Berikan
Kutitipkan tabik rindu untuknya
Katakan ini dari pelerai demam seorang
Yang membawa asa tak kunjung reda
Padahal bersisian di pias jalan
Bertandang tak lekas datang
jang
Setidaknya rindu tak menentu
Bukan menanti, hilang ke hati
tolong
jika waktu diputar
walau hanya di alam mimpiku
setidaknya temui aku sekali
aku rindu
(pernah satu malam aku ingin memimpikannya)
Gelap
Meringkih dalam kegelapan malam
Merengkuh dalamnya hitam
Tak jua mendapatkan terang
Kelabu sembunyikan matahari
Berdiri lalu roboh lagi
jang
Berulang kembali
Berdiri lalu roboh lagi
(bayangan agus saat masa keterpurukannya, sudahlah tak perlu dibahas)
Tertambat
Menyecap indah untaian katamu
Mendera rindu berkelu-kelu
Mendera hati tak mau pergi
Aku tertambat
Walau bumi terus berotasi, waktuku berhenti
Hanya di sini
Aku berdekap
Menambatkan hati pada indahnya mentari
Aku hanya tak mau pergi
(setelah mendapat jawaban dari segala tanya hati setelah beberapa kali tak ingin pergi)
Setidaknya
Bukan hanya hitam putih disini
Bukan hanya lagu lalu diputar kembali
Bukan hanya berdiri disini sendiri
jang
Tak bergundah walau tersisihkan
Mesir
Ya mesir,
Gurun pasir,
Jauh mendera waktu lebam
Hanya ada debu tepis bertipis
Hanya bias matahari datang menyemarakkan magis
Hanya mereka bertahan
Aku juga
Kamu juga
Kita sama
Ya, mesir
(harapan kita yang kuanggap sama,sebenarnya memaksa)
Hasta pengasingan
Ya mesir
Kakimu berderap di gurun pasir,
Dimana hatimu memantapkan jalan diri
Mengisi gelas yang tak akan pernah puas terisi
jang
Dariku yang terpisah ribuan hasta pengasingan
(dia pergi ke mesir untuk menuntut ilmu disana)
Karena sungguh,
Duhai tuan sajak biru…
Untukmu disetiap lesap doaku
Bahagiamu disetiap pintaku
Duhai biru,
Sajak ambigu…
(Sudah berakhir dibulan Mei, waktunya habis didunia)
Kaca retak
Kepada kaca yang ingin retak
seringaimu menajamkan sudut-sudut di depan
mengurung sebuah kepastian yang ragu kau pastikan
ini apa?
selain sebinar cahaya kecil yang kau temukan dalam sela-sela genting
kemudian berhamburan, berlarian, jumpalitan, melengking, menjinjing
menubruk dan akhirnya jatuh meninggalkan sang kaca
tapi kau tak tahu ada satu hal yang meyebabkan dia tetap seperti itu
jang
menjelma bayang-bayangmu yang tak lagi mengingat rupa
kaula muda
Angin benar
Saat angin menyapa lembut
Daun-daun itu mengajaknya menari
Diiringi music gemericik air disungai itu
Bagaimana?
Bagaimana caranya berhenti?
Jika kamu mengajarkanku berlari
Bagaimana caranya sendiri?
Jika kamu mengajarkanku bersama
Bagimana caranya melupakan?
Jika kamu memberi kehangatan
Jangan pergi
Jangan buatku berhenti
Jangan lupakan
Jangan buatku terus mengingatkan
Biarkanlah seperti ini
Bersama alam yang ingin bergejolak
Pulang kembali
Dan saat matahari merah jambu
Terlukis diatas langit biru
jang
Menengelamkan seluruh resah dan ragu
Bersama angin yang ikut membawa hidup
Bersama hujan yang menyapu tiap buliran tangis
Menjawab doa para musafir
Bersamamu
Bersama kita
Yang selalu disini menanti matahari kembali
Pulang kembali
(harapan beberapa orang menunggu kepulangan salah satu keluarga yang memilih mencari
jalan di Malaysia)
Teruntuk
Dan untuk ibu
Yang telah hadir kala teduh hujan dibulan september
Untukmu empat dasawarsa lebih bersama hujan yang selalu mendera matahari
Dan untuk kita yang tak tepisah dari ribuan tangan-tangan kehangatan lainya
Dan untuk diriku yang beruntung memilikimu
Ibu…
Maafkan daku
Yang tak pernah buatmu tersenyum bangga atas keberhasilanku
Sudah 20 tahun lebih, keberhasilan apa yang aku buat?
