TESIS
Oleh:
BETTY
117041094
TESIS
Oleh:
BETTY
117041094
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH
Puji dan syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
ridho dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul
“Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang didiagnosa dengan Pewarnaan
Histokimia Giemsa dan Imunohistokimia Helicobacter pylori di Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran USU Medan” yang merupakan salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Strata dua (S2) pada Program Pendidikan
Magister Klinik di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.
Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan
doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini ucapan terimakasih saya sampaikan
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc.(CTM), Sp.A(K)., selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp. PD. KGEH., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Prof. DR. Dr. Chairuddin P. Lubis, Sp.A(K), selaku Ketua Program Studi
Magister Klinik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. H. Joko S. Lukito, Sp.PA, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan
pemikiran di tengah-tengah kesibukan beliau dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Bapak Dr. H. Soekimin, Sp.PA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selalu
sabar dalam membimbing, memberikan masukan dan dukungan dalam
menyelesaikan tesis ini.
8. Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes selaku pembimbing statistik yang telah dengan sabar
memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis ini dan pengolahan data statistik yang
ada
10. Terima kasih yang tulus saya persembahkan kepada ibunda terkasih Murniaty,
ibu mertua saya Lina, dan suami yang tercinta Andy, SE., MBA., serta ke-2
putra putri yang saya sayangi Ericko Govardi dan Steffie Goviani yang
merupakan sumber inspirasi, sehingga penulis dapat menyelesaikantesis ini.
11. Kepada semua pihak yang penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu,
semoga apa yang diberikan mendapat balas dari Tuhan Yang Maha Esa.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan dapat menambah wawasan serta menciptakan ide untuk penelitian selajutnya.
Penulis,
Betty
ii
Betty
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
ABSTRAK
Latar belakang: Infeksi Helicobacter pylori, sekarang dianggap sebagai penyebab
utama gastritis antral aktif dan banyak penelitian yang menguhbungkan mikroba ini
sebagai etiologi tukak duodenum dan kanker lambung.
Metode: Sediaan histologi dari 42 biopsi lambung pasien diwarnai dengan dua metode
pewarnaan (histokimia Giemsa dan anti-H pylori antibody immunostain /
imunohistokimia H. pylori) dan dinilai secara „blinded‟dan secara terpisah oleh dua
orang pemeriksa.
Hasil: Ada 42 kasus yang dimasukkan dalam penelitian ini yang berumur anatara 16-75
tahun (umur rata-rata 51,05). Dua puluh delapan diantaranya adalah laki-laki,
sedangakan wanita 14 orang, dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2 :
1. Dua puluh kasus dengan Helicobacter pylori tertapil dengn kedua tehnik pewarnaan,
dan sepuluh kasus tidak teridentifikasi pada kedua metode pewarnaan ini, baik dengan
pewarnaan histokimia Giemsa, maupun anti-H pylori antibody immunostain or
immunohistokimia H. pylori. Dari ke-42 kasus ini, 12 kasus diantaranya menunjukkan
hasil yang negatif dengan pewarnaan histokimia Giemsa, namun pada pewarnaan
immunohistokimia H. pylori menunjukkan hasil yang positif. Kedua pemeriksa
menyetujui bahwa metode pewarnaan imunohistokimia H. pylori (76,2%) lebih baik
dibandingkan pewarnaan histokimia Giemsa (47,6%). Sensitifitas dari kedua metode
pewarnaan adalah 100%, sementara spesifisitas imunohistokimia H. pylori 45,4%.
iii
Methods: Histological sections from 42 gastric biopsies from patients were stained with
the two stainning methods (histochemical Giemsa and anti-H pylori antibody
immunostain or immunohistochemical H. pylori) and these were assessed blindly and
independently by two observers.
Results: The 42 cases recruited in this study were aged between 16 and 75 (mean age of
51,05). There were 28 males and 14 females giving a male to female sex ratio of 2 : 1.
Twenty cases of Helicobacter pylori were demonstrated by both techniques and ten
cases are not identified by the two staining methods. Of the 42 cases, 12 cases
histochemistry stain could not demonstrate the bacteria, but they were identified with
anti-H pylori antibody immunostain. And the remaining 12 cases had result negative in
histochemical Giemsa, but positive in immunohistochemical H. pylori stain.
Interobserver agreement was the immunohistochemical H. pylori or antibody method
(76,2%) better than Giemsa (47,6%). The sensitivity of the both staining methods was
100%, while the specificity of immunohistochemistry H. pylori was 45,4%.
Conclusions: When H pylori are present, careful examination will almost always reveal
them, whichever of these stains is used. However, the Giemsa stain is the method of
choice because it is sensitive, cheap and easy to perform.
iv
RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. SD Methodist Binjai – tahun 1974 - 1980
2. SMP Methodist Binjai – tahun 1980 - 1983
3. SMA Methodist Binjai – tahun 1983 - 1986
4. Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan – tahun 1986 -
1994.
5. Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara – tahun 2004 - 2008.
6. Pendidikan Program Magister Kedokteran Klinis Universitas Sumatera Utara
Medan tahun 2011 – 2012.
RIWAYAT PEKERJAAN :
1995 – 1998 : Dokter PTT di RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai
1997 – 2008 : Praktek Dokter Umum
1999 – 2007 : Praktek dokter PNS di Puskesmas Tanah Tinggi Kota Binjai
2008 – sekarang : Staf Pengajar Dept. Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2008 – sekarang : Praktek Dokter Spesialis PA.
2011 – sekarang : Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Anatomi
FK-USU Medan
Halaman
vi
vii
Gambar Halaman
viii
Tabel Halaman
ix
Bab 1
Pendahuluan
Di Jepang, Chili, Costa Rica dan Eropa bagian Timur, insidensinya meningkat
hingga lebih dari 20 kali dibandingkan Amerika Utara, Eropa bagian Utara, Afrika dan
Asia Tenggara. Program skrining endoskopik terhadap massa telah berhasil
menurunkan insidensi yang tinggi seperti di Negara Jepang, dimana hampir 35% kasus
baru terdeteksi sebagai kanker dini lambung, dimana pertumbuhan tumor masih
terbatas pada lapisan mukosa dan sub-mukosa lambung. Namun, program skrining ini
membutuhkan biaya yang tinggi sehingga bukan merupakan ‘cost-effective’ pada
daerah dengan insidensi rendah, dan kasus yang terdeteksi sebagai kanker dini
lambung hanya di bawah 20% seperti Amerika Utara dan Eropa bagian Utara.
