dan makin
lamanya waktu torrefaksi. Mass yield dan energy yield biomassa hasil proses torrefaksi juga telah dianalisis.
Residu biomassa dari hutan yang telah melalui proses torrefaksi terbukti dapat menggantikan batu bara sebagai
bahan bakar energi terbarukan.
Keywords: biomassa, kadar air, nilai kalor, torrefaksi.

1. PENDAHULUAN fosil saat ini menjadi bahan bakar utama


Kehidupan manusia sehari hari di dunia. Penggunaan bahan bakar fosil
mulai dari aktivitas rumah tangga seperti terbukti menghasilkan emisi gas karbon
memasak mencuci, menerangi ruangan, dioksida yang secara signifikan
berkomunikasi, transportasi, sampai berkontribusi pada meningkatnya gas
aktivitas lain seperti bisnis dan ekonomi rumah kaca di atmosfer, menurut Walker
semua membutuhkan energi. (2011), kenaikan gas karbon dioksida
Ketersediaan energi serta kualitas energi bisa mencapai 43 Gt/tahun dari 29
telah menjadi salah satu indikator Gt/tahun. Pemilihan sumber energi perlu
kesejahteraan manusia dewasa ini. agar ketersediaannya dapat
Menurut Asif (2007), permintaan akan berkelanjutan, dan tetap memperhatikan
konsumsi energi diproyeksikan akan kondisi lingkungan.
tumbuh jauh lebih besar daripada Beberapa energi terbarukan
pertumbuhan penduduk. Dengan kondisi dapat menggantikan atau mengurangi
pertumbuhan ekonomi global saat ini, ketergantungan pada bahan bakar fosil,
Tollefson (2012) meramalkan total sesuai dengan kondisi alam dan geografi
permintaan energi akan meningkat dari suatu negara. Energi terbarukan yang
sekitar 12 milyar ton setara minyak pada potensial itu antara lain energi surya,
tahun 2009 menjadi 18 milyar ton setara energi angin, energi air, dan biomassa.
minyak pada tahun 2035. Sebagai Selain kondisi alam, pemilihan bahan
konsekuensi, sumber energi bakar pengganti juga perlu
konvensional yang berasal dari fosil mempertimbangkan tentang netral
seperti batu bara, gas alam dan minyak karbon suatu bahan bakar. Netral karbon
bumi sangat penting karena bahan bakar yang dimaksud adalah kemampuan