Bahkan berdiri sendiri aku tak mampu
Maafkan aku, buah hati yang selalu mengecewakanmu
(akan aku berikan saat ulang tahunya 2016)
Gamang
Terkadang kau hadir gamang sekali
jang
Terkadang samar jadi puisi rindu
Terkadang samar jadi puisi kelabu
Kamu lagi
Detik sudah terlewat
Menit terasa hilang lelah
Dan jam pun tak mau kalah
Kenapa alam mempermainkannya seperti ini
Jika waktu terus berputar disitu, disitu lagi
Kamu, kamu, dan kamu lagi
Hilang
Dan saat langit semakin menghitam
Dan angin bersemayam
Dan kunang-kunang berterbaran
Membawa secerah harapan dan angan
Membawa hati yang sudah tersisihkan
Membawa jiwa yang tak pernah tenang
Membawa semua kegundahan
Semua
Dan terbang
Hilang
Jalan
Dan alam menguap
Lelah
jang
tik
tok
tik
tok
Yah…
Semoga ini jalannya
(karena jenuh terhadap tumpukan deretan huruf yang selalu menari-nari di kepalaku karena
tuntutan ilmu Kediri, mei- juni 2016)
Resah
Nuri mencicit membagi buta
Awan berarak menjulang dunia
Embun basah ikut disana
Saat terbias matahari dari ufuk timur
Menyelesaikan satu waktu
Tapi aku tetap disini
Membawa angan dan keraguan
(saat bimbang harus mengambil keputusan yang mana, kuliah dimana. Padahal sudah mulai
habis waktu)
Dia Hitam
Jatuh kelam berpendar
jang
Dan pekat datang meradang
Bukan takut akan kelam
Tapi takut karena diam
Diam dalam gelap hati dan jiwa
Menolak Allah memberikan cahaya kasihNya
Dan hitam membisu
Dia hanya begitu
(karena terlalu jatuh kedalam-dalamnya cinta… agus jadi begini)
Rasa
Setiap seulas senyum terbias dari matahari
Bersemayam merah jingga malu-malu
Bumi masih berotasi tapi waktuku terhenti
Aku hanya terbelenggu
Pada poros bumi
Yang memijat pelan nadir jiwa
Yang membawa rasa kian berkelana
jang
Dan dia hidup besar
Menjadi pohon gagah membawa buah
Dan dia punya bangga
Dan dia juaranya
Pejuang
Tetesan darah merah pekat jatuh bersama seluruh angan
Dari langit biru mengantungkan awan putih bersih membawa harapan
dibiaskan dari mentari
Kemudian mereka jatuh pada kelopak melati harum
Dan semua mata melihatnya
Sebagai tanda keberanian mereka
Sebagai tanda bahwa kita merdeka
jang
Namun hati tetap berkait hidup
Dan implus berbisik
Ikut menelisik
Dia
Yang berhasil membuatku bertanya
Kemana larinya otakku saat melihatnya
Dia siapa?
Aku kenapa?
(mengenang masa SMA dikelas 10 … Kediri 10 April 2016)
Jangan pergi
Kala sepi membatu
Bahkan bulan ikut mengadu
Dan bahkan bintang tak ingin mengkristal di sergap langit hitam
Hanya ingin melancang
Dia pergi
Pulang kepada Ilahi
Meninggalkan yang menanti hari
Dia telah pergi
Pergi
Pergi
Pergi
Jangan pergi
jang
(tanpa kenangan setelah menatap foto usangmu. Andai saja garis ini tak sebegitu
menyakitkan hati… Kediri, 20 Juni 2016)
Adikku
Dan langit terbesit awan hitam
Yang menggantung disetiap sudutnya
Mengkristal dalam mendung waktu senja datang
Bahkan sapuan angin ikut tak permisi
Ikut menyambut tangisan anak adam
Yang lahir dari rahim ibu sayang
Yang lama ditunggu datang
Kala si kecil mulai mencari ibu
Haru pilu menyergap kalbu
Aku bergumam senang
Dia adikku
(detik-detik adikku lahir… 18 April 2010)
Entah
Entah aku hanya bisa merasa nyaman
Bukan merasa bergetar
Mungkin aku masih tertinggal gurun pasir
Padahal usai usahaku lari dari pelesir
Tapi hati tak ingin bedesir
Entah aku hanya bisa merasa nyaman
Mungkin aku belum bisa merasakan
Waktu kan menjawabnya
(setelah dia membuatku baper… 8 Mei 2016)
jang
Mengais rezeki tiap jari
Berharap hari pergi meninggalkan waktu lebam
Dan yang menghempas tanah dari peraduan
Bertandang pada hempasan angin meradang kehilangan
Untukmu surga yang kurindukan
Seribu langkah
Dan demi masa indah datang
Bukan hanya angan tapi kenyataan
Aku meniti kehidupan dengan senang
Melangkah penuh harap tanpa penat mencari diri
Dalam kehidupan fana hanya sekali
jang
Namun ada tidaknya kamu didunia sebenarnya bukan masalah untukku.
Karena kupikir meski tuhan menjanjikan bahwa wanita baik untuk laki-laki yang baik dan
sebaliknya.
Dia tidak pernah berjanji bahwa manusia sudah pasti menemukan jodohnya dialam ini. Entah
apa aku benar akan bertemu didunia ini atau justru di alam lain, itu bukan problema.
Aku hanya percaya bahwa kamu ada entah dikehidupan yang mana.
Kamu bisa jadi sang inversi lateralku yang ketika kukenali aku bagai berkaca diri
Kamu manifestasi keseimbangan untukku agar merasa utuh
Kamu ada dan aku percaya
Dan itu sudah cukup
Aku
Aku bagaikan batu yang berusaha untuk menggapai langit.
Kau pasti akan langsung mengerti hal ini.
Aku sudah berusaha untuk menggapai sesuatu yang terlalu tinggi.
Sementara titik tertinggi yang paling bisa ku capai hanyalah puncak kepalaku sendiri
Sekarang kutanya lagi kenapa cinta selalu berbentuk hati? kenapa bukan segitiga? Atau
persegi atau kubus atau tabung atau mungkin kerucut?
Kadang aku berpikir bisakah dirinya menerima sebentuk cinta yang lain? aku ingin
mengiriminya sebuah pesan tanpa harus berbentuk hati
Karena rasa getar muncul terhadapnya berbentuk seperti lingkaran, tak pernah memiliki
ujung.
Tiada batas.
Dan lagipula aku hanyalah sebuah titik dalam satu buku kehidupannya.
Jadi walaupun dia telah melupakan bagimana rupaku, walau dia tidak mengingat siapa
namaku, aku akan tetap hadir, walau hanya sebuah titik.
