Anda di halaman 1dari 72

HUBUNGAN ANTARA EFEK SAMPING OBAT ANTI

TUBERKULOSIS (OAT) DENGAN KEPATUHAN


BEROBAT PADA LANSIA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS
TANJUNG SELOR BULUNGAN

PROPOSAL PENELITIAN

Riana Sudding
NIM : P07220221208

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PROFESI NERS TAHAP
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
SAMARINDA
2022
HUBUNGAN ANTARA EFEK SAMPING OBAT ANTI
TUBERKULOSIS (OAT) DENGAN KEPATUHAN
BEROBAT PADA LANSIA PENDERITA
TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS
TANJUNG SELOR BULUNGAN

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar


Sarjana Terapan Keperawatan (S. Tr. Kep)

Riana Sudding
NIM : P07220221208

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN PROFESI NERS TAHAP
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
SAMARINDA
2022

i
LEMBAR PERSETUJUAN PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS


(OAT) DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PADA LANSIA
PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS
TANJUNG SELOR BULUNGAN

Di susun dan diajukan oleh :

Riana Sudding
NIM : P07220221208

Telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan

Samarinda, 27 Juli 2022

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Joko Sapto Pramono, S.Kp., MPHM. Ns.Tini, S.Kep.,M.Kep.


NIDN : 4026116602 NIDN : 4001078101

Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Ners
Poltekkes Kemenkes Kaltim

Ns. Parellangi, M.Kep., MH. Kes


NIP. 197512152002121004

ii
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS


(OAT) DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PADA LANSIA
PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS
TANJUNG SELOR BULUNGAN

Di susun dan diajukan oleh :

Riana Sudding
NIM : P07220221208

Telah dipertahankan dalam sidang ujian proposal penelitian

pada tanggal 10 Agustus 2022

dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan

Menyetujui,

Dosen Penguji
Ketua Penguji Anggota Penguji I Anggota Penguji II

dr. Hilda,M.Kes. Joko Sapto Pramono, S.Kp.,MPHM Ns. Tini, S.Kep., M.Kep
NIDN : 4012087102 NIDN : 4026116602 NIDN : 4001078101

Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Ners
Poltekkes Kemenkes Kaltim

Ns. Parellangi, M.Kep., MH. Kes


NIP. 197512152002121004

iii
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Riana Sudding

NIM : PO7220221208

Program Studi : Sarjana Terapan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Kaltim

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa proposal penelitian yang saya tulis

ini benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuansaya di

dalam naskah proposal penelitian ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah

diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan

tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan

oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan

disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di kemudian hari

ternyata di dalam naskah proposal penelitian ini dapat dibuktikan terdapat unsur-

unsur plagiat, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Bulungan, 10 Agustus 2022

Yang membuat pernyataan,

Materai10000

Riana Sudding
NIM PO7220221208

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

“Hubungan Antara Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dengan

Kepatuhan Berobat Pada Lansia Penderita Tuberkulosis Paru Di Puskesmas

Tanjung Selor Bulungan”

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini dapat diselesaikan karena

adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih serta penghargaan

yang sebesar -besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. H. Supriadi B., S. Kp., M. Kep.selaku Direktur Poltekkes Kemenkes

Kalimantan Timur.

2. Hj. Umi Kalsum, M. Kes.selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes

Kemenkes Kalimantan Timur.

3. Ns. Parellangi, S. Kep., M. Kep., MH. selaku Ketua Program Studi Sarjana

Terapan Keperawatan dan Pendidikan Profesi Ners.

4. Bapak Joko Sapto Pramono, S.Kp., MPHM, selaku Dosen Pembimbing

Utama.

5. Ns.Tini, S.Kep.,M.Kep., selaku Dosen Pembimbing Pendamping.

6. Direktur RSUD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo, atas ijin dan dukungan yang

telah diberikan.

7. Kepala Ruang Flamboyan RSUD dr. H. Soemarno Sosroatmodjo, atas ijin

dan dukungan yang telah diberikan.

v
8. Suami, anak-anak dan orang tua yang telah banyak memberikan doa dan

motivasi selama penyusunan proposal ini.

9. Semua pihak yang mendukung dan namanya tidak bisadisebutkan satu-satu.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga proposal penelitian ini

membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bulungan, 10 Agustus 2022

Peneliti

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii
LEMBAR PENGESHAN .................................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................viii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 8
E. Keaslian Penelitian ............................................................................ 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 15


A. Landasan Teori ................................................................................ 15
1. Konsep Lansia .............................................................................. 15
2. Konsep Penyakit TB ..................................................................... 23
3. Konsep Kepatuhan........................................................................ 39
B. Kerangka Teori ................................................................................ 42
C. Kerangka Konsep ............................................................................ 43
D. Hipotesis ........................................................................................... 43

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 44


A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ........................................... 44
B. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 44
C. Populasi dan Sampel ......................................................................... 44
D. Variabel ............................................................................................ 45
E. Definisi Operasional ......................................................................... 45
F. Alat dan Bahan/Instrumen Penelitian ............................................... 46
G. Uji Validitas dan Reliabilitas ........................................................... 47
H. Analisa Data Penelitian .................................................................... 48
I. Jalannya Penelitian............................................................................ 50
L. Etika Penelitian ................................................................................ 53

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 54


LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
Tabel 1.1 : Keaslian Penelitian 9
Tabel 2.1 : Jenis, Sifat dan Dosis OAT 30
Tabel 3.1 : Definisi Operasional Penelitian 45

viii
DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman
Bagan 2.1 : Kerangka Teori Penelitian 42
Bagan 2.2 : Kerangka Konsep Penelitian 43

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
Lampiran 1 : Lembar Penjelasan Penelitian
Lampiran 2 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3 : Instrumen Penelitian
Lampiran 4 : Surat Ijin Studi Pendahuluan

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

signifikan di Indonesia, yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan

kematian. Bakteri Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis

paru, penyakit menular yang persisten. Kuman penyebab tuberkulosis paru

sebagian besar disebarkan melalui droplet yang dihasilkan pasien saat bersin

atau bahkan berbicara. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang signifikan di seluruh dunia dengan 10,0 juta kasus kejadian

tuberkulosis di seluruh dunia pada tahun 2019. Penderita di Asia Tenggara

(44%) dan Pasifik Barat (4%) memiliki jumlah kasus terbesar (18%). Ada

delapan negara dengan jumlah kasus tuberkulosis terbesar, terhitung dua

pertiga dari semua kasus tuberkulosis di seluruh dunia: India (26%), Cina

(8,5%), Indonesia (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%),

Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%) (Nyorong, et.al., 2021).

Data jumlah penderita tuberkulosis paru di Indonesia estimasinya

824.000 kasus dengan jumlah penderita tuberkulosis yang terkonfirmasi

393.323 orang untuk tuberkulosis dengan multi drug resistent (MDR) yang

terkofirmasi sebanyak 7.921 orang. Dari mayoritas penderita tuberkulosis

yaitu berasal dari usia produktif sebanyak 17,3% penderita tuberkulosis

berusia 45-54 tahun. Sebanyak 16,8% penderita tuberkulosis yang berusia 25-

1
2

34 tahun. Kemudian 16,7% penderita tuberkulosis berusia 15-24 tahun. Hal ini

terjadinya peningkatan kasus tuberkulosis pada usia lanjut (lansia) ini

diakibatkan karena dimana lansia mudah terinfeksi karena penurunan daya

tahan tubuh yang membuat fungsi sistem organ tidak sempurna yang meliputi

organ pernapasan, selain itu juga perilaku kurang sehat seperti tidak menutup

mulut pada saat batuk dan bersin dan tidak menjaga kebersihan seperti rajin

mencuci tangan serta asupan gizi yang menurun (Kemenkes RI, 2021).

Data di provinsi Kalimantan Utara angka Case Detection Rate (CDR)

tuberkulosis di tahun 2020 sebanyak 64% dari kasus yang ditemukan

sebanyak 1.607 orang, sementara itu pada tahun 2021 bekurang menjadi 33%

orang dengan angka kesembuhan atau Succes Rate (SR) sebanyak 75% dan

Drop Out (DO) dalam pengobatan sebanyak 226 orang (14%), tahun 2022

terjadi penurunan penemuan kasus dengan angka 338 orang dengan Succes

Rate(SR) sebanyak 63% terdapat 67 orang yang Drop Out. Pada tahun 2021

ditemukan hanya 115 orang dengan angka SR hanya 48 %. Sedangkan sasaran

di Kabupaten Bulungan sebanyak 2.878 orang dan pada tahun 2020 sebanyak

115 orang atau 81%, dengan angka kesembuhan sebanyak 82,4% jadi terdapat

21 orang yang Drop Out (DO). Pada tahun 2021 terdapat 185 orang menderita

tuberkulosis dengan angka kesembuhan sebanyak 135 orang atau 72% jadi

terdapat 50 orang yang Drop Out (SITB Provinsi Kalimantan Utara, 2022).