Walaupun perbedaan penurunan angka mortalitas pada berbagai daerah belum jelas,
namun penurunan insiden kanker lambung yang telah dilaporkan pada berbagai Negara
bagian Barat lainnya, menyokong bahwa faktor lingkungan dan diet ikut berperan
dalam perkembangan kanker lambung.1,3,8
Sejak ditemukannya Helicobacter pylori oleh Dr. Warren dan Marshall pada tahun
1983, telah terjadi perubahan di dunia kedokteran terutama dalam bidang
gastroenterologi.2,4,5,6,9 Infeksi Helicobacter pylori, dengan berbagai keragaman
insidensi terjadi di seluruh dunia. Prevalensi pada orang dewasa berkisar < 15-100%
pada daerah yang sedang berkembang, dan pada umumnya menginfeksi pada usia yang
lebih muda dibandingkan Negara yang sudah berkembang. Ini berhubungan dengan
status sosioekonomi yang rendah.4 Infeksi Helicobacter pylori, merupakan ko-faktor
yang penting dalam perkembangan kelainan saluran pencernaan bagian atas seperti
tukak duodenum maupun lambung (1-2% dari pasien yang terinfeksi), infeksi
Helicobacter pylori juga dapat merangsang terjadinya perubahan fenotip yang
mengawali perkembangan kanker lambung (0,1-3%) serta MALT-oma lambung
(Gastric mucosa-associated lymphoid-tissue lymphoma, <0,01%).5,6
Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dilaporkan bahwa pasien yang
terdapat antibodi anti-Helicobacter pylori di dalam serumnya selama lebih dari 10
tahun berisiko menderita kanker lambung. Helicobacter pylori merupakan patogen
lambung yang penting di dalam berbagai langkah kaskade karsinogenik. Proses pre-
kanker yang panjang, seperti gastritis kronik-gastritis atrofi yang multifokal-metaplasia
intestinal dan neoplasia intra-epitel dibutuhkan dalam perkembangan kanker lambung.
Secara epidemiologi telah terbukti bahwa perkembangan kanker lambung
adenokarsinoma mempunyai hubungan yang penting terhadap infeksi Helicobacter
pylori.2
Ada perbedaan insidensi penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis di
lambung dengan pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter
pylori.
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.1. Lambung
2.1.1. Anatomi
Lambung merupakan organ yang berbentuk kantong seperti huruf ‘J’, dengan
volume 1200-1500ml pada saat berdilatasi. Pada bagian superior, lambung berbatasan
dengan bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan
duodenum. Lambung terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke hipokhondrium
kiri. Kecembungan lambung yang meluas ke gastroesofageal junction disebut
kurvatura mayor. Kelengkungan lambung bagian kanan disebut kurvatura minor,
dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Seluruh organ lambung terdapat di
dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh omentum.5
Secara anatomik, lambung terbagi atas 5 daerah (gambar 2.1.) yaitu: (1). Kardia,
daerah yang kecil terdapat pada bagian superior di dekat gastroesofageal junction; (2).
Fundus, bagian berbentuk kubah yang berlokasi pada bagian kiri dari kardia dan
meluas ke superior melebihi tinggi gastroesofageal junction; (3). Korpus, merupakan
2/3 bagian dari lambung dan berada di bawah fundus sampai ke bagian paling bawah
yang melengkung ke kanan membentuk huruf ‘J’; (4). Antrum pilori, adalah bagian
1/3 bagian distal dari lambung. Keberadaannya secara horizontal meluas dari korpus
hingga ke sphincter pilori; dan (5). Sphincter pilori, merupakan bagian tubulus yang
paling distal dari lambung. Bagian ini secara kelesulurhan dikelilingi oleh lapisan otot
yang tebal dan berfungsi untuk mengontrol lewatnya makanan ke duodenum.
Permukaan fundus dan korpus banyak dijumpai lipatan rugae lambung. Pembuluh
darah yang mensuplai lambung merupakan percabangan dari arteri celiac, hepatik dan
splenik. Aliran pembuluh vena lambung dapat secara langsung masuk ke sistem portal
atau secara tidak langsung melalui vena splenik dan vena mesenterika superior. Nervus
vagus mensuplai persyarafan parasimpatik ke lambung dan pleksus celiac merupakan
inervasi simpatik. Banyak ditemukan pleksus saluran limfatik dan kelenjar getah
bening lainnya. Drainase pembuluh limfe di lambung terbagi atas empat daerah yaitu:
(1). Kardia dan sebagian kurvatura minor ke kelenjar getah bening gastrik kiri; (2).
Pilorik dan kurvatura minor distal ke kelenjar getah bening gastrik dan hepatik kanan;
(3). Bagian proksimal kurvatura mayor ke kelenjar limfe pankreatikosplenik di hilum
splenik; serta (4). Bagian distal kurvatura mayor ke kelenjar getah bening
gastroepiploik di omentum mayor dan kelenjar getah bening pilorik di kaput
pankreas.3,5,10
2.1.2. Histologi
Dinding lambung terdiri dari empat lapisan yaitu lapisan mukosa, sub-mukosa,
muskularis eksterna (propria) dan serosa. Permukaan mukosa dilapisi oleh sel epitel
kolumnar penghasil mukus dan meluas ke sebagian foveolar atau pit. Lapisan
mukosa terbagi atas dua lapisan yaitu lamina propria dan lapisan muskularis mukosa.
Pada lapisan muskularis mukosa, terdapat lapisan otot sirkuler pada bagian dalam
dan lapisan otot longitudinal pada bagian luarnya. Otot-otot ini berkelanjutan
membentuk kelompokan kecil (fascicle) otot polos yang tipis menuju ke bagian
dalam lamina propria hingga ke permukaan epitel. Pada lapisan sub-mukosa,
jaringannya longgar dan mengandung sejumlah jaringan ikat elastik, terdapat pleksus
arteri, vena, pembuluh limfe dan pleksus nervus Meissner. Muskularis eksterna
terdiri dari tiga lapisan yaitu longitudinal luar (outer longitudinal), sirkuler dalam
(inner sirkuler) dan oblik yang paling dalam (innermost oblique). Lapisan sirkuler
sphincter pilorik pada gastroesofageal junction. Pleksus Auerbach (myenteric)
berlokasi pada daerah di antara lapisan sirkular dan longitudinal dari muskularis
eksterna. Semua kelenjar lambung mempunyai dua komponen yaitu bagian foveola
(kripta, pit) dan bagian sekresi (kelenjar). Mukosa lambung secara histologi terbagi
atas 3 jenis yaitu kardiak, fundus dan pilorik (antral), dengan daerah peralihan di
antaranya. Perbedaan berbagai jenis mukosa lambung tergantung pada perbandingan
relatif antara bagian foveolar dengan bagian sekresi, serta komposisinya secara
mikroskopik (Gambar 2.2). Kelenjar kardiak dan pilorik mempunyai kemiripan yaitu
perbandingan antara foveola terhadap kelenjar yang mensekresi mukus adalah satu
berbanding satu. Yang membedakan keduanya adalah jarak antar kelenjar di daerah
kardiak berjauhan, kadang dijumpai lumen kelenjar yang berdilatasi kistik.