Dan itu sudah cukup
jang
Tapi yang dia tahu satu jam lalu
Ini permulaan yang buruk
Hingga ia memilih tetap bersemayam pada kokohnya dinding
Hangatnya atap dan hembusan angin yang lewat melalui celah kecil
Dan kembali dia menutup jendelanya
Tiada Batas
Jariku menari-nari pada kertas putih
Bersama tinta hitam, kupercayakan hati yang mendamba kasih
Kutulis tanpa henti meringis
Hingga setetes air mata ikut membawa rasa
Meninggalkan jejak basah pada deretan huruf-huruf asmara
Dan akhirnya aku tak tahu harus berhenti dimana
Karena yang kau ajarkan hanya bagaimana caranya berlari dan berlari
Seperti bumi yang tak tahu kapan dia berhenti berotasi
Konsilasi hujan
Kelabu itu mengikat semua awan putih disana
Mengajak semua yang ingin berpegangan tangan
Hingga semuanya jenuh
Pada kata manis tak berarti
Dan akhirnya melepaskan gengaman tangannya
Dan jatuh pada tanah bumi
jang
Yang dia tahu ia tidak boleh menyia-nyiakan waktu berharganya
Pria kecil berkacamata itu duduk bersimpuh pada meja belajarnya
Melihat seluruh raya dibalik kacamatanya dan bukunya
Ditemani hangatnya lampu temaram dan segelas susu coklat
Ia percaya bahwa buku adalah jendela dunia
Hingga mereka lupa ada hal yang tidak dapat dia dapatkan dibalik tumpukan tulisan manusia
Dia tahu konsep manusia itu makhluk social
Tapi ia merasa social itu manusia yang haus akan saling membutuhkan
Tidak lebih dan tidak kurang
Semuanya saling menguntungkan
(entah kenapa dapat ilham secara tiba-tiba… 23 Juni 2016)
Serindu sendu
Serindu sendu menyapu
Kubiarkan melabuh di lubuk
Tak ku dapatkan seutas cinta
Dengan tulus menyerta
jang
Yang datang usai hujan mendera
Seperti mimpi
Memang ini hanya ilusi usai bermimpi
Nyatanya hanya nampak abu dan hujan
Berpendar terpecah membentuk keterpurukan
Dan batas meridian jelas hilang
jang
Komperatif semu
Mungkin ujar ku seperti kapas
Kompelatif basi jemu datang layaknya kepinjal
Jangan salahkan aku tak mau tandang
Tapi jangan salahkan dia karena berterang
Sudah buat kata lempar semrawut pikir
Padang pandang
Bukanlah aku inginkan dari lautan
Yang terbentang dari timur ke barat
Sejauh mana pandang tak dapat
Karena dipandang saat padangpun masih ambigu
Karena seperti ujarmu
Aku belum siap
Dalam kita masih ada sekat
(cerita teman dengan kekasihnya...sungguh penuh drama 26 Juni 2016)
jang
Karena cukup hanya ada dua tubuh yang menjalin indahnya satu harmoni
Aku dan kamu
Melupa rasa
Dunia dengungku menjerit
Ketika bahkan sepi hanya itu yang kudengar
Bahkan ingatan hanyalah pantomime
Ayah
Aku lelah
Dengan semua rasa rindu yang ingin menyeruak
Tertahan dalam kungkungan air mata ibu
Dan fotomu menjadi saksi diamnya ujung nadiku
(mengutarakan kegundahan jiwa yang telah membusuk dalam dada… 7 juli 2016)
jang
Dulu dan sekarang
Dulu semua anak berbangga menunjukkan ayahnya pada dunia
Dulu aku hanya menganga melihat perlakuan manis ayah mereka
Dulu aku ingin seperti mereka
Dulu aku lalu bertanya kalau mereka punya ayah, lalu dimana ayahku berada?
Dulu aku menanyakan pada ibu
Dulu ibuku hanya tersenyum melihatku
Dulu dua kata yang tak ingin kudengar dari semua ujar ibu menguar begitu saja ditelingaku
Dulu perkataannya jadi candu bagiku
Dulu aku bahkan tak tahu kehilangan itu apa?
Dulu dan sekarang aku tak tahu bagaimana hangatnya pelukan ayah
Dulu dan sekarang aku tak pernah mendengar suara tawa menggema dalam dada
Dulu dan sekarang aku tak pernah melihat berbagai ekspresi dari matanya
Dulu dan sekarang
Dulu dan sekarang aku hanya ingin bertemu dengannya
(ditengah malam ditemani selimut dan kapuk…aku merenung lagi tentang ayahku…7 juli
2016)
jang
Katanya ini rumah
Apa itu rumah?
Jika rumah mengengkang penghuni dari segala kearifan dunia
Apa itu rumah?
Berdinding tebal tapi tak beratap
Yang kutahu rumah memahamiku
Dari segala sisi tembok tebal dan atap yang menjulang
Yang kutahu rumah menjagaku
Dari segala kefanaan dunia
Lalu apa ini rumah?
(teringat mbak nani… gurah, 11 juli 2016)
Sekat kayu
Siapa yang tahu dibalik tebalnya sekat kayu?
Dibaliknya sejuta mimpi dan nyata berbaur jadi satu
Semuanya samar, kabur, taksa
Tak tahu mana yang sudah jadi masa lalu
Semuanya sama
Tentang dia
Nyanyian ragu
jang
Aku selalu merasa berada ditempat kelabu
Seakan tak menyadari ada kemilau diantaranya
Terlalu sibuk meratapi
Menyalah-nyalahi yang kuimpikan sendiri
Bodoh memang
Hanya diam, seolah tak ada harapan
Melewati kesempatan tiap kesempatan
Kerena terlalu takut mencoba keperuntungan
Siapapunlah bantu aku keluar dari keterpurukan
(13 juli 2016)
Pelindung
Berdiamlah diantara dinding gemuruh api
Menyala merah biru, mejilat-jilat kerapuhanmu
Membakar seluruh keteguhanmu
Kemudian tersisa harapan itu
Apa kamu ingin kehilangannya juga?
