Anda di halaman 1dari 58

Kumpulan puisi dalam bayangan utopis tak terdefinisi setelah mengalami retorika

disana-sini. Jangan sekali-kali dibaca. Ini rahasia.

Berikan
Kutitipkan tabik rindu untuknya
Katakan ini dari pelerai demam seorang
Yang membawa asa tak kunjung reda
Padahal bersisian di pias jalan
Bertandang tak lekas datang

Hingga pelerai demam ini harus menangis atau hanya meringis?


Setelah tangkap embaran duka
Disini aku tumpu badan untuk tetap menjulang
Menatap sosok tak akan pernah singgah
Namun belaka sudah habis peluang

Tidak tersua sapa


Hanya dia disana
sekalian segelintir hujan
Yang berkenan jatuh
Ke tanah gundukan
Berikan
(setelah mengimbangi makam bapakku… ku harap kita kan bertemu suatu saat)

Hanya Ingin Tahu


Menelisik hujan di awan kelabu
Tak ada jawaban meragu
Merekah indah, bertahan dan berjatuhan

Aku hanya ingin tahu


Siapa matahari sebenarnya
Bukan kenapa? hilang kemana?
Aku hanya ingin tahu

jang
Setidaknya rindu tak menentu
Bukan menanti, hilang ke hati

Aku hanya ingin tahu


Siapakah ayahku
(mengenang pikiran yang berhasil menyelinap diantara implus-implus dan berjuta saraf
dunia yang begitu masih muda)

Jika diputar lagi


Jika semesta mau mengabulkan
Waktu mempersilahkanku kembali berputar
Lalu membawa angin menghangatkan
Membawa sejuta kerinduan mendalam

Jangan pernah berhenti lagi


Hanya menatap tak mau mendekat
hanya kelabu tak mau biru
hanya membisu tak mau bertabu
hanya meredup tak mau berterang

tolong
jika waktu diputar
walau hanya di alam mimpiku
setidaknya temui aku sekali
aku rindu
(pernah satu malam aku ingin memimpikannya)

Gelap
Meringkih dalam kegelapan malam
Merengkuh dalamnya hitam
Tak jua mendapatkan terang
Kelabu sembunyikan matahari
Berdiri lalu roboh lagi

jang
Berulang kembali
Berdiri lalu roboh lagi
(bayangan agus saat masa keterpurukannya, sudahlah tak perlu dibahas)

Tertambat
Menyecap indah untaian katamu
Mendera rindu berkelu-kelu
Mendera hati tak mau pergi

Aku tertambat
Walau bumi terus berotasi, waktuku berhenti
Hanya di sini

Aku berdekap
Menambatkan hati pada indahnya mentari
Aku hanya tak mau pergi
(setelah mendapat jawaban dari segala tanya hati setelah beberapa kali tak ingin pergi)

Setidaknya
Bukan hanya hitam putih disini
Bukan hanya lagu lalu diputar kembali
Bukan hanya berdiri disini sendiri

Aku tak mau hitam putih disini


Aku tak mau lagu lalu diputar kembali
Aku tak mau berdiri disini sendiri

Aku hanya mau bewarna hati


Aku hanya mau lagu baru saja
Aku hanya mau berdiri dengannya

Setidaknya ada warna


Tak berpendar walau tercecar

jang
Tak bergundah walau tersisihkan

Setidaknya ada lagu baru


Melantunkan sejuta kasih rindu
Bersemayam hati, mengusir kelabu

Setidaknya tak sendiri


Berdiri dijurang tepi,
Berdiri di batas mimpi
(harapanku yang hanya lalu, ingin bertemu dengan ayahku. Andai saja takdir tak
semenyakitkan ini Allah)

Mesir
Ya mesir,
Gurun pasir,
Jauh mendera waktu lebam
Hanya ada debu tepis bertipis
Hanya bias matahari datang menyemarakkan magis
Hanya mereka bertahan
Aku juga
Kamu juga
Kita sama
Ya, mesir
(harapan kita yang kuanggap sama,sebenarnya memaksa)

Hasta pengasingan
Ya mesir
Kakimu berderap di gurun pasir,
Dimana hatimu memantapkan jalan diri
Mengisi gelas yang tak akan pernah puas terisi

Lalu kemanakah kamu berhenti?


Kupertanyakan ragu apa akan ada jawaban yang jelas
Lalu bolehkah aku disini menanti?

jang
Dariku yang terpisah ribuan hasta pengasingan
(dia pergi ke mesir untuk menuntut ilmu disana)

Duhai tuan sajak biru


Duhai tuan sajak biru
Menemukanmu adalah rima
Menelusuri tiap baris larik ibu
Terkadang samar seperti prosa
Tergoreskan dari garis tinta

Duhai tuan sajak biru


Ini rangkaian kata rindu jadi duka
Lalu kutitipkan pada hamparan chrysan ambigu
Sebab dia membawamu

Karena sungguh,
Duhai tuan sajak biru…
Untukmu disetiap lesap doaku
Bahagiamu disetiap pintaku

Duhai biru,
Sajak ambigu…
(Sudah berakhir dibulan Mei, waktunya habis didunia)

Kaca retak
Kepada kaca yang ingin retak
seringaimu menajamkan sudut-sudut di depan
mengurung sebuah kepastian yang ragu kau pastikan
ini apa?

selain sebinar cahaya kecil yang kau temukan dalam sela-sela genting
kemudian berhamburan, berlarian, jumpalitan, melengking, menjinjing
menubruk dan akhirnya jatuh meninggalkan sang kaca
tapi kau tak tahu ada satu hal yang meyebabkan dia tetap seperti itu

jang
menjelma bayang-bayangmu yang tak lagi mengingat rupa
kaula muda

Angin benar
Saat angin menyapa lembut
Daun-daun itu mengajaknya menari
Diiringi music gemericik air disungai itu

Saat mereka lelah,


Memasrahkan dirinya
Dibawa angin kemudian dihempaskan begitu saja
Ketanah jua
Dan ternyata angin benar

Bagaimana?
Bagaimana caranya berhenti?
Jika kamu mengajarkanku berlari
Bagaimana caranya sendiri?
Jika kamu mengajarkanku bersama
Bagimana caranya melupakan?
Jika kamu memberi kehangatan

Jangan pergi
Jangan buatku berhenti
Jangan lupakan
Jangan buatku terus mengingatkan
Biarkanlah seperti ini
Bersama alam yang ingin bergejolak

Pulang kembali
Dan saat matahari merah jambu
Terlukis diatas langit biru

jang
Menengelamkan seluruh resah dan ragu
Bersama angin yang ikut membawa hidup
Bersama hujan yang menyapu tiap buliran tangis
Menjawab doa para musafir

Bersamamu
Bersama kita
Yang selalu disini menanti matahari kembali
Pulang kembali
(harapan beberapa orang menunggu kepulangan salah satu keluarga yang memilih mencari
jalan di Malaysia)

Teruntuk
Dan untuk ibu
Yang telah hadir kala teduh hujan dibulan september
Untukmu empat dasawarsa lebih bersama hujan yang selalu mendera matahari
Dan untuk kita yang tak tepisah dari ribuan tangan-tangan kehangatan lainya
Dan untuk diriku yang beruntung memilikimu

Karena kita terikat pada satu DNA yang sama


Karena aku adalah buah hatimu
Karena sebagian hatimu terisi untukku

Ibu…
Maafkan daku
Yang tak pernah buatmu tersenyum bangga atas keberhasilanku
Sudah 20 tahun lebih, keberhasilan apa yang aku buat?
Bahkan berdiri sendiri aku tak mampu
Maafkan aku, buah hati yang selalu mengecewakanmu
(akan aku berikan saat ulang tahunya 2016)

Gamang
Terkadang kau hadir gamang sekali

jang
Terkadang samar jadi puisi rindu
Terkadang samar jadi puisi kelabu

Puisi mana yang kau haturkan untukku


Disaat semua wanita, perlakukan sama sepertiku
Setidaknya jangan jadikan aku kesekian ribu wanitamu
Jadi tetapkan jalanmu, karena aku akan berkarat jika harus menunggu
(ya temanku, yang sedikit aneh saat bersamaku setelah 2 tahun lamanya bersama mencari
ilmu, baru kali ini sedekat ini dan seaneh ini)

Kamu lagi
Detik sudah terlewat
Menit terasa hilang lelah
Dan jam pun tak mau kalah
Kenapa alam mempermainkannya seperti ini
Jika waktu terus berputar disitu, disitu lagi
Kamu, kamu, dan kamu lagi

Hilang
Dan saat langit semakin menghitam
Dan angin bersemayam
Dan kunang-kunang berterbaran
Membawa secerah harapan dan angan
Membawa hati yang sudah tersisihkan
Membawa jiwa yang tak pernah tenang
Membawa semua kegundahan
Semua
Dan terbang
Hilang

Jalan
Dan alam menguap
Lelah

jang
tik
tok
tik
tok

Waktu gulir cepat


Berlomba menjadi tercepat
Padahal matahari menyonsong esok
Dan aku masih berkutat
Dengan huruf dan angka-angka
Bersama gelas putih dimeja
Dan bersama hewan malam lainnya
Jari-jariku tak bisa berhenti
Walau mataku ingin menutup saja

Yah…
Semoga ini jalannya
(karena jenuh terhadap tumpukan deretan huruf yang selalu menari-nari di kepalaku karena
tuntutan ilmu Kediri, mei- juni 2016)

Resah
Nuri mencicit membagi buta
Awan berarak menjulang dunia
Embun basah ikut disana
Saat terbias matahari dari ufuk timur
Menyelesaikan satu waktu
Tapi aku tetap disini
Membawa angan dan keraguan
(saat bimbang harus mengambil keputusan yang mana, kuliah dimana. Padahal sudah mulai
habis waktu)

Dia Hitam
Jatuh kelam berpendar

jang
Dan pekat datang meradang
Bukan takut akan kelam
Tapi takut karena diam
Diam dalam gelap hati dan jiwa
Menolak Allah memberikan cahaya kasihNya
Dan hitam membisu
Dia hanya begitu
(karena terlalu jatuh kedalam-dalamnya cinta… agus jadi begini)

