Anda di halaman 1dari 31

JURNAL SOCIETAS FISIP UNMUS

Senin, 25 Juni 2012


J
URNAL PENGARUH PRILAKU BIROKRASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN PUBLIK PADA DISTRIK
SEMANGGA

PENGARUH PRILAKU BIROKRASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN PUBLIK  PADA  DISTRIK


SEMANGGA

Samuel Atbar
Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Fisip-Unmus

DITERBITKAN OLEH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN SOSIAL
" SOCIETAS "
ISSN 2252-603X 

Nomor 1 Jilid 1 Halaman 1-19 April 2012  

ABSTRACT

 This study aims to determine and measure how much influence bureaucratic behavior on the
quality of public services in the District Semangga. each variable is described in four-dimensional indicators
and three. The research method used is a quantitative analysis of the survey method using questionnaires
as the main instrument. Quantitative data processing system using a statistical dioleh Product and Service
Solutions (SPSS. 17.0)
The results showed that the statistical behavior of the bureaucracy affects the quality of public
services in the District with Semangga 0.5 can also be proved by comparing the values of r calculated with
the table r (95%) so that the table r = 0.138. Since r count r is greater than the table or 0.519>0.138 then
conclude that Ho is rejected and Ha accepted, meaning that the behavior of the bureaucratic behavior has
a significant effect on the quality of public services in the district of Merauke regency Semangga

 Keywords: attitude of Bureaucracy, Public Service, District Semangga

Pendahuluan
Pada masa sekarang pelayanan pemerintah menjadi sorotan umum, disebabkan masih buruknya
kualitas layanan yang diberikan oleh birokrat pemerintah. Seperti yang dikeluhkan masyarakat bahwa,
kesan pertama dari hampir setiap warga masyarkat yang datang berurusan  ke kantor pemerintah adalah
bertemunya mereka dengan birokrasi yang yang berbelit-belit dan sangat mempersulit serta lambat dalam
menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat seakan ada terdapat pada birokrasi di Indonesia semboyan
“Kalau dapat dipersulit, kenapa harus dipermudah?, Kalau dapat diperlambat, kenapa harus dipercepat?
Kalau dapat memperdayakan, kenapa harus memberdayakan?”. Begitulah ungkapan yang berkembang
yang menggambarkan kinerja (performance) birokrasi.
Birokrasi pemerintah pada dasarnya dibentuk untuk mengaktualisasikan tugas pemerintah dalam
memberikan dan memenuhi kebutuhan layanan publik ataupun layanan publik, sehingga birokrasi
mempunyai kewajiban untuk menjadi pelayan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dengan
keberadaan birokrasi, maka masyarakat akan memperoleh kebutuhannya sebagai seorang warga negara
dari birokrasi pemerintah tanpa mendapat perlakuan untuk dipersulit oleh birokrasi itu sendiri.
Layanan publik merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi yang diperintah yang dalam hal ini
pemerintah diwakili oleh birokrat pemerintah. Ndraha (dalam birokrasi pemerintahan,2000) berpendapat,
bahwa birokrasi pemerintahan adalah struktur pemerintahan yang berfungsi memproduksi jasa publik atau
layanan-civil tertentu berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai pilihan
dari lingkungan. Dan apabila dikaitkan dengan politik, birokrasi seringkali didudukan sebagai pabrik jasa-
publik dan layanan publik, Ndraha (2000: 62).
Bagaimana masyarakat menilai kualitas layanan tersebut, Parasuraman et al. (dalam Hendrasti,
1999:60) mengemukakan bahwa untuk memberikan layanan yang berkualitas, badan publik atau
perusahaan mengacu pada alur pikir operasi manajemen sebagaimana tampak pada gambar berikut :
Gambar  1
Alur Pikir Manajemen Operasi

Sumber : Hendrasti (1999:60)


Masyarakat dalam menilai kualitas layanan yang diberikan oleh birokrat pemerintah tergantung
pada bagaimana harapan masyarakat terhadap layanan dibandingkan dengan layanan yang diterima.
Apabila layanan yang diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan dinilai baik dan
memuaskan. Jika layanan yang diterima melampaui harapan masyarakat, maka layanan dinilai memiliki
kualitas yang sangat ideal. Sebaliknya jika layanan yang diterima masyarakat lebih rendah dari yang
diharapkan, maka kualitas layanan dinilai buruk.
Masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan dengan pemerintah
sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang satu tidak berada dibawah yang lain. Posisi
yang diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign dan melalui posisi
sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah,
sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah
dan mutu yang memadai.
Tujuan dari  penelitian ini untuk  mengetahui pengaruh prilaku birokrasi terhadap kualitas layanan
publik di Distrik Semangga. Jika dari penelitian ini dapat diketahui pengaruh prilaku birokrasi terhadap
kualitas layanan publik, kiranya hal ini dapat  dijadikan bahan masukan bagi pimpinan distrik untuk
merancang metode perubahan prilaku guna meningkatkan kualitas layanan publik

