Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pendidikan di Indonesia terus mengalami peningkatan dan
perbaikan dari tahun ke tahun, pemerintah Indonesia terus melakukan
perubahan-perubahan untuk dapat menciptakan pendidikan yang lebih
baik lagi, seperti perubahan pada sistem kurikulum, perubahan pada
sistem ujian nasional dan tidak kalah hebohnya pada 2019 ini yaitu
diterapkannya sistem zonasi, tentu saja dalam setiap keputusan
pemerintah pasti adanya pro dan kontra, akan tetapi dengan adanya
perubahan tersebut diharapkan berfungsi untuk memberikan kemudahan
pada siswa. Pendidikan sendiri ialah segala usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani
dan rohani (Purwanto, 1988). Artinya dapat dikatakan pendidikan itu
terjadi jika adanya interaksi sosial antara murid dan pendidik itu sendiri.
Proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa adanya pendidik,
pendidik yang dimaksud di sini ialah seorang guru. Tanpa adanya seorang
guru dalam dunia pendidikan maka tidak bisa menjalankan proses
pendidikan. Adapun tujuan pendidikan menurut Dewey ialah membentuk
anak menjadi warga negera yang baik. Untuk itu sekolah-sekolah
mengajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi kehidupannya
dalam masyarakat (Purwanto, 1988). Pemerintah Indonesia telah
menggariskan dasar-dasar dan tujuan pendidikan dan pengajaran itu
dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1954, terutama dalam pasal 3 dan
4 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3: tujuan pendidikan dan
pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air. Pasal 4: pendidikan dan pengajaran berdasar
atas asas-asas yang termaktub dalam “Panca Sila” Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dan atas dasar kebudayaan kebangsaan
Indonesia.
Belajar merupakan proses, yang artinya kegiatan belajar terjadi
secara dinamis dan terus-menerus yang menyebabkan terjadinya
perubahan dalam diri anak (Sapuri, 2009). Di mana seorang siswa belajar
berdasarkan fase atau jenjang sesuai dengan kemampuan dan usia dari
sang anak. Jenjang pendidikan di Indonesia adalah tahapan pendidikan
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan

1
2

yang dicapai dan kemampuan yang dikembangkan. Tahapan pendidikan


formal di Indonesia yaitu mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA), dan Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi. Untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi seorang siswa harus menyelesaikan terlebih dahulu tahapan
yang sedang siswa jalani.
Selain menuntut ilmu dan belajar siswa memiliki motivasi tersendiri
ketika mengenyam bangku sekolah yaitu setelah siswa tamat, siswa
dituntut untuk dapat sukses di dunia luar. Namun faktanya masih banyak
anak-anak yang belum mampu untuk bersekolah, apa lagi anak-anak yang
berada di pinggiran. Tidak hanya itu bagi anak yang bersekolah masih
dihantui oleh ketakutan akan masa depan, pendidikan yang seharusnya
memberikan bekal baik ilmu, moral dan keahlian yang siswa pelajari di
bangku sekolah tidak dapat menjamin siswa tenang karena semakin
sengitnya dunia kerja pada saat ini.
Lapangan kerja yang tersedia saat ini tidaklah sebanding dengan
jumlah pencari kerja yang semakin hari semakin meningkat, untuk
memasuki dunia kerja banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi
mulai dari persyaratakan nilai ujian yang harus sesuai dengan persyaratan
maupun berkas-berkas lainnya serta tidak kalah pentingnya skill yang
harus dimiliki untuk dapat bersaing dengan pencari kerja lain. Di
Indonesia terdapat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu jenis
pendidikan formal yang memberikan pendidikan vokasional dengan
menitikberatkan pada pengetahuan, keterampilan, dan keahlian sehingga
para siswanya siap memasuki dunia kerja. Peraturan pemerintah No. 29
tahun 1990 tentang pendidikan menengah Bab I Pasal I Ayat 3
menyatakan bahwa pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan
pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan
kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu.
Program pendidikan SMK dikhususkan bagi siswa yang mempunyai
minat tertentu dan siap untuk bekerja serta membuka lapangan pekerjaan
sesuai dengan keterampilan dan bakat yang dimiliki (Depdiknas, 1990).
Namun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018
yang menunjukan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia
sebesar 6,99 juta orang, atau 5,34 persen dari jumlah angkatan kerja
sebanyak 131,01 juta jiwa. Dari jumlah tersebut lulusan SMK menganggur
3

tercatat 11,24 persen, sementara lulusan SMA menganggur mengambil


porsi 7,95 persen.
Selanjutnya data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari
2019, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) masih tertinggi di antara tingkat pendidikan lainnya, yaitu
sebesar 8,63 persen (BPS, 2019). Berdasarkan data tersebut ternyata
lulusan dari SMK lebih banyak menganggur dari pada lulusan SMA yang
mana secara praktik lulusan SMK lebih siap memasuki dunia kerja
dibandikan lulusan SMA maka hal ini perlu untuk dipertanyakan.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yaitu pendidikan yang
bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar lebih mampu berkerja pada
suatu kelompok perkerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lainnya.
Sehingga siswa lebih menguasai bidang yang ditekuni dan diharapkan
siswa yang telah lulus dapat menerapakan ilmu yang sudah didapat dalam
dunia kerja karena sudah dibekali dengan keahlian yang dimiliki. Keahlian
yang dimiliki diharapkan siswa mampu mandiri dalam bidang pendidikan
yang telah ditempunya saat di bangku sekolah, kemudian siswa mampu
mangatasi kesulitan dan mengelola kesulitan tersebut sesuai dengan
keahlian yang sudah siswa dapatkan selama di bangku sekolah. Untuk
bisa bersaing dalam dunia kerja, banyak hambatan yang menghadang
perjalanan siswa menuju kesuksesan dan hambatan-hambatan tersebut
menjadi penghalang yang menakutkan bagi siswa.
Kesuksesan akan didapatkan jika mereka memiliki kemampuan
untuk merubah hambatan menjadi peluang. Untuk dapat sukses banyak
hambatan yang akan dilalui, hanya orang-orang tertentu saja yang
mampu untuk bertahan. Ternyata dalam mengatasi kesulitan untuk dapat
sukses ada satu kecerdasan yang mana kecerdasan IQ dan EQ saja tidak
cukup, kecerdasan itu ialah adversity quotient (AQ). Sejalan dengan hal
itu Shrutika V, Ankita A & Harshita B (2017) adversity quotient memainkan
peran utama ketika memutuskan apakah seseorang akan dapat mengelola
dan bekerja secara efektif di bawah tekanan dan kondisi buruk atau tidak.
Sementara kecerdasan emosional memainkan peran utama ketika
mengidentifikasi emosi dan membantu orang untuk memahami emosi
secara efektif. Keduanya aspek penting yang harus ditangani ketika
mempertimbangkan manajer tingkat atas karena mereka perlu memahami
secara efektif dan mengenali emosi seseorang dan karena mereka akan
memiliki kondisi buruk setiap hari di pekerjaan dan kehidupan pribadi
mereka dan perlu fokus setiap hari. Banyak penelitian yang menyimpulkan
4

positif hubungan dan korelasi tinggi antara kecerdasan adversity dan


kecerdasan emosional. Hal sama, penelitian dilakukan oleh Soysub (2018)
menunjukan bahwa IQ, EQ dan AQ saling mempengaruhi kinerja
karyawan.
Menurut Stoltz (dalam Sapuri, 2009) adversity quotient (AQ) adalah
kemampuan individu untuk bertahan menghadapi kesulitan dan
kemampuan untuk mengatasinya. Adversity quotient (AQ) merupakan
kecerdasan dalam mengubah kesulitan, tantangan dan hambatan menjadi
peluang yang besar. Adversity quotient (AQ) pada intinya membahas
tentang ketahanan seseorang untuk berusaha mencapai sesuatu yang
paling tinggi, menurut ukuran kemampuan yang dimiliki dan dilakukan
dengan terus-menerus (Sapuri, 2009).
Menurut Stoltz (2007) adversity quotient (AQ) terdiri atas empat
dimensi yang biasa disingkat CO2RE. Pertama, C=control (kendali) yang
mana dimensi ini melihat kendali yang akan dirasakan seseorang terhadap
peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kedua, O2=Origin-ownership (asal-
usul dan pengakuan) O2 merupakan kependekan dari “origin” (asal-usul)
dan “ownership” (pengakuan) O2 mempertanyakan dua hal. Pertama,
siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan. Kedua, sampai sejauh
manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu. Kedua
pernyataan tentang asal-usul dan pengakuan hampir mirip, namun jika
dicermati lagi, ternyata memiliki perbedaan diantara keduanya . Ketiga,
R=reach (jangkauan) mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan
menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang . Keempat,
E=endurance (daya tahan) Dimensi ini mempertanyakan dua hal.
Pertama, berapa lama kesulitan akan berlangsung. Kedua, berapa
lamakah kesulitan itu akan berlangsung.
Realita yang ada saat ini menunjukkan bahwa para siswa kurang
begitu memiliki semangat atau daya juang dalam menghadapi kesulitan
yang sedang mereka hadapi. Hal ini bisa saja dengan gaya hidup yang
hampir semua dilakukan secara instan tidak seperti zaman nenek atau
orang tua kita dulu, hampir semua keperluhan sehari-hari dilakukan
secara manual tidak seperti saat ini yang kita rasakan. Siswa saat terlalu
mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan kesulitan atau masalah
yang mereka hadapi. Hal ini sesuai dengan temuan peneliti setelah
melakukan studi pedahuluan pada beberapa siswa SMK Negeri 6
Palembang jurusan perhotelan. Pertama, siswa yang berinisial M jurusan
perhotelan. Adapun hasil wawancara dengan subjek M:
5

