Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK


FRAKTUR EKSEMITAS PADA NY. Y.L
DI PANTI WERDHA SENJA CERAH MANADO

Clinical Teacher:
Ns. Valen Simak., M.Kep., Sp.Kep.Kom

Disusun oleh:
Jeanet Sofiola Simbage

NIM:
230141040012

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fraktur kerapuhan sering terjadi pada orang lanjut usia. Risiko patah tulang
osteoporosis seumur hidup berkisar antara 40-50% pada wanita dan 13-22% pada
pria, dengan angka kematian lebih tinggi pada pria. Pasien berusia 65 tahun ke atas
menderita status kerapuhan dan peningkatan risiko dampak kesehatan yang
merugikan seperti gangguan mobilitas, rawat inap yang berkepanjangan, sisa cacat,
dan berkurangnya harapan hidup. Osteoporosis mempengaruhi pasien yang lemah,
meningkatkan risiko patah tulang seumur hidup. Fraktur kerapuhan juga mempunyai
dampak ekonomi yang besar. Lebih dari 2 juta kasus patah tulang akibat osteoporosis
pada tahun 2005 di Amerika Serikat, dimana 71% terjadi pada wanita dan 29% pada
pria, menyebabkan total kerugian sebesar hampir $17 miliar. Pada tahun 2025, patah
tulang dan biaya terkait diperkirakan akan meningkat lebih dari 48%. Di Swedia, total
biaya patah tulang akibat kerapuhan adalah sekitar 3,2% dari total biaya layanan
kesehatan. Meningkatnya jumlah lansia di negara-negara Barat dan tren peningkatan
penuaan populasi terlihat jelas dalam praktik klinis. Akibatnya, patah tulang akibat
osteoporosis dan pasien yang lemah menjadi tantangan mendesak bagi penyedia
layanan kesehatan.

B. TUJUAN

Untuk mengetahui konsep dari pengelolaan patah tulang akibat kerapuhan, membahas
faktor risiko, dan diagnosis, serta memberikan asuhan keperawatan pada klien.
BAB II

A. PENURUNAN FUNGSI

Fraktur kerapuhan timbul akibat trauma berenergi rendah dalam aktivitas sehari-hari,
sebagian besar terjadi pada orang lanjut usia. Secara umum, patah tulang akibat
kerapuhan pinggul dan tulang belakang mempunyai dampak terburuk terhadap
kesehatan lansia. Namun, banyak area tubuh lain yang juga dapat terkena patah
tulang akibat kerapuhan, seperti humerus, panggul, lengan bawah, tulang rusuk,
tulang paha distal, tibia, dan tulang selangka. Kualitas hidup terganggu secara
signifikan dengan dampak yang berbeda-beda tergantung lokasi patah tulang. Patah
tulang pinggul memiliki akibat yang sangat buruk, dengan angka kematian 1 tahun
yang tinggi pada kedua jenis kelamin, dan hilangnya kemandirian pribadi secara
dramatis. Fraktur tulang belakang, terutama yang mempengaruhi persimpangan
torako-lumbal, juga bertanggung jawab memperburuk kualitas hidup, meskipun
mungkin tidak menunjukkan gejala. Meskipun dua lokasi patah tulang sebelumnya
memiliki konsekuensi terburuk bagi pasien, lokasi patah tulang lainnya bertanggung
jawab atas peningkatan risiko kematian.

Menurut Potter & Perry (2010), Fraktur adalah kondisi diskontinuitas susunan tulang
yang disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung, benturan langsung
terjadi bila trauma langsung mengenai tulang juga dapat diakibatkan oleh adanya
kompresi berulang dan fraktur karena benturan tidak langsug biasanya terjadi akibat
rotasional. Adapun faktor predisposisi fraktur yaitu post menepouse pada wanita,
karena menurunnya hormon estrogen sehingga masa tulang menurun dan resiko
fraktur meningkat, aktivitas-aktivitas yang beresiko tinggi terhadap terjadinya
fraktur.

