Anda di halaman 1dari 30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks

2.1.1 Pengertian

Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam serviks (bagian

terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina). Kanker serviks terjadi jika

sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tak terkendali. .Penyebab

terjadinya kelainan pada sel sel serviks tidak di ketahui secara pasti, tetapi terdapat

beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks yaitu

Virus HPV (Indrawati, 2014).

Deteksi dini kanker serviks adalah upaya memutus mata rantai infeksi, atau

mencegah progresivitas lesi displasia sel-sel serviks (disebut juga lesi prakanker)

menjadi kanker. Bila lesi displasia ditemukan sejak dini dan kemudian segera diobati,

hal ini akan mencegah terjadinya kanker serviks dikemudian hari (Nuranna et al.,

2013). Lesi prakanker yang perlu diangkat/diobati adalah jenis LISDT (lesi

intraepitelial skuamosa derajat tinggi), adapun jenis LISDR (lesi intraepitelial

skuamosa derajat rendah) dianggap lesi yang jinak dan sebagian besar akan

mengalami regresi secara spontan. Perempuan yang terkena lesi prakanker diharapkan

dapat sembuh hampir 100%, sementara kanker yang ditemukan pada stadium

dini memberikan harapan hidup 92%. Karenanya deteksi sedini mungkin sangat

penting untuk mencegah dan melindungi perempuan dari kanker serviks. WHO

menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam penanganan kanker

serviks, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini melalui peningkatan

kewaspadaan dan program


skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk

kasus lanjut.

Deteksi dini kanker serviks meliputi program skirining yang terorganisasi

dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang

efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan

perempuan usia produktif. Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga

lesi prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan

penatalaksanaan kanker serviks. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam

melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan

terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan

sumber daya yang terbatas (Nuranna et al., 2013).

2.1.2 Etiologi Kanker Serviks

Kanker ini biasanya disebabkan oleh infeksi virus human papiloma (HPV-

human papillomavirus), yang ditularkan melalui hubungan seksual. Virus ini juga

merupakan penyebab kutil genitalia. Varian yang sangat berbahaya adalah HPV tipe

16, 18, 45 dan 56 (Nuranna et al., 2013).

Penyebab langsung kanker serviks belum diketahui. Faktor ekstrensik yang

diduga berhubungan dengan insiden kanker serviks adalah smegma, infeksi virus

Human Papilloma Virus (HPV) dan spermatozoa. Kaker serviks timbul di sambungan

skuamokolumner serviks (Manjsoer, 2014).

2.1.3 Predisposisi

Penyebab kanker serviks belum jelas diketahui namun ada beberapa faktor

risiko dan predisposisi yang menonjol yakni :

1. Usia pertama kawin/melakukan hubungan seksual. Wanita dengan aktivitas

seksual dini, misalnya sebelum usia 16 tahun, mempunyai risiko lebih tinggi

karena pada
usia itu terkadang epitel atau lapisan dinding vagina dan serviks belum terbentuk

sempurna. Hal ini bisa terjadi karena belum sempurnanya keseimbangan hormonal

sehingga lapisan terluar dari lapisan epitel (epitelsuperfisialis) vagina belum

terbentuk sempurna. Hal ini menyebabkan gampangnya timbul lesi/luka mikro di

vaginaatau serviks sehingga gampang pula terjadi infeksi , termasuk infeksi oleh

virus HPV, penyebab kanker serviks (Samadi, 2016).

2. Wanita yang Merokok. Pada prinsipnya nikotin mempermudah semua selaput

lender sel tubuh bereaksi atau terangsang. Terutama pada tenggorokan, paru dan

serviks/serviks. Semakin banyak nikotin yang dihisap maka semakin banyak yang

diserap oleh tenggorokan, akibat semakin besar kemungkinan tiga organ itu

terkontaminasi sehingga menyebabkan kanker (Shadine, 2012).

3. Paritas Tinggi. Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi

dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literature yang ada,

seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan

risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker serviks. Dengan seringnya seorang ibu

melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ

reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan

timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit

kanker serviks (Shadine, 2012).

4. Penggunaan Antiseptik. Menurut (Diananda, 2014) Kebiasaan pencucian vagina

dengan menggunakan obat antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan

iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker.

2.1.4 Perjalanan Alamiah Kanker Serviks

Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel

skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel

baru
hasil transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal ini

berlanjut maka terbentuklah lesi prekanker dan lebih lanjut menjadi kanker. Sebagian

besar kasus displasia sel servix sembuh dengan sendirinya, sementara hanya sekitar

10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. 50% kasus displasia berat

berubah menjadi karsinoma (Nuranna et al., 2013).

Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi displasia menjadi keganasan

adalah 10-20 tahun. Kanker serviks invasif berawal dari lesi displasia sel serviks yang

kemudian berkembang menjadi displasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan

akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prekursor kanker

adalah lesi displasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia) yang sebagian kecilnya

akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun, sementara displasia tingkat

rendah (low- grade dysplasia) mengalami regresi spontan (Nuranna et al., 2013).

