Anda di halaman 1dari 14

Artikel Review

Fraktur Tulang Belakang pada Pasien Dengan


Ankylosing Spondylitis: Etiologi, Diagnosis, dan
Tatalaksana
ABSTRAK
Pada pasien dengan ankylosing spondylitis, perubahan biomekanik tulang belakang
meningkatkan insidensi patah tulang belakang dan risiko pergeseran tulang dan cedera
neurologis. Evaluasi radiografik sulit dilakukan dan membutuhkan pencitraan dari seluruh
tulang belakang dan penggunaan pencitraan tingkat lanjut. Perawatan non-bedah memiliki
tingkat komplikasi yang tinggi dan biasanya dilakukan hanya ketika intervensi bedah akan
memiliki risiko perioperatif yang sangat tinggi. Pendekatan bedah bergantung pada lokasi
fraktur dan deformitas yang ada. Fiksasi anterior saja dikaitkan dengan tingkat kegagalan
yang tinggi; oleh karena itu, fiksasi posterior atau gabungan anterior-posterior harus
dipertimbangkan. Dengan manajemen non-bedah atau bedah, komplikasi sering terjadi dan
dapat mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi; namun, hasil yang baik dapat dicapai jika
tingkat kecurigaan fraktur yang tepat dipertahankan dan perawatan dengan baik dilakukan
untuk menghindari komplikasi yang berhubungan dengan transportasi pasien, transfer, dan
posisi pasien.

Pada pasien dengan ankylosing spondylitis (AS), patah tulang belakang dapat terjadi
bahkan setelah trauma yang tampaknya tidak parah. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa pasien dengan AS memiliki peningkatan risiko patah tulang belakang yang relevan
secara klinis, terkadang mengakibatkan komplikasi neurologis yang parah. Perkiraan
prevalensi patah tulang belakang pada populasi ini berkisar antara 4% sampai 18%, dengan
insiden tahunan hingga 1,3%, tergantung pada durasi penyakit. Oleh karena itu, risiko patah
tulang belakang seumur hidup empat kali lebih tinggi pada pasien dengan AS dibandingkan
dengan orang yang tidak AS. Westerveld et al. menemukan bahwa 78% dari patah tulang
belakang pada pasien dengan AS terletak di regio servikal, 12% di regio thoracal, 9% di regio
lumbal, dan 1% di regio sakrum. Temuan ini konsisten dengan laporan lain yang diterbitkan,
yang telah menunjukkan bahwa patah tulang belakang pada pasien dengan AS terjadi paling
sering di tulang belakang leher bagian bawah diikuti oleh bagian persimpangan
thoracolumbal. Setidaknya 8% pasien dengan AS dan patah tulang belakang memiliki fraktur
bertingkat (Gambar 1).
Gambar 1.

Foto Lateral (A) dan CT scan sagital (B) dari tulang belakang leher yang menunjukkan
fraktur tiga kolom pada wanita berusia 60 tahun dan mengalami nyeri leher setelah jatuh
dari permukaan tanah yang terjadi beberapa bulan sebelum presentasi klinis muncul.
Fraktur meluas melalui diskus dan elemen posterior di C6-C7 di tulang belakang servikal
yang menderita ankylosis. Sklerosis sepanjang bagian posterior dari garis fraktur
menunjukkan adanya kronisitas fraktur.

Biomekanik tulang belakang yang berubah pada pasien AS meningkatkan kejadian


patah tulang belakang dan risiko pergeseran tulang dan cedera neurologis. Fusi tulang
bertingkat yang terjadi pada penyakit mengalami pada lengan tuas panjang pada bagian
tulang belakang di mana kekuatan yang terjadi saat trauma dapat mempengaruhi bagian
tersebut. Fraktur tulang belakang pada pasien ini sering tidak stabil dan dapat mengakibatkan
cedera neurologis.
Beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada komplikasi
neurologis mayor, seperti quadriparesis atau paraparesis, mengikuti kejadian patah tulang
belakang pada pasien dengan AS dibandingkan dengan pasien tanpa AS. Selain itu, karena
sifat patah tulang belakang yang tidak stabil pada pasien dengan AS, pasien yang awalnya
utuh secara neurologis mungkin dapat mengalami kerusakan neurologis iatrogenik setelah
transfer pasien dan manipulasi yang tidak terlindungi dengan baik. Pasien harus di imobilisasi
dalam posisi khusus, karena ekstensi paksa tulang belakang pada pasien dengan AS dapat
menyebabkan pergeseran lebih lanjut dari tulang yang berpotensial fraktur dan cedera
neurologis ikutan lainnya.

