Anda di halaman 1dari 27

BENCANA MENURUT

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA

PERSPEKTIF AL-QURAN

Disusun Oleh :

Kelas A Kelompok 6

1. Thomas Astrio NIM : 108222036

2. Tusmiyati NIM : 108222037

3. Wasikin NIM : 108222038

4. Wiji Setiani NIM : 108222039

5. Yuni Wulandari NIM : 108222040

6. Yunita Triwijayanti NIM : 108222041

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


UNIVERSITAS AL-IRSYAD CILACAP
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan-persoalan bencana akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat untuk


diperbincangkan, mengingat manusia dihadapkan pada serangkaian masalah-masalah global
yang membahayakan. Bencana alam seringkali menjadi berita di berbagai media massa seperti
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kekeringan merupakan fenomena
yang akrab dengan penduduk bangsa Indonesia. Sementara itu, secara global telah terjadi
perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan lapisan ozon, pemanasan
global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi oleh karena ulah tangan
manusia

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS.
As-Syuura [42]: 30)“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik.”(QS. Al-A’raf [7]: 56)

Di dalam berbagai kitab tafsir seperti Tafsîr al-Misbah, Tafsîr al-Marâghiy dan Tafsîr ibn
Katsîr serta berbagai kitab tafsir lainnya, terdapat sepintas tema mengenai makna bencana,
term-term yang dipakai al-Qur’an untuk menunjukkan bencana, bentuk-bentuk bencana,
Penyebab dan maksud diturunkannya bencana.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bencana

Secara etimologis bencana adalah sesuatu yang menyebabkan dan menimbulkan kesusahan,
kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya, dan dapat juga berarti
gangguan, godaan serta tipuan.

Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dijelaskan


bahwa Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

B. Bentuk-bentuk Bencana

Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dijelaskan beberapa


macam bencana diantaranya:

1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana nonalam, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
C. Bencana Menurut Perspektif al-Qur’an

Secara eksplisit, Al-Qur’an menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi di
permukaan bumi ini merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh manusia dalam
berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS.
Ar-Rum [30]: 41). Ayat ini, sejatinya menjadi bahan introspeksi manusia sebagai makhluk
yang diberikan oleh Allah mandat mengelola lingkungan bagaimana tata kelola lingkungan
hidup yang seharusnya dilakukan agar tidak terjadi kerusakan alam semesta ini.

Mengamini ayat di atas, Al-Qur’an sudah dengan tegas melarang manusia untuk melakukan
kerusakan dalam bentuk apapun di muka bumi ini, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan
di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-A’raf [7]: 56). Mengenai ayat ini, Thahir bin
‘Asyur dalam tafsir beliau yang monumental, At-Tahrir wa At-Tanwir menyatakan bahwa
melakukan kerusakan pada satu bagian dari lingkungan hidup semakna dengan merusak
lingkungan hidup secara keseluruhan[3]. Dalam ayat lain, dijelaskan bahwa melakukan
tindakan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup merupakan sifat orang-orang
munafik dan pelaku kejahatan, Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk
Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan
Allah tidak menyukai kebinasaan”.(QS. Al-Baqarah [2]: 205)

D. Term-term yang Digunakan al-Qur’an untuk Mengungkapkan bencana

Di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan erat dengan bencana ini, di
antaranya adalah mushîbah, balâ’, ’iqab dan fitnah dan ‘adzâb, sayyiât, ba’s, dharra’.

Kata musibah berasal dari bahasa Arab, ‫مصيبة‬, yaitu dari kata ‫ يصيب‬- ‫ اصاب‬yang berarti “sesuatu
yang menimpa atau mengenai”. Kata ‫ اصاب‬ini digunakan untuk yang baik dan yang buruk
(‫ جاء في الخير والشر‬:‫)وأصاب‬. Menurut al-Râghib al-Asfahâniy, asal makna kata mushîbah (‫صيْبَة‬
ِ ‫) ُم‬
adalah lemparan (al-ramiyyah), kemudian penggunaannya lebih dikhususkan untuk pengertian
bahaya atau bencana, seperti yang beliau ungkapkan berikut ini: ‫ ثم‬،‫والمصيبة أصلها في الرمية‬
‫اختصت بالنائبة‬. Ibn Manzhur juga mengartikan mushîbah dengan sesuatu yang menimpa berupa
bencana.

Di dalam tafsir Ruh al-Bayân, Isma’il Haqqiy mendefinisikan mushîbah dengan “apa saja yang
menimpa manusia, berupa sesuatu yang tidak menyenangkan” ( ‫صيبَةٌ} هي ما يصيب اإلنسان من‬
ِ ‫{ ُّم‬
‫)مكروه‬.

Sedangkan menurut hadîts Nabi, yang dimaksud dengan mushîbah adalah segala sesuatu yang
tidak menyenangkan bagi orang yang beriman. Sebagaimana pada hadîts berikut:
‫ أمصيبة هي‬: ‫ " إنا هلل وإنا إليه راجعون" فقيل‬: ‫روى عكرمة أن مصباح رسول هللا صلى هللا عليه وسلم انطفأ ذات ليلة فقال‬
"‫ "نعم كل ما آذى المؤمن فهو مصيبة‬: ‫يا رسول هللا ؟ قال‬

Artinya:

“Ikrimah meriwayatkan bahwa pada suatu malam lampu Rasul Allah Saw pernah mati, lalu
ِ َّ ِ ‫( إِنَّا‬Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya
ِ ‫هلل َوإِنَّا إلَ ْي ِه َر‬
beliau membaca: َ‫اجعُوْ ن‬
kepada-Nyalah kami kembali). Para sahabat bertanya: “Apakah ini termasuk musibah hai
Rasulullah?” beliau menjawab, “Ya, apa saja yang menyakiti orang mukmin disebut musibah.”

Al-Qur'an menggunakan kata mushîbah untuk sesuatu sesuatu yang tidak menyenangkan yang
menimpa manusia. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa musibah merupakan sesatu yang
menimpa karena ulah manusia dan atas izin Allah. Ini seperti ditegaskan oleh firman Allah:

]30 :42 ،‫ [الشورى‬.‫ت أَ ْي ِدي ُك ْم َويَ ْعفُو عَن َكثِي ٍْر‬


ْ َ‫صيبَ ٍة فَ ِب َما َك َسب‬ َ َ‫َو َما أ‬
ِ ‫صابَ ُكم ِّمن ُّم‬

Artinya:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura
(42): 30]

]11 :64 ،‫ [التغابن‬.‫صيبَ ٍة إِالَّ بِإ ِ ْذ ِن هللاِ َو َمن ي ُْؤ ِمن بِاهللِ يَ ْه ِد قَ ْلبَهُ َوهللاُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِيم‬
ِ ‫اب ِمن ُّم‬
َ ‫ص‬َ َ‫َما أ‬

Artinya:

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah, dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. at-Taghabun (64): 11]

Sedangkan kata balâ’, pada dasarnya berarti nyata/tampak, seperti firman Allah:

]9 :86 ،‫ [الطارق‬.ُ‫يَوْ َم تُ ْبلَى ال َّس َرائِل‬

Artinya:

“Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-Thariq (86): 9]

Sesuatu bencana disebut dengan balâ’, karena dengan bencana tersebut dapat menampakkan
kualitas keimanan seseorang. Atau dengan kata lain balâ’ juga diartikan dengan ujian (berasal
dari kata bala- yablu) sehingga dengan adanya bencana tersebut dapat menguji mana yang
beriman dan mana yang tidak. Dari beberapa ayat yang menggunakan kata bala’ dalam
berbagai bentuknya dapat diperoleh beberapa hakekat berikut:

1. Balâ’ (ujian) adalah keniscayaan hidup. Itu dilakukan Allah, tanpa keterlibatan manusia
yang diuji dalam menentukan cara dan bentuk ujian tersebut. Yang menentukan cara,
waktu, dan bentuk ujian adalah Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:

]2 :67 ،‫ [الملك‬.ُ‫ت َوالحْ يَاةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم اَيُّ ُك ْم أَحْ َسنُ َع َمالً َوهُ َو ال َع ِز ْي ُز ا ْل َغفُوْ ر‬
َ ْ‫ق اْل َمو‬
َ َ‫اَلَّ ِذي َخل‬

Artinya:

“(Dia) Yang menciptakan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’),
siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]

Karena balâ’ adalah keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput
darinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin berat pula ujiannya, karena itu ujian
para nabi pun sangat berat. Dikarenakan balâ’ adalah keniscayaan hidup, maka ada pula balâ’
(ujian) tersebut berupa sesuatu yang menyenangkan. Adapun contoh dari balâ’ (ujian) yang
menyenangkan adalah anugerah yang diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman yang menyadari
bahwa fungsi nikmat tersebut adalah sebagai ujian.