“Setiap tugas-tugas aku kerjakan sendiri kak... Kalau misal ngurus


admnistrasi-administrasi waktu masuk sekolah dulu aku dibantuin
oleh orang tua aku kak. Kan aku baru pertama kali ke sekolah
jadi orang tua aku yang membantu ” (Wawancara tanggal 20 Mei
2019).
Subjek M ini awalnya menjelaskan kalau tugas-tugas sekolah
dikerjakannya sendiri. Akan tetapi ketika subjek M pertama kali ke sekolah
untuk daftar ulang dan menyerahkan persyaratan administrasi subjek M
ini membutuhkan bantuan orang tuanya karena subjek M ini merasa
dirinya baru pertama kali sehingga membutuhkan bantuan orang tua.
Selanjutnya peneliti melakukan studi pendahuluan terhadap subjek lain,
subjek ini berinisial S jurusan perhotelan. Adapun hasil wawancaranya
sebagai berikut:
“Banyak sekali kak tugas yang diberikan guru, kadang tidak habis
pikir dengan tugas yang banyak... Meskipun banyak tapi harus
diselesaikan juga karena menyangkut nilai juga kak... Biasanya
kalau tugas banyak dan aku sudah tidak bisa mengerjakannya aku
liat punya teman tapi jawabannya aku beda-bedain tidak terlalu
sama, nanti kalau sama gurunya curiga ” (Wawancara tanggal 20
Mei 2019).
Subjek D merasa tugas yang diberikan guru banyak, meskipun
banyak subjek D ini tetap mengerjakannya sampai selesai karena
menyangkut nilai katanya. Akan tetapi jika tugas itu sudah tidak bisa
dikerjakan maka solusinya subjek D ini mencontek punya temannya, akan
tetapi jawabannya dibedakan sehingga tidak membuat gurunya curiga.
Berdasarkan studi pendahuluan dengan mewawancarai siswa SMK
Negeri 6 Palembang yang dilakukan peneliti, siswa belum mampu
mengatasi kesulitannya sendiri dan masih membutuhkan bantuan orang
lain. Artinya adversity quotient (AQ) siswa masih rendah. Salah satu
kecerdasan yang paling penting dimiliki seseorang yaitu kecerdasan
adversitas atau adversity quotient (AQ). Semakin tinggi adversity quotent
(AQ) seseorang maka semakin kuat individu untuk bertahan menghadapi
kesulitan dan terus berkembang dengan mengaktualisasikan seluruh
potensi yang dimiliki individu (Stoltz, 2007). Pada usia SMK memang pada
tahap remaja, pada umumnya para remaja merasa kesulitan mengambil
keputusan karena mereka masih dalam masa yang labil (Elizabeth B,
1980). Mereka cenderung lebih mudah menyerah disaat mereka merasa
kesulitan ketika masalah yang mereka hadapi tidak bisa diselesaikan,
6

sehingga mereka kurang memiliki atau bahkan tidak memiliki kemampuan


adversity dalam meyelesaikan kesulitan yang mereka hadapi.
Stoltz (2007) mengemukakan bahwa salah satu faktor kesuksesan
dipengaruhi oleh faktor belajar. Carol Dwek (dalam Stoltz, 2007)
membuktikan bahwa anak-anak dengan respons-respons pesimis terhadap
kesulitan tidak banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan
anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis. Siswa yang memilki
AQ yang tinggi akan berusaha sekuat tenaga untuk belajar dan juga akan
belajar dengan sungguh-sungguh tanpa dipaksa dan juga akan belajar.
Dengan demikian, siswa diharapkan akan mencapai apa yang dicita-
citakan. Adanya AQ yang tinggi pada diri siswa, merupakan syarat agar
siswa terdorong oleh kemauannya sendiri mengatasi berbagai kesulitan
belajar yang dihadapinya. Lebih lanjut, siswa dengan AQ tinggi akan
sanggup belajar mandiri.
Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan
awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu keadaan atau
kata benda. Menurut Mohammad Ali dan Muhammad Asrori (2015)
kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh
melalui proses individuasi. Proses individuasi itu adalah proses realisasi
kedirian dan proses menuju kesempurnaan. Sedangkan belajar menurut
Purwanto (1988) belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku,
di mana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih
baik ataupun sebaliknya. Belajar ini suatu perubahan yang terjadi melalui
latihan atau pengalaman. Haris Mujiman (dalam Wastono, 2015)
menjelaskan bahwa kemandirian belajar adalah kegiatan belajar aktif yang
didorong oleh niat dan motif untuk menguasai suatu kompetensi guna
mengatasi suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau
kompetensi yang telah dimiliki.
Sofie M, M. Loyens & Joshua M (2008) melakukan penelitan dengan
judul Self-Directed Learning in Problem Based Learning and its
Relationships with Self-Regulated Learning , Penelitian ini menyelidiki
peran self-directed learning (SDL) dalam pembelajaran berbasis masalah
(PBL) dan meneliti bagaimana SDL berhubungan dengan self-regulated
learning (SRL). Pertama, dijelaskan bagaimana SDL diimplementasikan di
lingkungan PBL. Kesamaan antara SDL dan SRL disorot. Namun, kedua
konsep berbeda pada aspek-aspek penting. SDL mencakup premis
tambahan yang memberi siswa peran yang lebih luas dalam pemilihan dan
evaluasi bahan pembelajaran. SDL dapat mencakup SRL, tetapi yang
7

sebaliknya tidak berlaku. Selanjutnya, ulasan studi empiris pada SDL dan
SRL di PBL dilakukan. Hasil menunjukkan bahwa SDL dan SRL adalah
proses pengembangan, bahwa aspek "mandiri" sangat penting, dan
bahwa PBL dapat mendorong SDL. Disimpulkan bahwa kejelasan
konseptual tentang apa yang diperlukan SDL dan bimbingan bagi guru
dan siswa dapat membantu PBL untuk memunculkan pembelajar mandiri.
Mary (2013) melakukan penelitian dengan judul Supporting Student
Self-Regulated Learning in Problem- and Project-Based Learning
menemukan bahwa agar berhasil dalam PBL, siswa harus bertanggung
jawab atas proses belajar mereka sendiri. Ini termasuk proses pengaturan
diri untuk mempertahankan motivasi, menetapkan tujuan, memantau
kemajuan, dan terlibat dalam refleksi diri. Walaupun siswa harus
bertanggung jawab dengan proses belajar mereka sendiri namun ada hal-
hal yang harus digaris bawahi, seperti penelitian yang dilakukan Elizabeth
B & Caroly J (2015) menemukan bahwa memberikan dukungan untuk
remaja selama masa transisi ini sangat penting dalam membantu mereka
menyelesaikan tugas yang diperlukan, yang mana transisi ke manajemen
diri diabetes adalah tantangan bagi remaja.
Menurut Sternberg (dalam Desmita, 2009) kemandirian terdiri dari
tiga aspek yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy),
kemandirian dalam bertingkah laku (behavior autonomy), dan kemandirian
nilai (value autonomy). Menurut Mohammad Ali dan Muhammad Asrori
(2015) ada sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi
perkembangan kemandirian yaitu. Pertama, gen atau keturunan orang
tua. Kedua, pola asuh orang tua. Ketiga, sistem pendidikan di sekolah.
Keempat, sistem kehidupan di masyarakat.
Berdasarkan uraian dan studi pendahuluan tersebut, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan antara
adversity quotient (AQ) dengan kemandirian belajar pada Siswa SMK
Negeri 6 Palembang”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan
di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.2.1 Apakah ada hubungan antara adversity quotient (AQ) dengan
kemandirian belajar pada siswa SMK Negeri 6 Palembang?
1.2.2 Seberapa besar hubungan antara adversity quotient (AQ) dengan
kemandirian belajar pada siswa SMK Negeri 6 Palembang?
8

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah
ada hubungan antara adversity quotient (AQ) dengan kemandirian belajar
siswa SMK Negeri 6 Palembang.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat
sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Manfaat teoritis dalam penelitian ini ialah sebagai pengembangan
keilmuan khususnya di bidang psikologi pendidikan.
b. Serta menambah pengetahuan bagi pembsaca terkhusus dari
kalangan psikologi.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat memberikan informasi pada sekolah terutama
siswa maupun guru tentang adversity quotient (AQ) dan
kemandirian belajar sehingga siswa yang mampu mandiri untuk
melakukan sesuatu sebaik mungkin sehingga membuat siswa dapat
sukses baik di sekolah maupun dalam dunia kerja.
b. Penelitan ini dapat menjadikan referensi bagi peneliti selanjutnya
dan dapat dikembangankan dalam penelitian yang lebih baik lagi.

1.5 Keaslian Penelitian


Penelitian ini memuat berbagai hasil penelitian terdahulu dengan
masih mengaitkan dengan variabel yang serupa. Diantaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Tesa N. Huda & Agus Mulyana (2018)
mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dengan judul “Pengaruh
Adversity Quotient terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa Angkatan 2013
Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung”. Dengan metode penelitian
kuantitatif korelasional dengan hasil penelitian terdapat pengaruh
signifikan adversity quotient terhadap prestasi akademik pada mahasiswa
Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 2013.
Pengaruh AQ terhadap prestasi akademik adalah sebesar 4.4%. Hubungan
dari AQ terhadap prestasi akademik adalah positif. Hal ini menunjukkan
bahwa jika skor AQ mahasiswa meningkat, maka meningkat pula prestasi
akademik (IPK) dari mahasiswa tersebut.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh M. Randi Gentamandika Putra,
Nur Oktavia Hidayati, dan Ikeu Nurhidayah (2016) Fakultas Keperawatan
9

Universitas Padjadjaran, dengan judul “Hubungan Motivasi Berprestasi


dengan Adversity Quotient Warga Binaan Remaja di LPKA Kelas II
Sukamiskin Bandung”. Dengan metode penelitian deskriptif korelatif
dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian besar
responden memiliki motivasi berprestasi rendah (56%). Sedangkan untuk
variabel adversity quotient hampir sebagian besar responden memiliki
adversity quotient sedang atau campers (61,9%). Dari hasil korelasi
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
motivasi berprestasi dengan adversity quotient pada warga binaan remaja
dengan keterikatan kuat.
Penelitian ini juga pernah dilakukan oleh Dr. Neeru Rathee &
Sushila Sharma (2018), dengan judul “ Adversity Quotient Among High
School Students In Relation To Demographic Variables ”. Dengan hasil.
Pertama, siswa sekolah menengah yang berjenis kelamin baik laki-laki
maupun perempuan adversity quotientnya sama. Kedua, siswa sekolah
menengah baik diperkotaan dan pedesaan memiliki kesamaan dalam
adversity quotient, tidak ada perbedaan secara signifikan.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Shohib (2013)
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang, dengan judul
“Adversity Quotient dengan Minat Entrepreneurship”. Dengan metode
penelitian korelasional dengan hasil bahwa ada hubungan positif yang
signifikan antara adversity quotient dengan minat entrepreneruship pada
siswa-siswi SMA.
Selanjutnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Ruri (2017)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dengan judul “Hubungan
Adversity Quotient (AQ) Dengan Kemandirian Pada Remaja Perantau
Batak”. Dengan metode penelitian korelasional dengan sampel 70 subjek
dengan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara AQ dengan
kemandirian pada remaja perantau Batak, artinya bahwa semakin tinggi
AQ yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi pula kemandirian yang
dimiliki.
Berdasarkan beberapa penelitian yang disebutkan sebelumnya,
maka yang membedakan penelitian terdahulu adalah, penelitian ini
menggunakan subjek siswa SMK yang mana sesuai dengan permasalahan
pada penelitan ini, selain itu peneliti mengambil subjek penelitian pada
siswa SMK Negeri 6 Palembang dengan jurusan perhotelan. Penelitian ini
berbeda dari penelitian sebelumnya sedangkan penelitan serupa saat ini
belum pernah peneliti jumpai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemandirian Belajar


