Pada pasien dengan ankylosing spondylitis (AS), patah tulang belakang dapat terjadi
bahkan setelah trauma yang tampaknya tidak parah. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa pasien dengan AS memiliki peningkatan risiko patah tulang belakang yang relevan
secara klinis, terkadang mengakibatkan komplikasi neurologis yang parah. Perkiraan
prevalensi patah tulang belakang pada populasi ini berkisar antara 4% sampai 18%, dengan
insiden tahunan hingga 1,3%, tergantung pada durasi penyakit. Oleh karena itu, risiko patah
tulang belakang seumur hidup empat kali lebih tinggi pada pasien dengan AS dibandingkan
dengan orang yang tidak AS. Westerveld et al. menemukan bahwa 78% dari patah tulang
belakang pada pasien dengan AS terletak di regio servikal, 12% di regio thoracal, 9% di regio
lumbal, dan 1% di regio sakrum. Temuan ini konsisten dengan laporan lain yang diterbitkan,
yang telah menunjukkan bahwa patah tulang belakang pada pasien dengan AS terjadi paling
sering di tulang belakang leher bagian bawah diikuti oleh bagian persimpangan
thoracolumbal. Setidaknya 8% pasien dengan AS dan patah tulang belakang memiliki fraktur
bertingkat (Gambar 1).
Gambar 1.
Foto Lateral (A) dan CT scan sagital (B) dari tulang belakang leher yang menunjukkan
fraktur tiga kolom pada wanita berusia 60 tahun dan mengalami nyeri leher setelah jatuh
dari permukaan tanah yang terjadi beberapa bulan sebelum presentasi klinis muncul.
Fraktur meluas melalui diskus dan elemen posterior di C6-C7 di tulang belakang servikal
yang menderita ankylosis. Sklerosis sepanjang bagian posterior dari garis fraktur
menunjukkan adanya kronisitas fraktur.
Ankylosing Spondilitis
Kombinasi komposisi tulang vertebra yang berubah dan biomekanik tulang belakang
yang berubah pada pasien dengan AS menyebabkan peningkatan insidensi dan prevalensi
patah tulang belakang dan meningkatkan risiko yang terkait dengan patah tulang ini.
Perubahan Komposisi Tulang Belakang
Prevalensi osteoporosis atau kepadatan tulang (BMD) yang rendah relevan secara
klinis pada pasien dengan AS dan telah dilaporkan hingga 62%. Angka ini mungkin
mengesampingkan kejadian kehilangan tulang trabekular pada pasien dengan AS karena
pembentukan syndesmofit dan osifikasi ligamen dapat meningkatkan keningkatan yang palsu
dari BMD. Penilaian BMD konvensional, seperti dual energy x-ray absorptiometri,
memberikan hasil yang kurang tepat untuk alasan yang sama. Reid et al. mengevaluasi
kehilangan tulang dan kalsium tubuh total pada pria berusia >50 tahun dengan dan tanpa AS.
Para peneliti menemukan bahwa pria dengan AS memiliki 2,9% kehilangan tulang tahunan
dan 5,3% kehilangan kalsium tubuh total tahunan, dibandingkan dengan 0,7% total
kehilangan kalsium tubuh tahunan pada pria yang lebih tua dari 50 tahun tanpa AS.
Osteoporosis terkait AS menyebabkan tingkat patah tulang belakang yang lebih tinggi dan
risiko patah tulang belakang yang lebih tinggi daripada trauma dengan kekuatan yang lebih
rendah karena adanya perubahan biologi tulang. Etiologi osteoporosis pada pasien dengan AS
tidak diketahui dan kemungkinan multifaktorial, dengan fase peningkatan resorpsi tulang atau
pengurangan deposisi tulang di tempat inflamasi pada awal penyakit, serta inflamasi yang
dimediasi oleh sitokin dan pengaruh hormonal yang berubah. Pada pasien dengan AS
progresif, demineralisasi lanjutan pada tulang aksial berkontribusi secara signifikan terhadap
angka patah tulang belakang.