KERANGKA TEORITIS
Konsep Prilaku
Telaah prilaku dalam manajemen pemerintahan, sebenarnya merupakan pendekatan yang cukup aktual,
yang baru muncul sekitar tahun 1950-an atau setelah usai Perang Dunia II, meskipun sesungguhnya reaksi
terhadap prilaku orang dalam berbagai struktur organisasi telah muncul semenjak awal abad ke-20 sebagai
tanggapan terhadap ketimpangan, konflik dan persoalan-persoalan yang muncul dalam interaksi orang-
orang pada setiap lapisan organisasi, baik organisasi publik maupun organisasi privat. Konflik-konflik antar
bangsa, ras, pimpinan dan karyawan, antara pemerintah dengan yang diperintah, yang banyak muncul
pada awal abad ke-20 yang telah menggiring pemahaman masyarakat dan para ahli, bahwa maslah-
masalah tersebut tidak dapat hanya ditanggulangi dengan kemampuan ilmu dan teknis saja, tetapi lebih
dari itu, pemecahannya harus dicari secara mendasar ke dalam struktur  sosial di dalam masyarakat.
Pemecahan ini menuntut kemampuan sosial, yang meliputi kemampuan untuk memahami manuia sebagai
sumber dari beragam persoalan yang muncul. Dalam konteks tersebut, penggalian makna dan telaahan
prilaku merupakan elemen terpenting dalam rangkian pengkajian tentang manusia.
Prilaku pada dasarnya terbentuk setelah melewati keseluruhan dari aktivitas, yaitu unsur
kepentingan, kebutuhan, motivasi dan sikap yang potensial dapat menjelaskan perlaku tertentu. Oleh
karena itu, kepentingan sesorang melandasi prilaku atau dengan kata lain prilaku seseorang itu banyak
dipengaruhi oleh kepentingannya. Kendatipun demikian, patut disadari bahwa prilaku seseorang tidak saja
dipengaruhi oleh faktor eksternal yang merupakan respon spontan terhadap kondisi tertentu. Dalam kaitan
tersebut, Ndraha (1997a : 36) menjelaskan bahwa : adanya kemampuan, kebutuhan, cara berpikir untuk
menentukan pilihan, pengalaman dan reaki terhadap sesuatu.
Memahami prilaku manusia merupakan titik pangkal untuk dapat mengerti prilakunya dalam
organisasi. Suatu pandangan yang berorientasi keistimewaan adalah jalan yang paling mudah untuk
mengerti prilaku manusia, yang dalam pandangan tersebut, prilaku manusia ditentukan oleh proses
masukan dan keluarannya. Hal ini berarti harus menganggap bahwa prilaku manusia adalah sebagai suatu
sistem yang terbuka, bukan sesuatu yang dapat diisolasi dan manusia berintegrasi dengan lingkungannya
serta hidup dalam lingkungannya.
Secara sosiologis, untuk memahami perubahan prilaku anggota suatu organisasi, tidak dapat
terlepas dari suatu paradigma prilaku sosial (social behavior).   Paradigma prilaku sosial memusatkan
perhatiannya pada adanya hubngan antara individu dengan lingkungannya. Hal yang menjadi inti
persoalan sosialogis pad paradigma tersebut adalah prilaku individu yang berlangsung dalam hubungan
dengan lingkungannya. Hubungan tersebut mengakibatkan adanya perubahan prilaku dan perubahan
terhadap lingkungan. Perubahan prilaku dibutuhkan untuk pemberdayaan organisasi guna meningkatkan
kualitas dan efisiensi, serta membagi ide-ide  dan belajar diantara sesama anggota organisasi. Upaya
pmberdayaan menuntut perubahan peran seseorang yang diharapkan dapat membuat dan mencapai
hubungan yang efektif, serta mengembangkan kemampuan para anggota orgnanisasi itu sendiri.
Perubahan prilaku anggota suatu organisasipun dipengaruhi oleh pola hubungan yang terjadi di
dalam organisasi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Keeratan hubungan dalam suatu
organisasi menentukan norma organisasi tersebut dan mempengaruhi kinerja seseorang.
Setiap prilaku dari individu, disebabkan oleh situasi interaksi sikap yang kompleks, nilai-nilai dan
variabel-variabel situasional yang rumit ,seperti tekanan sosial, pilihan tingkah laku aktual, peristiwa sosial
dan sikap-sikap yang saling bertentangan yang sering menyebabkan seseorang untuk bertindak ke arah
pelanggaran atas pilihan sikapnya. Hal tersebutlah yang merupakan suatu reduksi yang menyebabkan
individu di dalam organisasi berprilaku.
Pada saat ini, prilaku aparatur yang paling diharapkan adalah prilaku aparatur pemerintah yang
profesional dalam mewujudkan aspirasi rakyat, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan
dari masyarakat kepada mereka.