62
Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

bahan bakar untuk menghasilkan jejak pembakaran (combustion), pyrolysis,


karbon bersih yang setara nol, artinya gasification, dan liquefaction. Dalam
jumlah karbon dioksida yang dikeluarkan pembakaran, biomassa dikonversi
dalam pembakaran bahan bakar, sama menjadi karbon dioksida dan uap
jumlahnya dengan jumlah bahan bakar menggunakan udara pada suhu reaksi
yang diserap dalam proses pembuatan yang tinggi. Pyrolysis dilakukan pada
bahan bakar. Menurut Moscicki (2014), kondisi suhu yang relatif rendah dan
sebagai salah satu sumber alternatif tanpa oksigen. Gasification adalah proses
bahan bakar pengganti fosil, biomassa kimia dalam kondisi kekurangan
dianggap sebagai bahan bakar yang oksigen. Sedangkan liquefaction adalah
netral karbon karena selama proses pemecahan molekul biomassa
pertumbuhan, biomassa menyerap menjadi molekul yang lebih kecil
karbon dioksida dalam proses menggunakan katalis pada suhu rendah.
fotosintesis dalam jumlah yang relatif Metode konversi biomassa
sama dengan jumlah karbon dioksida secara termokimia yang lain adalah
yang dikeluarkan dalam proses torrefaksi. Basu (2013) menyatakan
pembakaran. Salah satu syarat yang bahwa torrefaksi dipandang sebagai cara
harus dipenuhi agar biomassa dapat yang efektif dalam mengubah biomassa
dikatakan sebagai netral karbon adalah padat dengan bersih dan mudah. Pada
jika biomassa dikembangbiakkan, proses ini, biomassa dipanaskan secara
dipanen dan dikonsumsi secara perlahan sampai suhu 200-300 oC tanpa
berkelanjutan. atau dengan sedikit sekali oksigen di
Biomassa pada kondisi asalnya dalamnya. Metode ini membentuk ulang
mempunyai bentuk yang menyulitkan struktur kimia hidrokarbon biomassa dan
untuk ditangani, baik disimpan untuk meningkatkan kandungan karbon sambil
kemudian digunakan maupun mengurangi kandungan oksigen.
ditransportasikan dari satu tempat ke Kandungan energi per satuan massa
tempat yang berbeda. Permasalahan ini (energy density) biomassa meningkat
mendorong konversi biomassa menjadi secara berarti dan membuat biomassa
bahan bakar atau bahan kimia yang bersifat higroskopis atau dengan kata lain
berbentuk lain. Menurut Basu (2010), cenderung untuk menyerap air dari
ada dua metode konversi biomassa yang lingkungan sekitar. Hasil akhir torrefaksi
utama, yaitu konversi biokimia dan akan meningkatkan nilai ekonomis
konversi termokimia. Konversi biokimia biomassa, baik dari sisi produksi energi
menggunakan bakteri atau enzim yang atau transportasi. Keuntungan lain adalah
akan mengubah biomassa menjadi naiknya energy density, ketahanan
molekul yang lebih kecil. Proses ini terhadap air dan kemampuan giling
sangat lambat, namun tidak (grindability) dari biomassa.
membutuhkan banyak energi dari luar. Potensi biomassa yang berasal
Contoh konversi biokimia yang utama dari residu hutan di Indonesia sangat
adalah anaerobic digestion, aerobic besar, bersama dengan Malaysia,
digestion, fermentasi, serta hidrolisis Indonesia memproduksi lebih dari 90%
enzimatik. minyak kelapa sawit dunia. Menurut
Konversi termokimia mengubah Maitah (2016), Sebagai produsen utama
biomassa menjadi bahan bakar gas, cair minyak kelapa sawit, lebih dari 20 juta
atau padat, termasuk bahan kimia yang metrik ton sawit diproduksi, dan ditanam
bisa langsung digunakan atau diolah di lahan seluas 10 juta hektar. Kelapa
kembali. Proses ini lebih cepat, namun sawit memproduksi jumlah biomassa
membutuhkan banyak energi dari luar. yang besar, setiap 1 kg minyak kelapa
Metode yang umum digunakan adalah sawit, kira-kira 4 kg biomassa kering ikut