]40 :27 ،‫ [النمل‬.‫هَ َذا ِمن فَضْ ِل َربِّي لِيَ ْبلُ َونِي أَأَ ْش ُك ُر أَ ْم أَ ْكفُ ُر َو َمن َش َك َر فَإِن َّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ِه َو َمن َكفَ َر فَإ ِ َّن َربِّي َننِ كي َك ِريم‬

Artinya:

“Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku (melakukan bala’), apakah aku bersyukur
atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” [QS. an-Naml (27): 40]

2. Anugerah/nikmat yang berupa ujian itu, tidak dapat dijadikan bukti kasih Allah
sebagaimana penderitaan tidak selalu berarti murka-Nya. Hanya orang-orang yang
tidak memahami makna hidup yang beranggapan demikian. Hal ini antara lain
ditegaskan-Nya dalam QS. al-Fajr (89): 15-17:
‫ َكالَّ بَل‬.‫ َوأَ َّما إِ َذا َما ا ْبتَالَهُ فَقَد ََر َعلَ ْي ِه ِر ْْقَهُ فَيَقُو ُل َربِّي أَهَانَ ِن‬.‫فَأ َ َّما اْ ِإلن َسانُ إِ َذا َما ا ْبتَالَهُ َربُّهُ فَأ َ ْك َر َمهُ َونَ َّع َمهُ فَيَقُو ُل َربِّي أَ ْك َر َم ِن‬
]17-15 :89 ،‫ [الفجر‬.‫الَّ تُ ْك ِر ُمونَ ا ْل َي ِتي َم‬

Artinya:

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu membatasi rizkinya dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.” [QS. al-Fajr (89): 15-17]

3. Balâ’ (ujian) yang menimpa seseorang dapat merupakan cara Allah mengampuni dosa,
mensucikan jiwa, dan meninggikan derajatnya. Dalam perang Uhud tidak kurang dari
tujuh puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw yang gugur. Al-Qur'an dalam konteks
ini membantah mereka yang menyatakan dapat menghindar dari kematian sambil
menjelaskan tujuannya:

ُ ‫َّص َما فِي قُلُوبِ ُك ْم َوهللا‬


َ ‫ُور ُك ْم َولِيُ َمح‬
ِ ‫صد‬ َ ‫ب َعلَ ْي ِه ُم ا ْلقَ ْت ُل إِلَى َم‬
ُ ‫ضا ِج ِع ِه ْم َولِيَ ْبتَلِ َي هللاُ َما فِي‬ َ ِ‫قُل لَّوْ ُكنتُ ْم فِي بُيُوتِ ُك ْم لَبَ َر َْ الَّ ِذينَ ُكت‬
]154 :3 ،‫ [آل عمران‬.‫ُور‬ ِ ‫صد‬ ِ ‫َعلِيم بِ َذا‬
ُّ ‫ت ال‬

Artinya:

“Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumah kamu, niscaya orang-orang yang telah
ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah
(berbuat demikian) untuk menguji (melakukan bala’) apa yang ada dalam dadamu dan untuk
membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” [QS. Ali Imran
(3): 154]

Adapun kata yang satu turunan dengan kata fitnah dalam al-Qur’an mengandung banyak arti,
di antaranya:

a. Membakar dalam neraka, membakar dalam arti dimasukkan ke dalam


b. Menyiksa atau siksaan
c. Kesesatan atau dosa
d. Gila
e. Serta Ujian atau cobaan, baik berupa nikmat maupun kesulitan.
Arti fitnah yang terakhir itulah yang kemudian akan digunakan untuk memahami makna
bencana dalam al-Qur’an.

]28 :8 ،‫ [األنفال‬.‫َوا ْعلَ ُمواْ أَنَّ َما أَ ْم َوالُ ُك ْم َوأَوْ الَ ُد ُك ْم فِ ْتنَة َوأَ َّن هللاَ ِعن َدهُ أَجْ ر َع ِظيم‬

Artinya:

“Dan ketahuilah, bahwa harta kamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (fitnah) dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al- Anfal (8): 28]

Bahkan pada QS. al-Anbiya’: 35 Allah mempersamakan antara kata balâ’ dan fitnah. Allah
berfirman:

]35 :21 ،‫ [األنبياء‬. َ‫ت َونَ ْبلُ َو ُكم بِال َّش ِّر َوا ْل َخي ِْر فِ ْتنَةً َوإِلَ ْينَا تُرْ َجعُون‬
ِ ْ‫س َذائِقَةُ ا ْل َمو‬
ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬

Artinya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu (melakukan bala’)
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan/ fitnah (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan.” [QS. al-Anbiya’ (21): 35]

Ini berarti bahwa fitnah/cobaan diturunkan Allah sebagai peringatan, dan tentu saja apabila
peringatan tidak juga diindahkan—setelah berkali-kali— maka adalah wajar menjatuhkan
tindakan yang lebih keras. Dalam konteks uraian tentang fitnah, al-Qur'an menggarisbawahi
bahwa fitnah tidak hanya ditimpakan kepada orang-orang kafir/zalim saja, melainkan juga
kepada mereka yang taat kepada-Nya:

]25 :8 ،‫ [األنفال‬.‫ب‬ َ ‫صةً َوا ْعلَ ُمواْ أَ َّن‬


ِ ‫هللا َش ِدي ُد ْال ِعقَا‬ َّ ‫صي َب َّن الَّ ِذينَ ظَلَ ُمواْ ِمن ُك ْم َخآ‬
ِ ُ‫َواتَّقُواْ ِف ْتنَةً الَّ ت‬

Artinya:

“Dan peliharalah diri kamu dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang
yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” [QS. al-
Anfal (8): 25]

Ayat di atas menggunakan tiga kata yang kesemuanya dapat berarti sesuatu yang tidak
menyenangkan. Yaitu kata fitnah, tushibanna yang seakar dengan kata mushîbah, serta ‘iqâb
yang terambil dari kata ‘aqiba yang berarti belakang/kesudahan. Kata ‘iqab digunakan dalam
arti kesudahan yang tidak menyenangkan/ sanksi pelanggaran. Berbeda dengan ‘aqibah/ akibat
yang berarti dampak baik atau buruk dari satu perbuatan. Dan dari ayat di atas dapat difahami
bahwa fitnah dapat menimpa orang yang tidak bersalah.
Beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, antara lain adalah bahwa
musibah terjadi atau menimpa manusia akibat kesalahan manusia sendiri, bala’ merupakan
keniscayaan dan dijatuhkan Allah SWT, walau tanpa kesalahan manusia. Adapun fitnah, maka
ia adalah bencana yang dijatuhkan Allah dan dapat menimpa yang bersalah dan tidak bersalah.

Di samping tiga istilah kunci di atas penulis juga akan menelusuri ayat-ayat yang mengungkap
bencana ini lewat kata-kata yang berhubungan langsung bencana tersebut seperti ،‫ طوفان‬،‫سيل‬
‫ صاعقة‬،‫( رجفة‬banjir, topan, gempa, petir).

E. Bentuk-bentuk Bencana yang Terdapat al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an telah diisyaratkan berbagai bencana yang pernah terjadi, di antaranya
adalah bencana alam, bencana non alam serta bencana kemanusiaan.