Pengertian Birokrasi
Dalam hubungan pemerintahan terkandung makna adanya organisasi yang memerintah dan
masyarakat yang diperintah. Masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh layanan dari pemerintah,
dilain pihak adalah menjadi kewajiban dan atau kewenangan bagi pemerintah untuk memenuhi, melindungi
berbagai kepentingan masyarakat dalam wujud pelayanan, baik layanan civil maupun layanan publik.
Konsep birokrasi yang banyak diterima sampai sekarang adalah teori yang dikembangkan oleh
Max Weber yang mendefinisikan karakteristik suatu organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk
mengendalikan anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Birokrasi sering dipergunakan dalam beberapa pengertian. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh
pengertian yang sering terkandung dalam istilah birokrasi. Menurut Albrow (dalam Warwick, 1975:4),
birokrasi diartikan sebagai:
1.    Organisasi rasional (rational organization).
2.    Ketidakefisienan organisasi (organizational inefficiency).
3.    Pemerintahan oleh para pejabat (rule by officials).
4.    Administrasi negara (public administration).
5.    Administrasi oleh para pejabat (administration by official).
6.    Bentuk organisasi dengan ciri dan kualitas tertentu seperti hirarki serta peraturan-peraturan ( type of
organization with specific characteristic and quality as hierarchies and rules ).
7.    Salah satu ciri masyarakat modern yang mutlak ( an essential quality of modern society).

Birokrasi sebagai suatu bentuk dengan ciri-ciri yang khusus, menjadi pusat perhatian para ahli
berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa Max Weber. Dalam karyanya, The Theory of Economic and Social
Organization, Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan
merumuskan ciri-ciri pokok organisasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern. Hal ini dirangkum
oleh Albrow (dalam Warwick, 1975:4) dalam empat ciri utama, yaitu :
1.    Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas kebawah dalam
organisasi (a hierarchical structure involving delegations of authority from the top to the bottom of an
organization).
2.    Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang
tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilites ).
3.    Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi
dan tingkah laku para anggotanya ( formal rules, regulations and  standards governing operations of the
organization and behavior of its members ).
4.    Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan
promosi yang didasarkan- kualifikasi dan penampilan ( techincally qualified personel employed on a career
basis, with promotion based on qualifications and performance ).

Seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya yang baru muncul setelah berakhirnya perang
dunia kedua, setelah memperoleh kemerdekaannya Indonesia juga di hadapkan pada kebutuhan untuk
menciptakan dan menerapkan suatu sistem pemerintahan modern dengan didukung oleh birokrasi
pemerintahan sebagai kekuatan utama. Dalam tahap baru ini timbul kesan, bahwa birokrasi pemerintahan
akan ditata menyerupai apa yang oleh Max Weber disebut “legal-rasional” yang ditandai oleh :
1.      Tingkat spesialisasi yang tinggi.
2.      Struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas.
3.      Hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi.
4.      Rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan teknis.
5.      Diferensiasi antara pendapatan resmi dan pribadi.

Dalam perkembangannya untuk menciptakan dan menerapkan suatu sistem pemerintahan modern
yang didukung oleh birokrasi pemerintahan sebagai kekuatan utama tersebut, organisasi ditata atas dasar
berbagai peraturan-peraturan, sebagaimana dikemukakan oleh Tjokrowinoto (1989:2) bahwa Kualitas
birokrasi yang modern ingin dicapai melalui pengaturan struktur seperti hirarki kewenangan, pembagian
kerja, profesionalisme, tata kerja dan sistem pengupahan yang kesemuanya berlandaskan peraturan-
peraturan.
Dengan demikian legitimasi bagi dominasi legal rasional bersumber pada perangkat aturan-aturan
yang dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang dijunjung tinggi. Jadi dominasi legal rasional
bersandar pada pola legal atas aturan normatif dan ketepatan dalam pengangkatan wewenang atas dasar
berbagai peraturan resmi. Aparat administrasinya adalah birokrasi. Birokrasi inilah yang merupakan unsur
terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi.
Dalam telaahannya mengenai birokrasi Indonesia, Ndraha (1986:51)  menggambarkan sebagai
berikut :
Pertama, dalam mengendalikan lingkungan dan mengatur masyarakat, birokrasi cenderung mengatur
segenap segi kehidupan masyarakat dan negara. Kedua, dalam usahanya melayani masyarakat, pola dari
atas ke bawah (top-down approach) yang diterapkan oleh birokrasi cenderung semakin meningkat dan
meluas. Ketiga, dalam usahanya mempercepat pembangunan, birokrasi melakukan pembangunan besar-
besaran dan dimotivasi melalui pentargetan.

