Anda di halaman 1dari 17

Evaluasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Malang No.

4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata


Ruang Wilayah Kota Malang 2010 – 2030

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Metode Penulisan Ilmiah

Oleh:

Fitriatun Nisa 175030100111035

Kelas C

Universitas Brawijaya

Fakultas Ilmu Administrasi

Malang

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada setiap area perkotaan, ruang terbuka hijau atau RTH merupakan aspek penting yang
harus tersedia. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1 angka 31,
ruang terbuka hijau merupakan area memanjang atau jalur dan atau mengelompok, yang
penggunaanya lebih bersifat terbuk, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah ataupun sengaja di tanam. Ruang terbuka hijau sendiri memiliki beberapa fungsi
seperti fungsi ekologi, fungsi estetika atau keindahan, fungsi social budaya, dan fungsi
ekonomi. Fungsi-fungsi tersebut akan semakin terlihat seiring dengan bertambahnya jumlah
ruang terbuka hijau yang ada. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No:
5/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan Bab II angka 2.1 Huruf a menyatakan bahwa dalam suatu perkotaan,
diwajibkan setidaknya memiliki ruang terbuka hijau seluas 30% dari luas daerahnya yang
kemudian dibagi menjadi 20% ruang terbuka hijau public dan 10% ruang terbuka hijau privat
Kota Malang sebagai kota terbesar kedua di Provinsi Jawa Timur tentunya memiliki
tanggung jawab yang besar dalam menyediakan RTH bagi warganya. Selain itu Kota Malang
juga disebut sebagai kota pendidikan karena banyaknya universitas yang berdiri di kota ini.
Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab Kota Malang sebagai kota yang padat
penduduk. Dengan tinnginya jumlah pelajar maka tinggi pula kebutuhan akan pemukiman
atau kost bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut. Selain kebutuhan akan pemukiman yang
tinggi, lahan-lahan di Kota Malang juga mulai dialihfungsikan sebagai toko-toko modern.
Pertambahan jumlah penduduk merupakan factor utama yang mempengaruhi perkembangan
pemukiman dan kebutuhan sarana dan prasarana. Pertambahan jumlah penduduk juga akan
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan energi seperti energy listrik, minyak tanah,
premium dan solar. Ruang terbuka hijau semakin terdesak keberadaanya dan berubah
menjadi bangunan untuk mencukupi kebutuhan fasilitas penduduk kota. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kota Malang 22
Juni 2018 bahwa Kota Malang memiliki luas wilayah seluas wilayah 11.006 Ha dan memiliki
ruang terbuka hijau public seluas 1.342,95 Ha dan masih jauh dari jumlah total yang
diperlukan yakni seluas 3.301,8 Ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kota Malang belum
mampu memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau yang telah diatur dalam perundang-
undangan. Artinya terdapat ketidakefektifan dalam pelaksanaan program-program yang
dibuat. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, perlu dilakukannya evaluasi
terhadap kebijakan Peraturan Daerah Kota Malang No. 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Malang yang telah berjalan selama beberapa tahun.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana evaluasi kebijakan Peraturan Daerah Kota Malang No. 4
Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang 2010 - 2030?”

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran hasil evaluasi kebijakan Peraturan
Daerah Kota Malang No. 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
2010 – 2030
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Kebijakan Publik

Kebijakan publik menurut Thomas Dye dalam Understanding Public Policy (1987:17)
adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is
whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan
publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh
pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Sedangkan menurut Chiff J.O
Udaji dalam Abdul Wahab (2001:5) mendefinisikan kebijakan publik atau kebijakan Negara
sebagai “An sanctioned course of action addressed to particular problem or group of related
problems that affect society at large” (Suatu tindakan bersangsi yang mengarah pada suatu
masalah atau sekolompok masalah tertentu yang saling berkaitan mempengaruhi sebagian besar
masyarakat).

Selanjutnya Harold D Laswell dan Abraham Kaplan dalam Islamy mengatakan bahwa
kebijakan publik sebagai “a projected program of goals, values and practices” (Suatu program
pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah) (1984:16) Amara Raksasataya
dalam Islamy juga mengemukakan bahwa “kebijaksanaan publik sebagai suatu taktik dan
strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan”. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan
memuat 3 elemen yaitu :

a. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;


b. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan;
c. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata
dari taktik atau strategi (1984:17-18)
Definisi lain dikemukakan oleh James Anderson “Public policy are those policies
devoleped by governmental bodies and officials” (Islamy, 1984:19). Implikasi dari definisi-
definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas adalah: pertama, bahwa kebijakan publik selalu
mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kedua,
bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabatpejabat pemerintah.
Ketiga, bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Keempat,
bahwa kebijakan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan
pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan
keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. Kelima, bahwa kebijakan pemerintah
selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
Dengan demikian, pengertian-pengertian kebijakan publik di atas menegaskan bahwa
pemerintah yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terssebut diwujudkan dalam bentuk
pengalokasian nilainilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini disebabkan
karena pemerintah termasuk kedalam apa yang oleh David Easton sebut sebagai “authorities in
apolitical system” yaitu penguasa dalam suatu system politik yang terlibat dalam masalah-
masalah sehari-hari yang telah menjadi tanggung jawab atau perannya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat dirumuskan makna kebijakan publik
adalah:
1. Segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh Pemerintah.
2. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau
kehidupan publik, bukan kehidupan perorangan atau golongan. Kebijakan
publik mengatur semua yang ada di domain lembaga administrator publik.
3. Kebijakan publik merupakan kebijakan yang nilai manfaatnya harus
senantiasa ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

2.1.1 Tahap-tahap Kebijakan Publik


Telah diuraikan di atas mengenai apa itu kebijakan publik. Secara sederhana dijelaskan
bahwa kebijakan publik merupakan sebuah produk (output) pemerintah pusat maupun daerah
dalam rangka pemecahan masalah-masalah publik yang dianggap urgent demi kesejahteraan
masyarakat. Pengadaan sebuah produk yang dalam hal ini adalah sebuah kebijakan publik,
bukanlah barang instan yang serta-merta hadir seketika ketika datang sebuah permasalahan
publik, tentu terdapat proses atau tahapan-tahapan dalam pembuatan sebuah kebijakan. Seperti
yang dijelaskan William Dunn (1998:24) bahwa tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai
berikut:
a. Penyusunan Agenda
Dalam fase ini ditentukan mana permasalahan publik dan prioritas yang menjadi urgensi pada
saat itu. Jika sebuah isu publik mendapatkan kedudukan sebagai masalah publik dan mendapat
priorias dalam agenda publik, maka isu publik tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya
publik yang lebih dari pada isu publik lainnya. Dalam fase ini sangat penitng untuk dapat
menentukan isu kebijakan yang akan dijadikan masalah kebijakan dalam suatu agenda
pemerintah.
b. Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah berhasil masuk dalam agenda pemerintah, kemudian diolah dan didefinisikan
oleh para pembuat kebijakan untuk dapat ditemukan alternatif-alternatif kebijakan sebagai solusi
dari masalah kebijakan tersebut. Sama halnya dengan pemilihan isu masalah, pemilihan alternatif
kebijakan sebagai solusi pemecahan masalah kebijakan juga dipilih dan diseleksi agar didapat
pilihan alternatif terbaik untuk memecahkan masalah kebijakan.
c. Adopsi/Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika
tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah
adalah tindakan yang sah, yaitu dengan mendukung. Legitimasi dapat dikelola melalui
manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung
pemerintah.
d. Implementasi Kebijakan
Semua program hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak
diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai altermatif
pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Pada implentasi ini berbagai kepentingan akan
saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana
(implementers), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
e. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum, evaluasi merupakan fase atau tahapan fungsional yang berkaitan dengan estimasi
dan nilai dari sebuah kebijakan. Evaluasi bukan hanya sekedar sebuah tahapan yang akan
dilakukan pada agenda terakhir sebuah proses kebijakan. Namun juga mencakup seluruh aspek
dalam sebuah kebijakan. Mulai dari perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program
yang diusulkan untuk memecahkan masalah kebijakan, implementasi kebijakan hingga dampak
yang ditimbulkan dari kebijakan itu sendiri.

2.2 Evaluasi Kebijakan Publik


Kegiatan evaluasi merupakan sebuah tahapan yang penting dalam proses analisis
kebijakan publik. Kegiatan ini dapat memberikan satuan nilai terhadap suatu kebijakan publik
yang diimplementasikan (Suharno, 2013:219). Pada dasarnya, kebijakan publik dijalankan
dengan maksud tertentu, yaitu untuk mendapatkan tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari
masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak semua
program kebijakan public dapat meraih hasil seperti yang diinginkan. Oleh karenanya, sebuah
evaluasi perlu dilakukan untuk melihat apa yang menjadi sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan
atau untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut memiliki dampak seperti yang diharapkan.