Di antara bencana alam yang pernah dijelaskan al-Qur’an adalah banjir, topan, gempa dan
petir dan hujan batu.

1. Banjir dan topan

Di dalam al-Qur’an istilah banjir disebutkan dengan istilah al-sail. Menurut al-Ashfahâniy,
kata al-Sail secara bahasa merupakan mashdar dari kata ‫ سال‬yang penggunaannya digunakan
untuk menunjukkan air yang melanda manusia, yang –air tersebut bukan- dari hujan ...‫سال‬
‫ وجعل اسما للماء الذي يأتيك ولم يصبك مطره‬،‫)والسيل أصله مصدر‬, dan bentuk jamak dari kata al-sail adalah
al-suyûl.

Selain itu istilah banjir juga digunakan dengan istilah ‫ طوفان‬dan ‫ طغى الماء‬. Kata thûfân adalah
segala peristiwa atau kejadian yang meliputi/mengepung. Maka banjir juga disebut dengan
thûfân karena air yang datang waktu itu memang mengepung manusia. Ini penulis simpulkan
dari Mufradat Alfadz al-Qur’an, seperti pada kutipan berikut ini:

‫ وصار متعارفا في‬،]133/‫ {فأرسلنا عليهم الطوفان} [األعراف‬:‫ وعلى ذلك قوله‬،‫ كل حادثة تحيط باإلنسان‬:‫“ والطوفان‬
‫الماء المتناهي في الكثرة ألجل أن الحادثة التي نالت قوم نوح كانت ماء‬

Sedangkan ‫ طغى الماء‬/air yang melampaui batas juga dapat diartikan dengan banjir. Pada Kata
tagha berarti melampaui batas di dalam kemaksiatan (‫)تجاوْ الحد في العصيان‬. Istilah tagha ini
tidak hanya dikhususkan kepada manusia, melainkan juga air. Maka banjir dapat juga disebut
sebagai air yang melampaui batas kewajaran. Ini penulis fahami dari kutipan berikut ini:
‫ فاستعير‬،]11/‫ {إنا لما طغى الماء} [الحاقة‬:‫ وقوله‬.‫ فقد كان قوم نوح أطغى منهم فأهلكوا‬،‫…أن الطغيان ال يخلص اإلنسان‬
‫ {إنا لما‬:‫ فإشارة إلى الطوفان المعبر عنه بقوله‬،]5/‫ {فأهلكوا بالطاغية} [الحاقة‬:‫ وقوله‬،‫الطغيان فيه لتجاوز الماء الحد‬
[]11/‫طغى الماء} [الحاقة‬

“… tughyân tidak terbatas dilakukan oleh manusia, dan sungguh kaum Nuh mereka ditimpa
oleh sesuatu yang berlebihan, yang menyebabkan mereka hancur, seperti firman Allah ‫{إنا لما‬
]11/‫طغى الماء} [الحاقة‬, dan kata tughyan dipakai untuk air yang melampaui batas, seperti pada
ayat ]5/‫{فأهلكوا بالطاغية} [الحاقة‬, maksudnya adalah thûfân. Seperti pada ayat: }‫{إنا لما طغى الماء‬
]11/‫[الحاقة‬

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa kisah yang erat kaitannya dengan banjir ini. Di antaranya
adalah banjir yang terjadi pada masa Nabi Nuh, Umat Nabi Musa dan bangsa Saba’

a. Banjir Zaman nabi Nuh

Peristiwa Banjir yang menimpa umat nabi Nuh digambarkan oleh ayat berikut:

َ‫ث ِفي ِه ْم أَ ْلفَ َسنَ ٍة إِ َّال َخ ْم ِسينَ عَا ًما فَأ َ َخ َذهُ ُم الطُّوفَانُ َوهُ ْم ظَا ِل ُمون‬
َ ‫َولَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا نُو ًحا إِلَى قَوْ ِم ِه فَلَ ِب‬

Artinya:

Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka
adalah orang-orang yang zalim. 29: 14

Umat nabi Nuh ditimpa oleh banjir yang sangat dahsyat, sehingga digambarkan di dalam surat
(QS. Hud: 42) bahwa gelombang pada waktu itu menyerupai sebuah gunung. Demikianlah
gambaran betapa dahsyatnya banjir yang terjadi di waktu itu.

Adapun penyebab dari banjir ini, dijelaskan oleh ujung ayat, bahwa semua itu terjadi akibat
kezaliman dari umat nabi Nuh itu sendiri. Secara hukum alamnya, air tersebut berasal dari dua
arah yaitu air yang berasal dari air hujan serta air yang berasal dari lautan/bumi. Karena itu
ketika peristiwa banjir itu akan selesai Allah berfirman:

َ‫ي َو ِقي َل بُ ْعدًا ِل ْلقَوْ ِم الظَّا ِل ِمين‬


ِّ ‫ت َعلَى ا ْلجُو ِد‬ َ ْ ‫ض َي‬
ْ ‫األ ْم ُر َوا ْستَ َو‬ َ ‫ك َو َيا َس َما ُء أَ ْق ِل ِعي َو ِن‬
ِ ُ‫يض ا ْل َما ُء َوق‬ ِ ‫َو ِقي َل َياأَرْ ضُ ا ْبلَ ِعي َما َء‬

Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun
disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan
dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ." (QS. Hud: 44)
Peristiwa banjir yang menimpa umat nabi Nuh ini dipahami oleh Quraish Shihab dengan
bencana Tsunami, seperti bencana yang menimpa bangsa Indonesia belakangan ini. Beliau
berdalil dengan QS. Hud: 40

َ َ‫َحتَّى إِ َذا َجا َء أَ ْم ُرنَا َوفَا َر التَّنُّو ُر قُ ْلنَا احْ ِملْ فِيهَا ِم ْن ُك ٍّل َْوْ َج ْي ِن ا ْثنَي ِْن َوأَ ْهلَكَ إِ َّال َم ْن َسب‬
ُ ‫ق َعلَيْ ِه ا ْلقَوْ ُل َو َم ْن َءا َمنَ َو َما َءا َمنَ َم َعه‬
‫إِ َّال قَلِيل‬

“Hingga apabila perintah kami datang dan periuk telah mendidih, kami berfirman:
"Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina),
dan keluargamu kecuali orang yang Telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula)
orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.”

Kata ُ‫ار التَّنُّور‬


َ َ‫ ف‬/””periuk mendidih” dipahami sebagai bumi yang bergoncang (gempa terjadi
serupa dengan periuk yang menggelegar karena mendidihnya air). Menurut Quraish Shihab ini
menggambarkan bahwa banjir yang melanda umat Nabi Nuh didahului oleh peristiwa gempa
bumi. Sehingga tepat dikatakan bahwa tersebut adalah rangkaian peristiwa tsunami.

Bagi umat nabi Nuh yang taat, tatkala air tersebut telah mencapai puncaknya, Allah
menyelamatkan mereka dengan menyuruh mereka naik ke bahtera yang telah dibuat Nabi Nuh
sebelumnya (QS. Al-Haqqah: 11-12)

b. Banjir Zaman Nabi Musa

Bencana banjir yang menimpa umat yang hidup di zaman nabi Musa/pendukung Fir’aun adalah
seperti yang terdapat di dalam ayat berikut:

َ‫ت فَا ْستَ ْكبَرُوا َو َكانُوا قَوْ ًما ُمجْ ِر ِمين‬


ٍ ‫ت ُمفَص ََّال‬ َّ ‫فَأَرْ َس ْلنَا َعلَ ْي ِه ُم الطُّوفَانَ َوا ْل َج َرا َد َوا ْلقُ َّم َل َوال‬
ٍ ‫ضفَا ِد َع َوال َّد َم َءايَا‬

Artinya

“Maka kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti
yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang
berdosa.”(QS: al-A’raf: 133)

Menurut al-Marâghi, sebagai tanda kenabian bagi nabi Musa terhadap umatnya yang tidak
patuh, maka Allah mengirimkan kepada mereka 5 buah bencana, yang salah satunya adalah
thûfân. Thûfân menurut beliau adalah banjir yang sangat dahsyat yang terjadi karena hujan
yang sangat lebat dan menenggelamkan negri mereka. Hujan tersebut juga disertai dengan
cuaca yang sangat dingin. Bahkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa banjir ketika itu juga
disertai dengan kilatan guntur dan api, sehingga gambaran bencana di waktu itu betul-betul
sangat dahsyat.