2.1.5 Klasifikasi dan Stadium

1. Lesi Prakanker

Istilah lesi prakanker serviks (displasia serviks) telah di kenal luas di

seluruh dunia, lesi prakanker disebut juga lesi intraepithel servik (cervical

intraepithelial neoplasia). Keadaan ini merupakan awal dari perubahan menuju

karsinoma serviks. Diawali dengan NIS I (CIN I) karsinoma yang secara klasik

dinyatakan dapat berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan

selanjutnya berkembang menjadi karsinoma serviks. Konsep regresi yang spontan

serta lesi yang persistent menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan

berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih cukup banyak

faktor yang berpengaruh (Andrijono et al., 2013).

2. Kanker

Tingkat keganasan klinik dibagi menurut klasifikasi TNM sebagai berikut:


Tabel 2.1 Pembagian tingkat keganasan menurut system TNM.
Tingkat Kriteria
T Tak ditemukan tumor primer.
T1S Karsinoma pra-invasif, ialah KIS (Karsinoma In Situ).
Karsinoma terbatas pada serviks, (walaupun adanya perluasan
T1
ke korpus uteri).
Pra-klinik adalah karsinoma yang invasive dibuktikan dengan
T1a
pemeriksaan histologik.
T1b Secara klinis jelas karsinoma yang invasive.
Karsinoma telah meluas sampai di luar serviks, tetapi belum
T2 sampai dinding panggul, atau karsinoma telah menjalar ke
vagina, tetapi belum sampai 1/3 bagian distal.
T2a Karsinoma belum menginfiltrasi parametrium.
T2b Karsinoma telah menginfiltrasi parametrium.
Karsinoma telah melibatkan 1/3 bagian distal vagina atau
T3
telah mencapai dinding panggul (tak ada celah bebas antara
tumor
dengan dinding panggul).
Adanya hidronefrosis atau gangguan faal ginjal akibat
NB :
stenosis ureter karena infiltrasi tumor, menyebabkan kasus
dianggap
sebagai T3 meskipun pada penemuan lain kasus itu
seharusnya masuk kategori yang lebih rendah (T1 atau T2).
Karsinoma telah menginfiltrasi mukosa rectum atau kandung
kemih, atau meluas sampai di luar panggul. (ditemukannya
T4
edemabullosa tidak cukup bukti untuk mengklasifikasikan
sebagai T4).
Karsinoma melibatkan kandung kemih atau rectum saja dan
T4a dibuktikan secara histologik.
T4b Karsinoma telah meluas sampai di luar panggul.
Pembesaran uterus saja belum ada alas an untuk
NB : memasukkannya sebagai T4.
Bila tidak memungkinkan untuk menilai kelenjar limfa
regional. Tanda - / + ditambahkan untuk tambahan ada/tidak
NX
adanya informasi mengenai pemeriksaan histologik, jadi: NX
+ atau NX -.
N0 Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada limfografi.
Kelenjar limfa regional berubah bentuk sebagaimana
N1 ditunjukkan oleh cara-cara diagnostic yang tersedia (misalnya
limfografi, CT scan panggul).
Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul
N2
dengan celah bebas infiltrate diantara masa ini dengan tumor.
M0 Tidak ada metastasis berjarak jauh.
Terdapat metastasis berjarak jauh, termasuk kelenjar limfa di
M1
atas bifurkasio arteri iliaka komunis.
Sumber: (Wiknjosastro, 2014)

2.1.6 Skrining Kanker Serviks


Berbagai metode skrining kanker leher telah dikenal dan diaplikasikan,

dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan

metode visual dengan gineskopi, atau servikografi, kolposkopi. Hingga penerapan

metode yang dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam

Asetat). Skrining DNA HPV juga ditujukan untuk mendeteksi adanya HPV tipe

onkogenik, pada hasil yang positif, dan memprediksi seorang perempuan menjadi

berisiko tinggi terkena kanker serviks (Nuranna et al., 2013).

2.1.7 Tanda dan Gejala Kanker Serviks

Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat

terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa

sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali.18 Jika sudah terjadi

kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu dapat lokal

atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat

juga terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar,

dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir keluar dari

vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang

berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar. Gejala lain yang timbul dapat

berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan

kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut

kanan atas, kuning, atau pembengkakan) dan sebagainya (Nuranna et al., 2013).

2.1.8 Penegakan Diagnosis

Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari hasil

biopsi lesi sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan. Tindakan

penunjang diagnostik dapat berupa kolposkopi, biopsi terarah, dan kuretase

endoservikal Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:


1. Pap smear

Pemeriksaan pap smear rutin dapat mendeteksi kanker serviks sejak awal,

bahkan sebelum timbul gejala. Pemeriksaan ini memiliki keakuratan sampai 90%.

Pap smear juga dapat mendeteksi terjadinya dysplasia. Jika terdeteksi adanya

dysplasia, maka perlu dilakukan pemeriksaan ulang dalam 3-4 bulan kemudian.

Dysplasia dapat diatasi, sehingga dapat membantu untuk mencegah terjadinya

kanker.

Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18

tahun, sebaiknya menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1 kali/tahun. Jika

selama 3 kali berturut menunjukkan hasil yang normal, Pap smear bisa dilakukan

1 kali/2- 3tahun.