2.1.1 Pengertian Kemandirian Belajar
Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan
awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu keadaan atau
kata benda. Menurut Mohammad Ali dan Muhammad Asrori (2015)
kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh
melalui proses individuasi. Proses individuasi itu adalah proses realisasi
kedirian dan proses menuju kesempurnaan.
Menurut Durkheim (dalam Mohammad Ali dan Muhammad Asrori,
2015) kemandirian merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang
bersumber dalam kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat
kemandirian tumbuh dan berkembang karena dua faktor yaitu disiplin dan
komitmen kelompok. Sedangkan menurut Chaplin (dalam Desmita, 2017)
otonomi atau kemandirian adalah kebebasan individu manusia untuk
memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan
menentukan dirinya sendiri.
Purwanto (1988) menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu
perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu dapat mengarah
kepada tingkah laku yang lebih baik ataupun sebaliknya. Belajar ini suatu
perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman.
Haris Mujiman (dalam Wastono, 2015) menjelaskan bahwa
kemandirian belajar adalah kegiatan belajar aktif yang didorong oleh niat
dan motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu
masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang
telah dimiliki.
Berdasarkan pengertian di atas maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa kemandirian belajar adalah ketika siswa mampu melakukan
sesuatu secara punuh tanggung jawab pada sesuatu hal yang sedang
dilakukannya baik itu tugas yang diberikan guru maupun hal-hal lainnya
dengan baik.

2.1.2 Dimensi-dimensi Kemandirian Belajar


Menurut Sternberg (dalam Desmita, 2009) kemandirian terdiri dari
tiga aspek yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy),
kemandirian dalam bertingkah laku (behavior autonomy), dan kemandirian

10
11

nilai (value autonomy). Adapun ketiga aspek tersebut adalah sebagai


berikut.
1. Kemandirian emosional (emotional autonomy)
Kemandirian yang menyatakan peruabahan kedekatan hubungan
emosional antara individu , seperti hubungan emosional dengan
guru maupun dengan orang tua. Hubungan antara anak dengan
orang tua mengalami perubahan sepanjang kehidupan seseorang.
Perubahan bentuk hubungan antara anak dengan orang tuanya
dapat dilihat dari aspek berikut.
a. De-idealized yaitu remaja memandang orang tua apa adanya,
dengan melakukan idealisasi, individu telah melakukan
idealisasi, individu sudah mampu untuk mengubah figur
kekanak-kanakkannya mengenai orang tua menjadi figur yang
lebih matang dan akurat. Individu tidak lagi melihat figur orang
tuanya sebagai figur yang mengetahui segalanya dan memiliki
kekuasaan atas segalanya.
b. Parent as people yang mana remaja melihat orang tua sebagai
orang lainnya. Mampu melihat dan berinteraksi dengan orang
tuanya sebagai individu dan bukan sebagai orang tua, individu
dewasa muda telah mampu melihat bahwa hubungannya dengan
orang tua merupakan hubungan yang kooperatif dan sejajar,
serta saling memberi dan menerima, orang tua sudah mulai bisa
mengungkapkan diri kepada anaknya dan anak juga telah
mampu bersimpati di saat orang tua sedang memiliki masalah
atau menghadapi hari yang berat di pekerjaannya.
c. Individuated yaitu remaja yang memiliki pribadi yang berbeda
dengan orang tuanya, dalam hal ini seorang anak mampu
melepaskan ketergantungan kekanak-kanakkan dari orang tua
dan membentuk hubungan yang lebih dewasa, lebih
bertanggung jawab, mengurangi ketergantungan serta
mempunyai keperibadian yang berbeda dengan orang tuanya.
2. Kemandirian dalam bertingkah laku (behavior autonomy)
Individu yang sudah pada fase dewasa muda diharapkan sudah
mencapai kemandirian dalam bertingkah laku (behavior autonomy).
Individu yang mandiri dalam bertingkah laku bukanlah individu
yang melakukan segala sesuatu bersandar pada dirinya, akan tetapi
individu yang mampu mencari dan mendengarkan saran dari orang
lain ketika dibutuhkan, dapat mempertimbangkan resiko dari
12

tingkah laku yang dilakukannya, dan dapat mencapai pemahaman


mengenai bagaimana seharusnya individu bertingkah laku.
Kemampuan individu dalam bertingkah laku dapat dilihat dari
kemampuan individu, diantaranya.
a. Kemampuan dalam membuat keputusan seperti mampu
mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan
maupun keputusan yang diambi oleh individu tersebut.
Perubahan ini akan menghasilkan kemampuan membuat
keputusan yang semakin berkembang dan akan berujung pada
kemampuan individu untuk bertingkah laku secara mandiri.
b. Ketahanan terhadap pegaruh orang lain, remaja bertindak
berdasarkan apa yang diyakininya, tanpa terpengaruh oleh
pendapat orang lain.
c. Perasaan tergantung terhadap diri sendiri atau self-reliance. Self-
reliance berfokus pada penilaian subjektif dari individu mengenai
seberapa mandirinya mereka.
3. Kemandirian nilai (value autonomy)
Kemandirian nilai (value autonomy) baru dapat tercapai setelah
kemandirian emosional dan kemandirian tingkah laku berkembang
dengan baik. Kemampuan berpikir remaja menjadi lebih abstrak,
idealis, dan logis. Peningkatannya berpikir abstrak dapat membuat
individu mampu melihat persfektif orang lain, mampu menalar lebih
baik, serta mampu melihat konsekuensi setiap alternatif tindakan
sehingga mereka mampu menimbang opini dan saran orang lain
dengan lebih efektif dan dapat membuat keputusan mereka sendiri.
Kemandirian nilai memiliki tiga aspek lainnya.
a. Kemampuan berpikir abstrak.
b. Lebih mendasarkan pada prinsip-prinsip umum yang memiliki
dasar ideologis yaitu prinsip moral.
c. Menggunakan nilai-nilai individu sendiri dalam keyakinan, bukan
sistem nilai yang diturunkan oleh orang tua atau figur otoritas
lainnya.
Berdasarkan aspek-aspek dari kemandirian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek kemandirian belajar yaitu kemandirian
emosional (emotional autonomy), kemandirian dalam bertingkah laku
(behavior autonomy), dan kemandirian nilai (value autonomy).
13

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar


Menurut Mohammad Ali dan Muhammad Asrori (2015) ada
sejumlah faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi perkembangan
kemandirian. Adapun faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1. Gen atau Keturunan Orang Tua
Orang tua yang memiliki sifat kemandirian yang tinggi seringkali
menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun faktor
keturunan masih menjadi perdebatan karena ada yang
berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang
tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan sifat orang tuanya
muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya.
2. Pola Asuh Orang Tua
Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi
perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua yang
banyak melarang anak tanpa disertai dengan penjelasan yang
rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak,
sebaliknya orang tua yang menciptakan suasana aman dalam
berinteraksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran
perkembangan anak.
3. Sistem Pendidikan di Sekolah
Proses pedidikan yang tidak mengembangkan demokratis
pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa
argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian
remaja. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak
menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman, juga
dapat menghambat perkembangan kemandirian remaja.
Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya
penghargaan terhadap potensi anak, pemberian hadiah, dan
menciptakan kompetisi positif akan memperlancar perkembangan
kemandirian remaja.
4. Sistem Kehidupan di Masyarakat
Ketika kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya
hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta
kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan
produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan
kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang
aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai
14

kegiatan, dan tidak berlaku hierarki akan merangsang dan


mendorong perkembangan kemandirian remaja.
Sedangkan menurut Walgito (2010) faktor-faktor kemandirian
individu ditentukan oleh dua faktor.
1. Faktor endogen (internal)
Faktor endogen ialah faktor yang dibawa oleh individu sejak dalam
kandungan hingga kelahiran. Jadi faktor endogen merupakan faktor
keturunan atau faktor pembawaan. Sehingga tidak mengherankan
kalau faktor endogen yang dibawa oleh individu itu mempunyai
sifat-sifat seperti orang tuanya. Faktor endogen terdiri dari dua
macam. Pertama, faktor kejasmanian, misalnya kulit putih, hitam
atau coklat bagaimana keadaan rambutnya hitam, pirang dan
sebagainya. Faktor pembawaan yang berhubungan dengan
keadaan jasmani umumnya tidak dapat diubah. Kedua, faktor
psikologis, yang meliputi bakat, minat, motivasi dan kecerdasan.
2. Faktor eksogen (eksternal)
Faktor eksogen ialah faktor yang datang dari luar diri individu,
merupakan pengalaman-pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan
sebagainya.
Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor dari kemandirian yang
telah dikemukakan di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa faktor
kemandirian seseorang itu ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Di mana faktor internal meliputi gen dari orang tua,
bakat, minat, motivasi, kecerdasan dan sebagainya. Sedangkan faktor
eksternal meliputi pola asuh orang tua, pendidikan, masyarakat,
lingkungan dan sebagainya.

2.1.4 Tingkatan Dan Ciri-ciri Kemandirian Belajar


Sebagai dimensi psikologis yang kompleks, kemandirian dalam
perkembangan memliki tingkatan-tingkatan. Perkembangan kemandirian
seseorang juga berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkatan
perkembangan kemandirian tersebut. Dalam hal ini Lovinger (dalam
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, 2015) mengemukakan tingkatan
kemandirian beserta ciri-cirinya sebagai berikut.
1. Tingkat pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-
ciri tingkatan ini adalah.
a. Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat
diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.
15

b. Mengikuti aturan opertunistk dan hedonistik.


c. Berpikir tidak logis dan tertegu pada cara berpikir tertentu.
d. Cenderung melihat kehidupan sebagai ero—sum game.
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta
lingkungannya.
2. Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-ciri dari tingkatan
ini adalah.
a. Peduli terhadap penampilan.
b. Cenderung berpikir stereotype dan klise.
c. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh
pujian.
e. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya
introspeksi.
f. Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g. Takut tidak diterima kelompok.
h. Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i. Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3. Tingkat ketiga, adalah tingkat dasar diri. Ciri-ciri dari tingkatan ini
adalah.
a. Mampu berpikir alternatif.
b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.
d. Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
e. Memikirkan cara hidup.
f. Penyesuaian terhadap situasi dan peran.
4. Tingkat keempat, adalah tingkat saksama ( conscientious). Ciri-ciri
dari tingkatan ini adalah.
a. Bertindak atas dasar-dasar internal.
b. Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku
tindakan.
c. Mampu melihat keberagaman emosi, motif, dan perspektif
diri sendiri maupun orang lain.
d. Sadar akan tanggung jawab.
e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f. Peduli akan hubungan mutualitik.
g. Memiliki tujuan jangka panjang.
h. Cenderung melihat peristiwa dalam konsteks sosial.
16

i. Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.