Ankylosing Spondilitis

Suatu jenis umum dari spondyloarthritis. AS mempengaruhi kerangka tulang aksial,


mengakibatkan nyeri punggung inflamasi yang khas, arthritis perifer, enthesopathy, dan
uveitis anterior. Penyakit ini paling sering mempengaruhi usia dewasa muda, dengan
presentasi yang khas pada usia sekitar 26 tahun. Pria dapat terkena dua hingga tiga kali lebih
sering daripada wanita. Perkiraan prevalensi keseluruhan berkisar dari 0,1% hingga 2%.
Penyakit ini didiagnosis menurut kriteria New York yang telah dimodifikasi. Kriteria
klinis meliputi nyeri punggung bawah dan kekakuan selama > 3 bulan yang membaik dengan
olahraga tetapi tidak berkurang dengan istirahat, gerak yang terbatas pada tulang belakang
lumbar baik di bidang sagital dan frontal, dan pembatasan ekspansi dada dibandingkan
dengan usia dan jenis kelamin nilai normal. Kriteria radiologis adalah sakroiliitis > derajat 2
bilateral atau > grade 3 atau 4 unilateral. Diagnosis definitif AS memerlukan kriteria
radiologis dan setidaknya satu kriteria klinis.
Etiologi dari AS dan spondyloarthritis lainnya tidak diketahui. Efek genetik berperan
kuat dalam penyakit ini, terutama pada AS. Di antara pasien dengan AS, 15% sampai 20%
memiliki riwayat penyakit keluarga yang sama, dan 80% sampai 95% adalah HLA-B27
positif. Penyakit ini tidak berkembang pada semua pasien yang memiliki HLA-B27 positif;
oleh karena itu, faktor genetik, autoimun, atau lingkungan lainnya berkontribusi pada
perkembangan penyakit. Bukti terbaru menunjukkan bahwa infeksi Klebsiella pneumoniae
dapat memicu AS pada orang dengan HLA-B27.

Patonatomi dan Biomekanik

Kombinasi komposisi tulang vertebra yang berubah dan biomekanik tulang belakang
yang berubah pada pasien dengan AS menyebabkan peningkatan insidensi dan prevalensi
patah tulang belakang dan meningkatkan risiko yang terkait dengan patah tulang ini.
Perubahan Komposisi Tulang Belakang

Prevalensi osteoporosis atau kepadatan tulang (BMD) yang rendah relevan secara
klinis pada pasien dengan AS dan telah dilaporkan hingga 62%. Angka ini mungkin
mengesampingkan kejadian kehilangan tulang trabekular pada pasien dengan AS karena
pembentukan syndesmofit dan osifikasi ligamen dapat meningkatkan keningkatan yang palsu
dari BMD. Penilaian BMD konvensional, seperti dual energy x-ray absorptiometri,
memberikan hasil yang kurang tepat untuk alasan yang sama. Reid et al. mengevaluasi
kehilangan tulang dan kalsium tubuh total pada pria berusia >50 tahun dengan dan tanpa AS.
Para peneliti menemukan bahwa pria dengan AS memiliki 2,9% kehilangan tulang tahunan
dan 5,3% kehilangan kalsium tubuh total tahunan, dibandingkan dengan 0,7% total
kehilangan kalsium tubuh tahunan pada pria yang lebih tua dari 50 tahun tanpa AS.
Osteoporosis terkait AS menyebabkan tingkat patah tulang belakang yang lebih tinggi dan
risiko patah tulang belakang yang lebih tinggi daripada trauma dengan kekuatan yang lebih
rendah karena adanya perubahan biologi tulang. Etiologi osteoporosis pada pasien dengan AS
tidak diketahui dan kemungkinan multifaktorial, dengan fase peningkatan resorpsi tulang atau
pengurangan deposisi tulang di tempat inflamasi pada awal penyakit, serta inflamasi yang
dimediasi oleh sitokin dan pengaruh hormonal yang berubah. Pada pasien dengan AS
progresif, demineralisasi lanjutan pada tulang aksial berkontribusi secara signifikan terhadap
angka patah tulang belakang.

