Anda di halaman 1dari 76

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

PADA LESI GASTRITIS YANG DIDIAGNOSA DENGAN


PEWARNAAN HISTOKIMIA GIEMSA DAN
IMUNOHISTOKIMIA HELICOBACTER PYLORI
DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS
KEDOKTERAN USU MEDAN

TESIS

Oleh:

BETTY

117041094

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012

Universitas Sumatera Utara


INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
PADA LESI GASTRITIS YANG DIDIAGNOSA DENGAN
PEWARNAAN HISTOKIMIA GIEMSA DAN
IMUNOHISTOKIMIA HELICOBACTER PYLORI
DI LABORATORIUM PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS
KEDOKTERAN USU MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Patologi Anatomi


dalam Program Magister Kedokteran Klinik
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh:

BETTY

117041094

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang didiagnosa
dengan Pewarnaan Histokimia Giemsa dan Imunohistokimia
Helicobacter pylori di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran USU Medan
Nama : Betty
No. Register : 117041094
Program Studi : Program Pendidikan Magister Klinik Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Dr. H. Delyuzar, Sp.PA(K) Dr. H. Soekimin, Sp. PA


Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH

Tanggal Lulus: 5 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
ridho dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul
“Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang didiagnosa dengan Pewarnaan
Histokimia Giemsa dan Imunohistokimia Helicobacter pylori di Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan” yang merupakan salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Strata dua (S2) pada Program Pendidikan
Magister Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.

Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan
doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terimakasih saya sampaikan
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc.(CTM), Sp.A(K)., selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp. PD. KGEH., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. DR. Dr. Chairuddin P. Lubis, Sp.A(K), selaku Ketua Program Studi
Magister Klinik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. H. Joko S. Lukito, Sp.PA, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan
pemikiran di tengah-tengah kesibukan beliau dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak Dr. H. Soekimin, Sp.PA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu
sabar dalam membimbing, memberikan masukan dan dukungan dalam
menyelesaikan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


6. Pimpinan dan seluruh staf di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan yang telah banyak memberi arahan, saran,
semangat dan dorongan yang tiada henti-hentinya dalam penyelesaian tesis ini.

7. Seluruh tenaga laboran (Nafiah, Yusni, Sumitro) di Laboratorium Patologi


Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan yang
menyediakan waktu dan bantuan tenaga untuk penulis dalam menyelesaikan
tulisan tesis ini.

8. Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes selaku pembimbing statistik yang telah dengan sabar
memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis ini dan pengolahan data statistik yang
ada

9. Seluruh tenaga administrasi dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program


Studi Magister Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
yang selalu member semangat dan dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Terima kasih yang tulus saya persembahkan kepada ibunda terkasih Murniaty,
ibu mertua saya Lina, dan suami yang tercinta Andy, SE., MBA., serta ke-2
putra putri yang saya sayangi Ericko Govardi dan Steffie Goviani yang
merupakan sumber inspirasi, sehingga penulis dapat menyelesaikantesis ini.

11. Kepada semua pihak yang penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu,
semoga apa yang diberikan mendapat balas dari Tuhan Yang Maha Esa.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan dapat menambah wawasan serta menciptakan ide untuk penelitian selajutnya.

Medan, 23 Juli 2012

Penulis,

Betty

ii

Universitas Sumatera Utara


Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis
yang didiagnosa dengan Pewarnaan Histokimia Giemsa dan Imunohistokimia
Helicobacter pylori di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU
Medan

Betty
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

ABSTRAK
Latar belakang: Infeksi Helicobacter pylori, sekarang dianggap sebagai penyebab
utama gastritis antral aktif dan banyak penelitian yang menguhbungkan mikroba ini
sebagai etiologi tukak duodenum dan kanker lambung.

Metode: Sediaan histologi dari 42 biopsi lambung pasien diwarnai dengan dua metode
pewarnaan (histokimia Giemsa dan anti-H pylori antibody immunostain /
imunohistokimia H. pylori) dan dinilai secara „blinded‟dan secara terpisah oleh dua
orang pemeriksa.

Hasil: Ada 42 kasus yang dimasukkan dalam penelitian ini yang berumur anatara 16-75
tahun (umur rata-rata 51,05). Dua puluh delapan diantaranya adalah laki-laki,
sedangakan wanita 14 orang, dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2 :
1. Dua puluh kasus dengan Helicobacter pylori tertapil dengn kedua tehnik pewarnaan,
dan sepuluh kasus tidak teridentifikasi pada kedua metode pewarnaan ini, baik dengan
pewarnaan histokimia Giemsa, maupun anti-H pylori antibody immunostain or
immunohistokimia H. pylori. Dari ke-42 kasus ini, 12 kasus diantaranya menunjukkan
hasil yang negatif dengan pewarnaan histokimia Giemsa, namun pada pewarnaan
immunohistokimia H. pylori menunjukkan hasil yang positif. Kedua pemeriksa
menyetujui bahwa metode pewarnaan imunohistokimia H. pylori (76,2%) lebih baik
dibandingkan pewarnaan histokimia Giemsa (47,6%). Sensitifitas dari kedua metode
pewarnaan adalah 100%, sementara spesifisitas imunohistokimia H. pylori 45,4%.

Kesimpulan: Bila dijumpai H pylori, pemeriksaan yang teliti hampir selalu


menggunakan pewarnaan ini. Dan pewarnaan Giemsa merupakan metode yang dipilih
karena sensitive, lebih muran dan mudah untuk dilakukan.

Kata kunci: H. pylori, pewarnaan histokimia Giemsa, pewarnaan imunohistokimia H.


pylori

iii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT
Background: Infection by Helicobacter pylori has been established as the major cause
of chronic gastritis, and is important in the pathogenesis of other gastroduodenal
diseases such as peptic ulceration, gastric lymphoma, and gastric cancer.

Methods: Histological sections from 42 gastric biopsies from patients were stained with
the two stainning methods (histochemical Giemsa and anti-H pylori antibody
immunostain or immunohistochemical H. pylori) and these were assessed blindly and
independently by two observers.

Results: The 42 cases recruited in this study were aged between 16 and 75 (mean age of
51,05). There were 28 males and 14 females giving a male to female sex ratio of 2 : 1.
Twenty cases of Helicobacter pylori were demonstrated by both techniques and ten
cases are not identified by the two staining methods. Of the 42 cases, 12 cases
histochemistry stain could not demonstrate the bacteria, but they were identified with
anti-H pylori antibody immunostain. And the remaining 12 cases had result negative in
histochemical Giemsa, but positive in immunohistochemical H. pylori stain.
Interobserver agreement was the immunohistochemical H. pylori or antibody method
(76,2%) better than Giemsa (47,6%). The sensitivity of the both staining methods was
100%, while the specificity of immunohistochemistry H. pylori was 45,4%.

Conclusions: When H pylori are present, careful examination will almost always reveal
them, whichever of these stains is used. However, the Giemsa stain is the method of
choice because it is sensitive, cheap and easy to perform.

Key words: H. pylori, histochemical Giemsa stain, immunohistochemical H. pylori


stain.

iv

Universitas Sumatera Utara


CURRICULUM VITAE

Nama : dr. Betty, Sp.PA


NIP : 19681009 199903 2 002
Tempat/ Tgl Lahir : Binjai, 9 Oktober 1968
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : Staf Pengajar Dept. Patologi Anatomi FK USU
Status : Menikah
Alamat : JL. Jend. A. Yani No. 21-AF
Binjai – 20711, indonesia
Telepon : 061- 8822017 / HP. 0811652225
Email : andbethgo@yahoo.com
Nama suami : Andy, SE. MBA
Nama anak : 1. Ericko Govardi
2. Steffie Goviani

RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. SD Methodist Binjai – tahun 1974 - 1980
2. SMP Methodist Binjai – tahun 1980 - 1983
3. SMA Methodist Binjai – tahun 1983 - 1986
4. Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan – tahun 1986 -
1994.
5. Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara – tahun 2004 - 2008.
6. Pendidikan Program Magister Kedokteran Klinis Universitas Sumatera Utara
Medan tahun 2011 – 2012.

RIWAYAT PEKERJAAN :
1995 – 1998 : Dokter PTT di RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai
1997 – 2008 : Praktek Dokter Umum
1999 – 2007 : Praktek dokter PNS di Puskesmas Tanah Tinggi Kota Binjai
2008 – sekarang : Staf Pengajar Dept. Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2008 – sekarang : Praktek Dokter Spesialis PA.
2011 – sekarang : Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Anatomi
FK-USU Medan

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ……….…………………………………………… i


Abstrak ……………………………………………………………. iii
Daftar isi ………………………………………………………….. v
Daftar Gambar ……………………………………………………. viii
Daftar Tabel ………………………………………………………. ix
Daftar Singkatan ………………………………………………….. x
Bab 1 Pendahuluan ………………………………………… 1
1.1. Latar belakang ………………………………… 1
1.2. Rumusan masalah …………………………….. 3
1.3. Hipotesa penelitian ……………………………. 3
1.4. Tujuan penelitian ……………………………… 3
1.4.1. Tujuan umum ………………………… 3
1.4.2. Tujuan khusus ……………………….. 4
1.5. Manfaat penelitian …………………………….. 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka …………………………………… 5
2.1. Lambung ……………………………………….. 5
2.1.1. Anatomi …........………………………. 5
2.1.2. Histologi ……………………………… 6
2.2. Gastritis ………………………………………… 9
2.2.1. Gastritis akut …………………………. 9
2.2.2. Gastritis kronis ……………………...... 11
2.2.3. Gastritis Helicobacter pylori …………. 13
2.2.4. Metaplasia ……………………………. 22
2.2.5. Gastritis Atrofi ……………………….. 23
2.2.6. Displasia ……………………………… 24
v

Universitas Sumatera Utara


2.3. Tukak peptik ……………………………………
2.4. Kanker lambung ……………………………….. 25
2.4.1. Lesi pre-kanker ………………………. 27
2.4.2. Kanker Dini Lambung ……………..... 30
2.4.3. Kanker Lnajut Lambung …………….. 30
2.5. Kerangka teori …………………………………. 31
33
Bab 3 Metodologi Penelitrian ……………………………… 34
3.1. Rancangan penelitian …………………………... 34
3.2. Tempat dan waktu penelitian ………………….. 34
3.2.1. Tempat penelitian ……………………. 34
3.2.2. Waktu penelitian …………………….. 34
3.3. Subjek penelitian ………………………………. 34
3.3.1. Populasi ……………………………… 34
3.3.2. Sampel penelitian ……………………. 34
3.4. Jumlah sampel …………………………………. 35
3.5. Kriteria penelitian ……………………………… 35
3.5.1. Kriteria inklusi ……………………...... 35
3.5.2. Kriteria eksklusi ……………………… 36
3.6. Kerangka operasional ………………………….. 37
3.7. Variabel penelitian …………………………….. 37
3.8. Definisi operasional …………………………… 37
3.9. Cara kerja ……………………………………… 38
3.10. Alat dan bahan penelitian …………………….. 43
3.11. Instrumen penelitian ………………………….. 43
3.12. Analisa data …………………………………… 44
Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan …………………... 46
4.1. Hasil penelitian ………………………………… 46

vi

Universitas Sumatera Utara


4.2. Pembahasan …………………………………….. 49
Bab 5 Kesimpulan dan Saran ……………………………… 52
Daftar Pustaka …………………………………………………….. xi
Lampiran …………………………………………………………..

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Pembagian daerah anatomi lambung ……………………. 5

2.2. Diagram dari empat daerah anatomi dan tiga daerah


histologik lambung ……………………………………….
8

2.3. Mekanisme jejas dan pertahanan pada lambung ………… 11

2.4. Helicobacter pylori ……………………………………… 14

2.5. Pulau patogenisitas cag ………………………………….. 16

2.6. Interaksi antara pathogen-host di dalam patogenesis


infeksi Helicobacter pylori ……………………………… 17

2.7. Gastritis Helicobacter pylori …………………………….. 20

2.8. H. pylori yang melekat pada epitel lambung ……………. 22

2.9. Perjalanan alamiah infeksi Helicobacter pylori …………. 28

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1. Jumlah sampel gastritis yang digunakan dalam penelitian


berdasarkan jenis kelamin………………………………... 46

4.2. Distribusi umur dari seluruh sampel gastritis yang


digunakan dalam penelitian………………………………. 47

4.3. Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis


dengan pewarnaan histokimia Giemsa…………………… 48

4.4. Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang


ditemukan dengan pewarnaan imunohistokimia
Helicobacter pylori………..…………….………………… 48

4.5. Pengukuran sensitifitas dan spesifisitas pewarnaan


histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter
pylori dalam menemukan infeksi Helicobacter pylori
pada lesi gastritis dengan uji Chi-square ……………… 49

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

 AP-1 Activator Transcription Factor Protein 1


 cag–PAI The cag pathogenicity island
 EC Enterochromaffin
 ECL Enterochromaffin-like
 IBD Inflammatory Bowel Disease
 IF-ɤ Interferon - ɤ
 IL-8 Interleukin-8
 KDL Kanker dini lambung
 KLL Kanker Lanjut Lambung
 MHC Major Histocompatibility Complex
 MAP Mitogen associated Protein Kinase
 MALT Mucosa-associated Lymphoid Tissue
 NSAID Non Steroid Anti Inflammatory Drugs
 NFk B Nuclear Factor Kappa B
 PAS Peroxidase Amino Synthese
 TNF-α Tumor Necroting Factor

Universitas Sumatera Utara


1

Bab 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Kanker lambung merupakan keganasan yang berasal dari mukosa lambung,


dengan angka prevalensi keempat terbanyak dari semua jenis kanker yang ada, dan
menempati urutan kedua terbanyak penyebab kematian akibat kanker di dunia.1,2,3,4,5
Setiap tahunnya sekitar 880.000 orang yang terdiagnosa sebagai kanker lambung, dan
700.000 orang diantaranya meninggal dunia akibat penyakit ini.1,2,3,4,6

Insidensinya bervariasi dan berhubungan dengan letak geografi. Enam puluh


persen kanker lambung terdapat di Negara yang sedang berkembang. Angka insidensi
yang tertinggi ditemukan di Asia bagian Timur, pegunungan Andes Amerika Selatan
dan Eropa bagian Timur, sementara insidennya paling rendah di Amerika Utara dan
Eropa Bagian Utara.1