5. Tingkat kelima, adalah tingkat individualistis. Ciri-ciri dari tingkatan
ini adalah.
a. Peningkatan kesadaran individualistis.
b. Kesadaran akan konflik emosioal antara kemandirian dengan
ketergantungan.
c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
d. Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam
kehidupan.
f. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar
dirinya.
g. Mengenal kompleksitas diri.
h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
6. Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-ciri dari tingkatan ini
adalah.
a. Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b. Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri
sendiri maupun orang lain.
c. Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial.
d. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e. Toleran terhadap ambiguitas.
f. Peduli akan pemenuhan diri.
g. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h. Responsif terhadap kemandirian orang lain.
i. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang
lain.
j. Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan
dan keceriaan.

2.1.5 Kemandirian Belajar Dalam Perspektif Islam


Semua makhluk hidup dituntut untuk mandiri baik itu manusia,
binatang ataupun tumbuhan. Ketika makhluk hidup tidak mampu mandiri
maka kehidupannya akan terhambat dan mengalami kesusahan, bahkan
tumbuhan sekalipun yang tidak dapat berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lainnya dituntut untuk mandiri, yaitu dengan akar-akar yang
dimiliki, bermacam jenis tumbuhan mencari sumber-sumber makanan
yang mereka butuhkan untuk terus bertahan hidup, Allah telah
17

memberikan kelebihan-kelebihan tinggal manusia yang harus


mempergunakannya sebaik mungkin. Seperti firman Allah Q.S An-Nahl 78
sebagai berikut.
ُ ‫ون ِم ْن َأ ْخ َر َج ُك ْم َو هَّللا‬ ِ ُ‫الس ْم َع لَ ُك ُم َو َج َع ل َ َش ْي ًئ اتَ ْع لَ ُم ونَ اَل ُأ َّم هَ اتِ ُك ْم بُ ط‬ َّ
(٧٨) ‫ار‬ َ ‫ص‬ ‫َأْل‬ ‫َأْل‬ ۙ
َ ‫ َو ا ْف ِئ َد ةَ َو ا ْب‬  ‫تَ ْش ُك ُر ونَ لَ َع لَّ ُك ْم لَ َع لَّ ُك ْم‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan Dia memberimu
pendengaran, pengelihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur. ”
(Q.S A-Nahl 78)
Allah telah memberikan kelebihan berupa pendengaran,
pengelihatan dan kelebihan-kelebihan lainnya. tinggal manusia yang
berusaha mencari rizki. Seperti firman Allah Q.S Asy Syuraa 27 sebagai
berikut.
ٰ
‫ق هَّللا ُ بَ َس طَ َو لَ ْو‬ َ ‫اد ِه ال ِّر ْز‬ ِ َ‫ض فِي الَ بَ َغ ْو لِ ِع ب‬ ِ ْ‫َر يُن َِّز ُل َولَ ِك ْن اَأْلر‬ ٍ ‫بِقَد‬ ‫ِإنَّهُ يَ َشاء َّما‬
(٢٧)‫صي ٌر َخبِي ٌر بِ ِعبَا ِد ِه‬ ِ َ‫ب‬
“Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya
tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
tetap menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya
lagi Maha Melihat.” (Q.S Asy Syuraa 27)
Ibnu Katsir menjelasakan, Allah memberi rizki pada mereka sesuai
dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat
untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik
untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang
Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran
bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.
Semangat untuk belajar dan menuntu ilmu pengetahuan sangat
dianjurkan bagi umat manusia. Dalam al-Quran orang yang beriman dan
berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah, menjadi lebih mulia dan
lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki iman dan ilmu
pengetahuan. Sebagaimana firman Allah Q.S Al-Mujadalah 11 berikut ini.
‫ اتَفَ َّسحُو لَ ُك ْم قِي َل اِإ َذ اآ َمنُو الَّ ِذينََأيُّهَا يَا‬ ‫س فِي‬ ِ ِ‫ح افَا ْف َسحُو ْال َم َجال‬ ِ ‫هَّللا ُ يَ ْف َس‬ ‫قِي َل ا َوِإ َذ لَ ُك ْم‬
‫ ا ْن ُش ُزوا‬ ‫ت ْال ِع ْل َم اوتُوُأ َوالَّ ِذينَ ِم ْن ُك ْم اآ َمنُو الَّ ِذينَ هَّللا ُ يَرْ فَ ِع فَا ْن ُش ُزوا‬
ٍ ‫ َوهَّللا ُ َد َر َجا‬ ‫بِ َما‬
(١١) َ‫َخبِي ٌر تَ ْع َملُون‬
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu:”berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu,
dan apabila dikatakan: “berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
18

dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.


Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (Q.S Al
Mujadalah 11)

2.2 Adverity Quotient (AQ)


2.2.1 Pengertian Adverity Quotient (AQ)
Istilah adversity quotient (AQ) diambil dari konsep yang
dikembangankan oleh Stoltz. Konsep kecerdasan IQ dan EQ yang telah
ada saat ini dianggap belum cukup untuk menjadi modal seseorang
menuju kesuksesan, oleh karena itu Paul G. Staltz mengembangankan
kecerdasann baru yaitu adversity quotient (AQ).
Menurut Stoltz (dalam Sapuri, 2009) AQ adalah kemampuan
individu untuk bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk
mengatasinya. Yang mana menurut Stoltz (2007) adversity quotient
mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja
konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi
kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons
seseorang terhadap kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan
yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons seseorang
terhadap kesulitan.
Sapuri (2009) mengungkapkan ketangguhan atau adversity
quotient adalah kemampuan individu untuk mampu bertahan dalam
menghadapi kesulitan yang relatif lama dan pada akhirnya mampu
mengatasi dengan cara-cara yang baik.
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian di atas maka peneliti
dapat menyimpulkan adversity quotient (AQ) yaitu kecerdasan individu
dalam mengatasi kesuliatan yang sedang dihadapi dan sanggup bertahan
hidup dengan kesulitan tersebut hingga sukses sehingga dapat mencapai
kesuksesan yang diinginkan.

2.2.2 Dimensi-dimensi Adversity Quotient (AQ)


Menurut Stoltz (2007) adversity quotient (AQ) terdiri atas empat
dimensi yang biasa disingkat CO2RE, yaitu dimensi C=control (kendali),
O2=Origin-ownership (asal-usul dan pengakuan), R=reach (jangkauan)
dan E=endurance (daya tahan). Penjelasan dimensi-dimensi tersebut
adalah sebagai berikut.
1. C= Control (kendali)
19

C adalah singkatan dari “control” atau kendali. Dimensi ini melihat


kendali yang akan dirasakan seseorang terhadap peristiwa yang
menimbulkan kesulitan. Kendali berhubungan langsung dengan
pemberdayaan dan pengaruh, dan mempengaruhi dimensi CO 2RE
lainnya.
Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam
dimensi ini cukup dramatis. Seseorang yang AQ-nya lebih tinggi
merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam
hidup, dari pada yang AQ-nya lebih rendah. Seseorang yang
memiliki AQ tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara
orang-orang yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau
berhenti. Orang yang AQ tinggi relatif kebal terhadap
ketidakberdayaan, seolah-olah mereka dilindungi oleh sesuatu
medan gaya yang tidak dapat ditembus yang membuat mereka
tidak jatuh ke dalam keputusan yang tidak berdasar. Merasakan
tingkat kendali, bahkan yang terkecil sekalipun akan membawa
pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan dan
pikiran-pikiran yang mengikutinya. Kemampuan mengelola
masalah, berarti kemampuan mencari solusi terhadap masalah
yang sedang dihadapi dan selalu mencari cara-cara kreatif dalam
proses penyelesaian masalah.
2. O2=Origin-ownership (asal-usul dan pengakuan)
O2 merupakan kependekan dari “origin” (asal-usul) dan “ownership”
(pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal. Pertama, siapa atau
apa yang menjadi asal usul kesulitan. Kedua, sampai sejauh
manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu. Kedua
pernyataan tentang asal-usul dan pengakuan hampir mirip, namun
jika dicermati lagi, ternyata memiliki perbedaan diantara keduanya.
Seseorang yang AQ-nya rendah cenderung menempatkan rasa
bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang
terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai
satu-satunya penyebab atau asal-usul ( orgin) kesulitan tersebut.
Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah
membantu seseorang untuk belajar untuk melakukan kebaikan.
Kedua, rasa bersalah akan menjurus pada penyesalan. Penyesalan
akan membuat seseorang mempertimbangkan kembali apa yang
sudah dilakukan, apakah hal itu telah melukai hati orang lain.
penyesalan adalah motivator yang sangat kuat, bila digunakan
20

dengan sewajarnya maka penyesalan akan membantu


menyembuhkan kerusakan yang nyata, dirasakan, atau yang
mungkin dapat timbul dalam suatu hubungan.
Mengakui kesalahan diri sendiri itu penting dan efektif, tapi hanya
sampai pada tahap tertentu. Jika berlebihan menyalahkan diri
sendiri akan menimbulkan kesulitan, bisa menjadi destruktif. Yang
jauh lebih penting sejauh mana seseorang mengakui akibat
kesulitan itu. AQ mengajar seseorang untuk meningkatkan rasa
tanggung jawab, sebagai salah satu cara memperluas kendali,
pemberdayaan, dan motivasi dalam mengambil tindakan. Semakin
tinggi skor pengakuan seseorang, maka semakin besar seseorang
mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apa pun
penyebabnya, sedangkan semakin rendah skor pengakuan
seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang tidak
mengakui akibat-akibatnya, apa pun penyebabnya.
Oleh karena itu orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan
mempermasalahkan orang lain sambil mengelakkan tanggung
jawab. Orang yang AQ-nya tinggi lebih unggul daripada orang yang
AQ-nya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari kesalahan-
kesalahan.
3. R=reach (jangkauan)
Dimensi R atau jangkauan, mempertanyakan sejauh manakah
kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan
seseorang. Respons-respons seseorang dengan AQ yang rendah
akan membuat kesulitan merembes atau mempengaruhi segi-segi
lain dari kehidupan seseorang.
Semakin rendah skor R seseorang, maka semakin besar kemungkin
seseorang mengaggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana,
dengan membiarkannya meluas, seraya menyedot kebahagiaan
dan ketenangan pikiran seseorang saat prosesnya berlangsung.
Menganggap kesulitan sebagai bencana, yang akan menyebar
dengan cepat sekali, bisa sangat berbahaya karena akan
menimbulkan kerusakan yang signifikan bila dibiarkan tidak
terkendali.
Sebaliknya jika skor R tinggi, maka semakin besar kemungkinan
seseorang mengatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang
sedang dihadapi dan tidak mempengaruhi aspek lain dari
kehidupan. Contohnya suatu penolakan tidak lebih dan tidak kurang
21