Sedangkan kelenjar pada daerah pilorik mempunyai pelapis epitel dengan sitoplasma
sel yang ‘bubly’, bervakuola, bergranul dan ‘glassy’. Sub-nukleus vakuolisasi sel
mukus kadang-kadang dapat ditemukan, keadaan ini kadang-kadang salah
diinterpretasi sebagai metaplasia. Sedangkan sitoplasma sel pada daerah pilorik yang
‘glassy’ dan berkelompok dapat salah diinterpretasi sebagai adenokarsinoma ‘signet
ring cell’. Sel bersilia yang kadang-kadang dijumpai pada daerah pilorik, dan lebih
sering dijumpai pada orang Jepang, keadaan ini kadang kala dianggap sebagai suatu
metaplasia. Kelenjar fundik (oxyntic, acidopeptic) ditandai dengan bagian foveolar
hanya ¼ dari ketebalan mukosa, kelenjarnya cendrung lebih lurus dan terdiri dari
sebaran sel chief, sel parietal (penghasil asam), sel endokrin dan sel mukosa leher.3,4,5
Gambar 2.2. Diagram dari empat daerah anatomi dan tiga daerah histologik lambung.
Ketebalan gastrik pit (merah) dan bagian kelenjar berbeda pada berbagai daerah di
lambung. Warna pada kelenjar sesuai dengan warna pada daerah anatomik lambung.
Histologi kelenjar dibedakan atas warna merah muda, hijau, dan biru. Gastrik pit yang
seragam berwarna merah pada seluruh bagian lambung.4,10
Secara imunohistokimia dan in situ hybridization menunjukkan sel chief dan sel
mukosa leher menghasilkan pepsinogen I (namun pada daerah pilorik menghasilkan
pepsinogen II). Musin yang dihasilkan oleh mukosa lambung hampir semuanya
adalah jenis netral dan positif dengan pewarnaan PAS, namun negatif pada
pewarnaan Alcian blue dan Mayer’s mucicarmine. Sedangkan sel mukosa leher yang
normal dapat menghasilkan sialomusin dan sulfomusin dalam jumlah yang sedikit.
Pada pemeriksaan imunohistokimia sel epitel foveolar menampilkan MUC1 dan
2.2. Gastritis
Gambar 2.3. Mekanisme jejas dan pertahanan pada lambung. Ilustrasi diagram
perkembangan dari jejas ringan hingga terbentuk tukak disertai gastritis akut dan
kronik. Tukak terdiri dari lapisan nekrosis (N), inflamasi (I), dan jaringan
granulasi (G), namun jaringan parut/skar (S), membutuhkan waktu dan hanya
terdapat pada lesi yang kronis.3
Insidensi dan riwayat alami gastritis kronik telah diketahui dan tersistematis
dengan jelas menggunakan biopsi jaringan secara endoskopi. Keluhan pada gastritis
kronis tidak begitu hebat, namun keluhannya dapat menetap dalam waktu yang lama.
Keluhan yang timbul berupa mual dan rasa tidak enak pada perut bagian atas, kadang
disertai muntah dan hematemesis. Penyebab gastritis kronik yang paling sering
adalah infeksi Helicobacter pylori.3,24,26 Ada dua gambaran utama penyakit ini yaitu
sebukan sel-sel radang pada lamina dan atrofi epitel kelenjar. Sel-sel plasma dan
limfosit (kadang-kadang dengan pembentukan folikel) merupakan sel yang prominen
dijumpai di antara sel-sel radang tersebut, namun juga dapat dijumpai sel eosinofil
serta neutrofil. Gastritis kronik dapat diklasifikasikan menjadi gastritis kronik
superfisial dan gastritis kronik atrofi. Pada gastritis kronik superfisial, sebukan sel-
sel radang terbatas pada daerah foveolar dan tidak dijumpai atrofi kelenjar. Kelainan
epitel bisa juga dijumpai, berupa penurunan jumlah musin sitoplasma, pembesaran
inti dan nukleoli, kadang-kadang terjadi peningkatan jumlah mitosis. Sedangkan pada
gastritis kronik atrofi, proses peradangannya lebih hebat dan bersamaan dengan atrofi
pada kelenjar. Gastritis fokal ditandai dengan sel-sel radang limfosit dan histiosit
(kadang bercampur dengan sel neutrofil) yang berkelompok dan mengelilingi
sebagian kelenjar, ini diduga merupakan petanda penyakit IBD (inflammatory bowel
disease), namun pada sebagian studi lainnya masih belum terdapat konfirmasi tentang
hal ini.1,3,4,5,7
Gastritis kronik dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu: (1). Tipe-A (tipe imun); dan (2).
Tipe-B (tipe non-imun). Kedua jenis gastritis ini mempunyai kemiripan dalam
gambaran histologi, namun patogenesisnya berbeda. Gastritis tipe-A (tipe imun) ini,
lebih jarang dijumpai. Pada umumnya terdapat di daerah fundus dan meluas difus
hingga ke daerah antrum, ditandai dengan hiperplasia neuroendokrin, berhubungan
dengan antibodi terhadap sel parietal, hipokhlorhidria atau akhlorhidria dan kadar
serum gastrin yang tinggi. Sub-unit α dan dari pompa proton lambung
teridentifikasi sebagai target molekular utama penyakit autoimun ini, yang
menimbulkan anemia pernisiosa. Varian dari kelainan ini berupa pan-gastritis atrofi
autoimun, yang dapat mengenai antral dan fundus, namun tidak terdapat hiperplasia
neuroendokrin. Sedangkan gastritis tipe-B (jenis non-imun), lebih sering dijumpai,
proses penyakitnya dimulai dari daerah antrum, dan berkembang kearah proksimal
hingga ke perbatasan fundik-pilorik secara bertahap. Pada beberapa kepustakaan,
gastritis tipe-B (non-imun) dikalsifikasikan menjadi: (1). Gastritis hipersekresi, yang
terbatas pada daerah antrum, yang dihubungkan dengan keadaan hiperkhlorhidria dan
tukak peptik duodenum; dan (2). Gastritis lingkungan (environmental), yang
melibatkan daerah antrum dan fundus yang awalnya berupa lesi bercak-bercak,
kemudian tersebar difus.7,8,14
Patogenesis gastritis kronik tipe-B adalah kompleks dan beragam. Faktor risiko
terjadinya gastritis tipe ini adalah berhubungan dengan alkohol, tembakau, refluks
duodenum (refluks gastritis), alergi makanan, dan berbagai jenis obat (terutama obat-
obatt anti- inflamasi). Selain berbagai risiko yang multifaktorial ini berperanan dalam
gastritis kronis tipe-B (dan penyakit lambung lainnya, seperti tukak peptik,
karsinoma dan limfoma), yang harus menjadi perhatian juga adalah infeksi H.