Di Jepang, Chili, Costa Rica dan Eropa bagian Timur, insidensinya meningkat
hingga lebih dari 20 kali dibandingkan Amerika Utara, Eropa bagian Utara, Afrika dan
Asia Tenggara. Program skrining endoskopik terhadap massa telah berhasil
menurunkan insidensi yang tinggi seperti di Negara Jepang, dimana hampir 35% kasus
baru terdeteksi sebagai kanker dini lambung, dimana pertumbuhan tumor masih
terbatas pada lapisan mukosa dan sub-mukosa lambung. Namun, program skrining ini
membutuhkan biaya yang tinggi sehingga bukan merupakan ‘cost-effective’ pada
daerah dengan insidensi rendah, dan kasus yang terdeteksi sebagai kanker dini
lambung hanya di bawah 20% seperti Amerika Utara dan Eropa bagian Utara.
Walaupun perbedaan penurunan angka mortalitas pada berbagai daerah belum jelas,
namun penurunan insiden kanker lambung yang telah dilaporkan pada berbagai Negara

Universitas Sumatera Utara


2

bagian Barat lainnya, menyokong bahwa faktor lingkungan dan diet ikut berperan
dalam perkembangan kanker lambung.1,3,8

Sejak ditemukannya Helicobacter pylori oleh Dr. Warren dan Marshall pada tahun
1983, telah terjadi perubahan di dunia kedokteran terutama dalam bidang
gastroenterologi.2,4,5,6,9 Infeksi Helicobacter pylori, dengan berbagai keragaman
insidensi terjadi di seluruh dunia. Prevalensi pada orang dewasa berkisar < 15-100%
pada daerah yang sedang berkembang, dan pada umumnya menginfeksi pada usia yang
lebih muda dibandingkan Negara yang sudah berkembang. Ini berhubungan dengan
status sosioekonomi yang rendah.4 Infeksi Helicobacter pylori, merupakan ko-faktor
yang penting dalam perkembangan kelainan saluran pencernaan bagian atas seperti
tukak duodenum maupun lambung (1-2% dari pasien yang terinfeksi), infeksi
Helicobacter pylori juga dapat merangsang terjadinya perubahan fenotip yang
mengawali perkembangan kanker lambung (0,1-3%) serta MALT-oma lambung
(Gastric mucosa-associated lymphoid-tissue lymphoma, <0,01%).5,6

Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dilaporkan bahwa pasien yang
terdapat antibodi anti-Helicobacter pylori di dalam serumnya selama lebih dari 10
tahun berisiko menderita kanker lambung. Helicobacter pylori merupakan patogen
lambung yang penting di dalam berbagai langkah kaskade karsinogenik. Proses pre-
kanker yang panjang, seperti gastritis kronik-gastritis atrofi yang multifokal-metaplasia
intestinal dan neoplasia intra-epitel dibutuhkan dalam perkembangan kanker lambung.
Secara epidemiologi telah terbukti bahwa perkembangan kanker lambung
adenokarsinoma mempunyai hubungan yang penting terhadap infeksi Helicobacter
pylori.2

Universitas Sumatera Utara


3

1.2. Rumusan Masalah

Karsinogenesis lambung merupakan proses yang multistep dan melibatkan


kelainan genetika secara umum maupun spesifik yang dapat merangsang perubahan
sifat sel secara progresif. Gastritis kronik yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter
pylori, mempunyai insidensi yang paling tinggi. Karena kanker lambung mempunyai
prognosis yang jelek, dan salah satu strategi utama yang berguna untuk klinik adalah
menemukan secara dini infeksi Helicobacter pylori lambung penderita yang
mempunyai keluhan secara klinis. Salah satu cara menemukan infeksi Helicobacter
pylori adalah pada jaringan biopsi lambung yang didapat pada saat melakukan
pemeriksaan endoskopi. Namun pada pemeriksaan histopatologi, penemuan
Helicobacter pylori yang berupa organisme eosinofilik batang sedikit melengkung
sulit diidentifikasi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin karena mirip dengan cairan
mukus di lambung, Dan selama pengobatan, organisme ini dapat berubah bentuk
berupa huruf ‘U’, melingkar, bentuk batang yang ireguler maupun kokoid. Bentuk ini
menyerupai bakteri non-patogen, spora jamur dan cryptosporidia. Untuk diagnosa
yang pasti digunakan pewarnaan imunohistokimia.4

1.3. Hipotesa Penelitian

Ada perbedaan insidensi penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis di
lambung dengan pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter
pylori.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Menemukan insidensi infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis di lambung


dengan pewarnaan Giemsa dan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori

Universitas Sumatera Utara


4

1.4.2. Tujuan Khusus

 Melihat gambaran karakteristik penderita gastritis.


 Menemukan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan
histokimia Giemsa.
 Menemukan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan
imunohistokimia Helicobacter pylori.
 Melihat perbedaan hasil perwarnaan histokimia Giemsa terhadap tampilan
imunohistokimia Helicobacter pylori dalam mendiagnosa infeksi Helicobacter
pylori pada lesi gastritis.

1.5. Manfaat Penelitian

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi indikator penemuan infeksi


Helicobacter pylori pada sediaan biopsi jaringan lambung.
 Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu menentukan prognosis
pasien dengan lesi gastritis.

Universitas Sumatera Utara


5

Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1. Lambung

2.1.1. Anatomi

Lambung merupakan organ yang berbentuk kantong seperti huruf ‘J’, dengan
volume 1200-1500ml pada saat berdilatasi. Pada bagian superior, lambung berbatasan
dengan bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan
duodenum. Lambung terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke hipokhondrium
kiri. Kecembungan lambung yang meluas ke gastroesofageal junction disebut
kurvatura mayor. Kelengkungan lambung bagian kanan disebut kurvatura minor,
dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Seluruh organ lambung terdapat di
dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh omentum.5

Gambar 2.1. Pembagian daerah anatomi lambung.5

Universitas Sumatera Utara


6

Secara anatomik, lambung terbagi atas 5 daerah (gambar 2.1.) yaitu: (1). Kardia,
daerah yang kecil terdapat pada bagian superior di dekat gastroesofageal junction; (2).
Fundus, bagian berbentuk kubah yang berlokasi pada bagian kiri dari kardia dan
meluas ke superior melebihi tinggi gastroesofageal junction; (3). Korpus, merupakan
2/3 bagian dari lambung dan berada di bawah fundus sampai ke bagian paling bawah
yang melengkung ke kanan membentuk huruf ‘J’; (4). Antrum pilori, adalah bagian
1/3 bagian distal dari lambung. Keberadaannya secara horizontal meluas dari korpus
hingga ke sphincter pilori; dan (5). Sphincter pilori, merupakan bagian tubulus yang
paling distal dari lambung. Bagian ini secara kelesulurhan dikelilingi oleh lapisan otot
yang tebal dan berfungsi untuk mengontrol lewatnya makanan ke duodenum.
Permukaan fundus dan korpus banyak dijumpai lipatan rugae lambung. Pembuluh
darah yang mensuplai lambung merupakan percabangan dari arteri celiac, hepatik dan
splenik. Aliran pembuluh vena lambung dapat secara langsung masuk ke sistem portal
atau secara tidak langsung melalui vena splenik dan vena mesenterika superior. Nervus
vagus mensuplai persyarafan parasimpatik ke lambung dan pleksus celiac merupakan
inervasi simpatik. Banyak ditemukan pleksus saluran limfatik dan kelenjar getah
bening lainnya. Drainase pembuluh limfe di lambung terbagi atas empat daerah yaitu:
(1). Kardia dan sebagian kurvatura minor ke kelenjar getah bening gastrik kiri; (2).
Pilorik dan kurvatura minor distal ke kelenjar getah bening gastrik dan hepatik kanan;
(3). Bagian proksimal kurvatura mayor ke kelenjar limfe pankreatikosplenik di hilum
splenik; serta (4). Bagian distal kurvatura mayor ke kelenjar getah bening
gastroepiploik di omentum mayor dan kelenjar getah bening pilorik di kaput
pankreas.3,5,10

2.1.2. Histologi

Dinding lambung terdiri dari empat lapisan yaitu lapisan mukosa, sub-mukosa,
muskularis eksterna (propria) dan serosa. Permukaan mukosa dilapisi oleh sel epitel
kolumnar penghasil mukus dan meluas ke sebagian foveolar atau pit. Lapisan
mukosa terbagi atas dua lapisan yaitu lamina propria dan lapisan muskularis mukosa.

Universitas Sumatera Utara


7

Pada lapisan muskularis mukosa, terdapat lapisan otot sirkuler pada bagian dalam
dan lapisan otot longitudinal pada bagian luarnya. Otot-otot ini berkelanjutan
membentuk kelompokan kecil (fascicle) otot polos yang tipis menuju ke bagian
dalam lamina propria hingga ke permukaan epitel. Pada lapisan sub-mukosa,
jaringannya longgar dan mengandung sejumlah jaringan ikat elastik, terdapat pleksus
arteri, vena, pembuluh limfe dan pleksus nervus Meissner. Muskularis eksterna
terdiri dari tiga lapisan yaitu longitudinal luar (outer longitudinal), sirkuler dalam
(inner sirkuler) dan oblik yang paling dalam (innermost oblique). Lapisan sirkuler
sphincter pilorik pada gastroesofageal junction. Pleksus Auerbach (myenteric)
berlokasi pada daerah di antara lapisan sirkular dan longitudinal dari muskularis
eksterna. Semua kelenjar lambung mempunyai dua komponen yaitu bagian foveola
(kripta, pit) dan bagian sekresi (kelenjar). Mukosa lambung secara histologi terbagi
atas 3 jenis yaitu kardiak, fundus dan pilorik (antral), dengan daerah peralihan di
antaranya. Perbedaan berbagai jenis mukosa lambung tergantung pada perbandingan
relatif antara bagian foveolar dengan bagian sekresi, serta komposisinya secara
mikroskopik (Gambar 2.2). Kelenjar kardiak dan pilorik mempunyai kemiripan yaitu
perbandingan antara foveola terhadap kelenjar yang mensekresi mukus adalah satu
berbanding satu. Yang membedakan keduanya adalah jarak antar kelenjar di daerah
kardiak berjauhan, kadang dijumpai lumen kelenjar yang berdilatasi kistik.
Sedangkan kelenjar pada daerah pilorik mempunyai pelapis epitel dengan sitoplasma
sel yang ‘bubly’, bervakuola, bergranul dan ‘glassy’. Sub-nukleus vakuolisasi sel
mukus kadang-kadang dapat ditemukan, keadaan ini kadang-kadang salah
diinterpretasi sebagai metaplasia. Sedangkan sitoplasma sel pada daerah pilorik yang
‘glassy’ dan berkelompok dapat salah diinterpretasi sebagai adenokarsinoma ‘signet
ring cell’. Sel bersilia yang kadang-kadang dijumpai pada daerah pilorik, dan lebih
sering dijumpai pada orang Jepang, keadaan ini kadang kala dianggap sebagai suatu
metaplasia. Kelenjar fundik (oxyntic, acidopeptic) ditandai dengan bagian foveolar
hanya ¼ dari ketebalan mukosa, kelenjarnya cendrung lebih lurus dan terdiri dari
sebaran sel chief, sel parietal (penghasil asam), sel endokrin dan sel mukosa leher.3,4,5

Universitas Sumatera Utara


8

Gambar 2.2. Diagram dari empat daerah anatomi dan tiga daerah histologik lambung.
Ketebalan gastrik pit (merah) dan bagian kelenjar berbeda pada berbagai daerah di
lambung. Warna pada kelenjar sesuai dengan warna pada daerah anatomik lambung.
Histologi kelenjar dibedakan atas warna merah muda, hijau, dan biru. Gastrik pit yang
seragam berwarna merah pada seluruh bagian lambung.4,10

Secara imunohistokimia dan in situ hybridization menunjukkan sel chief dan sel
mukosa leher menghasilkan pepsinogen I (namun pada daerah pilorik menghasilkan
pepsinogen II). Musin yang dihasilkan oleh mukosa lambung hampir semuanya
adalah jenis netral dan positif dengan pewarnaan PAS, namun negatif pada
pewarnaan Alcian blue dan Mayer’s mucicarmine. Sedangkan sel mukosa leher yang
normal dapat menghasilkan sialomusin dan sulfomusin dalam jumlah yang sedikit.
Pada pemeriksaan imunohistokimia sel epitel foveolar menampilkan MUC1 dan

Universitas Sumatera Utara


9

MUC5AC, sedangkan kelenjar menampilkan MUC6. Bila dihubungkan dengan


antigen Lewis, sel epitel foveolar menampilan rantai antigen Le(a) dan Le (b) tipe I,
sedangkan kelenjar menampilkan rantai antigen Le(x) dan Le(y) tipe II. Pada mukosa
saluran pencernaan terdapat paling sedikit 16 jenis sel endokrin parakrin, dan
sebagian besar terdapat pada lambung. Pada mukosa pilorik, 50% sel endokrin
berupa sel G yang menghasilkan gastrin, 30% mengandung sel enterokromafin (EC)
yang menghasilkan 5-HT (serotonin), dan 15% adalah sel D penghasil somatostatin.
Pada mukosa fundus, sebagian besar sel endokrin terdiri dari sel ECL (EC-like)
sebagai tempat penyimpanan histamin; selain itu juga terdapat sejumlah kecil sel X
(sekresi yang dihasilkan sel ini masih belum diketahui) serta sel enterokromaffin
(EC). Sel ECL diduga berperanan penting di dalam mekanisme sekresi asam lambung
yang berfungsi untuk mengontrol rangsangan gastrin. Aktifitas fungsional dan
proliferasinya sangat dipengaruhi oleh gastrin.2,3,4,5,11,13

2.2. Gastritis

Gastritis kronik non-spesifik merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai.