2.2.1 Pengertian Evaluasi Kebijakan


Menurut Winarno (2014:228-229) penilaian atau evaluasi suatu kebijakan merupakan
langkah terakhir dalam tahap-tahap proses kebijakan. Sebagai kegiatan yang fungsional yaitu
kegiatan yang tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja namun pada semua proses kebijakan
publik mulai dari perumusan masalah,program-program yang dilaksanakan untuk menyelasaikan
masalah, implementasi, hingga dampak kebijakan, evaluasi adalah kegiatan penilaian kebijakan
yang bertujuan untuk melihat apa yang menjadi sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau
untuk melihat apakah kebijakan publik tersebut telah mencapai dampak yang diharapkan. Oleh
karenanya, penilaian atau evaluasi dapat menangkap tentang isi kebijakan, penilaian kebijakan,
dan dampak kebijakan.
Menurut Arikunto (2013:36) evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi
tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah
menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan
kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Dari berbagai pengertian evaluasi kebijakan di atas, penulis dapat menarik sebuah
kesimpulan bahwa evaluasi kebijakan adalah sebuah proses penilaian atau pengukuran apakah
sebuah kebijakan telah berjalan sesuai seperti apa yang telah ditentukan, baik itu dampak yang
dihasilkan maupun proses pelaksanaan dari kebijakan itu sendiri. Hal ini berdasarkan kata kunci
yang sering kita temukan yaitu di antaranya adalah pengukuran, penilaian, pelaksanaan, hasil dan
dampak.

2.2.2 Pendekatan Evaluasi Kebijakan


Suharno (2013:224-227) mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) pendekatan besar
dalam evaluasi kebijakan, yakni:
a. Evaluasi Semu
Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan, tanpa
mempersoalkan lebih jauh tentang nilai dan manfaat dari hasil kebijakan tersebut bagi individu,
kelompok sasaran, dan masyarakat dalam skala luas. Analisis yang menggunakan pendekatan ini
berpendapat bahwa nilai dan manfaat suatu kebijakan akan dirasakan secara otomatis dan
terbukti dengan sendirinya oleh individu, kelompok, maupun masyarakat.
b. Evaluasi Formal
Evaluasi Formal (formal evaluation) adalah pendekatan yang digunakan untuk menghimpun
informasi valid dengan metode-metode deskriptif mengenai hasil kebijakan dengan tetap
melakukan evaluasi atas hasil tersebut berdasarkan tujuan yang telah diumumkan secara formal
oleh pembuat kebijakan dan tenaga administratif lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa
pencapaian dari tujuan yang telah diumumkan secara formal adalah ukuran yang tepat untuk
menilai dan mengevaluasi dari manfaat dari sebuah kebijakan.
c. Evaluasi Keputusan Teoritis
Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoretic evaluation) adalah kegiatan evaluasi yang
menggunakan metode-metode deskriptif untuk mengumpulkan informasi yang valid dan
akuntabel mengenai hasil kebijakan, yang dinilai secara eksplisit oleh para pelaku kebijakan.
Evaluasi jenis ini bertujuan untuk menghubungkan antara hasil kebijakan dengan nilai-nlai dari
para pelaku kebijakan.

2.2.3 Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik


Mengevaluasi suatu program atau kebijakan publik diperlukan adanya suatu kriteria untuk
mengukur keberhasilan program atau kebijakan publik tersebut. Mengenai kinerja kebijakan
dalam menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Evaluasi
TIPE KRITERIA PERTANYAAN ILUSTRASI
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan Unit pelayanan
telah dicapai?
Efisiensi Seberapa banyak usaha Unit biaya
diperlukan untuk mencapai Manfaat bersih
hasil yang diinginkan? Rasio biaya-manfaat
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian Biaya tetap
hasil yang diinginkan (masalah tipe I)
memecahkan masalah? Efektivitas tetap
(masalah tipe II)
Perataan Apakah biaya dan manfaat Kriteria Pareto
didistribusikan dengan merata Kriteria kaldor-Hicks
kepada kelompok-kelompok Kriteria Rawls
tertentu?
Responsivitas Apakah hasil kebijakan Konsistensi dengan survey
memuaskan kebutuhan, warga negara
preferensi atau nilai
kelompok-kelompok tertentu?
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang Program public harus merata
diinginkan benar-benar dan efisien
berguna atau bernilai?

Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya
keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil
guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan
hasil yang sesungguhnya dicapai. William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa: “Efektivitas
(effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang
diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat
berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau
nilai moneternya” (Dunn, 2003:429).