Sebuah harapan yang jadi satu-satunya
Segera nyalakan segala delusi dan ilusi bahkan petisi
Dari sini aku akan melihatmu
Mengawasimu
Dan menjagamu dari serangan licin sang iblis peradu
Jangan takut
Percayalah, tak akan ada yang berani menyibak tirai rambutmu
(inilah yang dinamakan inspirasi datang tak permisi, setelah berkutat membaca Klandestin
yang belum berkesudahan. Akhirnya aku putuskan untuk tidur sejenak, menghapus ilusi
dibenak dan meninggikan selimut diantara nyamannya dunia kasur 21 juli 2016)
jang
Mimpikah apa yang kau rindukan?
Barangkali kau mau mengatakan padaku
Bukan, bukan aku hanya ingin tahu
Agar aku bisa menggantikan mimpimu
Tunggu saja ya… sampai berjumpa dialam mimpi
Dunia fana
Segelintang gemintang kejora
Dibaliknya dari langit biru yang lalu
Kelabu juga barangkali
Entahlah, dunia selalu begini
Menampakkan fana yang paling dicari
Padahal jika ini semuanya sebenarnya hanya mimpi
Pasti jadi sia-sia ya?
jang
Lalu diantara mereka banyak yang meratapi dan menyesali
Hanya segelintir menikmati kesenangan
Dan diantara sekelebat kesunyian, mereka bertanya
Binar mata
Coba lihat keatas sana
Gerlap gerlip bintang gemintang menyemarakkan langit hitam
Tercecar ke segala arah
Tanpa kamu sadari satu bintang menari kecil
Diantara kabut tipis
Menuruni langit
Melompat kecil
Dan jatuh pada kedua bola matamu
Nayanika.
(ini malam yang sama 22 juli 2016)
Kutipan doa
Bacalah sebaris doa dari balik saku bajuku
Lihatlah disetiap goresannya
Ditata indah sedemikian rupa
jang
Temukan sebuah cinta didalamnya
Temukan keinginan tulusnya
Temukan harapan manisnya
Temukan segala yang bisa kau temukan
Belenggu Janji
Kita yang terbengkalai karena ketidakpastian
Entah aku yang kurang peduli atau kamu yang sebenarnya ingin lari
Tentang janji dan angan pekat tanpa tuan
Atau tentang kamu dalam kamuflase mencoba angka dua
Padahal kita masih bertitik tiga tak lebih dari seorang pujangga
jang
Tapi kamu yang membuatku terus bertanya segala rupa
Tentang angan dan mimpi yang kau buang dari tingginya pencakar langit
Kemudian kau hempaskan tanpa sebab yang pasti tentang sakit
Dan kau biarkan dia jatuh dan menenggelamkan nestapa
Pada gemuruhnya gejolak dunia yang selalu tersapa
Suara merdumu bahkan jadi candu untuk tetap mendengar puji-puji sucimu
Derap langkahmu yang pasti tak goyang akan batu besar menghalangimu
Matamu tajam dan lembut bersamaan dalam satu tatapan egomu
Lintang yang selalu memancar untuk memahami pendalamanmu akan keyakinanmu dan
kesungguhanmu
jang
Aku ingin temu
Aku ingin kamu
Aku ingin melepas rindu pada malam yang menanti debar
Aku ingin berteriak ayahku pada ketukan pintu kayu yang lama berdebu
Aku menunggu kabar, melemahkan tangisan yang aku tekan dalam kegelisahan paling dalam
dan kamu menunggu apa?
Diamnya aku bukan berarti air mata tak ingin pilu atau senyum yang terbitkan bukan berarti
aku mengabaikan rindu
Lamat-lamat ada yang runtuh
Tatkala rupa yang kurindu sudah jadi tumpukan tanah berbaur bunga kamboja dan mawar
merah
Dan seperti ada yang hilang,
Aku mengeja kata yang pantas aku haturkan, menekan rasa rindu dan nestapa yang ingin
menguar kedalam kungkungan air mata pilu
Dan sekelebat ingat yang ku impikan lebur bersamaan tangisan pecah menguar kedalam
kalbu
Aku tak akan mematikan lilin berjelaga untuk sekedar menghapus lara
Setidaknya ada sebaris memori yang bisa kubagi dengan malam-malam sunyi lainnya
Aku hanya ingin temu
Aku hanya ingin kamu
(ketika rindu semakin menyesakkan, dan sekali lagi aku harus menyemayamkan sabar )
jang
Tatkala kubaca sederet kata menebas raga yang ingin pergi saja
Seketika memori menguar ke permukaan ingatan, berlompatan, bersinggungan, bergerak
cepat sampai tak tahu segala ego yang keluar dari mulutku
Hanya dengan itu, setiap hembus nafasku tak lagi tersendat oleh kerikil tajam menyayat
tersendat kala mengingat
Hanya dengan itu aku bisa menyemayamkan bintang pada langit kita kala malam
Hanya dengan itu aku yang bebal dan kurang ajar menangkap keluh kesahmu, sakit hatimu,
dan lelah jiwamu
Maafkan aku, dari seorang yang tak layak lagi dipandang sebagai anakmu
(segala ego yang kujunjung tinggi, ayahku marah lagi Juli 2016)
Pandanganku kabur dengan air mata, telingaku berdengung menjerit serta merta
Aku hilang kendali dari segala ego yang kujunjung tinggi
Dari bilik kamarku aku menguapi setiap kata yang menguar diudara
Membawa kelebihan karbondioksida sesakkan dada
Aksara maaf terucap jadi candu yang sudah mulai basi katamu
jang
Jadi aku dan hati kecilku
Aku dan buah bibir racunku menyebar ke setiap sisi hatimu
Melebur jadi satu dengan darahmu
Mencekik setiap detik deru nafas yang enggan kau hirup lagi
Perlahan-lahan menjadi tumpukan kenistaan meninggalkan kenangan keindahan
Aku dan buah bibirku yang selalu hilang kendali dari segala tata krama yang kau junjung
tinggi
Harus berapa kali lagi aku mengucap setiap duri, mengasah setiap belati, yang selalu siap
tatkala iblis jadi teman sejati
Setiap kata menguar bak asap mengepul dan berbaur menjadi racun yang siap menggempur
jalinan kasih kita yang teramat kuat dari masa ke masa
Tercecar kemana-mana tak dapat dieja kata
Walau tak ada darah yang mengalir di tubuhku, aku juga ikut hancur tatkala kau merana
meninggalkan ruang yang kita bangun bersama
Aku dan buah bibirku akan jadi abu dan kau tak perlu jadi ragu
Kala gelap
Aku mendekap hampa
Tak ada warna
Paling hitam
Tak ada cahaya
Paling sekelebat mengerjap
Dan aku hanya bersedekap
Diam kau!