Selain dari banjir di dalam ayat ini juga dijelaskan jenis bencana lain yang menimpa mereka
yaitu berupa wabah belalang, katak dan penyakit. Sehingga pengikut Fir’aun betul-betul
merasakan iqab yang sangat berat dan akhirnya mereka memohon kepada Nabi Musa untuk
didoa’kan agar mereka diampuni oleh Allah (QS. al-‘A’raf: 134-135). Dan di antara dosa yang
pernah dilakukan umat Nabi Musa ini adalah karena telah mempersekutukan Allah, tidak
mensyukuri nikmat serta menganggap Nabi Musa sebagai orang yang membawa sial (QS. al-
‘A’raf: 131).

c. Banjir pada masa Saba’

Kerajaan Saba’ merupakan suatu kerajaan yang hidup di bawah pimpinan ratu Saba’, yang
hidup di daerah Yaman Selatan. Kerajaan ini berkuasa pada abad VIII SM, yang wilayah
kekuasaannya meliputi Ethiopia dan salah satu negri yang cukup terkenal ketika itu yaitu
Ma’rib dengan kandungan yang sangat besar. Pada awalnya kerajaan ini adalah sebuah
kerajaan yang dianugrahi nikmat yang berlimpah, berupa kebun-kebun yang subur.

Adapun yang menjadi perintah Allah bagi kaum ini yaitu supaya mereka memakan dari rezki
yang halal serta dituntut untuk mensyukuri nikmat Allah (QS. Saba’: 15). Namun justru kaum
ini berpaling, sehingga Allah menghukum mereka dengan banjir yang menghancurkan seluruh
ladang mereka, seperti yang dijelaskan ayat berikut:

‫فَأ َ ْع َرضُوا فَأَرْ َس ْلنَا َعلَيْ ِه ْم َسي َْل ا ْل َع ِر ِم َوبَ َّد ْلنَاهُ ْم بِ َجنَّتَ ْي ِه ْم َجنَّتَي ِْن َوبَ َّد ْلنَاهُ ْم بِ َجنَّتَ ْي ِه ْم َجنَّتَي ِْن َذ َواتَ ْي أ ُ ُك ٍل َخ ْم ٍط َوأَ ْث ٍل َو َش ْي ٍء ِم ْن ِس ْد ٍر‬
ٍ ِ‫قَل‬
‫يل‬

Artinya:

Tetapi mereka berpaling, Maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan kami
ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah
pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. (QS.Saba’: 34: 16)

Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa bencana yang ditimpakan Allah adalah sail al-‘arim. Sail
berarti banjir dan kata ‘arim terdapat beberapa perbedaan penafsiran di antaranya: a. kata ini
terambil dari kata ‘aramah (keras atau besar), b. ‘arim dianggap sebagai nama dari banjir
tersebut, dan. c. ‘arim bermakna tempat yang dibangun untuk menampung air/bendungan.
Meski terdapat perbedaan pemahaman mengenai kata ‘arim ini, namun ketiga makna ini
menunjukkan jika banjir yang menimpa kerajaan Saba’ adalah banjir yang sangat dahsyat.

Adapun alasan kenapa Allah menurunkan banjir ini berdasarkan ayat berikutnya dari Surat
Saba’ ini adalah karena akibat dari kekafiran manusia. (QS. Saba’:17)

2. Gempa

Di dalam al-Qur’an gempa disebut dengan istilah rajfah. Kata rajfah atau rajf adalah bahasa
Arab yang artinya ‫( االضطراب الشديد‬goncangan yang sangat dahsyat). Kata rajfah ini dipakai
untuk berbagai goncangan baik di darat maupun di laut seperti pada perkataan, “ ‫رجفت األرض‬
‫( ”ورجف البحر‬bumi dan berguncang, dan laut berguncang).[27] Di dalam al-Qur’an penggunaan
kata rajfah ini ada yang menunjukkan makna gempa, dan adapula yang bermakna goncangan
dahsyat yang ada kaitannya dengan huru-hara kiamat. Di antara peristiwa gempa yang pernah
diabadikan oleh al-Qur’an adalah gempa yang pernah menimpa umat Nabi Shaleh
(Tsamud[28]) dan umat Nabi Syu’aib (Madyan) serta umat Nabi Musa. Adapun gempa yang
menimpa umat Nabi Shaleh adalah seperti yang terdapat di dalam ayat:

‫)فَأ َ َخ َذ ْتهُ ُم الرَّجْ فَة ُ فَأَصْ بَحُوا فِي‬77( َ‫ت ِمنَ ا ْل ُمرْ َسلِين‬ َ ‫فَ َعقَرُوا النَّاقَةَ َو َعتَوْ ا ع َْن أَ ْم ِر َربِّ ِه ْم َوقَالُوا يَا‬
َ ‫صالِ ُح ائْتِنَا بِ َما تَ ِع ُدنَا إِ ْن ُك ْن‬
َ‫َار ِه ْم َجاثِ ِمين‬
ِ ‫د‬

Artinya:

Kemudian mereka sembelih onta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah
Tuhan. dan mereka berkata: "Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada
kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)". Karena itu mereka ditimpa
gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. (al-
A’raf: 77-78)

Kepada Kaum Tsamud Allah telah mengutus seorang rasul yang bernama Shaleh. Ia diutus
untuk memberi peringatan kepada umatnya yang berlaku sombong dan cenderung
mengabaikan perintah Allah (Qs. Al-Dzariyat: 44). Namun kedatangan Shaleh sebagai
pembawa peringatan justru tidak membawa arti apa-apa, karena mereka tetap saja engkar,
bahkan mereka menghina Shaleh dan menganggapnya sebagai seorang kadzdzab (pembohong)
dan atsir (sombong). Ketika keengkaran mereka semakin menjadi-jadi maka Allah menguji
mereka dengan seekor nâqah/onta. Di mana antara mereka dan onta tersebut telah di atur
pembagian jatah air minum, serta mereka dilarang untuk membunuh onta tersebut, karena
dengan membunuh onta tersebut akan dapat mendatangkan azab Allah. Tetapi larangan ini
tidak mereka acuhkan, bahkan mereka menantang Nabi Allah untuk mendatangkan azab yang
telah diancamkan kepada mereka, sehingga akhirnya Allah mengazabnya dengan gempa yang
sangat dahsyat, sedangkan di dalam ayat lain azab tersebut berupa sha’iqah atau shaihah
wâhidah (petir). Menurut Quraish Shihab ini menunjukkan bahwa betapa besarnya petir yang
terjadi waktu itu sehingga ia tidak hanya menggoncangkan hati orang yang mendengarnya
namun juga dapat menggoncang bumi (gempa).