Pengobatan tuberkulosis menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dengan obat pilihan pertamanya adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Ketidaksesuaian


3

penggunaan OAT, seperti dosis yang kurang atau lebih dan lama pengobatan

yang tidak sesuai akan menjadi penyebab tidak tercapainya efektivitas terapi

pada pasien tuberkulosis, kekambuhan serta resistensi penggunaan OAT.

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila memenuhi persyaratan tepat

pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat diagnosis, tepat cara

pemberian, tepat interval pemberian, tepat lama pemberian, dan pasien

mengetahui efek samping obat serta informasi yang benar (Kemenkes RI,

2011 dalam Fraga, dkk. 2021).

Efek samping obat anti tuberkulosis diketahui merupakan salah satu

fakor risiko terjadinya default. Efek samping obat anti tuberkulosis yang

sering muncul adalah kehilangan nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi,

kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki dan warna kemerahan pada air

seni. Efek samping yang lebih berat seperti gatal dan kemerahan pada kulit,

tuli, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, ikterus tanpa penyebab

lain, bingung dan muntah-muntah hingga purpura dan renjatan atau syok

(Depkes, 2008 dalam Seniantara, dkk. 2018).

Evaluasi kesesuaian penatalaksanaan terhadap efek samping OAT

dilakukan dengan melihat penatalaksanaan yang diterapkan di puskesmas

dibandingkan dengan pedoman Kemenkes tahun 2014, diketahui bahwa efek

samping penggunaan OAT KDT kategori 1 yang rentan dialami adalah mual

dan urin berwarna merah. (Fraga, dkk. 2021). Warna merah pada urin

merupakan efek samping dari penggunaan rifampisin. Efek samping nyeri

tulang, lemas dan demam tidak diketahui apakah termasuk dalam efek
4

samping flu sindrom akibat penggunaan dosis rifampisin intermiten yang

ditandai dengan gejala demam, menggigil, lemas, sakit kepala dan nyeri

tulang. Gatal-gatal ringan merupakan efek samping lainnya akibat penggunaan

isoniazid (Kemenkes, 2014 dalam Fraga, dkk. 2021).

Salah satu kunci dalam keberhasilan pengobatan tuberkulosis yaitu

kepatuhan pasien. Penderita tuberkulosis yang tidak patuh dalam pengobatan

kemungkinan besar disebabkan pemakaian obat jangka panjang, efek samping

yang mungkin timbul, dan kurangnya kesadaran penderita akan penyakitnya.

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang tepat perlu adanya pemantauan

efek samping obat, Semua pasien tuberkulosis yang berobat seharusnya

diberitahukan tentang adanya efek samping obat anti tuberkulosis. Ini sangat

penting untuk dilakukan agar pasien tidak salah paham yang bisa

menimbulkan putus obat. Sebagian besar penderita merasa tidak tahan

terhadap efek samping OAT yang dialami selama pengobatan. Beratnya efek

samping yang dialami tersebut akan berdampak pada kepatuhan berobat

penderita dan bahkan dapat berakibat putus berobat (loss to follow-up) dari

pengobatan (Sari, dkk., 2014 dalam Seniantara, dkk. 2018).

Angka loss to follow-up tidak boleh lebih dari 10%, karena akan

menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang

yang disebabkan karena ketidakefektifan dari pengendalian Tuberkulosis.

Oleh karena itu, menurut Kemenkes RI bahwa dalam rangka meningkatkan

upaya pengendalian tuberkulosis dan khususnya mencegah pasien loss to

follow-up dari pengobatan, maka sangat penting untuk memantau kondisi


5

klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat

segera diketahui dan ditatalaksanakan secara tepat (Kemenkes RI, 2014 dalam

Seniantara, dkk. 2018).

Penelitian yang dilakukan oleh Seniantara, dkk. (2018) mendapatkan

hasil analisis statistik antara pengaruh efek samping OAT terhadap kepatuhan

minum obat pada pasien tuberkulosis dengan menggunakan uji korelasi

Spearman rank, diperoleh nilai ρ value = 0,000 < α 0,05 yang artinya Ha

diterima, artinya ada hubungan yang signifikan antara pengaruh efek samping

OAT terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis, dengan

dengan koefisien korelasi 0,568 terdapatnya tingkat kekuatan hubungan yang

kuat. Penelitian yang dilakukan oleh Nyorong, et.al. (2021) juga mendapatkan

hasil yang sama yaitu variabel efek samping farmakologi memiliki nilai

(p=0,000) yang paling signifikan berhubungan dengan kepatuhan pengobatan.

Pasien dan keluarga harus didukung oleh puskesmas, atau tenaga kesehatan,

yang bertanggung jawab menjalankan program pengobatan tuberkulosis.

Pendidikan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dengan

menjelaskan efek samping obat tuberkulosis dan mendorong pasien untuk

terus meminumnya sampai mereka cukup sehat untuk melakukannya.

Penderita yang berusia lansia rentan untuk terinfeksi TB paru. Pasien

lansia mempunyai kekebalan imunitas tubuh yang rendah seiring proses

penuaan. Hal ini dikarenakan seluruh fungsi organ juga mengalami penurunan

sehingga kuman mudah masuk ke dalam tubuh lansia (Christy, dkk. 2022).

Lansia penderita TB merupakan populasi yang perlu mendapat perhatian dari


6

pemberi layanan kesehatan karena dampak dari TB dapat menimbulkan

permasalahan bagi lansia dan berpotensi menimbulkan beban bagi keluarga

dan masyarakat. Seseorang yang terdiagnosa TB, terutama lansia, sering

mendapatkan efek negatif dari terapi, hal ini dikaitkan dengan beberapa faktor

yang telah banyak diteliti, seperti pengaruh umur dan adanya komorbid

lainnya, imunosupresi, dan reaksi efek samping obat (Andayani dan Astuti,

2017 dalam Rilangi, 2020).

Data pada lansia penderita tuberkulosis paru di Kabupaten Bulungan

tahun 2021 sebanyak 64 orang dengan rata-rata perbulan sebanyak 4 orang.

Data pada tahun 2022 di Puskesmas Tanjung Selor bulan Januari sampai

dengan juni sebanyak 24 orang, Januari sebanyak 5 Orang, Februari sebanyak

3 Orang, Maret sebanyak 3 orang, April sebanyak 4 orang dan Mei sebanyak 5

orang dan Juni sebanyak 4 Orang. Jumlah kasus baru Tuberkulosis paru BTA

Positif tertinggi berada di Puskesmas Tanjung Selor (Dinas Kesehatan

Kabupaten Bulungan, 2022). Dari jumlah pasien di Puskesmas Tanjung Selor

tahun 2022 sebanyak 45 orang yang ditemukan dan diobati dari kasus ini

terdapat 24 orang lansia sedangkan sisanya usia produktif dan anak.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 2

dan 3 Juni 2022 mendapatkan bahwa petugas puskesmas rutin melakukan

pemantauan kepatuhan lansia terhadap pengobatan tuberkulosis paru, dengan

hasil masih ada lansia yang tidak patuh minum obat setiap harinya. Penderita

juga mengeluhkan efek samping obat yang diminum berupa tidak nafsu makan

dan mual, badan cepat lelah, nyeri sendi, serta badan terasa gatal-gatal dan
7

kemerahan. Namun tidak ada keinginan untuk sengaja berhenti obat karena

penderita mengerti pentingnya minum obat teratur.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian berjudul “Hubungan antara efek samping obat anti tuberkulosis

(OAT) dengan kepatuhan berobat pada lansia penderita tuberkulosis paru

di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah

adalah bagaimana hubungan antara efek samping obat anti tuberkulosis (OAT)

dengan kepatuhan berobat pada lansia penderita tuberkulosis paru di

Puskesmas Tanjung Selor Bulungan?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara efek samping obat anti

tuberkulosis (OAT) dengan kepatuhan berobat pada lansia penderita

tuberkulosis paru di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) pada

lansia penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Tanjung Selor

Bulungan.

b. Mengidentifikasi kepatuhan berobat pada lansia penderita

tuberkulosis paru di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.


8

c. Menganalisis hubungan antara efek samping obat anti tuberkulosis

(OAT) dengan kepatuhan berobat pada lansia penderita tuberkulosis

paru di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapar menambah pengetahuan, wawasan

dan sebagai bahan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan

khususnya dibidang ilmu keperawatan dalam melakukan asuhan

keperawatan terhadap lansia penderita Tuberkulosis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pihak Puskesmas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

kepada pihak puskesmas tentang pentingnya mengetahui efek samping

obat anti tuberkulosis (OAT) yang berhubungan dengan kepatuhan

berobat pada lansia penderita tuberkulosis paru.

b. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi

untuk melakukan evaluasi terhadap efek samping obat anti

tuberkulosis (OAT) yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pada

lansia penderita tuberkulosis paru.

c. Bagi Peneliti Lain


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

dan referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.