Dengan ketiga ciri itu birokrasi Indonesia menjadi semakin otonom. Artinya, dengan kekuatan sah
yang dimiliki birokrasi telah menjadikan dirinya sistem yang mandiri dan otonom dan membentuk
komponen-komponen baru yang mendukung kehidupan dan mempertahankan diri sebagai sistem. Dalam
kondisi ini, gejala-gejala yang ada lebih menunjukkan sosok birokrasi sebagai gejala yang oleh Max Weber
disebut domination. Selanjutnya Santoso (1995:3) menjelaskan bahwa : Konsep birokrasi yang banyak
diterima sampai sekarang adalah teori yang dikembangkan oleh Max Weber yang mendefinisikan
karakteristik suatu organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota
organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yang menurut Gibson, et al., (1996:391) bahwa :
Birokrasi (berdasarkan konsep Weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan
stabilitas, disiplin dan kepercayaan. Sehingga birokrasi memungkinkan untuk dapat mencapai efisiensi dan
efektivitas.
Untuk menjelaskan prilaku birokrasi tidak bisa terlepas dari komponen yang mendasari prilaku
organisasi yakni adanya dorongan jiwa yang mempengaruhi pelaku organisasi (orang yang memimpin atau
yang memberikan pelayanan) maupun prilaku yang memang telah menjadi standar baku suatu organisasi.
Komponen yang mendasari prilaku organisasi tersebut selalu terkait dengan aktifitas dan orang-orang yang
mempunyai kepentingan, pengharapan, sehingga oleh Hicks & Gullet (1996:103) disebut bahwa 
“organisasi formal adalah bagai kendaraan bagi kepentingan orang banyak dalam mencapai tujuannya”.
Kemudian ditegaskan juga oleh Hicks & Gullet (1996;103) bahwa “organisasi yang formal bergerak dengan
suatu target…”.

Dimensi Prilaku Birokrasi


Jika lingkungan yang dimaksud adalah suatu organisasi, maka prilaku yang terjadi adalah prilaku
keorganisasian. Untuk memahami dan menelaah prilaku aparatus dalam suatu organisasi, dalam hal ini
birokrasi sebagaimana dikemukakan itu, hal itu dapat dipelajari melalui dimensi struktural organisasinya,
demikian Daft dan Steers (1986:217) menjelaskan bahwa :
Teori organisasi merupakan cara berpikir tentang organisasi yang berdasarkan pola dan peraturan dalam
desain organisasi dan prilaku manusianya. Desain organisasi berhubungan dengan proses operasional
untuk menciptakan struktur tugas dan wewenang yang akan menjadi ciri aktivitas anggotanya.
Kualitas Layanan Publik

Penyelenggaran Layanan barang dan jasa publik adalah tanggung jawab pemerintah, karena
hubungan antara pemerintah dengan rakyat adalah hubungan antara produsen dan konsumen, yaitu
pemerintah sebagai produsen dan rakyat sebagai konsumen. Dalam hubungan ini rakyat berkepentingan,
kemudian pemerintah mengakui, menghormati, memenuhi dan melindungi (Ndraha 1997:81).
Tjiptono (1996:51) mengemukakan bahwa secara spesifik tidak ada definisi mengenai kualitas
layanan yang diterima, namun secara universal, dari definisi yang ada terdapat beberapa persamaan, yaitu
dalam elemen-elemen sebagai berikut :
1.    Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2.    Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.
3.    Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap kurang berkualitas pada
masa mendatang)
Lebih lanjut Tjiptono (1996:51) mengatakan bahwa :
Konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk barang atau jasa yang
terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk,
sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi
persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan. Pada kenyataannya aspek ini bukanlah satu-
satunya aspek kualitas.

Berdasarkan pengertian di atas, disimpulkan bahwa kualitas layanan  merupakan salah satu
jawaban-baik individu, kelompok, dan organisasi ( public-private)  dalam menyikapi era kompetisi , karena
itu pelanggan telah dijadikan titik sentral perhatian paradigma Total Quality Service. Sebagaimana gambar
di bawah ini :

Gambar 3
Total Quality Service

                  Sumber :


Sutopo dan Sri Sugiarti Sutopo (1998:8)
Kualitas layanan akan memberikan kepuasan total kepala pelanggan , yang untuk  bisa
mencapainya diperlukan strategi, sistem manajemen dan sumber daya manusia.  Gaspersz (dalam
lukman,  1999:7) memberikan pengertian pokok kualitas, baik yang konvensional maupun yang lebih
strategis sebagai berikut :

1.      Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan 
atraktif yang memenuhi keinginan pelangan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas
penggunaan produk
2.      Kualitas  sendiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau    kerusakan