Sedangkan gempa yang menimpa umat Nabi Syu’aib adalah seperti yang dijelaskan oleh
firman Allah (QS. Al-A’raf:: 91)

ِ ‫فَأ َ َخ َذ ْتهُ ُم الرَّجْ فَةُ فَأَصْ بَحُوا فِي د‬


َ‫َار ِه ْم َجاثِ ِمين‬

Artinya:

“Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan
di dalam rumah-rumah mereka (al-A’raf: 91)

Adapun penyebab diturunkannya azab berupa gempa ini adalah karena kedurhakaan mereka
terhadap Agama Allah dan perangai mereka yang merusak tatanan sosial dengan mengurangi
takaran dan timbangan dan gemar melakukan kerusakan serta berlaku sombong. (QS. al-
‘A’raf: 85). Peristiwa gempa yang menimpa umat Nabi Syu’aib ini juga ditegaskan pada ayat
berikut:

ِ ‫فَ َك َّذبُوهُ فَأ َ َخ َذ ْتهُ ُم الرَّجْ فَةُ فَأَصْ بَحُوا فِي د‬


َ‫َار ِه ْم َجاثِ ِمين‬

Artinya:

Maka mereka mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah
mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka. (al-Angkabut:
37)

Di dalam ayat-ayat di atas dijelaskan bahwa kondisi mereka yang ditimpa gempa tersebut
sungguh sangat memprihatinkan, yaitu digambarkan dengan kata َ‫ َجاثِ ِمين‬. Kata َ‫ َجاثِ ِمين‬merupakan
bentuk jamak dari ‫ َجاثِ ِم‬yang bermakna tertelungkup dengan dadanya sambil melengkungkan
betis sebagaimana halnya kelinci. Ini merupakan gambaran dari ketiadaan gerak anggota tubuh,
atau dengan kata lain ini menggambarkan kematian. Sedangkan menurut al-Biqa’iy kata ‫جاثم‬
bermakna kondisi terpaku dengan tidak bergerak sedikitpun.
Peristiwa gempa tidak hanya melanda dua umat Nabi di atas, namun juga menimpa umat Nabi
Musa, sebagaimana digambarkan oleh ayat al-Qur’an berikut ini.

‫َّاي أَتُ ْهلِ ُكنَا بِ َما فَ َع َل ال ُّسفَهَا ُء‬


َ ‫ت أَ ْهلَ ْكتَهُ ْم ِم ْن قَ ْب ُل َوإِي‬ َ َ‫اختَا َر ُمو َسى قَوْ َمهُ َس ْب ِعينَ َرج ًُال لِ ِميقَاتِنَا فَلَ َّما أَ َخ َذ ْتهُ ُم الرَّجْ فَةُ ق‬
َ ‫ال َربِّ لَوْ ِش ْئ‬ ْ ‫َو‬
‫ت َويُ َحرِّ ُم‬ ِ ‫ضلُّ بِهَا َم ْن تَ َشا ُء َوتَ ْه ِدي َم ْن تَ َشا ُءيَأْ ُم ُرهُ ْم بِا ْل َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َويَ ْنهَاهُ ْم ع َِن ا ْل ُم ْن َك ِر َوي ُ ِح ُّل لَهُ ُم الطَّيِّبَا‬ ِ ُ‫ك ت‬ َ ُ‫ِمنَّا إِ ْن ِه َي إِ َّال فِ ْتنَت‬
‫صرُوهُ َواتَّبَعُوا ال ُّنو َر الَّ ِذي أ ُ ْن ِز َل‬ َ َ‫ت َعلَ ْي ِه ْم فَالَّ ِذينَ َءا َمنُوا ِب ِه َو َع َّزرُوهُ َون‬ ْ َ‫ض ُع َع ْنهُ ْم إِصْ َرهُ ْم َو ْاألَ ْن َال َل الَّتِي َكان‬ َ َ‫ث َوي‬ َ ِ‫َعلَ ْي ِه ُم ا ْل َخبَائ‬
َ‫َم َعهُ أُولَئِكَ هُ ُم ا ْل ُم ْفلِحُون‬

Artinya:

“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan Taubat kepada
kami) pada waktu yang Telah kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi,
Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka
dan Aku sebelum ini. apakah Engkau membinasakan kami Karena perbuatan orang-orang yang
kurang akal di antara Kami? itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan
itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau
kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, Maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat
dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya".(al-A’raf: 155)

Di zaman nabi Musa, selain ditimpa oleh lima buah bencana, sebagaimana yang dijelaskan
pada ayat sebelumnya, mereka juga pernah ditimpa oleh gempa. Gempa ini tidak hanya
menimpa pengikut Fir’aun tetapi juga pengikut Nabi Musa. Menurut ibn ‘Abbas mereka
ditimpa oleh gempa karena mereka tidak melarang kaumnya untuk menyembah anak sapi.[34]
Pendapat ini juga diperpegangi oleh Muhammad ibn Ka’ab al-Qarzhiy, meskipun beliau hanya
mengungkapkan bahwa umat Nabi Musa ini ditimpa musibah karena mereka tidak
melaksanakan ‘amar ma’rûf.

Dan di dalam ayat ini juga dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang menimpa tersebut tidak
hanya sekedar azab bagi umat yang durhaka, melainkan cobaan bagi manusia secara umum.
Yaitu apakah mereka akan beriman, atau justru sebaliknya, engkar setelah adanya cobaan
tersebut.

3. Angin Badai

Angin di dalam bahasa Arab disebut dengan ‫الريح‬. Ini sebagaimana yang didefenisikan oleh al-
Ashfahâniy, menurutnya ‫ وهي فيما قيل الهواء المتهرك‬،‫[الريح معروف‬36] (al-rîh adalah istilah yang
sudah populer, yaitu sebagaimana dikatakan sebagai udara yang bergerak). Kata al-rîh di
dalam al-Qur’an ada yang menunjukkan angin yang membawa rahmat dan ada pula untuk
menunjukkan angin yang membawa bencana. Angin yang membawa bencana di dalam al-
Qur’an diungkapkan dengan kata ‫ الريح‬yang disifati dengan berbagai sifat seperti ،‫ عاسف‬،‫قاصفا‬
‫ عقيم‬atau dengan kata azab. Kata ‘ashif pada dasarnya dipakai untuk penyebutan tanaman yang
hancur. Dan angin yang disifati dengan ‘ashif ini berarti angin tersebut adalah angin yang dapat
menghancurkan apa saja yang mengenainya sebagai mana hancurnya tanaman. Demikian juga
dengan qâshif, kata ini juga berarti sesuatu yang dapat menghancurkan segala sesuatu yang
dilewatinya. Sedangkan ‘aqîm bermakna gersang. Seseorang disebut dengan aqîm jika ia tidak
bisa memiliki anak.

Bencana angin pernah menimpa umat terdahulu seperti angin yang melanda kaum ‘Ad,
sebagaimana yang terdapat di dalam ayat berikut:

ُ ‫صرْ عَى َكأَنَّهُ ْم أَ ْع َج‬


َ ‫ال َوثَ َما ِنيَةَ أَي ٍَّام ُحسُو ًما فَتَ َرى ا ْلقَوْ َم ِفي َها‬ ُ
ْ‫ا‬ ٍ ‫) َس َّخ َرهَا َعلَ ْي ِه ْم َس ْب َع لَ َي‬6(‫ص ٍر عَا ِتيَ ٍة‬
َ ْ‫صر‬ ٍ ‫َوأَ َّما عَاد فَأ ْه ِل ُكوا ِب ِر‬
َ ‫يح‬
ِ ‫نَ ْخ ٍل َخ‬
ٍ‫اويَة‬

Artinya:

”Adapun kaum ‘Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat
kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan
hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-
akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. al-Haaqqah: 69: 6-7)

Selain ayat ini, di dalam QS. Fushshilat: 16 juga memakai istilah‫صر‬


َ ‫ص ْر‬
َ ‫يح‬
ٍ ‫ ِر‬. Kata ‫صر‬
َ ‫ص ْر‬
َ ada
yang memahaminya terambil dari kata al-shirr dengan meng-kasrah-kan huruf shad, yaitu
angin yang sangat dingin yang menusuk ke tulang-tulang, atau dari kata al-shar dengan men-
fatah-kan huruf shad, yaitu angin yang sangat panas. Adalagi yang memahami bahwa ia
terambil dari kata al-sharrah yaitu bermakna suara yang sangat keras. jadi angin tersebut,
demikian dahsyatnya sehingga mengeluarkan suara gemuruh yang sangat keras.

Sebelum angin dingin yang kencang ini melanda kaum ‘Ad mereka menyangka bahwa angin
tersebut merupakan kumpulan awan yang akan membawa hujan buat mereka, namun setelah
sampai, ternyata ia adalah angin yang sangat dingin sebagai azab buat kaum tersebut,
sebagaimana yang terdapat di dalam (QS.Ahqaf: 24).Hal ini berlanjut selama tujuh malam
delapan hari sehingga ini membuat mereka mati bergelimpangan. Di dalam ayat di atas kondisi
mereka diumpamakan seperti tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk bagian dalamnya.
Dan di dalam QS.al-Dzariyat digambarkan kondisi mereka tak obahnya seperti serbuk.