9

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian


Metode (Desain,
Volume, Sampel, Variabel,
No Penulis Tahun Judul Hasil Penelitian Database
Angka Instrumen dan
Analisis)
1 Seniantara, 2018 Vol 3, Pengaruh Efek D: Corelational Hasil dari penelitian ini Google Scholar
dkk No 2 Samping Oat study menunjukkan bahwa korelasi
(Obat Anti S: Purposive yang terjadi antara http://journal.stikess
Tuberculosis) Sampling efek samping OAT dan uakainsan.ac.id/inde
Terhadap V: Pengaruh Efek kepatuhan minum obat adalah x.php/jksi/article/vie
Kepatuhan Samping Oat (Obat hubungan yang berbanding w/98
Minum Obat Anti Tuberculosis) lurus artinya semakin berat
Pada Pasien dan Kepatuhan efek samping OAT maka
Tbc Di Minum Obat Pada semakin tidak patuh minum
Puskesmas Pasien TBC obat, dan semakin ringan efek
I: Lembar samping OAT maka semakin
Kuesioner patuh minum obat.
A: Spearman rank
2 Fraga, dkk 2020 Vol 8, Evaluasi D: Observasional Hasil penelitian Google Scholar
No 1 Penggunaan S: Total sampling menggambarkan bahwa OAT
Obat Anti V: Penggunaan yang digunakan adalah OAT https://scholar.archiv
Tuberkulosis Obat Anti KDT kategori 1 dengan e.org/work/ma5hqft
Pasien Baru Tuberkulosis rasionalitas penggunaan OAT mxfdpnabani2oyiq4h
Tuberkulosis Pasien Baru yaitu tepat dosis (100%), tepat 4/access/wayback/htt
Paru Di Tuberkulosis Paru lama pengobatan (94,11%) ps://stfm.ac.id/ejourn
Puskesmas I: Lembar dan penatalaksanaan terhadap als/index.php/Jurnal
Oebobo Kuesioner efek samping OAT KDT Farmagazine/article/
Kupang Tahun A: Chi Square kategori 1 belum sesuai download/530/pdf
10

2020 dengan pedoman Kemenkes


tahun 2014 serta data hasil
pengobatan pasien terdiri atas
pasien sembuh (57,35%),
pasien pengobatan lengkap
(36,76%), pasien putus
berobat (0,00%), pasien gagal
pengobatan (0,00%), pasien
meninggal (4,41%) dan tidak
dievaluasi (1,47%).
3 Hokky 2019 - Gambaran D: Studi potong Sampel berjumlah 60 orang, Google Scholar
Penggunaan lintang terdiri dari laki-laki sebanyak
Obat Anti S: Total Sampling 36 orang (60%). MDR-TB https://repositori.usu.
Tuberkulosis V: Penggunaan banyak ditemukan pada ac.id/handle/123456
Dan Efek Obat Anti kelompok umur 28-34 tahun 789/25512
Sampingnya Tuberkulosis yaitu sebanyak 18 orang
Pada Pasien Dan Efek (30%), dengan pendidikan
Tb Paru Sampingnya tertinggi SMA(K) sebanyak
Multidrug Pada Pasien Tb 32 orang (53,3%). 33 orang
Resistance Paru (55%) pasien MDR-TB
Dewasa I: Lembar mengalami efek samping obat
Yang Berobat Kuesioner yang dominan berupa gastritis
Ke Rsup Haji A: Chi Square (78%). Efek samping obat
Adam Malik dominan muncul pada minggu
(Rsup Ham), pertama sebanyak 34 kali dan
Medan, Tahun pada minggu ke-2, 31 kali.
2016 Evaluasi pengobatan terhadap
pasien, dinyatakan sembuh
(86,7%), meninggal (5%),
tidak terevaluasi (5%), serta
yang loss to follow-up (3,3%).
11

4 Syaifiyatul, 2020 Vol 1, Kepatuhan D: Deskriptif Kriteria umur pasien >46 Google Scholar
dkk No 1 Minum Obat observasional tahun paling banyak 13
Anti S: Tidak orang.Tingkat kepatuhan https://www.journal.
Tuberkulosis Disebutkan Dlaam mencapai 87% sebanyak 20 uim.ac.id/index.php/
Pada Pasien Jurnal orang. Adapun latar belakang Attamru/article/down
Tbc Regimen V: Kepatuhan pendidikan paling banyak load/917/598
Kategori I Di Minum Obat Anti tamat SD sebanyak 14
Puskesmas Tuberkulosis orang.Sedangkan jenis
Palengaan I: Lembar pekerjaan pasien TB 9 orang
Kuesioner paling banyak sebagai
A: Chi Square petani.Pendidikan diduga
dapat mempengaruhi tingkat
pengetahun pasien tentang
penyakit TB dan pekerjaan
dapat mempengaruhi tingkat
ekonomi yang dapat
mendorong kesadaran pasien
untuk berobat prevensi
penyakit TB. Data penelitian
menunjukkan 87% responden
patuh dan 13% responden
tidak patuhdalam penggunaan
obat.
5 Nyorong, 2021 Vol 2, Analysis of D: Cross Sectional Analisis multivariat Google Scholar
et. al No 4 Factors S: Total Sampling menunjukkan bahwa variabel
Associated V: Kepatuhan efek samping farmakologi http://www.amrsjour
with Minum Obat Pada memiliki nilai (p=0,000) yang nals.com/index.php/j
Compliance Penderita paling signifikan. Pasien dan amrmhss/article/view
with Taking Tuberkulosis Paru keluarga harus didukung oleh /222
Medicines for I: Lembar puskesmas, atau tenaga
Pulmonary Kuesioner kesehatan, yang bertanggung
12

Tuberculosis A: Chi Square jawab menjalankan program


Patients at Lut pengobatan TB, sehingga
Tawar Health mereka dapat mengawasi
Center, kepatuhan pengobatan orang
Central Aceh yang mereka cintai dan
Regency menghindari penarikan dan
resistensi obat. Sebagai
bagian dari pendidikan
kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan, mereka
menjelaskan efek samping
obat TB dan mendorong
pasien untuk terus
meminumnya sampai mereka
cukup sehat untuk
melakukannya.
6 Chen, et. al. 2020 Vol 14, Determinants D: Cross Sectional Di antara 564 peserta yang Pubmed
No 7 of Medication S: Tidak memenuhi syarat, 236
Adherence for disebutkan dalam (41,84%) dan 183 (32,45%) https://www.ncbi.nl
Pulmonary jurnal dipamerkan kepatuhan m.nih.gov/pmc/articl
Tuberculosis V: Kepatuhan pengobatan tinggi dan sedang, es/PMC7354008/
Patients Minum Obat Pada masing-masing, tetapi 145
During Pasien (25,71%) menunjukkan
Continuation Tuberkulosis Paru rendah kepatuhan minum
Phase in Selama Fase obat. Regresi logistik ordinal
Dalian, Lanjutan multivariat menunjukkan
Northeast I: Lembar bahwa pasien yang lebih tua
China Kuesioner (OR: 1,02, p=0,013)
A: Chi Square dipekerjakan (OR: 1,61,
p=0,011), memiliki TB yang
lebih baik pengetahuan (OR:
13

1,34, p<0,001), dan tidak


mengkonsumsi alkohol (OR:
1,84, p=0,032) dipamerkan
kepatuhan minum obat yang
lebih tinggi. Namun, pasien
yang tidak mengikuti saran
dokter mereka untuk minum
obat ajuvan (OR: 0,44,
p=0,001), memiliki riwayat
pengobatan TB (OR: 1,76,
p=0,009), mengalami efek
samping obat (OR: 0.65,
p=0.017), mengalami stigma
(OR: 0.67, p=0,032), dan
membutuhkan perawatan
yang diawasi (OR: 0,66,
p=0,012) menunjukkan
pengobatan yang lebih rendah
ketaatan.
14

Dari ke enam penelitian sebelumnya yang sudah dijabarkan pada tabel keaslian penelitian, maka peneliti menyimpulkan perbedaan

penelitian yang dilakukan terdapat pada aspek variabel independen dimana pada penelitian ini adalah efek samping obat anti

tuberkulosis (OAT) sedangkan pada penelitian terdahulu ada yang menelti tentang pendidikan, pekerjaan, jarak dari rumah,

pengetahuan dan dukungan keluarga. Pada aspek jenis responden penelitian dimana penelitian ini menggunakan lansia penderita

tuberkulosis sedangkan pada penelitian terdahulu menggunakan penderita tuberculosis usia dewasa sampai lansia. Penelitian ini

dilakukan pada tahun 2022 sedangkan penelitan terdahulu dilakukan pada periode tahun 2018 sampai 2021. Lokasi penelitian ini di

Puskesmas Tanjung Selor Bulungan sedangkan pada penelitian terdahulu dilakukan di Puskesmas Pekauman Banjarmasin,

Puskesmas OEBOBO Kupang, Puskesmas Palengaan Pamekasan dan Puskesmas Lut Tawar Aceh Tengah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep Lansia

a. Pengertian Lansia

Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari siklus hidup

manusia, yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap

individu. Lansia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun.