Rasa
Setiap seulas senyum terbias dari matahari
Bersemayam merah jingga malu-malu
Bumi masih berotasi tapi waktuku terhenti
Aku hanya terbelenggu
Pada poros bumi
Yang memijat pelan nadir jiwa
Yang membawa rasa kian berkelana

Dan angin pelan mendesir


Menghangatkan
Dengan ragu kutanyakan pada diri
Mungkin rangsang adalah permulaan
Bahwa yang ikut tak mudah terbaca
Seperti pantulan kaca kabur mengeja
(saat rasa ini pertama kali muncul tanpa permisi, membawa hati ini selalu berbunga-
bunga… poros dunia ku adalah dia)

Dan Dia Juaranya


Dan akar mencoba menguatkan
Dan batang menegakkan pendirian
Dan dahan memperbanyak bait hidup
Dan daun tumbuh sungguh
Dan bunga mempercantik hatinya
Dan matahari mencoba membantunya

jang
Dan dia hidup besar
Menjadi pohon gagah membawa buah
Dan dia punya bangga
Dan dia juaranya

Pejuang
Tetesan darah merah pekat jatuh bersama seluruh angan
Dari langit biru mengantungkan awan putih bersih membawa harapan
dibiaskan dari mentari
Kemudian mereka jatuh pada kelopak melati harum
Dan semua mata melihatnya
Sebagai tanda keberanian mereka
Sebagai tanda bahwa kita merdeka

Derik acak bangku-bangku


Pada kursi dan papan tulis
Yang kuminta segenggam kapur putih sepih’
Dan kepala-kepala haus buih kasih
Supaya sahaya tidak menyesal
Meminta bangku-bangku
Dan meminta kamu-kamu
(ppl di sdn ngletih 2 mei 2016 )

Dia adalah dia


Kala degub jantung memacu
Aku rasa hadir dia
Dia yang bersinar disana
Punya kharisma entah apa

Mula kupikirkan mungkin hanya setitik kagum saja

jang
Namun hati tetap berkait hidup
Dan implus berbisik
Ikut menelisik

Dia
Yang berhasil membuatku bertanya
Kemana larinya otakku saat melihatnya
Dia siapa?
Aku kenapa?
(mengenang masa SMA dikelas 10 … Kediri 10 April 2016)

Jangan pergi
Kala sepi membatu
Bahkan bulan ikut mengadu
Dan bahkan bintang tak ingin mengkristal di sergap langit hitam
Hanya ingin melancang

Pada angkasa raya yang sedang berkonspirasi


Yang membawa benang kehidupan
Bersama derap langkah kaki yang tak lelah berlari
Mencari jati pula bukan ilusi
Hingga waktu habis dicuri

Dia pergi
Pulang kepada Ilahi
Meninggalkan yang menanti hari
Dia telah pergi
Pergi
Pergi
Pergi
Jangan pergi

jang
(tanpa kenangan setelah menatap foto usangmu. Andai saja garis ini tak sebegitu
menyakitkan hati… Kediri, 20 Juni 2016)

Adikku
Dan langit terbesit awan hitam
Yang menggantung disetiap sudutnya
Mengkristal dalam mendung waktu senja datang
Bahkan sapuan angin ikut tak permisi
Ikut menyambut tangisan anak adam
Yang lahir dari rahim ibu sayang
Yang lama ditunggu datang
Kala si kecil mulai mencari ibu
Haru pilu menyergap kalbu
Aku bergumam senang
Dia adikku
(detik-detik adikku lahir… 18 April 2010)

Entah
Entah aku hanya bisa merasa nyaman
Bukan merasa bergetar
Mungkin aku masih tertinggal gurun pasir
Padahal usai usahaku lari dari pelesir
Tapi hati tak ingin bedesir
Entah aku hanya bisa merasa nyaman
Mungkin aku belum bisa merasakan
Waktu kan menjawabnya
(setelah dia membuatku baper… 8 Mei 2016)

Bisakah dirimu menanti


Meniti tiap langkah yang berhenti

jang
Mengais rezeki tiap jari
Berharap hari pergi meninggalkan waktu lebam
Dan yang menghempas tanah dari peraduan
Bertandang pada hempasan angin meradang kehilangan
Untukmu surga yang kurindukan

Seribu langkah
Dan demi masa indah datang
Bukan hanya angan tapi kenyataan
Aku meniti kehidupan dengan senang
Melangkah penuh harap tanpa penat mencari diri
Dalam kehidupan fana hanya sekali

Bahagia yang kumimpi


Hingga bisa membawamu berlari bersama menggengam hari
Dan dengan mudah bisa berbagi
Kehangatan dan kesenangan
Dan keikhlasan jiwa
Hingga seulas senyum terbayang dibenak hati

Untukmu segala yang kumimpi


Dan untuk kita yang selalu bersama hingga nanti
Seribu langkah segengam arah
Jauh esok merajut hidup
Janji
(janjiku pada keluarga tercintaku untuk terus berjuang dalam menjalani hidup.. Kediri 19
Juni 2016)

Dear My Future Husband


Untuk kamu yang berbagi benang merah yang sama denganku
Mungkin kamulah jawab dari semua tanya, genap dari segala ganjil.

jang
Namun ada tidaknya kamu didunia sebenarnya bukan masalah untukku.
Karena kupikir meski tuhan menjanjikan bahwa wanita baik untuk laki-laki yang baik dan
sebaliknya.
Dia tidak pernah berjanji bahwa manusia sudah pasti menemukan jodohnya dialam ini. Entah
apa aku benar akan bertemu didunia ini atau justru di alam lain, itu bukan problema.
Aku hanya percaya bahwa kamu ada entah dikehidupan yang mana.
Kamu bisa jadi sang inversi lateralku yang ketika kukenali aku bagai berkaca diri
Kamu manifestasi keseimbangan untukku agar merasa utuh
Kamu ada dan aku percaya
Dan itu sudah cukup

Aku
Aku bagaikan batu yang berusaha untuk menggapai langit.
Kau pasti akan langsung mengerti hal ini.
Aku sudah berusaha untuk menggapai sesuatu yang terlalu tinggi.
Sementara titik tertinggi yang paling bisa ku capai hanyalah puncak kepalaku sendiri
Sekarang kutanya lagi kenapa cinta selalu berbentuk hati? kenapa bukan segitiga? Atau
persegi atau kubus atau tabung atau mungkin kerucut?
Kadang aku berpikir bisakah dirinya menerima sebentuk cinta yang lain? aku ingin
mengiriminya sebuah pesan tanpa harus berbentuk hati
Karena rasa getar muncul terhadapnya berbentuk seperti lingkaran, tak pernah memiliki
ujung.
Tiada batas.
Dan lagipula aku hanyalah sebuah titik dalam satu buku kehidupannya.
Jadi walaupun dia telah melupakan bagimana rupaku, walau dia tidak mengingat siapa
namaku, aku akan tetap hadir, walau hanya sebuah titik.
Dan itu sudah cukup

Dia gadis manis berbaju merah


Menenggok dari jendela kaca
Melihat hidup yang terasa asing baginya
Ingin dia lari dari mimpi entah buruk atau baik

jang
Tapi yang dia tahu satu jam lalu
Ini permulaan yang buruk
Hingga ia memilih tetap bersemayam pada kokohnya dinding
Hangatnya atap dan hembusan angin yang lewat melalui celah kecil
Dan kembali dia menutup jendelanya

Tiada Batas
Jariku menari-nari pada kertas putih
Bersama tinta hitam, kupercayakan hati yang mendamba kasih
Kutulis tanpa henti meringis
Hingga setetes air mata ikut membawa rasa
Meninggalkan jejak basah pada deretan huruf-huruf asmara
Dan akhirnya aku tak tahu harus berhenti dimana
Karena yang kau ajarkan hanya bagaimana caranya berlari dan berlari
Seperti bumi yang tak tahu kapan dia berhenti berotasi

Untukmu kupersembahkan terpautnya hati


Karena rasa getar memiliki arti seperti lingkaran tak bertepi
Karena yang ku tahu cintaku tak ada ujung
Tiada batas

Untukmu kupersembahkan terpautnya hati


(Untuknya karena tak bisa berpaling setelah 2 tahun lamanya… dia memang sesuatu.ugh…
ugh dan aku jadi wow..wow 23 Juni 2016)

Konsilasi hujan
Kelabu itu mengikat semua awan putih disana
Mengajak semua yang ingin berpegangan tangan
Hingga semuanya jenuh
Pada kata manis tak berarti
Dan akhirnya melepaskan gengaman tangannya
Dan jatuh pada tanah bumi

jang
Yang dia tahu ia tidak boleh menyia-nyiakan waktu berharganya
Pria kecil berkacamata itu duduk bersimpuh pada meja belajarnya
Melihat seluruh raya dibalik kacamatanya dan bukunya
Ditemani hangatnya lampu temaram dan segelas susu coklat
Ia percaya bahwa buku adalah jendela dunia
Hingga mereka lupa ada hal yang tidak dapat dia dapatkan dibalik tumpukan tulisan manusia
Dia tahu konsep manusia itu makhluk social
Tapi ia merasa social itu manusia yang haus akan saling membutuhkan
Tidak lebih dan tidak kurang
Semuanya saling menguntungkan
(entah kenapa dapat ilham secara tiba-tiba… 23 Juni 2016)

Serindu sendu
Serindu sendu menyapu
Kubiarkan melabuh di lubuk
Tak ku dapatkan seutas cinta
Dengan tulus menyerta

Serindu sendu mengadu


Aku mencinta sejak dulu
Dari balik jendela kaca kelabu
Namun dia bukan itu semua hanya semu
Pergi kepeluk yang kau cinta
Serindu sendu yang lalu
Kubiarkan dahan yang mulai rapuh
Tak dapatkah kau berikan barang sepucuk?
Serindu rinduku sendu aku mau kamu
(mendapat inspirasi dari seorang yang dinanti… 24 Juni 2016)