ْ َ‫) َما تَ َذ ُر ِم ْن َش ْي ٍء أَت‬41(‫َوفِي عَا ٍد إِ ْذ أَرْ َس ْلنَا َعلَ ْي ِه ُم ال ِّري َح ا ْل َعقِي َم‬
‫ت َعلَ ْي ِه إِ َّال َج َعلَتْهُ َكال َّر ِمي ِم‬

Artinya:

Dan juga pada (kisah) Aad ketika kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasahkan.
Angin itu tidak membiarkan satupun yang dilaluinya, melainkan dijadikannya seperti serbuk.
(al-Dzariyat: 41-42)

Adapun tabi’at dari kaum ‘Ad yang diungkapkan oleh al-Qur’an, sehingga mereka ditimpa oleh
angin dingin ini, adalah karena mereka adalah umat yang menyombongkan diri di atas bumi
(Qs. Ahqaf: 15), sedangkan di dalam Qs. Haqqah: 4 diungkapkan karena mereka umat yang
mengingkari hari kiamat. Sedangkan di dalam Qs. al-A’raf: 65-72 juga diungkapkan kesalahan
dari kaum ‘Ad ini, yaitu mereka umat yang tidak mengindahkan seruan Nabi Allah Hud as,
bahkan mereka menganggap nabi Hud sebagai orang yang kurang akal dan menantang untuk
didatangkan azab kepada mereka.

Di samping bencana angin badai yang menimpa kaum ‘Ad di dalam al-Qur’an juga dijelaskan
bahwa dengan adanya angin badai yang dingin ini, Allah juga pernah menghancurkan tentara
yang merupakan musuh umat Islam. Ini merupakan salah satu nikmat Allah kepada tentara
Islam waktu itu.

َّ َ‫هللا َعلَ ْي ُك ْم إِ ْذ َجا َء ْت ُك ْم ُجنُود فَأَرْ َس ْلنَا َعلَ ْي ِه ْم ِري ًحا َو ُجنُودًا لَ ْم تَ َروْ هَا َو َكان‬
ِ ‫هللا ُ ِب َما تَ ْع َملُونَ َب‬
‫صيرً ا‬ ِ َّ َ‫َياأَيُّ َها الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ا ْذ ُكرُوا ِن ْع َمة‬

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang Telah dikurniakan)
kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu kami kirimkan kepada mereka angin
topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. dan adalah Allah Maha melihat akan apa
yang kamu kerjakan.” (QS: al-Ahzab: 9)

Peristiwa ini terjadi ketika perang Khandak/Ahdzab. Di mana pada waktu itu tentara Islam
yang hanya berjumlah 3.000 orang, berperang menghadapi kaum Kafir yang berjumlah 12.000
tentara. Adapun bentuk pertolongan Allah waktu itu, salah satunya adalah lewat angin kencang
yang dingin. Angin ini menyerang dan merusak seluruh perbekalan yang mereka bawa.

Meskipun Umat-umat terdahulu pernah dihancurkan oleh Allah dengan angin azab, namun hal
ini juga tidak tertutup akan melanda umat-umat yang hidup belakangan, terutama ketika
mereka melakukan pelayaran. Di mana pada waktu itu manusia tidak bisa merasa aman dari
bahaya badai yang dapat menenggelamkan kapal yang mereka tumpangi. Ini sesuai dengan
ayat berikut yang mencela perilaku kaum musyrikîn yang selalu lupa diri setelah mereka
diselamatkan oleh Allah dari berbagai azab, baik di daratan maupun di lautan:

‫يح فَي ُ ْغ ِرقَ ُك ْم ِب َما َكفَرْ تُ ْمفَيُ ْغ ِرقَ ُك ْم بِ َما َكفَرْ تُ ْم ثُ َّم َال تَ ِجدُوا لَ ُك ْم َعلَ ْينَا‬ ِ ‫أَ ْم أَ ِم ْنتُ ْم أَ ْن يُ ِعي َد ُك ْم فِي ِه تَا َرةً أ ُ ْخ َرى فَيُرْ ِس َل َعلَ ْي ُك ْم قَا‬
ِ ‫صفًا ِمنَ ال ِّر‬
‫ِب ِه تَ ِبيعًا‬

Artinya:

“Atau apakah kamu merasa aman dari dikembalikan-Nya kamu ke laut sekali lagi, lalu dia
meniupkan atas kamu angin taupan dan ditenggelamkan-Nya kamu disebabkan kekafiranmu.
dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun dalam hal Ini terhadap (siksaan) kami.”
(QS: al-Isra’: 69)

4. Petir

Di dalam al-Qur’an petir disebut dengan istilah ‫صاعقة‬. Kata ‫ صاعقة‬dalam bahasa Arab berarti
‫( الصوت الشديد من الجو‬suara yang sangat dahsyat dari udara).[44] Di dalam al-Qur’an penggunaan
kata ‫ صاعقة‬ini selain bermakna petir/api ada juga yang berarti kematian, seperti yang terdapat
di dalam QS. Al-Zumar: 68.

Di antara peristiwa petir yang pernah diabadikan oleh al-Qur’an adalah petir yang pernah
menimpa bangsa Tsamud, umat Nabi Musa dan Kaum ‘Ad. Adapun petir yang menimpa kaum
Tsamud adalah seperti yang terdapat di dalam ayat:

ِ ‫ب ا ْله‬
َ‫ُون بِ َما َكانُوا يَ ْك ِسب ُون‬ َ ‫َوأَ َّما ثَ ُمو ُد فَهَ َديْنَاهُ ْم فَا ْستَ َحبُّوا ا ْل َع َمى َعلَى ا ْلهُدَى فَأ َ َخ َذ ْتهُ ْم‬
ِ ‫صا ِعقَةُ ا ْل َع َذا‬

Dan adapun kaum Tsamud, Maka mereka Telah kami beri petunjuk tetapi mereka lebih
menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, Maka mereka disambar petir azab yang
menghinakan disebabkan apa yang Telah mereka kerjakan. (QS. Fussilat: 17)

َ‫)فَ َعتَوْ ا ع َْن أَ ْم ِر َر ِّب ِه ْم فَأ َ َخ َذ ْتهُ ُم الصَّا ِعقَةُ َوهُ ْم يَ ْنظُرُون‬43(‫َو ِفي ثَ ُمو َد إِ ْذ ِقي َل لَهُ ْم تَ َمتَّعُوا َحتَّى ِحي ٍن‬

Dan pada (kisah) kaum Tsamud ketika dikatakan kepada mereka: "Bersenang-senanglah kalian
sampai suatu waktu. Maka mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, lalu mereka
disambar petir dan mereka melihatnya. (Qs. Al-Dzariyat: 43-44)
Jika di dalam surat al-A’raf Allah menjelaskan bahwa bencana yang menimpa bangsa Tsamud
adalah gempa, maka di dalam ayat ini disebut dengan shâ’iqah/petir. Menurut Quraish Shihab
antara keduanya saling memiliki keterkaitan karena begitu kerasnya petir tersebut, sehingga ia
tidak hanya menggoncangkan hati orang yang mendengar, namun juga dapat menggoncang
bumi dan sekalian bangunan yang ada padanya, Atau yang kita namakan dengan gempa. Jika
diperhatikan pendapat Quraish Shihab ini sangat dapat diterima, mengingat, tidak hanya pada
kisah Tsamud, melainkan pada kisah Musa juga demikian. Di mana terkadang Allah
mengungkapkan azab yang mereka terima adalah shâ’iqah/petir, dan pada ayat lain Allah
mengatakannya dengan rajfah/gempa.