hanyalah suatu penolakan, contoh lain kesalahpahaman dengan


seseorang, meskipun menyakitkan, hanyalah kesalahpahaman,
bukan tanda bahwa hidup seseorang akan hancur.
4. E=endurance (daya tahan)
E atau endurance (daya tahan) adalah dimensi terakhir dari AQ
seseorang. Dimensi ini mempertanyakan dua hal. Pertama, berapa
lama kesulitan akan berlangsung. Kedua, berapa lamakah kesulitan
itu akan berlangsung. Jika skor atau dimensi E seseorang rendah,
maka semakin besar kemungkinan seseorang menganggap
kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama.
Seseorang yang memiliki skor atau dimensi E tinggi, maka semakin
besar kemungkinan seseorang akan memandang kesuksesan
sebagai sesuatu yang berlangsung lama, atau bahkan permanen.
Demikian juga, seseorang akan menganggap kesulitan dan
penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat
berlalu, dan kecil kemungkinan terjadi lagi.
Senada yang diungkapkan oleh Sapuri (2009) dimensi-dimensi
adversity quotient yaitu control (kendali), ownership (pengakuan), reach
(jangauan), endurence (daya tahan). Penjelasan dimensi-dimensi tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Dimensi kendali (control)
Kendali terkait dengan sejauh mana seseorang mampu mengelola
kesulitan yang akan datang.
2. Dimensi pengakuan (ownership)
Pengakuan sangat terkait erat dengan sejauh mana seseorang
mempersalahkan dirinya ketika ia mendapati bahwa kesalahan
tersebut berasal dari dirinya, atau sejauh mana seseorang
mempersalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber
kesulitan dan kegagalannya.
3. Dimensi jangkauan (reach)
Jangkauan yang menyatakan sejauh mana kesulitan ini akan
merambah kehidupan seseorang, menunjukan bagaimana suatu
masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak
berhubungan masalah yang dihadapi.
4. Dimensi daya tahan (endurence)
Daya tahan dimaksudkan bahwa semakin tinggi daya tahan
seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang
dihadapinya.
22

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai dimensi-dimensi dalam


adversity quotient (AQ) maka dapat disimpulkan terdapat empat aspek
dalam adversity quotient (AQ) yaitu dimensi Control (kendali), Origin-
ownership (asal-usul dan pengakuan), reach (jangkauan) dan endurance
(daya tahan).

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient (AQ)


Faktor-faktor kesuksesan dipengaruhi oleh kemampuan
pengendalian individu serta cara individu tersebut merspon kesulitan.
Stoltz (2007) mengemukakan beberapa faktor pembentuk AQ yang
diperlukan untuk mencapai puncak kesuksesan.
1. Daya Saing
Penelitian yang dilakukan oleh Jason Statterfield dan Martin
Seligman (dalam Stoltz, 2007), mereka menemukan bahwa orang-
orang yang merespons kesulitan secara lebih optimis bisa
diramalkan akan bersikap lebih agresif dan mengambil lebih banyak
resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan
menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan berhati-hati.
2. Produktivitas
Penelitian yang dilakukan di perusahaan-perusahaan, bahwa orang
yang merespons kesulitan secara destruktif terlihat kurang
produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Tahun
1996 Stoltz membandingkan AQ para pegawai dengan kinerja
mereka, temuan awal mencerminkan korelasi yang kuat antara
kinerja dan cara pegawai-pegawai itu merespons kesulitan.
Seligmen membuktikan bahwa orang yang tidak merespons
kesulitan dengan baik, kurang berproduksi dan kinerjanya lebih
buruk daripada mereka yang merespons kesulitan dengan baik.
3. Kreativitas
Inovasi pada pokoknya merupakan tindakan berdasarkan suatu
harapan. Inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang
sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada. Menurut Barker (dalam
Stoltz, 2007), kreativitas juga muncul dari keputusan. Oleh karena
itu, Kreativitas menuntuk kemampuan untuk mengatasi kesulitan
yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Ketidakberdayaan
yang dipelajari dapat mengahncurkan kreativitas seseorang bahkan
yang sangat berbakat sekalipun. Seseorang yang tidak mampu
menghadapi kesulitan berarti tidak mampu kreatif.
23

4. Motivasi
Stoltz (2007) meminta seorang direktur perusahaan farmasi untuk
mengurutkan timnya sesuai dengan motivasi mereka yang terlihat.
Kemudian Stoltz mengukur AQ anggota-anggota timnya. Tanpa
terkecuali, baik berdasarkan pekerjaan harian maupun untuk
jangka panjang, mereka yang AQ tinggi dianggap sebagai orang-
orang yang paling memiliki motivasi.
5. Mengambil Resiko
Ketika seseorang tidak adanya kemampuan memegang kendali,
tidak ada alasan untuk mengambil resiko. Bahkan resiko-resiko
sebenarnya tidak masuk akal. Yaki bahwa apa yang anda kerjakan
tidak ada faedanya. Satterfield dan Seligmen (dalam Stoltz, 2007)
membuktikan bahwa orang-orang yang merspons kesulitan secara
lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko
merupakan aspek esensial pendakian.
6. Perbaikan
Untuk bertahan hidup kita harus melakukan perbaikan, apakah itu
dalam perusahaan atau dalam kehidupan pribadi, seseorang harus
melakukan perbaikan untuk mencegah supaya tidak ketinggalan
zaman dalam karier dan hubungan-hubungan seseorang. Stoltz
(2007) menemukan bahwa orang-orang yang memiliki AQ lebih
tinggi menjadi lebih baik, sedangkan orang-orang yang AQ-nya
lebih rendah menjadi lebih buruk.
7. Ketekunan
Ketekunan merupakan inti dari AQ. Ketekunan adalah kemampuan
untuk terus-menerus berusaha, bahkan manakalah dihadapkan
pada kemunduran-kemunduran atau kegagalan. Hanya sedikit sifat
manusia yang bisa mendatangkan banyak hasil dibandingkan
dengan ketekunan, terutama jika digabungkan dengan sedikit
kreativitas. Seligeman (dalam Stoltz, 2007) membuktikan bahwa
para tenaga penjual, kadet militer, mahasiswa, dan tim-tim
olahraga yang merespons kesulitan dengan baik akan pulih dari
kekalahan dan akan mampu terus bertahan. Seseorang yang
responsnya buruk ketika berhadapan dengan kesulitan akan mudah
menyerah. AQ menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk
bertekun.
8. Belajar
24

Inti informasi pada abad ini adalah sebuah kebutuhan untuk terus-
menerus mengumpulkan dan merespons arus pengetahuan yang
tiada hentinya. Seligmen dan peneliti-peneliti lainnya membuktikan
bahwa orang yang pesimis merespons kesulitan sebagai suatu hal
yang permanen, pribadi dan meluas. Carol Dwek (dalam Stoltz,
2007) membuktikan bahwa anak-anak dengan respons-respons
pesimis terhadap kesulitan tidak banyak belajar dan berprestasi jika
dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih
optimis.
9. Merangkul Perubahan
Ketika seseorang ingin sukses maka harus siap dengan segala
peruabahan yang tidak terduga, bahkan para pendaki sekalipun.
Agar bisa sukses, seseorang harus secara efektif mengatasi dan
memeluk perubahan tersebut. Ketika seseorang mampu merubah
AQ sekumpulan orang, maka orang tersebut dapat membuat
peruabahan berlangsung dengan lancar dan efisien. Perubahan
menjadi bagian dari hidup yang disambut dengan baik, bukan
beban yang membuat kewalahan. Seseorang yang memeluk
peruabahan cenderung merespons kesulitan secara lebih
konstruktif dengan memanfaatkan untuk memperkuat niat mereka.
Mereka merespons dengan mengubah kesulitan menjadi peluang.
Orang-orang yang hancur oleh perubahan akan hancur oleh
kesulitan.
Sedangkan menurut Minarti (2009) adversity quotient merupakan
sebuah alat ukur yang akan menentukan beberapa kondisi kontradiktif
dalam diri seseorang. Adapun kondisi kontradiktif yang dapat membangun
adversity quotient adalah sebagai berikut.
1. Ketangguhan,
2. Keyakian,
3. Kekuatan,
4. Kepercayaan diri,
5. Berbesar hati,
6. Daya tahan,
7. Daya juang,
8. Tidak pernah bosan untuk mencoba,
9. Berani memulai,
10. Kreatif,
11. Optimisme,
25

12. Ketekunan,
13. Keuletan,
14. Vitalitas,
15. Orientasi masa depan,
16. Kaya akan berbagai kemungkinan.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi adversity quotient (AQ) maka peneliti menyimpulkan
terdapat sembilan faktor yang mempengaruhi, yaitu: daya saing,
produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil resiko, perbaikan,
ketekunan, belajar dan merangkul perubahan.