63
Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

diproduksi. Sepertiga dari total adalah dari biomassa. Kandungan air yang
tandan kosong, sedangkan sisanya adalah optimum diperlukan, Karena kandungan
pelepah serta batang pohon sawit. Selain air yang terlalu rendah juga harus
sawit, Indonesia juga menyimpan potensi dihindari, karena mudah terbakar selama
biomassa yang berasal dari bambu. penyimpanan, dan menyebabkan kerak
Bambu adalah salah satu tanaman yang pada peralatan pembakaran. Kandungan
paling cepat tumbuh dan dapat air dari biomassa dapat ditentukan
ditemukan di hampir seluruh wilayah dengan dua cara, yaitu berdasar kondisi
Indonesia. Menurut Wang (2015) kering dan kondisi basah. Pada
Indonesia menduduki peringkat ketiga di perhitungan berdasar kondisi kering,
Asia setelah China dan India dengan luas kandungan air sebanding dengan massa
area hutan bambu lebih dari 2 juta hektar. air di dalam biomassa dibagi dengan
Karakteristik unjuk kerja biofuel porsi massa kering bahan bakar.
dapat ditentukan dari beberapa Sedangkan pada perhitungan berdasar
parameter, misalnya nilai kalor dan kondisi basah, kandungan air dihitung
kandungan air. Nilai kalor (heating dengan membagi massa air dalam bahan
value) adalah jumlah kalor yang tersedia bakar dengan total massa bahan bakar,
pada bahan bakar tertentu, yang termasuk kandungan air di dalamnya.
menunjukkan jumlah total energi yang Tujuan utama penelitian ini
dapat digunakan. Ada dua macam cara adalah menyelidiki pengaruh beberapa
untuk menentukan nilai kalor, yaitu nilai parameter torrefaksi, utamanya suhu
kalor atas (High Heating Value) dan nilai penahanan (holding temperature) dan
kalor bawah (Low Heating Value). Nilai waktu penahanan (holding time) pada
kalor tinggi adalah jumlah kalor yang karakteristik residu biomassa dari hutan.
tersedia pada bahan bakar, termasuk Penekanan penelitian ada pada
memperhitungkan terlepasnya kembali karakteristik bahan bakar yang utama,
panas laten uap air. Sementara nilai kalor yaitu nilai kalor, kandungan air, mass
rendah tidak memasukkan energi panas yield dan energy yield.
laten yang dilepaskan oleh
terkondensasinya uap air tersebut ke 2. METODOLOGI
dalam nilai kalor. Tiap jenis biofuel Bahan Percobaan
ternyata memiliki energi per unit massa Tandan sawit kosong dan bambu
yang berbeda, jika dibandingkan dengan dipilih sebagai sumber biomassa dari
yang lain. Beberapa lebih tinggi, hasil hutan dalam percobaan ini. Baik
sementara yang lain lebih rendah. Nilai tandan sawit kosong dan bambu
kalor tergantung kepada kondisi mempunyai potensi yang sangat besar
lingkungan, cuaca, suhu, kesuburan untuk dikembangkan di Indonesia.
tanah, kelembaban, dan lainnya. Sebagai Tandan sawit kosong telah mengalami
konsekuensi, nilai kalor biasanya ditulis proses pengeringan pada suhu 105 oC
dalam kisaran suatu nilai, bukan satu dengan menggunakan oven, sedangkan
angka tertentu. bambu diambil dari hutan bambu di
Kandungan air adalah salah satu sekitar laboratorium.
faktor yang sangat berpengaruh pada
unjuk kerja biofuel. Biomassa asalnya Alat Percobaan
mengandung setengah, bahkan lebih air Penelitian dibagi menjadi dua
di dalamnya. Kandungan air yang tinggi bagian utama, yaitu percobaan torrefaksi
tidak menguntungkan Karena biomassa dan pengukuran serta analisa sampel
akan mempunyai nilai kalor yang lebih biomassa. Alat yang digunakan untuk
rendah, akibat dari penggunaan energi percobaan torrefaksi antara lain tungku
untuk memanaskan dan menguapkan air listrik yang ditunjukkan oleh Gambar

64
Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

1(a), wadah dari baja tahan karat dengan Shimadzu Auto- Calculating
(crucible) ditunjukkan oleh Gambar 1(b), Bomb Calorimeter CA-4AJ, Gambar
thermocouple, data logger dan gas 2(b).
nitrogen. Biomassa seberat sekitar 10
gram dimasukkan ke dalam crucible,
setelah ditutup rapat gas nitrogen
dialirkan ke dalam crucible. Crucible
kemudian dimasukkan ke dalam tungku
listrik yang telah diatur suhunya. Suhu di
dalam crucible, di dalam ruang tungku,
dan di dinding tungku kemudian dicatat
setiap 5 menit sampai tercapai suhu
torrefaksi yang diharapkan. Percobaan
ini menggunakan dua faktor, yaitu faktor
suhu torrefaksi dan waktu penahanan,
dengan masing-masing tiga level variasi,
yaitu suhu 210 oC, 240 oC, dan 270 oC,
serta waktu penahanan 30 menit, 60
menit, dan 90 menit.