Kelompok lansia ini memerlukan perhatian khusus, mengingat

jumlahnya yang meningkat cepat dan berpotensi menimbulkan

permasalahan yang akan mempengaruhi kelompok penduduk lain

sehingga aspek demografi dari kelompok lansia perlu diketahui dan

dipahami untuk mengambil langkah antisipasi dalam mengatasi

permasalahan lanjut usia (Muhith dan Siyoto, 2016).

Pengertian lansia menurut Peraturan Menteri Sosial nomor 5

tahun 2018 tentang standar nasional rehabilitasi sosial lanjut usia

menyebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia

60 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2018). Lansia ini dibagi dalam

kategori lansia potensial yaitu lanjut usia yang mampu melakukan

pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/ atau

jasa serta kategori lansia tidak potensial yaitu lanjut usia yang tidak

berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan

orang lain.

15
16

b. Batasan Lansia

Batasan lansia dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu

pralansia (prasenilis) adalah seseorang yang berusia antara 45 sampai

59 tahun; lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun lebih dan

lansia resiko tinggi adalah seorang lansia yang berusia 60 tahun atau

lebih yang memiliki masalah kesehatan (Muhith dan Siyoto, 2016).

Sedangkan WHO mengklasifikasikan lanjut usia yaitu: usia

pertengahan (middle age) adalah orang yang berusia 45-59 tahun, usia

lanjut (elderly) adalah orang yang berusia 60-74 tahun, usia lanjut tua

(old) adalah orang yang berusia 75-90 tahun dan usia sangat tua (very

old) adalah orang yang berusia > 90 tahun.

c. Karakteristik Lansia

Menurut Keliat (1999 dalam Muhith dan Siyoto, 2016), lansia

memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun;

kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai

sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi

adaptif hingga kondisi maladaptif; lingkungan tempat tinggal yang

bervariasi. Selain itu, dijabarkan pula karakteristik lansia berdasarkan

demografi yaitu sebagai berikut:

1). Umur

Komposisi penduduk menurut umur merupakan cermin

proses demografi masa lalu sekaligus juga memberikan gambaran

perkembangan penduduk masa depan sebagai akibat dari proses


17

kelahiran dan kematian. Kelompok sasaran yang saat ini menjadi

perhatian pemerintah adalah penduduk usia 60 tahun ke atas atau

penduduk lanjut usia (lansia). Meningkatnya jumlah lansia diyakini

merupakan proses transisi demografi yaitu perubahan struktur

penduduk sebagai akibat dari kemajuan pembangunan.

2). Jenis Kelamin

Menurut jenis kelamin, jumlah lansia perempuan sebesar

10,44 juta orang atau 54,03% dari seluruh penduduk lansia, dan

jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yang hanya

8,88 juta orang atau 45,97% dari seluruh penduduk (Komnas

Lansia, 2010). Jumlah penduduk lansia perempuan yang lebih

tinggi dibandingkan laki-laki disebabkan usia harapan hidup

perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

Perbedaan jenis kelamin juga dapat merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi psikologis lansia, sehingga akan berdampak

pada bentuk adaptasi yang digunakan. Darmojo, dkk. (1999 dalam

Tamher dan Noorkasiani, 2019) menyatakan hasil penelitian

mereka yang memaparkan bahwa ternyata keadaan psikososial

lansia di Indonesia secara umum masih lebih baik dibandingkan

lansia di negara maju, antara lain tanda-tanda depresi (laki-laki

4,3% dan perempuan 4,2%), menunjukkan kelakuan atau tabiat

buruk (laki-laki 7,3% dan perempuan 3,7%), serta cepat marah/

irritable (laki-laki 17,2% dan perempuan 7,1%). Jadi, dapat


18

diasumsikan bahwa perempuan lansia lebih siap dalam

menghadapi masalah dibandingkan laki-laki lansia, hal ini

dikarenakan perempuan lebih mampu menghadapi masalah

daripada laki-laki yang cenderung lebih emosional.

3). Status Perkawinan

Data Susenas (2009, dalam Komnas Lansia, 2010) juga

memperlihatkan persentase penduduk lansia menurut status

perkawinan. Sebagian besar lansia berstatus kawin (59,24 persen),

dan cerai mati (37,57 persen). Sedangkan lansia yang bersatus cerai

hidup sebesar 2,21 persen dan yang belum kawin sebesar 0,97

persen. Menurut jenis kelamin, pola status perkawinan penduduk

lansia laki-laki berbeda dengan perempuan. Lansia perempuan

lebih banyak yang berstatus cerai mati (57,43 persen), sedangkan

lansia laki-laki lebih banyak yang berstatus kawin (83,97 persen).

4). Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu unsur penting untuk

meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencapai kehidupan

yang lebih baik. Pendidikan di masa yang akan datang akan

menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Salah

satu upaya untuk meningkatkan pendidikan adalah dengan

menyediakan fasilitas dan sarana pendidikan yang baik. Dengan

tersedianya fasilitas pendidikan, akan meningkatkan jumlah

penduduk yang bersekolah, sehingga pemerataan pendidikan dapat


19

terwujud. Kemudahan fasilitas pendidikan sangat dirasakan saat

ini, namun tidak demikian halnya generasi tua pada jamannya dulu.

5). Pekerjaan

Secara struktur demografi, lansia merupakan kelompok

sumber daya manusia (SDM) yang tidak produktif

(ketergantungan). Kenyataannya masih banyak lansia yang masih

produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, namun karena faktor

usia, tentunya lansia dihadapkan dengan keterbatasan.

Peraturan Menteri Sosial nomor 5 tahun 2018 tentang

standar nasional rehabilitasi sosial lanjut usia menyebutkan adanya

lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

dan lansia tidak potensial yaitu lanjut usia yang tidak berdaya

mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung bantuan orang lain.

6). Keadaan Sehat Sakit

Derajat kesehatan penduduk merupakan cerminan kualitas

SDM suatu bangsa. Upaya untuk membangun SDM berkualitas

menjadi perhatian dalam setiap program pembangunan. Upaya

membangun SDM berkualitas dalam bidang kesehatan mencakup

semua penduduk, termasuk lansia. Lansia memiliki perlakuan

khusus dibidang kesehatan karena keterbatasan fisik yang

dimilikinya.
20

Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lanjut usia, agar

kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar.

Pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah berupa

peningkatan: penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan

lansia; upaya penyembuhan (kuratif), yang diperluas pada bidang

pelayanan geriatrik/gerontologik; pengembangan lembaga

perawatan lanjut usia yang menderita penyakit kronis dan/atau

penyakit terminal.

d. Perubahan-Perubahan Pada Lansia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia menurut Muhith

dan Siyoto, (2016) adalah:

1). Perubahan atau kemunduran biologis

a). Kulit yaitu kulit menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis

lagi. Fungsi kulit sebagai penyekat suhu tubuh lingkungan dan

perisai terhadap masuknya kuman terganggu.

b). Rambut yaitu rontok berwarna putih kering, tidak mengkilat

yang berkaitan dengan perubahan degeneratif kulit.

c). Gigi mulai habis.

d). Penglihatan dan pendengaran berkurang.

e). Mudah lelah, gerakan menjadi gambaran lamban dan kurang

lincah.
21

f). Kerampingan tubuh menghilang disana-sini terjadi timbunan

lemak terutama dibagian perut dan panggul.

g). Otot yaitu jumlah sel otot berkurang mengalami atrofi

sementara jumlah jaringan ikat bertambah, volume otot secara

keseluruhan menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya

berkurang.

h). Jantung dan pembuluh darah yaitu berbagai pembuluh darah

penting mengalami kekakuan. Lapisan intim menjadi kasar

akibat merokok, hipertensi, diabetes melitus, kolestrol tinggi

dan lain-lain yang memudahkan timbulnya penggumpalan

darah dan trombosis.

i). Tulang pada proses menua kadar kapur (kalsium) menurun

akibat tulang menjadi keropos dan mudah patah.

j). Seks yaitu produksi hormon testoteron pada pria dan hormon

progesterone/ estrogen wanita menurun dengan bertambah

umur.

2). Perubahan atau kemunduran kemampuan kognitif

a). Mudah lupa karena ingatan tidak berfungsi dengan baik.

b). Ingatan kepada hal-hal dimasa muda lebih baik dari pada yang

terjadi pada masa tuanya yang pertama dilupakan adalah nama.

c). Orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang atau

tempat juga mundur, erat hubungannya dengan daya ingat yang


22

sudah mundur dan juga karena pandangan yang sudah

menyempit.

d). Meskipun telah mempunyai banyak pengalaman skor yang

dicapai dalam test-test intelegensi menjadi lebih rendah

sehingga lansia tidak mudah untuk menerima hal yang baru.