Ketika warga masyarakat berhadapan dengan petugas dari organisasi pemerintah maupun
swasta, maka kualitas layanan yang diterimanya dapat dipahami sebagaimana dikemukakan selanjutnya 
oleh Gaspersz (dalam Lukman, 1999:9) yaitu “ kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi
keinginan atau kebutuhan pelanggan ( meeting the needs of consumers).
Sugiarto (1996:216) mengemukakan pengertian pelayanan prima sebagai “ kemampuan maksimal
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain dalam hal pelayanan.” Pengertian ini menekankan
kepada  individu pelaksana pelayanan. Dalam terminologi yang sama Tjiptono (2001:58) memandang
service excelence sebagai pelayanan yang unggul yang diartikan sebagai “ suatu sikap atau cara
karyawan melayani pelanggan secara memuaskan.” Dengan demikian kepuasan masyarakat merupakan
kunci kualitas layanan kepada masyarakat, karena itu yang diutamakan dalam kualitas pelayanan prima
bukanlah slogan-slogan untuk memberikan layanan terbaik bagi warga masyarakat, melainkan bentuk
nyata pelayanan. 
Ketika layanan dapat memuaskan masyarakat, tidak berarti layanan yang diberikan telah
mencapai tujuan akhir , melainkan produsen layanan tidak perlu cepat merasa puas bahkan sebaliknya
terus giat mencari inovasi baru sesuai dengan dinamika pelanggan. Pelayanan   yang lebih baik (service
excelence) yang dilakukan oleh produsen (pelayan) akan meningkatkan loyalitas masyarakat (pelanggan)
kepada produsen. Karena itu tidak berlebihan bila Peningkatan kepuasan pelanggan bermuara pada
pengembangan organisasi seperti yang dikemukakan  Osborne dan Geabler (1992) yaitu terwujudnya a
smaller, better, faster and cheapter government.
Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa atau layanan tergantung pada kemampuan
penyediaan barang/jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten dan berakhir pada
penilaian pelanggan. Ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan penilaian penyedia
layanan, tetapi didasarkan pada penilaian pelanggan, sebagaimana dikemukakan Kotler (1994:62)
bahwam pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati layanan sehingga merekalah yang seharusnya
menentukan kualitas layanan. Persepsi pelanggan terhadap layanan merupakan penilaian menyeluruh
atas keunggulan suatu layanan.

Pengertian Layanan Publik


Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam
mana masyarakat  bisa menjalani kehidupan secara wajar. Dalam ilmu pemerintahan, Ndraha (2000:7)
mengemukakan bahwa:
Sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer,
mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai
konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.

Dengan demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan


dengan pemerintah sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang satu tidak berada dibawah
yang lain. Posisi yang diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign dan
melalui posisi sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol
pemerintah, sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada saat dibutuhkan
dalam jumlah dan mutu yang memadai.

METODE  PENELITIAN
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan dua tekni penarikan, yakni:
a.         Teknik Purposive Sampling, ditujukan untuk semua pegawai distrik yakni sebanyak 33 orang
b.        Teknik Aksidental Sampling ditujukan untuk warga masyarakat yang datang mengurus kebutuhan di
Kantor Distrik (dibatasi pada saat peneliti berada di lapangan atau 3 hari penelitian) sebanyak 88 warga.

Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif sedangkan sumber data yang digunakan
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.              Data primer yaitu data yang diperoleh dengan observasi dan  angket yang dikumpulkan dari
responden.
2.              Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengumpulkan dokumen-dokumen serta
sumber-sumber lainnya yang berkaitan erat dengan penulisan ini.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui kuesioner yaitu pengumpulan
data yang dilakukan melalui penyebaran daftar pertanyaan yang bersifat tertutup.
Cara pengumpulan data primer dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada responden.
Kuisioner tersebut dikonstruksikan dalam 2 (dua) jenis yang meliputi (1) instrumen tentang prilaku birokrasi,
dan (2) intrumen tentang kualitas layanan publik. Item-item alat pengumpulan data yang digunakan dalam
kuesioner tersebut adalah model skala Likert .
Analisis  yang digunakan yakni dengan bantuan perangkat lunak SPSS. Versi 17 untuk mengukur
dan membuktikan kebenaran perhitungan tersebut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Distrik Semangga


Distrik Semangga adalah salah satu Distrik dari 20 Distrik yang ada di Kabupaten Merauke, setelah
pemekaran Kabupaten Merauke menjadi tiga Kabupaten Baru, yakni Kabupaten Boven Digoel yang beribu
kota di Tanah Merah, Kabupaten Mappi dengan ibu kota di Mappi, dan Kabupaten Merauke sebagai
Kabupaten induk yang beribu kota di Merauke.
Distrik Semangga juga merupakan Distrik pemekaran dari Distrik Kota (Merauke) yang secara resmi
beroperasi pada tanggal 1 Maret 2003, yang yang berjarak ± 27 Km dari pusat Kota Merauke.  Distrik
Semangga terdiri dari 10 kampung yang masing-masing dapat ditempuh dengan perjalanan darat karena
sudah tersedianya jalan aspal yang menghubungkan Kampung yang satu dengan Kampung lainnya.
Kampung-kampung tersebut, adalah: 1) Kampung Matara, 2) Kampung Waninggap Nanggo, 3) Kampung
Urumb, 4) Kampung Sidomulyo, 5) Kampung Kuprik, 6) Kampung Kuper, 7) Kampung Semangga Jaya, 8)
Kampung Marga Mulia, 9) Kampung Waninggap Kai, 10) Kampung Muram Sari
Masyarakat di kampung-kampung tersebut dilihat dari segi mata pencaharian, maka dapat
diklasifikasikan menjadi masyarakat nelayan, masyarakat transisi perkotaan, dan masyarakat petani.
Secara  geografis wilayah Distrik Semangga berbatasan dengan : Sebelah Utara dengan Distrik
Tanah Miring, Sebelah Timur dengan Distrik Merauke,  Sebelah Selatan Distrik Merauke, dan Sebelah
Barat dengan Distrik Kurik
Keadaan geografisnya merupakan tanah datar yang sebagian besar adalah daerah berawa (4 meter di
bawah permukaan laut).

