PENDAHULUAN
1
2
sebaliknya tidak berlaku. Selanjutnya, ulasan studi empiris pada SDL dan
SRL di PBL dilakukan. Hasil menunjukkan bahwa SDL dan SRL adalah
proses pengembangan, bahwa aspek "mandiri" sangat penting, dan
bahwa PBL dapat mendorong SDL. Disimpulkan bahwa kejelasan
konseptual tentang apa yang diperlukan SDL dan bimbingan bagi guru
dan siswa dapat membantu PBL untuk memunculkan pembelajar mandiri.
Mary (2013) melakukan penelitian dengan judul Supporting Student
Self-Regulated Learning in Problem- and Project-Based Learning
menemukan bahwa agar berhasil dalam PBL, siswa harus bertanggung
jawab atas proses belajar mereka sendiri. Ini termasuk proses pengaturan
diri untuk mempertahankan motivasi, menetapkan tujuan, memantau
kemajuan, dan terlibat dalam refleksi diri. Walaupun siswa harus
bertanggung jawab dengan proses belajar mereka sendiri namun ada hal-
hal yang harus digaris bawahi, seperti penelitian yang dilakukan Elizabeth
B & Caroly J (2015) menemukan bahwa memberikan dukungan untuk
remaja selama masa transisi ini sangat penting dalam membantu mereka
menyelesaikan tugas yang diperlukan, yang mana transisi ke manajemen
diri diabetes adalah tantangan bagi remaja.
Menurut Sternberg (dalam Desmita, 2009) kemandirian terdiri dari
tiga aspek yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy),
kemandirian dalam bertingkah laku (behavior autonomy), dan kemandirian
nilai (value autonomy). Menurut Mohammad Ali dan Muhammad Asrori
(2015) ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi
perkembangan kemandirian yaitu. Pertama, gen atau keturunan orang
tua. Kedua, pola asuh orang tua. Ketiga, sistem pendidikan di sekolah.
Keempat, sistem kehidupan di masyarakat.
Berdasarkan uraian dan studi pendahuluan tersebut, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan antara
adversity quotient (AQ) dengan kemandirian belajar pada Siswa SMK
Negeri 6 Palembang”.
10
11
4. Motivasi
Stoltz (2007) meminta seorang direktur perusahaan farmasi untuk
mengurutkan timnya sesuai dengan motivasi mereka yang terlihat.
Kemudian Stoltz mengukur AQ anggota-anggota timnya. Tanpa
terkecuali, baik berdasarkan pekerjaan harian maupun untuk
jangka panjang, mereka yang AQ tinggi dianggap sebagai orang-
orang yang paling memiliki motivasi.
5. Mengambil Resiko
Ketika seseorang tidak adanya kemampuan memegang kendali,
tidak ada alasan untuk mengambil resiko. Bahkan resiko-resiko
sebenarnya tidak masuk akal. Yaki bahwa apa yang anda kerjakan
tidak ada faedanya. Satterfield dan Seligmen (dalam Stoltz, 2007)
membuktikan bahwa orang-orang yang merspons kesulitan secara
lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko
merupakan aspek esensial pendakian.
6. Perbaikan
Untuk bertahan hidup kita harus melakukan perbaikan, apakah itu
dalam perusahaan atau dalam kehidupan pribadi, seseorang harus
melakukan perbaikan untuk mencegah supaya tidak ketinggalan
zaman dalam karier dan hubungan-hubungan seseorang. Stoltz
(2007) menemukan bahwa orang-orang yang memiliki AQ lebih
tinggi menjadi lebih baik, sedangkan orang-orang yang AQ-nya
lebih rendah menjadi lebih buruk.
7. Ketekunan
Ketekunan merupakan inti dari AQ. Ketekunan adalah kemampuan
untuk terus-menerus berusaha, bahkan manakalah dihadapkan
pada kemunduran-kemunduran atau kegagalan. Hanya sedikit sifat
manusia yang bisa mendatangkan banyak hasil dibandingkan
dengan ketekunan, terutama jika digabungkan dengan sedikit
kreativitas. Seligeman (dalam Stoltz, 2007) membuktikan bahwa
para tenaga penjual, kadet militer, mahasiswa, dan tim-tim
olahraga yang merespons kesulitan dengan baik akan pulih dari
kekalahan dan akan mampu terus bertahan. Seseorang yang
responsnya buruk ketika berhadapan dengan kesulitan akan mudah
menyerah. AQ menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk
bertekun.
8. Belajar
24
Inti informasi pada abad ini adalah sebuah kebutuhan untuk terus-
menerus mengumpulkan dan merespons arus pengetahuan yang
tiada hentinya. Seligmen dan peneliti-peneliti lainnya membuktikan
bahwa orang yang pesimis merespons kesulitan sebagai suatu hal
yang permanen, pribadi dan meluas. Carol Dwek (dalam Stoltz,
2007) membuktikan bahwa anak-anak dengan respons-respons
pesimis terhadap kesulitan tidak banyak belajar dan berprestasi jika
dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih
optimis.