Nadir pelana cinta


Merpati melengkung di lembah nirwala
Melewati netra indah bernama pelangi senja

jang
Yang datang usai hujan mendera

Seperti mimpi
Memang ini hanya ilusi usai bermimpi
Nyatanya hanya nampak abu dan hujan
Berpendar terpecah membentuk keterpurukan
Dan batas meridian jelas hilang

Akhirnya sanda sadar


Terpautnya hati sudah berada pada ujung nadir
Tak tergapai
Cinta sanda sudah terlalu jatuh kedalam pusara gravitasi sinar rembulan
Artinya sanda sudah kalah sejak awal
Karna tak kuasa berpaling
Dari rembulan yang selalu tercermin kala gelap mendera malam
Apakah ini akhir?
Atau sebenarnya tak ada awal dari kita?
(setelah sadar dia memproklamasikan cintanya pada wanita lain, apakah ini akhir?... Kediri,
entah tanggal berapa, sanda tidak ingin mengingatnya)

Aku bagai abu yang lewat


Dibawa oleh bayu sendu teramat
Aku bagaikan iringan awan ,
Bergerak pelan tak diperhatikan
Aku bagai bumi pada matahari
Mengitarimu tak seorang diri
Dan, dia bagai hujan dibulan juni
Telah dinanti dan dirindui

Hamba datang untuk menghibur dikau


Tak perlulah kau tangisi macam dia
Dirinya pastilah akan terkena kutukan yang mematikan.
Akan kuberikan dia matra avada kedavra

jang
Komperatif semu
Mungkin ujar ku seperti kapas
Kompelatif basi jemu datang layaknya kepinjal
Jangan salahkan aku tak mau tandang
Tapi jangan salahkan dia karena berterang
Sudah buat kata lempar semrawut pikir

Komperatif konon, kini dan kelak


Lebih berorientasi pada konon layak
Tapi aku menindih pada kini dan kelak
Lalu apa kuasa disatukan?
Komperatif semu biarlah berlalu saja
(karena ada melankonis dalam hidup saat ingin berkunjung… 25 Juni 2016)

Padang pandang
Bukanlah aku inginkan dari lautan
Yang terbentang dari timur ke barat
Sejauh mana pandang tak dapat
Karena dipandang saat padangpun masih ambigu
Karena seperti ujarmu
Aku belum siap
Dalam kita masih ada sekat
(cerita teman dengan kekasihnya...sungguh penuh drama 26 Juni 2016)

Cinta adalah dawaimu terlihat sama


Namun hanya sang istimewa yang mampu mengenali batasannya
Dan kau hanya memilih dua dari empat dawai yang kau punya untuk bisa kau bunyikan
secara bersamaan

jang
Karena cukup hanya ada dua tubuh yang menjalin indahnya satu harmoni
Aku dan kamu

Melupa rasa
Dunia dengungku menjerit
Ketika bahkan sepi hanya itu yang kudengar
Bahkan ingatan hanyalah pantomime

Lalu ada apa dengan masa itu?


Ketika sorak penikmat drama enggan beranjak
Mengikat pada kursi penonton

Lalu ada apa denganku?


Yang berusaha ingin tahu darimana datangnya sandaranku.
(hanya ingin menulis puisi seperti dalam drama)

Lacuna dan Ayah


Bolehkah aku menyalahi takdir?
Lalu bagaimana aku harus tetap berjalan
Jika lacuna terus berdiam
Hingga keheningan mencipta kesakitan
Karena terciptanya bukan tanpa sebab
Beberapa mencoba masuk melalui sela
Tapi citadel sudahku bangun kokoh
Hingga sendi hanya ada padamu

Ayah
Aku lelah
Dengan semua rasa rindu yang ingin menyeruak
Tertahan dalam kungkungan air mata ibu
Dan fotomu menjadi saksi diamnya ujung nadiku
(mengutarakan kegundahan jiwa yang telah membusuk dalam dada… 7 juli 2016)

jang
Dulu dan sekarang
Dulu semua anak berbangga menunjukkan ayahnya pada dunia
Dulu aku hanya menganga melihat perlakuan manis ayah mereka
Dulu aku ingin seperti mereka
Dulu aku lalu bertanya kalau mereka punya ayah, lalu dimana ayahku berada?
Dulu aku menanyakan pada ibu
Dulu ibuku hanya tersenyum melihatku
Dulu dua kata yang tak ingin kudengar dari semua ujar ibu menguar begitu saja ditelingaku
Dulu perkataannya jadi candu bagiku
Dulu aku bahkan tak tahu kehilangan itu apa?

Dulu dan sekarang aku tak tahu bagaimana hangatnya pelukan ayah
Dulu dan sekarang aku tak pernah mendengar suara tawa menggema dalam dada
Dulu dan sekarang aku tak pernah melihat berbagai ekspresi dari matanya
Dulu dan sekarang
Dulu dan sekarang aku hanya ingin bertemu dengannya
(ditengah malam ditemani selimut dan kapuk…aku merenung lagi tentang ayahku…7 juli
2016)

Duduk sebentar, memahami makna


Yang tercecar dalam neuron sejuta
Mencari teka-teki dalam sajak-sajak serupawan dia

Ketika hujan siapa tidak yang tahu?


Pemandangan dibalik kaca yang terkesat kayu-kayu
Ketika segelintir rintik mencoba membaur dalam tanah
Gelitik-gelitiknya menyuarakan kedatangan berkah
Gemericik saling beradu pada atap dan kaca jendela
Dan langkahnya semakin terbirit-birit berlomba jejak dalam sejuta butir rahmat
Aromanya tetap tinggal meski wujudnya tak lagi terlihat jelas
Hingga dingin mendamba indera

jang
Katanya ini rumah
Apa itu rumah?
Jika rumah mengengkang penghuni dari segala kearifan dunia
Apa itu rumah?
Berdinding tebal tapi tak beratap
Yang kutahu rumah memahamiku
Dari segala sisi tembok tebal dan atap yang menjulang
Yang kutahu rumah menjagaku
Dari segala kefanaan dunia
Lalu apa ini rumah?
(teringat mbak nani… gurah, 11 juli 2016)

Sekat kayu
Siapa yang tahu dibalik tebalnya sekat kayu?
Dibaliknya sejuta mimpi dan nyata berbaur jadi satu
Semuanya samar, kabur, taksa
Tak tahu mana yang sudah jadi masa lalu
Semuanya sama
Tentang dia

Yang membawa kebimbangan menyeruak kian tajam


Membelah masa
Dan intusi berbicara tanpa tahu arah mana
Hingga kesakitan itu makin nyata
Menggerogotinya dari dalam jiwa
Dan duri jadi selimut paling hangat untuknya
(juli 2016 aku lupa tanggalnya)

Nyanyian ragu

jang
Aku selalu merasa berada ditempat kelabu
Seakan tak menyadari ada kemilau diantaranya
Terlalu sibuk meratapi
Menyalah-nyalahi yang kuimpikan sendiri
Bodoh memang
Hanya diam, seolah tak ada harapan
Melewati kesempatan tiap kesempatan
Kerena terlalu takut mencoba keperuntungan
Siapapunlah bantu aku keluar dari keterpurukan
(13 juli 2016)

Pelindung
Berdiamlah diantara dinding gemuruh api
Menyala merah biru, mejilat-jilat kerapuhanmu
Membakar seluruh keteguhanmu
Kemudian tersisa harapan itu
Apa kamu ingin kehilangannya juga?
Sebuah harapan yang jadi satu-satunya
Segera nyalakan segala delusi dan ilusi bahkan petisi
Dari sini aku akan melihatmu
Mengawasimu
Dan menjagamu dari serangan licin sang iblis peradu
Jangan takut
Percayalah, tak akan ada yang berani menyibak tirai rambutmu
(inilah yang dinamakan inspirasi datang tak permisi, setelah berkutat membaca Klandestin
yang belum berkesudahan. Akhirnya aku putuskan untuk tidur sejenak, menghapus ilusi
dibenak dan meninggikan selimut diantara nyamannya dunia kasur 21 juli 2016)

Kubiarkan kau menguap bak asap


Menghilang ditelan cahaya pertama musim panas
Agar lepas segala pilu dan nestapa
Yang merajam kita berdua
Selamat malam

jang
Mimpikah apa yang kau rindukan?
Barangkali kau mau mengatakan padaku
Bukan, bukan aku hanya ingin tahu
Agar aku bisa menggantikan mimpimu
Tunggu saja ya… sampai berjumpa dialam mimpi

Langit hingga tanah


Dimana aku akan meninggikan langit?
Jika tak ada tanah yang mau tapaki
Dimana lagi aku bisa membangun nasib?
Jika tak ada yang mengakui eksistensiku

Kemana lagi aku harus pergi


Setelah keluar dari jeruji besi
Wah ini penolakan yang sangat keji barangkali
Tak adakah kesempatan kedua untukku?
Sekedar menebus segala carut marutku
Yang lalu hanya kekhilafanku dan obsesiku serta nafsu tak terkontrolku

Oh wahai para pendiri surga-Nya


Aku juga mau jadi bagian itu
(wehh… puisi apaan nih… barangkali buat semua orang yang habis keluar dari bui, semoga
sadar ya? Amiin 22 juli 2016)

Dunia fana
Segelintang gemintang kejora
Dibaliknya dari langit biru yang lalu
Kelabu juga barangkali
Entahlah, dunia selalu begini
Menampakkan fana yang paling dicari
Padahal jika ini semuanya sebenarnya hanya mimpi
Pasti jadi sia-sia ya?

jang
Lalu diantara mereka banyak yang meratapi dan menyesali
Hanya segelintir menikmati kesenangan
Dan diantara sekelebat kesunyian, mereka bertanya

Hidup, lalu untuk apa kamu hidup?