Demikian dahsyatnya peristiwa ini, sehingga pada ayat lain bencana yang diterima bangsa
Tsamud ini disebut dengan istilah thâghiyah (QS. Haqqah: 5), yang dapat diartikan dengan
teriakan yang luar biasa menggelegar, yakni suara guntur yang bercampur dengan kilat.
Sedangkan di dalam Qs. Al-Qamar: 32 bencana tersebut disebut dengan shaihah al-wahidah
(suara keras yang mengguntur) sehingga menyebabkan mereka mati bergelimpangan tak
obahnya seperti batang-batang yang kering lagi lapuk (hasyîm al-muhtazhir).

Adapun dosa yang dilakukan oleh bangsa Tsamud adalah seperti yang telah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya (ketika mereka ditimpa gempa).

Di dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa petir yang melanda kaum ‘Ad dan Tsamud ini
merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi generasi berikut, supaya mereka tidak
engkar dan tidak dilanda petir seperti ini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat berikut:

َ ‫فَإ ِ ْن أَ ْع َرضُوا فَقُلْ أَ ْن َذرْ تُ ُك ْم‬


َ ‫صا ِعقَةً ِم ْث َل‬
‫صا ِعقَ ِة عَا ٍد َوثَ ُمو َد‬

Artinya:

Jika mereka berpaling Maka Katakanlah: "Aku Telah memperingatkan kamu dengan petir,
seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud".(QS. Fussilat: 13)

5. Hujan Batu

Sebuah bencana yang luar biasa dahsyat yang pernah terjadi adalah hujan batu yang menimpa
kaum Luth, sebagaimana yang dijelaskan QS. Hud: 82-83.
َ‫ك َو َما ِه َي ِمنَ الظَّا ِل ِمين‬ ُ ‫فَلَ َّما َجا َء أَ ْم ُرنَا َج َع ْلنَا عَا ِليَهَا َسا ِفلَهَا َوأَ ْمطَرْ نَا َعلَ ْيهَا ِح َجا َرةً ِم ْن ِس ِّجي ٍل َم ْن‬
َ ِّ‫) ُم َس َّو َم ًة ِع ْن َد َرب‬82(‫ضو ٍد‬
‫ِب َب ِعي ٍد‬

Artinya:

Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah
(Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-
tubi, 83. Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang
zalim.

Ketika kaum Luth melakukan tindakan penyimpangan seksual, dan tidak lagi menghiraukan
ajakan Luth (QS. al-A’raf: 80-81), maka Allah mendatangkan kepada mereka bencana yang
sangat dahsyat. Allah menghancurkan negri tersebut sehancur-hancurnya dengan
membalikkannya, yang di dalam ayat di atas diungkapkan dengan istilah “menjadikan yang di
atasnya ke bawahnya”. Negri itu semakin hancur setelah Allah menghujani mereka dengan
hujan sijjil/batu. Sijjil yaitu batu yang terbuat dari tanah, atau tanah yang bercampur air lalu
membeku dan mengeras menjadi batu, sebagaimana yang disebutkan di dalam QS. Al-
Dzariyat: 33 dengan sebutan hijarah min thîn. Masing-masing batu yang ditimpakan tersebut
telah diberi tanda oleh Allah yang khusus dijadikan untuk menghancurkan umat Luth, yang
juga melakukan perbuatan maksiat khusus/di luar fitrah. Menurut banyak ahli tafsir pada
masing-masing batu tersebut telah terdapat nama-nama orang yang akan dihancurkannya. Ini
sebagaimana yang ditulis oleh ibn Katsir, Qurthûbiy dan mufassir lainnya.

Di antara yang termasuk bencana yang non alam dan kemanusiaan yang dijelaskan al-Qur’an
adalah:

1. Bencana Kemanusiaan, berupa ketakutan, kelaparan dan kemiskinan seperti di dalam


QS. Al-Baqarah [2]: 156

Bencana kelaparan merupakan sesuatu yang telah sering dan biasa terjadi di dalam peradaban
umat manusia. Di Zaman Nabi Musa merekapun juga pernah mengalami kesusahan pangan
setelah Allah mengirim kepada mereka hukuman banjir, yang diiringi wabah belalang dan kutu
yang merusak tanaman mereka serta katak-katak menghancurkan persediaan logistik yang
mereka miliki. Di samping itu mereka juga ditimpa oleh penyakit darah.
Di antara yang dapat menyebabkan bencana kelaparan adalah terjadinya kemarau yang
panjang, seperti yang terjadi pada kisah Yusuf. Di mana untuk mengatasi paceklik Yusuf
mengusulkan untuk menanami tanaman sebelum masa kemarau itu datang.

Bencana-bencana kekurangan pangan ini boleh jadi merupakan ujian dari Allah (Qs. al-
Baqarah: 150) atau merupakan peringatan dan azab karena keingkaran yang dilakukan manusia
(QS. Al-Nahl: 112).

2. Musibah Kematian, seperti Firman Allah dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 106

Di dalam ayat ini Allah mengungkapkan istilah mushibah al-maût yaitu tanda-tanda akan
datangnya kematian. Jika hal ini menimpa seseorang yang berada di perjalanan, ia ingin
berwasiat dan tidak ada orang yang beriman, maka ia boleh menjadikan saksi selain dari orang
yang beriman.

3. Kekalahan di medan perang

Kekalahan di medan perang menurut al-Qur’an dianggap sebagai sebuah bencana. Sebagai
contoh adalah apa yang menimpa umat Islam ketika perang Uhud. Di dalam perang itu tentara
Islam mengalami kekalahan dan sekian banyak dari sahabat Nabi meninggal. Ketika itu turun
Firman Allah (QS. Ali ‘Imran: 140-141) yang menjelaskan bahwa bencana yang dialami
tentara Islam merupakan bala’ dari Allah, sehingga jelas mana yang betul-betul beriman dan
mana yang tidak.

B. Penyebab dan Maksud Diturunkannya Bencana

Dari penjelasan dan isyarat ayat al-Qur’an, setidaknya bencana yang menimpa manusia dapat
dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu:

1. Bencana/Musibah tidak terjadi kecuali atas izin Allah

]11 :64 ،‫ [التغابن‬.‫هلل يَ ْه ِد قَ ْلبَهُ َوهللاُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليم‬ ِ ‫صيبَ ٍة إِالَّ ِبإ ِ ْذ ِن‬
ِ ‫هللا َو َمن ي ُْؤ ِمن ِبا‬ ِ ‫اب ِمن ُّم‬
َ ‫ص‬َ َ‫َما أ‬

Artinya:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah, dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Taghabun (64): 11]

Menurut Sayyid Quthub apa yang diungkapkan di dalam ayat ini merupakan dasar atau hakikat
keimanan. Di mana segala sesuatunya terjadi adalah atas izin Allah. Sehingga seseorang yang
ditimpa musibah akan sadar bahwa itu semua terjadi adalah atas kehendak Allah. Dengan ini
orang yang beriman hatinya akan tetap tenang ketika terjadi bencana, sedangkan bagi yang
sempat lalai mereka akan ingat kembali kepada Allah dan senantiasa mengintrospeksi diri atas
kesalahan yang diperbuat. Sedangkan terhadap bagi orang yang engkar semuanya ini
diturunkan oleh Allah sebagai hukuman atas apa yang telah mereka perbuat.