Evaluasi Radiografi
Identifikasi fraktur sulit dilakukan pada pasien dengan AS. Pasien AS dengan gejala
nyeri leher akut atau nyeri punggung atau perubahan postur harus dianggap pasien
mengalami fraktur sampai terbukti sebaliknya. Sebelum munculnya MRI, diagnosis fraktur
vertebra pada pasien dengan AS yang telah lama berlangsung sulit dilakukan. Milici et al
menemukan bahwa 42% pasien dengan AS yang mengalami patah tulang belakang tidak
terdiagnosa dengan benar, dan mengakibatkan kerusakan neurologis pada 17%. Foto polos
dapat menunjukkan adanya fraktur, terutama pada bagian anterior. Namun, foto polos dapat
menjadi tantangan untuk diinterpretasikan pada pasien dengan AS jika ditemukan adanya
osteoporosis, pengerasan struktur ligamen, dan deformitas tulang yang rumit. Koivikko et al
menemukan bahwa foto polos dapat mengemukakan 48% patah tulang belakang leher pada
pasien dengan AS, sedangkan MRI pada angka 60%. Mereka merekomendasikan penggunaan
CT multi-detektor secara rutin pada setiap pasien dengan AS dengan adanya dugaan fraktur
tulang belakang leher, dan penggunaan MRI ini sebagai tambahan untuk dapat mengevaluasi
jaringan lunak dan sumsum tulang belakang (Gambar 2).
Gambar 2
Foto Lateral (A) dan CT scan sagital (B) dari tulang belakang thorakal yang menunjukkan
adanya peluang untuk fraktur pada tiga kolom melalui diskus intervertebralis T10-11
(panah) dan elemen posterior yang berdekatan pada seorang pria 53 tahun yang menderita
ankylosing spondylitis dan dilaporkan adanya nyeri punggung tanpa peristiwa traumatis
sebelumnya. Bukti ankylosing spondylitis lanjut, termasuk bridging syndesmophytes dan
ankilosis elemen posterior muncul pada gambar ini. Radiografi tidak sepenuhnya bisa
mengungkapkan sejauh mana fraktur meluas.
Kebutuhan untuk pencitraan lanjutan pada setiap pasien dengan AS yang diduga
mengalami patah tulang belakang sudah jelas diungkapkan. Beberapa modalitas pencitraan
sering diperlukan. Meskipun Koivikko et al. merekomendasikan CT, Wang et al. menemukan
bahwa MRI dapat menunjukkan kelainan pada pasien dengan AS, terutama pada kolom
posterior, yang tidak terdeteksi dengan metode pencitraan lain, termasuk CT. Wang et al.
menganjurkan penggunaan MRI yang sering untuk mengevaluasi pasien dengan AS dan
fraktur tulang belakang yang melibatkan 3 kolom vertebra. Cedera tulang belakang yang
bersamaan (misalnya, cedera tulang belakang lumbal pada pasien dengan dugaan fraktur
tulang belakang leher) sering terjadi pada pasien dengan AS karena biomekanik lengan tuas
vertebra yang dibahas sebelumnya. Oleh karena itu, banyak peneliti merekomendasikan
pencitraan rutin seluruh tulang belakang setiap kali dicurigai fraktur (Gambar 3). Penggunaan
MRI untuk mengevaluasi hematoma epidural juga penting, terutama pada pasien dengan
defisit neurologis pada pemeriksaan fisik, meskipun sensitivitas MRI untuk mendeteksi
fraktur pada pasien dengan AS tidak 100%. Koivikko dan Koskinen meninjau 20 pasien
dengan AS yang menjalani CT dan MRI tulang belakang leher karena di duga fraktur. MRI
menunjukkan dua patah tulang yang tidak terdeteksi pada CT, dan CT menunjukkan enam
patah tulang yang tidak terdeteksi pada MRI. Oleh karena itu, CT dan MRI dapat dianggap
sebagai modalitas yang saling dibutuhkan untuk mendeteksi fraktur pada pasien dengan AS.
Gambar 3.
Foto lateral (A) dari tulang belakang regio thorakal yang menunjukkan cedera ekstensi-
distraksi klasik melalui diskus intervertebralis T9-10 pada seorang pria 73 tahun dengan
ankylosing spondylitis yang mengalami jatuh dari permukaan tanah. Potongan sagital pada
T1 (B), T2 (C), dan short tau inversion recovery (D) MRI menunjukkan adanya ruptur
ligamen longitudinal anterior dan dua pertiga anterior diskus intervertebralis pada T9-10.
Perluasan ke fraktur potongan koronal melalui sepertiga posterior corpus vertebra T10
terlihat pada MRI tetapi tidak pada foto polos. Ligamentum longitudinal posterior tampak
utuh. Fraktur kompresi kronis dengan vertebroplasti pada L1 dari cedera sebelumnya juga
terlihat.