2. Efisiensi
Efisiensi berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan
tingkat efektivitas tertentu. Efesiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi,
merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari
ongkos moneter. Efesiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk
atau layanan. Adapun menurut Dunn (2003:430) berpendapat bahwa: “Efisiensi
(efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat
efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah
merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari
ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk
atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil
dinamakan efisien”.
3. Kecukupan
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai
sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn mengemukakan bahwa
kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah
(Dunn, 2003:430). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih
berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh
alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi.
4. Perataan
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan
yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. Dunn, (2003:434) menyatakan
bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial
dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda
dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang
akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat
efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu
keadilan atau kewajaran.
5. Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari suatu
aktivitas. Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu
kebijakan. Menurut Dunn (2003:437) menyatakan bahwa responsivitas (responsiveness)
berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan,
preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Suatu keberhasilan
kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan
setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan
akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai
dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif
berupa penolakan.
6. Ketepatan
Dalam proses ini keberhasilan suatu kebijakan dapat dilihat dari tujuan kebijakan
yang benar-benar tercapai berguna dan bernilai pada kelompok sasaran, mempunyai
dampak perubahan sesuai dengan misi kebijakan tersebut.
2.3 Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Pengertian ruang terbuka hijau yang termuat dalam beberaa undang-undang memiliki
kesamaan bunyi yakni ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun sengaja ditanam (pasal 1 angka 31 UU No 26 Tahun 20007 Tentang Penataan
Ruang,pasal 3 angka 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umun No : 05/PRT/M/2018 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan) .
Terdapat pengertian lain mengenai RTH yakni ruang terbuka hijau kawasan perkotaan yang
selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian terbuka dari suatu kawasan perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi5. Perbedaan
dalam pengertian tersebut dengan pengertian ruang terbuka hijau yang termuat dalam UU
penataan ruang dan Permen PU sbelumnya adalah pengertian yang termuat dalam Permendagri
No 1 Tahun 2007 adalah pengertian mengenai RTH yang berada di dalam kawasan atau areal
perkotaan. Penataan ruang terbuka hijau dalam suatu daerah tentunya tidak bisa dilakukan secara
sembarangan, karena harus memperhatikan asas-asas yang ada. Berikut merupakan asas-asas
dalam hal penataan ruang:
a. Asas keterpaduan
b. Asas keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
c. Asas keberlanjutan
d. Asas keberdayagunaan dan keberhasilgunaan
e. Asas keterbukaan
f. Asas kebersamaan dan kemitraan
g. Asas perlindungan kepentingan umum
h. Asas kepastian hukum dan keadilan
i. Asas akuntabilitas
Disediakannya ruang terbuka hijau di tengah-tengah kawasan perkotaan bukanlah tanpa
tujuan karena mengingat fungsinya yang sangat penting bagi kualitas hidup di areal perkotaan.
Tujuan diadakannya ruang terbuka hijau di areal perkotaan adalah sebagai berikut:

a. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;

b. Menciptakan aspek planologis perkotaan

c. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan

Mengingat bahwa ruang terbuka hijau merupakan suatu komponen yang penting dalam
sautu areal perkotaan maka tentunya ruang terbuka hijau memiliki fungsi yang cukup fital,
sebagai berikut:

a) Fungsi lingkungan/ecology adalah untuk menjada kelangsungan lingkungan itu sendiri. Selain
itu, dengan adanya ruang terbuka hijuau juga dapat mencegah terjadinya banjir dikarenakan
ruang terbuka hijau mampu untuk menyerap atau menampung sejumlah debit air

b) Fungsi sosial budaya adalah bahwa ruang terbuka hijau dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk saling berinteraksi dan sarana untuk bertukar fikiran.
c) Fungsi aesthetic atau estetika, melalui keberadaan taman dan jalur hijau, ruang terbuka hijau
diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan kawasan dan nilai keindahan

d) Fungsi ekonomi ruang terbuka hijau diharapkan dapat berperan sebagai pengembangan sarana
wisata hijau perkotaan. Dengan adanya hal tersebut tentunya akan menarik wisatawan local
maupun wisatawan asing yang kemudian secara tidak langsung akan berdampak pada
perekonomian yang berasal dari kawasan wisata.
BAB III

Metode Penelitian

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Strauss dan Cobin (dalam Tresiana, 2013:14) mengemukakan bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian adalah penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan
yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur stastik atau dengan cara pengukuran.
Penelitian ini bertujuan memaparkan dengan cara mendeskripsikan hasil melalui gambaran
pelaksanaan Perda Daerah Kota Malang No. 4 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota Malang 2010 –
2030 dengan berbagai fenomena permasalahan yang ada. Oleh sebab itu nantinya penelitian ini
akan berisi kutipan-kutipan data yang diperoleh peneliti dari informan untuk memberikan
informasi yang menggambarkan penyajian laporan tersebut. Laporan tersebut dapat berasal dari
naaskah wawancara, catatan-catatan, foto, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen
resmi lainnya.