Perubahan Biomekanik Tulang Belakang


Pada pasien dengan AS, tulang belakang kehilangan fleksibilitasnya dan seringnya
kifotik karena osifikasi dari jembatan para-vertebra terutama sendi zygapophyseal, sendi
costotransverse, dan sendi sakroiliaka. Penyakit ini biasanya berkembang ke arah caudal ke
kranial, dan dalam bentuk yang paling parah, mempengaruhi seluruh tulang belakang.
Meskipun pengerasan struktur ligamen terjadi pada pasien dengan AS, hal ini tidak
memberikan dukungan yang berbeda pada bagian tulang belakang. Hilangnya elastisitas pada
tulang belakang menghasilkan fungsi mekanis yang serupa dengan tulang panjang pada
umumnya. Deformitas kifotik yang kaku menghasilkan lengan tuas yang panjang dan
menyatu, yang membuat pasien dengan AS memiliki risiko tinggi patah tulang belakang
akibat trauma ringan atau trauma yang tidak diindahkan dan peningkatan risiko patah tulang
belakang multipel akibat peristiwa traumatis tunggal. Fraktur tulang belakang pada pasien
dengan AS biasanya terjadi melalui diskus dan bagian badan vertebra yang mengeras yang
sering diakibatkan oleh mekanisme distraksi dari ekstensi, yang dapat menyebabkan
pembukaan pada kolumna anterior dan adanya celah antara bagian vertebra.

Evaluasi Radiografi
Identifikasi fraktur sulit dilakukan pada pasien dengan AS. Pasien AS dengan gejala
nyeri leher akut atau nyeri punggung atau perubahan postur harus dianggap pasien
mengalami fraktur sampai terbukti sebaliknya. Sebelum munculnya MRI, diagnosis fraktur
vertebra pada pasien dengan AS yang telah lama berlangsung sulit dilakukan. Milici et al
menemukan bahwa 42% pasien dengan AS yang mengalami patah tulang belakang tidak
terdiagnosa dengan benar, dan mengakibatkan kerusakan neurologis pada 17%. Foto polos
dapat menunjukkan adanya fraktur, terutama pada bagian anterior. Namun, foto polos dapat
menjadi tantangan untuk diinterpretasikan pada pasien dengan AS jika ditemukan adanya
osteoporosis, pengerasan struktur ligamen, dan deformitas tulang yang rumit. Koivikko et al
menemukan bahwa foto polos dapat mengemukakan 48% patah tulang belakang leher pada
pasien dengan AS, sedangkan MRI pada angka 60%. Mereka merekomendasikan penggunaan
CT multi-detektor secara rutin pada setiap pasien dengan AS dengan adanya dugaan fraktur
tulang belakang leher, dan penggunaan MRI ini sebagai tambahan untuk dapat mengevaluasi
jaringan lunak dan sumsum tulang belakang (Gambar 2).
Gambar 2

Foto Lateral (A) dan CT scan sagital (B) dari tulang belakang thorakal yang menunjukkan
adanya peluang untuk fraktur pada tiga kolom melalui diskus intervertebralis T10-11
(panah) dan elemen posterior yang berdekatan pada seorang pria 53 tahun yang menderita
ankylosing spondylitis dan dilaporkan adanya nyeri punggung tanpa peristiwa traumatis
sebelumnya. Bukti ankylosing spondylitis lanjut, termasuk bridging syndesmophytes dan
ankilosis elemen posterior muncul pada gambar ini. Radiografi tidak sepenuhnya bisa
mengungkapkan sejauh mana fraktur meluas.
Kebutuhan untuk pencitraan lanjutan pada setiap pasien dengan AS yang diduga
mengalami patah tulang belakang sudah jelas diungkapkan. Beberapa modalitas pencitraan
sering diperlukan. Meskipun Koivikko et al. merekomendasikan CT, Wang et al. menemukan
bahwa MRI dapat menunjukkan kelainan pada pasien dengan AS, terutama pada kolom
posterior, yang tidak terdeteksi dengan metode pencitraan lain, termasuk CT. Wang et al.
menganjurkan penggunaan MRI yang sering untuk mengevaluasi pasien dengan AS dan
fraktur tulang belakang yang melibatkan 3 kolom vertebra. Cedera tulang belakang yang
bersamaan (misalnya, cedera tulang belakang lumbal pada pasien dengan dugaan fraktur
tulang belakang leher) sering terjadi pada pasien dengan AS karena biomekanik lengan tuas
vertebra yang dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, banyak peneliti merekomendasikan
pencitraan rutin seluruh tulang belakang setiap kali dicurigai fraktur (Gambar 3). Penggunaan
MRI untuk mengevaluasi hematoma epidural juga penting, terutama pada pasien dengan
defisit neurologis pada pemeriksaan fisik, meskipun sensitivitas MRI untuk mendeteksi
fraktur pada pasien dengan AS tidak 100%. Koivikko dan Koskinen meninjau 20 pasien
dengan AS yang menjalani CT dan MRI tulang belakang leher karena di duga fraktur. MRI
menunjukkan dua patah tulang yang tidak terdeteksi pada CT, dan CT menunjukkan enam
patah tulang yang tidak terdeteksi pada MRI. Oleh karena itu, CT dan MRI dapat dianggap
sebagai modalitas yang saling dibutuhkan untuk mendeteksi fraktur pada pasien dengan AS.
Gambar 3.

