Beberapa penelitian menyebutkan kapan seseorang memutuskan menikah dapat dipengaruhi oleh
faktor tuntutan ekonomi, pendidikan, dan budaya. Hal menarik terlihat pada Gambar 2.4, pola tren
persentase pemuda yang berstatus kawin cenderung menurun, sebaliknya tren pemuda yang belum
kawin menunjukkan pola meningkat. Perbaikan kualitas penduduk dalam pendidikan, ekonomi, atau
pergeseran budaya diduga turut memengaruhi pola tersebut.
Angka Buta Huruf (ABH) dan Angka Melek Huruf (AMH) merupakan indikator yang digunakan untuk
mengetahui tingkat kemampuan baca tulis penduduk. Kedua indikator tersebut juga merupakan bagian
dari target SDGs tujuan keempat. Sampai dengan tahun 2019 pemberantasan buta huruf di Indonesia
sudah memperlihatkan hasil yang cukup bagus, khususnya pada usia pemuda (16-30 tahun) seperti yang
terlihat pada gambar 3.1. Tren ABH pemuda Indonesia dalam empat tahun terakhir semakin mengalami
penurunan hingga mencapai 0,34 persen pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan masih terdapat
setidaknya 3 dari 1000 pemuda yang buta huruf. Walaupun terbilang kecil, namun tetap harus dilakukan
upaya-upaya demi terhapusnya buta huruf bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya pemuda.
ABH cenderung semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya kelompok umur pemuda.
ABH pemuda tertinggi pada kelompok umur 25-30 tahun yaitu sebesar 0,49 persen, sedangkan ABH
pemuda pada kelompok umur 19-24 tahun sebesar 0,27 persen, dan 16-18 tahun sebesar 0,19 persen.
Gambaran partisipasi sekolah pemuda dapat dilihat pada Tabel 3.2. Berdasarkan tabel terlihat bahwa
masih terdapat 0,85 persen pemuda yang tidak pernah sekolah, 72,44 persen tidak sekolah lagi, dan
26,71 persen pemuda sisanya masih bersekolah. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat
perbedaan yang nyata antara pemuda laki-laki dan perempuan yang tidak pernah sekolah. Namun,
menurut tipe daerah tempat tinggal, persentase pemuda yang tidak pernah sekolah di perdesaan lebih
tinggi dibanding perkotaan (1,56 persen berbanding 0,33 persen). Selain itu, persentase pemuda yang
tidak bersekolah lagi di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (76,59 persen berbanding
69,43 persen). Hal tersebut terjadi karena fasilitas pendidikan masih tidak selengkap di perkotaan, selain
itu pemuda di perdesaan cenderung lebih memilih untuk bekerja membantu perekonomian keluarga
dibandingkan melanjutkan pendidikan.
KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Struktur penduduk Indonesia ditandai dengan tingginya proporsi penduduk usia produktif. Pada tahun
2018, penduduk usia produktif di Indonesia mencapai 68,6 persen atau 181,3 juta jiwa dengan
angka ketergantungan usia muda dan tua yang rendah, yaitu 45,7. Perubahan struktur
penduduk ini akan membuka peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan bonus demografi
(demographic dividend) yang dalam jangka menengah dan panjang akan mendorong
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menghantarkan Indonesia menjadi negara
berpenghasilan menengah ke atas. Bonus demografi ini akan diperoleh dengan prasyarat utama
tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing.
Pembangunan Indonesia 2020-2024 ditujukan untuk membentuk sumber daya manusia yang
berkualitas dan berdaya saing, yaitu sumber daya manusia yang sehat dan cerdas, adaptif,
inovatif, terampil, dan berkarakter. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan pembangunan
manusia diarahkan pada pengendalian penduduk dan penguatan tata kelola kependudukan,
pemenuhan pelayanan dasar dan perlindungan sosial, peningkatan kualitas anak, perempuan
dan pemuda, pengentasan kemiskinan, serta peningkatan produktivitas dan daya saing
angkatan kerja. Kebijakan pembangunan manusia tersebut dilakukan berdasarkan pendekatan
siklus hidup dan inklusif, termasuk memperhatikan kebutuhan penduduk usia remaja.
Jumlah pemuda yang cukup besar semakin menuntut perhatain yang besar pula pada pemuda.
Pemuda sebagai tumpuan masa depan ditentukan oleh kualitas remaja saat ini. Perhatian akan
kualitas remaja tidak bisa mengabaikan siklus hidupnya, dimana pada setia fase, manusia
memiliki kekhas-nya masing-masing. Usia remaja adalah usia kritis, dimana usia Usia 10-14
tahun adalah fase transisi paling kritis dlam tahapan perkembangan psikoseksual. Berikut ini
adalah tahapan psikoseksual remaja menurut Sigmunnd Freud:
Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk Berusia 15+ Tahun menurut Provinsi, 2013-2018
Data Riskesdas 2013 dan 2018
KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Source: https://hrh2030program.org/health-worker-life-cycle-approach/
Indikator 3.7.2: Angka kelahiran pada perempuan 10-14 tah dan 15-19 tahun/Adolescent birth rate
(aged 10-14 years and aged 15-19 years per 1000 women in that aged group).