pylori.1,3,11
Helicobacter pylori
Genom H. pylori (1,65 juta pasangan basa) mengkode sekitar 1500 protein. Di
antara semua genom tersebut, ada dua proyek sekuensi gen H. pylori yang telah
ditemukan berupa satu keluarga besar dari 32 protein yang berhubungan dengan
protein membran bagian luar (Hop proteins) yaitu adhesi H. pylori dan berbagai gen
yang dapat men-switched on dan men-switched off dengan mutagenesis yang
diperantarai oleh kesalahan pasangan slippedstrand. Protein yang dikode oleh
beragam fase termasuk enzim yang memodifikasi struktur molekul permukaan
antigen, mengontrol masuknya DNA asing ke dalam bakteri dan peningkatan
pergerakan bakteri. Perubahan genom H. pylori berlangsung terus menerus selama
kolonisasi kronik dari individu host dengan mengirim potongan kecil DNA asing dari
strains H. pylori yang lain selama infeksi menetap maupun sementara.6,8,16
H. pylori dapat melekat erat pada sel epitel dengan komponen permukaan
bakteri yang multipel. Adhesi yang paling khas adalah BabA, yaitu suatu protein 78-
kD membran luar yang terikat pada antigen kelompok darah Lewis B fucosylated.
Beberapa anggota keluarga protein Hop lainnya juga memperantarai perlekatan pada
sel epitel. Dari berbagai penelitian terhadap binatang percobaan membuktikan bahwa
adhesi terutama BabA yang berhubungan dengan penyakit H. pylori dapat
meningkatkan beratnya keadaan penyakit, walaupun pada sebagian penelitian masih
diperdebatkan.1,2,16,21
pada daerah yang ditandai dengan ‘tanda panah’. Susunan gen pada strain 26695,
merupakan suatu susunan genom yang dipublikasi pertama kali (gambar 2.5).7
Pada sebagian strain, pulau tersebut dipisah menjadi dua bagian. Diduga
banyak gen Cag yang terlibat dalam perpindahan sekresi protein CagA ke dalam
sitoplasma sel epitel lambung. Ada lima jenis gen (ditandai dengan warna orange)
yang mirip komponen sistem sekresi tipe-IV dari patogen tumbuhan Agrobacterium
tumefaciens (Vir proteins). Protein yang dikode oleh pulau tersebut terlibat di dalam
dua proses utama, merangsang sel epitel untuk menghasilkan IL-8 dan perpindahan
CagA dari bakteri ke dalam sel host. Seluruh gen (dalam ‘panah besar’), berperanan
penting dalam menginduksi IL-8; sedangkan pada panah yang terputus-putus
mengindikasikan gen yang tidak terlibat dalam proses ini. Garis panah yang berwarna
biru mengindikasikan gen yang dibutuhkan untuk translokasi CagA; garis orange
mengindikasikan gen yang tidak penting untuk bertranslokasi.1,3,6,7,8,21
Biasanya respons Th1 ini, bersamaan dengan apoptosis yang diperantarai Fas
dari klon sel-T H.pylori spesifik, cendrung menyebabkan H pylori menetap. Sebagai
tambahan terhadap kerusakan yang dihubungkan dengan translokasi protein yang
Gastritis Helicobacter pylori yang kronis dapat meluas hingga ke korpus dan
fundus lambung, mukosa mengalami atrofi. Kelompokan limfoid kadang disertai
‘germinal center’ (gambar 2.7.C), membentuk jaringan limfoid mukosa (MALT/
Mucosa-associated lymphoid tissue), yang dapat berubah menjadi limfoma.1,2,3,4,9
Gambar 2.8. H. pylori yang melekat pada epitel lambung, berupa batang kecil
kehitaman (panah), terdapat pada permukaan epitel dan di dalam lumen kelenjar.
Pada bagian mukosa dijumpai sebukan sel-sel radang.3,5,7
Secara histologi, bentuk kokoid yang solid, bulat, basofilik, berukuran 0,4-
1,2μm. Bentuk ini menyerupai bakteri non-patogen, spora jamur dan cryptosporidia.
Namun densitas Helicobacter pylori ini rendah, sehingga untuk mendeteksinya dapat
dibantu dengan pewarnaan spesial termasuk Giemsa, Warthin-Starry atau Steiner
silver (gambar 2.8.), Alcian yellow-toluidine blue, Wright-Giemsa, Brown-Hopps,
acridine orange, Diff-Quik stains, pewarnaan Genta dan imunohistokimia. Tidak ada
kelebihan antara satu jenis pewarnaan dengan yang lainnya, namun diagnosa yang
pasti dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia.4,19,20 Teknik pemeriksaan
PCR (Polymerase chain reaction) juga dapat dilakukan. Pada salah satu penelitian
2.2.4. Metaplasia
Perubahan metaplasia mukosa lambung dapat terjadi pada gastritis kronis. Ada
dua jenis metaplasia yaitu metaplasia pilorik pada mukosa fundus dan metaplasia
intestinal. Keadaan ini dapat terjadi secara bersamaan. Pada metaplasia intestinal,
kelenjar mukosa kelenjar lambung jenis fundik digantikan oleh mukosa kelenjar
penghasil mukus. Proses ini berlangsung secara bertahap yang berlanjut sepanjang
perbatasan fundus ke pilorik dan bergerak kea rah proksimal menuju daerah kardia.
Metaplasia intestinal dihubungkan terhadap pergantian mukosa lambung yang
progresif oleh epitel usus baik usus halus maupun usus besar, yang mengandung sel
goblet, sel absorptif (brush border), sel Paneth, dan beragam sel endokrin. Sel yang
bersilia juga mungkin dapat dijumpai. Metaplasia intestinal dapat diklasifikasikan
menjadi jenis komplet (tipe-1) dan tidak komplet (tipe-2). Pada metaplasia yang
komplet, perubahan mukosa lambung menjadi bentuk yang identik terhadap epitel
usus halus, pada kasus yang lebih lanjut bias dijumpai villi dan kripta. Pada
metaplasia yang tidak komplet, tidak dijumpai sel absorptive, namun sel kolumnar
dengan gambaran sel foveolar lambung masih tersisa. Secara histokimia, terdapat
musin yang prominen pada metaplasia intestinal komplet yaitu berupa sialomusin,
dan sedikit sulfomusin atau musin yang netral; sedangkan pada jenis yang tidak
komplet lebih banyak dijumpai musin netral (jenis II-A) atau sulfomusin (jenis II-B).