Tatalaksana dan Luaran Penyakit
Pengobatan patah tulang belakang pada pasien dengan AS sangat berbeda dari
pengobatan patah tulang pada populasi umum karena biomekanik tulang belakang yang
berubah, berkaitan dengan osteoporosis, ketidakstabilan yang ada pada patah tulang tersebut,
dan risiko tinggi gangguan neurologis. Transfer pasien yang baik juga suatu kewajiban pada
pasien dengan AS karena diperparah dengan risiko kompresi sumsum tulang belakang dan
defisit neurologis. Perawatan bedah umumnya diindikasikan karena ketidakstabilan yang ada
pada fraktur dan sering munculnya defisit neurologis; Namun, manajemen non-bedah telah
digunakan dalam kasus tertentu.
Tanpa pembedahan
Sebuah meta-analisis ekstensif dari literatur yang telah ada tentang pengobatan dan
komplikasi patah tulang belakang pada pasien dengan AS diterbitkan oleh Westerveld et al
pada tahun 2009. Para penulis menemukan bahwa 46% pasien dengan AS ditatalaksana tanpa
pembedahan; namun, alasan utama untuk perawatan non-bedah adalah risiko bedah yang
sangat tinggi dan penolakan pasien terhadap perawatan bedah. Sebagian besar patah tulang
belakang yang ada dalam tinjauan itu terletak di tulang belakang leher (81%); oleh karena itu,
perawatan non-bedah yang paling umum adalah penggunaan kolar servikal dan traksi
servikal. Para peneliti mencatat bahwa pengobatan bedah menyebabkan perbaikan neurologis
dan penurunan keseluruhan pada angka komplikasi dibandingkan dengan pengobatan tanpa
pembedahan baik jangka pendek dan jangka panjang dengan tindak lanjut.
Ketika tatalaksana non-bedah dilakukan, pilihan untuk imobilisasi yang dapat dipilih
adalah kerah serviks atau rompi halo untuk patah tulang belakang leher; orthosis
thoracolumbrosacral untuk thoracolumbal, atau patah tulang belakang bagian lumbal; dan
orthosis cervicothoracolumbrosacral untuk fraktur thorakal bagian atas atau fraktur servikal
bagian bawah. Setiap deformitas tulang belakang yang sudah ada sebelumnya harus
diperhitungkan ketika pasien dengan AS dipasang orthosis eksternal. Karena pergeseran sub-
sekuen dapat umum terjadi, pasien yang dirawat tanpa pembedaan memerlukan tindak lanjut
yang sering untuk memastikan pemeliharaan keselarasan dari tulang belakang yang tepat dan
status neurologis yang ada.
Shen dan Samatzis melaporkan pengobatan non-bedah yang berhasil pada pasien
lanjut usia dengan status neurologis baik yang menderita AS dan mengalami cedera fleksi
pada tiga kolom pada T5 dan tidak stabil akibat jatuh dari permukaan tanah. Pasien tidak
dapat menjalani perawatan bedah karena beberapa komorbid dan tidak dapat mentolerir terapi
bracing; pasien kemudian kontrol rawat jalan dan status neurologis baik pada akhir tindak
lanjut. Peneliti menggunakan kasus ini untuk menyoroti konsep kolom keempat, yang khusus
pada bagian torakal dan terdiri dari kompleks tulang rusuk-sternal. Para peneliti
merkomendasikan bahwa kolom keempat dari tulang belakang dapat mencegah fraktur di
regio atas dan tengah, dan yang lebih penting, dapat memberikan stabilitas tambahan jika
terjadi patah tulang belakang di daerah itu, sehingga meminimalkan translasi dan mencegah
cedera neurologis.
Meskipun pengobatan non-pembedahan diperlukan ketika risiko bedah tinggi atau
faktor pasien lainnya menghalangi pembedahan, namun tatalaksana non-pembedahan pada
pasien patah tulang belakang yang tidak stabil dengan AS tidak ideal. Pasien dengan AS
memiliki tingkat komplikasi yang tinggi setelah traksi serviks dan bracing cervicothoracic,
termasuk ulserasi kulit dan komplikasi paru. Selanjutnya, adanya defisit neurologis, dislokasi
persisten, atau fragmen tulang di dalam kanalis spinalis memerlukan pertimbangan yang kuat
untuk stabilisasi secara pembedahan.