Target: Pada tahun 2030, menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan seksual dan
reproduksi, termasuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan, dan integrasi kesehatan reproduksi
ke dalam strategi dan program nasional.
Salah satu isu kesehatan reproduksi remaja adalah kelahiran pada kelompok remaja umur 10-
14 tahun. Pengukurannya bisa menggunakan Age Specific Fertility Rate (ASFR10-14), sementara
ASFR remaja umumnya menggunakan ASFR 15-19. Mengapa perhatian semakin besar pada
remaja 10-14 tahun? Karena pada kelompok umur ini, perempuan berada pada ambang mula
dewasa dengan memasuki masa menstruasi. (Ada kecenderungan umur menstruasi pertama
Indonesia semakin dini?)
Fertilitas Remaja
Analisis Situasi Kesehatan Reproduksi pada Anak dan Remaja: masih tingginya perilaku berisiko
pada remaja serta belum optimalnya pemahaman remaja ntang kesehatan reproduksi.
1,5 persen perempuan dan 7,6 persen laki-laki belum kawin di usia 15-24 tahun telah
melakukan hubungan seksual pranikah. 10 persen perempuan yang tidak berpendidikan pernah
berhubungan seks lebih tinggi dari yang telah menyelesaikan pendidikan dasar/lebih tinggi.
Fertilitas Remaja
7 persen perempuan 15-19 tahun sudah menjadi ibu. 5 persen sudah melahirkan, 2 persen
sedang hamil anak pertama (SDKI2017).
Remaja perlu mendapatkan edukasi kontekstual yangberisi fakta ilu pengetahuan, yang
memberi pemahaman dan kesadaran individu sehingga menciptakanperilaku dn sikappositrif
terhadao seksualitas yang sehat. Edukasi seks kepada remaja tidak cukup tentang tutorial
senggama/cara melakukan seks. Hal inilah yangkemudian menciptakan norma tabu dalam
mebicarakan seks di dalam kultur Indonesia pada umumnya.
Memberikan edukasi sesuai usia biologisnya, pengalaman seksualitasnya, nilai budaya setempat
dan agama yang dianutnya.
Informasi yang akurta dan luas mengenai risiko perilaku seksual tidak aman; FOkus pada
mengurasi periu berisko terhadap keahmilan yang tidak diinginkan dan penularan HIX. Isi
keberagam seperti LGBTQ, dengan tidka menghakimi a membenci sesuatu yang berbeda
dengan kepercayan atau nilai pribda iyang dianut (seks positif)
Serkan aktivitas yang mengandung social pressure sehingga dengan perilaku seksual mereka
(harus isi terkini)
Membangun cinta dan keahan membina hubungan yang sehat (dengan orang dewasa lain,
pertemanan, relasi professional, relasi romantis0
(Bagi remaja yang sudah mengalami pubertas) melatih tagung jawan terhadap rasa ketertarikan
cinta dan seksualitasnya
Bijak bersosial media; berbasis pada landasan teoritis yang terbukti efektif mempenuhi individu
memilih perilaku seks sehat
Menjadi pribadi individu yangbebas namun bertanggung jawab; dari perilaku berisiko terhadap
narkoba, seks, rokok, bullying, poografi dan cybercrime.