Jangan merancau
jang
Diam hoy!
Mulut rombeng
Jangan menyanyi
Sumbang woy sumbang
Memekak tanak sengak
Diam kau atau kugampar!?
Kain Pintal
Benang hitammu mendiamkanku
Pada seluk beluk kau yang mulai melapuk
Digiring dari jarum yang kau ikat melintang
Dan jadilah diantaranya untaian kerinduan
Untaian keterpurukan
jang
Memutar angan belitan benang yang mulai tersisihkan
Kemudian kacau tak menemukan harapan
Maruk
Aku menggulung barisan
Ditempa batu-batu
Diasah logam beradu
Digosok pada dinding melapuk
Dipintal sekalian tumpuk
jang
Junjung tinggi saja setiap kemilau harta
Junjung tinggi saja lisan berbalik nyata
Junjung tinggi saja kedua mata bermuka dua
Buta mata dan aku hanya tertawa
Haha
Jangan salahkan aku jika kau lupa berkaca
Gelap bulat
Aku takut gelap
Seolah dia menelanku bulat-bulat
Aku takut gelap
Mereka melahirkan pikiran yang semakin berserabut kalap
Aku hanya takut gelap
Hingga tak menyadari ada setitik cahaya di sudut tergelap
Dimana aku sekarang ini?
Aku hanya tersesat sesaat
Dan tak akan membiarkan gelap semakin menyesak
(dikamar, saat bosan menunggu ayah,ibu dan adik yang belum menampakkan kakinya
didepan rumah. Sedangkan perutku mulai memberontak ingin diisi. Aku lapar. 13 agustus
2016)
Usia
Disetiap sudut rumahmu
Terpasang lampu-lampu
jang
Balon bundar kau ikutkan juga
Pun dengan kertas warna menempel pada dinding
Putri Dandelion
Semilir angin menyapa
Pada padang rumput dan ilalang-ilalang
Bunga dandelionku bermekaran
Berterbangan, rapuh disapa angin
Terbang ke tempat lain untuk tetap hidup
Tunas yang jatuh jadi tempat untuk terus tumbuh
Segala musim kau sapa tanpa merasa merana
Karena bunga dandelionku hidup dimanapun berada
(harapan 16 Agustus 2016)
jang
di bawah energy panas bumi
aku hidup barangkali
di planet mars yang kau gadang-gadang memiliki kesamaan dengan ibu pertiwi
aku hidup atau mati?
Karena Kamu
Kau berjalan penuh dengan khidmat membelah sunyi sedari aku menunggu dentingan pintu
di seberang mejaku. Menyadarkanku sedari aku duduk menunggu hadir itu dengan segelas
teh yang selalu kau pesan dari dulu.
Beberapa meter di depanku kini lebih jelas memperlihatkan sosokmu. Kacamata yang selalu
bertengger di kedua mata itu, kemeja yang kau gulung hingga sebatas siku, dan beberapa
tumpuk buku dan laptop yang kau jinjing disebelah tanganmu.
Bolehkah aku menyungingkan senyum akan kerja kerasmu? Wajah yang menampilkan
kelelahan diantara kesenangan.
Bolehkah aku menghapus peluh yang berbutir di dahimu? Sekedar menampakkan kepedulian
terhadapmu.
Karena meja yang kau dekati ternyata di sebrang sana. Bukan di depan meja yang tehnya
masih menguarkan kehangatan sedari kau belum teguk barang satu untuk dia yang selalu
ingin aku khususkan.
jang
Jari jemari
Kita berjalan beriringan saling melempar canda. Sejenak kita saling menguatkan pada realita
kehidupan
Saling mengisi, menguar berbagi kasih sayang yang kau sebut persahabatan pada aku yang
meminta lebih mengartikan sang debar
Berbagi bersama untuk saling memberi rasa yang beberapa hilang sedari aku meminta
pertanggungjawaban
Padahal apa yang harus di pertanggungjawabkan jikalau rasa itu hadir karena Tuhan
memberikan anugrah di setiap insan
Dan walaupun pada akhirnya Tuhan tidak berminat membuatmu menarik tanganku dan
menyimpannya dalam genggaman jemarimu. Sang Pembolak-balik Hati mengirim seseorang
yang pantas menggengam jari-jari kecilku
Merdeka dimana?
Diamku tak sepadu emas
Diamku sepadu percikan lumpur di genangan tanah bercampur air liur
jang
Aku bergelung dengan keheningan
Menyimak dedauanan dari cabang-cabang yang bercuatan
Menari-nari kemudian jatuh begitu saja di tanah berbatuan
Apa tidak merasa sakit?
Dihempaskan, dilupakan
Seakan mereka bukan bagian dari kenangan
Assalamualaikum jodoh
Apa yang belum aku ungkapkan tentang dirimu?