Prevalensi pada populasi di US belum diketahui, namun dari populasi di Eropa dan
Jepang menunjukan peningkatan insidensi yang berhubungan dengan umur, dan lebih
dari 50% terdapat pada umur di atas 60 tahun. Sebagian besar pasien gastritis yang
ringan tidak menunjukkan gejala.4,5,6,8,13

2.2.1. Gastritis akut

Gastritis akut merupakan proses peradangan mukosa yang bersifat sementara


yang mungkin tanpa disertai gejala atau dengan gejala berupa berbagai tingkat nyeri
di uluhati, mual dan muntah. Pada kasus yang berat mungkin terjadi erosi pada
mukosa, tukak, perdarahan, hematemesis, melena, dan kadang-kadang kehilangan
darah yang massif.3 Gastritis akut dikenal juga sebagai gastropati reaktif atau
gastropati kimia.7

Universitas Sumatera Utara


10

Patogenesis. Lumen lambung mengandung asam dengan pH hampir


mendekati 1, melebihi 1 juta kali lebih asam daripada pH di dalam darah. Suasana
asam ini berperan dalam mekanisme pencernaan, namun juga berpotensi merusak
mukosa lambung. Ada berbagai mekanisme pertahanan mukosa lambung (Gambar
2.3). Mukus yang dihasilkan oleh sel foveolar permukaan membentuk lapisan mukus
yang tipis untuk melingdungi sel epitel dari partikel-partikel makanan, dan juga
mempunyai pH yang netral karena sekresi ion bikarbonat oleh sel epitel permukaan.
Gastritis akut sering berhubungan dengan penggunaan obat NSAID yang kronik dan
berat, terutama aspirin; peminum alkohol yang berlebihan; perokok berat; kemoterapi
pada kanker; infeksi sistemik (Salmonellosis, cytomegalovirus); stress berat (luka
bakar, trauma, pembedahan); iskemia dan shock; iritasi zat kimia (asam, alkali);
iradiasi lambung; trauma mekanis (nasogastrik intubasi); dan post gastrektomi distal.
Mekanisme penyebab yang diperkirakan bekerja tunggal atau dalam gabungan:
produksi asam bertambah dengan difusi balik; produksi buffer bikarbonat pada
permukaan berkurang; aliran darah mukosa berkurang; kerusakan langsung pada
epitel mukosa.3,7,13,14,18

Gambaran histopatologi gastritis akut ringan sulit dikenali, kelainan yang


dijumpai berupa epitel permukaan yang masih ‘intake’, walaupun epitel permukaan
terlepas (erosi) namun terbatas pada lapisan muskularis mukosa, hiperplasia foveolar,
lamina propria edema dan hiperemia (pembuluh darah kongesti), pada gastritis
erosive terdapat hemoragik akut dimana perdarahannya segar, nekrosis bersifat fokal
pada permukaan dan sel foveolar. Sebukan sel radang neutrofil pada daerah foveolar
dan lumen kelenjar, namun peradangan tidak terjadi secara menyeluruh. Bila erosi
meluas lebih dalam, dapat berkembang menjadi tukak.3,5,7,24

Universitas Sumatera Utara


11

Gambar 2.3. Mekanisme jejas dan pertahanan pada lambung. Ilustrasi diagram
perkembangan dari jejas ringan hingga terbentuk tukak disertai gastritis akut dan
kronik. Tukak terdiri dari lapisan nekrosis (N), inflamasi (I), dan jaringan
granulasi (G), namun jaringan parut/skar (S), membutuhkan waktu dan hanya
terdapat pada lesi yang kronis.3

2.2.2. Gastritis kronis

Insidensi dan riwayat alami gastritis kronik telah diketahui dan tersistematis
dengan jelas menggunakan biopsi jaringan secara endoskopi. Keluhan pada gastritis
kronis tidak begitu hebat, namun keluhannya dapat menetap dalam waktu yang lama.
Keluhan yang timbul berupa mual dan rasa tidak enak pada perut bagian atas, kadang
disertai muntah dan hematemesis. Penyebab gastritis kronik yang paling sering
adalah infeksi Helicobacter pylori.3,24,26 Ada dua gambaran utama penyakit ini yaitu
sebukan sel-sel radang pada lamina dan atrofi epitel kelenjar. Sel-sel plasma dan
limfosit (kadang-kadang dengan pembentukan folikel) merupakan sel yang prominen
dijumpai di antara sel-sel radang tersebut, namun juga dapat dijumpai sel eosinofil
serta neutrofil. Gastritis kronik dapat diklasifikasikan menjadi gastritis kronik
superfisial dan gastritis kronik atrofi. Pada gastritis kronik superfisial, sebukan sel-
sel radang terbatas pada daerah foveolar dan tidak dijumpai atrofi kelenjar. Kelainan

Universitas Sumatera Utara


12

epitel bisa juga dijumpai, berupa penurunan jumlah musin sitoplasma, pembesaran
inti dan nukleoli, kadang-kadang terjadi peningkatan jumlah mitosis. Sedangkan pada
gastritis kronik atrofi, proses peradangannya lebih hebat dan bersamaan dengan atrofi
pada kelenjar. Gastritis fokal ditandai dengan sel-sel radang limfosit dan histiosit
(kadang bercampur dengan sel neutrofil) yang berkelompok dan mengelilingi
sebagian kelenjar, ini diduga merupakan petanda penyakit IBD (inflammatory bowel
disease), namun pada sebagian studi lainnya masih belum terdapat konfirmasi tentang
hal ini.1,3,4,5,7

Gastritis kronik dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu: (1). Tipe-A (tipe imun); dan (2).
Tipe-B (tipe non-imun). Kedua jenis gastritis ini mempunyai kemiripan dalam
gambaran histologi, namun patogenesisnya berbeda. Gastritis tipe-A (tipe imun) ini,
lebih jarang dijumpai. Pada umumnya terdapat di daerah fundus dan meluas difus
hingga ke daerah antrum, ditandai dengan hiperplasia neuroendokrin, berhubungan
dengan antibodi terhadap sel parietal, hipokhlorhidria atau akhlorhidria dan kadar
serum gastrin yang tinggi. Sub-unit α dan  dari pompa proton lambung
teridentifikasi sebagai target molekular utama penyakit autoimun ini, yang
menimbulkan anemia pernisiosa. Varian dari kelainan ini berupa pan-gastritis atrofi
autoimun, yang dapat mengenai antral dan fundus, namun tidak terdapat hiperplasia
neuroendokrin. Sedangkan gastritis tipe-B (jenis non-imun), lebih sering dijumpai,
proses penyakitnya dimulai dari daerah antrum, dan berkembang kearah proksimal
hingga ke perbatasan fundik-pilorik secara bertahap. Pada beberapa kepustakaan,
gastritis tipe-B (non-imun) dikalsifikasikan menjadi: (1). Gastritis hipersekresi, yang
terbatas pada daerah antrum, yang dihubungkan dengan keadaan hiperkhlorhidria dan
tukak peptik duodenum; dan (2). Gastritis lingkungan (environmental), yang
melibatkan daerah antrum dan fundus yang awalnya berupa lesi bercak-bercak,
kemudian tersebar difus.7,8,14

Patogenesis gastritis kronik tipe-B adalah kompleks dan beragam. Faktor risiko
terjadinya gastritis tipe ini adalah berhubungan dengan alkohol, tembakau, refluks

Universitas Sumatera Utara


13

duodenum (refluks gastritis), alergi makanan, dan berbagai jenis obat (terutama obat-
obatt anti- inflamasi). Selain berbagai risiko yang multifaktorial ini berperanan dalam
gastritis kronis tipe-B (dan penyakit lambung lainnya, seperti tukak peptik,
karsinoma dan limfoma), yang harus menjadi perhatian juga adalah infeksi H.
pylori.1,3,11

2.2.3. Gastritis Helicobacter pylori

Infeksi H. pylori di Negara US, berhubungan dengan daerah pemukiman yang


padat, keterbatasan pendidikan, etnis Amerika-Afrika atau Amerika Meksiko, daerah
perkampungan, dan kelahiran di luar US. Angka kolonisasi melebihi 70% pada
sebagian kelompok dan bervariasi dari 10-80% di dunia. Daerah dengan prevalensi
yang tinggi menghubungkan antara angka kolonisasi dengan umur pasien, dan sering
didapatkan pada masa anak-anak dan kemudian menetap hingga beberapa dekade.
Cara penularan organism ini belum pasti, namun diketahui bahwa hanya manusia
yang merupakan host-nya, melalui infeksi mulut ke mulut, fekal ke mulut dan
penyebaran lingkungan. Penyakit yang hampir sama dihubungkan dengan infeksi
organisme Helicobacter heilmannii, dimana reservoir-nya adalah kucing, anjing, babi
dan primate yang bukan manusia. Perbedaan morfologi antara Helicobacter pylori
terhadap Helicobacter heilmannii sangat sulit. Pengenalan terhadap Helicobacter
heilmannii penting, dalam penanganan binatang peliharaan dan untuk mencegah
infeksinya ke manusia.1,2,3,14,18,21

Helicobacter pylori

Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif yang ditemukan pada


permukaan epitel lambung, dan pertama kali diisolasi oleh Warren dan Marshall pada
tahun 1983 (gambar 2.4).6,18

Universitas Sumatera Utara


14

Gambar 2.4. H. pylori merupakan bakteri gram-negatif dengan bentuk batang


melengkung. mempunyai flagela, yang membantu menembus lapisan mukous
lambung yang tebal.6,18

Bakteri ini merupakan kuman gram negatif, mikroaerofilik, berbentuk batang


melengkung, berukuran panjang 1-3μm dan lebar 0,3-0,6μm serta berflagela pada
salah satu ujung ‘pole’nya. Dapat menimbulkan peradangan kronik pada pemukaan
mukosa lambung. Infeksi ini biasanya terjadi pada usia anak-anak, dan cendrung
menetap dengan pengobatan yang tidak tepat. Prevalensi meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur dan status sosioekonomi yang rendah selama masa anak-anak
dan mempunyai keragaman di seluruh dunia.4,5,6,7,8

Genom H. pylori (1,65 juta pasangan basa) mengkode sekitar 1500 protein. Di
antara semua genom tersebut, ada dua proyek sekuensi gen H. pylori yang telah
ditemukan berupa satu keluarga besar dari 32 protein yang berhubungan dengan
protein membran bagian luar (Hop proteins) yaitu adhesi H. pylori dan berbagai gen
yang dapat men-switched on dan men-switched off dengan mutagenesis yang
diperantarai oleh kesalahan pasangan slippedstrand. Protein yang dikode oleh
beragam fase termasuk enzim yang memodifikasi struktur molekul permukaan
antigen, mengontrol masuknya DNA asing ke dalam bakteri dan peningkatan
pergerakan bakteri. Perubahan genom H. pylori berlangsung terus menerus selama
kolonisasi kronik dari individu host dengan mengirim potongan kecil DNA asing dari
strains H. pylori yang lain selama infeksi menetap maupun sementara.6,8,16

Universitas Sumatera Utara


15

H. pylori dapat melekat erat pada sel epitel dengan komponen permukaan
bakteri yang multipel. Adhesi yang paling khas adalah BabA, yaitu suatu protein 78-
kD membran luar yang terikat pada antigen kelompok darah Lewis B fucosylated.
Beberapa anggota keluarga protein Hop lainnya juga memperantarai perlekatan pada
sel epitel. Dari berbagai penelitian terhadap binatang percobaan membuktikan bahwa
adhesi terutama BabA yang berhubungan dengan penyakit H. pylori dapat
meningkatkan beratnya keadaan penyakit, walaupun pada sebagian penelitian masih
diperdebatkan.1,2,16,21

Pada umumnya strains H.pylori menampilkan vakuola sitotoksin VacA 95-kD


yang mensekresi eksotoksin. Toksin yang dihasilkan masuk ke sel membran epitel
dan membentuk suatu heksamerik anion yang selektif, saluran yang tergantung
voltase dilalui bikarbonat dan anion organik dapat dilepaskan, yang mungkin
menyiapkan makanan untuk bakteri. VacA juga ditargetkan untuk membran
mitokhondria, yang menyebabkan pelepasan sitokhrom c dan merangsang apoptosis.
Patogenesis peran toksin masih diperdebatkan. Mutan VacA negatif dapat
berkolonisasi pada binatang percobaan, dan strain dengan gen VacA yang inaktif
telah dapat terisolasi dari pasien, ini mengindikasikan bahwa VacA bukan yang
mendasari kolonisasi. Di Negara Barat, varian gen VacA tertentu berkaitan dengan
penyakit yang lebih berat. Namun, hal ini tidak ditemukan di Negara Asia, dan dasar
fungsional yang mendasarinya masih belum diketahui. Sebagian besar strain H.
pylori menunjukkan cag–PAI (pulau patogenisitas cag), suatu fragmen genomik 37-
kb. Sebagian komponen pengkodean ini diperkirakan mensekresi apparatus jenis IV
yang memindahkan protein CagA 120-kD ke dalam sel host. Setelah memasuki sel
epitel, CagA berphosphorilasi dan mengikat phosphatase tyrosin SHP-2, mengawali
respon seluler yang menyerupai faktor pertumbuhan dan sel host menghasilkan
sitokin.1,2,3,6,8,21

Starin H. pylori yang menimbulkan penyakit (Strain tipe I) mengandung pulau


patogenisitas cag (daerah kromosom dengan 37,000 bp dan 29 gen), yang terletak

Universitas Sumatera Utara


16

pada daerah yang ditandai dengan ‘tanda panah’. Susunan gen pada strain 26695,
merupakan suatu susunan genom yang dipublikasi pertama kali (gambar 2.5).7

Gambar 2.5. Pulau patogenisitas cag.7

Pada sebagian strain, pulau tersebut dipisah menjadi dua bagian. Diduga
banyak gen Cag yang terlibat dalam perpindahan sekresi protein CagA ke dalam
sitoplasma sel epitel lambung. Ada lima jenis gen (ditandai dengan warna orange)
yang mirip komponen sistem sekresi tipe-IV dari patogen tumbuhan Agrobacterium
tumefaciens (Vir proteins). Protein yang dikode oleh pulau tersebut terlibat di dalam
dua proses utama, merangsang sel epitel untuk menghasilkan IL-8 dan perpindahan
CagA dari bakteri ke dalam sel host. Seluruh gen (dalam ‘panah besar’), berperanan
penting dalam menginduksi IL-8; sedangkan pada panah yang terputus-putus
mengindikasikan gen yang tidak terlibat dalam proses ini. Garis panah yang berwarna
biru mengindikasikan gen yang dibutuhkan untuk translokasi CagA; garis orange
mengindikasikan gen yang tidak penting untuk bertranslokasi.1,3,6,7,8,21

Universitas Sumatera Utara


17

Respon host terhadap Helicobacter pylori

H. pylori menimbulkan peradangan lambung pada semua pasien yang


terinfeksi. Respon peradangan awal terdiri dari perekrutan sel radang neutrofil, yang
diikuti oleh sel limfosit T dan B, sel plasma, dan makrofag, dan kerusakan sel epitel.
H. pylori jarang menginvasi mukosa lambung, respon host terutama dipicu oleh
melekatnya bakteri ke sel epitel. Patogen berikatan dengan molekul permukaan MHC
kelas II (class II major-histocompatibility-complex) pada sel epitel lambung, dan
merangsang apoptosis. Selanjutnya terjadi perubahan sel epitel yang tergantung pada
protein yang dikode oleh cag-PAI dan pada translokasi CagA di dalam sel epitel
lambung. Urease dan porin H. pylori dapat menimbulkan ekstravasasi dan
kemotaksis sel radang neutrofil (gambar 2.6).1,7,16