(sehabis kuguyur rambut sepinggangku, aroma shampo masih menguar dengan jelas
merasuki penciumanku hingga meresap keotakku, dan memberikan respon yang bagus untuk
membuat satu buah puisi lainnya 22 juli 2016 tentu saja dirumahku)

Binar mata
Coba lihat keatas sana
Gerlap gerlip bintang gemintang menyemarakkan langit hitam
Tercecar ke segala arah
Tanpa kamu sadari satu bintang menari kecil
Diantara kabut tipis
Menuruni langit
Melompat kecil
Dan jatuh pada kedua bola matamu
Nayanika.
(ini malam yang sama 22 juli 2016)

Kutipan doa
Bacalah sebaris doa dari balik saku bajuku
Lihatlah disetiap goresannya
Ditata indah sedemikian rupa

Setiap kata dan tinta yang tergores pena


Ditiupkan ruh dari keikhlasan jiwa

Bacalah, nikmatilah sejenak kata demi kata

jang
Temukan sebuah cinta didalamnya
Temukan keinginan tulusnya
Temukan harapan manisnya
Temukan segala yang bisa kau temukan

Jangan pernah behenti sekedar mencari


Didalamnya sudah ada janji
Temukan dan terbitkan senyum terindahmu

Dan tutuplah dengan Amiin Ya Robbal Alamiin


(dalam malam-malam yang lainnya 22 juli 2016)

Belenggu Janji
Kita yang terbengkalai karena ketidakpastian
Entah aku yang kurang peduli atau kamu yang sebenarnya ingin lari
Tentang janji dan angan pekat tanpa tuan
Atau tentang kamu dalam kamuflase mencoba angka dua
Padahal kita masih bertitik tiga tak lebih dari seorang pujangga

Berpuluh puisi jadi candu tanpa nyawa


Membiarkan tetap ada melawan doktrin bahwa kita akan bahagia
Nyatanya setiap detik jadi enigma yang tercecar ke segala penjuru logika
Melawan setiap rantai yang berserakan merupa nafas tersenggal berteriak lantang

Jika dan hanya jika ungkapmu hanya dibibir saja


Melupalah segera
Aku ingin ikut lenyap bersama bayangan yang tak lagi terbaca
Terseret nun jauh kemudian hilang disapa gelap gulita
(diantara kabut tipis drama tv 23 juli 2016)

Akhir Mimpi dan Penantian


Aku yang menepi dari setiap mimpi
Untuk sekedar berkelakar mencari yang pasti
Bukan maksud meninggikan selera

jang
Tapi kamu yang membuatku terus bertanya segala rupa
Tentang angan dan mimpi yang kau buang dari tingginya pencakar langit
Kemudian kau hempaskan tanpa sebab yang pasti tentang sakit
Dan kau biarkan dia jatuh dan menenggelamkan nestapa
Pada gemuruhnya gejolak dunia yang selalu tersapa

Pada saya dan mereka


Dan pada kita semua yang berjaga dari gelapnya malam dan terangnya siang
Dan kamu masih saja berpura-pura diam

Tuan, apa lagi yang harus aku semogakan?


(oke, sepertinya aku sedang berkhayal lagi hehe 23 Juli 2016)

Memori dermaga dan pantai salah


Memori tentangmu menguar begitu saja tak kala kulihat lelaki berkacamata
Duduk bersimpuh mengeja kata dalam bait puisi
Bergerak mencari tempat ternyaman yang kau sebut ‘Nyai’
Lalu pesona dan kharismamu tak bisa kupandang lalu
Memaksaku tunduk pada bodohnya hati yang membuatnya takluk

Suara merdumu bahkan jadi candu untuk tetap mendengar puji-puji sucimu
Derap langkahmu yang pasti tak goyang akan batu besar menghalangimu
Matamu tajam dan lembut bersamaan dalam satu tatapan egomu
Lintang yang selalu memancar untuk memahami pendalamanmu akan keyakinanmu dan
kesungguhanmu

Aku ingat semuanya


Dari waktu yang kucuri untuk sekedar menekuri setiap jengkal wajahmu yang jadi anestesi
Mengartikan debar dan menyemayamkan sabar
Lalu apa daya kuangkat jangkar yang kulepas pada dermaga dan pantai yang salah

jang
Aku ingin temu
Aku ingin kamu
Aku ingin melepas rindu pada malam yang menanti debar
Aku ingin berteriak ayahku pada ketukan pintu kayu yang lama berdebu
Aku menunggu kabar, melemahkan tangisan yang aku tekan dalam kegelisahan paling dalam
dan kamu menunggu apa?

Diamnya aku bukan berarti air mata tak ingin pilu atau senyum yang terbitkan bukan berarti
aku mengabaikan rindu
Lamat-lamat ada yang runtuh
Tatkala rupa yang kurindu sudah jadi tumpukan tanah berbaur bunga kamboja dan mawar
merah
Dan seperti ada yang hilang,
Aku mengeja kata yang pantas aku haturkan, menekan rasa rindu dan nestapa yang ingin
menguar kedalam kungkungan air mata pilu
Dan sekelebat ingat yang ku impikan lebur bersamaan tangisan pecah menguar kedalam
kalbu

Andai saja seharimu bisa diterka ketika kamu membaginya


Andai saja jarak yang tak jauh ini kamu mau berkunjung sekedar menghabiskan waktu
bersama
Andai saja ada kata dalam sepucuk surat kau lewat pada tukang pos depan rumahku
Andai saja sebelum pergi kau berucap selamat tinggal meski tak pernah berucap selamat
datang

Aku tak akan mematikan lilin berjelaga untuk sekedar menghapus lara
Setidaknya ada sebaris memori yang bisa kubagi dengan malam-malam sunyi lainnya
Aku hanya ingin temu
Aku hanya ingin kamu
(ketika rindu semakin menyesakkan, dan sekali lagi aku harus menyemayamkan sabar )

(Bukan) lagi anakmu


Batinku terhempas ketanah, ragaku terhuyung dilangit

jang
Tatkala kubaca sederet kata menebas raga yang ingin pergi saja
Seketika memori menguar ke permukaan ingatan, berlompatan, bersinggungan, bergerak
cepat sampai tak tahu segala ego yang keluar dari mulutku

Oh masih pantaskah aku kau sebut dengan anakku


Takkala ku buat hati sudah dibelah belati kulumuri nipis yang kucuri
Segala cercauan dan hinaan ku keluarkan tanpa berpikir panjang kan menyakiti

Begitu nista aku mengingatnya


Tentu barangsiapa yang tak menahan tangis, mengurai perih sekedar menghapus buih dari
setiap hembusan nafas yang sulit dirampas
Namun mengapa kau diam saja? Menahan luka yang selalu kutumbuhkan bibit lagi lagi lagi
dan lagi

Maki aku, tebas mulutku dari segala rancau


Seret aku, kungkung aku kedalam lingkaran hitam kehinaan
Bunuh aku dengan ujung belati yang kubuat sendiri

Hanya dengan itu, setiap hembus nafasku tak lagi tersendat oleh kerikil tajam menyayat
tersendat kala mengingat
Hanya dengan itu aku bisa menyemayamkan bintang pada langit kita kala malam
Hanya dengan itu aku yang bebal dan kurang ajar menangkap keluh kesahmu, sakit hatimu,
dan lelah jiwamu

Maafkan aku, dari seorang yang tak layak lagi dipandang sebagai anakmu
(segala ego yang kujunjung tinggi, ayahku marah lagi Juli 2016)

Pandanganku kabur dengan air mata, telingaku berdengung menjerit serta merta
Aku hilang kendali dari segala ego yang kujunjung tinggi
Dari bilik kamarku aku menguapi setiap kata yang menguar diudara
Membawa kelebihan karbondioksida sesakkan dada
Aksara maaf terucap jadi candu yang sudah mulai basi katamu

jang
Jadi aku dan hati kecilku
Aku dan buah bibir racunku menyebar ke setiap sisi hatimu
Melebur jadi satu dengan darahmu
Mencekik setiap detik deru nafas yang enggan kau hirup lagi
Perlahan-lahan menjadi tumpukan kenistaan meninggalkan kenangan keindahan

Aku dan buah bibirku yang selalu hilang kendali dari segala tata krama yang kau junjung
tinggi
Harus berapa kali lagi aku mengucap setiap duri, mengasah setiap belati, yang selalu siap
tatkala iblis jadi teman sejati
Setiap kata menguar bak asap mengepul dan berbaur menjadi racun yang siap menggempur
jalinan kasih kita yang teramat kuat dari masa ke masa
Tercecar kemana-mana tak dapat dieja kata

Walau tak ada darah yang mengalir di tubuhku, aku juga ikut hancur tatkala kau merana
meninggalkan ruang yang kita bangun bersama

Aku dan buah bibirku akan jadi abu dan kau tak perlu jadi ragu

Aku akan berusaha jadi aku dan hati kecilku


(dan janji yang aku semogakan)

Kala gelap
Aku mendekap hampa
Tak ada warna
Paling hitam
Tak ada cahaya
Paling sekelebat mengerjap
Dan aku hanya bersedekap

Diam kau!
Jangan merancau

jang
Diam hoy!
Mulut rombeng
Jangan menyanyi
Sumbang woy sumbang
Memekak tanak sengak
Diam kau atau kugampar!?

Telinga dan sepasang mata


Diamku tak lagi sepadu emas
Kau katakan aku untuk diam dan mengibas
Bukan berarti aku melupa dan kamu malah berkata tidak apa-apa
Terlalu serakah untuk melangkah
Terlalu banyak dikorbankan
Tapi kamu bilang sebagian

Apakah matamu tertutup hanya karna lusinan pungguk?