Pun dari kesemuamu?
Tidak, sayang
Kamu adalah tujuan kata yang bercampuran
Untuk itulah sekian rasa baru aku harapkan
Sebuah hati berwarna merah jambu yang berpendaran di atas kepalamu
Kemudian kugenggam dalam ringkih jari jemari
Takut jatuh kemudian hilang kembali
jang
Sumpah serapah yang kau agungkan
Seketika aku memilih diam
Daripada terus mengutuk hal-hal yang kau ada-adakan
Kemudian melepas jemari yang tak lagi selaras
Dan disinilah kita berakhir dalam keganjilan
Rancau
Kukira kau lebih dari sekedar fragmen dalam rasa
Kau kikira lebih rumit dari reaksi kimia dan fisika
Kau bintang jatuh dalam pusara tanpa meledak melewati gugusan cinta
Jika diterka hembusan nafasmu saja tak sampai
Jika dirasa gengaman tanganmu saja tak tergapai
Kau tetap jadi sprektrum berbagai warna tanpa cela
Tapi aku tetap tak bisa membaca
Dan menjelma enigma yang terus berteriak meminta tanda tanya
Kau membuatku kacau dan menjadikanmu seribuan koma tanpa titik tiga ataupun dua
Kemudian aku lupa semogakan apa saja
(duh duh…rancau pula tulisanku 31 agustus 2016)
Serangkai Bunga
Ingatkah dulu tiga bunga mawar kau rangkai jadi satu
Merah di tengah, kuning dan putih di sebelah
jang
Dan yang mana putih
Slaapliedje
ah, ia….
bayangan magis lelaki berkacamata yang paling aku rindukan
menyela ruam dan menghela usang
jumpalitan di ruang-ruang
ah, sayang….
lagi kutemukan sosokmu dalam langit-langit kamar
binar mata, senyum tawa semua terasa nyata
merengkuh aku pada dekapan hangat
jang
(pada malam-malam karena bosan, gimana asik? 6 September 2016)
Karena Candu
kini tak ada yang lebih menyesal merindu rengkuhmu
yang sekarang hanya jadi memori lamaku
tercetak pada gulungan film berdebu
kini tak ada lagi selain diorama tentangmu
tetap membeku
sedikit samar, melupa rasa hangat itu
sungguh!
jang
adakah candu yang melebihi kamu?
(dalam malam usai pulang 14-09-2016)
Tidak!
aku tidak mengharapkan berakhir menjadi seorang cinderela dari kalangan papa
atau mengharapkan jadi sumbrada memenangkan hati arjuna
Sebut aku
sebut aku dalam malam berjelaga
dimana tak kau temukan pelita karena bosan
sebut aku selagi masih ada bintang dalam temaram
dimana tak akan kau dapatkan selagi mencari yang lebih terang
sebut aku di tengah rindunya hiruk pikuk pasar
dimana letaknya dekat tapi tak dapat kau raih dengan satu tangan
sebut aku yang telah sudi bahunya dijadikan sandaran
jang
dimana sukmanya dijadikan tujuan pengharapan
segalanya siap diberikan, dipertaruhkan
sebut aku meski di depan kedua matamu banyak yang berlalu lalang
dimana punggung ini yang kerap kuberikan
lihatlah, sebutlah
ialah yang rela berdiri menyambutmu dalam pelukan
jang
dan malam masih berkuasa atas gelapnya semesta
aku sadar, semakin sadar
bahwa gugurnya daun kering di bahuku masih belum hilang
malah semakin banyak, tergeletak di sekitar kaki yang enggan beranjak
dan untuk sepasang sayap yang tergeletak di atas dedaunan, ternyata masih sama
tetap putih namun belum atau enggan menemukan tempat bersandarnya, entahlah
yang pasti belum mampu untuk terbang selagi belum menemukan punggung-punggung yang
siap membawanya berpetualang
(ndy, oktober 2016)
aku tak pernah sampai pada keadaan dimana mataku hanya terpaku padamu seorang
memperhatikan dari kejauhan, tersenyum samar, dan menangis sendirian
apa yang terjadi padaku ini sekian dari rasa yang bercampuran
seperti hujan samar-samar aku kedinginan namun samar-samar aku tak kesepian
namun tak seperti hujan yang bisa kugengam
kamu terlalu jauh, berbalik badan saja enggan
membuatku menyerah pada hasrat ingin memilikimu seorang
aku jatuh cinta padamu
jatuh hati padamu
tanpa titik
tanpa tanya
tanpa henti
(ndy, gurah oktober 2016)
jang
yakin kamu juga begitu. Tapi aku mohon dengan sangat terima kekuranganku sebagaimana
aku akan menerima segala kekuranganmu. Aku yakin tidak ada orang sesempurna itu, pasti
ada kekurangannya. Untuk itu jangan kecewa bila mendapat istri tidak sesuai ekspetasimu.
Cinta I aku apa adanya, bukan ada apanya. Terima aku dengan segala kekuranganku.
Terimakasih telah mau menjadi pendamping hidupku. Mungkin salah satu yang membuatmu
special adalah selain jadi suamiku kamu juga bakalan jadi pacar pertama ku, tapi maaf untuk
cinta pertama bukan kamu hehe. Tapi entah kamu yang sedang berada dimana aku harap
radar ku akan cepat menemukanmu, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga aku tidak akan
berlama-lama memikirkan kamu future husband ku… sampai jumpa di hari pernikahan calon
imamku. I love you…
aku tahu ini tidak ada romantic-romantisnya sama sekali, malah nantinya akan jadi
boomerang buatku. tapi aku tulis ini dengan sepenuh hati ditengah keputusasaan mencarimu
yang tak kunjung kutahu kau berada diujung bumi bagian mana.