3). Perubahan-perubahan psikososial

a). Pensiun, nilai seseorang sering diukur oleh produktifitasnya

selain itu pensiun dikaitkan dengan peranan pekerjaan.

b). Merasakan atau sadar akan kematian.

c). Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan

bergerak lebih sempit.

d). Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan.

e). Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

f). Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial .

g). Gangguan saraf panca indera.

h). Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

i). Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan

teman dan famili

j). Hilangnya kemampuan dan ketegapan fisik.


23

2. Konsep Penyakit TB

a. Pengertian

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies

Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis,

M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis

yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai

MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa

mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB (Kemenkes RI,

2016).

Penyakit tuberkulosis paru-paru atau yang sering disebut

dengan TB merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim

paru-paru yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis

(Soemantri, 2017). Jadi dapat disimpulkan pengertian penyakit TB

adalah penyakit menular yang menyerang parenkim paru-paru

disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis.

b. Etiologi

Etiologi dari TB adalah kuman mycobacterium tuberculosis

berbentuk batang berukuran panjang 1-4 m dan tebal 0,3-0,6m.

Sebagian besar komponen mycobacterium tuberculosis adalah lemak/

lipid sehingga tahan terhadap asam, zat kimia dan faktor fisik.

Mikroorganisme ini bersifat aerob yakni menyukai daerah yang


24

banyak oksigen. Oleh karena itu, kuman ini senang tinggal di daerah

apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi (Soemantri, 2017).

Secara khas kuman berbentuk granula dalam paru

menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Kuman

mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan sinar matahari

langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap

dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman dapat dormant/ tertidur lama

selama bertahun-tahun (Achmadi, 2018).

c. Cara Penularan

Kuman mycobacterium tuberculosis menyebar melalui rute

penularan udara, melalui nuklei droplet yaitu partikel yang dihasilkan

oleh seseorang dengan TB batuk, bersih atau berbicara. Nuklei droplet

berukuran sekitar 1-5m dan memiliki kemampuan tetap melayang di

udara dalam periode yang lama dan dapat terbawa masuk kedalam

rumah melalui saluran udara. Infeksi terjadi ketika seseorang yang

beresiko kemudian menghirup partikel ini ke dalam paru-parunya.

Adapun cara penularan TB menurut Kemenkes RI, (2016) adalah:

1). Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

2). Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

3). Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak

berada dalam waktu yang lama.


25

4). Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar

matahari langsung dapat membunuh kuman.

5). Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang

gelap dan lembab.

6). Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman

yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan

hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

7). Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB

ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut.

Resiko penularan dari seorang penderita TB dapat dirinci

sebagai berikut:

1). Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan

dahak

2). Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko

penularan lebih besar dari pasien TB dengan BTA negatif

3). Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk

of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang

berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti

10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di

Indonesia bervariasi antara 1-3%.


26

d. Gejala Klinis Penderita TB

Gejala klinis yang sering muncul pada penderita TB menurut

Somantri (2017) yaitu sebagai berikut:

1). Demam subfebris atau febris yang hilang timbul

2). Batuk akibat adanya iritasi bronkus

3). Sesak napas akibat infiltrasi radang sampai setengah paru-paru

4). Nyeri dada jika infiltrasi radang sampai pleura

5). Malaise berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat badan

menurun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat malam

6). Sianosis dan kolaps sebagai gejala atelektasis.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit

paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker

paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia masih

tinggi, maka setiap orang yang datang ke sarana kesehatan dengan

gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek)

pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

langsung (Kemenkes RI, 2016).

e. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan

suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu:

1). Lokasi atau organ tubuh yang sakit (paru atau ekstra paru);

2). Bakteriologi dilihat dari hasil pemeriksaan dahak secara

mikroskopis (BTA positif atau BTA negatif);


27

3). Tingkat keparahan penyakit (ringan atau berat);

4). Riwayat pengobatan TB sebelumnya (baru atau sudah pernah

diobati).

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB berdasarkan organ

tubuh yang terkena yaitu:

1). TB paru

TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru.

Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2). TB ekstra paru

TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan

lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

pada penderita TB, yaitu (Kemenkes RI, 2016):

1). TB BTA positif

a). Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya

BTA positif.

b). 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks

dada menunjukkan gambaran TB.

c). 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

TB positif.
28

d). 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA

negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika

non OAT (obat anti TB).

2). TB BTA negatif (Suspek TB)

a). Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB BTA positif.

Kriteria diagnostik TB BTA negatif harus meliputi:

(1). Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

(2). Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.

(3). Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT.

b). Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB berdasarkan tingkat

keparahan penyakit, yaitu:

1). TB BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat

keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk

berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran

kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan

atau keadaan umum pasien buruk.

2). TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu:
29

a). TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis

eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi,

dan kelenjar adrenal.

b). TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang,

TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi

menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1). Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2). Kambuh (relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3). Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau

lebih dengan BTA positif.

4). Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.
30

5). Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan

yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya

(Kemenkes RI, 2016).

f. Pengobatan

1). Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai

penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat

anti TB (OAT). Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan

jenis, sifat dan dosis yang dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kgBB)
Harian 3 x seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampicin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid
(20-30) (30-40)
15
Streptomycin (S) Bakterisid -
(15-20)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostatik
(12-18) (20-35)

2). Prinsip pengobatan

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

a). OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis

obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan.
31

b). Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT

Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan

sangat dianjurkan.

c). Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

d). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal

(intensif) dan lanjutan.

(1). Tahap awal (intensif)

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat

setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk

mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap

intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi

BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

(2). Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat

lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.


32

3). Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia hasil

rekomendasi WHO dan IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease), yaitu:

a). Kategori 1

(1). 2HRZE/4H3R3

(2). 2HRZE/4HR

(3). 2HRZE/6HE

b). Kategori 2

(1). 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

(2). 2HRZES/HRZE/5HRE

c). Kategori 3

(1). 2HRZ/4H3R3

(2). 2HRZ/4HR

(3). 2HRZ/6HE

Sedangkan panduan OAT yang digunakan oleh Program

Nasional Penanggulangan TB di Indonesia

a). OAT kategori-1 yaitu 2HRZE/4(HR)3 dan OAT kategori-2

yaitu 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan

dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-

KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan

dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari
33

kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas

dalam satu paket untuk satu pasien.

b). Paket Kombipak

Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri

dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang

dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan

program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang

mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk

paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan

menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai

selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)

masa pengobatan. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai

beberapa keuntungan dalam pengobatan penderita TB. Dosis

obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

efektifitas obat dan mengurangi efek samping. Mencegah

penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko

terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan

penulisan resep. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit.


34

g. Upaya Pengendalian Faktor Risiko TB

Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi

sampai dengan mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di

masyarakat (Kemenkes RI, 2016). Upaya yang dilakukan adalah:

1) Pengendalian Kuman Penyebab TB

a) Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan

pengobatan tetap tinggi.

b) Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid

TB) yang mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV,

diabetes.

2) Pengendalian Faktor Risiko Individu

a) Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,

makan makanan bergizi, dan tidak merokok

b) Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang

dahak bagi pasien TB

c) Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas

nutrisi bagi populasi terdampak TB

d) Pencegahan bagi populasi rentan

(1). Vaksinasi BCG bagi bayi baru lahir

(2). Pemberian profilaksis INH pada anak di bawah lima

tahun

(3). Pemberian profilaksis INH pada ODHA selama 6 bulan

dan diulang setiap 3 tahun


35

(4). Pemberian profilaksis INH pada pasien dengan indikasi

klinis lainnya seperti silikosis.

3) Pengendalian Faktor Lingkungan

a) Mengupayakan lingkungan sehat

b) Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan

dan lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat.

4) Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan

a) Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil,

belum ada program, padat penduduk).

b) Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko

tinggi penularan TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan,

tempat kerja, institusi pendidikan berasrama, dan tempat lain

yang teridentifikasi berisiko).

5) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)

Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat

dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi

perhatian utama. Semua fasyankes yang memberi layanan TB

harus menerapkan PPI TB untuk memastikan berlangsungnya

deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang

yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut

berupa penanggulangan infeksi dengan 4 pilar yaitu:


36

a) Pengendalian secara Manajerial

Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen

yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi

program PPI TB yang meliputi:

(1). Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.

(2). Membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) mengenai

alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan

surveilans.

(3). Membuat perencanaan program PPI TB secara

komprehensif.

(4). Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta

pemeliharaannya sesuai PPI TB.

(5). Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program

PPI TB, yaitu tenaga, anggaran, sarana dan prasarana

yang dibutuhkan.

(6). Monitoring dan Evaluasi.

(7). Melakukan kajian di unit terkait penularan TB.