Hasil pemeriksaan Pap smear menunjukkan stadium dari kanker serviks:

a. Normal

b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas)

c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas)

d. Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar)

e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam

atau ke organ tubuh lainnya).

2. Biopsi

Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau

luka pada serviks, atau jika Pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau

kanker.

3. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)

4. Tes Schiller
Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat warnanya akan

berubah menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih

atau kuning.

Jika terdiagnosa kanker serviks, maka perlu ditentukan ukuran dan

lokasinya. Untuk membantu menentukan stadium kanker juga perlu dilihat apakah

kaker telah menyebar atau tidak, untuk itu dapat dilakukan beberapa pemeriksan,

seperti:

a. Sistoskopi

b. Rontgen dada

c. Urografi intravena

d. Sigmoidoskopi

e. Scaning tulang dan hati

f. Barium enema

g. CT (Computed Tomography) scan

h. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

i. PET (Postiron Emission Tomography) (Andrijono et al., 2013)

Diagnosis ditegakkan atas adasar gejala, tanda dan pemeriksaan klinis.

Pemeriksaan klinis meliputi inspeksi, palpasi, kolposkopi, biopsy, kuret endoserviks,

sistoskopi, prostoskopi, IVP, foto thoraks, dan tulang. Diagnosis, termasuk mestasis

harus ditegakkan dengan biopsy dan histology (Samadi, 2016). Gejala klinis kanker

serviks dapat dibedakan dalam beberapa tahapan/stadium kanker serviks, yaitu

sebagai berikut

1. Gejala Awal.

a. Perdarahan per vagina/lewat vagina, berupa perdarahan pascasanggama bisa

terjadi bukan disebabkan oleh adanya kanker serviks, melainkan karena iritasi
atau mikro lesi atau luka kecil di vagina saat bersanggama. Serviks yang

norma konsistensinya kenyal dan permukaan licin. Adapun serviks yang sudah

berubah menjadi kanker rapuh, mudah, berdarah, dan diameternya biasanya

membesar. Serviks yang rapuh tersebut akan mudah berdarah pada saat

aktivitas seksual sehingga terjadi perdarahan pascasanggama.

b. Keputihan yang berulang, tidak sembuh walaupun telah diobati. Keputihan

biasanya berbau, gatal, dan panas karena sudah ditumpangi infeksi sekunder.

Artinya cairan yang keluar dari lesi prakanker atau kanker tersebut ditambah

infeksi oleh kuman, bakteri, ataupun jamur.

2. Gejala Lanjut.

Cairan keluar dari liang vagina berbau tidak sedap, nyeri (panggul, pinggang,

dan tungkai), gangguan berkemih, nyeri di kandung kemih dan rectum/anus.

Keluhan ini muncul karena pertumbuhan kanker tersebut menekan/mendesak

ataupun menginvasi organ sekitarnya.

3. Kanker telah menyebar/metastasis.

Timbul gejala sesuai dengan organ yang tekena, misalnya penyebaran di paru,

liver, atau tulang.

4. Kambuh/residif.

Bengkak/edema tungkai satu sisi, nyeri panggul menjalar ke tungkai, dan

gejala pembuntuan saluran kencing/obstruksi ureter (Samadi, 2016).

2.1.9 Penatalaksanaan Kanker Serviks

2.1.9.1 Tatalaksana Lesi Prakanker Serviks

Penatalaksanaan lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong NIS

(Neoplasia Intraepitelial Serviks) dapat dilakukan dengan observasi saja,

medikamentosa, terapi destruksi, dan/atau terapi eksisi. Tindakan observasi dilakukan


pada tes pap dengan hasil HPV, atipia, NIS I yang termasuk dalam Lesi Intraepitelial

Skuamousa Derajat Rendah (LISDR). Terapi NIS dengan destruksi dapat dilakukan

pada LISDR dan LISDT (Lesi Intra epitelial Skuamousa Derajat Tinggi). Demikian

juga, terapi eksisi dapat ditujukan pada LISDR dan LISDT. Perbedaan antara terapi

destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi destruksi tidak mengangkat lesi, tetapi

pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat.

Tabel 2.2 Garis Besar Penanganan Lesi Prakanker Serviks


Klasifikasi Penanganan
HPV Observasi Medikamentosa Destruksi: Krioterapi
Elektrokauterisasi/elektrokoagulasi Eksisi: diatermi
loop
Displasia ringan Observasi Destruksi: Krioterapi Elektrokoagulasi
(NIS I) Laser, Laser + 5 FU Eksisi: diatermi loop
Displasia sedang Destruksi: krioterapi Elektrogoagulasi Laser, Laser +
(NIS II) 5 FU Eksisi: diatermi loop
Displasia keras Destruksi: krioterapi Elektrokoagulasi Laser Eksisi:
(NIS III)/KIS konisasi Histerektomi
Sumber: Nuranna, et al.. 2013

2.1.9.2 Tatalaksana Kanker Serviks Invasif

Pada prinsipnya tatalaksana kanker serviks disesuaikan dengan kebutuhan

penderita untuk memberikan hasil yang terbaik (tailored to the best interest of

patients). Terapi lesi prakanker serviks dapat berupa krioterapi (cryotherapy), atau

loop electrosurgical excision procedure (LEEP), keduanya adalah tindakan yang

relatif sederhana dan murah, namun sangat besar manfaatnya untuk mencegah

perburukan lesi menjadi kanker. Sementara terapi kanker serviks dapat berupa

pembedahan, radioterapi, atau kombinasi keduanya. Kemoterapi tidak digunakan

sebagai terapi primer, namun dapat diberikan bersamaan dengan radioterapi. Terapi

kanker serviks lebih kompleks, memiliki risiko dan efek samping, dan tentu saja lebih

mahal. Karenanya pencegahan lesi prakanker menjadi kanker sangat penting dan

sangat bermanfaat (Nuranna et al., 2013).