Gambar 2.6. Interaksi antara pathogen-host di dalam patogenesis infeksi


Helicobacter pylori.7

Universitas Sumatera Utara


18

Epitel lambung pasien yang terinfeksi H. pylori menunjukan peningkatan kadar


IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, dan TNF-α. Di antara semua kemokin ini, IL-8 merupakan
tampilan kemokin yang paling kuat dan paling penting untuk mengaktifasi neutrofil
pada sel epitel lambung. Strain H. pylori yang memiliki cag-PAI memberi
rangsangan respon interleukin yang lebih kuat dibandingkan strain H. pylori dengan
cag yang negatif. Respon ini tergantung pada aktifasi NFk B (Nuclear Factor k B)
dan respon awal aktifator dari faktor transkripsi protein 1 (AP-1). Protein permukaan
H. pylori mempunyai berat molekul 150-kD, merupakan protein pengaktif fagositosis
neutrofil, namun hubungannya terhadap keadaan klinis masih belum diketahui.
Infeksi H. pylori dapat merangsang respons sistemik dan humoral mukosa. Produksi
antibodi ini tidak mengeradikasi infeksi, namun dapat menambah kerusakan jaringan.
Sebagian pasien yang terinfeksi H. pylori mempunyai respon auto-antibodi yang
langsung terhadap H+/K+–ATPase sel parietal lambung yang berkorelasi dengan
meningkatnya atrofi pada korpus. Selama respon imun spesifik, berbagai sub-group
sel T akan terpicu. Sel-sel ini berpartisipasi dalam proses proteksi mukosa dan
membantu membedakan bakteri patogen dari yang komensal. Sel T-helper (Th-0)
yang imatur menampilkan CD4 yang dapat berdiferensiasi menjadi dua sub-tipe
fungsional yaitu: sel Th1, yang mensekresi IL-2 dan interferon; dan sel Th2 yang
mensekresi IL-4, IL-5 serta IL-10. Sel Th2 merangsang sel B dalam meresponi
patogen ekstraseluler, sedangkan sel Th1 merangsang respon terhadap patogen
intraseluler. Karena H.pylori bersifat non-invasi dan kuat merangsang respon
humoral, maka yang diharapkan adalah respon sel Th2. Secara bertolak belakang, sel-
T mukosa lambung H. pylori spesifik menunjukkan fenotipe Th1. Penelitian tikus
targeting gen selanjutnya menunjukkan sitokin Th1 yang menimbulkan gastritis,
sementara sitokin Th2 memproteksi peradangan lambung. Orientasi Th1 ini
meningkatkan produksi IL-18 antral dalam meresponi infeksi H. pylori.1,4,7,8,

Biasanya respons Th1 ini, bersamaan dengan apoptosis yang diperantarai Fas
dari klon sel-T H.pylori spesifik, cendrung menyebabkan H pylori menetap. Sebagai
tambahan terhadap kerusakan yang dihubungkan dengan translokasi protein yang

Universitas Sumatera Utara


19

diperantarai cag-PAI, infeksi H.pylori menghasilkan jejas epitel dengan berbagai


mekanisme. Kerusakan sel epitel karena reaksi oksigen atau spesies nitrogen yang
dihasilkan oleh aktifasi neutrofil. Peradangan kronik juga meningkatkan pergantian
dan apoptosis sel epitel, yang merupakan campuran efek kontak yang diperantarai
Fas langsung terhadap epitel dan sel Th1 serta IF-ɤ. Kadar tampilan Fas, NF-kB, dan
MAP (mitogenassociated protein kinase), sebaliknya dipengaruhi oleh IL-1b.
Polimorfisme pro-inflammasi dari gen IL-1b cendrung berkembang dari gastritis
terutama pada korpus lambung yang berkaitan dengan hipokhlorhidria, gastrik atrofi,
dan adenokarsinoma lambung. Pada gastritis yang tidak ditemukan polimorfisme pro-
inflamasi perkembangannya lebih cendrung di antrum yang dikaitkan dengan kadar
sekresi asam normal hingga tinggi.1,7,8

Morfologi. Pada umumnya infeksi H. pylori dijumpai pada jaringan biopsi


lambung. Organisme ini berada pada mukosa permukaan sel epitel di daerah
permukaan dan bagian leher dari ‘pit’. Penyebarannya tidak merata, daerah dengan
kolonisasi yang banyak organism dapat berbatasan dengan daerah yang kolonisasinya
sedikit. H. pylori terdapat pada epitel lambung, dan pada umumnya tidak dijumpai
pada metaplasia intestinal lambung maupun epitel duodenum. Namun pada daerah
metaplasia pilorik yang terjadi karena jejas yang kronik di duodenum maupun
mukosa jenis lambung pada esofagus Barrett mungkin dapat ditemukan. Pada
lambung, H. pylori sering terdapat pada antrum. Pada pemeriksaan endoskopi
mukosa antral yang terinfeksi tampak eritema, permukaan kasar, kadang-kadang
berupa nodular. Sebukan sel-sel radang neutrofil terdapat pada lamina propria,
kadang-kadang dapat ditemukan intra-epitel (gambar 2.7) dan terkumpul pada lumen
‘pit’ lambung menbentuk ‘abses pit’. Pada lamina propria superfisial terdapat
sebukan berat atau kelompokan sel plasma, limfosit dan makrofag. Sel neutrofil intra-
epitel dan sel plasma pada sub-epitel merupakan ciri khas pada gastritis Helicobacter
pylori, Sebukan peradangan dapat membentuk penebalan pada lipatan rugae, yang
menyerupai lesi awal sebukan.3,4,5,7

Universitas Sumatera Utara


20

Gambar 2.7. Gastritis Helicobacter pylori.


(A). H. pylori berbentuk spiral dengan pewarnaan ‘Warthin-Starry silver’.
Organism banyak dijumpai pada permukaan mukosa; (B). Neutrofil banyak
terdapat pada intra-epithelial dan lamina propria; dan (C). Kelompokan limfoid
dengan ‘germinal center’ dan sel plasma yang banyak dijumpai pada sub-epitel
di lamina propria superfisial merupakan ciri khas gastritis H. pylori.3

Gastritis Helicobacter pylori yang kronis dapat meluas hingga ke korpus dan
fundus lambung, mukosa mengalami atrofi. Kelompokan limfoid kadang disertai
‘germinal center’ (gambar 2.7.C), membentuk jaringan limfoid mukosa (MALT/
Mucosa-associated lymphoid tissue), yang dapat berubah menjadi limfoma.1,2,3,4,9

Universitas Sumatera Utara


21

Pengidentifikasian Helicobacter pylori

Helicobacter pylori dapat dikenali dengan pewarnaan hematoksilin-eosin rutin.


Mikro-organisme ini berupa eosinofilik batang yang sedikit melengkung mirip
dengan cairan mukus di lambung, dapat mengkontaminasi flora mulut dan membran
sel epitel lambung (Gambar 2.7.A dan 2.8). Selama pengobatan, organisme ini dapat
berubah bentuk berupa huruf ‘U’, melingkar, bentuk batang yang ireguler maupun
kokoid.3,5,7,14

Gambar 2.8. H. pylori yang melekat pada epitel lambung, berupa batang kecil
kehitaman (panah), terdapat pada permukaan epitel dan di dalam lumen kelenjar.
Pada bagian mukosa dijumpai sebukan sel-sel radang.3,5,7

Secara histologi, bentuk kokoid yang solid, bulat, basofilik, berukuran 0,4-
1,2μm. Bentuk ini menyerupai bakteri non-patogen, spora jamur dan cryptosporidia.
Namun densitas Helicobacter pylori ini rendah, sehingga untuk mendeteksinya dapat
dibantu dengan pewarnaan spesial termasuk Giemsa, Warthin-Starry atau Steiner
silver (gambar 2.8.), Alcian yellow-toluidine blue, Wright-Giemsa, Brown-Hopps,
acridine orange, Diff-Quik stains, pewarnaan Genta dan imunohistokimia. Tidak ada
kelebihan antara satu jenis pewarnaan dengan yang lainnya, namun diagnosa yang
pasti dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia.4,19,20 Teknik pemeriksaan
PCR (Polymerase chain reaction) juga dapat dilakukan. Pada salah satu penelitian

Universitas Sumatera Utara


22

pemeriksaan PCR untuk mendeteksi Helicobacter pylori didapatkan sekitar 20%


terdeteksi pada kasus dengan biopsi lambung yang negatif.3,5,6,7,8

2.2.4. Metaplasia

Perubahan metaplasia mukosa lambung dapat terjadi pada gastritis kronis. Ada
dua jenis metaplasia yaitu metaplasia pilorik pada mukosa fundus dan metaplasia
intestinal. Keadaan ini dapat terjadi secara bersamaan. Pada metaplasia intestinal,
kelenjar mukosa kelenjar lambung jenis fundik digantikan oleh mukosa kelenjar
penghasil mukus. Proses ini berlangsung secara bertahap yang berlanjut sepanjang
perbatasan fundus ke pilorik dan bergerak kea rah proksimal menuju daerah kardia.
Metaplasia intestinal dihubungkan terhadap pergantian mukosa lambung yang
progresif oleh epitel usus baik usus halus maupun usus besar, yang mengandung sel
goblet, sel absorptif (brush border), sel Paneth, dan beragam sel endokrin. Sel yang
bersilia juga mungkin dapat dijumpai. Metaplasia intestinal dapat diklasifikasikan
menjadi jenis komplet (tipe-1) dan tidak komplet (tipe-2). Pada metaplasia yang
komplet, perubahan mukosa lambung menjadi bentuk yang identik terhadap epitel
usus halus, pada kasus yang lebih lanjut bias dijumpai villi dan kripta. Pada
metaplasia yang tidak komplet, tidak dijumpai sel absorptive, namun sel kolumnar
dengan gambaran sel foveolar lambung masih tersisa. Secara histokimia, terdapat
musin yang prominen pada metaplasia intestinal komplet yaitu berupa sialomusin,
dan sedikit sulfomusin atau musin yang netral; sedangkan pada jenis yang tidak
komplet lebih banyak dijumpai musin netral (jenis II-A) atau sulfomusin (jenis II-B).
Pada pemeriksaan imunohistokimia, metaplasia intestinal tipe-1 ditandai dengan jenis
musin usus MUC2, sedangkan MUC1, MUC5AC dan MUC6 sedikit atau tidak ada.
Metaplasia tipe-II, menampilkan MUC2 dan musin normal pada lambung secara
bersamaan. Metaplasia intestinal juga menunjukkan imunoreaktif yang tinggi untuk
mensekresi immunoglobulin dan antigen terhadap sel-T (Thomsen–Friedenreich),
yang mengindikasikan musin glikosilasi aberant. Kelenjar dengan metaplasia
intestinal juga imunoreaktif terhadap antigen hepatosit (Hep-Par-1) dan terhadap

Universitas Sumatera Utara


23

guanylyl cyclase C (suatu reseptor selektif yang ditampilkan oleh sel epitel).
Hubungan metaplasia intestinal pada lambung dan H. pylori menarik. Biasanya H.
pylori tidak dijumpai pada fokus metaplasia intestinal tipe-1, namun sering dijumpai
pada fokus tipe-2. Metaplasia intestinal tipe-2B mempunyai hubungan yang kuat
terhadap karsinoma lambung tipe intestinal dibandingkan tipe lainnya, namun hal ini
masih diperdebatkan sampai saat ini.2,4,21,22,25,26

2.2.5. Gastritis Atrofi

Gastritis kronik atrofi, merupakan suatu proses peradangan kronik hebat yang
bersamaan dengan atrofi pada kelenjar. Manifestasi atrofi kelenjar ditandai dengan
jarak antara satu kelenjar dengan kelenjar lainnya berjauhan, dan terdapat
peningkatan jumlah jaringan ikat retikulin pada lamin propria. Berdasarkan
perbandingan antara ketebalan bagian kelenjar terhadap seluruh ketebalan mukosa
lambung, gastritis kronik atrofi ini dapat dikategorikan menjadi gastritis atrofi
ringan, sedang dan berat. Gastritis kronik atrofi harus dibedakan terhadap atrofik
gastrik. Atrofi gastrik, merupakan stadium akhir gastritis kronik atrofi. Secara
endoskopi dan makroskopis, gastritis kronik atrofi maupun atrofi gastrik
menunjukkan otot mukosa yang tipis, pembuluh darah sub-mukosa menonjol. Jika
lapisan mukosa menipis tanpa disertai sebukan sel-sel radang, ini menandai suatu
atrofi gastrik. Peningkatan derajat atrofi pada umumnya berhubungan terhadap
dilatasi kistik kelenjar dan metaplasia. Terdapat hubungan yang erat antara tingkat
atrofi gastrik seperti yang diduga pada biopsi endoskopik dan pemeriksaan sekresi
asam. Namun tidak ada hubungan antara penemuan histopatologi terhadap gejala,
gambaran radiologi dan gastroskopi. Gastritis kronik atrofi pada umumnya dapat
dijumpai pada karsinoma lambung, dan pada umumnya keadaan yang berat sesuai
dengan tingkat perluasan tumor.1,3,4,21,24

Universitas Sumatera Utara


24

2.2.6. Displasia

Gastritis kronik yang menimbulkan radikal bebas dihubungkan dengan


peradangan dan rangsangan proliferasi sel epitel. Dengan berjalannya waktu, faktor
stress menimbulkan penimbunan kelainan genetik yang dapat menyebabkan
degenerasi malignansi (karsinoma). Akhir-akhir ini telah diketahui bahwa sebagian
besar karsinoma lambung bersamaan dan sering didahului oleh fase displasia. Bila
ditemukan displasia pada sediaan biopsi, harus hati-hati kemungkinan adanya
karsinoma dan pasien mungkin berisiko tinggi berkembang menjadi karsinoma
lambung. Risiko ini paling banyak terjadi di Negara Asia dan Eropa dibandingkan
dengan Amerika Serikat.2,3,7

Morfologi displasia ditandai dengan meningkatnya proliferasi sel disertai


kelainan konfigurasi ukuran dan bentuk sel epitel yang beragam, inti membesar,
kromatin kasar dan hiperkromatik. Sekresi mucus berkurang atau tidak ada,
perbandingan inti dan sitoplasma meningkat (N/C ratio meningkat), kehilangan
polaritas sel, dan pseudostratifikasi. Jumlah mitosis meningkat, sebagian mitosis
atipik. Kelainan sel bersamaan dengan kelainan arsitektur kelenjar, berupa
percabangan dan ‘budding’. Displasia kadang-kadang sulit dibedakan dari hiperplasia
regeneratif. Ini merupakan tantangan untuk ahli patologi dalam membedakannya,
karena peningkatan proliferasi epitel dan gambaran mitotik dapat ditemukan pada
kedua keadaan ini.Sel epitel matur yang reaktif mencapai permukaan mukosa,
sementara lesi displasia secara sitologi masih imatur.1,2,3,4,7

Displasia lambung dapat dibagi atas tiga jenis: (1). Intestinal (adenomatous,
tipe-1), (2). Gastrik (foveolar, tipe-2); dan (3). Sub-tipe kombinasi (hybrid), yang
mempunyai perbedaan gambaran tampilan musin dan petanda lainnya. Banyak
system yang menunjukkan tingkatan displasia sub-tipe ini, sistem yang paling sering
digunakan adalah yang membaginya dalam dua kategori yaitu low grade dan high
grade. Displasia high grade dapat disinonimkan dengan karsinoma in-situ (CIS) dan