Penduduk  
Luas wilayah Distrik Semangga adalah 1.042 Km 2 dengan jumlah penduduk 13.488 jiwa orang, yang terdiri
dari 7.107 laki-laki dan 6.381 perempuan atau 3.631 kepala keluarga (KK). Dengan demikian komposisi
penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan  atau dengan kata lain 52,69% dari keseluruhan
penduduk Distrik Semangga. Komposisi penduduk Distrik Semangga  secara lengkap dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 2
Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga
Distrik Semangga Tahun 2011
    Data
Kampung Penduduk KK
Sekunder
L P L+P
2011
1 Matara 328 337 665 154
2 Waninggap Nanggo 468 339 867 217
Dari tabel di
3 Urumb 447 416 863 199
atas diketahui
4 Sidomulyo 373 341 714 186
bahwa ada
5 Kuprik 652 573 1225 359
kampung-
6 Kuper 384 358 742 180
kampung
7 Semangga Jaya 1435 1328 2763 778
dengan
8 Marga Mulia 1340 1123 2463 693
jumlah
penduduk 9 Waninggap Kai 922 782 1704 483

banyak 10 Muram Sari 758 652 1410 382

hingga jumlah Jumlah 3.631

penduduk sedikit, setelah diurutkan dapatr diketahui sebagai berikut: Kampung Semangga Jaya, Kampung
Marga Mulia, Kampung Waninggap Kai, Kampung Muram Sari, Kampung Kuprik, Kampung Waninggap
Nanggo, Kampng Urumb, Kampung Sidomulyo, dan Kampung Matara sebagai Kampng terkecil dalam
jumlah penduduk.
Masyarakat Distrik Semangga sangatlah beragam, karena terdiri dari berbagai suku. Pada daerah pantai
yang biasa dikenal dengan “Pantai Wendu” masyarakat sekitarnya adalah Suku Malind yang tersebar dan
mendiami Kampung Urumb, Kampung Waninggap Nanggo, dan Kampung Matara. Untuk masyarakat
transisi perkotaan adalah masyarakat Kampung Sidomulyo, Kampung Kuprik, dan Kampung Kuper.
Penduduk Kampung Sidomulyo didominasi oleh masyarakat Suku Jawa. Penduduk Kampung Kuprik lebih
didominasi oleh masyarakat Suku Buton dan Jawa Merauke ( Jamer), sedangkan di Kampung Kuper
didominasi oleh masyarakat Suku Malind.
Keadaan Pegawai  Distrik
Jumlah pegawai Distrik Semangga sampai dengan  September,  2011 sebanyak 33 orang pegawai, yang
terdiri dari pegawai negeri publik sebanyak 21 orang  pegawai negeri publik dan sebanyak 12 orang
pegawai kontrak yang dapat dirinci sebagai berikut untuk Golongan IV terdapat 1 pegawai, Golongan III
terdapat 8 pegawai, sedangkan untuk Golongan II terdapat 9 pegawai dan 1 pegawai berada pada
Golongan I. Ternyata terdapat keseimbangan dan dominasi lulusan SMA Sederajat atau  golongan II 
dengan Lulusan Sarjana atau golongan III.

Analisis Variabel Penelitian


            Penelitian ini menggunakan dua variabel penelitian (bivariat), yaitu prilaku birokrasi sebagai
variabel bebas dan kualitas layanan publik sebagai variabel tergantung. Kedua variabel penelitian tersebut
akan dianalisis apakah mempunyai korelasi atau tidak dan sejauhmana pengaruh variabel variabel bebas
terhadap variabel tergantung. Namun demikian sebelum dilakukan uji korelasi, maka untuk memberikan
gambaran  terhadap variabel penelitian ini, maka perlu dilakukan analisis terhadap kecenderungan
jawaban responden terhadap variabel penelitian. Analisis masing-masing variabel akan diuraikan berikut ini
:

Analisis Variabel Prilaku Birokrasi


Pengukuran variabel prilaku birokrasi dilakukan terhadap 5 (lima) dimensi yang inheren dalam konsep
prilaku birokrasi, yaitu : keadilan, kepedulian, kedisiplinan, kepekaan, dan tanggung jawab, yang akan
diuraikan dalam beberapa indikator sebagai petunjuk bagi penentuan daftar pertanyaan. Analisis variabel
prilaku birokrasi, secara kuantitaif dilakukan atau didasarkan pada data hasil kuesioner.
Hasil pengukuran kelima dimensi tersebut menghasilkan data sebagaimana terdapat pada lampiran 5.
Masing-masing dimensi tersebut akan dianalisis berdasarkan kecenderungan jawaban responden.

