Anda di halaman 1dari 5

A.

Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa terjadinya perubahan yang berlangsung cepat

dalam hal pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososial. Masa ini merupakan masa

peralihan dari anak anak menuju remaja yang ditandai dengan banyak perubahan,

diantaranya adalah pertambahan masa otot, jaringan lemak tubuh, dan perubahan

hormonal (Hardiansyah, 2016). Wong, et al (2009) mengemukakan masa remaja

dibagi menjadi tiga stase yaitu : remaja awal usia 11-14 tahun, remaja pertengahan

usia 15- 17 tahun dan remaja akhir usia 18-20 tahun (Masruroh, 2019).

Diantara tanda tanda perempuan telah memasuki usia pubertas adalah

terjadinya menstruasi. Menstruasi adalah keluarnya darah dari kemaluan setiap bulan

akibat meluruhnya dinding rahim yang mengandung pembuluh darah karena sel telur

tidak dibuahi. Menstruasi yang terjadi merupakan peristiwa yang wajar dan alami

walaupun pada kenyataannya banyak remaja yang mengalami gangguan menstruasi

diantaranya yaitu adanya keluhan nyeri pada saat haid (Masruroh & Fitri, 2019).

Dismenore merupakan nyeri dibagian bawah perut yang terjadi pada waktu

menjelang atau selama menstruasi. Gejala dismenore dapat disertai dengan rasa mual,

muntah, diare dan kram. Di Indonesia angka kejadian diperkirakan 55% perempuan

produktif yang mengalami dismenore. Prevalensi dismenore berkisar 45-95% di

kalangan wanita usia produktif (Hidayati et al., 2017).


Prevalensi dismenore di Indonesia tahun 2008 sebesar 64,25% yang terdiri

dari 54,89% dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder. Hasil penelitian

Mahmudiono pada tahun 2011, angka kejadian dismenore primer pada remaja wanita

yang berusia 14 – 19 tahun di Indonesia sekitar 54, 89% (Hamsari et al., 2019).

Menurut Tjokronegoro kejadian dismenore akan meningkat dengan kurangnya

olahraga, sehingga ketika terjadi dismenore oksigen tidak dapat tersalurkan ke

pembuluh – pembuluh darah yang saat ini mengalami vasokonstriksi sehingga

menimbulkan timbulnya rasa nyeri tetapi apabila seseorang teratur melakukan

olahraga maka dia dapat menyediakan oksigen hampir 2 kali lipat per menit sehingga

oksigen tersampaikan pada pembuluh darah yang mengalami vasokonstriksi. Hal ini

akan menyebabkan menurunnya kejadian kejadian dismenore (Cholifah & Ayu

Hadikasari, 2016).

Dismenore membuat wanita tidak bisa beraktifitas secara normal dan

memerlukan resep obat. Keadaan tersebut menyebabkan menurunnya kualitas hidup

wanita, sebagai contoh siswi yang mengalami dismenorea primer tidak dapat

berkonsentrasi dalam belajar dan motivasi belajar menurun karena nyeri yang

dirasakan (Prawiroharjo,2010). Oleh karena itu pada usia remaja, disemnorea harus

ditangani agar tidak terjadi dampak yang lebih buruk (Nirwana, 2011). Faktor faktor

yang mempengaruhi dismenorea bermacam macam diantaranya adalah menstruasi

pertama pada usia yang amat dini, belum pernah melahirkan anak, periode menstruasi
yang lama, status gizi, kebiasaan olahraga, stress (Proverawati, 2009), riwayat

keluarga (Anurogo dan Wulandari, 2011) dan asupan nutrisi (Masruroh, 2019)

Zat besi memiliki peranan dalam pembentukan hemoglobin. Kekurangan

asupan zat besi dapat menyebabkan terganggunya pembentukan hemoglobin,

sehingga jumlah hemoglobin dalam sel darah merah akan berkurang. Kondisi

hemoglobin yang rendah pada sel darah merah akan menyebabkan anemia. Selain itu

menurut Tjokronegoro (2009) hemoglobin juga berfungsi untuk mengikat oksigen

yang akan diedarkan ke seluruh tubuh. Jika hemoglobin kurang, maka oksigen yang

diikat dan diedarkan ke seluruh tubuh hanya sedikit, akibatnya oksigen tidak dapat

tersalurkan ke pembuluh darah di organ reproduksi yang mengalami vasokonstriksi

sehingga akan menimbulkan nyeri (Masruroh, 2019).

Masalah defisiensi zat besi cukup diterapi dengan memberikan makanan yang

cukup mengandung zat besi, namun jika anemia sudah terjadi tubuh tidak akan

mungkin menyerap zat besi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif

singkat. Cara pengobatan lain, yaitu menambah jumlah makanan yang kaya zat besi

untuk menambah penyerapan zat besi sehingga dismenore dapat diatasi (Arisman,

2009).

Berdasarkan studi pendahuluan berupa wawancara yang dilakukan pada

tanggal 26 September 2019 pada 30 pelajar putri di MA Darul Ulum Palangka Raya.

Saat dilakukan wawancara kepada 30 siswi remaja putri yang berhubungan dengan

kejadian dismenore terdapat 24 siswi (80%) yang mengalami nyeri saat haid dan 6
siswi (20%) tidak mengalami nyeri. Serta wawancara yang dilakukan peneliti pada

pihak sekolah, bahwa kebanyakan siswa ijin, sakit, ke ruang UKS atau pulang

sekolah lebih awal dikarenakan nyeri haid.

Berdasarkan latar belakang diatas, menarik minat peneliti untuk mengetahui

lebih jauh mengenai “Hubungan Asupan Zat Besi Dengan Kejadian Dismenore pada

Remaja Putri Di Ma Darul Ulum Palangka Raya”.


Daftar Pustaka

Cholifah, C., & Ayu Hadikasari, A. (2016). Hubungan Anemia, Status Gizi, Olahraga

Dan Pengetahuan Dengan Kejadian Dismenore Pada Remaja Putri. Midwiferia,

1(1), 30. https://doi.org/10.21070/mid.v1i1.346

Hamsari, I. N., Sumarni, S., & Lintin, G. (2019). Hubungan Asupan Zat Besi Dengan

Kejadian Dismenore Pada Mahasiswi Angkatan 2016 Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 6(2).

Hidayati, K. R., Soviana, E., & Mardiyati, N. L. (2017). Hubungan Antara Asupan

Kalsium Dan Asupan Zat Besi Dengan Kejadian Dismenore Pada Siswi Di Smk

Batik 2 Surakarta. Jurnal Kesehatan, 9(2), 15.

https://doi.org/10.23917/jurkes.v9i2.4580

Masruroh, N. (2019). Hubungan Asupan Zat Besi Dan Vitamin E Dengan Kejadian

Dismenore Pada Remaja Putri. Jurnal Kebidanan, 9(1), 14–17.

https://doi.org/10.33486/jk.v9i1.69

Masruroh, N., & Fitri, N. A. (2019). Hubungan Kejadian Dismenore dengan Asupan

Fe (zat Besi) pada Remaja Putri. Jurnal Dunia Gizi, 2(1), 23.

https://doi.org/10.33085/jdg.v2i1.4344

Anda mungkin juga menyukai