2. Musibah Sebagai Dampak Kesalahan Manusia (human eror)

Manusia sebagai penyebab timbulnya musibah digambarkan dengan beberapa istilah di dalam
al-Qur’an seperti: karena tangan manusia, karena kezhaliman yang mereka lakukan, karena
keengkaran mereka atau dosa yang mereka lakukan, sehingga semuanya itu terjadi sebagai
hukuman atas apa yang telah mereka perbuat, baik secara langsung maupun tidak. Ini seperti
yang ditegaskan oleh firman Allah berikut:

]30 :42 ،‫ [الشورى‬.‫ت أَ ْي ِدي ُك ْم َويَ ْعفُو عَن َكثِي ٍْر‬


ْ َ‫صيبَ ٍة فَ ِب َما َك َسب‬ َ َ‫َو َما أ‬
ِ ‫صابَ ُكم ِّمن ُّم‬

Artinya:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. al-Syura
(42): 30]

Di antara bentuk perbuatan mereka tersebut adalah berbagai dosa dan kesalahan yang
dilakukan manusia, sebagaimana ayat berikut:

ِ َّ ‫ْض ُذنُوبِ ِه ْم َوإِ َّن َك ِثيرًا ِمنَ الن‬


َ‫اس لَفَا ِسقُون‬ ِ ُ ‫هللاُ أَ ْن ي‬
ِ ‫صيبَهُ ْم ِببَع‬ َّ ‫أَنَّ َما ي ُِري ُد‬

Artinya:

Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan


sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang
yang fasik. (QS. Al-Maidah:49)
Surat al-Syura: 30, menurut ibn ‘Asyur memiliki kaitan yang erat dengan ayat ke-28, yang
menguraikan tentang diturunkannya hujan setelah sebelumnya masyarakat Mekah menderita
paceklik. Di sini mereka diingatkan bahwa petaka yang mereka alami adalah akibat
kedurhakaan mereka terhadap Allah. Meski ayat ini secara konteks tertuju kepada kafir Mekah,
namun dari segi kandungannya tertuju kepada seluruh masyarakat, kapanpun dan dimanapun.

Maka berbagai bencana yang timbul, pada dasarnya diakibatkan oleh manusia dengan ragam
dosa-dosa yang dilakukannya sendiri, al-Qur’an telah membuktikannya, bagaimana Musibah
menimpa umat terdahulu karena dosa dan kekafiran mereka.

Kaum Nabi Hud mendustakan Nabinya, maka mereka dibinasahkan oleh Allah dengan angin
(QS. al-Hâqqah: 69: 6-7), kaum Nabi Shaleh angkuh, kafir, dan menyembelih onta mukjizat
yang tidak boleh diganggu, maka dilanda dahsyatnya bermacam-macam azab, seperti petir dan
gempa (QS. Al-A’raf: 77-79), Kaum Nabi Nuh diazab oleh Allah karena kemusyrikan dan
kemaksiatan yang mereka lakukan. Mereka ditenggelamkan dengan banjir, hingga salah
seorang anak Nabi Nuh sendiri, yang bernama Qan’an pun turut tenggelam karena
keinkarannya, seperti disebutkan dalam surat Huud : 41-44, Kaum Nabi Luth terlibat praktek
penyimpangan seksual hubungan sejenis– sehingga diazab Allah dengan hujan batu panas dan
buminya dibalik, sedangkan kaum Nabi Syu’aib di Madyan penduduknya menjadi mayat-
mayat yang bergelimpangan akibat dihantam gempa karena telah meluasnya tindak kecurangan
dalam menakar dan menimbang (al-A’raf: 85-94). Begitupun Fir’aun dan kroni-kroninya
dihujani bencana beruntun dengan angin topan, belalang, kutu, kodok, dan darah, serta gempa
(Al-A’raf: 133-136)

Meski manusia sebagai penyebab diturunkannya musibah, namun pada hakekatnya menurut
penulis semua tetap diturunkan oleh Allah.

3. Bencana/Musibah bertujuan untuk menempa manusia

Al-Qur'an menegaskan bahwa:

‫ لِ َك ْيالَ تَأْسَوْ ا َعلَى َما‬.‫ب ِّمن قَب ِْل أَن نَّب َْرأَهَا إِ َّن َذ ِلكَ َعلَى هللاِ يَ ِسير‬
ٍ ‫ض َوالَ فِي أَنفُ ِس ُك ْم إِالَّ فِي ِكتَا‬ِ ْ‫صيبَ ٍة فِي اْألَر‬ ِ ‫اب ِمن ُّم‬ َ ‫ص‬ َ َ‫َما أ‬
]23-22 :57 ،‫ [الحديد‬.‫ور‬ ٍ ‫فَاتَ ُك ْم َوالَ تَ ْف َرحُوا بِ َما آتَا ُك ْم َوهللاُ الَ يُ ِحبُّ ُك َّل ُم ْختَا ٍل فَ ُخ‬

Artinya:

“Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kamu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. al-Hadid (57): 22-23]

Jadi di samping untuk menghukum manusia-manusia yang engkar, bencana atau musibah juga
dapat melatih manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang sadar. Sehingga ini dapat
meningkatkan derajat mereka.

Selain itu dengan adanya bencana juga akan dapat menampakkan mana yang betul-betul hamba
Allah yang beriman, dan mana mereka yang munafik.
BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan singkat terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai bencana dapat


disimpulkan bahwa bencana yang terjadi di muka bumi ini, baik bencana alam maupun
nonalam, merupakan fitnah yang diturunkan atas izin Allah. Di mana bencana tersebut tidak
hanya menimpa orang-orang yang berdosa saja melainkan juga mereka yang tidak berdosa
(berbuat salah). Ketika yang ditimpa itu adalah orang yang engkar, itu merupakan ‘iqab dari
dosa yang ia lakukan, sedangkan bagi yang beriman itu dapat dijadikan ujian yang akan
meningkatkan derajatnya di sisi Allah. Selain itu dengan adanya bencana juga akan tampak
mana yang betul-betul orang yang memihak kepada Agama Allah dan mana yang munafik.
Maraji

Al-Ashfahâniy, Abiy al-Qâsim Al-Husain ibn Muhammad ibn Mufadhdhal, al-ma’ruf bi al-
Rhâghib, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002

Al-Biqa’iy, Burhan al-Dîn abiy al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar, Nazm al-Durar fi Tanâsub al-
Ayat wa al-Suwar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H

Al-Hâim, Syihab al-Dîn Ahmad ibn Muhammad al-Mishriy, Al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-
Qur’an, Al-Qahirah: Dar al-Shahabah al-Turats bi Thantha, 1992

Jalal al-Dîn Ahmad ibn Muhammad al-Mahalliy dan Jalal al-Dîn ‘abd al-Rahmân ibn Abiy
Bakr al-Suyûthiy, Tafsîr Jalaian, Qahirah: Dar al-Hadîts, [t.th]

Ibn Katsîr, Abu al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar al-Qursyiy al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qur’an al-
Azhîm, Tahqiq Sami Muhammad Salamah, Majma’ al-Mulk Fahd: Dar al-Thayyibah, 1999

Al-Khalwatiy, Isma’il Haqqiy ibn Mushthafa all-Istanbûliy al-Hanafiy, Tafsîr Ruh al-Bayân,
Al-Qahirah: Dar al-Ihyya’ al-Turats, [t.th]

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Washith, Kairo: Maktabah al-Syuruq, 2004

Ibn Manzur, Al-Imam al-‘Alamah, Lisân al-Arab, Beirut: Dar al-Shadir, [t.th]

Al-Maraghiy, Ahmad Mushtafa, Tafsîr al-Maraghiy, Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah


Mushthafa al-Bâbiy al-Halabiy wa Auladuhu, 1946

Al-Qurthûbiy, abiy ‘abd Allah Muhammad ibn Ahmad Ahmad abiy Bakr ibn Farah al-Anshariy
al-Khazrajiy Syams al-Dîn, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’an, Riyad: Dar al-Kutub, 2003

Al-Rhaziy, Muhammad ibn abi Bakr ibn ‘abd al-Qâdir, Mukhtar al-Shihah, Beirut: Maktabah
Libnan al-Nasyirun, 1995

Shihab, M. Quraish, Menabur pesan ilahi, al-Qur’an dan dinamika Kehidupan Masyarakat,
Jakarta: Lentera hati, 2006

__________, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,
2008

Al-Suyuthi, ‘Abd al-Rahman ibn Kamal Jalaluddin, Al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-
Ma’tsur, Beirut: Dar al-Fikr, 1993
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990

‘Umar, Ahmad Mukhtar, al-Mu’jam al-Maushû’iy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm wa


Qirâ’âtuhu, Qism al-Alfadz Riyadh: Muassasah Sutur al-Ma’rifah, 1423

Undang-undang Nomor. 24 tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, Bab I, Pasal. 1

http:// wikipedia.org/wiki/Bencana_alam

Anda mungkin juga menyukai