Foto lateral (A) dari tulang belakang regio thorakal yang menunjukkan cedera ekstensi-
distraksi klasik melalui diskus intervertebralis T9-10 pada seorang pria 73 tahun dengan
ankylosing spondylitis yang mengalami jatuh dari permukaan tanah. Potongan sagital pada
T1 (B), T2 (C), dan short tau inversion recovery (D) MRI menunjukkan adanya ruptur
ligamen longitudinal anterior dan dua pertiga anterior diskus intervertebralis pada T9-10.
Perluasan ke fraktur potongan koronal melalui sepertiga posterior corpus vertebra T10
terlihat pada MRI tetapi tidak pada foto polos. Ligamentum longitudinal posterior tampak
utuh. Fraktur kompresi kronis dengan vertebroplasti pada L1 dari cedera sebelumnya juga
terlihat.
Tatalaksana dan Luaran Penyakit
Pengobatan patah tulang belakang pada pasien dengan AS sangat berbeda dari
pengobatan patah tulang pada populasi umum karena biomekanik tulang belakang yang
berubah, berkaitan dengan osteoporosis, ketidakstabilan yang ada pada patah tulang tersebut,
dan risiko tinggi gangguan neurologis. Transfer pasien yang baik juga suatu kewajiban pada
pasien dengan AS karena diperparah dengan risiko kompresi sumsum tulang belakang dan
defisit neurologis. Perawatan bedah umumnya diindikasikan karena ketidakstabilan yang ada
pada fraktur dan sering munculnya defisit neurologis; Namun, manajemen non-bedah telah
digunakan dalam kasus tertentu.

Tanpa pembedahan
Sebuah meta-analisis ekstensif dari literatur yang telah ada tentang pengobatan dan
komplikasi patah tulang belakang pada pasien dengan AS diterbitkan oleh Westerveld et al
pada tahun 2009. Para penulis menemukan bahwa 46% pasien dengan AS ditatalaksana tanpa
pembedahan; namun, alasan utama untuk perawatan non-bedah adalah risiko bedah yang
sangat tinggi dan penolakan pasien terhadap perawatan bedah. Sebagian besar patah tulang
belakang yang ada dalam tinjauan itu terletak di tulang belakang leher (81%); oleh karena itu,
perawatan non-bedah yang paling umum adalah penggunaan kolar servikal dan traksi
servikal. Para peneliti mencatat bahwa pengobatan bedah menyebabkan perbaikan neurologis
dan penurunan keseluruhan pada angka komplikasi dibandingkan dengan pengobatan tanpa
pembedahan baik jangka pendek dan jangka panjang dengan tindak lanjut.
Ketika tatalaksana non-bedah dilakukan, pilihan untuk imobilisasi yang dapat dipilih
adalah kerah serviks atau rompi halo untuk patah tulang belakang leher; orthosis
thoracolumbrosacral untuk thoracolumbal, atau patah tulang belakang bagian lumbal; dan
orthosis cervicothoracolumbrosacral untuk fraktur thorakal bagian atas atau fraktur servikal
bagian bawah. Setiap deformitas tulang belakang yang sudah ada sebelumnya harus
diperhitungkan ketika pasien dengan AS dipasang orthosis eksternal. Karena pergeseran sub-
sekuen dapat umum terjadi, pasien yang dirawat tanpa pembedaan memerlukan tindak lanjut
yang sering untuk memastikan pemeliharaan keselarasan dari tulang belakang yang tepat dan
status neurologis yang ada.
Shen dan Samatzis melaporkan pengobatan non-bedah yang berhasil pada pasien
lanjut usia dengan status neurologis baik yang menderita AS dan mengalami cedera fleksi
pada tiga kolom pada T5 dan tidak stabil akibat jatuh dari permukaan tanah. Pasien tidak
dapat menjalani perawatan bedah karena beberapa komorbid dan tidak dapat mentolerir terapi
bracing; pasien kemudian kontrol rawat jalan dan status neurologis baik pada akhir tindak
lanjut. Peneliti menggunakan kasus ini untuk menyoroti konsep kolom keempat, yang khusus
pada bagian torakal dan terdiri dari kompleks tulang rusuk-sternal. Para peneliti
merkomendasikan bahwa kolom keempat dari tulang belakang dapat mencegah fraktur di
regio atas dan tengah, dan yang lebih penting, dapat memberikan stabilitas tambahan jika
terjadi patah tulang belakang di daerah itu, sehingga meminimalkan translasi dan mencegah
cedera neurologis.
Meskipun pengobatan non-pembedahan diperlukan ketika risiko bedah tinggi atau
faktor pasien lainnya menghalangi pembedahan, namun tatalaksana non-pembedahan pada
pasien patah tulang belakang yang tidak stabil dengan AS tidak ideal. Pasien dengan AS
memiliki tingkat komplikasi yang tinggi setelah traksi serviks dan bracing cervicothoracic,
termasuk ulserasi kulit dan komplikasi paru. Selanjutnya, adanya defisit neurologis, dislokasi
persisten, atau fragmen tulang di dalam kanalis spinalis memerlukan pertimbangan yang kuat
untuk stabilisasi secara pembedahan.