2.1.10 Kemoterapi

2.1.10.1 Pengertian

Kemoterapi adalah obat anti-kanker yang dapat diberikan melalui intavena

atau oral. Obat anti-kanker ini akan membunuh sel kanker yang menyebar dalam

tubuh (Handayani et al., 2012). Kemoterapi adalah metode terapi sistemik terhadap

kanker sistemik (misal leukimia, mieloma, limfoma, tumor trofoblas getasional dll)

dan kanker dengan metastasis klinis ataupun subklinis. Pada kanker stadium lanjut

lokal, kemoterapi sering menjadi satu-satunya pilihan metode terapi efektif (Y. M.

Hidayat, 2013).

Menurut (Smeltzer & Bare, 2017), kemoterapi adalah penggunaan preparat

antineoplastik sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor dengan mengganggu

fungsi dan reproduksi seluler. Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan

bahwa kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat

pembasmi sel kanker (sitostatika) yang diminum ataupun diinfuskan ke pembuluh

darah.

2.1.10.2 Indikasi Kemoterapi

Menurut (Savitri, 2015), indikasi kemoterapi adalah:

1) Penyembuhan kanker. Hanya beberapa jenis kanker yang dapat disembuhkan

dengan kemoterapi, seperti leukemia limfoblastik akut, tumor wilm pada anak-

anak dan koriokarsinoma

2) Memperpanjang interval bebas kanker. Walaupun kanker kelihatan masih lokal

setelah operasi atau radioterapi. Pengobatan perlu waktu cukup lama dan dosis

tinggi dengan interval yang panjang untuk memberikan kesempatan jaringan

normal pulih diantara pengobatan

3) Menghentikan progresivitas kanker. Progresi penyakit ditunjukkan secara

subyektif, seperti anoreksia, penurunan berat badan dan nyeri tulang


4) Mengecilkan volume kanker. Terapi ini bertujuan untuk mengecilkan volume

tumor prabedah dan pararadioterapi.

2.1.10.3 Aplikasi Kemoterapi

Kemoterapi memiliki beberapa tujuan berbeda, yaitu kemoterapi kuratif,

kemoterapi adjuvan, kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi investigatif


1) Kemoterapi Kuratif

Terhadap tumor sensitif yang kurabel, misalleukimia limfositik akut,

limfoma maligna, kanker testes, karsinoma sel kecil paru, diagnosa banding

dapat dilakukan kemoterapi kuratif. Skipper melalui penelitian atas galur tumor

L1210 dari leukimia mencit menemukan efek obat terhadap sel tumor mengikuti

aturan 'kinetika orde pertama', yaitu dengan dosis tertentu obat antikanker dapat

membunuh proporsi tertentu, bukan nilai konstan tertentu sel kanker.

Kemoterapi kuratif harus memakai formula kemoterapi kombinasi yang terdiri

atas obat dengan mekanisme kerja berbeda, efek toksik berbeda dan masing-

masing efektifbila digunakan tersendiri, diberikan dengan banyak siklus, untuk

setiap obat dalam formula tersebut diupayakan memakai dosis maksimum yang

dapat ditoleransi tubuh, masa interval sedapat mungkin diperpendek agar

tercapai pembasmian total sel kanker dalam tubuh (Y. M. Hidayat, 2013).

2) Kemoterapi adjuvan

Kemoterapi yang biasa dilakukan setelah melakukan pengobatan kanker

lainnya, seperti operasi atau radiasi. Cara ini bertujuan untuk menghilangkan

sisa- sisa sel kanker yang mungkin masih tertinggal dan belum bisa diatasi oleh

pengobatan sebelumnya (Savitri, 2015).


3) Kemoterapi neoadjuvant

Kemoterapi yang diberikan pada pasien sebelum mereka melakukan

pengobatan lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi sel kanker atau

mengurangi ukuran tumor yang ada, sehingga mudah untuk melakukan

pengangkatan tumor ketika operasi (Savitri, 2015)

4) Kemoterapi paliatif

Kebanyakan kanker dewasa ini seperti kanker bukan sel kecil paru,

kanker hati, lambung, pankreas, kolon, dan lain-lain. hasil kemoterapi masih

kurang memuaskan. Untuk kanker seperti itu dalam stadium lanjut kemoterapi

masih bersifat paliatif, hanya dapat berperan mengurangi gejala,

memperpanjang waktu survival. Dalam hal ini dokter harus mempetimbangkan

keuntungan dan kerugian yang dibawa kemoterapi pada diri pasien, menghindari

kemoterapi yang terlalu kuat hingga kualitas hidup pasien menurun atau

memperparah perkembangan penyakitnya (Y. M. Hidayat, 2013)

5) Kemoterapi Investigatif

Kemoterapi investigatif merupakan uji klinis dengan regimen kemoterapi

baru atau obat baru yang sedang diteliti. Untuk menemukan obat atau regimen

baru dengan efektivitas tinggi toksisitas rendah, penelitian memang diperlukan.