2.2.4 Tipe Manusia Dalam Menghadapi Kesulitan


Menurut Stoltz (2007) ada tiga tipe seseorang dalam merespon
terhadap kesulitan. Sebagai akibatnya, dalam hidup ini mereka menikmati
berbagai macam tingkat kesuksesan dan kebahagiaan. Adapun tingkatan
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mereka yang Berhenti (Quitters)
Tidak diragukan lagi banyak orang memilih untuk keluar,
mengindari kewajiban, mundur dan berhenti. Tipe ini lebih memilih
berhenti melakukan pendakian. Mereka menolak kesempatan yang
diberikan oleh gunung. Mereka lebih memilih mengabaikan,
menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk
mendaki, dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang
dtawarkan oleh kehidupan.
2. Mereka yang Berkemah (Campers)
Kelompok kedua yaitu mereka yang berkemah atau campers.
Mereka pergi tidak seberapa jauh. Karena bosen, mereka
mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan
nyaman sebagai tempat bersembuny dari situasi yang tidak
bersahabat. Mereka memilih menghabiskan sisa-sisa hidup mereka
dengan duduk disitu. Campers berbeda dengan tipe yang pertama
atau quitters, di mana mereka yang berkemah sekurang-kurangnya
telah menanggapi tantangan pendakian. Mereka telah mencapai
tingkat tertentu, mereka sudah puas dengan hasil yang didapatkan.
3. Para Pendaki (Climbers)
Climbers atau para pendaki adalah sebutan Stoltz untuk seseorang
yang seumur hidup membaktikan dirinya pada pendakian. Tanpa
menghiraukan latar belakang dari keuntungan atau kerugian, nasib
26

buruk atau nasib baik, climbers terus mendaki. Climbers adalah


pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan
tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau
mental, bahkan hambatan lainnya menghalangi pendakiannya.
Selanjutnya Miarti (2016) mengelompokan tingkatan AQ terdiri dari
tiga tingkatan yaitu AQ tinggi, biasa-biasa saja, sangat rendah atau
bahkan tidak memiliki sama sekali. Berkut tiga pengelompokan AQ.
1. Quitters (Berhenti)
Mereka yang disebut quitters adalah orang yang berhenti
melakukan pendakian jauh sebelum menuju atau bahkan menolak
terhadap penakian dan memutuskan untuk berdiam diri.
2. Campers (Berkemah)
Mereka yang disebut campers adalah orang yang menghentikan
perjalanan (pendakian) dengan dalih ketidakmampuan atau sudah
merasa cukup. Mereka beranggapan bahwa berhentinya pendakian
adalah sebagai tanda telah dilakukannya berbagai upaya dan
pengorbanan.
3. Climbers (Pendaki)
Mereka yang disebut climbers adalah orang yang terus bertahan
melakukan pendakian sampai pendakian tersebut benar-benar
menuju puncak. Mereka tidak menghiraukan lelah dan letih. Mereka
juga tidak menghiraukan harta dan tenaga yang telah dikorbankan.
Bagi mereka, totalitas dan komitmen adalah keniscayaan. Oleh
karena itu, segala bentuk rintangan dan hambatan dinikmatinya
sebagai tantangan yang akan mendongkrak dirinya untuk menjadi
pahlawan yang sebenarnya.
Berdasarkan penjelasakan di atas maka dapat disimpulkan
tingkatan dalam adversity quotient (AQ) terdiri dari tiga yaitu orang yang
menyerah disebut quitter, orang yang merasa puas pada pencapaian
tertentu sebagai camper, dan terakhir orang yang terus meraih
kesuksesan disebut climber.

2.2.5 Adverity Quotient (AQ) Dalam Perspektif Islam


Allah SWT dalam Al-Qur’an telah menegaskan bahwa setiap orang
akan diberikan kesulitan, seperti ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan, akan tetapi beruntunglah bagi orang yang
bersabar. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah 155-157
sebagai berikut:
27

‫ف ِمنَ بـ ِ َش ْي ٍء َولَنـ َ ْبلُ َونَّ ُك ْم‬ ِ ْ‫ال َخو‬  ْ‫ع َوالجُو‬ ِ ‫ص‬ ٍ ‫ت َوَأل ْنفُس اَأل ْم َوا ِل ِمنَ َونَ ْق‬ ِ ‫قلى َوالَّث َم َرا‬
 

(٦‫ه‬١) َ‫صبِ ِر ْين‬ َّ ‫) َوبَ ِّش ِرال‬١٥٥( َ‫الَّ ِذ ْين‬ ‫صبَ ْتهُ ْم ِإ َذا‬ َ ‫ص ْيبَةٌ َأ‬
ِ ‫قَالُوْ ا ُم‬ ِ ‫ِإنَّاهَّلِل‬ ‫ َو‬ ‫ِإنَّا‬ ‫ر’ ِجعُوْ نَ ِإلَ ْي ِه‬
(١٥٧) ‫ك‬ َ ‫ُأولَِئ‬ ‫ َعلَ ْي ِه ْم‬ ‫ت‬
ٌ ‫صلَ َو‬َ ‫ َّربِ ِهم ِّمن‬ ٌ‫ َو َرحْ َمة‬ ‫صلى‬  َ‫ َولَِئك‬ ‫هُ ُم‬  َ‫ال ُمهْـتَـ ُدون‬
Artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan “inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S Al-Baqarah 155-157)
Orang yang sabar senantiasa memliki sikap tauhid dalam diri,
bahwa diri ini adalah milik Allah SWT. Sikap tauhid ini akan
mengembangkan kekuatan, energi dan untuk menebus rintangan-
rintangan dan ujian-ujian hidup ini dengan baik. Sabar yang terpuji ialah
karena Allah dan bukan untuk memperoleh pujian atau tanda jasa dari
manusia (Qordhowi, 1993). Oleh karena Allah berfirman “Dan untuk
Rabbmu hendaklah kamu bersabar” (Q.S Al-Muddatstsr 7)
Oleh karena itu, orang yang beriman dan memiliki ketangguhan,
tidak akan memiliki rasa mudah putus asa karena memiliki kepercayaan
diri yang sangat kuat, didorong kekuatan iman yang tangguh, sehingga
menjadikan kegagalan mampu untuk diatasi. Sebagaimana Allah SWT
berfirman dalam Q.S Al-Insyirah 1-8 sebagai berikut:
(٣) ‫َألَ ْم‬  ْ‫نَ ْش َرح‬ ‫ك‬ َ َ‫ك ل‬ َ ‫ص ْد َر‬ َ )١( ‫ض ْعنَا‬ َ ‫) ِو ْز َركَ َع ْنكَ َو َو‬٢( ‫ض الَّ ِذي‬ َ َ‫ك َأ ْنق‬ َ ‫ظَه َْر‬
(٦) َ‫ك َو َرفَ ْعن‬ َ َ‫ك ل‬َ ‫) ِذ ْك َر‬٤( ‫ْر َم َع فَِإ َّن‬ ِ ‫) يُ ْسرًا ْال ُعس‬٥( ‫ْر َم َع ِإ َّن‬ ِ ‫يُ ْسرًا ْال ُعس‬
(٨)‫صبْ فَ َر ْغتَ فَِإ َذ‬ َ ‫) فَا ْن‬٧( ‫ك َوِإلَى‬ َ ِّ‫فَارْ غَبْ َرب‬
Artinya: ”Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu,
dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang
memberatkan panggungmu. Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai dari suatu
urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S
Al-Insyirah: 1-8)
Dalam surat di atas terdapat dua kalimat yang diulang, yaitu
“bersama kesulitan ada kemudahan”. Artinya ayat ini mengisyaratkan agar
setiap manusia mau merenungkan bahwa setiap kesulitan, kesengsaraan,
kemalangan, dan kesakitan merupakan pintu untuk memasuki rahasia dan
hakikat kemudahan, kebahagiaan dan kesuksesan yang membuat damai.
28

Dengan kecerdasan ini orang memahami bahwa setiap tantangan dan


kesulitan, pada akhirnya orang akan senantiasa memiliki cara untuk selalu
mencari jalan dan celah agar dapat menembus esensi dari tantangan,
kesulitan dan penderitaan itu melalui perjuangan dan pengorbanan (Adz-
Dzakiey, 2015).
Ketika dalam kesulitan pasti ada kemudahan jika manusia mau
berusaha mencari jalan keluarnya dan jangan sampai kita berputus asa.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini. Dari ibnu Mas’ud r.a. ia
bersabda, Rasulullah SAW bersabda:
“Penyeleweng yang mengharapkan rahmat Allah adalah lebih
dekat kepada Allah daripada orang yang ahli ibadah namun
membuat orang berputus asa.”
Diberitahukan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari Umar, bahwa
seorang lak-laki dari umat dahulu rajin beribadah, namun memberatkan
diri serta membuat orang-orang putus asa dari rahmat Allah Ta’ala.
Kemudian ia mati, lalu berkata (di dalam akhirat), “Wahai Tuhanku,
apakah yang Engkau sediakan bagiku?” Allah menjawab, “Api Neraka”.
Orang itu berkata, “Wahai Tuhanku, manakah ibadah dan jerih payahku?”
Allah menjawab, “Dahulu engkau membuat orang-orang berputus asa dari
rahmat-Ku di dunia, maka sekarang Aku membuatmu berputus asa dari
rahmat-Ku (Abu Bakar, 1994).

2.3 Hubungan Antara Adversity Quotient (AQ) dengan


Kemandirian Belajar
Setiap individu pasti pernah mengalami kesulitan-kesulitan dalam
kehidupan yang sedang ia jalani, namun masing-masing individu juga
berbeda-beda dalam menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi (Stoltz,
2007), ada yang mudah putus asa dengan kesulitannya dan ada juga yang
terus berusaha mencari jalan keluar sampai mampu mengatasi kesulitan
sehingga mampu membuat kesuksasan dalam kehidupannya.
Siswa dituntut untuk mandiri dan bertangung jawab terhadap
persoalan yang ditugaskan oleh guru kepada siswa, terutama siswa yang
mengambil studi dalam bidang kejuruan, siswa diberikan pengetahuan
baik teori maupun praktik supaya setelah lulus siswa mampu terjun dalam
persaingan dunia kerja dan mampu bekerja sebaik mungkin dengan ilmu
yang sudah didapat saat sekolah. Namun ternyata tidak semudah yang
dibayangkan faktanya lulusan smk secara statistik, persentasenya lebih
29

banyak menganggur dibandingkan lulusan lainnya (BPS, 2019). Hal ini


justru bertolak belakang dengan yang seharusnya terjadi di kehidupan.
Salah satu kecerdasan yang harus dimiliki siswa untuk sukses
bukan hanya kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional saja,
melainkan ada satu kecerdasan yang sangat penting bagi siswa yaitu
kecerdasan adversity atau adversity quotient (AQ) (Stoltz, 2007).
Adversity quotient (AQ) sendiri merupakan kecerdasan individu dalam
mengatasi kesuliatan yang sedang dihadapi dan sanggup bertahan hidup
dengan kesulitan tersebut hingga sukses sehingga dapat mencapai
kesuksesan yang diinginkan. Adversity quotient (AQ) juga bisa disebut
sebagai kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan baik terhadap
stres, kesulitan trauma atau tragedi (Hema & Gupta, 2015). Kemampuan
individu untuk bertahan terhadap kesulitan merupakan salah satu cara
individu untuk mengembangkan sikap mandiri, yaitu melalui kegigihan dan
ketekunan.
Stoltz (2007) mengemukakan bahwa salah satu faktor kesuksesan
dipengaruhi oleh faktor belajar. Carol Dwek (dalam Stoltz, 2007)
membuktikan bahwa anak-anak dengan respons-respons pesimis terhadap
kesulitan tidak banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan
anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis. Siswa yang memilki
AQ yang tinggi akan berusaha sekuat tenaga untuk belajar dan juga akan
belajar dengan sungguh-sungguh tanpa dipaksa dan juga akan belajar.
Dengan demikian, siswa diharapkan akan mencapai apa yang dicita-
citakan. Adanya AQ yang tinggi pada diri siswa, merupakan syarat agar
siswa terdorong oleh kemauannya sendiri mengatasi berbagai kesulitan
belajar yang dihadapinya. Lebih lanjut, siswa dengan AQ tinggi akan
sanggup belajar mandiri.
Menurut Durkheim (dalam Mohammad Ali dan Muhammad Asrori,
2015) kemandirian merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang
bersumber dalam kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat
kemandirian tumbuh dan berkembang karena dua faktor yaitu disiplin dan
komitmen kelompok. Haris Mujiman (dalam Wastono, 2015) menjelaskan
bahwa kemandirian belajar adalah kegiatan belajar aktif yang didorong
oleh niat dan motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi
suatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi
yang telah dimiliki.
Selain itu dimensi dari adversity quotient (AQ) memiliki pengaruh
terhadap dimensi kemandirian, seperti dimensi kendali yang berpengaruh
30