Pembedahan
Westerveld et al menemukan bahwa 54% dari patah tulang belakang yang dilaporkan
pada pasien dengan AS ditatalaksana secara pembedahan. Whang et al. melaporkan bahwa
83% pasien dirawat dengan pembedahan dalam penelitian mereka, yang kemungkinan lebih
mencerminkan tren saat ini yaitu menuju intervensi bedah. Menurut Westerveld et al,
sebagian besar laporan tidak membahas alasan untuk strategi pengobatan, tetapi alasan yang
dilaporkan untuk intervensi bedah adalah kerusakan neurologis sekunder, konfigurasi fraktur
tidak stabil, dan adanya hematoma epidural. Selanjutnya, pada pasien dengan AS yang
mengalami defisit neurologis sesaat segera setelah patah tulang belakang, intervensi bedah
menghasilkan 59% pasien tidak jatuh pada keadaan neurologis yang lebih parah dan 27%
padien mengalami perbaikan status neurologis pada tindak lanjut.
 Fraktur Regio Servikal
Pilihan untuk bedah fiksasi dari fraktur tulang belakang servikal adalah fiksasi anterior,
fiksasi posterior, dan fiksasi gabungan anterior-posterior. Dalam literatur yang ada, sebagian
besar laporan kasus dan seri, mendukung masing-masing pilihan ini pada pasien dengan AS
tergantung pada pola fraktur.
Dalam tinjauan literatur, Westerveld et al. menemukan bahwa 15% pasien dengan AS
yang menjalani perawatan bedah patah tulang belakang diobati dengan fiksasi anterior saja.
Laporan kasus telah menunjukkan keberhasilan yang baik dengan pendekatan ini. Namun,
pada kebanyakan pasien, terdapat ketidakstabilan tiga kolom vertebra. Ketidakstabilan
posterior dan ruptur ligamen posterior seringkali tidak terdeteksi pada foto polos. Fiksasi
anterior saja sering kali menyebabkan implan longgar karena kekuatan dari bagian posterior
tulang belakang. Tingkat kegagalan fiksasi anterior awal telah dilaporkan sebanyak 50%,
menyebabkan banyak ahli bedah tidak mengambil pendekatan tatalaksana ini. Lebih lanjut,
fiksasi anterior dapat menjadi sangat sulit pada populasi pasien dengan penyakit ini, karena
deikaitkan dengan adanya deformitas antara dagu dan dada, merupakan manifestasi yang
mengganggu pada pasien AS di mana hiperkifosis servikal ini menyebabkan dagu pasien
hampir menyentuh dada, mempersempit jendela untuk pendekatan bedah dan membuat
intubasi lebih susah.
Tatalaksana fiksasi posterior sering digunakan untuk fiksasi fraktur tulang belakang pada
pasien dengan AS. Dalam tinjauan oleh Westerveld et al, pendekatan posterior digunakan
pada sekitar 50% pasien yang dirawat dengan pembedahan. Banyak laporan kasus dan seri
telah menunjukkan keberhasilan pengelolaan patah tulang belakang servikal pada pasien
dengan AS menggunakan fiksasi posterior saja. Fiksasi posterior multi-segmentasi dengan
cangkok tulang kanselus autologus menawarkan keuntungan biomekanik dibandingkan
fiksasi anterior pada pasien dengan AS dan menurunkan morbiditas dibandingkan dengan
kombinasi fiksasi anterior-posterior. Meskipun banyak laporan mendokumentasikan
keberhasilan fiksasi anterior-posterior gabungan pada populasi pasien ini, bagian tulang yang
buruk dan lengan tuas yang panjang dan kaku pada tulang belakang pasien dengan AS berarti
pelat pendek, sekrup, dan kabel menghasilkan konstruksi yang buruk yang dapat
menyebabkan sekrup melonggar dan lepas. Fiksasi posterior saja secara cukup telah
mengatasi kekuatan perubahan biomekanik pada tulang belakang pasien dengan AS dan
menghindari komplikasi potensial yang lebih buruk yang ada pada pendekatan tatalaksana
gabungan anterior-posterior (Gambar 4).
Gambar 4.