Penelitian harus memiliki tujuan yangjelas, raneangan pengujian yang baik,

metode observasi dan penilaian yang rinci, dan perlu seeara ketat mengikuti

prinsip etika kedokteran. Kini sudah terdapat aturan baku kendali mutu, disebut

'good clinical practice' (GCP) (Y. M. Hidayat, 2013).

2.1.10.4 Efek Samping Kemoterapi

Kepekaan dari efek samping kemoterapi dari setiap penderita berbeda, tetapi

secara umum efek dari pemberian kemoterapi antara lain (Jong, 2012).
1) Rasa Lelah

Terganggunya produksi sel darah pada sumsum tulang akan menyebabkan

rasa Lelah, tubuh terasa berat, dan tidak ingin diganggu, hal tersebut sudah

sewajarnya terjadi dan pihak keluarga harus menyadari hal tersebut.

2) Gangguan usus dan rongga mulut

Gangguan tersebut seperti, mual dan muntah, mucositis, dan kejang usus.

Banyak obat antitumor sering menimbulkan mual, muntah dengan derajat

bervariasi. Diantaranya dosis tinggi DDP, DTIC, HN2, Ara-C, CTX, BCNU

menimbulkan mual muntah yang hebat. Pemberian penyekat resptor S-

hidroksitriptamin 3 (S-HT 3), seperti ondansentron, granisentron, tropisentron,

ramosentron, azasentron, dll. Dapat mencegah dan mengurangi kejadiaanya, mual,

muntah. SFU, MTX, bleomisin, adriamisin dapat menimbulkan ulserasi mukosa

mulut, selama kemoterapi harus meningkatkan perawatan higiene oral. Obat

sejenis SFU dan CPT-11 kadang kala menimbulkan diare serius, gangguan

keseimbangan air dan elektrolit yang terjadi harus dikoreksi segera. Diare tertunda

akibat CPT-11 harus segera diterapi dengan loperamid (Y. M. Hidayat, 2013).

3) Gangguan sumsum tulang

Sumsum tulang akan mengalami penurunan produksi trombosit, sel darah

merah, dan sel darah putih sehingga rentan terjadinya perdarahan. Jika produksi

sel darah merah berkurang akan menyebabkan anemi, dan kekurangan sel darah

putih akan menyebabkan kehilangan kekebalan tubuh sehingga rentan terkena

infeksi.

Depresi sumsum tulang merupakan hambatan terbesar kemoterapi.

Kebanyakan obat antitumor, kecuali hermon, bleomisin, L-asparaginase,

semuanya menimbulkan leukopenia, trombositopenia dan anemia dengan derajat

bervariasi. Depresi sumsum tulang yang parah dapat menyebabkan timbulnya

infeksi,
septikemia dan hemoragi visera. Olah karena itu, memperkuat terapi penunjang

sisternik, kebersihan lingkungan, higiene oral dan perawatan yang baik dapat

mengurangi timbulnya komplikasi. Penggunaan rasional faktor stimulasi koloni

sel hemopoietik (G-CSFdan GMCSF) dapat meneegah dan mengatasi infeksi

sekunder akibat granulositopenia karena kemoterapi. Infus trornbosit, TPO dan

interleukin-ll dapat digunakan untuk terapi trombisitopenia karena kemoterapi (Y.

M. Hidayat, 2013).
4) Alopesia

Gangguan ini seperti kerontokan pada rambut karena kantung rambut yang

meproduksi rambut terganggu. Alopesia sering terjadi pada kemoterapi akibat dari

efek obat terhadap sel folikel rambut. Kerontokan rambut biasanya terjadi antara

hari ke-10 sampai 21 setelah pemberian kemoterapi. Hal ini dapat terjadi secara

tiba-tiba dan dalam jumlah yang banyak atau rambut mungkin rontok secara

berangsur-angsur. Kerontokan ini bersifat sementara dan dapat tumbuh kembali

(Savitri, 2015).

5) Kemandulan

Kemandulan pada pria bersifat sementara. Pada wanita kemandulan selalu

definitive, karena sel telur yang berada dalam indung telur tidak dapat

memperbanyak diri, jika penderita sembuh dan ingin mempunyai anak

dilakukanlah fertilisasi in vitro (Jong, 2012).

6) Gangguan menstruasi dan menopause

Kemoterapi ini akan berpengaruh terhadap fungsi indung telur, seperti

menstruasi terganggu, dan atau menopause terlalu dini, ini dapat disebabkan

karena adanya perubahan terhadap fisik dan mental (Jong, 2012).

7) Gagguan organ

Sering mengalami keluhan pada kulit, mata, hati, ginjal yang disebabkan oleh obat

sitostatika (Jong, 2012).