Pada pemeriksaan imunohistokimia, metaplasia intestinal tipe-1 ditandai dengan jenis
musin usus MUC2, sedangkan MUC1, MUC5AC dan MUC6 sedikit atau tidak ada.
Metaplasia tipe-II, menampilkan MUC2 dan musin normal pada lambung secara
bersamaan. Metaplasia intestinal juga menunjukkan imunoreaktif yang tinggi untuk
mensekresi immunoglobulin dan antigen terhadap sel-T (Thomsen–Friedenreich),
yang mengindikasikan musin glikosilasi aberant. Kelenjar dengan metaplasia
intestinal juga imunoreaktif terhadap antigen hepatosit (Hep-Par-1) dan terhadap
guanylyl cyclase C (suatu reseptor selektif yang ditampilkan oleh sel epitel).
Hubungan metaplasia intestinal pada lambung dan H. pylori menarik. Biasanya H.
pylori tidak dijumpai pada fokus metaplasia intestinal tipe-1, namun sering dijumpai
pada fokus tipe-2. Metaplasia intestinal tipe-2B mempunyai hubungan yang kuat
terhadap karsinoma lambung tipe intestinal dibandingkan tipe lainnya, namun hal ini
masih diperdebatkan sampai saat ini.2,4,21,22,25,26
Gastritis kronik atrofi, merupakan suatu proses peradangan kronik hebat yang
bersamaan dengan atrofi pada kelenjar. Manifestasi atrofi kelenjar ditandai dengan
jarak antara satu kelenjar dengan kelenjar lainnya berjauhan, dan terdapat
peningkatan jumlah jaringan ikat retikulin pada lamin propria. Berdasarkan
perbandingan antara ketebalan bagian kelenjar terhadap seluruh ketebalan mukosa
lambung, gastritis kronik atrofi ini dapat dikategorikan menjadi gastritis atrofi
ringan, sedang dan berat. Gastritis kronik atrofi harus dibedakan terhadap atrofik
gastrik. Atrofi gastrik, merupakan stadium akhir gastritis kronik atrofi. Secara
endoskopi dan makroskopis, gastritis kronik atrofi maupun atrofi gastrik
menunjukkan otot mukosa yang tipis, pembuluh darah sub-mukosa menonjol. Jika
lapisan mukosa menipis tanpa disertai sebukan sel-sel radang, ini menandai suatu
atrofi gastrik. Peningkatan derajat atrofi pada umumnya berhubungan terhadap
dilatasi kistik kelenjar dan metaplasia. Terdapat hubungan yang erat antara tingkat
atrofi gastrik seperti yang diduga pada biopsi endoskopik dan pemeriksaan sekresi
asam. Namun tidak ada hubungan antara penemuan histopatologi terhadap gejala,
gambaran radiologi dan gastroskopi. Gastritis kronik atrofi pada umumnya dapat
dijumpai pada karsinoma lambung, dan pada umumnya keadaan yang berat sesuai
dengan tingkat perluasan tumor.1,3,4,21,24
2.2.6. Displasia
Displasia lambung dapat dibagi atas tiga jenis: (1). Intestinal (adenomatous,
tipe-1), (2). Gastrik (foveolar, tipe-2); dan (3). Sub-tipe kombinasi (hybrid), yang
mempunyai perbedaan gambaran tampilan musin dan petanda lainnya. Banyak
system yang menunjukkan tingkatan displasia sub-tipe ini, sistem yang paling sering
digunakan adalah yang membaginya dalam dua kategori yaitu low grade dan high
grade. Displasia high grade dapat disinonimkan dengan karsinoma in-situ (CIS) dan
harus dibedakan dari karsinoma intra-mukosa, dimana proses ini telah dijumpai
kerusakan pada basal membran. Konsep yang telah direkomendasikan bersamaan
oleh beberapa kelompok ahli patologi bahwa biopsi lambung dapat dikelompokan
dalam pelaporan menjadi kategori: (1). Negatif untuk displasia; (2). Indefinitr untuk
displasia; (3). Displasia low grade; (4). Displasia high grade atau karsinoma in-situ;
(5). Karsinoma intra mukosa; dan (6). Karsinoma invasif. 4,7,23
Tukak peptik dapat terjadi pada semua tempat di saluran cerna yang terpapar
cairan asam lambung, namun yang paling sering adalah pada daerah antrum lambung
dan bagian pertama dari duodenum. Tukak duodenum paling sering dijumpai pada
pasien sirosis hati, penyakit paru obstruksi kronik, gagal ginjal kronik dan
hiperparatiroid. Pada gagal ginjal kronik dan hiperparatiroid, stress psikologi eksogen
mungkin meningkatkan produksi asam lambung. Tukak peptik juga dapat terjadi
pada esofagus yang menimbulkan GERD (gastro esophageal reflux disease) atau
sekresi asam yang dihasilkan oleh mukosa lambung yang ektopik. Mukosa lambung
yang terdapat pada divertikulun Meckel dapat menyebabkan tukak peptik pada
mukosa di sekitarnya.3,4,7,17,25
Tukak lambung bisa terjadi secara akut maupun kronik. Pada tukak lambung
akut, kerusakan mukosa lambung bersifat fokal dan merupakan komplikasi dari
pengobatan NSAIDs. Penyebab lainnya bias berupa stress psikologi berat.
Berdasarkan lokasi dan hubungan klinisnya, tukak lambung mempunyai penamaan
spesifik, seperti: (a). Tukak stress (stress ulcers), paling sering terjadi pada pasien
yang shok, sepsis, atau trauma berat; (b). Tukak Curling, tukak pada bagian
proksimal duodenum yang dihubungkan dengan luka bakar berat/trauma; (c). Tukak
Cushing, yaitu tukak yang terdapat pada lambung, duodenum maupun esofagus yang
timbul pada pasien dengan penyakit intra-kranial, tukak ini sering menimbulkan
perforasi.3 Patogenesis tukak akut sangat kompleks dan belum diketahui dengan
jelas. Tukak yang dirangsang oleh penggunaan NSAID dihubungkan dengan inhibisi
cyclooxygenase. Pencegahan sintesis prostaglandin, yang meningkatkan sekresi
bikarbonat, inhibisi sekresi asam, merangsang sintesa musin, dan meningkatkan
perfusi pembuluh darah. Lesi dihubungkan dengan jejas intra-kranial diduga karena
rangsangan langsung terhadap inti vagal, yang menyebabkan sekresi yang berlebihan
dari asam lambung. Asidosis sistemik, sering ditemukan pada keadaan ini, mungkin
juga dapat menimbulkan jejas mukosa karena penurunan pH intra selular sel mukosa.