CT scan sagital (A) menunjukkan fraktur melalui processus spinosus C6, melalui facet
joint di C6-C7, dan seluruhnya melalui corpus vertebra C7 baik anterior maupun posterior
pada laki-laki 47 tahun yang tidak bisa jalan sebelumnya dengan ankylosing spondylitis.
Pasien jatuh selama transfer pasien, dan menderita quadriparesis. Mengingat
ketidakstabilan fraktur dan defisit neurologis, pasien menjalani operasi fusi tulang
belakang posterior dengan cangkok tulang krista iliaka dari C4 ke T3, ditunjukkan dalam
radiografi AP (B) dan lateral (C).

Fiksasi gabungan anterior-posterior digunakan pada sekitar 25% pasien dengan AS dan
fraktur tulang belakang servikal. Meskipun metode ini kurang populer dibandingkan fiksasi
posterior karena alasan yang dijelaskan sebelumnya, metode ini memiliki kegunaan yang
substansial, terutama untuk koreksi deformitas yang terfiksasi pada saat yang bersamaan juga
sebagai fiksasi fraktur. Banyak laporan kasus yang dipublikasikan telah menunjukkan hasil
yang dapat dipertimbangkan. Pendukung kombinasi fiksasi anterior-posterior berpendapat
bahwa fraktur biasanya terjadi pada titik yang benar-benar kaku di tulang belakang leher,
biasanya mengakibatkan cedera yang tidak stabil dan bergeser. Oleh karena itu, adanya celah
pada kolumna anterior akan menempatkan beban yang berlebihan pada alat fiksasi posterior.
Konstruksi anterior tambahan secara teoritis bertindak sebagai perangkat berbagi beban.
Selain itu, penyatuan dengan bagian posterior dapat membuat lokalisasi penanda anatomi
menjadi sulit, dan karena sifat osteopenik tulang membuat penggunaan tatalaksana dengan
fiksasi tunggal mungkin kurang optimal. Einsiedel et al. merekomendasikan bahwa fraktur
serviks pada pasien dengan AS dapat dikelola dengan reduksi terbuka, dekompresi anterior
dan fusi, dan kombinasi stabilisasi anterior-posterior dalam satu atau dua tahap. Mereka
mendasarkan rekomendasi ini pada kegagalan implan awal yang terjadi secara eksklusif
setelah stabilisasi anterior satu tahap. Para penulis melaporkan tingkat kegagalan 50% untuk
fiksasi anterior saja dan oleh karena itu menganjurkan pendekatan gabungan anterior-
posterior untuk mengatasi fraktur tulang belakang leher pada pasien dengan AS.

 Fraktur Regio Thorakal dan Lumbal


Meskipun hal ini kurang umum terjadi daripada patah tulang belakang leher pada pasien
AS, patah tulang regio thorakal dan lumbal terjadi lebih sering pada pasien dengan AS
daripada pada populasi umum. Imobilisasi non-bedah lebih tidak efektif pada pasien dengan
AS; oleh karena itu, intervensi bedah dengan stabilisasi posterior, biasanya dengan konstruksi
yang panjang digunakan untuk mencegah fraktur segmen yang berdekatan (Gambar 5).
Gambar 5.