Pembedahan
Westerveld et al menemukan bahwa 54% dari patah tulang belakang yang dilaporkan
pada pasien dengan AS ditatalaksana secara pembedahan. Whang et al. melaporkan bahwa
83% pasien dirawat dengan pembedahan dalam penelitian mereka, yang kemungkinan lebih
mencerminkan tren saat ini yaitu menuju intervensi bedah. Menurut Westerveld et al,
sebagian besar laporan tidak membahas alasan untuk strategi pengobatan, tetapi alasan yang
dilaporkan untuk intervensi bedah adalah kerusakan neurologis sekunder, konfigurasi fraktur
tidak stabil, dan adanya hematoma epidural. Selanjutnya, pada pasien dengan AS yang
mengalami defisit neurologis sesaat segera setelah patah tulang belakang, intervensi bedah
menghasilkan 59% pasien tidak jatuh pada keadaan neurologis yang lebih parah dan 27%
padien mengalami perbaikan status neurologis pada tindak lanjut.
Fraktur Regio Servikal
Pilihan untuk bedah fiksasi dari fraktur tulang belakang servikal adalah fiksasi anterior,
fiksasi posterior, dan fiksasi gabungan anterior-posterior. Dalam literatur yang ada, sebagian
besar laporan kasus dan seri, mendukung masing-masing pilihan ini pada pasien dengan AS
tergantung pada pola fraktur.
Dalam tinjauan literatur, Westerveld et al. menemukan bahwa 15% pasien dengan AS
yang menjalani perawatan bedah patah tulang belakang diobati dengan fiksasi anterior saja.
Laporan kasus telah menunjukkan keberhasilan yang baik dengan pendekatan ini. Namun,
pada kebanyakan pasien, terdapat ketidakstabilan tiga kolom vertebra. Ketidakstabilan
posterior dan ruptur ligamen posterior seringkali tidak terdeteksi pada foto polos. Fiksasi
anterior saja sering kali menyebabkan implan longgar karena kekuatan dari bagian posterior
tulang belakang. Tingkat kegagalan fiksasi anterior awal telah dilaporkan sebanyak 50%,
menyebabkan banyak ahli bedah tidak mengambil pendekatan tatalaksana ini. Lebih lanjut,
fiksasi anterior dapat menjadi sangat sulit pada populasi pasien dengan penyakit ini, karena
deikaitkan dengan adanya deformitas antara dagu dan dada, merupakan manifestasi yang
mengganggu pada pasien AS di mana hiperkifosis servikal ini menyebabkan dagu pasien
hampir menyentuh dada, mempersempit jendela untuk pendekatan bedah dan membuat
intubasi lebih susah.
Tatalaksana fiksasi posterior sering digunakan untuk fiksasi fraktur tulang belakang pada
pasien dengan AS. Dalam tinjauan oleh Westerveld et al, pendekatan posterior digunakan
pada sekitar 50% pasien yang dirawat dengan pembedahan. Banyak laporan kasus dan seri
telah menunjukkan keberhasilan pengelolaan patah tulang belakang servikal pada pasien
dengan AS menggunakan fiksasi posterior saja. Fiksasi posterior multi-segmentasi dengan
cangkok tulang kanselus autologus menawarkan keuntungan biomekanik dibandingkan
fiksasi anterior pada pasien dengan AS dan menurunkan morbiditas dibandingkan dengan
kombinasi fiksasi anterior-posterior. Meskipun banyak laporan mendokumentasikan
keberhasilan fiksasi anterior-posterior gabungan pada populasi pasien ini, bagian tulang yang
buruk dan lengan tuas yang panjang dan kaku pada tulang belakang pasien dengan AS berarti
pelat pendek, sekrup, dan kabel menghasilkan konstruksi yang buruk yang dapat
menyebabkan sekrup melonggar dan lepas. Fiksasi posterior saja secara cukup telah
mengatasi kekuatan perubahan biomekanik pada tulang belakang pasien dengan AS dan
menghindari komplikasi potensial yang lebih buruk yang ada pada pendekatan tatalaksana
gabungan anterior-posterior (Gambar 4).
Gambar 4.
CT scan sagital (A) menunjukkan fraktur melalui processus spinosus C6, melalui facet
joint di C6-C7, dan seluruhnya melalui corpus vertebra C7 baik anterior maupun posterior
pada laki-laki 47 tahun yang tidak bisa jalan sebelumnya dengan ankylosing spondylitis.
Pasien jatuh selama transfer pasien, dan menderita quadriparesis. Mengingat
ketidakstabilan fraktur dan defisit neurologis, pasien menjalani operasi fusi tulang
belakang posterior dengan cangkok tulang krista iliaka dari C4 ke T3, ditunjukkan dalam
radiografi AP (B) dan lateral (C).