Nyatanya telingamu tetap berlubang meski banyak yang menjejal
Huh, aku bisa apa selain mengangkat tangan
Aku memang pecundang
Dan kau manusia bebal!
(1 agustus 2016)

Kubiarkan kau menguap bak asap


Menghilang ditelan hari pertama musim panas
Menyamarkan nestapa antara kita berdua
Biarkan kau lalu dan aku jalan maju

Kain Pintal
Benang hitammu mendiamkanku
Pada seluk beluk kau yang mulai melapuk
Digiring dari jarum yang kau ikat melintang
Dan jadilah diantaranya untaian kerinduan
Untaian keterpurukan

jang
Memutar angan belitan benang yang mulai tersisihkan
Kemudian kacau tak menemukan harapan

Kau, tuan yang mendamba kain pintal


Apa daya aku hanya merajut benang segulungan
(ditemani adik diantara remang-remang memori untuk dia sang pemintal, 2 agustus 2016)

Kenangmulah yang membawa tidurku terlelap


Meminjam gelap pada semesta yang tak ingin beranjak

Maruk
Aku menggulung barisan
Ditempa batu-batu
Diasah logam beradu
Digosok pada dinding melapuk
Dipintal sekalian tumpuk

Dan aku hanya duduk di pinggiran sungai meringkuk


Melupakan eksistensi yang berbelit ingin ditabok
Sekalian melempar caruk maruk
Namun nyatanya aku hanya terpuruk
Berdiri di atas gunung yang semakin menjorok masuk
(apaan nih? lupakan aku hanya merancau Agustus 2016)

Rupa dan Serupa


Ketika aku menjelma rupa
Dibalik topeng, kau mengangap aku apa?
Serupa Maladewa atau malapetaka?
Tatkala yang kau puja hanya yang menempel pada tubuhku saja
Bergelember, meluber ke segala sisi yang ingin kutupi rapi-rapi
Terkecohlah engkau pada raga yang hanya sementara

jang
Junjung tinggi saja setiap kemilau harta
Junjung tinggi saja lisan berbalik nyata
Junjung tinggi saja kedua mata bermuka dua
Buta mata dan aku hanya tertawa
Haha
Jangan salahkan aku jika kau lupa berkaca

Angin pelan mendesir setiap getir pahit hidup yang lalu


Menelan segala gundah dan nestapa jadi rindu

Gelap bulat
Aku takut gelap
Seolah dia menelanku bulat-bulat
Aku takut gelap
Mereka melahirkan pikiran yang semakin berserabut kalap
Aku hanya takut gelap
Hingga tak menyadari ada setitik cahaya di sudut tergelap
Dimana aku sekarang ini?
Aku hanya tersesat sesaat
Dan tak akan membiarkan gelap semakin menyesak
(dikamar, saat bosan menunggu ayah,ibu dan adik yang belum menampakkan kakinya
didepan rumah. Sedangkan perutku mulai memberontak ingin diisi. Aku lapar. 13 agustus
2016)

Dari sudut hingar binger


Kita menatap jendela dibalik kaca
Menderetkan aksara dari segenggam rindu yang ingin kau buang begitu saja
Dari sudut hingar binger dunia
Katakanlah bahwa kita akan selalu bersama

Usia
Disetiap sudut rumahmu
Terpasang lampu-lampu

jang
Balon bundar kau ikutkan juga
Pun dengan kertas warna menempel pada dinding

Tak lupa sederet aksara jadi paling utama


Disebelahnya berdiri objek yang memiliki eksistensi sendiri
Tersenyum, menutup mata sekedar merapalkan doa
Berakhir pada lilin angka enam yang kau sebut usia
Seketika riuh rendah menyemarakkan lagu selamat ulang tahun

Dan disitulah semua harapan orang tua disemogakan untukmu


Menjadi anak sholehah, membanggakan orang tua, tak lupa jadi anak yang berguna
Semoga disetiap hembusan nafas yang masih tersisa, menghasilkan pahala atas segala ucap
dan perbuatan
Kau putri kecil keluarga kita

Jadilah salah satu Dandelion yang tetap hidup di segala drama

Putri Dandelion
Semilir angin menyapa
Pada padang rumput dan ilalang-ilalang
Bunga dandelionku bermekaran
Berterbangan, rapuh disapa angin
Terbang ke tempat lain untuk tetap hidup
Tunas yang jatuh jadi tempat untuk terus tumbuh
Segala musim kau sapa tanpa merasa merana
Karena bunga dandelionku hidup dimanapun berada
(harapan 16 Agustus 2016)

aku hidup barangkali


di bawah kabut tebal ini
aku hidup barangkali

jang
di bawah energy panas bumi
aku hidup barangkali
di planet mars yang kau gadang-gadang memiliki kesamaan dengan ibu pertiwi
aku hidup atau mati?

Angan yang tak berkesudahan


Bagai pungguk yang merindukan bulan
Sejenak bayang-bayangmu mengisi peraduan
Disela-sela malam yang meninggalkan nur menggenggam batu pualam
Kemudian mulai goyah merasa malu pada saya yang menanti kabar sang debar
Kemudian menginginkan pucuk kecup pada saya yang menanti peluk

Sejenak aku merasa abu kelabu


Entah karena kacau memahami risau atau kacau tak bisa menggenggam jemari tanganmu

Karena Kamu
Kau berjalan penuh dengan khidmat membelah sunyi sedari aku menunggu dentingan pintu
di seberang mejaku. Menyadarkanku sedari aku duduk menunggu hadir itu dengan segelas
teh yang selalu kau pesan dari dulu.

Beberapa meter di depanku kini lebih jelas memperlihatkan sosokmu. Kacamata yang selalu
bertengger di kedua mata itu, kemeja yang kau gulung hingga sebatas siku, dan beberapa
tumpuk buku dan laptop yang kau jinjing disebelah tanganmu.

Bolehkah aku menyungingkan senyum akan kerja kerasmu? Wajah yang menampilkan
kelelahan diantara kesenangan.
Bolehkah aku menghapus peluh yang berbutir di dahimu? Sekedar menampakkan kepedulian
terhadapmu.

Padahal pertanyaannya adalah satu: adakah aku di genggamanmu saat itu?

Karena meja yang kau dekati ternyata di sebrang sana. Bukan di depan meja yang tehnya
masih menguarkan kehangatan sedari kau belum teguk barang satu untuk dia yang selalu
ingin aku khususkan.

jang
Jari jemari
Kita berjalan beriringan saling melempar canda. Sejenak kita saling menguatkan pada realita
kehidupan
Saling mengisi, menguar berbagi kasih sayang yang kau sebut persahabatan pada aku yang
meminta lebih mengartikan sang debar
Berbagi bersama untuk saling memberi rasa yang beberapa hilang sedari aku meminta
pertanggungjawaban
Padahal apa yang harus di pertanggungjawabkan jikalau rasa itu hadir karena Tuhan
memberikan anugrah di setiap insan
Dan walaupun pada akhirnya Tuhan tidak berminat membuatmu menarik tanganku dan
menyimpannya dalam genggaman jemarimu. Sang Pembolak-balik Hati mengirim seseorang
yang pantas menggengam jari-jari kecilku

Merdeka dimana?
Diamku tak sepadu emas
Diamku sepadu percikan lumpur di genangan tanah bercampur air liur

Aku tak boleh terus diam


Kita tak boleh diam
Tunjukkan mereka tentang keadilan

Katanya kita merdeka 71 tahun lamanya


Nyatanya Indonesia masih porak poranda
Sedangkan para borjuis memenangkan suapan sang hakim agung
Mencabut lumpur dan darah para kaum uzur

Sebenarnya nasionalisme kita berada di sudut yang mana?


Di sudut hatimu atau di sudut egomu?
(malam-malam hari kemerdekaan 17 agustus 2016)

jang
Aku bergelung dengan keheningan
Menyimak dedauanan dari cabang-cabang yang bercuatan
Menari-nari kemudian jatuh begitu saja di tanah berbatuan
Apa tidak merasa sakit?
Dihempaskan, dilupakan
Seakan mereka bukan bagian dari kenangan

Assalamualaikum jodoh
Apa yang belum aku ungkapkan tentang dirimu?
Pun dari kesemuamu?
Tidak, sayang
Kamu adalah tujuan kata yang bercampuran
Untuk itulah sekian rasa baru aku harapkan
Sebuah hati berwarna merah jambu yang berpendaran di atas kepalamu
Kemudian kugenggam dalam ringkih jari jemari
Takut jatuh kemudian hilang kembali

Apa yang masih tersisa?


Selain kedua lintangmu yang tetap sama
Yang masih ingin bercumbu dengan berpuluh-puluh puisi
Tentang engkau yang ditunggu menyerukan “assalamualaikum jodohku” berulang kali
dengan lembut tanpa ragu dan tanpa cela sama sekali
Dan kuharap para malaikat ikut mengamini
(eh eh romantic nggak?. #ngarep.com 30 agustus 2016)

Dunia lebamku menjerit


Bahkan ingatan sebagai salah satu delusi yang menyebalkan
Tidak ada kata sayang
Tidak ada kata kita berdua
Yang ada hanyalah umpatan dan makian

jang
Sumpah serapah yang kau agungkan
Seketika aku memilih diam
Daripada terus mengutuk hal-hal yang kau ada-adakan
Kemudian melepas jemari yang tak lagi selaras
Dan disinilah kita berakhir dalam keganjilan

Rancau
Kukira kau lebih dari sekedar fragmen dalam rasa
Kau kikira lebih rumit dari reaksi kimia dan fisika
Kau bintang jatuh dalam pusara tanpa meledak melewati gugusan cinta
Jika diterka hembusan nafasmu saja tak sampai
Jika dirasa gengaman tanganmu saja tak tergapai
Kau tetap jadi sprektrum berbagai warna tanpa cela
Tapi aku tetap tak bisa membaca
Dan menjelma enigma yang terus berteriak meminta tanda tanya
Kau membuatku kacau dan menjadikanmu seribuan koma tanpa titik tiga ataupun dua
Kemudian aku lupa semogakan apa saja
(duh duh…rancau pula tulisanku 31 agustus 2016)

Serangkai Bunga
Ingatkah dulu tiga bunga mawar kau rangkai jadi satu
Merah di tengah, kuning dan putih di sebelah

Kamu bertanya, “ini apa?”


Sebab saat ini merah, kuning dan putih tidak ada
Layu dan berguguran di tengah bosannya menunggu hujan
Tingal keriputnya batang berwarna keabu-abuan

Tapi adakah tak sebersit ingat yang kau rasakan


Sebab harum bunganya masih bisa kuraba
Dan warna bunganya masih bisa kuterka
Yang mana merah
Yang mana kuning

jang
Dan yang mana putih

Perlukah kuingatkan judulnya?