3.2 Fokus Penelitian


Menurut Moleong (2007:94) melalui fokus penelitian, peneliti akan tahu persis data mana
dan data tentang apa yang perlu dikumpulkan dan data mana pula yang walaupun mungkin
menarik, karena tidak relevan tidak perlu dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang
dikumpulkan. Jadi, dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, seorang peneliti dapat
membuat keputusan yang tepat tentang data mana yang dikumpulkan dan mana yang tidak perlu
dijamah ataupun mana yang akan dibuang. Adapun fokus penelitian ini difokuskan pada evaluasi
kebijakan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau yaitu pada Perda Daerah Kota Malang No. 4 Tahun
2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang 2010 – 2030 yang difokuskan pada
empat unsur pokok menurut teori evaluasi yang dikemukakan oleh William N. Dunn, yaitu:
1. Efektivitas

Adalah hubungan antara output dengan tujuan. Dalam artian apakah pengolaan Ruang
Terbuka Hijau telah sesuai dengan apa yang tertera dalam Perda Daerah Kota Malang No. 4
Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang 2010 – 2030
2. Efesiensi
Adalah perbandingan terbaik antara suatu keadaan dengan keadaan sebelumnya dilihat dari
proses pelaksanaan Perda yang didasarkan pada waktu dan biaya.
3. Kecukupan
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau
kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Dalam artian bahwa apakah pengadaan Ruang
Terbuka Hijau sudah sesuai dengan Perda yang berlaku.
4. Responsivitas
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi,
atau nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target kebijakan. Yang artinya
bagaimana tanggapan masyarakat mengenai ruang terbuka hijau yang disedaiakan oleh
pemerintah.

3.3 Data dan Sumber Data


a. Data primer: data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yang didapatkan sendiri oleh
penulis dengan metode wawancara dengan narasumber dari instansi-instansi terkait yang dipilih
sebagai lokasi penelitian. Adapun lokasi penelitian yang akan dituju oleh penulis adalah :
1. Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang
2. Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Malang
3. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Malang
4. Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kota Malang
b. Data sekunder: antaralain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya11. Data sekunder berbentuk
bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan) dan bahan hukum sekunder (buku, jurnal
penelitian, berita, dll). Data sekunder yang akan digunakan dalam penulisan berasal dari
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Malang Tahun 2011 – 2030.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Estenberg dalam Sugiono (2010:317) mendefinisikan bahwa interview atau wawancara
merupakan “a meeting of two persons to exchange information and idea through question and
responses, resulting in communication and joint constructing of meaning about a particular
topic”. Wawancara adalah pertemuan dua orang atau lebih untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksi makna dalam suatu topic tertentu.

Berikut adalah daftar tiap instansi beserta narasumber dan ruang lingkup pertanyaan yang
diajukan kepada narasumber :
a. Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Malang : wawancara dilakukan dengan
narasumber ibu Ir Endah Setiyowati selaku Kepala Seksi Pengambangan Taman. Dalam
wawancara dengan ibu Endah, peneliti menanyakan mengenai upaya penambahan ruang terbuka
hijau dan upaya-uapaya yang dilakukan untuk merawat sejumlah ruang terbuka hijau yang saat
ini ada di Kota Malang.

b. Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kota Malang : wawancara dilakukan


dengan narasumber ibu Ratri (Kepala Sub Bidang Pengembangan Wilayah). Dalam wawancara
dengan ibu Ratri, peneliti menanyakan perihal rencana aksi yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Malang dalam hal penambahan atau re-fungsi sejumlah RTH yang ada di Kota Malang.
turutu ditanyakan mengenai hubungan antara upaya penambahan dan re-fungsi RTh dengan
tujuan peningkatan kualitas hidup di Kota malang.
b. Observasi
Nasution dalam Sugiono (2010:310) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu
pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia
kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data tersebut kemudian dikumpulkan dan dengan
bantuan teknologi, baik benda yang sangat kecil hingga benda-benda di luar angkasa dapat
diobservasi dengan jelas.
Observasi yang akan dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut :
a. Observasi pada ruang terbuka hijau yang tidak terawat
b. Observasi pada ruang terbuka hijau dalam berbagai jenis
c. Observasi sejumlah pelanggaran yang terjadi di beberapa ruang terbuka hijau
Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT


Rineka Cipta
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (edisi kedua). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suharno. 2013. Dasar-dasar Kebijakan Publik: Kajian Proses dan Analisis Kebijakan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tresiana, Novita. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandar Lampung: Lembaga Penelitian
Universitas Lampung
Winarno, Budi. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Press.

Anda mungkin juga menyukai