Universitas Sumatera Utara


25

harus dibedakan dari karsinoma intra-mukosa, dimana proses ini telah dijumpai
kerusakan pada basal membran. Konsep yang telah direkomendasikan bersamaan
oleh beberapa kelompok ahli patologi bahwa biopsi lambung dapat dikelompokan
dalam pelaporan menjadi kategori: (1). Negatif untuk displasia; (2). Indefinitr untuk
displasia; (3). Displasia low grade; (4). Displasia high grade atau karsinoma in-situ;
(5). Karsinoma intra mukosa; dan (6). Karsinoma invasif. 4,7,23

2.3. Tukak Peptik

Tukak peptik dapat terjadi pada semua tempat di saluran cerna yang terpapar
cairan asam lambung, namun yang paling sering adalah pada daerah antrum lambung
dan bagian pertama dari duodenum. Tukak duodenum paling sering dijumpai pada
pasien sirosis hati, penyakit paru obstruksi kronik, gagal ginjal kronik dan
hiperparatiroid. Pada gagal ginjal kronik dan hiperparatiroid, stress psikologi eksogen
mungkin meningkatkan produksi asam lambung. Tukak peptik juga dapat terjadi
pada esofagus yang menimbulkan GERD (gastro esophageal reflux disease) atau
sekresi asam yang dihasilkan oleh mukosa lambung yang ektopik. Mukosa lambung
yang terdapat pada divertikulun Meckel dapat menyebabkan tukak peptik pada
mukosa di sekitarnya.3,4,7,17,25

Tukak lambung bisa terjadi secara akut maupun kronik. Pada tukak lambung
akut, kerusakan mukosa lambung bersifat fokal dan merupakan komplikasi dari
pengobatan NSAIDs. Penyebab lainnya bias berupa stress psikologi berat.
Berdasarkan lokasi dan hubungan klinisnya, tukak lambung mempunyai penamaan
spesifik, seperti: (a). Tukak stress (stress ulcers), paling sering terjadi pada pasien
yang shok, sepsis, atau trauma berat; (b). Tukak Curling, tukak pada bagian
proksimal duodenum yang dihubungkan dengan luka bakar berat/trauma; (c). Tukak
Cushing, yaitu tukak yang terdapat pada lambung, duodenum maupun esofagus yang
timbul pada pasien dengan penyakit intra-kranial, tukak ini sering menimbulkan
perforasi.3 Patogenesis tukak akut sangat kompleks dan belum diketahui dengan

Universitas Sumatera Utara


26

jelas. Tukak yang dirangsang oleh penggunaan NSAID dihubungkan dengan inhibisi
cyclooxygenase. Pencegahan sintesis prostaglandin, yang meningkatkan sekresi
bikarbonat, inhibisi sekresi asam, merangsang sintesa musin, dan meningkatkan
perfusi pembuluh darah. Lesi dihubungkan dengan jejas intra-kranial diduga karena
rangsangan langsung terhadap inti vagal, yang menyebabkan sekresi yang berlebihan
dari asam lambung. Asidosis sistemik, sering ditemukan pada keadaan ini, mungkin
juga dapat menimbulkan jejas mukosa karena penurunan pH intra selular sel mukosa.
Hipoksia dan penurunan aliran darah disebabkan oleh vasokonstriksi splanchnic yang
dirangsang stress juga merupakan patogenesis tukak akut.3,7,17,21,25

Pada tukak lambung kronis, sebagian kasus tukak lambung dihubungkan


dengan gastritis antral dan gastritis fundal. Bila tukak peptik terjadi di duodenum,
biasanya bersamaan dengan gastritis yang hanya terbatas pada antrum. Hiperasiditas
lambung yang menimbulkan tukak peptik mungkin disebabkan oleh infeksi
Helicobacter pylori, hiperplasia sel parietal, respon sekretori yang berlebihan, atau
kegagalan mekanisme inhibisi rangsangan seperti pelepasan gastrin.3,7,17,21

Morfologi. Tukak peptik empat kali lebih sering dijumpai pada duodenum
proksimal dibandingkan lambung. Tukak duodenum biasanya terdapat beberapa cm
dari katup pilorik pada bagian dinding anterior duodenum. Tukak peptik terutama
berlokasi sepanjang kurvatura minor di dekat perbatasan korpus dan fundus. Lesi
tukak lambung lebih dalam daripada erosi, melewati lapisan mukosa. Tukak peptik
biasanya lebih dari 80% berbentuk soliter. Tukak peptik yang klasik bentuknya bulat,
pinggir tukaknya tegas Pada tukak akut, bentuk tukaknya bulat dan diameternya lebih
dari 1cm. Dasar tukak sering berwarna coklat hingga kehitaman karena asam
lambung yang bercampur dengan darah, disertai peradangan transmural dan serositis
lokal. Berbeda dengan tukak peptik yang timbul karena jejas kronik, pada tukak
stress akut dapat ditemukan pada berbagai tempat di lambung. Lipatan rugae
lambung masih dalam normal, bagian pinggir dan dasar tukak datar. Tukak bisa
soliter atau multipel pada lambung dan duodenum. Secara mikroskopis, tukak stress

Universitas Sumatera Utara


27

akut berbatas tegas, dengan mukosa di sekitarnya normal. Tergantung pada lamanya
tukak, mungkin dijumpai perdarahan dan reaksi peradangan pada mukosa dan sub-
mukosa. Berbeda dengan tukak peptik kronik, pada tukak stress akut tidak dijumpai
jaringan parut/skar maupun penebalan dinding pembuluh darah. Tukak dapat sembuh
sempurna dengan terjadinya re-epitelisasi setelah faktor penjejas hilang. Lamanya
massa penyembuhan bervariasi, bisa beberapa hari sampai beberapa minggu.3,4,5,7,17

Tukak peptik yang berdegenerasi menjadi ganas sangat jarang, dan hasil
pelaporan kemungkinan perubahan yang berasal dari tukak peptik jinak adalah sejak
awalnya tukak tersebut merupakan suatu tukak yang ganas.1,2,3,4,17

2.4. Kanker Lambung

Merupakan jenis keganasan yang paling sering ditemukan pada lambung (>
90% dari semua kanker di lambung). Gejala awal hampir sama dengan gastritis
kronik, berupa dispepsia, sulit menelan (dysphagia) dan mual. Tumor ini sering
ditemukan pada stadium lanjut, dengan keluhan menurunnya berat badan, anoreksia,
gangguan kebiasaan habit, anemia dan perdarahan yang memicu pemeriksaan
diagnosa selanjutnya.7 Insidennya menurun pada beberapa Negara seperti Amerika
Serikat dan Inggris, namun masih tetap tinggi pada Negara lainnya seperti Jepang,
Chili dan Itali. Peningkatan insidensi ini terbukti bahwa faktor genetik berperanan
penting karena 10% dari penyakit ini terdapat pada kelompok keluarga. Sebagian
besar pasien berumur di atas 50 tahun, namun juga pernah tercatat kasus-kasus pada
individu berusia muda dan anak-anak. Pada kasus yang dijumpai pada usia sangat
muda dan sangat tua, menunjukkan beberapa perbedaan klinikopatologi terhadap
kelompok umur insidensi yang umumnya terjadi.1,2,3,8,12,15

Patogenesis karsinoma lambung sporadik adalah multifaktorial yang


berhubungan erat terhadap faktor lingkungan maupun faktor host. Proses
karsinogenesis ini melibatkan progresifitas dari gastritis kronis menjadi atrofi dengan

Universitas Sumatera Utara


28

hipokhlorhidria/akhlorhidria, metaplasia intestinal, displasia, dan adenokarsinoma


(Gambara 2.9).8

Gambar 2.9. Perjalanan alamiah infeksi Helicobacter pylori.8

Karsinoma lambung biasanya berasal dari sel basal (sel generatif atau sel
punca) foveolar yang terdapat pada bagian leher kelenjar antral dan fundal, dengan
latar belakang gastritis kronik atrofi, metaplasia intestinal dan displasia, karsinoma
in-situ, dan karsinoma superfisial. Sebagian bisa berasal dari jaringan pankreatik
heterotropik atau pelapis epitel kista sub-mukosa pada dinding lambung, namun ini
sangat jarang. Riwayat hipokhlorhidria sebelumnya dapat dijumpai pada 85-90%
karsinoma lambung. Peningkatan pH di dalam lambung dapat merangsang
pertumbuhan bakteri yang menekan nitrat dalam makanan menjadi nitrit, selanjutnya

Universitas Sumatera Utara


29

mengkonversi amin di dalam nitrit menjadi komponen karsinogenik N-nitroso.


Gastritis kronik yang bersamaan dengan karsinoma sering dijumpai, namun
etiopatogenik hubungan antara keduanya dan risiko relatif untuk keganasan masih
diperdebatkan. Infeksi H. pylori yang kronis menimbulkan gastritis kronis yang
secara bertahap dapat mengakibatkan atrofi dan metaplasia intestinal. Keadaan ini
dapat meningkatkan risiko 4-9 kali lebih tinggi terutama bila infeksi dimulai sejak
usia anak-anak. Penekanan produksi asam yang kronis juga meningkatkan risiko
perkembangan gastritis atrofi pada pasien gastritis H. pylori. Risiko terjadinya
karsinoma lambung berhubungan dengan aspek virulensi H. pylori. Sitotoksin strain
gen A (CagA) H. pylori yang positif meningkatkan kadar Il-8, merangsang
peradangan dan meningkatkan risiko terjadinya kanker lambung.8,16,21,23,26

Namun pasien yang terinfeksi H. pylori sebagian besar tidak berkembang


menjadi kanker lambung, dan hanya 20% pasien kanker lambung mempunyai
seronegatif untuk H. pylori. Oleh sebab itu diperkirakan faktor lingkungan dan host
penting di dalam pathogenesis penyakit ini. Diet tinggi garam (ikan atau daging yang
dikeringkan atau diasinkan, kecap, ikan yang diasap, makanan yang diawetkan),
rendah kadar mikronutrisi, vitamin dan anti-oksidan membentuk agent genotoksik di
dalam lumen. Sebaliknya, diet tinggi sayuran segar, buah-buahan dan asam askorbik
menurunkan risiko terjadinya kanker lambung. Refluks asam empedu dihubungkan
dengan operasi ‘stump’ pada adenokarsinoma. Pada faktor host, polimorfisme gen
IL-1 untuk peradangan, yang berperan dalam terjadinya hipokhlorhidria dan atrofi,
meningkatkan risiko kanker lambung pada pasien yang terinfeksi H. pylori. Genotipe
IL-1 untuk peradangan ini mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko kanker
lambung tipe intestinal, namun tidak berhubungan dengan yang tipe difus. Kaskade
karsinogenesis lambung multistep dimulai dengan peradangan-metaplasia-karsinoma
dikenal sebagai kaskade Corea.1,8,16,21

Universitas Sumatera Utara


30

2.4.1. Lesi pre-kanker

Lesi pre-kanker pada lambung berupa atrofi mukosa dan metaplasia intestinal
serta displasia (atau adenoma kalau berupa lesi polipoid). Sebagian besar displasia
epitel lambung (adenoma) mempunyai fenotipe ‘intestinal’ yang mirip adenoma
kolon. Selain itu variant histologi lainnya yaitu displasia hiperplastik (tipe II) juga
mempunyai fenotipe ‘intestinal’. Displasia pada tubulus leher (atau globoid) diduga
merupakan prekursor kanker lambung jenis difus.1,3,4

2.4.2. Kanker dini lambung (KDL atau EGC/Early Gastric Cancer)

Kanker dini lambung didefinisikan sebagai adenokarsinoma invasinya


terbatas pada lapisan mukosa atau sub-mukosa, tanpa memperhatikan apakah sudah
terjadi metastasis ke KGB atau belum. Di Negara Barat KDL dijumpai sekitar 15-
20% yang terdiagnosa sebagai kasus baru KDL, sedangkan di Jepang sekitar lebih
dari 50% kasus baru. Peningkatan prevalensi kanker lambung, penggunaan endoskopi
saluran cerna bagian atas dan kromoendoskopi serta perbedaan kriteria diagnosa yang
menyebabkan perbedaan studi di Negara Barat dan Jepang ini.1,3,4,7

Demikian juga dengan displasia, sebagian besar KDL terdiagnosa pada umur
di atas 50 tahun, yang lebih muda dibandingkan adenokarsinoma lanjut,
mencerminkan bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk perkembangan KDL
menjadi kanker lanjut lambung (KLL). KDL berukuran 2-5cm, sering berlokasi pada
kurvatura minor di daerah sekitar angulus, dan 3-13% pasien menunjukkan lesi
primer yang berlokasi multipel dan mempunyai prognosa yang buruk. Berdasarkan
gambaran endoskopinya, KDL dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu: pertumbuhan yang
menonjol (tipe 1); pertumbuhan superfisial (tipe 2); dan pertumbuhan yang
membentuk tukak atau excavation (tipe 3). Tipe dapat dibagi lagi menjadi 2A
(meninggi); 2B (datar); dan 2C (melekuk ke dalam atau depressed). Gambaran
pertumbuhan tipe 2 yang paling banyak (80%) terutama tipe 2C. Gambaran

Universitas Sumatera Utara


31

endoskopi menunjukkan indikator jumlah metastasis ke KGB yang baik, terutama


yang KDL tipe 1A dan 2A.1,2,3,4,7

Gambaran mikroskopis variant KDL telah dilaporkan. KDL minute berukuran


kurang dari 5mm terbatas pada lapisan mukosa, namun 15% dari kasus ditemukan
meluas sampai ke lapisan sub-mukosa. Penyebaran superfisial KDL ditandai dengan
ukurannya yang lebar, daerah di sekitar tukak dengan sel-sel tumor yang menyebar
luas di mukosa. KDL pada umumnya berdiferensiasi baik, dengan variant tubuler
(52%) dan papillary (37%). Kadang-kadang ini sulit dibedakan dari displasia karena
minimalnya invasi ke jaringan sekitar. Karsinoma sel ‘signet ring’ dijumpai sekitar
26%) dan karsinoma berdiferensiasi buruk sekitar 14%, dan biasanya tipe-2C dan
tipe 3. KDL tipe difus cendrung menginvasi lebih dalam.3,4,5

Penanganan kasus KDL masih diperdebatkan, 63% KDL yang tidak


menjalani operasi berkembang menjadi karsinoma lanjut dalam waktu 6-88 bulan.
Dan pada pasien yang menjalani pembedahan, mempunyai prognosa yang lebih baik,
dengan angka harapan hidup 5 tahun lebih dari 90%. Bila ukuran lesi sangat kecil,
jarang berisiko invasif. Reseksi mukosa secara endoskopi (EMR/Endoscopic mucosal
resection) menjadi pilihan pengobatan untuk KDL, yang biasanya ditemukan dengan
USG endoskopi untuk staging. Kriteria utama KDL untuk penanganan EMR yaitu:
(1). Lesi menonjol (elevated) yang berdiameter kurang dari 2cm; (2). Lesi yang
berlekuk (depressed) tanpa tukak yang berdiameter kurang dari 1cm; dan (3). Belum
bermetastasis ke KGB.1,3,4,5