Ini adalah jawab dari segala tanyamu melahirkan bunga-bunga
Merah rasa cintamu padaku
Putih setulus hati mendama rasaku
Dan kuning lambang kecemburuan dan kepossesiveanmu

Kamu berkata,”cinta butuh waktu dan kesadaran untuk saling memahami”


Terlambatkah sekarang aku menjawab hal yang sama padamu?
Sebab bungaku kini bermekaran dan sedangkan bungamu berguguran
(menulis puisi setelah mendapat inspirasi dari cerita Kersik Luai 31 agustus 2016)

Slaapliedje
ah, ia….
bayangan magis lelaki berkacamata yang paling aku rindukan
menyela ruam dan menghela usang
jumpalitan di ruang-ruang

ah, sayang….
lagi kutemukan sosokmu dalam langit-langit kamar
binar mata, senyum tawa semua terasa nyata
merengkuh aku pada dekapan hangat

ah, biarkanlah ia sebentar….


aku ingin mengegam tangannya
meminjam gelap pada malam
kemudian tentram dalam kenangmu yang hanya sebatas angan
selamat malam

jang
(pada malam-malam karena bosan, gimana asik? 6 September 2016)

apa yang lebih baik daripada diam, tuan?


ketika menemukanmu dalam usang di peraduan
berdiam, merela berjubah tak kasat mata
aku rela
berdiri dalam sudut pojok tersembunyi dalam benakmu
menanti, barang kali suatu saat pintumu terbuka kembali

Karena Candu
kini tak ada yang lebih menyesal merindu rengkuhmu
yang sekarang hanya jadi memori lamaku
tercetak pada gulungan film berdebu
kini tak ada lagi selain diorama tentangmu
tetap membeku
sedikit samar, melupa rasa hangat itu

kini pula aku sadar terang pelitaku


Tempatku bersemayam mencari kehangatan
menerimaku tanpa isyarat
memberiku bukan suatu beban berat

sesederhana itu aku sangat membutuhkanmu


ternyata lebih dari terminology dalam kesempatan-kesempatan

kaulah samudara yang memberi ribuan kasih sayang


kaulah muara perjalanan hidup yang tak berkesudahan
terlebih dari cahaya di langit yang tak pernah padam dengan keikhlasan

sungguh!

aku ingin menghidu lebih lama dalam pelukmu


seperti dulu, dalam dekapan penyejukmu

jang
adakah candu yang melebihi kamu?
(dalam malam usai pulang 14-09-2016)

Usang dalam berlian


apa yang kau harapkan dariku yang hanya segelintir usang?
apa yang kau harapkan dariku yang hanya seutas tali kusam?
apa yang kau harapkan dariku, Tuan?
Putri bermahkotakan berlian?
Atau borjuis kebanyakan uang?

Tidak!
aku tidak mengharapkan berakhir menjadi seorang cinderela dari kalangan papa
atau mengharapkan jadi sumbrada memenangkan hati arjuna

Tidak! aku tekankan sekali lagi

ini aku dan kehidupanku


ini kamu dan kehidupanmu
ini mereka dan kehidupan mereka

kita berbeda, lebih tepatnya aku tidak bisa memasuki kehidupanmu

Sebut aku
sebut aku dalam malam berjelaga
dimana tak kau temukan pelita karena bosan
sebut aku selagi masih ada bintang dalam temaram
dimana tak akan kau dapatkan selagi mencari yang lebih terang
sebut aku di tengah rindunya hiruk pikuk pasar
dimana letaknya dekat tapi tak dapat kau raih dengan satu tangan
sebut aku yang telah sudi bahunya dijadikan sandaran

jang
dimana sukmanya dijadikan tujuan pengharapan
segalanya siap diberikan, dipertaruhkan
sebut aku meski di depan kedua matamu banyak yang berlalu lalang
dimana punggung ini yang kerap kuberikan
lihatlah, sebutlah
ialah yang rela berdiri menyambutmu dalam pelukan

(ini puisi ngawur Sep 2016)

semesta akan terus berkonspirasi menaklukkanmu


menjadikannya ada pada abu biru
pada bodohnya hati membuatnya tunduk atau mungkin terlampau suntuk
atas kepercayaan nama kita sedari perang tak kunjung reda
atas nama merdeka sedari kita masih memperjuangkannya
atas nama ibu yang menyuapkan nasi pada anak kurang gizi
atas nama kolong jembatan menjajaki lampu-lampu
atas nama para borjuis memutar waktu
atas nama Indonesia yang masih merangkak pada batu-batu
mengais-ngais debu
ini belom jadi kurang puas aku oktober 2016

kita terlahir pada masa yang hebat


rupa dan raga bisa disaksikan bermeter-meter jauhnya
tapi butuhkah mata ini mengandalkan kukila?
tapi butuhkah telinga ini mengandalkan orang ketiga sebagai tempat merindu kabarnya?
debar ini yang menjawab semua rasa hilangnya tentang kamu yang sebenarnya masih
berlabel kita

Denting di angka dua


ketika denting masih di angka 2

jang
dan malam masih berkuasa atas gelapnya semesta
aku sadar, semakin sadar
bahwa gugurnya daun kering di bahuku masih belum hilang
malah semakin banyak, tergeletak di sekitar kaki yang enggan beranjak
dan untuk sepasang sayap yang tergeletak di atas dedaunan, ternyata masih sama
tetap putih namun belum atau enggan menemukan tempat bersandarnya, entahlah
yang pasti belum mampu untuk terbang selagi belum menemukan punggung-punggung yang
siap membawanya berpetualang
(ndy, oktober 2016)

aku tak pernah sampai pada keadaan dimana mataku hanya terpaku padamu seorang
memperhatikan dari kejauhan, tersenyum samar, dan menangis sendirian
apa yang terjadi padaku ini sekian dari rasa yang bercampuran
seperti hujan samar-samar aku kedinginan namun samar-samar aku tak kesepian
namun tak seperti hujan yang bisa kugengam
kamu terlalu jauh, berbalik badan saja enggan
membuatku menyerah pada hasrat ingin memilikimu seorang
aku jatuh cinta padamu
jatuh hati padamu
tanpa titik
tanpa tanya
tanpa henti
(ndy, gurah oktober 2016)

Dear my future husband 2


Untukmu yang masih menyimpan separuh benang merah dan menunggu benang merah yang
lain. Aku sudah terlalu risau juga menantimu datang, sebagaimana kerisauanku jika kau tak
pernah datang. Bukan apa, tapi ya mungkin terlalu lama sendiri membuatku berpikir ini
saatnya aku harus mencari. Usiaku menginjak 20 tahun dan selama itu pula aku tidak pernah
dekat dengan seorang lelaki yang benar-benar suka padaku. Kata orang, lelaki itu akan
melihat dari matanya dulu baru melihat hatinya. Yah, ternyata memang benar, siapa yang
mau dapat istri yang tidak cantik? Aku bukan wanita yang sekali lihat ingin ditengok lagi,
bahkan aku yakin mereka akan selalu melupakan secepat mereka mengedipkan mata. Aku

jang
yakin kamu juga begitu. Tapi aku mohon dengan sangat terima kekuranganku sebagaimana
aku akan menerima segala kekuranganmu. Aku yakin tidak ada orang sesempurna itu, pasti
ada kekurangannya. Untuk itu jangan kecewa bila mendapat istri tidak sesuai ekspetasimu.
Cinta I aku apa adanya, bukan ada apanya. Terima aku dengan segala kekuranganku.
Terimakasih telah mau menjadi pendamping hidupku. Mungkin salah satu yang membuatmu
special adalah selain jadi suamiku kamu juga bakalan jadi pacar pertama ku, tapi maaf untuk
cinta pertama bukan kamu hehe. Tapi entah kamu yang sedang berada dimana aku harap
radar ku akan cepat menemukanmu, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga aku tidak akan
berlama-lama memikirkan kamu future husband ku… sampai jumpa di hari pernikahan calon
imamku. I love you…
aku tahu ini tidak ada romantic-romantisnya sama sekali, malah nantinya akan jadi
boomerang buatku. tapi aku tulis ini dengan sepenuh hati ditengah keputusasaan mencarimu
yang tak kunjung kutahu kau berada diujung bumi bagian mana. 

salam dari radar yang terus bergetar


novi yang ingin cepat nikah, 2016

Ini bukan fragmen di pagi berembun ataupun analogi dirimu yang masih belum bangun
ini tentang kamu yang sedang menikmati semu
Tentang yang kau anggap merah jambu ternyata hanya abu dan biru
jika ini berawal dari harapanmu, sekarang ia berakhir menjadi boomerang untukmu
Bukan, ini bukan salahmu
Salahkan nafsu yang tak bisa kau control dengan usapan dahiku
Cepatlah sadar, ini semu sayang
Bangunlah dan tundukkan kepalamu hingga ke tanah
Jangan biarkan sang waktu berdenting sendiri, sedangkan kamu acuh tak ingin berlari
Jadikan sang waktu temanmu, bukan sekutu yang berhasil mencuri takdirmu
(ndy, gurah village oktober 2016)

Disudut yang selalu gigil, aku ingin segera menjumpaimu


Disudut yang membodohi hadir, aku ingin menyapa desirmu
Disudut mata yang menekuri wajah, aku ingin mengecupmu
Disudut dimana hatiku tunduk dan takluk, aku sungguh tak berdaya

jang
Karena disudut ini aku sudah terjerembap dalam pesonamu
Duhai sudut, harapku ialah kenang yang tak pernah usai menjelang malam hingga malam
berikutnya
Duhai sudut, rasaku ialah datang tanpa enggan masuk lebih dalam
Duhai sudut, pedihku menyamarkan ruang-ruang angan yang tak berkesudahan
Tapi sudut, tega nian kau menghilang tanpa berpamitan
Membawa semua serpihan jiwa-jiwaku yang mulai mendekap di titik jauh dari gengaman
(ndy, gurah desaku yang kucinta oktoober 2016)

Aku tak pernah bosan melihat hujan menampar jalan beraspal dan terotoar
Melihat rintik rintik yang jatuh dari buaian
Ataupun gerimis romantic yang tak bekesudahan
Aku tak bosan
Sebab kini aku tak sendirian, ada kamu dalam genggaman jari-jari yang bertautan