Gambar 2. (a) Moisture Meter dan (b)


Bomb Calorimeter

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai Kalor Atas (HHV) dan Kadar
Air
Nilai kalor atas (HHV) baik
tandan sawit kosong dan bambu
mengalami peningkatan dengan naiknya
suhu torrefaksi (Tabel 1). Tandan sawit
kosong memiliki nilai kalor atas 19.109
MJ/kg tanpa torrefaksi. Dengan
torrefaksi pada suhu 210 oC, nilai kalor
atas meningkat menjadi 21.448 MJ/kg
pada waktu penahanan 30 menit,
sedangkan kenaikan terbesar nilai kalor,
Gambar 1. (a) Tungku listrik dan (b) yaitu 26.455 MJ/kg dicapai pada suhu
crucible 270 oC dan waktu penahanan 90 menit.
Jika dibandingkan dengan tanpa
Pengukuran serta analisa sampel torrefaksi, tandan sawit kosong
biomassa menggunakan timbangan, alat mengalami kenaikan nilai kalor atas
pengukur kalor (bomb calorimeter), serta sebesar 14%, 22%, dan 35% pada suhu
alat pengukur kadar air (moisture meter). torrefaksi 210 oC, 240 oC, dan 270 oC.
Kadar air biomassa sebelum dan sesudah Lamanya waktu penahanan juga
torrefaksi diukur dengan Moisture Meter memberikan efek pada kenaikan nilai
Shimadzu Model MOC63u yang kalor atas, namun pengaruhnya lebih
ditunjukkan oleh Gambar 2(a), sedikit bila dibandingkan dengan suhu
sedangkan nilai kalor biomassa diukur torrefaksi.

65
Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

Bambu juga mengalami rata-rata nilai kalor atas bambu jika


kenaikan nilai kalor atas setelah dibandingkan dengan tanpa torrefaksi
mengalami torrefaksi. Nilai kalor atas adalah masing-masing sebesar 13%, 20%
bambu tanpa torrefaksi adalah 17.553 dan 26% pada suhu torrefaksi 210 oC,
MJ/kg, dengan torrefaksi pada suhu 210 240 oC, dan 270 oC. Pada suhu torrefaksi
o
C, nilai kalor atas naik menjadi 19.756 yang sama, lama waktu penahanan
MJ/kg dengan waktu penahanan 30 memberikan sedikit pengaruh terhadap
menit. Sedangkan kenaikan terbesar peningkatan nilai kalor atas bambu hasil
terjadi pada suhu torrefaksi 270 oC dan torrefaksi.
waktu penahanan 90 menit. Kenaikan

Waktu Nilai Kalor Atas Kadar


Jenis Suhu Torrefaksi
Penahanan (HHV) Air
Biomassa
(°C) (menit) (MJ/kg) (%)
Tanpa Torrefaksi 0 19.109 10.17
30 21.448 2.73
210 60 21.445 2.91
90 22.570 1.83
Tandan Sawit 30 22.481 2.95
Kosong 240 60 23.636 1.96
90 23.835 2.07
30 25.042 2.53
270 60 25.728 2.70
90 26.455 2.30
Tanpa Torrefaksi 0 17.553 14.74
30 19.756 2.09
210 60 19.957 1.87
90 19.989 2.18
30 20.758 2.23
Bambu
240 60 21.044 2.41
90 21.320 2.13
30 21.520 2.20
270 60 22.273 2.18
90 22.344 1.92