9. Merangkul Perubahan
Ketika seseorang ingin sukses maka harus siap dengan segala
peruabahan yang tidak terduga, bahkan para pendaki sekalipun.
Agar bisa sukses, seseorang harus secara efektif mengatasi dan
memeluk perubahan tersebut. Ketika seseorang mampu merubah
AQ sekumpulan orang, maka orang tersebut dapat membuat
peruabahan berlangsung dengan lancar dan efisien. Perubahan
menjadi bagian dari hidup yang disambut dengan baik, bukan
beban yang membuat kewalahan. Seseorang yang memeluk
peruabahan cenderung merespons kesulitan secara lebih
konstruktif dengan memanfaatkan untuk memperkuat niat mereka.
Mereka merespons dengan mengubah kesulitan menjadi peluang.
Orang-orang yang hancur oleh perubahan akan hancur oleh
kesulitan.
Sedangkan menurut Minarti (2009) adversity quotient merupakan
sebuah alat ukur yang akan menentukan beberapa kondisi kontradiktif
dalam diri seseorang. Adapun kondisi kontradiktif yang dapat membangun
adversity quotient adalah sebagai berikut.
1. Ketangguhan,
2. Keyakian,
3. Kekuatan,
4. Kepercayaan diri,
5. Berbesar hati,
6. Daya tahan,
7. Daya juang,
8. Tidak pernah bosan untuk mencoba,
9. Berani memulai,
10. Kreatif,
11. Optimisme,
25
12. Ketekunan,
13. Keuletan,
14. Vitalitas,
15. Orientasi masa depan,
16. Kaya akan berbagai kemungkinan.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi adversity quotient (AQ) maka peneliti menyimpulkan
terdapat sembilan faktor yang mempengaruhi, yaitu: daya saing,
produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil resiko, perbaikan,
ketekunan, belajar dan merangkul perubahan.
ف ِمنَ بـ ِ َش ْي ٍء َولَنـ َ ْبلُ َونَّ ُك ْم ِ ْال َخو ْع َوالجُو ِ ص ٍ ت َوَأل ْنفُس اَأل ْم َوا ِل ِمنَ َونَ ْق ِ قلى َوالَّث َم َرا
(٦ه١) َصبِ ِر ْين َّ ) َوبَ ِّش ِرال١٥٥( َالَّ ِذ ْين صبَ ْتهُ ْم ِإ َذا َ ص ْيبَةٌ َأ
ِ قَالُوْ ا ُم ِ ِإنَّاهَّلِل َو ِإنَّا ر’ ِجعُوْ نَ ِإلَ ْي ِه
(١٥٧) ك َ ُأولَِئ َعلَ ْي ِه ْم ت
ٌ صلَ َوَ َّربِ ِهم ِّمن ٌ َو َرحْ َمة صلى َ َولَِئك هُ ُم َال ُمهْـتَـ ُدون
Artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan “inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S Al-Baqarah 155-157)
Orang yang sabar senantiasa memliki sikap tauhid dalam diri,
bahwa diri ini adalah milik Allah SWT. Sikap tauhid ini akan
mengembangkan kekuatan, energi dan untuk menebus rintangan-
rintangan dan ujian-ujian hidup ini dengan baik. Sabar yang terpuji ialah
karena Allah dan bukan untuk memperoleh pujian atau tanda jasa dari
manusia (Qordhowi, 1993). Oleh karena Allah berfirman “Dan untuk
Rabbmu hendaklah kamu bersabar” (Q.S Al-Muddatstsr 7)
Oleh karena itu, orang yang beriman dan memiliki ketangguhan,
tidak akan memiliki rasa mudah putus asa karena memiliki kepercayaan
diri yang sangat kuat, didorong kekuatan iman yang tangguh, sehingga
menjadikan kegagalan mampu untuk diatasi. Sebagaimana Allah SWT
berfirman dalam Q.S Al-Insyirah 1-8 sebagai berikut:
(٣) َألَ ْم ْنَ ْش َرح ك َ َك ل َ ص ْد َر َ )١( ض ْعنَا َ ) ِو ْز َركَ َع ْنكَ َو َو٢( ض الَّ ِذي َ َك َأ ْنق َ ظَه َْر
(٦) َك َو َرفَ ْعن َ َك لَ ) ِذ ْك َر٤( ْر َم َع فَِإ َّن ِ ) يُ ْسرًا ْال ُعس٥( ْر َم َع ِإ َّن ِ يُ ْسرًا ْال ُعس
(٨)صبْ فَ َر ْغتَ فَِإ َذ َ ) فَا ْن٧( ك َوِإلَى َ ِّفَارْ غَبْ َرب
Artinya: ”Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu,
dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang
memberatkan panggungmu. Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai dari suatu
urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S
Al-Insyirah: 1-8)
Dalam surat di atas terdapat dua kalimat yang diulang, yaitu
“bersama kesulitan ada kemudahan”. Artinya ayat ini mengisyaratkan agar
setiap manusia mau merenungkan bahwa setiap kesulitan, kesengsaraan,
kemalangan, dan kesakitan merupakan pintu untuk memasuki rahasia dan
hakikat kemudahan, kebahagiaan dan kesuksesan yang membuat damai.