Ini bukan fragmen di pagi berembun ataupun analogi dirimu yang masih belum bangun
ini tentang kamu yang sedang menikmati semu
Tentang yang kau anggap merah jambu ternyata hanya abu dan biru
jika ini berawal dari harapanmu, sekarang ia berakhir menjadi boomerang untukmu
Bukan, ini bukan salahmu
Salahkan nafsu yang tak bisa kau control dengan usapan dahiku
Cepatlah sadar, ini semu sayang
Bangunlah dan tundukkan kepalamu hingga ke tanah
Jangan biarkan sang waktu berdenting sendiri, sedangkan kamu acuh tak ingin berlari
Jadikan sang waktu temanmu, bukan sekutu yang berhasil mencuri takdirmu
(ndy, gurah village oktober 2016)
jang
Karena disudut ini aku sudah terjerembap dalam pesonamu
Duhai sudut, harapku ialah kenang yang tak pernah usai menjelang malam hingga malam
berikutnya
Duhai sudut, rasaku ialah datang tanpa enggan masuk lebih dalam
Duhai sudut, pedihku menyamarkan ruang-ruang angan yang tak berkesudahan
Tapi sudut, tega nian kau menghilang tanpa berpamitan
Membawa semua serpihan jiwa-jiwaku yang mulai mendekap di titik jauh dari gengaman
(ndy, gurah desaku yang kucinta oktoober 2016)
Aku tak pernah bosan melihat hujan menampar jalan beraspal dan terotoar
Melihat rintik rintik yang jatuh dari buaian
Ataupun gerimis romantic yang tak bekesudahan
Aku tak bosan
Sebab kini aku tak sendirian, ada kamu dalam genggaman jari-jari yang bertautan
jang
Terbang ke sekian kali mengitari bukit diujung kaki langit
Tiba-tiba datang gemerincik rintik-rintik hujan yang tak asing lagi
Selalu membawa guntur ikut melebur dalam derasnya hujan kala mendung
Namun tak seperti hujan yang kukenal
Derasnya hujan merajam setiap menyentuh kedua sayapku yang mulai rapuh
Di bawah gigilnya angin dan tetesan air di ujung daun
Aku meringkuk pada salah satu cabang pohon untuk berlindung
Tapi lagi-lagi hujan menemukanku dalam kekalutan
Merajamku sekali lagi dengan lebih pedih dari sayatan
Lamat-lamat di bawah gigilnya angin dan tetesan merah di ujung daun
Aku mati dengan kedua sayap patah serta semerbak anyir tercium
Mati dengan harapan yang bahkan belum dimulai tapi akhirnya sudah ada di akhir jurnalku
(ndy, 5 November 2016)
Pada bintang aku bertanya
Berapa malam lagi aku bersua denganmu
Pada mentari aku bertanya
Berapa tetes embun lagi kudengar bisik rindumu
Tanpa sepengetahuanku, bintang dan mentari berbisik bersekutu
Enggan memberi jawab pada tanya yang asa
Kadang aku bertanya untuk apa dirinya berbalik badan dan merengkuh buah hatinya
Sekiranya pelepas dahaga ataukah rindu semata
Kadang aku bertanya untuk apa dirinya tersenyum mengakhiri derita
Sekiranya pelepas duka ataukah sudah lelah semata
Namun berapa kali lagi aku bertanya
Beliau enggan memberi jawaban pada asa
Bersekutu berbisik pada semua orang tuk menjaga lembar kisah di jurnalnya
jang
Terpikirpun sudah di akhir kata, ternyata
Beliau pergi dengan bermiliar cerita
Tanpa sedikitpun kisah dengan buah hatinya
Tapi hatiku tetaplah berteriak, “kenapa?”
Tak sudikah dirinya ku kecup dengan hormat punggung tangannya?
Aku tetaplah buah hatimu yang meminta cinta, ayah.
(ndy, 8 november 2016)
Kala terpikir akan raga yang masih menyilangkan tangan ditempat yang sama
Dan atas jiwa yang masih ragu berkata, “sampai kapan warnamu tetap biru keabu-abuan?”
Tidakkah ingat warna emas kemilauan?
Atau barangkali sudah memuakkan?
Ah, bagaimana dengan warna kemerah-merahan?
Merah jambu tentang cintaku
Merah darah tentang sakitmu
Merah bermagenta tentang rindumu
jang
Kabut kala senja
Seperti dibalut kabut senja
Langkahmu semakin jauh, tak seirama
Lupa akan waktu yang pernah bercerita seperti apakah keakraban kita
Berbagi duka dan tawa, menelusup kedalam jiwa
Katamu kita kawan, namun sekarang enggan membagi kabar
Kawan, kita berhenti. Kita tak lagi bebaur seperti senja
Karena kabutnya menyisakan gelap yang menggulita
Demi
Demi waktu
Yang berjalan semakin semu
Mengungkap tabir
Menjadikan sekutu
Pun menjadikan sosok guru
Demi waktu
Si musuh termanis pengintip nasib
Sahabat manis yang terkejam
Apa lagi yang bisa diungkap?
jang
Selain berbalik menimang apa-apa yang ‘kan dilakukan
Demi waktu
Demi laraku
Demi cahyaku
Wajtu
Yang tersampaikan adalah waktu
Ketika bahkan hanya sunyi yang terdengar
Dari sepermiliyar gerak jarum jam, aku percaya yang fana hanya waktu
Kita yang abadi, benar kata sapardi
Lalu apa tetap kau menunggu sang waktu berbaik hati padamu
Mengabulkan angan dan mimpimu
Seperti ibu peri dalam perahu
Tidakkah yang kau lihat adalah usahamu
Karena yang fana adalah waktu
Yang menghiasi di segala sudut hidupmu
jang
Itu kamu
Karisma merah jambu
jang
Adalah namamu adalah pengaharapanku; priaku
Ada suara-suara
Di balik jalinan kayu, gadis abu-abu mencari tahu
Derit jendela di ujung peraduan
Jangkrik-jangkrik entahkah sengaja mengesekkan kaki dan sayapnya
Desir angin yang mencoba masuk lewat celah kecil
Ataukah nyamuk dengan tidak berdosanya berdesing di samping telinga
Tapi ada satu suara lagi
Suara itu
Nyanyian sendu di dalam rumah wanita yang tak pernah mencicipi teduhnya berumah tangga
jang
Aku tak tahu sampai kapan
Aksara di jurnalku tersimpan
Mungkinkah di terotoar, di jembatan, atau pembungkus dagangan di pasar?