Saat seseorang memasuki usia lanjut keadaan sel dalam tubuh akan berubah, seperti
jumlah yang menurun, ukuran lebih besar sehingga mekanisme perbaikan sel akan
terganggu dan proporsi protein di otak , otot, ginjal, darah dan hat berkurang. Fraktur
ekstremitas bawah adalah patah tulang pada tulang femur, tibia, fibula, metatarsal
dan tulang-tulang phalangs, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan
lunak disekitarnya tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang
(Clevo & Margareth, 2012).
Fraktur ekstremitas bawah merupakan hilangnya kontinuitas tulang femur, tibia
fibula, dan jari-jari kaki (Clevo & TH, 2012). Berdasarkan batasan diatas dapat
disimpulkan bahwa, fraktur ektremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas
tulang pada tulang femur, tibia, fibula, metatarsal dan tulang-tulang phalangs
retak ataupun patah secara secara utuh. Fraktur ekstremitas bawah dapat disebakan
karena trauma atau non trauma.

B. PERUBAHAN TERKAIT USIA

Perubahan Fisiologis Tulang

Sistem skeletal pada manusiha tersusun dari 206 tulang termasuk dengan sendi yang
menghubungkan antar keduahnya. Kerangka yang dibentuk dari susunan tulang
tersebut sangat kuat namun relathif ringan. Fungsi utama sistem skeletal ini adalah
membentuk dan dukungan pada tubuh manusia. Selain itu, system ini juga berperan
untuk melindungi tubuh, misalnya tulang tengkorak yang melindungi otak dan mata,
tulang rusuk yang melindungi jantung, serta tulang belakang yang melindungi
sumsum tulang belakang. Struktur pada kerangka ini juga terdahpat tendon otot yang
mendukung adanya pergerakan (Mauk, 2006).

Tulang mencapai kematangan pada saat waktu dewasa awal tetapi terus melakukan
remodeling sepanjang kehidupan. Menurut Colón, et al. (2018) secara umum,
perhubahan fisiologis pada tulang lansia adalah kehilangan kandungan mineral
tulang. keadhaan tersebut bedampak pada meningkatnya risiko fraktur dan kejadian
terjatuh. Selaihn itu, terjadi juga penurunan massa tulang atau disebut dengan
osteopenia. Jikah tidak ditangani segara osteopenia bisa berlanjut menjadi
osteoporosis yang ditandai denhgan karakteristik berkuranganya kepadatan tulang
dan meningkatkan laju kehhilangan tulang.

Perubahan-perubhahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) antara lain:


a. Meningkatnya resorbsi tulang (misalnya, pemecahan tulang diperlukan untuk
remodeling)
b. Arbsorbsi kalsium berkurang
c. Meningkatnya hhormon serum paratiroid;
d. Gangguan regulhasi dari aktivitas osteoblast;
e. Gangguan formahsi tulang sekunder untuk mengurangi produksi osteoblastik
dari matriks tulang; dan
f. Menurunnya estrogen phada wanita dan testosterone pada laki-laki.

C. FAKTOR RESIKO

Penyebab yang berbeda-beda berkontribusi terhadap perkembangan patah tulang


pada individu yang lemah, dan osteoporosis adalah faktor penyebab umum.
Osteoporosis merusak Kepadatan Mineral Tulang (BMD) dengan kerusakan
mikroarsitektur tulang yang parah yang menyebabkan peningkatan kerapuhan.
Densitometri tulang atau mineralometri adalah teknik pencitraan yang
memungkinkan untuk menilai dan mengukur kepadatan tulang menggunakan radiasi
dosis sangat rendah. Untuk mengevaluasi BMD yang dihasilkan dari densitometri
tulang, skor T dan Z digunakan. Skor T membandingkan kepadatan mineral tulang
pasien dengan rata-rata kepadatan tulang puncak orang berusia 30 tahun yang
berjenis kelamin sama. Skor z membandingkan kepadatan mineral tulang pasien
dengan kepadatan puncak rata-rata untuk seseorang pada usia yang sama. Menurut
WHO, BMD tulang belakang, pinggul, atau pergelangan tangan sebesar 2,5 SD atau
lebih di bawah rata-rata referensi (T-score ≤ −2,5) sesuai dengan diagnosis
osteoporosis. Pada wanita pascamenopause, peningkatan risiko patah tulang adalah
yang tertinggi setelah patah tulang klinis apa pun, dan risikonya tidak bergantung
pada lokasi patah tulang. Klotzbuecher dkk. mengkonfirmasi hasil ini dan
menunjukkan bahwa risiko patah tulang berikutnya menjadi dua kali lipat. Usia
adalah salah satu faktor risiko yang paling signifikan, bertanggung jawab atas
peningkatan risiko patah tulang terlepas dari BMD, yang merupakan konsekuensi
dari penuaan tulang tetapi juga akibat penyakit penyerta pada pasien lanjut usia.
Gender juga memainkan peran penting dalam risiko patah tulang: modifikasi
hormonal pascamenopause berdampak negatif pada kualitas tulang. Selain itu,
perempuan menunjukkan peningkatan risiko jatuh dibandingkan laki-laki, yang
merupakan prediktor independen dari fraktur kerapuhan. Faktor lain yang berkaitan
dengan usia yang memainkan peran mendasar dalam patah tulang adalah karena
terjatuh. Jatuh sangat umum terjadi pada populasi yang lemah, namun
kemungkinannya sering diremehkan. Jatuhnya lansia berdampak besar pada harapan
hidup, karena komplikasi yang terkait seringkali parah, dan proses pemulihan
memakan waktu lama dan sulit diselesaikan. Selain parameter yang digunakan untuk
memantau risiko spesifik terjatuh, kejatuhan sebelumnya juga berdampak signifikan
terhadap penurunan fungsi pasien