a.        Kepedulian

Dari dimensi kepedulian, diperoleh informasi bahwa prosentase terbesar (52%) responden mengatakan
bahwa pegawai Distrik Semangga cukup memiliki kepedulian dalam pelayanan publik sesuai dengan yang
dipersepsikan oleh responden. Hanya sebesar 15,7% yang mengatakan bahwa kepedulian pegawai
kurang dalam memberikan pelayanan publik. Hal ini berarti ada sebanyak 28,1% responden menganggap
bahwa kepedulian pegawai dalam memberikan pelayanan publik berada dalam kategori sangat baik.
b.        Kedisiplinan
Dimensi kedisiplinan ini berkaitan dengan sikap, mental pegawai untuk taat dan patuh terhadap berbagai
ketentuan peraturan yang berlaku, termasuk dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Didapat informasi
bahwa prosentase terbesar (52,3%) responden mengatakan bahwa pegawai Distrik Semangga cukup
memiliki kedisiplinan dalam pelayanan publik sesuai dengan yang dipersepsikan oleh responden. Hanya
sebesar 15,43% yang mengatakan bahwa kedisiplinan pegawai kurang dalam memberikan pelayanan
publik. Hal ini berarti ada sebanyak 32,27% responden menganggap bahwa kedisiplinan pegawai dalam
memberikan pelayanan publik berada dalam kategori sangat baik.
c.         Kepekaan.
Dilihat dari dimensi kepekaan ini berkaitan dengan kemampuan secara mental yang didukung oleh nilai-
nilai kesadaran individu dari pegawai/aparat serta daya tanggap individu pegawai terhadap lingkungannya
didapat informasi bahwa 53,7% masih mempersepsikan kepekaan dalam kategori cukup, sisanya
sebanyak 31,73% menganggap kepekaan telah memenuhi harapan responden, sedangkan 14,57%
menganggap kepekaan masih kurang dari harapan responden. Namun hal ini dapat dikatakan bahwa
dimensi kepekaan dalam memperikan pelayanan publik telah memenuhi atau bahkan melampaui harapan
responden.

d.        Tanggung Jawab


Dimensi tanggung jawab ini berkaitan dengan sikap mental pegawai/aparat untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya sesuai deangan aturan, kewenangan  serta kekuasaan yang dimilikinya. Karena otoritas tanpa
tanggung jawab akan menimbulkan stagnasi bagi pencapain tujuan organisasi. Diperoleh informasi bahwa
52,33% masih mempersepsikan tanggung jawab dalam kategori cukup, sisanya sebanyak 31,97%
menganggap tanggung jawab telah memenuhi harapan responden, sedangkan 15,7% menganggap
tanggung jawab masih kurang dari harapan responden. Namun hal ini dapat dikatakan bahwa dimensi
tanggung jawab dalam memperikan pelayanan publik telah memenuhi atau bahkan melampaui harapan
responden.