Beberapa kali aku bertanya pada ilalang


Sudikah dirinya diam sebentar dan tidak memenuhi jalan-jalan dan tanah lapang?
Beberapa kali aku bertanya pada kumbang
Sudikah dirinya diam sebentar dan tak mengambil madu-madu di taman?
Beberapa kali aku bertanya pada hatimu yang sekarang sedang kedinginan
Sudikah dirinya diam sebentar dan menerima kehangatan pelukan-pelukan?
Sebab kini aku sedang menanti dandelion mekar yang bijinya masih kutanam
Bukan menanti bunga mawar yang durinya masih kujadikan penawar
Aku tidak meminta, tapi kuharap kalian memahami sejatinya
Senandika ini tak layak jika di derai luka dan pedihnya mata tak kalian pedulikan sekali saja
(ndy, 1 november 2016)

Aku menjelma sebagai sosok burung


Dengan kedua sayap putih dipunggung

jang
Terbang ke sekian kali mengitari bukit diujung kaki langit
Tiba-tiba datang gemerincik rintik-rintik hujan yang tak asing lagi
Selalu membawa guntur ikut melebur dalam derasnya hujan kala mendung
Namun tak seperti hujan yang kukenal
Derasnya hujan merajam setiap menyentuh kedua sayapku yang mulai rapuh
Di bawah gigilnya angin dan tetesan air di ujung daun
Aku meringkuk pada salah satu cabang pohon untuk berlindung
Tapi lagi-lagi hujan menemukanku dalam kekalutan
Merajamku sekali lagi dengan lebih pedih dari sayatan
Lamat-lamat di bawah gigilnya angin dan tetesan merah di ujung daun
Aku mati dengan kedua sayap patah serta semerbak anyir tercium
Mati dengan harapan yang bahkan belum dimulai tapi akhirnya sudah ada di akhir jurnalku
(ndy, 5 November 2016)
Pada bintang aku bertanya
Berapa malam lagi aku bersua denganmu
Pada mentari aku bertanya
Berapa tetes embun lagi kudengar bisik rindumu
Tanpa sepengetahuanku, bintang dan mentari berbisik bersekutu
Enggan memberi jawab pada tanya yang asa

Tanda ini menangkup semua tentang dirimu


Melalui mata dan telinga aku bersekutu
Menjadikan sosokmu adalah sebuah candu

Kadang aku bertanya untuk apa dirinya berbalik badan dan merengkuh buah hatinya
Sekiranya pelepas dahaga ataukah rindu semata
Kadang aku bertanya untuk apa dirinya tersenyum mengakhiri derita
Sekiranya pelepas duka ataukah sudah lelah semata
Namun berapa kali lagi aku bertanya
Beliau enggan memberi jawaban pada asa
Bersekutu berbisik pada semua orang tuk menjaga lembar kisah di jurnalnya

jang
Terpikirpun sudah di akhir kata, ternyata
Beliau pergi dengan bermiliar cerita
Tanpa sedikitpun kisah dengan buah hatinya
Tapi hatiku tetaplah berteriak, “kenapa?”
Tak sudikah dirinya ku kecup dengan hormat punggung tangannya?
Aku tetaplah buah hatimu yang meminta cinta, ayah.
(ndy, 8 november 2016)

Kala terpikir akan raga yang masih menyilangkan tangan ditempat yang sama
Dan atas jiwa yang masih ragu berkata, “sampai kapan warnamu tetap biru keabu-abuan?”
Tidakkah ingat warna emas kemilauan?
Atau barangkali sudah memuakkan?
Ah, bagaimana dengan warna kemerah-merahan?
Merah jambu tentang cintaku
Merah darah tentang sakitmu
Merah bermagenta tentang rindumu

A: Sampai kapan warnamu hanya abu dan biru?


B: Tanyakan pada waktu yang membiarkan warnaku bersekutu
A: Tidakkah kau ingat warna emas kemilauan?
B: Apanya yang harus dibanggakan?
A: Benar juga… Ah, ya, warna putih pelambang kesucian!
B: Hitam terlalu mendominasi langkahku. Kau tak bisa melihat warna abu-abu ini!
A: Ya, itu karena kau kurang berusaha. Berdamailah dengan dirimu sendiri, tolong.
B: Kau banyak bicara akhir-akhir ini. Ada apa denganmu?
A: Sudahlah kita cari warna yang lain. Bagaimana dengan warna kemerah-merahan?
B: Merahlah yang berhasil membelengguku…sebenarnya
A: Dari?
B: Rasa sakit dan dendam yang masih tumbuh dan mengakar di hati
A: Kalau yang aku maksudkan merah jambu, apa kau mau menerimaku?
<pesan tak dibalas>

jang
Kabut kala senja
Seperti dibalut kabut senja
Langkahmu semakin jauh, tak seirama
Lupa akan waktu yang pernah bercerita seperti apakah keakraban kita
Berbagi duka dan tawa, menelusup kedalam jiwa
Katamu kita kawan, namun sekarang enggan membagi kabar
Kawan, kita berhenti. Kita tak lagi bebaur seperti senja
Karena kabutnya menyisakan gelap yang menggulita

Bila kupertanyakan kilau hati sudah melarai rasa


Berbias rintik pada hujan yang tersangkut di pucuk daun
Sedikit gerakan, butirannya hancur
Tak kah kau biarkan barang sepucuk
Bila kau inginkan aku bertahan
Dari keterpurukan dan sejumput penyesalan
Karena hidup hanyalah seuntai gerakan

Demi
Demi waktu
Yang berjalan semakin semu
Mengungkap tabir
Menjadikan sekutu
Pun menjadikan sosok guru

Demi waktu
Si musuh termanis pengintip nasib
Sahabat manis yang terkejam
Apa lagi yang bisa diungkap?

jang
Selain berbalik menimang apa-apa yang ‘kan dilakukan

Demi waktu
Demi laraku
Demi cahyaku

Wajtu
Yang tersampaikan adalah waktu
Ketika bahkan hanya sunyi yang terdengar
Dari sepermiliyar gerak jarum jam, aku percaya yang fana hanya waktu
Kita yang abadi, benar kata sapardi
Lalu apa tetap kau menunggu sang waktu berbaik hati padamu
Mengabulkan angan dan mimpimu
Seperti ibu peri dalam perahu
Tidakkah yang kau lihat adalah usahamu
Karena yang fana adalah waktu
Yang menghiasi di segala sudut hidupmu

Pikatmu menenggelamkanku di berbagai rasa


Timbul tenggelam bersama riak cinta menasbihkan suka
Jikalau duhai Teruna yang ku gadang hanya memiliki satu rasa
Bisakah ia berbisik dengan cinta, bahwa hatiku t’lah diremas pelan oleh kelembutan tutur
katanya

Aku kadang terlalu lugu


Terlalu sering terjerat dalam pesonamu
Senyum, gagu
Tawa, lucu
Diam, jumpalitan
Dan sadar kamu adalah candu
Fragmen rasa yang lucu

jang
Itu kamu
Karisma merah jambu

Dan sekali diam, hati ini benarkah berujar?


Seperti bulan April yang kadang se-menyedihkan itu
Atau bulan November yang kadang se-melucukan itu
Berlagak bahwa semua ini skenario semesta untuknya
Padahal dia adalah salah satu dari semilyar orang asing yang numpang lewat di kedua sudut
matanya
Dan berakhir sebegitu semenyakitkan hati karena terlalu banyak melugu, lucu

Adalah mendung, kala gagap masih merenung


Membentuk pikir, sedangkan ingin masih diukir
Sesak tak lagi sebegitu menyakitkan
Bahkan ketika hujan menampar, menitik satu-persatu
Mengalirkannya ke hati yang menyapa pilu dan sendu
Ia tak akan pulang sebelum embun menyapa subuhmu
Tapi mendung masih mendominasi langit
Menutupi gradasi biru yang sebegitu menyilaukan, katamu
Atau merah jingga yang sebegitu menghangatkan, bisikmu
Akankah ada?, jawabku meragu
Sedang aku terduduk di pinggiran kota tua
Dengan matahari yang tak pernah hilang dari peraduannya
Adalah terlalu lugu dan bosan bahwasannya ia tak lagi sama dengan yang lainnya

Namamu adalah cinta,


Yang membentangnya sinarnya fajar sampai ke batas senja
Namamu adalah rindu, yang mengalir lugu dari hati yang mengalunkan lagu
Di tempatku namamu adalah lusuh, namun sekali lagi tak ingin dibasuh
Atau tuk diubahnya menjadi kadaluarsa
Tak menyakitkan, sekedar menghiraukan

jang
Adalah namamu adalah pengaharapanku; priaku

Ada suara-suara
Di balik jalinan kayu, gadis abu-abu mencari tahu
Derit jendela di ujung peraduan
Jangkrik-jangkrik entahkah sengaja mengesekkan kaki dan sayapnya
Desir angin yang mencoba masuk lewat celah kecil
Ataukah nyamuk dengan tidak berdosanya berdesing di samping telinga
Tapi ada satu suara lagi
Suara itu
Nyanyian sendu di dalam rumah wanita yang tak pernah mencicipi teduhnya berumah tangga

Hujan selalu sama, entah ia membisikkan ranting pada rotan


Ataukah membisikkan tanah pada bebatuan
Selalu sama, menetes di terasku,
Kemudian mengalir melawati tanah dan pohong kering itu
Tanpa ku sadari hujan juga telah membawa serta air mata
Melewati kedua netra dan jatuh pada tanah dan pohon kering itu saja
Mungkinkah hujan membuatnya tampak berlebih?
Seolah menembus waktu yang suci dan sacral dan krusial
Seperti gelenyar rasa yang tak sempat aku mengadah bertanya pada hujan bulan September
menyapa

jang
Aku tak tahu sampai kapan
Aksara di jurnalku tersimpan
Mungkinkah di terotoar, di jembatan, atau pembungkus dagangan di pasar?
Dan aku tidak ingin membayangkan ada di tempat akhir pembuangan
Aku tak mengerti
Sejak kapan mulutku ini di kunci, lalu tanganku bergerak menyadarkan hati
Padahal aku tahu, tak ada yang bisa dirubah
Sebelum hati mereka mengetuk
Dan tingkah laku mereka menuntut