pada dimensi kemandirian emosional. Individu yang memiliki adversity


quotient (AQ) yang tinggi akan memiliki kendali dalam menghadapi
kesulitan, sehingga mampu menyelesaikan masalah, individu tidak lagi
tergantung dengan orang lain. Kedua, asal-usul dan pengakuan dari
dimensi adversity quotient (AQ) memiliki pengaruh terhadap dimensi
kemandirian, yaitu kemandirian berperilaku. Stoltz (2007) menjelaskan
bahwa asal-usul berkaitan dengan rasa bersalah dan pengakuan berkaitan
dengan rasa tanggung jawab.
Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara adversity
quotient (AQ) dengan kemandirian pernah dilakukan oleh Arifah, Sri dan
Imam (2010) dengan judul hubungan kemandirian dengan adversity
intelligence pada remaja tuna daksa di SLB-D YPAC Surabaya, hasilnya
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikansi, artinya semakin
tinggi adversity intelligence maka semakin tinggi kemandirian. Sebaliknya
semakin rendah adversity intelligence maka semakin rendah pula
kemandiriannya.
Hal ini didukung oleh Rafly Sapuri (2009) siswa yang memiliki
adversity quotient (AQ) yang tinggi akan berusaha sekuat tenaga untuk
belajar dan juga akan belajar dengan sungguh-sungguh tanpa dipaksa.
Dengan demikian, siswa diharapkan akan mencapai apa yang dicita-
citakan. Adanya adversity quotient (AQ) yang tinggi pada diri siswa,
merupakan syarat agar siswa terdorong oleh kemauannya sendiri untuk
mengatasi berbagai kesulitan belajar yang dihadapinya. Lebih lanjut, siswa
dengan adversity quotient (AQ) tinggi akan sanggup untuk belajar
mandiri. Stoltz (2007) mengungkapkan bahwa salah satu faktor untuk
mencapai kesuksesan adversity quotient (AQ) yaitu Belajar. Artinya siswa
yang memiliki kemandirian belajar akan mampu mengatasi hambatan dan
rintangan yang dihadapi untuk dapat sukses.
31

2.4 Kerangka Konseptual

Adversity Quotient (AQ) Kemandirian Belajar

Dengan adversity quotient Ketika siswa memiliki


(AQ) yang tinggi siswa kemandirian yang tinggi
mampu mengatasi maka siswa mampu
kesulitan yang dihadapi mengatasi kesulitan yang
dan sanggup untuk sedang dihadapi secara
bertahan hidup penuh tanggung jawab.

Stoltz (2007) mengungkapkan bahwa salah satu faktor untuk


mencapai kesuksesan adversity quotient (AQ) yaitu Belajar. Artinya
siswa yang memiliki kemandirian belajar akan mampu mengatasi
hambatan dan rintangan yang dihadapi untuk dapat sukses. Senada
dengan Rafly Sapuri (2009) siswa yang memiliki adversity quotient
(AQ) yang tinggi akan berusaha sekuat tenaga untuk belajar dan juga
akan belajar dengan sungguh-sungguh tanpa dipaksa. Dengan
demikian, siswa diharapkan akan mencapai apa yang dicita-citakan.
Adanya adversity quotient (AQ) yang tinggi pada diri siswa,
merupakan syarat agar siswa terdorong oleh kemauannya sendiri
untuk mengatasi berbagai kesulitan belajar yang dihadapinya. Lebih
lanjut, siswa dengan adversity quotient (AQ) tinggi akan sanggup
untuk belajar mandiri.

2.5 Hipotesis
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka hipotesis yang diajukan
adalah ada hubungan antara adversity quotient (AQ) dengan kemandirian
belajar pada siswa SMK Negeri 6 Palembang.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
penelitian kuantitatif dengan pendekatan korelasional. Penelitian
kuantitatif adalah suatu penelitian yang menekankan analisisnya pada
data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika
(Azwar, 2016). Sedangkan rancangan korelasional yaitu tidak melakukan
intervensi atau perlakuan tertentu, fokus pada rancangan ini hanya
melihat hubungan antara dua atau lebih variabel (Alsa, 2004).
Sehingga dapat disimpulkan penelitian kuantitatif korelasional
adalah penelitian yang menyelidiki sejauh mana hubungan antara variabel
satu dengan yang lainnya, yang tentunya mengunakan analisis
berdasarkan data yang berbentuk angka-angka yang diolah dengan
metode statistik.

3.2 Identifikasi Variabel Penelitian


Menurut Saifuddin Azwar (2016) identifikasi variabel penelitian
merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama dalam penelitian
dan penentuan fungsi masing-masing. Variabel-variabel yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah:
Variabel bebas : Kemandirian Belajar
Variabel terikat : Adversity Quotient (AQ)

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi operasional merupakan suatu definisi mengenai variabel
yang dirumuskan berdasarkan karakter-karakter variabel yang dapat
diamati (Azwar, 2016). Adapun definisi oprasional penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Kemandirian Belajar yaitu ketika siswa SMK Negeri 6 Palembang
mampu melakukan sesuatu secara punuh tanggung jawab pada
sesuatu hal yang sedang dilakukannya.
b. Adversity Quotient (AQ) yaitu kecerdasan siswa SMK Negeri 6
Palembang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan
hidup, dalam hal ini siswa tidak mudah menyerah dalam menghadapi
setiap kesulitan hidup.

32
33

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian


2.1.1 Populasi
Populasi adalah kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi
hasil penelitian. Populasi dapat diartikan sebagai suatu ruang lingkup dari
sampel (Azwar, 2016). Populasi dalam penelitian in adalah siswa SMK
Negeri 6 Palembang pada jurusan perhotelan sebanyak 353 orang, terdiri
dari 12 kelas, yaitu: kelas X berjumlah 4 kelas, kelas XI berjumlah 4 kelas,
dan kelas XII berjumlah 4 kelas.

2.1.2 Sampel
Sutrisno Hadi (dalam Reza, 2016) menyatakan bahwa sampel
adalah sebagian dari populasi, sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang
dari jumlah populasi. Juga sampel harus mempunyai paling sedikit satu
sifat yang sama, baik sifat kodrat maupun sifat kekhususan. Jumlah
populasi yang akan diambil pada siswa SMK Negeri 6 Palembang yaitu
secara acak, dari populasi berjumlah 340 orang yang masih tercatat
sebagai siswa di SMK Negeri 6 Palembang.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian, peneliti menggunaka
dan melihat tabel pengambilan sampel yang dikembangkan oleh Isaac dan
Michael. Pada taraf kesalahan 5% didapatkan 172 orang dari jumlah
populasi 340 siswa pada jurusan perhotelan SMK Negeri 6 Palembang.
Peneliti menggunakan teknik Cluster Random Sampling . teknik ini
dilakukan terhadap unit sampling yang merupakan suatu kelompok. Selain
itu menurut Sugiyono (2017) teknik ini digunakan apablia menentukan
sampel bila objek yang akan diteliti atau sumber data yang luas. Adapun
kriteria sampel dalam kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
a. Siswa jurusan Perhotelan SMK Negeri 6 Palembang.
b. Berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
c. Bersedia mengisi kuosioner.

3.5 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai
tujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Azwar, 2016).
Penelitian ini menggunakan skala. Skala adalah perangkat pertanyaan
yang disusun untuk mengungkap atribut melalui respon terhadap
pertanyaan tersebut (Azwar, 2015). Dalam penelitian ini menggunakan
skala likert. Skala likert adalah teknik yang dikembangkan oleh ilmuan
sosial yaitu Rensis Likert, untuk menyusun alat pengukuran sikap subjek
34

yang menunjukkan skala dengan tiga atau lima poin, apakah dia setuju
atau tidak setuju dengan pernyataan tertentu (Azwar, 2016). Dalam
penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu: skala adversity quotienti
(AQ) dan skala kemandirian yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi
pada kedua variabel penelitan.

3.5.1 Skala Adverity Quotient (AQ)


Skala adversity quotient (AQ) diukur menggunakan jenis skala likert
untuk objek sikap berupa pertanyaan-pertanyaan. Penyusunan skala
tersebut berdasarkan aspek-aspek adversity quotient (AQ). Skala ini
memiliki 4 alternatif jawaban. Skala tersebut terdiri dari 64 item yang
disajikan dalam bentuk kalimat favorable dan unfavorable. Pada item
favorable nilai 4 diberikan untuk jawaban SS (Sangat setuju), nilai 3
diberikan pada jawaban S (Setuju), nilai 2 diberikan pada TS (tidak
setuju), dan terakhir nilai 1 diberikan pada jawaban STS (Sangat Tidak
Setuju). Adapun rincian penilaian skoringnya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Skor Skala Adversity Quotient (AQ)


Pertanyaan SS S TS STS
Favoriabel 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4

Berikut ini adalah blue print-skala adversity quotiet (AQ) yang


mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Paul G. Staltz dengan
aspek-aspek: Control (pengendalian), Origin-ownership (asal-usul dan
pengakuan), Reach (jangkauan), Endurance (daya tahan). Adapun blue-
print dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Blue-print Adversity Quotient (AQ)


No Aspek Indikator Item Total
F UF Item
1 Pengendalian Kendali individu mampu 1,9,17, 5,13,2
(control) mempengaruhi dan 25,33, 1,29,3 16
mengendalikan respon 41,49, 7,45,5
individu secara positif 57 3,61
dalam situasi apa-pun
2 Asal-usul dan Asal-usul kesulitan 2,18,3 6,22,3
Pengakuan untuk dapat membuat 4,50 8,,54
35