D. KONSEKUENSI FUNGSIONAL

Konsekuensi fungsional adalah suatu efek yang muncul sebagai akibat dari
perubahan fisik, faktor risiko, serta perilaku kesehatan individu tau lanjut usia yang
dapat diobservasi serta memengaruhi kehidupan sehari-hari lanjut usia. Perilaku
kese-hatan meliputi seluruh intervensi yang dilakukan pelaku rawat, keluarga,
maupun tenaga kesehatan sementara faktor risiko dapat berasal dari lingkungan
eksternal maupun internal individu.

Konsekuensi fungsional dapat menjadi negatif apabila perilaku yang ditunjukkan


oleh individu meningkatkan risiko ketergantungan terhadap pelaku rawat, sementara
menjadi positif jika individu dapat mandiri dalam menjalankan fungi sehari-harinya
(Miller, 2012).yaitu :

1. Hambatan Mobilitas Fisik


2. Resiko Jatuh
BAB 3

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN

1. A. Pengkajian
A. IDENTITAS :
1. Nama : Yulin Lempoy (YL)
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 72 Tahun
4. Agama : Kristen Protestan
5. Status Perkawinan : Menikah (Janda meninggal)
6. Pendidikan Terakhir : SMP
7. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
8. Alamat rumah / Keluarga : Amurang

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Masalah kesehatan yang pernah dialami : Klien mengatakan sering menderita
asam lambung karena pikiran dan memiliki riwayat penyakit hipertensi dan
diabetes sejak 5 tahun lalu serta klien memiliki riwayat jatuh sehingga tejadi
fraktur di ekstremitas bawah akan tetapi klien dalam masa perawatan
2. Masalah kesehatan yang dialami / dirasakan saat ini : Klien mengatakan
mengalami kelemahan dibagian kaki sehingga klien sulit untuk berjalan sejak
klien jatuh dan mengalami fraktur tersebut dan membuat klien harus
menggunakan alat bantu tongkat untuk berjalan.
3. Masalah kesehatan keluarga / keturunan : Klien mengatakan keluarga mengalami
diabetes dan hipertensi
C. PEMERIKSAAN FISIK :
1. TTV :
 Keadaan Umum : Ny. YL tampak sehat namun memiliki kaki lemah
 Kesadaran : Compos Mentis
 Suhu : 36 C
 Nadi : 90x menit
 TD : 135/80
 TB :150 cm
 BB : 48 kg
2. Kebersihan Perorangan
• Rambut : Rambut tebal dan beruban, sedikit mengembang
• Mata : sudah tidak mempunyai alis, kelopak mata mampu
mengedip, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, dan tidak ada
lesi, klien tidak menggunakan alat bantu lihat dan penglihatan klien masih
jelas dan klien masih mampu untuk membaca
• Hidung : posisi simetris, tidak ada lesi dan secret
• Mulut : mukosa lembab, tidak ada lesi pada gusi, gigi klien
tidak lengkap, gigi depan terlihat hanya 2, lidah bersih dan klien
mengatakan rajin sikat gigi dan merawa mulut. Fungsi pengecapan baik
klien mampu
membedakan rasa asam dan manis
• Telinga : lubang telinga tidak merah, telinga tampak bersih,
mengalami gangguan pendengaran sebelah kanan
• Leher : bentuk simetris, warna kulit leher sama dengan
anggota tubuh lain
• Dada : tidak ada nyeri dada dan bentuk dada simetris
• Kebersihan lingkungan : lingkungan klien tampak bersih dan kamar klien
tampak bersih  Lain-lain :