Fiksasi gabungan anterior-posterior digunakan pada sekitar 25% pasien dengan AS dan
fraktur tulang belakang servikal. Meskipun metode ini kurang populer dibandingkan fiksasi
posterior karena alasan yang dijelaskan sebelumnya, metode ini memiliki kegunaan yang
substansial, terutama untuk koreksi deformitas yang terfiksasi pada saat yang bersamaan juga
sebagai fiksasi fraktur. Banyak laporan kasus yang dipublikasikan telah menunjukkan hasil
yang dapat dipertimbangkan. Pendukung kombinasi fiksasi anterior-posterior berpendapat
bahwa fraktur biasanya terjadi pada titik yang benar-benar kaku di tulang belakang leher,
biasanya mengakibatkan cedera yang tidak stabil dan bergeser. Oleh karena itu, adanya celah
pada kolumna anterior akan menempatkan beban yang berlebihan pada alat fiksasi posterior.
Konstruksi anterior tambahan secara teoritis bertindak sebagai perangkat berbagi beban.
Selain itu, penyatuan dengan bagian posterior dapat membuat lokalisasi penanda anatomi
menjadi sulit, dan karena sifat osteopenik tulang membuat penggunaan tatalaksana dengan
fiksasi tunggal mungkin kurang optimal. Einsiedel et al. merekomendasikan bahwa fraktur
serviks pada pasien dengan AS dapat dikelola dengan reduksi terbuka, dekompresi anterior
dan fusi, dan kombinasi stabilisasi anterior-posterior dalam satu atau dua tahap. Mereka
mendasarkan rekomendasi ini pada kegagalan implan awal yang terjadi secara eksklusif
setelah stabilisasi anterior satu tahap. Para penulis melaporkan tingkat kegagalan 50% untuk
fiksasi anterior saja dan oleh karena itu menganjurkan pendekatan gabungan anterior-
posterior untuk mengatasi fraktur tulang belakang leher pada pasien dengan AS.
Foto posisi AP (A) dan lateral (B) menunjukkan fiksasi segmental posterior dari T8 ke T2
untuk pengobatan cedera ekstensi gangguan T9-10 yang tidak stabil pada pasien Gambar 3.
Studi hasil dari tatalaksana fraktur tulang belakang thoracolumbar pada pasien dengan AS
terbatas hanya ada serial kasus kecil. Hitchon et al melaporkan hasil dari enam patah tulang
belakang regio thorakal dan lima regio lumbal pada pasien dengan AS. Para penulis mencatat
tingginya tingkat defisit neurologis (55%), dengan hanya setengah dari pasien yang
mengalami pemulihan substansial setelah intervensi bedah. Lu et al baru-baru ini melaporkan
hasil pada 25 pasien dengan AS yang menderita patah tulang torakolumbalis. Dalam
penelitian tersebut, 6 pasien dirawat dengan pembedahan dalam waktu 1 bulan setelah cedera,
8 pasien mengalami keterlambatan untuk diagnosis fraktur yang mengakibatkan
pseudoarthrosis setelah instrumentasi posterior dengan sekrup pedikel, dan 11 pasien
menerima perawatan non-bedah dengan penyangga. Para penulis melaporkan bahwa
perawatan bedah memberikan penghilang rasa sakit yang efektif, fusi padat di seluruh fraktur,
dan perbaikan neurologis, sedangkan pengobatan non-bedah dengan bracing sering
menyebabkan pseudoarthrosis dan defisit neurologis progresif.
Rangkuman
Fraktur tulang belakang adalah cedera yang umum terjadi dan kejadian yang
memperburuk pada pasien dengan AS. Peningkatan risiko patah tulang terkait dengan
perubahan biomekanik tulang belakang dan kualitas tulang yang buruk. Evaluasi radiografik
dari curiga fraktur pada populasi pasien ini memerlukan pencitraan seluruh tulang belakang
dan pencitraan lanjutan, selain hanya foto polos saja. Penatalaksanaan patah tulang belakang
pada pasien dengan AS dapat berupa non-bedah atau bedah; namun, perawatan non-bedah
biasanya dilakukan hanya ketika perawatan bedah memiliki risiko perioperatif yang sangat
tinggi. Perawatan bedah tergantung pada lokasi fraktur tetapi biasanya melibatkan fiksasi
posterior minimal. Dengan manajemen non-bedah atau bedah, komplikasi masih sering
terjadi dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Namun, jika praktisi
mempertahankan tingkat kecurigaan pada lokasi fraktur yang tepat pada pasien dengan AS
dan menyadari potensi komplikasi yang berkaitan dengan transportasi pasien, transfer, dan
posisi, maka hasil yang baik dapat dicapai.