(8). Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan

organisasi masyarakat terkait PPI TB.

b) Pengendalian secara administratif

Pengendalian secara administratif adalah upaya yang

dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman M.

tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung


37

dan lingkungan sekitarnya dengan menyediakan, menyebar

luaskan dan memantau pelaksanaan prosedur baku serta alur

pelayanan. Upaya ini mencakup:

(1). Strategi (Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara

aman, Obati secara tepat).

(2). Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.

(3). Penyediaan tisu dan masker bedah, tempat pembuangan

tisu, masker bedah serta pembuangan dahak yang benar.

(4). Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE.

(5). Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.

c) Pengendalian lingkungan fasyankes

Pengendalian lingkungan fasyankes adalah upaya

peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan

menggunakan teknologi sederhana untuk mencegah

penyebaran kuman dan mengurangi/menurunkan kadar

percikan dahak di udara. Upaya Penanggulangan dilakukan

dengan menyalurkan percikan dahak kearah tertentu

(directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi

ultraviolet sebagai germisida.

d) Pemanfaatan Alat Pelindung Diri

Penggunaan alat pelindung diri pernafasan oleh

petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk

menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak


38

dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan

lingkungan. Alat pelindung diri pernafasan disebut dengan

respirator partikulat atau disebut dengan respirator.

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95

atau FFP2 (health care particular respirator), merupakan

masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi

seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa

melalui udara. Sebelum memakai respirator ini, petugas

kesehatan perlu melakukan fit tes untuk mengetahui ukuran

yang cocok.

PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah

pelaksanaan Penanggulangan infeksi pada rutan/lapas, rumah

penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat

pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas

skrining TB harus dilakukan pada saat Warga Binaan

Pemasyarakatan baru, dan kontak sekamar (Kemenkes RI,

2016).
39

3. Konsep Kepatuhan

a. Pengertian

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang

timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien

sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan

menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes RI,

2018). Kepatuhan pada pasien adalah sejauh mana perilaku individu

sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas kesehatan.

Kepatuhan sebagai suatu proses yang dinamis, dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang tidak berdiri sendiri, memerlukan suatu

kombinasi strategi promosi, memerlukan sebuah tim yang terdiri dari

multidisiplin profesi yang terintegrasi dan dapat bekerjasama dengan

baik dalam memberikan perawatan komprehensif berkesinambungan.

(Nursalam, 2017) menyebutkan kepatuhan sebagai suatu istilah

yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam kontrol

berobat secara benar tentang dosis, frekuensi dan waktunya. Dalam hal

ini, pasien dilibatkan dalam memutuskan apakah minum obat atau

tidak. Pasien diharapkan mau mengerjakan apa yang telah dijelaskan

oleh dokter atau apoteker tentang kontrol berobat.

Kepatuhan pasien terhadap kontrol pengobatan ditambahkan

oleh Niven (2012) adalah suatu ketaatan pasien terhadap jadwal

kunjungan berobat yang telah ditentukan. Kepatuhan dalam kontrol

berobat merupakan tingkatan pasien dalam melaksanakan jadwal


40

kontrol berobat dan perilaku yang disarankan oleh dokter. Kepatuhan

tersebut membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam manajemen

perawatan diri dan kerjasama dengan petugas kesehatan.

b. Kategori Kepatuhan Berobat TB

Kategori kepatuhan berobat TB digolongkan menjadi dua yaitu:

1) Patuh kontrol adalah pasien TB yang kontrol berobat teratur dan

lengkap tanpa terputus dibuktikan dengan kunjungan ke Puskesmas

untuk mengambil obat TB setiap bulan.

2) Tidak patuh kontrol adalah pasien TB yang kontrol berobat tidak

teratur atau tidak lengkap dan terputus dibuktikan dengan

kunjungan ke Puskesmas untuk mengambil obat TB tidak setiap

bulan.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Kepatuhan pasien terhadap kontrol berobat merupakan wujud

dari perilaku pasien patuh atas jadwal kontrol berkala atas dirinya atau

perilaku sehat (healthy behavior) sehingga perilaku kesehatan berperan

penting terhadap kepatuhan kontrol berobat (Notoatmodjo, 2018).

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas makhluk hidup yang

bersangkutan. Sedangkan Skiner (1938, dalam Notoatmodjo, 2018)

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang

terhadap stimulus (rangsangan dari luar).


41

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam

konteks perilaku kesehatan menurut Green (1980, dalam Notoatmodjo,

2018) terdiri dari tiga faktor, yaitu:

1) Faktor Predisposisi (predisposing factor)

Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang

mempermudah terjadinya perilaku pada seseorang. Mencakup

pengetahuan dan sikap seseorang terhadap kesehatan, tradisi dan

kepercayaan keluarga terhadap hal-hal yang berhubungan dengan

kesehatan, sistem nilai yang dianut, tingkat pendidikan dan tingkat

sosial ekonomi.

2) Faktor pemungkin (enabling factor)

Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau

memfasilitasi terjadinya perilaku. Mencakup ketersediaan sarana

dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi pasien seperti

puskesmas, dokter praktik, rumah sakit yang mudah dijangkau

oleh pasien termasuk dalam hal ini adalah pasien DM di

puskesmas.

3) Faktor penguat (reinforcing factor)

Faktor penguat adalah faktor yang mendorong atau

memperkuat terjadinya perilaku. Faktor ini mencakup sikap dan

perilaku tokoh masyarakat dan petugas kesehatan serta adanya

undang-undang dan peraturan pemerintah.


42

B. Kerangka Teori

Lansia

Perubahan Pada Lansia


1. Perubahan atau kemunduran
biologis
2. Perubahan atau kemunduran
kemampuan kognitif
3. Perubahan-perubahan psikososial

Kuman
mycobacterium tuberculosis
Efek Samping OAT
1. Mual
2. Tidak Nafsu Makan Lansia penderita TB
3. Sakit Perut
4. Nyeri Sendi
5. Kesemutan
6. Rasa Terbakar di Kulit Pengobatan TB
7. Warna Kemerahan Pada Air Seni Obat Anti TB (OAT)
8. Kemerahan di Kulit 1. OAT kategori-1: 2HRZE/4(HR)3
9. Gangguan Pendengaran 2. OAT kategori-2:
10. Gangguan Keseimbangan 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3
11. Bingung dan muntah-muntah
3. Paket kombipak: Isoniasid,
12. Gangguan Panglihatan
13. Syok Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol

Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan


1.
C. Faktor Predisposisi
a. Pengetahuan
D.
b. Sikap
E. c. Tradisi dan kepercayaan keluarga
F. d. Sistem nilai yang dianut Kepatuhan
G. e. Tingkat pendidikan Pengobatan (adherence)
f. Tingkat sosial ekonomi
H. Faktor pemungkin
2.
I. a. Ketersediaan sarana dan prasarana
J. b. Fasilitas kesehatan
K. c. Efek samping program pengobatan
3. Faktor penguat
a. Sikap dan perilaku tokoh
masyarakat/ petugas kesehatan
b. Undang-undang dan peraturan
pemerintah

Bagan 2.1. Kerangka Teori Penelitian


43

C. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Efek Samping
Obat Anti Kepatuhan Berobat
Tuberkulosis Pada Lansia
(OAT)

Bagan 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis

1. H1: Terdapat hubungan antara efek samping obat anti tuberkulosis (OAT)

dengan kepatuhan berobat pada lansia penderita tuberkulosis paru di

Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.

2. H0: Tidak terdapat hubungan antara efek samping obat anti tuberkulosis

(OAT) dengan kepatuhan berobat pada lansia penderita tuberkulosis paru

di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross

sectional. Metode cross sectional merupakan jenis penelitian yang

menekankan waktu observasi/pengukuran data variabel independen dan

variabel dependen yaitu efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) dengan

kepatuhan berobat pada lansia, secara bersamaan dalam satu waktu atau hanya

satu kali pada suatu saat. Tiap subyek penelitian hanya dilakukan satu kali

observasi (Notoatmodjo, 2018).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada tanggal 01-30 September

2022, bertempat di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam suatu penelitian merupakan subyek (manusia) yang

memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan (Nursalam, 2017).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia penderita tuberkulosis

paru di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan yang terdata pada bulan Juni

2022 dengan jumlah pasien sebanyak 24 orang.

44
45

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi (Nursalam, 2017). Peneliti menetapkan metode pengambilan

sampel dengan menggunakan metode nonprobability sampling dengan

teknik total sampling yaitu pengambilan sampel sesuai jumlah populasi

yang telah ditetapkan sebanyak 41 orang.

D. Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel

independen (variabel bebas) adalah efek samping obat anti tuberkulosis (OAT)

dan variabel dependen (variabel terikat) ini adalah kepatuhan berobat pada

lansia.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional digunakan dengan tujuan untuk membatasi ruang

lingkup atau pengertian variabel-variabel yang diamati/diteliti. Definisi

operasional juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengamatan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen

(Notoatmodjo, 2018).