2.2 Depresi

2.2.1 Pengertian Depresi

Depresi adalah penyakit yang membuat seseorang merasa murung, patah hati

selama beberapa waktu, merasakan kesedihan dan kekosongan di dalam diri, juga

merasa tidak berdaya (Wharton, 2013).


Rathus dalam (Lubis, 2016) menyatakan orang yang mengalami depresi

umumnya mengalami gangguan yang meliputi keadaan emosi, motivasi, fungsional,

dan gerakan tingkah laku serta kognisi.

Menurut Atkinson (dalam Lubis, 2016), depresi sebagai suatu gangguan mood

yang dicirikan tak ada harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan yang

berlebihan, tak mampu mengambil keputusan memulai suatu kegiatan, tak mampu

konsentrasi, tak punya semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri.

Depresi adalah keadaan menyedihkan dari pikiran untuk sedikit memiliki hal

diinginkan dan banyak hal ditakuti (McKey & Dinkmeyer, 2013).

Berdasarkan berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa depresi

merupakan gangguan afektif yang ditandai dengan perasaan sedih, murung, putus asa,

marah yang dalam, dan tidak ada gairah hidup.

2.2.2 Penyebab Depresi

Penyebab depresi menurut (National Institute of Mental Health, 2016) adalah

kombinasi faktor genetik, biologis, lingkungan, dan psikologis memainkan peran

dalam depresi. Depresi dapat terjadi bersamaan dengan penyakit serius lainnya,

seperti diabetes, kanker, penyakit jantung, dan penyakit Parkinson. Depresi dapat

membuat kondisi ini lebih buruk dan sebaliknya. Kadang-kadang obat yang diambil

untuk penyakit ini dapat menyebabkan efek samping yang berkontribusi terhadap

gejala depresi.

Menurut Lubis (2016), penyebab depresi dibagi menjadi 2, yaitu faktor

predisposisi dan faktor presipitasi.

1. Faktor predisposisi

Konsep diri yang negatif menghasilkan penilaian sesuai dengan konsep

tersebut. Setiap pertimbangan egatif cenderung untuk memperkuat konsep diri


yang negatif tersebut, sehingga membentuk lingkaran setiap penilaian negatif

membentuk konsep diri negatif kemudian membentuk pemaknaan negatif yang

selanjutnya memantapkan konsep diri negatif itu. Konsep diri yang negatif

merendahkan harga diri yang dan memunculkan depresi.

2. Faktor presipitasi

a. Stress yang spesifik

1) Stress yang dapat menurunkan harga diri seperti cinta ditolak, di PHK,

diasingkan keluarga

2) Stress yang menghambat tujuan penting atau dilema yang harus

dipecahkan. Hal ini berkaitan dengan hambatan yang tidak dapat dilalui

3) Penyakit, ganggun fisik, atau abnormalitas. Umumnya yang membuat atau

membangkitkan ide kemunduran fisik atau kematian

4) Rangkaian situasi stress yang berulang sehingga mematahkan toleransi

terhadap stress tersebut.

b. Stress non spesifik

Stress yang berlebihan yang didapatkan dari serangkaian peristiwa yang dapat

menimbulkan stress.

3. Faktor lain

Ketegangan psikologis yang situasinya berlebihan atau berkepanjangan.

2.2.3 Gejala Depresi

Menurut Lubis (2016), gejala depresi adalah kumpulan dari perilaku dan

perasaan yang secara spesifik dapat dikelompokkan sebagai depresi. Gejala-gejala

depresi ini bisa kita lihat dari tiga segi, yaitu dari segi fisik, psikis, dan sosial:

1. Gejala Fisik

a. Gangguan pola tidur


b. Menurunnya tingkat aktifitas

c. Menurunnya efisiensi kerja

d. Menurunnya produktivitas kerja

e. Mudah merasa letih dan sakit


2. Gejala Psikis

a. Kehilangan rasa percaya diri

b. Sensitif

c. Merasa diri tidak berguna

d. Perasaan bersalah

e. Perasaan terbebani

3. Gejala Sosial

a. Lingkungan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut pada

umumnya negatif (mudah marah, tersinggung, menyendiri, sensitif, mudah

letih, mudah sakit). Problem sosial yang terjadi biasanya berkisar pada

masalah interaksi dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan.

b. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga

seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada diantara kelompok dan

merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka merasa

tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalin hubungan

dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.

c. Seseorang dengan mood yang terdepresi (yaitu depresi) merasakan hilangnya

energi-energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi,

hilangnya nafsu makan, dan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Tanda

dan gejala lain dari gangguan mood adalah perubahan tingkat aktivitas,

kemampuan kognitif, pembicaraan, dan fungsi vegetatif (seperti tidur, nafsu

makan, aktivitas seksual, dan irama biologis lainnya). Perubahan tersebut

hampir selalu menyebabkan fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan

Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) dalam

(Azizah et al., 2016) meliputi beberapa aspek seperti :


1. Afektif

Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan,

kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri

rendah, kesedihan.

2. Fisiologik

Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan,

gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang,

gangguan tidur, dan perubahan berat badan.

3. Kognitif

Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan

minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang

destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.