Hipoksia dan penurunan aliran darah disebabkan oleh vasokonstriksi splanchnic yang
dirangsang stress juga merupakan patogenesis tukak akut.3,7,17,21,25
Morfologi. Tukak peptik empat kali lebih sering dijumpai pada duodenum
proksimal dibandingkan lambung. Tukak duodenum biasanya terdapat beberapa cm
dari katup pilorik pada bagian dinding anterior duodenum. Tukak peptik terutama
berlokasi sepanjang kurvatura minor di dekat perbatasan korpus dan fundus. Lesi
tukak lambung lebih dalam daripada erosi, melewati lapisan mukosa. Tukak peptik
biasanya lebih dari 80% berbentuk soliter. Tukak peptik yang klasik bentuknya bulat,
pinggir tukaknya tegas Pada tukak akut, bentuk tukaknya bulat dan diameternya lebih
dari 1cm. Dasar tukak sering berwarna coklat hingga kehitaman karena asam
lambung yang bercampur dengan darah, disertai peradangan transmural dan serositis
lokal. Berbeda dengan tukak peptik yang timbul karena jejas kronik, pada tukak
stress akut dapat ditemukan pada berbagai tempat di lambung. Lipatan rugae
lambung masih dalam normal, bagian pinggir dan dasar tukak datar. Tukak bisa
soliter atau multipel pada lambung dan duodenum. Secara mikroskopis, tukak stress
akut berbatas tegas, dengan mukosa di sekitarnya normal. Tergantung pada lamanya
tukak, mungkin dijumpai perdarahan dan reaksi peradangan pada mukosa dan sub-
mukosa. Berbeda dengan tukak peptik kronik, pada tukak stress akut tidak dijumpai
jaringan parut/skar maupun penebalan dinding pembuluh darah. Tukak dapat sembuh
sempurna dengan terjadinya re-epitelisasi setelah faktor penjejas hilang. Lamanya
massa penyembuhan bervariasi, bisa beberapa hari sampai beberapa minggu.3,4,5,7,17
Tukak peptik yang berdegenerasi menjadi ganas sangat jarang, dan hasil
pelaporan kemungkinan perubahan yang berasal dari tukak peptik jinak adalah sejak
awalnya tukak tersebut merupakan suatu tukak yang ganas.1,2,3,4,17
Merupakan jenis keganasan yang paling sering ditemukan pada lambung (>
90% dari semua kanker di lambung). Gejala awal hampir sama dengan gastritis
kronik, berupa dispepsia, sulit menelan (dysphagia) dan mual. Tumor ini sering
ditemukan pada stadium lanjut, dengan keluhan menurunnya berat badan, anoreksia,
gangguan kebiasaan habit, anemia dan perdarahan yang memicu pemeriksaan
diagnosa selanjutnya.7 Insidennya menurun pada beberapa Negara seperti Amerika
Serikat dan Inggris, namun masih tetap tinggi pada Negara lainnya seperti Jepang,
Chili dan Itali. Peningkatan insidensi ini terbukti bahwa faktor genetik berperanan
penting karena 10% dari penyakit ini terdapat pada kelompok keluarga. Sebagian
besar pasien berumur di atas 50 tahun, namun juga pernah tercatat kasus-kasus pada
individu berusia muda dan anak-anak. Pada kasus yang dijumpai pada usia sangat
muda dan sangat tua, menunjukkan beberapa perbedaan klinikopatologi terhadap
kelompok umur insidensi yang umumnya terjadi.1,2,3,8,12,15
Karsinoma lambung biasanya berasal dari sel basal (sel generatif atau sel
punca) foveolar yang terdapat pada bagian leher kelenjar antral dan fundal, dengan
latar belakang gastritis kronik atrofi, metaplasia intestinal dan displasia, karsinoma
in-situ, dan karsinoma superfisial. Sebagian bisa berasal dari jaringan pankreatik
heterotropik atau pelapis epitel kista sub-mukosa pada dinding lambung, namun ini
sangat jarang. Riwayat hipokhlorhidria sebelumnya dapat dijumpai pada 85-90%
karsinoma lambung. Peningkatan pH di dalam lambung dapat merangsang
pertumbuhan bakteri yang menekan nitrat dalam makanan menjadi nitrit, selanjutnya
Lesi pre-kanker pada lambung berupa atrofi mukosa dan metaplasia intestinal
serta displasia (atau adenoma kalau berupa lesi polipoid). Sebagian besar displasia
epitel lambung (adenoma) mempunyai fenotipe ‘intestinal’ yang mirip adenoma
kolon. Selain itu variant histologi lainnya yaitu displasia hiperplastik (tipe II) juga
mempunyai fenotipe ‘intestinal’. Displasia pada tubulus leher (atau globoid) diduga
merupakan prekursor kanker lambung jenis difus.1,3,4
Demikian juga dengan displasia, sebagian besar KDL terdiagnosa pada umur
di atas 50 tahun, yang lebih muda dibandingkan adenokarsinoma lanjut,
mencerminkan bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk perkembangan KDL
menjadi kanker lanjut lambung (KLL). KDL berukuran 2-5cm, sering berlokasi pada
kurvatura minor di daerah sekitar angulus, dan 3-13% pasien menunjukkan lesi
primer yang berlokasi multipel dan mempunyai prognosa yang buruk. Berdasarkan
gambaran endoskopinya, KDL dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu: pertumbuhan yang
menonjol (tipe 1); pertumbuhan superfisial (tipe 2); dan pertumbuhan yang
membentuk tukak atau excavation (tipe 3). Tipe dapat dibagi lagi menjadi 2A
(meninggi); 2B (datar); dan 2C (melekuk ke dalam atau depressed). Gambaran
pertumbuhan tipe 2 yang paling banyak (80%) terutama tipe 2C. Gambaran
hematemesis dan gejala penyumbatan. Pada pasien usia muda, dapat terjadi
penyebaran intra-abdomen. Pada pasien wanita sel kanker difus dapat disertai
metastasis ke ovarium yang dikenal dengan Krukenberg’s tumors.3,4,5
Bab 3
Metode Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin dari jaringan biopsi
lambung yang sesuai dengan kriteria inklusi dan sesuai dengan besar sampel
penelitian.