Foto posisi AP (A) dan lateral (B) menunjukkan fiksasi segmental posterior dari T8 ke T2
untuk pengobatan cedera ekstensi gangguan T9-10 yang tidak stabil pada pasien Gambar 3.

Studi hasil dari tatalaksana fraktur tulang belakang thoracolumbar pada pasien dengan AS
terbatas hanya ada serial kasus kecil. Hitchon et al melaporkan hasil dari enam patah tulang
belakang regio thorakal dan lima regio lumbal pada pasien dengan AS. Para penulis mencatat
tingginya tingkat defisit neurologis (55%), dengan hanya setengah dari pasien yang
mengalami pemulihan substansial setelah intervensi bedah. Lu et al baru-baru ini melaporkan
hasil pada 25 pasien dengan AS yang menderita patah tulang torakolumbalis. Dalam
penelitian tersebut, 6 pasien dirawat dengan pembedahan dalam waktu 1 bulan setelah cedera,
8 pasien mengalami keterlambatan untuk diagnosis fraktur yang mengakibatkan
pseudoarthrosis setelah instrumentasi posterior dengan sekrup pedikel, dan 11 pasien
menerima perawatan non-bedah dengan penyangga. Para penulis melaporkan bahwa
perawatan bedah memberikan penghilang rasa sakit yang efektif, fusi padat di seluruh fraktur,
dan perbaikan neurologis, sedangkan pengobatan non-bedah dengan bracing sering
menyebabkan pseudoarthrosis dan defisit neurologis progresif.