Dan aku tidak ingin membayangkan ada di tempat akhir pembuangan
Aku tak mengerti
Sejak kapan mulutku ini di kunci, lalu tanganku bergerak menyadarkan hati
Padahal aku tahu, tak ada yang bisa dirubah
Sebelum hati mereka mengetuk
Dan tingkah laku mereka menuntut
jang
Mampukah ku redam,
Senyap dalam tangis memilukan
Melumatmu perlahan, menerjang sekali lagi dalam kehampaan
Mampukah ku menghilang,
Hanya dengan sihir avada kadabra
Menghilas habis duka dan lara
Yang kau asingkan, yang kau tinggalkan
Ataukah sejatinya engkaulah salah satu alasan untuk bertahan
jang
Tapi menjadi pasak bumi untuk tetap teguh dan stabil berdiri meski lempengan dalam
tubuhnya berderak sakit.
Berderak sedikit demi sedikit ketika langit bersama bintang saling bersama
Bumi hanya bisa menunggu hujan turun untuk bertegur sapa
Wakut kami bertemu lagi ketika langit menyapa bumi dengan air matanya
Menyampaikan kerinduan dan sapaan yang selama ini hanya bisa melihat bumi terdiam jauh
dengan pasaknya
jang
Tahu-tahu
Di ujung gerimis kulihat angan masih berdiri
Menunjukkanku ada sebuah payung yang melindungi dari gemericik air dari atas langit
Kemudian melambai dengan senang bahwa dia masih kokoh untuk sekedar berdiri
Dan tak akan pernah lelah kalaupun harus berlari
Kau yang tertinggal di singgasananya cinta. Untuk yang terlampau suntuk, mengigau bagai
orang papa. Tuk diubahnya menjadi pujangga merah delima. Siapa?
jang
Biarpun luruh usai menjauh
Bahu yang kau kecup ini masih tangguh
Menantimu dalam doa-doa, dalam suaka ternyaman di singgasana nirwana
Meski terlampau jauh untuk mengartikan debar ini sebagai pelabuh
Namun urung jua mendekat, malah merefleksikan hening yang terus ada
Kepada engkau yang dulu bahunya kujadikan tempat berlabuh
Untuk yang segala tanya dan jawab asa
Untuk yang menanti lewat via manapun
Untuk yang terus minta diterka tanpa ampun
Adakah yang pernah terpikir ketika kau datang dengan senyum terukir
Dengan jas tersampir dan buku-buku masih sama-sama terjalin
Lupa bahwasannya ada putri aurora duduk disana
Mengantongi doa-doa para peri untuk kebahagiaanya
jang
Sedangkan kau masih disana dengan senyum dan jas, serta buku yang masih sama
Melewati putri untuk ketiga kalinya
Melewati takdir yang tercipta untuk dirinya
Engkau dalam manifestasi, menghidupi aku yang membayang senja karena tak ingin malam
menggulita. Engkau piker yang patut diuji, menghambakan diri disudut kota pagi. Lalu
pengandaianmu menuntut agar selalu disini. Menanti senja, kemudian pergi. Mencari fajar,
kemudian lari.
Aku bisu, aku hampa, aku tuli.
Menangispun aku tak mampu untuk bersua dan bersapa sebagaimana dirinya dijadikan
untuknya sebagai pelipur lara yang bila mana dijadikan tempat yang teduh untuk sekedar
minum kopi dan teh Bersama
Begitu pula dengan hadirmu yang ingin kuterima dengan akal sehatku
Tapi entah apa yang menjadikannya masih kelabu dan malu akan hadirmu
Maafkan bila hadirmu belum bisa kuterima dan aku masih berusaha
Maaf bila hadirmu belum membuatku jatuh cinta
Dan maaf untuk segalanya
Cinta bisa hadir pada dua insan yang telah diperuntukkan oleh-Nya
Dan cinta juga bisa hilang pada satu hal pemecah olehnya
Tapi cinta butuh dibangun kokoh oleh keduanya
Sehingga cinta bisa bermakna suci dan menginginkan surga-Nya
jang
Maaf sekali aku belum cinta dan masih sangat sulit untuk menerimamu sebagai bagian dari
hidupku. aku berusaha untuk mencintaimu menerimamu. Aku tahu kamu adalah orang baik.
Dan aku sulit untuk bisa memasukkan kebaikanmu dalam hatiku. Karena sesungguhnya aku
masih suka dengan yang lain.
Tapi aku ingin melupakannya dan menjadikan dirimu seutuhnya. Tapi aku tidak mengerti
mengapa ini sulit sekali. Dan semakin aku memikirkannya semakin pula entah apa yang aku
inginkan sebenarnya. Aku tahu dengan sangat aku belum bisa mengerti diriku sepenuhnya.
Meskipun beberapa kali aku mengerti akan diriku sendiri tapi aku masih takut untuk
mengambil langkah selanjutnya. Takut karena langkah itu tidak pasti kemana arahnya. Takut
karena langkah itu belum ada jawabnya.
jang