Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


DOSEN PENGAMPUN
AENAL FUAD ADAM,S.Sos,M.A

DISUSUN OLEH :
DEDE HARDIAN
202263201020
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUSAMUS
KATA PENGGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun tema dari makalah ini “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI”.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen mata kuliah Teori Politik yang telah memberikan tugas. Saya jauh
dari sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari study yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan saya, maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa saya harapkan semoga makalah ini
dapat berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkentingan pada
umumya.

Merauke, oktober 2022

DEDE HARDIAN
NPM.202263201020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat
parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan
praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari
kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam
seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di
Indonesia, tidak lagi mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan
bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan kepentingan saja yang
melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun privat,
tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena.
Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat
diperlukan untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja
melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya,
yang apabila dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan berada dalam posisi
yang sangat dirugikan. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan
bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara
negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara negara
dengan pihak lain
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk Bentuk Korupsi
1. Kerugian Keuangan Negara
Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi. Pelakunya memiliki tujuan menguntungkan diri sendiri serta
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada. Misalnya,
seorang pegawai pemerintah melakukan mark up anggaran agar mendapatkan
keuntungan dari selisih harga tersebut. Tindakan ini merugikan keuangan negara
karena anggaran bisa membengkak dari yang seharusnya.

2. Suap Menyuap 
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Aparatur Sipil Negara,  penyelenggara
negara, hakim, atau advokat dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya. Suap menyuap bisa terjadi antarpegawai
maupun pegawai dengan pihak luar. Suap antarpegawai misalnya dilakukan untuk
memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar
misalnya ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar
dimenangkan dalam proses tender.

3. Penggelapan dalam Jabatan 


Tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, atau
melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi. Contoh penggelapan dalam jabatan, penegak hukum
merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap.

4. Pemerasan
Pegawai negeri atau penyelenggara negara menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Misalnya,
seorang pegawai negeri menyatakan bahwa tarif pengurusan dokumen adalah
Rp50 ribu, padahal seharusnya hanya Rp15 ribu atau malah gratis. Pegawai itu
memaksa masyarakat untuk membayar di luar ketentuan resmi dengan ancaman
dokumen mereka tidak diurus.

5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat
membahayakan orang lain. Misalnya, pemborong pada waktu membuat bangunan
atau penjual bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang membahayakan
keamanan orang atau barang. Contoh lain, kecurangan pada pengadaan barang
TNI dan Kepolisian Negara RI yang bisa membahayakan keselamatan negara saat
berperang.

6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan


Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan
padahal dia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Misalnya, dalam
pengadaan alat tulis kantor seorang pegawai pemerintahan menyertakan
perusahaan keluarganya untuk proses tender dan mengupayakan kemenangannya.

7. Gratifikasi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban tugasnya. Misalnya, seorang pengusaha memberikan hadiah
mahal kepada pejabat dengan harapan mendapatkan proyek dari instansi
pemerintahan. Jika tidak dilaporkan kepada KPK, maka gratifikasi ini akan
dianggap suap.

B. Pngertian Gratifikasi Dan Bentuk Bentuk Gratifikasi


GRATIFIKASI adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.

1. Suap terjadi apabila pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan


kepada petugas layanan dengan maksud agar tujuannya lebih cepat
tercapai, walau melanggar prosedur.
2. Pemerasan (pungli) terjadi apabila petugas layanan secara
aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna layanan
dengan maksud agar dapat membantu mempercepat tercapainya tujuan si
pengguna jasa, walau melanggar prosedur. 
3. Gratifikasi terjadi apabila pihak pengguna layanan memberikan sesuatu
kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran, transaksi atau deal
untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Biasanya hanya
memberikan tanpa ada maksud apapun.

Dalam kasus suap dan pemerasan, terdapat kata kunci, yaitu adanya transaksi atau


deal di antara kedua belah pihak sebelum kasus terjadi, sedangkan dalam kasus
gratifikasi tidak ada. Gratifikasi lebih sering dimaksudkan agar pihak petugas
layanan dapat tersentuh hatinya, agar di kemudian hari dapat mempermudah
tujuan pihak pengguna jasa, namun hal tersebut tidak diungkapkan pada saat
pemberian terjadi. Istilah ini dapat disebut dengan "tanam budi" si pengguna jasa
kepada pemberi layanan

Peraturan yang Mengatur Gratifikasi

Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi


Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya,

C. Faktor Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi

Faktor Penyebab Internal

1. Sifat serakah/tamak/rakus manusia


Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa
cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang
menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau
jabatannya sudah tinggi. Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi
memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan
korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional, berjabatan tinggi, dan
hidup berkecukupan. 

2. Gaya hidup konsumtif


Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong
internal korupsi. Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah
dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi
bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak
diimbangi dengan pendapatan yang memadai.

3. Moral yang lemah


Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu
melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi
yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman
setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk
melakukannya. 
Faktor Penyebab Eksternal

1. Aspek Sosial
Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi,
terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga
malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka.
Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung
korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan
yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat. 

Dalam means-ends scheme yang diperkenalkan Robert Merton, korupsi


merupakan perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga
menyebabkan pelanggaran norma-norma. Menurut teori Merton, kondisi sosial di
suatu tempat terlalu menekan sukses ekonomi tapi membatasi kesempatan-
kesempatan untuk mencapainya, menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi. 