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian


Definisi
Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Independen
Efek Samping Adanya keluhan Kuesioner efek 1. Skor 0-13: efek Ordinal
Obat Anti yang tidak samping obat anti samping rendah
Tuberkulosis diharapkan tuberkulosis (OAT) 2. Skor 14-26: efek
(OAT) penderita TB dengan 13 item
samping sedang
Paru akibat pertanyaan dan
meminum OAT. pilihan jawaban 3. Skor 27-39: efek
1 = Tidak pernah samping berat
2 = Jarang (Yudinia, 2018)
3 = Sering
4 = Selalu
46

Dependen
Kepatuhan Perilaku pasien Kuesioner 1. Skor 0-8: Ordinal
Berobat Pada dalam kepatuhan berobat kepatuhan
Lansia meminum obat pada lansia dengan rendah
secara rutin 8 item pertanyaan
2. Skor 9-16:
sesuai dengan dan pilihan jawaban
terapi 1 = Tidak pernah kepatuhan
pengobatan 2 = Jarang sedang
dalam kurun 3 = Sering 3. Skor 17-24:
waktu satu 4 = Selalu kepatuhan tinggi
bulan terakhir
(Yudinia, 2018)

F. Alat dan Bahan/ Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan dalam pengumpulan

data ketika melakukan suatu penelitian (Notoatmodjo, 2018). Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kuesioner data demografi dan

lembar observasi risiko infeksi tuberkulosis paru.

1. Kuesioner Data Demografi

Kuesioner data demografi digunakan untuk mengetahui

karakteristik responden penelitian meliputi umur, jenis kelamin, status

perkwinan, pendidikan, pekerjaan, lama menderita TB.

2. Kuesioner Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Kuesioner efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) yang

digunakan oleh peneliti bersumber dari penelitian yang dibuat oleh

Yudunia. (2018). Kuesioner efek samping obat anti tuberkulosis (OAT)

merupakan kuesioner yang terdiri dari 13 item pernyataan dan pilihan

jawaban tidak pernah, jarang, sering dan selalu.

3. Kuesioner Kepatuhan Berobat Pada Lansia

Kuesioner kepatuhan berobat pada lansia yang digunakan oleh

peneliti bersumber dari penelitian yang dibuat oleh Yudunia. (2018).


47

Kuesioner kepatuhan berobat pada lansia merupakan kuesioner yang

terdiri dari 9 item pernyataan dan pilihan jawaban tidak pernah, jarang,

sering dan selalu.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

Kuesioner efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) dan kuesioner

kepatuhan berobat pada lansia ini akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas

bertempat di Puskesmas di Tanjung Selor dengan jumlah sampel sebanyak 24

responden

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid

tidaknya suatu kuesioner. Pengujian validitas kuesioner menggunakan

validitas konstruk yaitu validitas yang berkaitan dengan kesanggupan

suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang

diukurnya (Siregar, 2013). Adapun uji validitas kuesioner

menggunakan uji Pearson Product Moment, dengan keputusan uji

validitas:

1. Jika nilai r hitung≥r tabel (n-2=28)=0,361, pernyataan valid

2. Jika nilai r hitung<r tabel (n-2=28)=0,361, pernyataan tidak valid

2. Uji Reabilitas

Ada 3 prinsip dalam melihat reliabilitas suatu penelitian adalah

stabilitas, ekuivalen dan homogenitas (Yudinia, 2018). Pengujian

reliabilitas ini menggunakan komputer dengan bantuan program SPSS


48

17.0. Metode yang digunakan adalah metode Alpha Cronbach. Suatu

instrument dikatakan andal (reliabel) apabila memiliki koefisien reabilitas

sebesar 0.6 atau lebih.

Pada kuisioner kejadian efek samping, diperoleh nilai reabilitas

sebesar 0.838, dimana nilai r hitung 0,838 > r tabel = 0,2992 yang berarti

kuisioner kejadian efek samping telah reabel. Sedangkan pada kuisioner

kepatuhan minum obat, nila reliabilitas adalah 0.971 yang berarti bahwa

nilai ritung >rtable sehingga kuisioner ini dinyatakan telah reliabel. Semua

item pertanyaan dalam kuisioner kejadian efek samping maupun dalam

kuisioner kepatuhan minum obat telah valid dan juga telah reliabel, maka

kuisioner kejadian efek samping dan kuisioner kepatuhan minum obat

dapat dibagikan pada responden.

H. Analisa Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua tahap analisis yaitu analisis univariat

dan bivariat sebagai berikut:

1. Analisa Univariat

Tujuan analisis ini adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Hasil dianalisis secara

deskriptif untuk masing-masing jenis skala data variabel

Untuk variabel dengan skala data kategorik (nominal atau ordinal)

maka analisa univariat berupa frekuensi dan persentase yang disajikan

dalam tabel (Dahlan, 2019). Adapun perhitungan distribusi frekuensi dan

persentase menggunakan rumus sebagai berikut:


49

f
= x
n

Keterangan:

P: Persentase yang dicari

f: frekuensi sampel/ responden untuk setiap pertanyaan

n: jumlah keseluruhan sampel/ responden

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan. Berdasarkan jenis data yang menggunakan data kategorik,

maka penelitian ini menggunakan uji statistik Chi-Square dimana ingin

diketahui ada atau tidaknya hubungan yang bermakna antara variabel

kategorik dengan kategorik (Dahlan, 2019).

Secara statistik dengan menggunakan program komputer dan

derajat kemaknaan 95%. Rumus uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan

α=0,05. Langkah-langkah uji yaitu:

a. Tetapkan hipotesis penelitian menjadi Hipotesis Nol (H0) dan

Hipotesis Alternatif (Ha).

b. Persyaratan uji Chi-Square yang harus terpenuhi yaitu tidak ada sel

yang mempunyai nilai expected kurang dari lima, maksimal 20% dari

jumlah sel (Dahlan, 2019).

c. Mencari nilai chi square dengan rumus:

Keterangan:

x ² = statistik chi square


50

O = Observasi

E = Expected atau hasil yang diharapkan.

d. Kemudian bandingkan nilai p dengan nilai α (0,05) dengan keputusan

uji, yaitu:

1) Jika nilai p < α (0,05) maka Ha diterima atau H0 ditolak, yang

berarti ada hubungan antara dua variabel tersebut.

2) Jika nilai p > α (0,05) maka Ha ditolak atau H0 diterima yang

berarti tidak ada hubungan antara dua variabel tersebut.

Bila syarat uji chi-square tidak terpenuhi, maka analisis dilanjutkan

menggunakan uji fisher exact.

I. Jalannya Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Mengurus surat izin penelitian pada Program Studi Sarjana Terapan

Keperawatan dan Ners Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Kalimantan Timur.

b. Melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Tanjung Selor

Bulungan.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Peneliti melakukan pengumpulan data lansia penderita tuberkulosis

paru di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.

b. Peneliti memilih sampel ketika calon responden sedang berkunjung

di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan.


51

c. Selanjutnya peneliti memberikan informed consent penelitian,

kemudian jika calon responden bersedia menjadi responden, maka

calon responden diminta menandatangani lembar persetujuan

menjadi responden.

d. Selanjutnya peneliti mengisi data karakteristik responden dengan

menanyakan data tersebut langsung kepada responden.

e. Kemudian peneliti menjelaskan alur penelitian dan membuat kontrak

waktu.

f. Peneliti memberikan lembar kuesioner kepada responden.

g. Peneliti memberikan waktu sekitar 30 menit (sesuai kebutuhan

responden) untuk mengisi kuesioner tersebut.

h. Setelah proses penelitian selesai dilakukan pada semua responden,

peneliti selanjutnya mengumpulkan instrumen penelitian tersebut.

3. Tahap Akhir

Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis menggunakan

software statistik yaitu SPSS versi 23 melalui beberapa tahap yaitu:

a. Editing

Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan dengan kelengkapam

jawaban, serta relevansi jawaban.

b. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban responden ke dalam

kategori, dengan cara memberi tanda/kode yang dibuat oleh peneliti

sendiri yang berbentuk angka pada masing-masing jawaban.


52

1) Jenis Kelamin

1. Laki-laki =1

2. Perempuan =2

2) Status Perkawinan

a) Kawin =1

b) Belum Kawin =2

c) Janda =3

d) Duda =4

3) Pendidikan

a) Tidak Sekolah =1

b) SD/Sederajat =2

c) SMP/Sederajat =3

d) SMA/Sederajat =4

e) D3/S1/S2 =5

3) Pekerjaan

a) PNS =1

b) IRT =2

c) Pegawai Swasta =3

d) Wiraswasta =4

e) Lainnya =5

c. Sorting

Sorting adalah mensortir dengan memilah atau mengelompokkan

data menurut jenis yang dikehendaki.