Keterangan:
n = besarsampel n1 = n2 = n3
Zα = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai α
yang ditentukan (untuk α = 0,05 Zα = 1,96)
Z = nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai
yang ditentukan (untuk = 0,10 Z = 1,282)
P1 = proporsi penderita gastritis = 0,83 menurut salah satu penelitian
oleh Santacroce L.29
Q1 = 1 – P1 = 1 – 0,83 = 0,17
P2 = proporsi penderita lesi gastritis yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah 53% atau 0,53.
Q2 = 1 – P2 = 1 – 0,53 = 0,47
P = ½ (P1 + P2) = ½ (0,83 + 0,53) = 0,68
Q = 1 - P = 1 – 0,68 = 0,32
Hasil perhitungan:
n = [ (1,96 / 2 (0,68)(0,32) + 1,282 / (0,83)(0,17) + (0,53)(0,47) ]2
(0,30)2
2
= [0,9114 + 0,79484]
(0,30)2
= 32,34 33 sampel minimal
Dalam penelitian ini sampel ditambah sebanyak 25% dari jumlah awal sehingga
menjadi 42 sampel.
Pembacaan Ulang
Pewarnaan imunohistokimia
Pewarnaan histokimia Giemsa
Helicobacter pylori
Keterangan:
= Kriteria eksklusi
Karsinoma lambung adalah keganasan pada lambung yang bias terbagi atas
karsinoma dini lambung dan karsinoma lanjut lambung.
Kanker dini lambung didefinisikan sebagai adenokarsinoma invasinya terbatas
pada lapisan mukosa atau sub-mukosa, tanpa memperhatikan apakah sudah
terjadi metastasis ke KGB atau belum.
Karsinoma lanjut lambung didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi
dinding lambung melebihi lapisan sub-mukosa.
Pewarnaan histokimia Giemsa adalah pewarnaan dengan menggunakan larutan
Giemsa yang bertujuan untuk menemukan kuman Helicobacter pylori pada
yang dijumpai pada permukaan mukosa lambung berupa bentuk batang
melengkung yang terwarnai dengan warna basofilik.
Pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori adalah pewarnaan
menggunakan antibodi Rabbit Polyclonal Human antibody Helicobacter pylori
(DAKO, pengenceran 1 : 100).
Blok parafin yang telah dikumpulkan disimpan dalam freezer sampai cukup
dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan mnggunakan mikrotom dengan tebal
4μm. Setiap blok parafin dipotong ulang satu kali untuk persiapan pewarnaan
histokimia Giemsa.
Sampel blok parafin yang sudah dipotong tipis (4μm) ditempelkan pada kaca
objek.
Cara menempelkan potongan tipis pada kaca objek adalah menggunakan ujung
pisau atau pinset yang runcing. Potongan tipis dipisahkan dan diratakan dengan
memasukkannya ke dalam air hangat. Setelah mengembang, pindahkan ke atas
kaca objek. Selanjutnya, kaca objek diletakkan di atas alat pemanas (hot plate)
50-60oC. Setelah parafin melunak, kaca objek dikeringkan dan potongan
jaringan siap untuk dipulas.
Keringkan / tiriskan
Lakukan clearing dengan xylol dan tutup dengan entyline
Instrumen penelitian yang digunakan adalah hasil pulasan histokimia Giemsa dan
imunohistokimia Helicobacter pylori terhadap sampel sediaan jaringan biopsi
lambung. Penelitian dilakukan oleh dua ahli patologi tanpa mengetahui data klinis
pasien (blinded).
Dalam penelitian ini, analisa yang dilakukan adalah menggunakan uji Chi-square
untuk melihat perbedaan antara dua kelompok data. Apakah ada perbedaan
penemuan infeksi H. pylori pada lesi gastritis dengan pewarnaan histokimia Giemsa
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dimulai dari bulan Januari sampai dengan Juni 2012. Subjek yang
digunakan adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan biopsi lambung
yang didiagnosa sebagai gastritis dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin pada
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan. Total 42 sampel yang memenuhi kriteria inklusi digunakan dan dimasukkan
sebagai sampel penelitian. Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian
ini berdasarkan jenis kelamin tertera pada tabel 4.1. berikut ini.
Tabel 4.1. Jumlah sampel gastritis yang digunakan dalam penelitian berdasarkan
jenis kelamin.
Jenis kelamin n %
Laki-laki 28 66,7
Perempuan 14 33,3
Total 42 100,0
Dari tabel 4.1. jumlah sampel yang berjenis kelamin laki-laki adalah 28 orang
(66,7%) sedangkan jumlah sampel yang perempuan adalah 14 orang (33,3 %).
Tabel 4.2. Distribusi umur dari seluruh sampel gastritis yang digunakan dalam
penelitian.
Umur (tahun) n %
16 – 30 tahun 3 7,1
31 – 40 tahun 6 14,3
41 – 45 tahun 6 14,3
46 – 50 tahun 3 7,1
51 – 55 tahun 5 11,9
56 – 60 tahun 8 19,0
61 – 75 tahun 11 26,2
Total 42 100,0
Dari data distribusi yang digambarkan pada tabel 4.2., dijumpai kelompok
umur yang paling muda penderita gastritis adalah kelompok umur 16-30 tahun
dengan jumlah sampel sebanyak 3 kasus (7,1%), sedangkan umur yang paling tua
adalah kelompok umur 61-75 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 11 kasus
(26,2%). Distribusi umur penderita gastritis yang paling banyak adalah kelompok
umur 61-75 tahun, dengan jumlah sampel sebanyak 11 kasus (26,2%). Distribusi
umur yang median dari sampel penelitian ini adalah pada kelompok umur 51-55
tahun (11,9%). Angka rata-rata umur penderita adalah 51,05 tahun.
Tabel 4.3. Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis dengan
pewarnaan histokimia Giemsa.
Dari tabel 4.3. di atas, penemuan infeksi Helicobacter pylori dengan pewarnaan
Giemsa ditemukan hasil yang positif sebanyak 20 kasus (47,6%) dan hasil negatif
sebanyak 22 kasus (52,4%).
Tabel 4.4. Infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis yang ditemukan dengan
pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori.
Pewarnaan imunohistokimia n %
Helicobacter pylori
Positif 32 76,2
Negatif 10 23,8
Total 42 100,0
Dari tabel 4.4. di atas, hasil penemuan Helicobacter pylori dengan pewarnaan
imunohistokimia Helicobacter pylori ditemukan hasil yang positif sebanyak 32 kasus
(76,2%) dan hasil negatif sebanyak 10 kasus (23,8%).