(Orgin- individu menjadi lebih


ownership) baik lagi 16
Pengakuan sesorang 10,26, 14,30,
untuk bertangguang 42,58 46,62
jawab akibat dari
kesulitan
3 Jangkauan Sejauh mana individu 3,11,1 7,15,2 16
(Reach) membiarkan kesulitan 9,27,3 3,31,3
menjangkau bidang lain 5,43,5 9,47,5
dalam pekerjaan dan 1,59 5,62
kehidupan
4 Daya tahan Berapa lama kesulitan 4,12,2 8,16,2 16
(Endurance) itu berlangsung dalam 0,28,3 4,32,4
kehidupan 6,44,5 0,48,5
2,60 6,64
Jumlah 32 32 64

3.5.2 Skala Kemandirian Belajar


Skala ini memiliki 4 alternatif jawaban. Skala tersebut terdiri dari 60
item yang disajikan dalam bentuk kalimat favorable dan unfavorable. Pada
item favorable nilai 4 diberikan untuk jawaban SS (Sangat setuju), nilai 3
diberikan pada jawaban S (Setuju), nilai 2 diberikan pada jawaban TS
(tidak setuju), nilai 1 diberikan pada jawaban STS (Sangat Tidak Setuju).
Adapun rincian penilaian skoringnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Skor Self-efficacy


Pertanyaan SS S TS STS
Favoriabel 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4

Sebelumnya Suharnan (2012) pernah melakukan pengembangan


skala kemandirian dengan aspek-aspek: mengambil inisiatif untuk
bertindak, mengendalikan sendiri aktivitas yang dilakukan,
memberdayakan kemampuan yang dimiliki, dan menghargai hasil karya
sendiri. Namun peneliti memilih aspek-aspek kemandirian yang
diperkenalkan oleh Sternberg. Berikut ini adalah blue-print skala
kemandirian yang mengacu pada kriteria kemandirian Steinberg. dengan
aspek-aspek: kemandirian emosional (emotional autonomy), kemandirian
36

dalam bertingkah laku (behavior autonomy), dan kemandirian nilai (value


autonomy). Adapun blue-print dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Blue-print Kemandirian Belajar


No Aspek Indikator Item Total
F UF Item
1 Kemandirian 1. De-idealized (remaja 1,19,3 10,28,
emosional memandang orang tua 7,55 46,64
(emotional apa adanya)
autonomy) 2. Parent as people 2,20,3 11,29,
(remaja melihat orang 8,56 47,65 24
tua sebagai orang
dewasa lainnya)
3. Individuated (remaja 3,21,3 12,30,
memiliki pribadi yang 9,57 48,66
berbeda)
2 Kemandirian 1. Memiliki kemampuan 4,22,4 13,31,
dalam mengambil keputusan 0,58 49,67
bertingkah 2. Memiliki rasa percaya 5,23,4 14,32,
laku diri 1,59 50,68 24
(behavior 3. Memiliki tanggung 6,24,4 15,33,
autonomy) jawab 2,60 51,69
3 Kemandirian 1. Berpikir sesuai dengan 7,25,4 16,34,
nilai (value keyakinan dan nilainya 3,61 52,70
autonomy) sendiri
2. Mengevaluasi kembali 8,26,4 17,35,
keyakinan dan nilai- 4,62 53,71 24
nilai dari orang lain
3. Bertingkah laku sesuai 9,27,4 18,36,
dengan keyakinan dan 5,63 54,72
nilainya sendiri
Total Item 36 36 72

3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Penelitian


3.6.1 Validitas
Validitas berasal dari kata validity, yaitu sejauh mana alat ukur
mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur serta ketepatan dan
37

kecermatan suatu alat ukur melakukan fungsi ukurnya. Menurut Azwar


pengujian validitas berguna untuk mengetahui apakah skala tersebut
mampu menunjukan hasil data yang akurat sesuai dengan tujuan ukur.
Pengukuran validitas pada penelitian ini menggunakan SPSS metode
korelasi pearson product moment yang dilakukan dengan cara
membandingkan nilai signifikansi korelasi satu item dengan item total,
dengan aturan bila nilai signifikansi < 0,05 maka item dinyatakan valid,
tetapi jika nilai signifikansi > 0,05 maka item dinyatakan tidak valid
(Alhamdu, 2016). Maka untuk melihat validitas item yang digunakan dapat
dilihat dengan membandingkan antara skor item dengan skor total item.
Bila nilai signifikansi ≤0,05 maka item valid, tetapi jika nilai signifikansi
nya ≥ 0,05 maka item tidak valid.

3.6.2 Reliabelitas
Salah satu ciri instrumen ukur yang berkualitas baik adalah reliabel
(relable), yaitu mampu menghasilkan skor yang cermat dengan eror
pengukuran kecil. Pengukuran reliabilitas pada penelitian ini menggunakan
teknik Alpha Cronbach dengan koefisien reabilitas (r xx) berada dalam
rentang angka 0 sampai dengan 1,00, semakin tinggi mendekati angka
1,00 berarti pengukuran semakin reliabel (Azwar,2015).

3.7 Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis yang
diajukan yaitu dengan teknik analisis regresi sederhana (simple
regression) karena penelitian ini hanya menggunakan satu variabel bebas
dan satu variabel tergantung. Metode analisis data terbagi menjadi 2
bagian yaitu uji Asumsi (prasyarat) dan uji Hipotesis.

3.7.1 Uji Asumsi (Prasyarat)


Uji normalitas dan uji linieritas merupakan syarat sebelum
melakukan uji analisis regresi sederhana dengan maksud agar kesimpulan
yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya ditarik.

3.7.1.1 Uji Normalitas


Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi data
berdistribusi nornal atau tidak. Adapun teknik yang digunakan dalam
penelitian dalam uji normalitas data dengan menggunakan teknik
Kolmogorov Smirnov. Menurut Sutrisno Hadi penelitian berdistribusi
38

normal atau tidak jika niai p > 0,05 maka dikatakan data berdistribusi
normal, namun sebaliknya jika nilai p ≤ 0,05 maka data dinyatakan tidak
normal (Reza, 2016).

3.7.1.2 Uji Linieritas


Uji linieritas digunakan sebagai prasyarat untuk melakukan analisis
dengan menggunakan korelasi pearson dan regresi linier. Tujuan dari uji
linieritas ini adalah untuk mengetahui apakah dua variable secara
signifikan mempunyai hubungan yang linier atau tidak. Uji linieritas ini
dilakukan pada kedua variabel dengan menggunakan test for linierity pada
taraf signifikansi 0.05. Bila nilai pada Deviation From Linierity > 0,05 maka
kedua variable dinyatakan mempunyai hubungan yang linier serta apabila
nilai signifikansi < 0,05 maka kedua variable dianggap mempunyai
hubungan linier (Alhamdu, 2016).

3.7.1.3 Uji Hipotesis


Setelah terpenuhinya uji normalitas dan linieritas, kemudian
dilakukan uji hipotesis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis regresi sederhana (simple regression) yaitu untuk
menjelaskan hubungn kedua variable X dan Y. Adapun semua analisis
dalam penelitian ini menggunakan bantuan SPSS versi 16 for windows.
39

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Al-Usfuri, Muhammad. (1994). Petuah Usfuriyah. Surabaya:
Mutiara Ilmu.
Ad-Zakiey, Hamdani Bakran. (2015). Prophetic Intelligence, Kecerdasan
Kenabian. Yogyakarta: Al-Manar
Ali, M & Asrori, M. (2015). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta didik .
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Alhamdu. (2016). Analisis statistik dengan Program SPSS . Palembang:
Noerfikri.
Alsa, Asmadi. (2004). Pendekatan kuantitatif dan kualitatif serta
kombinasinya dalam peneltian psikologi . Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Arifah, K., Sri H., & Imam S. (2010). Hubungan Kemandirian Dengan
Adversity Intelligence Pada Remaja Tuna Daksa Di SLB-D YPAC
Surabaya. Proceeding Konferensi Nasional II Ikatan Psikologi Klinis
– Himpsi, 252-275.
Azwar, Saifuddin. (2015). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Azwar, Saifuddin. (2016). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Babler, E & June, C.S. (2015). Moving The Journey Towards
Independence: Adolescents Transitioning To Successful Diabetes
Self-Management. Journal of Pediatric Nursing, 30, 648-660.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Desmita. (2017). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
English, Mary C. (2013). Supporting Student Self-Regulated Learning in
Problem- and Project-Based Learning. The Interdisciplinary Journal
of Problem-based Learning, Vol. 7, No. 2.
Hema G & M. Gupta, Sanjay. (2015). Adversity Quotient for Prospective
Higher Education. The International Journal of Indian Psychology ,
Volume 2, Issue 3
Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi perkembangan edisi kelima.
Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
M. Sofie, Loyens, M & Magda, J. (2008). Self-Directed Learning in
Problem-Based Learning and its Relationships with Self-Regulated
Learning. Educ Psychol Rev, 20:411–427.
40

Purwanto, Ngalim. (1988). Ilmu pendidikan: Teoritis dan praktis.


Bandung: Remadja Karya CV.
Rathee, N & Sharma, S. (2018). Adversity Quotient Among High School
Students In Relation To Demographic Variables. International
Journal of Humanities and Social Science Invention (IJHSSI), Vol.
7, Issue 05.
Reza, I. F. (2016). Metodologi penelitian psikologi (Kuantitatif,
Kualitatif dan Kombinasi). Palembang: Noerfikr.
Sapuri, Rafy. (2009). Psikologi Islam: Tuntunan Jiwa Manusia Modern .
Bandung: Rajawali Pers.
Soysub, Angkana. (2018). The Effects Multiple Intelligent (IQ, EQ and AQ)
On Employee Performance: A Case Of ABC Automotive Co., LTD.
RMUTT Global Business Accounting and Finance Review (GBAFR) .
Vol. 2, Issue 1.
Stoltz, Paul G. (2007). Adversity Quotient (AQ): Mengubah Hambatan
Menjadi Peluang. Jakarta: PT. Grasindo.
Sugiono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D .
Bandung: Alfabeta.
Suharnan. (2012). Pengembangan Skala Kemandirian. Pesona Jurnal
Psikologi Indonesia, Vol. 1, No. 2.
Verma, S, Ankita, A & Bansal, H. (2017). The Relationship between
Emotional Intelligence (EQ) and Adversity Quotient (AQ). IOSR
Journal of Business and Management (IOSR-JBM) , Volume 19,
Issue 1.
Yoga, Miarti. (2016). Adversity Quotient: Agar Anak Tak Gampang
Menyerah. Solo: Tinta Medina.
Walgito. B. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offiset.
Wastono, FX. (2015). Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa SMK Pada
Mata Diklat Teknologi Mekanik Dengan Metode Problem Based
Learning. Jurnal Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan, Vol. 22, No. 4.

Anda mungkin juga menyukai