4. Perilaku

Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,

intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan

diri yang kurang, was olasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

2.2.4 Pengukuran Depresi

The Burns Depression Checklist merupakan alat ukur depresi yang diisi

dengan memberikan tanda centang pada angka 0 jika tidak sama sekali merasakan

gejala, 1 jika kadang-kadang merasakan, 2 jika merasakan gejala yang sedang, 3 jika

banyak merasakan gejala tersebut, dan 4 jika gejala yang dirasakan ekstrim.

Tabel 2.2 The Burns Depression Checklist Original Version


0 - Not at all
Instructions: Put a check (√)to indicate how 1 - Somewhat
much each symptom during the past week 2 - Modelevelly
including today. Please answer all of 25 items. 3 - A lot
4 - Extremely
Burns Depression Checklist
Thoughts and Feelings Score
0 1 2 3 4
1. Feeling sad or down at the dumps
2. Feeling unhappy or blue
3. Crying spells or tearful
4. Feeling discouraged
5. Feeling hopeless
6. Low self esteem
7. Feeling worthless or inadequate
8. Guilt or shame
9. Criticizing or blaming yourself
10. Difficulty making decisions
Activities and Personal Relationships
11. Loss of interest at family, friends or
colleagues
12. Loneliness
13. Spending less time with family or friends
14. Loss of motivation
15. Loss of interest at work or other activities
16. Avoiding work or other activities
17. Loss of pleasure or satisfaction at life
Physical Symptoms
18. Feeling tired
19. Difficulty sleeping or sleeping too much
20. Decreased or increased appetite
21. Loss of interest at sex
22. Worry about your health
Suicidal Urges
23. Do you have any suicidal thoughts?
24. Would you like to end your life?
25. Do you have a plan for harming yourself?
Total (please total your score)
(Burns, 1997)

Kemudian hasilnya diinterpretasikan sebagai berikut:

1. 0-5 : Tidak depresi

2. 6-10 : normal tetapi tidak bahagia

3. 11-25 : depresi ringan

4. 26-50 : depresi sedang

5. 51-75 : depresi berat

6. 76-100 : depresi ekstrim

(Burns, 1977)
2.3 Dukungan Sosial

2.3.1 Pengertian

Dukungan adalah menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang

lain. Dukungan juga dapat diartikan sebagai memberikan dorongan/motivasi atau

semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuat keputusan (Chaplin,

2016).

Dukungan adalah adalah sikap, tindakan penerimaan sosial terhadap anggota

sosialnya, berupa dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan

instrumental dan dukungan emosional (Setiadi, 2013a).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial

adalah menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang yang hidup

bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai tugas

masing-masing yang merupakan bagian dari sosial.

2.3.2 Aspek Dukungan Sosial

Menurut (Sarafino & Smith, 2015) ada empat aspek dukungan yaitu:

1. Dukungan informasi (informational), dalam hal ini sosial memberikan informasi,

penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah

yang sedang dihadapi oleh seseorang. Mengatasi permasalahan dapat digunakan

seseorang dengan memberikan nasehat, anjuran, petunjuk dan masukan.

2. Dukungan penilaian (appraisal) yaitu: sosial berfungsi sebagai pemberi umpan

balik yang positif, menengahi penyelesaian masalah yang merupakan suatu

sumber dan pengakuan identitas anggota sosial. Keberadaan informasi yang

bermanfaat dengan tujuan penilaian diri serta penguatan (pembenaran).

3. Dukungan instrumental (instrumental) yaitu: sosial merupakan suatu sumber

bantuan yang praktis dan konkrit. Bantuan mencakup memberikan bantuan yang
nyata dan pelayanan yang diberikan secara langsung bisa membantu sosial yang

membutuhkan.

4. Dukungan emosional (emotional) yaitu: sosial berfungsi sebagai suatu tempat

berteduh dan beristirahat, yang berpengaruh terhadap ketenangan emosional,

mencakup pemberian empati, dengan mendengarkan keluhan, menunjukkan kasih

sayang, kepercayaan, dan perhatian. Dukungan emosional akan membuat

seseorang merasa lebih dihargai, nyaman, aman dan disayangi.

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial

Menurut (Bobak et al., 2012) faktor yang mempengaruhi dukungan sosial adalah

sebagai berikut:

1. Faktor Psikologis

Berhubungan erat dengan dengan fungsi internal sosial yang merupakan basis

kekuatan sosial. Fungsi ini berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial.

Fungsi afektif meliputi : saling mengasuh, saling menghargai, dan ikatan sosial.

2. Faktor Sosial

Sebagian masyarakat merasa perlu menghormati seseorang yang lebih tua,

salah satu hal dikarenakan para orang tua jauh lebih berpengalaman dan

mempunyai kesadaran yang lebih tinggi untuk melakukan suatu hal (Zaidin,

2016).

3. Tipe Sosial

Dari segi pemegang wewenang utama atas sosial, misalnya dalam hal

menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sosialisasi anak, sosial dibedakan

menjadi matriarki, patriarki, dan egaliter.

a. Matriarki : ibu menjadi pemegang utama wewenang atas sosial

b. Patriarki : ayah sebagai pemegang utama wewenang atas sosial


c. Egaliter : pandangan tentang kesetaraan gender dan semakin banyaknya

sosial yang kedua orang tuanya sama-sama bekerja (Setiadi, 2013).