2.4.3. Karsinoma lanjut lambung (KDL/Advanced gastric carcinoma)

Karsinoma lanjut lambung didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi


dinding lambung melebihi lapisan sub-mukosa. Lebih sering dijumpai pada pria
daripada wanita, dengan perbandingan 2 : 1, pada dekade ke-5 hingga ke-7. Gejala
klinis berupa nyeri epigastrik, dispepsia, anemia dan berat badan menurun serta

Universitas Sumatera Utara


32

hematemesis dan gejala penyumbatan. Pada pasien usia muda, dapat terjadi
penyebaran intra-abdomen. Pada pasien wanita sel kanker difus dapat disertai
metastasis ke ovarium yang dikenal dengan Krukenberg’s tumors.3,4,5

Gambaran patologi KLL secara makroskopis dapat berupa pertumbuhan yang


eksofitik, tukak, infiltrasi atau kombinasi ketiganya. Kalsifikasi Borrman masih
digunakan secara luas dan membagi adenokarsinoma menjadi 4 jenis yaitu: (1).
Karsinoma polipoid (tipe 1); (2). Karsinoma fungating (tipe 2); (3). Karsinoma
ulserating (tipe 3); dan (4). Karsinoma infiltrasi difus atau linitis plastica. KLL tipe 2
ditemukan 36% dari semua karsinoma lambung, sering dijumpai pada daerah antrum
di kurvatura minor. Sedangkan tipe 1 dan 3 masing-masing hanya 25% dari semua
kasus dan sering berlokasi di korpus pada kurvatura mayor. Secara mikroskopis, KLL
mempunyai gambaran yang beragam baik sitologi maupun arsitekturnya. Sering
dijumpai gambaran yang bersamaan dari ke-4 tipe tersebut. Secara sitologi,
kombinasi jenis sel foveolar lambung, intestinal dan sel endokrin dapat ditemukan
pada semua bagian tumor. Untuk membedakan komponen sel dapat digunakan
pewarnaan histokimia musin dan imunohistokimia seperti MUC1, MUC2, MUC5AC,
MUC6, dan CD10).1,3,4,5

Adenokarinoma lambung dapat dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan klasifikasi


Lauran yaitu: tipe intestinal, difus dan undifferentiated. Sedangkan menurut WHO,
adenokarsinoma lambung juga mengenal 4 jenis lainnya yaitu adenoskuamus,
skuamus, karsinoma sel kecil dan variant morfologi lainnya, yang merupakan
tambahan terhadap klasifikasi Lauren.1,3,4,5

Universitas Sumatera Utara


33

2.5. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


34

Bab 3

Metode Penelitian

3.1. Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian pada penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik
dengan pendekatan secara cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sentra Diagnostik dan laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian


Penelitian ini dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2012, yang
meliputi pengumpulan data, pengumpulan sampel, penelitian, serta pengolahan data
dan hasil penelitian.

3.3. Subjek Penelitian


3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan
biopsi lambung yang didagnosa sebagai gastritis pada Sentra Diagnostik Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari jaringan biopsi
lambung yang sesuai dengan kriteria inklusi dan sesuai dengan besar sampel
penelitian.

Universitas Sumatera Utara


35

3.4. Jumlah sampel

Besar sampel dalam penelitian ini diperkirakan berdasarkan perhitungan dengan


menggunakan rumus uji hipotesis terhadap dua proporsi, sebagai berikut:

n = (Zα / 2PQ + Z / P1Q1 + P2Q2)2


(P1 – P2)2

Keterangan:
 n = besarsampel n1 = n2 = n3
 Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai α
yang ditentukan (untuk α = 0,05  Zα = 1,96)
 Z = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai 
yang ditentukan (untuk  = 0,10  Z = 1,282)
 P1 = proporsi penderita gastritis = 0,83  menurut salah satu penelitian
oleh Santacroce L.29
 Q1 = 1 – P1 = 1 – 0,83 = 0,17
 P2 = proporsi penderita lesi gastritis yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah 53% atau 0,53.
 Q2 = 1 – P2 = 1 – 0,53 = 0,47
 P = ½ (P1 + P2) = ½ (0,83 + 0,53) = 0,68
 Q = 1 - P = 1 – 0,68 = 0,32

Hasil perhitungan:
n = [ (1,96 / 2 (0,68)(0,32) + 1,282 / (0,83)(0,17) + (0,53)(0,47) ]2
(0,30)2
2
= [0,9114 + 0,79484]
(0,30)2
= 32,34  33 sampel minimal
Dalam penelitian ini sampel ditambah sebanyak 25% dari jumlah awal sehingga
menjadi 42 sampel.

Universitas Sumatera Utara


36

3.5. Kriteria Penelitian


3.5.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sediaan blok paraffin dari jaringan
biopsi lambung dengan slaid pewarnaan Hematoksilin Eosin yang terdiagnosa
sebagai gastritis.

3.5.2. Kriteria Eksklusi


1. Sediaan blok parafin yang terdiagnosa sebagai lesi pre-kanker (gastritis atrofi,
metaplasia intestinal, displasia) dan tukak lambung.
2. Sediaan blok parafin yang terdiagnosa sebagai karsinoma lambung.
3. Sediaan blok parafin yang rusak dan tidak dapat diproses lebih lanjut dengan
pulasan imunohistokimia Helicobacter pylori.

3.6. Kerangka Operasional

Slide biopsi lambung (pewarnaan HE) di Laboratorium


Patologi Anatomi FK-USU Medan

Pembacaan Ulang

Gastritis Lesi pre-kanker Karsinoma lambung


(gastritis atrofi, metaplasia
intestinal, displasia)

Potong Ulang blok parafin

Pewarnaan imunohistokimia
Pewarnaan histokimia Giemsa
Helicobacter pylori

Universitas Sumatera Utara


37

Keterangan:
= Kriteria eksklusi

3.7. Variabel Penelitian


Variabel yang diteliti di dalam penelitian ini adalah:
 Variabel independent (bebas) yaitu gastritis
 Variabel dependent (terikat) yaitu mikroorganisme Helicobacter pylori yang
terwarnai (ditemukan) dengan pewarnaan histokimia Giemsa maupun dengan
pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori.

3.8. Definisi operasional


 Gastritis adalah proses peradangan pada mukosa lambung. Terbagi atas gastritis
akut dan gastritis kronis.
 Gastritis akut merupakan proses peradangan mukosa yang bersifat sementara
yang mungkin tanpa disertai gejala atau dengan gejala berupa berbagai tingkat
nyeri di uluhati, mual dan muntah.
 Gastritis kronik dapat diklasifikasikan menjadi gastritis kronik superfisial dan
gastritis kronik atrofi. Pada gastritis kronik superfisial, sebukan sel-sel radang
terbatas pada daerah foveolar dan tidak dijumpai atrofi kelenjar. Kelainan epitel
bisa juga dijumpai, berupa penurunan jumlah musin sitoplasma, pembesaran inti
dan nukleoli, kadang-kadang terjadi peningkatan jumlah mitosis. Sedangkan
pada gastritis kronik atrofi, proses peradangannya lebih hebat dan bersamaan
dengan atrofi pada kelenjar. Gastritis fokal ditandai dengan sel-sel radang
limfosit dan histiosit (kadang bercampur dengan sel neutrofil) yang
berkelompok dan mengelilingi sebagian kelenjar.
 Lesi pre-kanker pada lambung berupa atrofi mukosa dan metaplasia intestinal
serta displasia (atau adenoma kalau berupa lesi polipoid).

Universitas Sumatera Utara


38

 Karsinoma lambung adalah keganasan pada lambung yang bias terbagi atas
karsinoma dini lambung dan karsinoma lanjut lambung.
 Kanker dini lambung didefinisikan sebagai adenokarsinoma invasinya terbatas
pada lapisan mukosa atau sub-mukosa, tanpa memperhatikan apakah sudah
terjadi metastasis ke KGB atau belum.
 Karsinoma lanjut lambung didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi
dinding lambung melebihi lapisan sub-mukosa.
 Pewarnaan histokimia Giemsa adalah pewarnaan dengan menggunakan larutan
Giemsa yang bertujuan untuk menemukan kuman Helicobacter pylori pada
yang dijumpai pada permukaan mukosa lambung berupa bentuk batang
melengkung yang terwarnai dengan warna basofilik.
 Pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori adalah pewarnaan
menggunakan antibodi Rabbit Polyclonal Human antibody Helicobacter pylori
(DAKO, pengenceran 1 : 100).

3.9. Cara Kerja


 Semua slaid yang berasal dari biopsi jaringan lambung yang telah didiagnosa
sebagai gastritis dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin.
 Dilakukan pembacaan ulang oleh dua orang ahli patologi bersamaan dengan
peneliti untuk menyingkirkan diagnosa lesi pre-kanker lambung (gastritis atrofi,
metaplasia intestinal, displasia lambung), tukak lambung maupun karsinoma
lambung.
 Kemudian dilakukan pemotongan ulang blok parafin sebanyak dua slaid untuk
dilanjutkan pewarnaan masing-masing dengan pewarnaan histokimia Giemsa
dan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori.

3.9.1. Cara pembuatan sediaan mikroskopis untuk pewarnaan histokimia Giemsa


Sediaan mikroskopis dibuat dengan cara sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


39

 Blok parafin yang telah dikumpulkan disimpan dalam freezer sampai cukup
dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan mnggunakan mikrotom dengan tebal
4μm. Setiap blok parafin dipotong ulang satu kali untuk persiapan pewarnaan
histokimia Giemsa.
 Sampel blok parafin yang sudah dipotong tipis (4μm) ditempelkan pada kaca
objek.
 Cara menempelkan potongan tipis pada kaca objek adalah menggunakan ujung
pisau atau pinset yang runcing. Potongan tipis dipisahkan dan diratakan dengan
memasukkannya ke dalam air hangat. Setelah mengembang, pindahkan ke atas
kaca objek. Selanjutnya, kaca objek diletakkan di atas alat pemanas (hot plate)
50-60oC. Setelah parafin melunak, kaca objek dikeringkan dan potongan
jaringan siap untuk dipulas.

3.9.2. Pulasan histokimia Giemsa


 Siapkan preparat berupa potongan tipis jaringan 4μm yang sudah ditempelkan
pada kaca objek.
 Deparafinisasi dengan mencelupkan preparat ke dalam cairan Xylol sebanyak 3
kali, masing-masing 5 menit.
 Rehidrasi dengan mencelupkan ke dalam Etanol 98% secara berturut-turut
sebanyak 3 kali, masing-masing dilakukan selama 5 menit, kemudian Alkohol
90%, 80% dan 70%, masing-masing selama 5 menit.
 Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
 Masukkan ke dalam larutan yenner selama10 menit
 Rendam ke dalam Aquadest selama 2 menit
 Masukkan ke dalam larutan Giemsa selama 10 menit
 Rendam ke dalam Aquadest selama 2 menit
 Keringkan / ditiris selama 5 menit
 Tipiskan warnanya dengan methanol 2-3 celup
 Rendam ke dalam Aquadest selama 2 menit

Universitas Sumatera Utara


40

 Keringkan / tiriskan
 Lakukan clearing dengan xylol dan tutup dengan entyline

3.9.3. Cara pembuatan sediaan mikroskopis untuk pewarnaan imunohistokimia


Helicobacter pylori.
 Blok parafin yang telah dikumpulkan disimpan dalam freezer sampai cukup
dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan mnggunakan mikrotom dengan tebal
4μm. Setiap blok parafin dipotong ulang satu kali untuk persiapan
imunohistokimia Helicobacter pylori.
 Sampel blok parafin yang sudah dipotong tipis (4μm) ditempelkan pada kaca
objek yang telah di coating dengan poly-L-Lysine atau Silanized slide agar dapat
menempel pada kaca objek selama proses pulasan imunohistokimia.
 Cara menempelkan potongan tipis pada kaca objek coated adalah menggunakan
ujung pisau atau pinset yang runcing. Potongan tipis dipisahkan dan diratakan
dengan memasukkannya ke dalam air hangat. Setelah mengembang, pindahkan
ke atas kaca objek. Selanjutnya, kaca objek diletakkan di atas alat pemanas (hot
plate) 50-60oC.
 Setelah parafin melunak, kaca objek dikeringkan dan potongan jaringan siap
untuk dipulas.

3.9.4. Prosedur sebelum pulasan antibodi primer


 Siapkan preparat berupa potongan tipis jaringan 4μm yang sudah ditempelkan
pada kaca objek silanized.
 Deparafinisasi dengan mencelupkan preparat ke dalam cairan Xylol sebanyak 3
kali, masing-masing 5 menit.
 Rehidrasi dengan mencelupkan ke dalam Etanol 98% secara berturut-turut
sebanyak 3 kali, masing-masing dilakukan selama 5 menit, kemudian Alkohol
90%, 80% dan 70%, masing-masing selama 5 menit.
 Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.

Universitas Sumatera Utara


41

 Blocking preparat dengan mencelupkannya ke dalam Endogen Peroxidase 0,5%


(Methanol + H2O2) selama 30 menit.
 Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
 Masukkan preparat ke dalam buffer sitrat dan dipanaskan ke dalam microwave:
o Cook I, power level 8, selama 5 menit.
o Cook II, power level 1, selama 5 menit.
 Dinginkan selama ± 30 menit dalam suhu ruangan.
 Bilas dalam cairan PBS pH 7,4 selama 3 menit dan keringkan air di sekitar
potongan jaringan.
 Tandai dengan Pap pen di sekeliling jaringan yang ingin dipulas.
 Blocking preparat dengan meneteskan normal horse serum 5% dan dibiarkan
selama 15 menit di dalam bak inkubasi.

3.9.5. Protokol pemulasan Helicobacter pylori dengan menggunakan The Envision +


Dual Link System dari Dako
 Bersihkan preparat dari Normal Horse Serum.
 Teteskan preparat dengan antibodi primer Helicobacter pylori dan dibiarkan
selama 60 menit dalam rak inkubasi.
 Cuci dengan PBS pH 7,4 selama 3 menit.
 Teteskan preparat dengan Dako REAL En Vision secukupnya dan dibiarkan
selama 30 menit dalam rak inkubasi.
 Cuci dalam PBS pH 7,4 + Tween 20.
 Teteskan preparat dengan DAB + substrat buffer (Dako) dan biarkan selama 2-5
menit.
 Bilas dengan air mengalir selama 10 menit.
 Counterstain preparat dengan pewarnaan Hematoksilin selama 1-2 menit.
 Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
 Masukkan preparat ke dalam larutan Lithium Carbonat jenuh (5% dalam
aquadest) selama 2 menit.