DAMPAK KESEHATAN REPRODUKSI DALAM KERANGKA
KEPENDUDUKAN
Kesehatan Reproduksi Remaja dalam RKP 2021 PN 3: Meningkatkan SDM yang Berkualitas dan Berdaya
Peningkatan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana (KB), dan kesehatan reproduksi
mencakup:
a. Perluasan akses dan kualitas pelayanan KB serta kesehatan reproduksi (kespro) sesuai
karakteristik wilayah;
b. Konseling KB dan Kesehatan Reproduksi
c. Peningkatan pengetahuan, pemahaman dan akses layanan kesehatan reproduksi remaja
secara lintas sektor yang responsive gender
Arah Kebijakan:
Peningkatan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana (KB), dan kesehatan reproduksi
mencakup:
d. Perluasan akses dan kualitas pelayanan KB serta kesehatan reproduksi (kespro) sesuai
karakteristik wilayah;
e. Konseling KB dan Kesehatan Reproduksi
f. Peningkatan pengetahuan, pemahaman dan akses layanan kesehatan reproduksi remaja
secara lintas sektor yang responsive gender
Dampak Kesehatan Reproduksi dalam kerangka kependudukan Pembangunan Keluarga, dan KB:
Aborsi
Tingginya kematian Ibu dan Anak
Anemia pada ibu hamil
Malnutrisi pada pada ibu hamil dan janin
Bayi lahir prematur
Berat Badan bayi Lahir Rendah (BBLR)
Stunting
Indikator Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan Remaja
Angka aborsi
Kegiatan seksual
Cakupan kontrasepsi
UKURAN-UKURAN FERTILITAS
1. NUMBER OF BIRTHS
2. CRUDE BIRTH RATE (CBR)
3. GENERAL FERTILITY RATE (GFR)
4. AGE-SPECIFIC FERTILITY RATE (ASFR)
5. TOTAL FERTILITY RATE (TFR)
6. GROSS REPRODUCTION RATE (GRR)
7. AVERAGE PARITY/CHILDREN EVER BORN (CEB)
8. PARITY DISTRIBUTIONS
9. CHILD-WOMAN RATIO (CWR)
Relational Gompertz
El Badry Correction
Rele Technique
Data yang dibutuhkan untuk menghitung Age-specific fertility rate (ASFR) schedules:
H, umur termuda diatas P dimana fertilitas turun sampai setengah dari puncaknya
RUMUS ASFR
SUMBER DATA
SUPAS 2015 dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia meliputi daerah perkotaan dan
perdesaan
Jumlah Sampel 40.750 Blok Sensus, dengan jumlah Rumah Tangga sebanyak 652.000
Desain sampling dirancang untuk menyajikan estimasi di level Nasional dan Provinsi
Jumlah Sampel SDKI 2012 sebesar 1.840 Blok Sensus dengan jumlah Rumah Tangga
sebanyak 46.000 (1 BS = 25 ruta)
Jumlah Sampel SDKI 2017 sebesar 1.970 Blok Sensus dengan jumlah Rumah Tangga
sebanyak 49.250 (1 BS = 25 ruta)
Anak yang dilahirkan • Tidak memasukkan anak yang seharusnya masuk dalam
(children ever born) perhitungan: anak yang sudah meninggal, anak yang sudah
tidak tinggal serumah, anak dari perkawinan sebelumnya,
dll.
Misal wawancara pada Agustus 2017, maka jendela observasinya adalah: Agustus 2014
– Juli 2017
3 tahun paling optimal memberikan informasi kelahiran. Mengapa 3 tahun sebelum survei?
Namun, makin panjang pengamatan, laporan kelahiran makin tidak akurat, responden sulit
mengingat kejadian kelahiran (bulan dan tahun kelahiran)
Pernikahan dan kehamilan diusia dini diinterpretasikan sebagai indikator negatif terhadap
perlindungan anak dan membatasi peluang pendidikan wanita muda (Pullum, Croft, &
MacQuarrie, 2018).
Sumber: Purbowati, Ari dkk. (2019). Analysis of Adolescent Fertility Aged 10-14 Calculation
Results in Indonesia dalam The Indonesian Journal of Development Planning Volume III No. 2
– August 2019. Jakarta.
Dari seluruh metode yang digunakan, hasil penghitungan ASFR usia 10-14 tahun relatif kecil:
SDKI 2012
SUPAS 2015
SDKI 2017
Prevalensi Perkawinan Perempuan di bawah Usia 15 Tahun di Indonesia (hasil Susenas Maret
2008-2018), serta ASFR 10-14 Tahun Direct Method dan Schmertmann Model hasil SUPAS 2015
dan SDKI 2012 & SDKI 2017
0,350 0,325 2,00
1,60 0,286 0,280
0,300 0,265
1,38 1,35 1,38
0,250 1,50
1,05 0,99
0,200 0,179
1,15 0,156 1,00
0,150 0,54 0,56
0,100 0,60
0,50
0,050 0,48
0,000 0,00
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
ASFR Schmertmann Model
ASFR Direct Method
Prevalensi Perkawinan Perempuan Usia < 15 Tahun
• Tren prevalensi perkawinan anak yang menikah sebelum 15 tahun mempunyai pola
menurun. Hal ini sejalan dengan tren ASFR 10-14 Tahun dari Schmertmann Model
yang juga menunjukkan pola menurun.
• Namun jika dibandingkan antara dua SDKI (yaitu SDKI 2012 ke SDKI 2017), angka
fertilitas pada perempuan usia 10-14 tahun mengalami kenaikan.
• Hampir separuh (46,84 persen) perempuan usia 20-24 tahun yang kawin kurang dari 15
tahun usia hamil pertamanya sebelum usia 15 tahun.
• Hal ini mengindikasikan ada hubungan erat antara kehamilan dan perkawinan anak.
• Saran: Penggunaan Sumber Survey Selain SUPAS dan SDKI yang rentang waktu
pelaksanaannya tidak terlalu lama, seperti SUSENAS
Persentase Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Perkawinan Pertama dan Usia Hamil
Pertama Kali, 2017