D. PENGKAJIAN FUNGSI TUBUH


1. Fungsi Biologis :
• Pola makan : makan 3x sehari, porsi sedang, dengan makanan yang
dikonsumsi seperti biasanya nasi ikan buah dan sayur
• Pola Minum : klien mengatakan minum 3-5 gelas air putih dan tiap
sore klien beserta teman”nya minum kopi
• Pola Tidur : pasien mengatakan tertidur pada siang hari namun sulit
tidur saat malam hari
• Pola Eliminas (BAB / BAK) : klien mengatakan BAK 3-4 x sehari
dan untuk BAB di bilang termasuk lancar hari 1 kali hanya kadang kadang
saja yang bisa sampai 2 hari 1 kali BAB
• Reakreasi : klien tidak sering mengikuti rekreasi karena keadaan kakinya
yang lemah, namun klien rajin untuk membersihkan rumah dan juga pergi
beribadah di aula setiap hari kamis.
• Tingkat Kemandirian (Barthel Index): 17 (Ketergantungan Ringan)
2. Fungsi Psikososial :
• Skala Depresi (GDS) : 3 (tidak ada gangguan depresi)
• Fungsi Intelektual (MMSE) : 29 (Normal)
3. Fungsi Sosial :
• Dukungan keluarga : Klien mengatakan menikah tetapi tidak
mempunyai anak tetapi mempunyai saudara
• Hubungan dengan keluarga : hubungan dengan saudara baik namun
saudara sudah tidak pernah datang
• Hubungan dengan orang lain : klien mengatakan kurang berhubungan
baik dengan seseorang satu wisma dan klien termasuk yang sering
berkelahi dengan salah satu oma yang lain yang ada di wisma tersebut
tetapi tidak sampai memukul hanya adu mulut dan tidak bertegur sapa saja.
4. Fungsi Spiritual / Kultural :
• Pelaksanaan ibadah : klien mengatakan sering membaca alkitab dan
rajin pergi ke ibadah yang dilaksanakan pihak panti setiap hari kamis dan
minggu
• Keyakinan tentang kesehatan : klien mengatakan menerima apa yang
dialaminya dan meyakini atas tubuh dan kesehatan klien
5. Fungsi Fisik :
• Fungsi pendengaran : klien memiliki fungsi pendengaran yang baik
• Fungsi penglihatan : klien tidak menggunakan alat bantu lihat dan masih
bisa melihat dengan jelas, tetapi jika sudah dengan jarak jauh klien sudah
sulit untuk melihat tetapi klien masih bisa membaca buku
• Fungsi Digestif dan Nutrisi : 8 (mungkin mengalami malnutrisi)
(Status Nutrisià MNA):
• Fungsi urinaria : tidak ada gangguan dan keluhan
• Fungsi Kardiovaskular : CRT klien <3 detik dan tidak ada keluhan
• Fungsi Respirasi : Klien tidak sesak, tidak ada bunyi nafas tambahan
• Fungsi mobilisasi dan keamanan (Risiko Jatuh): Intervensi Risiko tinggi
dalam melakukan mobilisasi klien menggunakan alat bantu tongkat dan
untuk turun tangga dan naik tangga memerlukan bantuan orang lain, klien
mengatakan sudah 3x terjatuh di kamar karena tersandung kasur
• Fungsi Integumen : tidak ada keluhan
• Fungsi Istirahat dan tidur : pasien tidur siang namun pada malam hari sulit
tidur
• Fungsi Termoregulasi : tubuh pasien teraba normal dengan suhu 36 C
• Fungsi seksual : sebelum suami klien meninggal fungsi seksual
klien baik

Anda mungkin juga menyukai