Biarkanlah aku menjelma burung


Mendayu-dayu tersapu angin, mengicau kabarkan burung yang lain
Bahwasannya hari ini, tepat pukul 8 pagi
Ada seseorang mengatur nafas perlahan
Menutup netra tak lagi menatap dengan sayu menawan
Tak dapat dipungikiri kulitnya memucat seputih kapas
Tak ada rona merah lagi saat ia tersipu
Tak ada hangat tangan lagi, saat dia merayu
Bahkan nadinya ikut berdenyut samar
Bahkan dengungnya nyamuk tak lagi ia rasakan
Semuanya melemah perlahan,
Melemah
Lelah
Lelah
Saat netranya tak kuasa, gelap dan kelam yang dirasakannya
Ruh yang mulai terangkat, yang dirasakannya adalah kesakitan yang paling menyakitkan
Perlahan ruh itu melewati kaki lalu merambat naik melewati hati
Dan saat diujung kepala, ia mulai merasakan kehebatan Sang Esa
Membuatnya tunduk dan takluk untuk menyebut asma-Nya
Usai sudah kusampaikan pesan pada langit gemintang, batu, jepit, cacing rakus, telinga tikus
Bahwa yang ia bawa hanyalah amal-amalnya
Barangkali burung lain mau mengabarkan kepada jangkrik di sepertiga malam, embun di
ujung daun, dan para manusia yang tak lelah menyerukan keabadian diakhiratnya

jang
Mampukah ku redam,
Senyap dalam tangis memilukan
Melumatmu perlahan, menerjang sekali lagi dalam kehampaan
Mampukah ku menghilang,
Hanya dengan sihir avada kadabra
Menghilas habis duka dan lara
Yang kau asingkan, yang kau tinggalkan
Ataukah sejatinya engkaulah salah satu alasan untuk bertahan

Tahukah dirimu, rasa yang tak sempat melebur di hatimu


Namun sampai detik dimana, jikalau diam adalah perjuangan
Tahukah dirimu, teritoriku yang lusuh karna terlalu lama menunggu
Dan pada mimpi yang ku percaya bisa membunuh segala yang ada
Setidaknya kamu, yang menjadi sosok candu
Hingga sekarang
Saat nafasku satu-satu, atau dua-dua, atau barangkali masih sepuluh-sepuluh
Tak ingin kuhitung dengan pasti
Kepastian yang selayaknya tak bisa dipastikan
Mungkin maksud Tuhan dengan sebentar lagi
Itu sama lamanya dengan sampai… entah
Konsep waktu yang tak absolut
Kamu juga

Bumi bangga memiliki gunung yang mencapai langit, harapnya


Lupa bahwa itu hanya semu sekedar kamuflase bumi untuk sabar menanti langit menegurnya
Lupa juga bahwasannya langit memiliki bintang yang selalu bergelanjut manja padanya
Dan lupa bahwa bumi memiliki gunung yang tidak setinggi bintang untuk meraih langit
kemudian merengkuhya
Nyatanya bumi memiliki gunung bukan untuk meraih langit

jang
Tapi menjadi pasak bumi untuk tetap teguh dan stabil berdiri meski lempengan dalam
tubuhnya berderak sakit.
Berderak sedikit demi sedikit ketika langit bersama bintang saling bersama
Bumi hanya bisa menunggu hujan turun untuk bertegur sapa
Wakut kami bertemu lagi ketika langit menyapa bumi dengan air matanya
Menyampaikan kerinduan dan sapaan yang selama ini hanya bisa melihat bumi terdiam jauh
dengan pasaknya

Semua yang kucari adalah manifestasi


Ilusi jadi penyeimbang mimpi-mimpi terus hidup dan berdiri
Pikir adalah hati dan ego sebagai atraktor
adalah aksi yang membantu nyata berunding dalam hening
Pertunjukan tentang manifestasi ini belum usai
Masih seperdelapan perjalanan mimpi-mimpi yang entah kapan menjelma wujud berseri
Kuabadikan dalam jurnah bersampul PERJALANAN MENCARI MANIFESTASI

Nyatanya, angan tak menjanjikan apa-apa


Tapi aku selalu bersua dengannya
Bercengkrama dengannya, menghabiskan secangkir teh membicarakan apa-apa yang terpikir
dan apa-apa yang tersingkir
Memberikan kebahagiaan kecil di antara relung-relung yang mulai koyak dalam
perbendaharaan syukur dan gigih

Memang angan tak menjanjikan apa-apa


Tahu-tahu,
Memberikan gambaran cerita
Mengkudeta pikir, juang dan asa itu harus diukir
Tahu-tahu,
Waktu sudah habis untuk sekedar berpikir
Akankah anganku termanifestasi
Ataukah terdistraksi, gugur, dan layu dalam genggam hati

jang
Tahu-tahu
Di ujung gerimis kulihat angan masih berdiri
Menunjukkanku ada sebuah payung yang melindungi dari gemericik air dari atas langit
Kemudian melambai dengan senang bahwa dia masih kokoh untuk sekedar berdiri
Dan tak akan pernah lelah kalaupun harus berlari

Terkadang aku dengan mudahnya mengatakan andai


Andai aku dulu begini
Andai aku dulu begitu
Andai seperti ini
Andai seperti itu
Lupa bahwa syukur itu obatnya
Ikhlas itu rahasianya
Dan berjuang adalah kuncinya
Karena tak akan ada rasa ikhlas jika Tuhan tak tunjukkan apa itu lepaskan
Karena tak akan ada gigih jika Tuhan membuka jalan terlalu lebar

Siapa tahu, aku adalah dalam pengandaian


Tentang gigih dan syukur dalam pembendaharaan

Kau yang tertinggal di singgasananya cinta. Untuk yang terlampau suntuk, mengigau bagai
orang papa. Tuk diubahnya menjadi pujangga merah delima. Siapa?

Andai kau tahu, kamu memang seindah itu


Seindah kala langit mengintip sendu di balik tiupan bayu dan wahyu
Seindah kala teduh menetap di hati satu-satu
Seindah kala sore menjelang dan kita masih berbincang
Seindah candu yang selalu gagu ketika mengecup pesonamu
Seindah engkau yang tersenyum di balik kacamatamu
Seindah ketika mengucap mantra
-kita

jang
Biarpun luruh usai menjauh
Bahu yang kau kecup ini masih tangguh
Menantimu dalam doa-doa, dalam suaka ternyaman di singgasana nirwana
Meski terlampau jauh untuk mengartikan debar ini sebagai pelabuh
Namun urung jua mendekat, malah merefleksikan hening yang terus ada
Kepada engkau yang dulu bahunya kujadikan tempat berlabuh
Untuk yang segala tanya dan jawab asa
Untuk yang menanti lewat via manapun
Untuk yang terus minta diterka tanpa ampun

Diri ini bukan apa-apa


Karena lama dipeluk sejuk
Dipangku ribuan rindang pohon
Tak banyak mengeluh, karna sejatinya berjalan terlalu mudah dengan menengok kebelakang
tanpa hambatan
Menciptakan system aku adalah aku
Yang dulu suka dipangku

Kini aku berani berdiri, menantang jurang


Dimasa ketika sunyi mendekap luka
Dimana kita berjumpa laksana embun yang terkembang
Laksana sinar pagi yang bersinar
Seraya mengadah, menghitung entah sudah berapa persen progres yang kita jalani

Adakah yang pernah terpikir ketika kau datang dengan senyum terukir
Dengan jas tersampir dan buku-buku masih sama-sama terjalin
Lupa bahwasannya ada putri aurora duduk disana
Mengantongi doa-doa para peri untuk kebahagiaanya

jang
Sedangkan kau masih disana dengan senyum dan jas, serta buku yang masih sama
Melewati putri untuk ketiga kalinya
Melewati takdir yang tercipta untuk dirinya

Engkau dalam manifestasi, menghidupi aku yang membayang senja karena tak ingin malam
menggulita. Engkau piker yang patut diuji, menghambakan diri disudut kota pagi. Lalu
pengandaianmu menuntut agar selalu disini. Menanti senja, kemudian pergi. Mencari fajar,
kemudian lari.
Aku bisu, aku hampa, aku tuli.

Menangispun aku tak mampu untuk bersua dan bersapa sebagaimana dirinya dijadikan
untuknya sebagai pelipur lara yang bila mana dijadikan tempat yang teduh untuk sekedar
minum kopi dan teh Bersama

Mengukir memori sebenarnya mudah untuk dimengerti.


Tapi untuk menjadikannya pengalaman hidup itu sulit sekali
\

Begitu pula dengan hadirmu yang ingin kuterima dengan akal sehatku
Tapi entah apa yang menjadikannya masih kelabu dan malu akan hadirmu
Maafkan bila hadirmu belum bisa kuterima dan aku masih berusaha
Maaf bila hadirmu belum membuatku jatuh cinta
Dan maaf untuk segalanya

Cinta bisa hadir pada dua insan yang telah diperuntukkan oleh-Nya
Dan cinta juga bisa hilang pada satu hal pemecah olehnya
Tapi cinta butuh dibangun kokoh oleh keduanya
Sehingga cinta bisa bermakna suci dan menginginkan surga-Nya

jang
Maaf sekali aku belum cinta dan masih sangat sulit untuk menerimamu sebagai bagian dari
hidupku. aku berusaha untuk mencintaimu menerimamu. Aku tahu kamu adalah orang baik.
Dan aku sulit untuk bisa memasukkan kebaikanmu dalam hatiku. Karena sesungguhnya aku
masih suka dengan yang lain.
Tapi aku ingin melupakannya dan menjadikan dirimu seutuhnya. Tapi aku tidak mengerti
mengapa ini sulit sekali. Dan semakin aku memikirkannya semakin pula entah apa yang aku
inginkan sebenarnya. Aku tahu dengan sangat aku belum bisa mengerti diriku sepenuhnya.
Meskipun beberapa kali aku mengerti akan diriku sendiri tapi aku masih takut untuk
mengambil langkah selanjutnya. Takut karena langkah itu tidak pasti kemana arahnya. Takut
karena langkah itu belum ada jawabnya.

jang

Anda mungkin juga menyukai