Tabel 4.5. Pengukuran sensitifitas dan spesifisitas pewarnaan histokimia Giemsa dan
imunohistokimia Helicobacter pylori dalam menemukan infeksi Helicobacter pylori
pada lesi gastritis dengan uji Chi-square.
Histokimia Giemsa p-
Pewarnaan Positif Negatif Total value
n % n % n %
Imunohisto Positif 20 47.6% 12 28.6% 32 76.2%
kimia 0,001
H. pylori Negatif 0 0% 10 23.8% 10 23.8%
Hasil tabel 4.5. ini menunjukkan p-value = 0,001 (p<0,05), maka H0 ditolak,
artinya ada perbedaan insidensi penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi
gastritis di lambung dengan pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia
Helicobacter pylori. Dan dari 42 sampel penelitian ditemukan sejumlah 20 sampel
yang menunjukkan hasil yang positif baik dengan pewarnaan histokimia Giemsa
maupun imunohistokimia Helicobacter pylori (Sensitifitas = 100%). Sedangkan dari
42 sampel penelitian, 10 sampel yang menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan
histokimia Giemsa yang negatif, ternyata juga menunjukkan hasil yang negatif
dengan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori. (Spesifisitas = 45,4%).
4.2. Pembahasan
Dari hasil penelitian ini, sampel penderita gastritis lebih banyak dijumpai pada
laki-laki dibandingkan terhadap wanita dengan perbandingan 2 : 1. Menurut
kasus (76,2%) bila dibandingkan dengan hasil positif dengan pewarnaan histokimia
Giemsa terdapat 12 kasus yang masih terwarnai negatif.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian terhadap 42 sampel blok parafin yang berasal dari jaringan biopsi
lambung yang didiagnosa sebagai gastritis dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin
pada Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Penemuan infeksi Helicobacter pylori pada lesi gastritis di lambung dengan
pewarnaan histokimia Giemsa dan imunohistokimia Helicobacter pylori secara
statistik terdapat perbedaan yang bermakna, dimana p-value = 0,001 (p<0,05).
2. Jumlah sampel penelitian lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 28 kasus
(66,7%) daripada perempuan sebanyak 14 orang (33,3 %).
3. Penderita gastritis yang yang paling muda penderita gastritis adalah kelompok
umur 16-30 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 3 kasus (7,1%) dan yang
paling tua adalah kelompok umur 61-75 tahun dengan jumlah sampel sebanyak
11 kasus (26,2%). Dengan distribusi umur median pada kelompok umur 51-55
tahun (11,9%), dan umur rata-rata (mean) penderita adalah 51,05 tahun.
Kelompok umur penderita yang terbanyak (modus) adalah pada kelompok umur
61-75 tahun, dengan jumlah sampel sebanyak 11 kasus (26,2%).
4. Penemuan infeksi Helicobacter pylori dengan pewarnaan Giemsa menunjukkan
hasil positif sebanyak 20 kasus (47,6%) dan hasil negatif sebanyak 22 kasus
(52,4%).
5. Penemuan Helicobacter pylori dengan pewarnaan imunohistokimia
Helicobacter pylori menunjukkan hasil yang positif sebanyak 32 kasus (76,2%)
dan hasil negatif sebanyak 10 kasus (23,8%).
5.2. Saran
1. Kim WH. Epidemiology of gastric carcinoma. In: Tan D, Lauwers GY. Cagle
PT, Allen TC, editors. Advances in surgical pathology: Gastric cancer.
Lippincott Williams and Wilkins.2011;p.11-21.
2. Tumours of the stomach. In: Halminton RS, Aaltonen LA, Editors. WHO
Classification of tumours: Pathology and genetics. Tumours of the digestive
system. IARC Press: Lyon. 2006;p.37-67.
3. Turner JR. The Gastrointestinal Tract. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster
JC, editors. Pathologic basis of disease. 8th Ed. Saunders Elsevier.2010;p.768-
831.
4. Feniglio-Preiser CM, Noffsinger AE, Stemmermann GN, Lantz PE, Isaacson PG.
The non-neoplastic stomach. In: Gastrointestinal pathology, an atlas and text.
Lippincott Williams and Wilkins; 2010; p.153-232.
5. Mitros FA, Rubin E. The gastrointestinal tract. In: Rubin E, Raphael, Stayer,
David S, editors. Rubin’s Pathology: Clinicopathologic Foundations of
Medicine. 5th Ed. Lippincott Williams & Wilkins.2008; p.550-617.
6. Kenneth EL. Clinical practice: Helicobacter pylori infection.
NEngl.J.Med.347(15); 2002,October 10. Downloaded from: nejm.org on October
7, 2011.[Cited 2011October 7]
7. Rosai J. Gastrointestinal tract. In: Rosai and Ackerman’s surgical pathology. 10th
Ed.Vol.1. Mosby Elsevier.; 2011; p.615-871.
8. Suerbaum S, Michetti P. Review article: Helicobacter pylori infection. Medical
progress. NEngl.J.Med.362(17); 2010,April 29. Downloaded from: nejm.org on
February 18, 2012. [Cited 2011 Oct 7)
9. Fenton HH, Lewin MR. Epithelial an lymphoid neoplasms of the stomach. In:
Goldblum JR, editors. Gastrointestinal and liver pathology. 2005;p.126-44.
xi
xii
xiii
i|Lampiran
Frequencies
Jenis Kelamin
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Laki-laki 28 66.7 66.7 66.7
Valid Perempuan 14 33.3 33.3 100.0
Total 42 100.0 100.0
Umur
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
16-30 tahun 3 7.1 7.1 7.1
31-40 tahun 6 14.3 14.3 21.4
Descriptives
Descriptive Statistics
n Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur 42 16 75 51.05 14.159
Valid n (list wise) 42
ii | L a m p i r a n
Pewarnaan Giemsa
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Negatif 22 52.4 52.4 52.4
Valid Positif 20 47.6 47.6 100.0
Total 42 100.0 100.0
Pewarnaan Imunohistokimia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Negatif 10 23.8 23.8 23.8
Valid Positif 32 76.2 76.2 100.0
Total 42 100.0 100.0
Pewarnaan Imunohistokimia
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Negatif 10 23.8 23.8 23.8
Positif Ringan 9 21.4 21.4 45.2
Valid
Positif Sedang 15 35.7 35.7 81.0
Positif Berat 8 19.0 19.0 100.0
Total 42 100.0 100.0
iii | L a m p i r a n
Chi-Square Tests
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 4.76.
b. Computed only for a 2x2 table
iv | L a m p i r a n
A B
A B
v|Lampiran