Tabel 1. Hasil Pengukuran Nilai Kalor Atas dan Kadar Air

Torrefaksi terbukti membuat kadar air torrefaksi, rata-rata kadar air tandan
biomassa, baik tandan sawit kosong sawit kosong adalah 2.442%, dan bambu
maupun bambu, mengalami penurunan sebesar 2.134%. Hasil analisis statistic
yang cukup signifikan, yaitu 87% dan menunjukkan bahwa suhu torrefaksi dan
88% bila dibandingkan dengan tanpa waktu penahanan memberikan pengaruh
torrefaksi. Sebelum torrefaksi, 10.17% yang kurang signifikan terhadap kadar
biomassa yang berasal dari tandan sawit air. Data hasil eksperimen menunjukkan
kosong adalah berupa air, sedangkan bahwa rata-rata kadar air antara suhu dan
bambu memiliki 14.74%, setelah

66
Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

waktu penahanan tidak jauh beda antara Mass yield tandan sawit kosong
satu sama lain. dan bambu dapat dilihat pada Gambar 3
(a) dan 4 (a). Hasil analisis statistik
Mass Yield dan Energy Yield menunjukkan bahwa pengaruh suhu
Perhitungan mass yield torrefaksi lebih besar bila dibandingkan
digunakan untuk mengevaluasi jumlah waktu penahanan pada kedua biomassa
massa biomassa yang hilang selama tersebut. Dari tiga suhu torrefaksi yang
proses torrefaksi. Mass yield dilakukan, yaitu 210 oC, 240 oC, dan 270
o
didefinisikan sebagai jumlah biomassa C, nampak bahwa suhu torrefaksi
yang tersisa setelah proses torrefaksi terendah, yaitu 210 oC mempunyai mass
selesai. Persamaan untuk menghitung yield paling tinggi dibandingkan suhu
mass yield dapat dilihat pada persamaan torrefaksi yang lain. Pada suhu torrefaksi
(1) 210 oC, mass yield tandan kosong sawit
rata-rata sebesar 83.29%, sedangkan
𝑚𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
%𝑀𝑌 = 𝑚𝑎𝑤𝑎𝑙
. 100 bambu sebesar 86.91%. Penambahan
waktu penahanan berpengaruh pada
(1)
penurunan mass yield tandan sawit
kosong dan bambu. Penurunan ini tidak
Dimana
signifikan, bahkan pada tandan sawit
makhir = massa biomassa setelah torrefaksi
kosong dengan 210 oC dan waktu
mawal = massa biomassa sebelum
penahanan 90 menit lebih tinggi daripada
torrefaksi
60 menit.