4. Pendapatan

Pada masyarakat kebanyakan, hampir seluruh penghasilanya dipergunakan

untuk membiayai keperluan hidupnya. Sehingga pada akhirnya ibu hamil tidak

mempunyai kemampuan untuk membayar. Secara konkrit dapat dikemukakan

bahwa pemberdayaan sosial perlu dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi

sosial sehingga kepala sosial tidak mempunyai alasan untuk tidak memperhatikan

kesehatan istrinya. Pendapatan yang tinggi akan membuat sosial mampu

memenuhi kebutuhan gizi dan diet pada penderita DM.

5. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi wawasan dan pengetahuan sosial

sebagai kepala rumah tangga. Semakin rendah pengetahuan sosial maka akses

terhadap informasi kesehatan istrinya akan berkurang sehingga sosial akan

kesulitan untuk mengambil keputusan secara efektif.

2.3.4 Pengukuran Dukungan sosial

Penelitian yang digunakan untuk menilai dukungan sosial pada penelitian ini

berupa kuesioner yang dimodifikasi dari pernyataan menurut (Nursalam, 2016) yang

meliputi dukungan sosial instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional,

dukungan penilaian/penghargaan. Pengukuran dukungan sosial yang digunakan yaitu

Skala Likert dengan pernyataan negative dan positif. Pengukuran dukungan sosial

dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert, dengan kategori sebagai berikut:

Tabel 2.3 Skor Skala Likert


Jawaban Skor
Selalu 4
Sering 3
Kadang-kadang 2
Tidak pernah 1

Setelah semua data terkumpul dari hasil kuesioner responden dikelompokkan sesuai

dengan sub variabel yang diteliti. Jumlah jawaban responden dari masing-masing

pertanyaan dijumlah dan dihitung menggunakan Skala Likert.

Kategori dukungan sosial (Nurmalitasari, 2018) menggunakan kategori interval

standar deviasi yaitu:

a. Sangat tinggi, jika X > M+1,5 SD

b. Tinggi, jika M+0,5SD ≤X<M+1,5SD

c. Sedang, jika M-0,5SD ≤X<M+0,5SD

d. Rendah jika M-1,5SD ≤X<M-0,5SD

e. Sangat rendah, jika X < M-1,5SD


2.4 Hubungan Dukungan Sosial dengan Depresi

Dukungan sosial mempermudah penderita dalam melakukan aktivitasnya

berkaitan dengan persoalan–persoalan yang dihadapinya juga merasa dicintai dan bias

berbagi beban, mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam

menghadapi permasalahan yang sedang terjadi sehingga dapat mengurangi depresi

(Susilawati & Misgiyanto, 2014). Tidak adanya dukungan dari sosial akan menyebabkan

pasien kanker mengalami depresi. Depresi menimbulkan dampak pasien sadar akan

penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi sehingga mulai menarik diri, tidak

mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak

makan, susah tidur, letih, dan penurunan libido (Yusuf et al., 2015).
2.5 Kerangka Teori

Kemoterapi Kanker serviks

Indikasi kemoterapi: Kemoterapi Kuratif Gangguan


Penyembuhan kanker Kemoterapi adjuvan kesehatan
Memperpanjanginterval bebas kanker Kemoterapi neoadjuvant
Menghentikan progresivitas kanker Kemoterapi paliatif
Mengecilkanvolume kanker Kemoterapi Investigatif

Efek samping: Mempengaruhi aktivitasrutin pasien


Rasa Lelah termasuk aktivitas rumah tangga,gaya
Gangguan usus dan rongga
makan, mulutwaktuuntuk
alokasi (mual dan muntah,
kegiatanmucositis, dan kejang usus, diare
Depresi sumsum sosial,
tulang danfungsi sehari-hari dan rekreasi
Alopesia
Kemandulan
Gangguan menstruasi dan menopause
Gagguan organ

Faktor yang mempengaruhi Menyebabkan ketidakberdayaan secara fisik, penampilan yang kurang baik ata
Harapanhidup
depresi: kecil, putus asa
Faktor predisposisi Depresi
Faktor presipitasi
Faktor lain: ketegangan
psikologis berlebihan dan
berkepanjangan Aspek depresi:
1. Afektif
2. Fisiologik
3. Kognitif
4. Perilaku

Gambar 2.2 Kerangka Teori


2.6 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara

konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan

dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi

Faktor-faktor yang
mempengaruhi depresi:
1. Faktor predisposisi
2. Faktor presipitasi : Depresi
a. Diasingkan Aspek afektif
Aspek fisiologik
b. Dukungan sosial Aspek kognitif
Aspek perilaku
c. Faktor lain
Ketegangan
psikologis yang
berlebihan dan
berkepanjangan

Normal
Tidak depresitetapi Depresi ringan (11-25)
(0-5)tidak bahagia (6- Depresi(26-50)
Depresi sedang berat (51-75)Depresi ekstrim 76-100)
10)

Keterangan:
: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

Anda mungkin juga menyukai