 Pendekatan dan Fiksasi


Lokasi dari fraktur mempengaruhi pendekatan dan teknik pembedahan. Kebanyakan
pasien dengan AS yang menjalani operasi stabilisasi fraktur tulang belakang, terlepas dari
lokasi fraktur, dirawat melalui pendekatan posterior. Pendekatan ini memungkinkan ahli
bedah untuk mngembalikan keselarasan tulang belakang yang sudah ada sebelumnya,
memberikan stabilitas pada segmen yang cedera, dan menyelesaikan dekompresi elemen
saraf jika ditemukan.
Beberapa tantangan dikaitkan dengan fiksasi bedah pada patah tulang belakang pasien
dengan AS. Secara khusus, penurunan kualitas tulang dan osteoporosis mengurangi
fiksasi di setiap segmen tulang belakang, yang mengharuskan penggunaan konstruksi
yang lebih panjang untuk mengurangi stres pada setiap tingkat dan mengurangi risiko
implan yang tertarik. Selain itu, penempatan fiksasi merupakan tantangan tersendiri
karena anatomi tulang sering terdistorsi dan berubah sebagai akibat dari ankilosis sendi
facet, ligamen flava, dan ligamen supraspinosa dan interspinosa. Perawatan yang baik
dilakukan selama memposisikan padien karena kebanyakan pasien mengalami
peningkatan kifosis sagital. Pada pasien-pasien ini, posisi tengkurap dapat meningkatkan
efek mekanisme distraksi-ekstensi, yang mengakibatkan adanya celah pada kolumna
anterior, sehingga meningkatkan deformitas traumatis. Meskipun distraksi kolumna
anterior dapat mengurangi kifosis secara keseluruhan, perhatian harus diberikan untuk
mencegah distraksi berlebihan, yang dapat mengakibatkan cedera traumatis pada struktur
vaskular anterior, hilangnya dukungan kolumna anterior, dan potensi gangguan elemen
saraf dengan defisit neurologis yang mengikuti.
Pilihan pendekatan dan fiksasi pada akhirnya adalah keputusan dari ahli bedah itu
sendiri namun harus mencakup pertimbangan yang cermat dari lokasi fraktur dan adanya
deformitas. Meskipun kami biasanya lebih memilih pendekatan terbuka, pilihan invasif
minimal, termasuk fiksasi perkutan, menawarkan pilihan inovatif untuk pengelolaan
patah tulang belakang pada pasien dengan AS. Sebuah studi retrospektif baru-baru ini
dari 10 pasien dengan AS atau hiperostosis skeletal idiopatik difus yang menderita patah
tulang belakang dan menjalani fiksasi perkutan melaporkan hasil fungsional yang wajar
dan tingkat komplikasi yang rendah pada rata-rata 22 bulan tindak lanjut.
Karena fiksasi anterior telah dikaitkan dengan tingkat kegagalan yang lebih tinggi,
fiksasi posterior atau gabungan anterior-posterior harus dipertimbangkan. Kami biasanya
menggunakan konstruksi yang lebih panjang, termasuk setidaknya tiga tingkat tulang
belakang di atas dan di bawah fraktur, dan tidak secara terus - menerus mencoba untuk
memperbaiki deformitas yang sudah ada sebelumnya. Namun, patah tulang yang secara
substansial bergeser harus diperbaiki untuk mencapai aposisi tulang untuk membantu
penyembuhan patah tulang. Secara khusus, mekanisme distraksi-ekstensi dapat
mengakibatkan celah pada kolom anterior. Pada pasien - pasien ini, jika reduksi lengkap
tidak dapat dicapai, prosedur anterior dapat dilakukan pada hari yang sama atau secara
bertahap mungkin diperlukan untuk mendapatkan dukungan pada kolom anterior.
Meskipun fiksasi anterior dapat meningkatkan kondisi kifosis sagital yang ada pada
pasien, namun pemanjangan kolom anterior dapat mengakibatkan cedera pada struktur
kolom anterior, sehingga pasien mengalami kesulitan menelan, dan potensi pemanjangan
dari elemen saraf yang dapat mengakibatkan defisit cedera neurologis. Oleh karena itu,
dalam kasus di mana koreksi sagital diinginkan, pemendekan kolom tulang belakang,
seperti pedikel untuk osteomyelitis, mungkin lebih disukai, meskipun prosedur ini
mungkin terlalu lanjut untuk dilakukan pada saat fiksasi fraktur. Oleh karena itu, kami
tidak secara rutin mencoba untuk memperbaiki deformitas yang sudah ada sebelumnya.
Fiksasi posterior dengan rekonstruksi anterior hari yang sama atau bertahap dapat
menghasilkan berbagai tingkat pemanjangan bagian anterior; namun, tujuan utama dari
rekonstruksi bedah bukanlah untuk memperbaiki keselarasan sagital sebelum cedera
tetapi untuk mengatasi lesi kompresif, seperti hematoma epidural dan/atau fragmen
tulang, dan untuk mencapai fiksasi yang stabil dan penyatuan tulang yang baik.
Komplikasi
Tingkat komplikasi yang dipublikasikan dari patah tulang belakang pada pasien
dengan AS adalah tinggi, mulai dari angka 50% sampai 84%. Komplikasi dilaporkan pada
angka yang tinggi juga kohort terapi non-pembedahan dan pembedahan. Komplikasi yang
telah dilaporkan termasuk infeksi luka pasca operasi, trombosis vena dalam, pneumonia, dan
gangguan pernapasan. Westerveld et al. menemukan tingkat komplikasi yang tinggi pada
pasien yang dirawat dengan pembedahan, termasuk didalamnya adalah 35%kegagalan
instrumentasi , 14% kerusakan neurologis, dan 10% infeksi luka. Komplikasi spesifik pada
populasi AS, termasuk hematoma epidural dan diseksi aorta, juga terjadi dengan frekuensi
yang signifikan. Tingkat komplikasi yang lebih tinggi dan terutama tingkat kematian yang
lebih tinggi terkait dengan patah tulang belakang pada pasien dengan AS harus menjadi salah
satu faktor dalam pengambilan keputusan.

Rangkuman
Fraktur tulang belakang adalah cedera yang umum terjadi dan kejadian yang
memperburuk pada pasien dengan AS. Peningkatan risiko patah tulang terkait dengan
perubahan biomekanik tulang belakang dan kualitas tulang yang buruk. Evaluasi radiografik
dari curiga fraktur pada populasi pasien ini memerlukan pencitraan seluruh tulang belakang
dan pencitraan lanjutan, selain hanya foto polos saja. Penatalaksanaan patah tulang belakang
pada pasien dengan AS dapat berupa non-bedah atau bedah; namun, perawatan non-bedah
biasanya dilakukan hanya ketika perawatan bedah memiliki risiko perioperatif yang sangat
tinggi. Perawatan bedah tergantung pada lokasi fraktur tetapi biasanya melibatkan fiksasi
posterior minimal. Dengan manajemen non-bedah atau bedah, komplikasi masih sering
terjadi dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Namun, jika praktisi
mempertahankan tingkat kecurigaan pada lokasi fraktur yang tepat pada pasien dengan AS
dan menyadari potensi komplikasi yang berkaitan dengan transportasi pasien, transfer, dan
posisi, maka hasil yang baik dapat dicapai.

Anda mungkin juga menyukai