Universitas Sumatera Utara


42

 Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.


 Dehidrasi dengan cara mencelupkan preparat secara berurutan dalam Etanol
70%, 80%, 96%, dan Etanol absolute masing-masing selama 5 menit.
 Clearing dengan cara mencelupkan preparat ke dalam larutan Xylol sebanyak 3
kali, amsing-masing selama 5 menit.
 Lakukan mounting dan tutup dengan kaca penutup.

3.10. Alat dan Bahan Penelitian


3.10.1. Alat-alat penelitian
Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah mikrotom, waterbath, hot
plate, freezer, inkubator, staining jar, rak kaca objek, kaca objek, rak inkubasi, Pap
pen, pipet mikro, timbangan bahan kimia, kertas saring, pengukur waktu, gelas
Erlenmeyer, gelas beker, tabung sentrifuge, microwave, thermolyte stirrer, entelen
dan mikroskop cahaya.

3.10.2. Bahan penelitian


 Blok parafin yang telah terdiagnosa dengan pulasan Hematoksilin Eosin sebagai
gastritis.
 Pulasan histokimia Giemsa.
 Pulasan imunohistokimia menggunakan metode The En Vision + Dual Link
System kit, teknik pulasan imunohistokimia dua langkah.
 Antibodi yang digunakan adalah Rabbit Polyclonal Human antibody
Helicobacter pylori dengan pengenceran 1 : 100.
 Detection kit terdiri dari:
o 1 botol endogenous enzyme block
o 1 botol Normal Horse Serum 5%
o 1 botol Dako REAL En VISION
o 1 botol DAB + substrat chromogen
 Larutan Buffer sitrat

Universitas Sumatera Utara


43

 Larutan PBS pH 7,4 yang terdiri dari:


o Natrium chroride 80 gram
o Kalium chloride 2 gram
o Na2HPO4 11 gram
o KH2PO4 2 gram
o Tambahkan aquadest 1000 ml
 Larutan Tween 20
 Larutan DAB + substrat buffer (1ml larutan cukup untuk 10 jaringan)
o Langkah 1: masukkan 1ml aliquot substrat buffer secukupnya ke dalam
container (tergantung dari jumlah specimen yang akan dikerjakan).
o Langkah 2: untuk setiap 1ml buffer, tambahkan satu tetes (20μl) cairan
DAB + substrat chromogen dan campurkan segera.
 Larutan counterstain Mayers Hematoksilin
 Larutan Lithium karbonas (50 gram Lithium carbonas + aquadest 1000mL)
 Ethanol absolute 96%, 80%, dan 70%.
 Larutan Xylol.

3.11. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah hasil pulasan histokimia Giemsa dan
imunohistokimia Helicobacter pylori terhadap sampel sediaan jaringan biopsi
lambung. Penelitian dilakukan oleh dua ahli patologi tanpa mengetahui data klinis
pasien (blinded).

Untuk penilaian terhadap pulasan histokimia Giemsa adalah sebagai berikut:


 Skor 0 = Negatif (bila tidak terwarnai)
 Skor 1 = Positif (bila terwarnai warna biru tua pada mikroorganisme
Helicobacter pylori berupa batang halus yang terdapat di
permukaan foveolar mukosa lambung).

Universitas Sumatera Utara


44

Untuk penilaian terhadap pulasan imunohistokimia Helicobacter pylori adalah


sebagai berikut:
 Kontrol positif adalah menggunakan jaringan yang telah diketahui positif
terhadap Helicobacter pylori pada penelitian terdahulu.
 Kontrol negatif adalah menggunakan jaringan yang sama tanpa diberikan
antibodi primer.
 Hasil positif bila tertampil warna coklat pada membran sel mikroorganisme. Ini
terbagi atas penilaian terhadap:
o Tingkat pewarnaan, diberi skor:
 1 = warna coklat tertampil lemah dibandingkan dengan kontrol
 2 = warna coklat tertampil sedang dibandingkan dengan kontrol
 3 = warna coklat tertampil kuat dibandingkan dengan kontrol
o Luasnya tampilan warna coklat:
 1 = luas tampilan warna coklat < 25%
 2 = luas tampilan warna coklat 26-50%
 3 = luas tampilan warna coklat > 50%
o Intensitas pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori adalah hasil
perkalian antara skor tingkat pewarnaan dibandingkan dengan luas
tampilan, maka akan didapatkan hasil pewarnaan imunohistokimia
dengan skor:
 0 = negatif
 1 = 1 – 3 (intensitas lemah)
 2 = 4 – 6 (intensitas sedang)
 3 = 7 – 9 (intensitas kuat)

3.11. Analisa data

Dalam penelitian ini, analisa yang dilakukan adalah menggunakan uji Chi-square
untuk melihat perbedaan antara dua kelompok data. Apakah ada perbedaan
penemuan infeksi H. pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan histokimia Giemsa

Universitas Sumatera Utara


45

dibandingkan dengan pewarnaan imunohistokimia H. pylori. (α = 5%). Dan juga


untuk melihat tingkat sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan histokimia Giemsa
dengan imunohistokimia Helicobacter pylori.

Universitas Sumatera Utara


46

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan Januari sampai dengan Juni 2012. Subjek yang
digunakan adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan biopsi lambung
yang didiagnosa sebagai gastritis dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin pada
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan. Total 42 sampel yang memenuhi kriteria inklusi digunakan dan dimasukkan
sebagai sampel penelitian. Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian
ini berdasarkan jenis kelamin tertera pada tabel 4.1. berikut ini.

Tabel 4.1. Jumlah sampel gastritis yang digunakan dalam penelitian berdasarkan
jenis kelamin.
Jenis kelamin n %
Laki-laki 28 66,7
Perempuan 14 33,3
Total 42 100,0

Dari tabel 4.1. jumlah sampel yang berjenis kelamin laki-laki adalah 28 orang
(66,7%) sedangkan jumlah sampel yang perempuan adalah 14 orang (33,3 %).

Berdasarkan umur, distribusi umur dari sampel yang dimasukkan dalam


penelitian ini tertampil pada tabel 4.2.

Universitas Sumatera Utara


47

Tabel 4.2. Distribusi umur dari seluruh sampel gastritis yang digunakan dalam
penelitian.
Umur (tahun) n %
16 – 30 tahun 3 7,1
31 – 40 tahun 6 14,3
41 – 45 tahun 6 14,3
46 – 50 tahun 3 7,1
51 – 55 tahun 5 11,9
56 – 60 tahun 8 19,0
61 – 75 tahun 11 26,2
Total 42 100,0

Dari data distribusi yang digambarkan pada tabel 4.2., dijumpai kelompok
umur yang paling muda penderita gastritis adalah kelompok umur 16-30 tahun
dengan jumlah sampel sebanyak 3 kasus (7,1%), sedangkan umur yang paling tua
adalah kelompok umur 61-75 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 11 kasus
(26,2%). Distribusi umur penderita gastritis yang paling banyak adalah kelompok
umur 61-75 tahun, dengan jumlah sampel sebanyak 11 kasus (26,2%). Distribusi
umur yang median dari sampel penelitian ini adalah pada kelompok umur 51-55
tahun (11,9%). Angka rata-rata umur penderita adalah 51,05 tahun.

Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan


Giemsa ditunjukkan pada tabel 4.3.

Universitas Sumatera Utara


48

Tabel 4.3. Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan
pewarnaan histokimia Giemsa.

Pewarnaan histokimia Giemsa n %


Positif 20 47,6
Negatif 22 52,4
Total 42 100,0

Dari tabel 4.3. di atas, penemuan infeksi Helicobacter pylori dengan pewarnaan
Giemsa ditemukan hasil yang positif sebanyak 20 kasus (47,6%) dan hasil negatif
sebanyak 22 kasus (52,4%).

Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan


imunohistokimia Helicobacter pylori ditunjukkan pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang ditemukan dengan
pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori.

Pewarnaan imunohistokimia n %
Helicobacter pylori
Positif 32 76,2
Negatif 10 23,8
Total 42 100,0

Dari tabel 4.4. di atas, hasil penemuan Helicobacter pylori dengan pewarnaan
imunohistokimia Helicobacter pylori ditemukan hasil yang positif sebanyak 32 kasus
(76,2%) dan hasil negatif sebanyak 10 kasus (23,8%).

Universitas Sumatera Utara


49

Sensitifitas dan spesifisitas penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi


gastritis dengan pewarnaan histokimia Giemsa dibandingkan dengan pewarnaan
imunohistokimia Helicobacter pylori dengan uji Chi-square ditunjukkan pada tabel
4.5.

Tabel 4.5. Pengukuran sensitifitas dan spesifisitas pewarnaan histokimia Giemsa dan
imunohistokimia Helicobacter pylori dalam menemukan infeksi Helicobacter pylori
pada lesi gastritis dengan uji Chi-square.

Histokimia Giemsa p-
Pewarnaan Positif Negatif Total value
n % n % n %
Imunohisto Positif 20 47.6% 12 28.6% 32 76.2%
kimia 0,001
H. pylori Negatif 0 0% 10 23.8% 10 23.8%

20 47.6% 22 52.4% 42 100.0%


Total

Hasil tabel 4.5. ini menunjukkan p-value = 0,001 (p<0,05), maka H0 ditolak,
artinya ada perbedaan insidensi penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi
gastritis di lambung dengan pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia
Helicobacter pylori. Dan dari 42 sampel penelitian ditemukan sejumlah 20 sampel
yang menunjukkan hasil yang positif baik dengan pewarnaan histokimia Giemsa
maupun imunohistokimia Helicobacter pylori (Sensitifitas = 100%). Sedangkan dari
42 sampel penelitian, 10 sampel yang menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan
histokimia Giemsa yang negatif, ternyata juga menunjukkan hasil yang negatif
dengan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori. (Spesifisitas = 45,4%).

4.2. Pembahasan

Dari hasil penelitian ini, sampel penderita gastritis lebih banyak dijumpai pada
laki-laki dibandingkan terhadap wanita dengan perbandingan 2 : 1. Menurut

Universitas Sumatera Utara


50

kepustakaan insidensi gastritis bervariasi di seluruh dunia dan berhubungan dengan


5,6
letak geografi. Dari sampel penelitian insidensi gastritis berdasarkan umur lebih
banyak dijumpai pada kelompok usia lebih tua (di atas umur 61 tahun), ini
kemungkinan berhubungan dengan faktor daya tahan tubuh penderita. Sedangkan
sampel penderita gastritis berumur paling muda dijumpai pada umur 16 tahun, dan
dari hasil pemeriksaan dengan pewarnaan histokimia Giemsa maupun
imunohistokimia Helicobacter pylori pada pasien ini menunjukkan hasil yang positif
(lihat tabel 4.2 dan tabel data pasien di halaman lampiran 1). Dari kepustakaan
dinyatakan bahwa beberapa faktor risiko infeksi Helicobacter pylori pada lambung
bisa dijumpai sejak usia anak-anak, dan prevalensi pada orang dewasa berkisar < 15-
100%.terutama di Negara sedang berkembang yang disertai dengan sosioekonomi
yang rendah serta higenis yang masih buruk.

Penyebab gastritis kronik akibat infeksi Helicobacter pylori masih mempunyai


angka kejadian yang tinggi. Dan dari penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
infeksi Helicobacter pylori yang kronis dapat menimbulkan kelainan genetika yang
dapat merangsang perubahan sifat sel secara progresif dan juga terlibat dalam proses
karsinogenesis lambung yang multistep dan mempunyai prognosis yang jelek, maka
salah satu usaha pencegahan perkembangan kearah keganasan adalah dengan
menemukan infeksi Helicobacter pylori dapat dilakukan secara dini. Namun
penemuan mikroorganisme ini dari jaringan biopsi lambung kadang sulit
diidentifikasi secara pewarnaan HE. Oleh sebab itu dilakukan modifikasi penemuan
mikroorganisme dengan pewarnaan Giemsa. Dari hasil penelitian ini, sampel yang
ditemukan positif dengan pewarnaan histokimia Giemsa adalah sebanyak 20 kasus
(47,6%) sedangkan hasil negatif adalah 22 kasus (52,4%) (lihat tabel 4.3). Bila dilihat
dari hasil penelitian ini sebagian besar kasus gastritis dengan infeksi Helicobacter
pylori masih belum dapat teridentifikasi.

Sedangkan hasil pewarnaan dengan imunohistokimia Helicobacter pylori


(tabel 4.4), gastritis dengan infeksi Helicobacter pylori ditemukan positif pada 32

Universitas Sumatera Utara


51

kasus (76,2%) bila dibandingkan dengan hasil positif dengan pewarnaan histokimia
Giemsa terdapat 12 kasus yang masih terwarnai negatif.

Dari tabel 4.5. menunjukkan terdapat perbedaan insidensi penemuan infeksi


Helicobacter pylori pada lesi gastritis di lambung dengan pewarnaan histokimia
Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter pylori dengan p-value = 0,001 (p<0,05).
Dalam hal spesifisitas, pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori lebih
sensitive dalam menemukan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis
dibandingkan terhadap pewarnaan histokimia Giemsa, namun kedua pewarnaan ini
mempunyai sensitifitas yang sama. Namun bila dipertimbangkan dalam hal ‘cost
effective’, pewarnaan Giemsa tetap masih lebih ‘cost effective’ dibandingkan
terhadap pewarnaan imunohistokimia. Oleh sebab itu pemeriksaan dengan pewarnaan
Giemsa masih tetap dianjurkan untuk dipergunakan dalam mendiagnosa infeksi
Helicobacter pylori pada lesi gastritis.

Universitas Sumatera Utara


52

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian terhadap 42 sampel blok parafin yang berasal dari jaringan biopsi
lambung yang didiagnosa sebagai gastritis dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin
pada Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis di lambung dengan
pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter pylori secara
statistik terdapat perbedaan yang bermakna, dimana p-value = 0,001 (p<0,05).
2. Jumlah sampel penelitian lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 28 kasus
(66,7%) daripada perempuan sebanyak 14 orang (33,3 %).
3. Penderita gastritis yang yang paling muda penderita gastritis adalah kelompok
umur 16-30 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 3 kasus (7,1%) dan yang
paling tua adalah kelompok umur 61-75 tahun dengan jumlah sampel sebanyak
11 kasus (26,2%). Dengan distribusi umur median pada kelompok umur 51-55
tahun (11,9%), dan umur rata-rata (mean) penderita adalah 51,05 tahun.
Kelompok umur penderita yang terbanyak (modus) adalah pada kelompok umur
61-75 tahun, dengan jumlah sampel sebanyak 11 kasus (26,2%).
4. Penemuan infeksi Helicobacter pylori dengan pewarnaan Giemsa menunjukkan
hasil positif sebanyak 20 kasus (47,6%) dan hasil negatif sebanyak 22 kasus
(52,4%).
5. Penemuan Helicobacter pylori dengan pewarnaan imunohistokimia
Helicobacter pylori menunjukkan hasil yang positif sebanyak 32 kasus (76,2%)
dan hasil negatif sebanyak 10 kasus (23,8%).