Teori korupsi akibat faktor sosial lainnya disampaikan oleh Edward Banfeld.
Melalui teori partikularisme, Banfeld mengaitkan korupsi dengan tekanan
keluarga. Sikap partikularisme merupakan perasaan kewajiban untuk membantu
dan membagi sumber pendapatan kepada pribadi yang dekat dengan seseorang,
seperti keluarga, sahabat, kerabat atau kelompoknya. Akhirnya terjadilah
nepotisme yang bisa berujung pada korupsi.

2. Aspek Politik
Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi
faktor eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada
akhirnya menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa
memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau
anggota-anggota partai politiknya.

Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta,
menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui
perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib
rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya adalah bagaimana ongkos
politiknya bisa kembali dan berlipat ganda.

Balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga
mendorong pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan
imbal jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih
membayar upeti ke partai dalam jumlah besar, memaksa korupsi.

3.Aspek Hukum

Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-
undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di
perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum
yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani
dan korupsi terus terjadi.  

Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak
jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat
untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap
pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku
korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.

4. Aspek Ekonomi
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya
tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta
juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-
pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan
berpendidikan tinggi.

Banyak kita lihat pemimpin daerah atau anggota DPR yang ditangkap karena
korupsi. Mereka korupsi bukan karena kekurangan harta, tapi karena sifat serakah
dan moral yang buruk.

Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai


sedemikian rupa agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi
pegawai pemerintah untuk meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya.
Kebijakan ekonomi dikembangkan dengan cara yang tidak partisipatif, tidak
transparan dan tidak akuntabel. 

5.Aspek Organisasi

Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor


berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena
membuka peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari
pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau
lemahnya sistem pengendalian manajemen.
Teori Fraud Triangle (TFT)

Teori lainnya soal penyebab korupsi disampaikan oleh peneliti Donald R Cressey
yang dikenal sebagai Teori Fraud Tiangle (TFT). Teori ini muncul setelah Cressey
mewawancarai 250 orang terpidana kasus korupsi dalam waktu 5 bulan. 

Dalam teori tersebut, ada tiga tahapan penting yang mempengaruhi seseorang
untuk melakukan korupsi, yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan),
dan rationalization (rasionalisasi). 

Seseorang memiliki motivasi untuk korupsi karena tekanan, misalnya motif


ekonomi yang menjadi pelatuknya. Namun menurut Cressey tekanan ini
terkadang tidak benar-benar ada. Seseorang cukup berpikir bahwa dia tertekan
atau tergoda pada bayangan insentif, maka pelatuk pertama ini telah terpenuhi.

Kedua adalah kesempatan. Contoh yang paling mudah ditemui adalah lemahnya
sistem pengawasan sehingga memunculkan kesempatan untuk korupsi. Menurut
Cressey, jika dia tidak melihat adanya kesempatan maka korupsi tidak bisa
dilakukan.

Ketiga adalah rasionalisasi. Cressey menemukan bahwa para pelaku selalu


memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi
ini setidaknya menipiskan rasa bersalah pelaku, contohnya "saya korupsi karena
tidak digaji dengan layak" atau "keuntungan perusahaan sangat besar dan tidak
dibagi dengan adil".

D. Dampak Masif Dari Korupsi


Korupsi yang berdampak pada perekonomian menyumbang banyak
untuk meningkatnya kemiskinan masyarakat di sebuah negara. Dampak
korupsi melalui pertumbuhan ekonomi adalah kemiskinan absolut. Sementara
dampak korupsi terhadap ketimpangan pendapatan memunculkan kemiskinan
relative
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan
dampak bagi rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi.
Pemiskinan koruptor dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus
tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan penggantian kerugian yang
ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor ini dinilai
mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak pidana
korupsi.
2. Pemiskinan koruptor di Indonesia belum dilaksanakan secara tegas. Para
penegak hukum yang dalam penelitian ini yaitu jaksa dan hakim tidak
menjalankan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Jaksa dalam menjatuhkan tuntutan pidana berpegang teguh pada
undang-undang begitu juga dengan hakim tipikor dalam menjatuhkan vonis
berpegang teguh pada undang-undang. Pelaksanaan sanksi pidana pemiskinan
koruptor hanya dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang
besarnya disesuaikan dengan kerugian keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat
dikatakan memiskinkan koruptor karena hanya aset yang berasal dari tindak
pidana korupsi saja yang dirampas dan belum tentu si koruptor akan menjadi
miskin. Pemiskinan koruptor dilakukan dengan perampasan seluruh benda-benda
yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau dengan pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan kerugian keuangan negara yang
diambil dan yang timbul dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan koruptor belum
menjadi suatu terobosan hukum bagi penegak hukum di Indonesia dalam
memberantas tindak pidana korupsi.
B. Saran
Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari banyak kalangan.
Namun perlu dipertimbangkan lagi mengenai pelaksanaannya. Saran yang dapat
penulis sumbangkan, yaitu:
1. Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor.
Rekonseptualisasi dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak hukum
mengenai konsep pemiskinan koruptor, sehingga pelaksanaan pemiskinan
koruptor dapat dijalankan sebagai suatu terobosan hukum yang memberikan efek
jera dalam tindak pidana korupsi.
2. Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan pemiskinan koruptor.
Contohnya seperti pendidikan, pemahaman, penjelasan, integritas dari para
penegak hukum agar para penegak hukum di Indonesia melaksanakan sanksi
pidana pemiskinan koruptor dalam upaya pembera ntasan tindak pidana korupsi.

Anda mungkin juga menyukai