Gambar 3. (a) Mass Yield dan (b) Energy Yield Tandan Sawit Kosong

Gambar 4. (a) Mass Yield dan (b) Energy Yield Bambu

67
Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

Energy yield menunjukkan persentase 4. KESIMPULAN


jumlah energi awal biomassa sebelum Dari percobaan yang telah
torrefaksi yang tersisa setelah proses dilakukan untuk mengetahui pengaruh
usai. Energy yield dapat diekspresikan parameter torrefaksi pada karakteristik
dalam persamaan (2) berikut ini. bahan bakar dari biomassa, dapat diambil
beberapa kesimpulan berikut.
𝐻𝐻𝑉
%𝐸𝑌 = 𝑀𝑌 . 𝐻𝐻𝑉 𝑎𝑤𝑎𝑙 . 100 a. Hasil percobaan menunjukkan
𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 bahwa baik kenaikan temperatur
(2) torrefaksi dan penambahan
waktu penahanan torrefaksi
Dimana berpengaruh terhadap kenaikan
HHVawal = Nilai kalor atas biomassa nilai kalor bahan bakar
sebelum torrefaksi biomassa.
HHVakhir = Nilai kalor atas biomassa b. Biomassa yang sudah
setelah torrefaksi mengalami proses torrefaksi
mengalami kenaikan nilai kalor
Gambar 3 (b) dan 4 (b) seiring dengan naiknya
menunjukkan energy yield tandan sawit temperatur torrefaksi. Sementara
kosong dan bambu setelah proses itu, energy yield dan mass yield
torrefaksi. Analisis statistik berkurang seiring dengan
menunjukkan bahwa energy yield lebih penambahan temperatur
dipengaruhi oleh suhu torrefaksi torrefaksi.
daripada waktu penahanan. Energy yield c. Bambu menunjukkan hasil
terbesar didapat pada suhu torrefaksi 210 energy yield setelah torrefaksi
o
C, yaitu 95.09% dan 98.53% pada yang lebih tinggi, hal ini
tandan sawit kosong dan bambu, dan disebabkan sedikitnya biomassa
menurun pada setiap kenaikan suhu yang terurai selama proses
torrefaksi. torrefaksi bila dibandingkan
Baik tandan sawit kosong dan dengan tandan sawit kosong.
bambu mengalami tren yang identik pada
mass yield dan energy yield. Namun dari Penelitian lanjutan dapat diarahkan pada
Gambar 4 (b) terlihat bahwa pada bambu, penggunaan panas yang dihasilkan oleh
selisih antara mass yield pada masing- gas buang boiler biomassa untuk proses
masing suhu torrefaksi relatif lebih kecil torrefaksi. Rendahnya kadar oksigen
bila dibandingkan dengan tandan sawit pada gas buang juga menarik untuk
kosong pada Gambar 3 (b). Fenomena ini diteliti lebih lanjut, misalnya mengetahui
dapat terjadi karena terkait dengan proses pengaruh kadar oksigen pada hasil
penguraian dari komponen utama torrefaksi.
biomassa selama proses torrefaksi, yang
terdiri dari hemiselulosa, selulosa, dan
lignin, serta tahapan proses torrefaksi 5. DAFTAR PUSTAKA
yang dialami oleh masing-masing [1] Asif, M., Muneer, T., (2007), “Energy
biomassa. Menurut Sabil (2013), supply, its demand and security issues for
kandungan hemiselulosa di tandan sawit developed and emerging economies”,
kosong sekitar 24%, sedangkan bambu Renewable and Sustainable Energy
sekitar 15%. Rendahnya persentase Reviews, Vol. 11, pp.1388–413.
hemiselulosa pada bambu berpengaruh [2] Tollefson, J., and Monastersky, R.,
pada hasil akhir proses torrefaksi. (2012), “The global energy challenge

68
Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II– Oktober 2017 – Terbit 64 halaman

Awash with carbon”, Nature, Vol. 491, 2nd edition, Academic Press, Elsevier,
pp. 654-655 London, UK
[3] Walker, R., (2011), “The Impact of [7] Maitah, M., Prochazka, P.,
Brazilian biofuel Production on Pachmann, A., Šréd, K., Řezbová, H.,
Amazonia”, Annals of the Association of (2016), “Economics of Palm Oil Empty
American Geographers, Vol. 101, pp. Fruit Bunches Bio Briquettes in
929-938 Indonesia”, International Journal of
[4] Moscicki, K. J., Niedzwiecki, L., Energy Economics and Policy, Vol 6 (1),
Owczarek, P., Wnukowski, M., (2014), pp. 35-38
“Commoditization of biomass: dry [8] Wang, D. H., Chen, T. H., (2015),
torrefaksi and pelletization a review”, “Bamboo Resources and Carbon storage
Journal of Power Technologies, Vol. in Taiwan”, 10th World Bamboo
94(4), pp.233-249 Congress, Korea
[5] Basu, P., (2010), “Biomass [9] Sabil, K.M., Aziz, M.A., Lal, B.,
Gasification and Pyrolysis-Practical Uemura, Y., (2013), “Effects of
Design and Theory”, Academic Press, torrefaksi on the physiochemical
Elsevier, Oxford, UK properties of oil palm empty fruit
[6] Basu, P., (2013), “Biomass bunches, mesocarp fiber and kernel
Gasification, Pyrolysis and Torrefaksi”, shell”, Biomass and Bioenergy, Vol. 56,
pp. 351-360

69

Anda mungkin juga menyukai