28
2.5 Hipotesis
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka hipotesis yang diajukan
adalah ada hubungan antara adversity quotient (AQ) dengan kemandirian
belajar pada siswa SMK Negeri 6 Palembang.
BAB III
METODE PENELITIAN
32
33
2.1.2 Sampel
Sutrisno Hadi (dalam Reza, 2016) menyatakan bahwa sampel
adalah sebagian dari populasi, sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang
dari jumlah populasi. Juga sampel harus mempunyai paling sedikit satu
sifat yang sama, baik sifat kodrat maupun sifat kekhususan. Jumlah
populasi yang akan diambil pada siswa SMK Negeri 6 Palembang yaitu
secara acak, dari populasi berjumlah 340 orang yang masih tercatat
sebagai siswa di SMK Negeri 6 Palembang.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian, peneliti menggunaka
dan melihat tabel pengambilan sampel yang dikembangkan oleh Isaac dan
Michael. Pada taraf kesalahan 5% didapatkan 172 orang dari jumlah
populasi 340 siswa pada jurusan perhotelan SMK Negeri 6 Palembang.
Peneliti menggunakan teknik Cluster Random Sampling . teknik ini
dilakukan terhadap unit sampling yang merupakan suatu kelompok. Selain
itu menurut Sugiyono (2017) teknik ini digunakan apablia menentukan
sampel bila objek yang akan diteliti atau sumber data yang luas. Adapun
kriteria sampel dalam kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
a. Siswa jurusan Perhotelan SMK Negeri 6 Palembang.
b. Berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
c. Bersedia mengisi kuosioner.
yang menunjukkan skala dengan tiga atau lima poin, apakah dia setuju
atau tidak setuju dengan pernyataan tertentu (Azwar, 2016). Dalam
penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu: skala adversity quotienti
(AQ) dan skala kemandirian yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi
pada kedua variabel penelitan.
3.6.2 Reliabelitas
Salah satu ciri instrumen ukur yang berkualitas baik adalah reliabel
(relable), yaitu mampu menghasilkan skor yang cermat dengan eror
pengukuran kecil. Pengukuran reliabilitas pada penelitian ini menggunakan
teknik Alpha Cronbach dengan koefisien reabilitas (r xx) berada dalam
rentang angka 0 sampai dengan 1,00, semakin tinggi mendekati angka
1,00 berarti pengukuran semakin reliabel (Azwar,2015).
normal atau tidak jika niai p > 0,05 maka dikatakan data berdistribusi
normal, namun sebaliknya jika nilai p ≤ 0,05 maka data dinyatakan tidak
normal (Reza, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Al-Usfuri, Muhammad. (1994). Petuah Usfuriyah. Surabaya:
Mutiara Ilmu.
Ad-Zakiey, Hamdani Bakran. (2015). Prophetic Intelligence, Kecerdasan
Kenabian. Yogyakarta: Al-Manar
Ali, M & Asrori, M. (2015). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta didik .
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Alhamdu. (2016). Analisis statistik dengan Program SPSS . Palembang:
Noerfikri.
Alsa, Asmadi. (2004). Pendekatan kuantitatif dan kualitatif serta
kombinasinya dalam peneltian psikologi . Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Arifah, K., Sri H., & Imam S. (2010). Hubungan Kemandirian Dengan
Adversity Intelligence Pada Remaja Tuna Daksa Di SLB-D YPAC
Surabaya. Proceeding Konferensi Nasional II Ikatan Psikologi Klinis
– Himpsi, 252-275.
Azwar, Saifuddin. (2015). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Azwar, Saifuddin. (2016). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Babler, E & June, C.S. (2015). Moving The Journey Towards
Independence: Adolescents Transitioning To Successful Diabetes
Self-Management. Journal of Pediatric Nursing, 30, 648-660.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Desmita. (2017). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
English, Mary C. (2013). Supporting Student Self-Regulated Learning in
Problem- and Project-Based Learning. The Interdisciplinary Journal
of Problem-based Learning, Vol. 7, No. 2.
Hema G & M. Gupta, Sanjay. (2015). Adversity Quotient for Prospective
Higher Education. The International Journal of Indian Psychology ,
Volume 2, Issue 3
Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi perkembangan edisi kelima.
Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
M. Sofie, Loyens, M & Magda, J. (2008). Self-Directed Learning in
Problem-Based Learning and its Relationships with Self-Regulated
Learning. Educ Psychol Rev, 20:411–427.
40