53

d. Entry Data

Entry data adalah jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori

kemudian dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung

frekuensi data menggunakan bantuan program komputer.

e. Cleaning

Cleaning adalah pembersihan data guna melihat data sudah benar

atau belum, kemudian mengeluarkan data disesuaikan dengan tujuan.

J. Etika Penelitiam

1. Informed Consent

Lembar persetujuan yang diberikan pada subyek penelitian. Jika

bersedia maka calon responden harus menandatangani lembar

persetujuan, jika menolak menjadi responden maka peneliti tidak

memaksa dan tetap menghormati hak calon responden.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak

mencantumkan nama responden pada lembar kuesioner, lembar tersebut

hanya diberi inisial atau kode tertentu.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Peneliti menjamin bahwa informasi yang didapat dari responden

tidak diketahui oleh siapapun (Nursalam. 2016).


54

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi. (2018). Analisis Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan


dalam Ruangan Administrasi Gedung Menara UMI Makassar. : : Jurnal
Kesehatan, 1(2), 68–75.

Dahlan. (2019). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. 12(2), 1–167.

Fraga, A. D. S. S., Oktavia, N., & Mulia, R. A. (2021). Evaluasi Penggunaan Obat
Anti Tuberkulosis Pasien Baru Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Oebobo
Kupang. Jurnal Farmagazine, 8(1), 17.
https://doi.org/10.47653/farm.v8i1.530

Kadek, S., Theresia, I., & Gabrilinda, A. Y. (2018). Pengaruh Efek Samping Oat
(Obat Anti Tuberculosis) Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tbc
Di Puskesmas. IJurnal Keperawatan Suaka Insan (JKSI), 3(2), 1–12.

Kemenkes RI. (2016). Info Datin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI Tuberkulosis (Temukan Obat Sampai Sembuh). In Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (pp. 2–10).

Kemenkes RI. (2018). PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2017. In IT


- Information Technology (Vol. 48, Issue 1).
https://doi.org/10.1524/itit.2006.48.1.6

Lansia, K. (2010). Pedoman pelaksanaan posyandu lanjut usia. 1–10.

Niven. (2012). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum


Obat Pasien Tb Paru Berdasarkan Health Belief Model Di Wilayah Kerja
Puskesmas Umbulsari, Kabupaten Jember (Analysis Factors which
Correlate with Pulmonary Tuberculosis Patient’s Adherence on Medicat.
031, 2018.

Notoatmodjo. (2018). metodologi penelitian kesehatan.

Nursalam. (2016). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Salemba Medika.

Nursalam. (2017). METODOLOGI PENELITIAN (p. 415).


http://eprints.ners.unair.ac.id/982/1/METODOLOGI
PENELITIAN09162019.pdf

55
55

Nyorong, M., Nadapdap, T. P., & Yanthy, L. (2021). Analysis of Factors


Associated with Compliance with Taking Medicines for Pulmonary
Tuberculosis Patients at Lut Tawar Health Center, Central Aceh Regency.
Journal of Asian Multicultural Research for Medical and Health Science
Study, 2(4), 82–94. https://doi.org/10.47616/jamrmhss.v2i4.222

Siyoto, M. dan. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Jurnal


Keperawatan. Universitas Muhammadya Malang, 4(1), 724–732.
https://pesquisa.bvsalud.org/portal/resource/en/mdl-
20203177951%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/s41562-020-0887-
9%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/s41562-020-0884-
z%0Ahttps://doi.org/10.1080/13669877.2020.1758193%0Ahttp://sersc.org/jo
urnals/index.php/IJAST/article

Somantri, I. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernafasan. 2(2), 2013–2015.

Yudinia. (2018). Yudinia. (2018). Hubungan Dukungan Keluarga Dan Tingkat


Keputusasaan Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Tuberkulosis Paru
Fase Lanjutan Di Kecamatan Umbulsari Jember. J. Trop. Pharm. Chem,
2(1), 1–10.

56
Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

Kepada Yth,
Bapak/ Ibu Responden
Di
tempat.

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Riana Sudding
NIM : P07220221208
adalah mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalimantan
Timur yang sedang melakukan penelitian dengan judul:

Hubungan Antara Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dengan


Kepatuhan Berobat Pada Lansia Penderita Tuberkulosis Paru
Di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan

Partisipasi yang diharapkan dari Bapak/ Ibu adalah mengisi lembar kuesioner
yang diberikan oleh peneliti. Pengisian kuesioner ini tidak akan mengakibatkan
kerugian apapun karena semua informasi dari Bapak/ Ibu berikan akan dijamin
kerahasiaannya.
Apabila Bapak/ Ibu bersedia menjadi responden, kami mohon untuk
menandatangani lembar persetujuan ini dan dilanjutkan dengan mengisi kuesioner
yang disertakan dalam lembar ini.
Atas perhatian dan partisipasi Bapak/ Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Bulungan, .. September 2022


Peneliti

Riana Sudding
Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Inisial nama responden : ……………………………….
Alamat : ……………………………….
Setelah mendapat penjelasan dari peneliti, saya bersedia berpartisipasi sebagai
responden dalam penelitian yang berjudul:

Hubungan Antara Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dengan


Kepatuhan Berobat Pada Lansia Penderita Tuberkulosis Paru
Di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan

Penelitian ini dilakukan oleh:


Nama : Riana Sudding
NIM : P07220221208
Saya memahami bahwa penelitian ini tidak bersifat negatif dan tidak akan
merugikan bagi saya, serta segala informasi yang saya berikan akan dijamin
kerahasiaannya. Saya berharap pada hasil penelitian ini akan menjadi bahan
masukan bagi semua kalangan baik keluarga saya, pihak pendidikan, pihak
Puskesmas dan lainnya, oleh karena itu jawaban yang akan saya berikan adalah
yang sebenar-benarnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dengan ini saya menyatakan secara
sukarela “Bersedia Menjadi Responden” dalam penelitian ini.

Bulungan, .. September 2022


Responden,

(____________________)
Lampiran 3

INSTRUMEN PENELITIAN
Hubungan Antara Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Dengan
Kepatuhan Berobat Pada Lansia Penderita Tuberkulosis Paru
Di Puskesmas Tanjung Selor Bulungan

Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda (√) pada jawaban yang sesuai dengan pilihan Ibu
A. Data Karakteristik Responden

Kode Responden: _____ (diisi peneliti)

1. Inisial Responden : ……………

2. Umur : ……. Tahun

3. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

4. Status Perkawinan

Kawin Belum Kawin

Janda Duda

5. Pendidikan Tidak Sekolah SD

SMP SMA
Perguruan Tinggi (Diploma, S1, S2)

6. Pekerjaan PNS Pegawai Swasta

Wiraswasta Buruh
Petani Ibu Rumah Tangga

7. Lama Menderita TB : ……. tahun


B. Kuesioner Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Pertanyaan Tidak Jarang Sering Selalu


Pernah (1-3 kali (4-6 kali (7 kali
seminggu) seminggu) seminggu)
Apakah anda pernah
merasakan kondisi berikut ini
selama menjalani pengobatan
TB?
1. Mual

2. Tidak Nafsu Makan

3. Sakit Perut

4. Nyeri Sendi

5. Kesemutan

6. Rasa Terbakar di Kulit

7. Warna Kemerahan Pada


Air Seni
8. Kemerahan di Kulit

9. Gangguan Pendengaran

10. Gangguan Keseimbangan

11. Bingung dan muntah-


muntah
12. Gangguan Panglihatan

13. Syok
C. Kuesioner Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)

Pertanyaan Tidak Jarang Sering Selalu


Pernah (1-3 kali (4-6 kali (7 kali
seminggu) seminggu) seminggu)
1. Apakah Bapak/Ibu pernah
lupa minum obat?
2. Seseorang kadang-kadang
tidak minum obat karena
beberapa alasan selain lupa.
Selama 2 minggu terakhir,
apakah Bapak/Ibu pernah
tidak minum obat?
3. Apakah Bapak/Ibu pernah
mengurangi/berhenti minum
obat tanpa memberitahu
dokter, karena merasa lebih
buruk ketika meminumnya?
4. Ketika Bapak/Ibu
bepergian, apakah
Bapak/Ibu pernah lupa
membawa obat?
5. Apakah Bapak/Ibu minum
obat sesuai resep dokter?
6. Ketika Bapak/Ibu merasa
bahwa gejala tuberkulosis
paru sedikit menurun
apakah Bapak/Ibu pernah
berhenti minum obat?
7. Apakah Bapak/Ibu pernah
merasa bahwa terapi Obat
Anti Tuberkulosis (OAT)
yang didapat ini
rumit/kompleks?
8. Apakah Bapak/Ibu
pernahmengalami kesulitan
mengingat seluruh Obat
Anti Tuberkulosis (OAT)
yang harus dikonsumsi?
Lampiran 4
SURAT IZIN STUDI PENDAHULUAN

Anda mungkin juga menyukai