Universitas Sumatera Utara


53

6. Pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter pylori


mempunyai nilai sensitifitas yang sama (sensitifitas = 100%) dimana sejumlah
20 sampel dari penelitian ini menunjukkan hasil yang positif pada kedua metode
pewarnaan ini.
7. Sedangkan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori mempunyai nilai
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pewarnaan histokimia
Giesma (spesifisittas = 45,4%), dimana 10 dari 42 sampel menunjukkan hasil
negatif pada pewarnaan histokimia Giemsa yang negatif, ternyata juga
menunjukkan hasil yang negatif dengan pewarnaan imunohistokimia
Helicobacter pylori.
8. Bila dilihat dari segi ‘cost effective’, pewarnaan histomikia Giemsa lebih ‘cost
effective’ dibandingkan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori
walaupun nilai spesifisitas pewarnaan Giemsa lebih rendah dibandingkan
pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori, namun sensitifitas pewarnaan
sama.

5.2. Saran

Dengan hasil penelitian ini, diharapkan:


1. Agar dapat menjadi bahan pertimbangan bagi klinisi maupun ahli Patologi agar
tetap menggunakan pewarnaan histokimia Giemsa dalam mendiagnosa jaringan
yang berasal dari lambung, mengingat:
a. Pemeriksaan ini lebih ‘cost effective’ dibandingkan pemeriksaan
imunohistokimia Helicobacter pylori.
b. Insidensi gastritis di Indonesia khususnya di kota Medan masih cukup
tinggi dan kemungkinan besar dapat dijumpai sejak umur yang masih
muda.
c. Membantu klinisi dalam menentukan penanganan dan prognosis
penderita

Universitas Sumatera Utara


54

2. Untuk mempertajam diagnosa dalam menemukan infekasi Helicobacter pylori


pada lesi gastritis di lambung, diharapkan metoda pewarnaan imunohistokimia
Helicobacter pylori dapat dijadikan salah satu panel pemeriksaan terhadap
jaringan biopsi yang berasal dari lambung.
3. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan agar dapat melakukan:
a. Penelitian dengan metode pewarnaan yang sama pada lesi lainnya di
lambung selain lesi gastritis (lesi pre-kanker dan kanker)
b. Melakukan penelitian ini, dan dilanjutkan penelitian terhadap sampel
yang sama setelah sampel mendapat penanganan terhadp eradikasi
infeksi Helicobacter pylori.

Universitas Sumatera Utara


REFERENSI

1. Kim WH. Epidemiology of gastric carcinoma. In: Tan D, Lauwers GY. Cagle
PT, Allen TC, editors. Advances in surgical pathology: Gastric cancer.
Lippincott Williams and Wilkins.2011;p.11-21.
2. Tumours of the stomach. In: Halminton RS, Aaltonen LA, Editors. WHO
Classification of tumours: Pathology and genetics. Tumours of the digestive
system. IARC Press: Lyon. 2006;p.37-67.
3. Turner JR. The Gastrointestinal Tract. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster
JC, editors. Pathologic basis of disease. 8th Ed. Saunders Elsevier.2010;p.768-
831.
4. Feniglio-Preiser CM, Noffsinger AE, Stemmermann GN, Lantz PE, Isaacson PG.
The non-neoplastic stomach. In: Gastrointestinal pathology, an atlas and text.
Lippincott Williams and Wilkins; 2010; p.153-232.
5. Mitros FA, Rubin E. The gastrointestinal tract. In: Rubin E, Raphael, Stayer,
David S, editors. Rubin’s Pathology: Clinicopathologic Foundations of
Medicine. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins.2008; p.550-617.
6. Kenneth EL. Clinical practice: Helicobacter pylori infection.
NEngl.J.Med.347(15); 2002,October 10. Downloaded from: nejm.org on October
7, 2011.[Cited 2011October 7]
7. Rosai J. Gastrointestinal tract. In: Rosai and Ackerman’s surgical pathology. 10th
Ed.Vol.1. Mosby Elsevier.; 2011; p.615-871.
8. Suerbaum S, Michetti P. Review article: Helicobacter pylori infection. Medical
progress. NEngl.J.Med.362(17); 2010,April 29. Downloaded from: nejm.org on
February 18, 2012. [Cited 2011 Oct 7)
9. Fenton HH, Lewin MR. Epithelial an lymphoid neoplasms of the stomach. In:
Goldblum JR, editors. Gastrointestinal and liver pathology. 2005;p.126-44.

xi

Universitas Sumatera Utara


10. Kierszenbaum AL. Upper digestive segment. In: Histology and cell biology: An
introduction to pathology. 2nd Ed.Mosby Elsevier.2007;p.429-56.
11. Noffsinger AE, Stemmermann GN, Lantz PE, Isaacson PG, editors. The non-
neoplastic stomach. In: Noffsinger AE, Stemmermann GN, Lantz PE, Isaacson
PG, editors. Gastrointestinal pathology. 3rd Ed. Lippincott Williams and
Wilkins.2008;p.135-231.
12. The neoplastic stomach. In: Noffsinger AE, Stemmermann GN, Lantz PE,
Isaacson PG. Gastrointestinal pathology. 3rd Ed. Lippincott Williams and
Wilkins.2008;p.233-73.
13. Stomach. In: Rosai J, Editors. Gastrointestinal tract.9th Ed. Vol
1.Mosby.2004;p.648-711.
14. Lash RH, Lauwers GY, Odze RD, Genta RM. Inflammatory disorders of the
stomach. In: Odze RD, Goldblum, Editors. Surgical pathology of the GI tract,
liver, biliary tract, and pancreas. 2nd Ed. Saunders Elsevier.2009; p.269-320.
15. Lauwers GY. Epithelial neoplasms of the stomach. In: Odze RD, Goldblum,
Editors. Surgical pathology of the GI tract, liver, biliary tract, and pancreas. 2nd
Ed. Saunders Elsevier.2009; p.563-96.
16. Toller IM, et al. Carcinogenic bacterial pathogen Helicobacter pylori triggers
DNA double-strand breaks and a DNA damage response in its host cells.
PNAS.2011;108(36): 14944-9. Avaiable at:
www.pnas.org/lookup/suppl/doi:10.1073/pnas.1100959108/-/DCSupplemental.
[cited 2012 February 23]
17. Shamsuddeen U, Yusha’u M, and Adamu IA. Helicobacter pylori: the causative
agent of peptic ulcer. Bajopas.2009;2(2):79-83. [cited 2011 July 10]
18. Helicobacter pylori. SDWF. Avaiable at: www.safewater.org. [cited 2011 July
10]

xii

Universitas Sumatera Utara


19. Ezyaguirre EJ, Walker DH, Zaki SR. Immunohistology of infectious diseases. In:
Dabbs DJ, Editor. Diagnostic immunohistochemistry: theranostic and genomic
applications. 3rd Ed.Saunders Elsevier.2010; p.58-82.
20. Krasinskas AM, Goldsmith JD. Immunohistology of the gastrointestinal tract. In:
Dabbs DJ, Editor. Diagnostic immunohistochemistry: theranostic and genomic
applications. 3rd Ed.Saunders Elsevier.2010;p.500-40.
21. Konturek JW. Discovery by Jaworski of helicobacter pyloriand its pathogenetic
role in peptic ulcer, gastritis and gastric cancer. Journal of physiology and
pharmacology 2003;54(S3): 23-41. Avaiable at: www.jpp.krakow.pl.[cited 2011
July 10]
22. Zhu S, et al. Alterations of gastric homeoprotein expression in Helicobacter
pylori infection, incisural antralisation, and intestinal metaplasia. Spinger.
DigDisSci 2009;54:996–1002. [cited 2011 May 12]
23. Hatakeyama M. Helicobacter pylori and gastric carcinogenesis. Spinger.
J.Gastroenterol.2009;44:239–248.[cited 2011 May 12]
24. Kusters JG, Vliet AHM, and Kuipers EJ. Pathogenesis of Helicobacter pylori
infection. Clin Microbiol Rev.2006;19(3):449–90. [cited 2011 July 10]
25. Li XB, Ge ZZ, Chen XY, and Liu WZ. Duodenal gastric metaplasia and
Helicobacter pylori infection in patients with diffuse nodular duodenitis. Braz J
Med Biol Res.2007;40(7):897-902. Avaiable at: www.bjournal.com.br. [cited
2011 July 7]
26. Sundquist M, and Quiding-Jarbrink M. Helicobacter pylori and its effect on
innate and adaptive immunity: new insights and vaccination strategies.
ExpertRev.Gastroenterol. Hepatol.2010;4(6):733-44. Avaiable at: www.expert-
reviews.com. Cited 2011 December 5].
27. Santacroce L. In: Katz J. Editor. Helicobacter Pylori Infection. Updated: Sep 22,
2011. Downloaded from: http://emedicine.medscape.com/article/176938-
overview#a0199.

xiii

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN – 1

Data sampel dalam penelitian

NO. No. Slide Sex Umur Asal Giemsa IHC


Jaringan Intensitas Luas IxL Skor
1 H.11.114 L 35 Gaster 0 0 0 0 0
2 H.11.115 P 42 Gaster 0 3 3 9 3
3 H.11.119 L 57 Gaster 1 1 3 3 1
4 H.11.126 P 56 Gaster 0 0 0 0 0
5 H.11.130 P 41 Gaster 1 1 1 1 1
6 H.11.131 P 58 Gaster 1 3 2 6 2
7 H.12.132 L 54 Gaster 1 3 2 6 2
8 H.11.133 L 64 Gaster 1 2 2 4 2
9 H.11.136 L 50 Gaster 0 2 2 4 2
10 H.11.144 P 16 Gaster 1 2 2 4 2
11 H.11.145 L 51 Gaster 0 3 2 6 2
12 H.11.147 P 48 Gaster 0 0 0 0 0
13 H.12.161 L 42 Gaster 1 3 3 6 2
14 H.11.163 L 31 Gaster 0 0 0 0 0
15 H.11.202 L 60 Gaster 1 1 1 1 1
16 H.11.209 L 48 Antrum 0 2 3 6 2
17 H.11.212 L 56 Gaster 0 2 3 6 2
18 H.11.218 L 61 Gaster 0 3 3 9 3
19 H.11.251 L 44 Gaster 0 3 3 9 3
20 H.11.299 L 54 Gaster 1 1 1 1 1
21 H.12.011 P 68 Gaster 0 3 3 9 3
22 H.12.061 L 58 Gaster 0 0 0 0 0
23 H.12.065 L 26 Gaster 0 2 3 6 2
24 H.12.079 L 42 Gaster 1 3 3 9 3
25 H.12.097 L 62 Gaster 0 2 2 4 2
26 H.12.118 L 25 Gaster 0 0 0 0 0
27 H.12.119 P 33 Gaster 1 2 3 6 2
28 H.12.132 P 58 Gaster 0 1 1 1 1
31 H.12.117 P 38 Gaster 1 2 2 4 2
32 H.12.129 L 65 Gaster 0 0 0 0 0
33 H.12.138 P 31 Gaster 1 1 1 1 1
34 H.12.144 L 54 Gaster 1 1 2 2 1
35 H.12.171 L 71 Gaster 0 0 0 0 0
36 H.12.180 L 62 Gaster 0 1 1 1 1
37 H.12.181 P 58 Gaster 1 2 2 4 2
38 H.12.182 P 67 Gaster 1 2 3 6 2
39 H.12.184 L 70 Gaster 0 0 0 0 0
40 H.12.207 L 54 Gaster 1 1 2 2 1
41 H.11.291 L 44 Gaster 0 0 0 0 0
42 H.11.306 L 40 Gaster 1 3 3 9 3
43 H.11.150 P 75 Gaster 1 3 3 9 3
44 H.11.125 L 75 Gaster 1 3 3 9 3

i|Lampiran

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 2

Pengolahan data dengan menggunakan SPSS 17.0

Frequencies

Jenis Kelamin
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Laki-laki 28 66.7 66.7 66.7
Valid Perempuan 14 33.3 33.3 100.0
Total 42 100.0 100.0

Umur
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
16-30 tahun 3 7.1 7.1 7.1
31-40 tahun 6 14.3 14.3 21.4

Valid 41-45 tahun 6 14.3 14.3 35.7


46-50 tahun 3 7.1 7.1 42.9
51-55 tahun 5 11.9 11.9 54.8
56-60 tahun 8 19.0 19.0 73.8
61-75 tahun 11 26.2 26.2 100.0
Total 42 100.0 100.0

Descriptives variables = umur /statistics = mean std dev. min max.

Descriptives

Descriptive Statistics
n Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur 42 16 75 51.05 14.159
Valid n (list wise) 42

ii | L a m p i r a n

Universitas Sumatera Utara


Frequencies

Pewarnaan Giemsa
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Negatif 22 52.4 52.4 52.4
Valid Positif 20 47.6 47.6 100.0
Total 42 100.0 100.0

Pewarnaan Imunohistokimia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Negatif 10 23.8 23.8 23.8
Valid Positif 32 76.2 76.2 100.0
Total 42 100.0 100.0

Pewarnaan Imunohistokimia
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Negatif 10 23.8 23.8 23.8
Positif Ringan 9 21.4 21.4 45.2
Valid
Positif Sedang 15 35.7 35.7 81.0
Positif Berat 8 19.0 19.0 100.0
Total 42 100.0 100.0

iii | L a m p i r a n

Universitas Sumatera Utara


Crosstabs

IHC * Giemsa Cross tabulation


Giemsa
Positif Negatif Total
IHC Positif Count 20 12 32
% of Total 47.6% 28.6% 76.2%
Negatif Count 0 10 10
% of Total 0% 23.8% 23.8%
Total Count 20 22 42
% of Total 47.6% 52.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 11.932a 1 .001


Continuity Correctionb 9.558 1 .002
Likelihood Ratio 15.789 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .000
Linear-by-Linear 11.648 1 .001
Association
N of Valid Cases 42

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 4.76.
b. Computed only for a 2x2 table

iv | L a m p i r a n

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 3

Gambaran mikroskopis pewarnaan histokimia Giemsa dan pewarnaan


imunohistokimia Helicobacter pylori.

A B

Gambar 1. Pewarnaan histokimia Giemsa. A. Menunjukkan hasil yang negatif


(Giemsa, 40x); B. Positif dengan pewarnaan histokimia Giemsa (100x)

A B

Gambar 2. Pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori. A. Memberi hasil


yang negatif (1000x); dan B. Menunjukkan hasil pewarnaan yang positif (1000x).

v|Lampiran

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai