devalapaz
A. DEFINISI
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran
darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad ramali.1994)
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi
kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung ( Tabrani, 1998; Price,1995).
Decompensasi cordis adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung
berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri
(Braundwald, 2003 )
Berdasar definisi patofisiologik gagal jantung (decompensatio cordis) atau dalam bahasa inggris
Heart Failure adalah ketidakmampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
pada saat istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut akan menyebabkan respon sistemik khusus
yang bersifat patologik (sistem saraf, hormonal, ginjal, dan lainnya) serta adanya tanda dan
gejala yang khas (Fathoni, 2007).
B. ETIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan
kontraktilitasmiokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan
cacat septumventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau
kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah
gangguan pengisisan ventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan
ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut
diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada
gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein
kontraktil. ( Price. Sylvia A, 1995).
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut menimbulkan gagal
yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri : penyakit jantung iskemik,
penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit katup mitral, miokarditis,
kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi ( tirotoksikosis, anemia, fistula
arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katup
pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), hipertensi
pulmonal, emboli pulmonal masif. (Chandrasoma, 2006).
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untung
mengetahui penyebab dari gagal jantung, di Negara berkembang penyakit arteri koroner dan
hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi
penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi.4 Pada
beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada
keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.4
Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risikoindependen
perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa
penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk
hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik
dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang
menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.4
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh
penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada
perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif),
hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung
dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom
Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan
struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung,
menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot
jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan
gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga
dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung. (Santosa, A
2007)
C. PATOFISIOLOGI
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat dilihat : (1)
meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini
mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai
untuk mempertahankan curah jantung pada awal perjalanan gagal jantung. Namun, dengan
berlanjutnya gagal jantung kompensasi menjadi kurang efektif (Price dan Wilson, 2006).
Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung antara lain : (1) norepinephrine
menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas myocite, (2)
angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan mengaktifkan saraf
simpatis, (3) aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium, (4) endothelin menyebabkan
vasokontriksi dan toksisitas myocite, (5) vasopresin menyebabkan vasokontrikso dan resorbsi
air, (6) TNF α merupakan toksisitas langsung myosite, (7) ANP menyebabkan vasodilatasi,
ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada myocite, (8) IL 1 dan IL 6 toksisitas myocite
(Nugroho, 2009).
Berdasar hukum Fank-Starling, semakin teregang serabut otot jantung pada saat pengisian
diastolik, maka semakin kuat kontraksinya dan akibatnya isi sekuncup bertambah besar. Oleh
karena itu pada gagal jantung, terjadi penambahan volum aliran balik vena sebagai kompensasi
sehingga dapat meningkatkan curah jantung (Masud, 1992).
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri krn ventrikel kiri tak mampu memompa darah
yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
Dispnoe
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas. Dapat terjadi
ortopnu.Bebrapa pasien dapat mengalami ortopnu pda malam hari yang dinamakan Paroksimal
Nokturnal Dispnea ( PND)
Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan
oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme, juga terjadi karena meningkatnya
energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan
batuk.
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan
bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
Batuk
Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan berat badan.
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena
di hepar.
Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen.
Nokturia
Kelemahan.
EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola
mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6
minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri
kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi
fraksi/perubahan kontrktilitas. (Wilson Lorraine M, 2001)
Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi fleura yang
menegaskan diagnisa CHF.
EKG dapat mengungkapkan adanya takikardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemik( jika
disebabkan oleh AMI)
Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodilusi
darah dari adanya kelebihan retensi air. (Nursalam M, 2002)
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokarium dengan preparat farmakologi, dan
Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi antidiuretik,
diit dan istirahat.
Terapi Farmakologis :
Glikosida jantung.
Terapi diuretik.
Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal.Penggunaan hrs hati – hati
karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia.
Terapi vasodilator.
Diuretika, untuk gagal jantung disertai udem paru akibat disfungsi diastolik. Bila tanda udem
paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan sampai terjadi
hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah jantung dan tekanan darah
menurun.
Pemberian antagonis kalsium dan beta bloker harus diperhatikan karena keduanya dapat
menurunkan kontraktilitas miokard sehingga memperberat kegagalan jantung.
Dukungan diet:
1. Pengkajian
Aktivitas/istirahat
Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan
aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah pad aktivitas.
Sirkulasi
Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung , bedah jantung ,
endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
Tanda :
e. Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah posisi secara inferior ke kiri.
k. kapiler lambat.
Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan penyakit/keperihatinan
finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah
tersinggung.
Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari (nokturia),
diare/konstipasi.
Makanan/cairan
Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta edema (umum,
dependen, tekanan dn pitting).
Higiene
Neurosensori
Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit pada otot.
Pernapasan
Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk
dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
Tanda :
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa
pemebentukan sputum.
Keamanan
Interaksi sosial
Pembelajaran/pengajaran
Tujuan:
Intervensi:
Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi
penurunan kontraktilitas ventrikel.
Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal,
dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan
pulse alternan.
Pantau TD
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada HCF lanjut
tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat norml lagi.
Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak dekutnya curh
jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit
sering berwarna biru atu belang karena peningkatan kongesti vena.
Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek
hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup,
memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen. Kelemahan
umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan : Kelemahan, kelelahan, Perubahan
tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.
Intervensi:
Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien menggunakan
vasodilator,diuretic dan penyekat beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilasi),
perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.
Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea berkeringat
dan pucat.
Intervensi :
Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi
terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga
meningkatkan diuresis.
Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal
Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori
dalam pembatasan natrium.
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan menbran kapiler-
alveolus.
Intervensi :
5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama,
edema dan penurunan perfusi jaringan.
Tujuan/kriteria evaluasi:
Intervensi:
Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya terganggu/pigmentasi atau
kegemukan/kurus.
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan gangguan status
nutrisi.
Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/aktif.
Rasional : Memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan
predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi..
Tujuan/kriteria evaluasi:
Intervensi:
Rasional : Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program
pengobatan.
Rasional : Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik
dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat meningkatkan resiko eksaserbasi gejala.
Anjurkan makanan diet pada pagi hari.
Rasional : Memberikan waktu adequate untuk efek obat sebelum waktu tidur untuk
mencegah/membatasi menghentikan tidur.
H. Evaluasi
Pasien dapat melakukan aktifitas tanpa disertai gejala gagal jantung seperti rasa nyeri pada dada.
Pasien dapat berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri,
Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya
kelemahan dan kelelahan.
Tidak adanaya edema pada bagian tubuh pasien serta dapat menyatakan pemahaman tentang
pembatasan cairan individual.
Pernapasan pasien terlihat normal serta tidak adanya tanda-tanda sesak nafas.
Pengetahuan klien tentang penyakitnya meningkat dan dapat melakukan perubahan perilaku
yang benar tentang pencegahan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran Bandung,
September 2005, Hal. 443 – 450
Junadi P, Atiek S, Husna A, Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 2001, Hal.206 – 208
Wilson Lorraine M, Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Buku 2, Edisi 4,
Tahun 2003, Hal ; 704 – 705 & 753 – 763.
Share this:
TwitterFacebook4
Berikutnya »
Tinggalkan Balasan
Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar
Nama *
Surel *
Situs web
Beri tahu saya komentar baru melalui email.
Pos-pos Terbaru
Arsip
Arsip
Kalendar
JANUARI 2012
S S R K J S M
1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30 31
Meta
Daftar
Masuk log
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
Kampus NWU
Blog di WordPress.com.