Analisis Variabel.Pelayanan Publik


Masyarakat dalam menilai kualitas layanan yang diberikan oleh birokrat pemerintah tergantung
pada bagaimana harapan masyarakat terhadap layanan dibandingkan dengan layanan yang diterima.
Apabila layanan yang diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan dinilai baik dan
memuaskan. Jika layanan yang diterima melampaui harapan masyarakat, maka layanan dinilai memiliki
kualitas yang sangat ideal. Sebaliknya jika layanan yang diterima masyarakat lebih rendah dari yang
diharapkan, maka kualitas layanan dinilai buruk.
Pada dasarnya kepuasan masyarakat terhadap suatu jenis  layanan hanya dapat dipenuhi dengan
pelayanan yang berkualitas. Tjiptono (1996 : 54) mengatakan bahwa “kualitas pelayanan memiliki
hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan “. Mengacu pada pendapat ini, maka analisis kualitas
layanan publik  ini berfokus  pada upaya untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan atau warga
masyarakat, melalui analisis tingkat kepentingannya dan tingkat pelaksanaannya.
            Kepuasan pelanggan atau warga masyarakat  dalam kualitas layanan publik ini diukur dalam empat
dimensi kualitas layanan publik yaitu kecepatan, ketepatan, kemudahan dan keadilan. Dari hasil penelitian
ke-empat dimensi tersebut menghasilkan data sebagaimana terdapat pada lampiran. Masing-masig
dimensi itu selanjutnya akan dianalisis berdasarkan kecenderungan jawaban responden.
a.    Kecepatan
Sehubungan dengan Kebutuhan masyarakat yang sangat banyak, sehingga layanan publik membutuhkan
kecepatan dalam pengelolaannya.  Pelayanan yang lambat  akan membuat masyarakat tidak nyaman.
Dimensi kecepatan dalam kualitas layanan publik ini akan diamati dalam tiga indikator yaitu : Kecepatan
dalam memberikan respon atas keluhan pemohon, kecepatan dalam melayani warga masyarakat yang
memohon, kecepatan dalam menginformasikan kekurangan persyaratan untuk memperoleh layanan,
kecepatan menyelesaikan layanan yang dibutuhkan. Diperoleh informasi bahwa 61,16% masih
mempersepsikan kecepatan dalam memberikan pelayanan dalam kategori cukup, sisanya sebanyak
26,72% menganggap kecepatan dalam memberikan pelayanan telah memenuhi harapan responden,
sedangkan 12,12% menganggap kecepatan dalam memberikan pelayanan masih kurang dari harapan
responden. Namun hal ini dapat dikatakan bahwa dimensi kecepatan dalam memberikan pelayanan publik
telah memenuhi atau bahkan melampaui harapan responden.
b.        Ketepatan
Dari dimensi ketepatan, diperoleh informasi bahwa prosentase terbesar (58,43%) responden mengatakan
bahwa ketepatan dalam pelayanan publik berada dalam kategori cukup sesuai dengan yang dipersepsikan
oleh responden. Hanya sebesar 16,23% yang mengatakan bahwa ketepatan pegawai kurang dari harapan
responden. Hal ini berarti masih ada sebanyak 25,34% responden menganggap bahwa ketepatan pegawai
dalam memberikan pelayanan publik berada dalam kategori sangat baik sesuai harapan responden.
c.         Kemudahan
Makna kemudahan dalam kaitannya dengan kualitas layanan publik adalah mencakup seluruh  upaya yang
dilakukan untuk memudahkan masyarakat memperole layanan publik. Dimensi kemudahan dalam
memberikan layanan publik ini akan diukur dalam indikator : Kemudahan dalam menghubungi pada saat
diperlukan dan mampu berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat. diperoleh informasi bahwa
prosentase terbesar (59,50%) responden mengatakan bahwa kemudahan  dalam memberikan pelayanan
publik berada dalam kategori cukup sesuai dengan yang dipersepsikan oleh responden. Hanya sebesar
16,25% yang mengatakan bahwa kemudahan  dalam memberikan pelayanan publik kurang dari harapan
responden. Hal ini berarti masih ada sebanyak 24,24% responden menganggap bahwa kemudahan  dalam
memberikan pelayanan publik berada dalam kategori sangat baik sesuai harapan responden.
d.        Keadilan
Kualitas layanan publik selanjutnya akan dikaji dalam dimensi keadilan. Keadilan yang berhubungan
dengan waktu, prosedur dan perlakuan penyelesaian permohonan lainnya. Karena itu dimensi ini akan
dikaji dari indikator kesamaan waktu yang diperlukan  dalam menghasilkan produk layanan, kesamaan
prosedur layanan publik, dan kesamaan perlakuan dalam penyelesaian layanan publik diperoleh informasi
bahwa prosentase terbesar (63,9%) responden mengatakan bahwa keadilan dalam memberikan
pelayanan publik berada dalam kategori cukup sesuai dengan yang dipersepsikan oleh responden. Hanya
sebesar 15,7% yang mengatakan bahwa keadilan  dalam memberikan pelayanan publik kurang dari
harapan responden. Hal ini berarti masih ada sebanyak 16,4% responden menganggap bahwa keadilan 
dalam memberikan pelayanan publik berada dalam kategori sangat baik sesuai harapan responden.

C.  Analisis Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil analisis mengenai adakah pengaruh  antara Prilaku Birokrasi dengan  pada
Distrik Semangga Kabupaten  Merauke yang diuji dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 sebagai
berikut :
Descriptive Statistics

Std.
Mean Deviation N

Prilaku Organisasi 39.36 2.825 121

Kualitas Layanan 37.22 2.905 121


Publik

Hasil deskripsi variabel Prilaku Birokrasi (X) dalam tabel Descriptive Statistics menjelaskan bahwa
terdapat jumlah sampel sebanyak 121 responden yang mengisi angket dengan rata-rata (mean) sebesar
39.36 dan simpangan baku (standar deviasi) = 2.825 sedangkan untuk variabel kualitas layanan publik
terdapat jumlah sampel sebanyak 121 responden yang mengisi angket dengan rata-rata (mean) sebesar
37.22 dan simpangan baku (standar deviasi) = 2.905
Correlations
Kualitas
Prilaku Layanan
Organisasi Publik
Prilaku Organisasi Pearson 1 .519**
Correlation
Sig. (2-tailed) .000
N 121 121
Kualitas Layanan Pearson .519 **
1
Publik Correlation
Sig. (2-tailed) .000
N 121 121
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Pada tabel Correlations menyajikan hasil perhitungan koefisiensi korelasi Product Moment r-
pearson antara variabel prilaku birokrasi dan variabel kualitas layanan publik yang berdasarkan hasil
perhitungan, maka nilai yang diperoleh adalah sebesar 0.519  berarti terdapat pengaruh yang sangat
rendah antara variabel prilaku birokrasi dengan kualitas layanan publik.
Jika nilai probabilitas 0,05 lebih kecil atau sama dengan nilai probabilitas Sig atau (0,05 ≤ Sig),
maka Ho diterima dan Ha ditolak, berarti tidak signifikan. Sebaliknya jika nilai probabilitas 0,05 lebih
besar atau sama dengan nilai probabilitas Sig atau (0,05 ≥ Sig), maka Ha diterima dan Ho ditolak,
berarti signifikan.
Berdasarkan tabel correlations diperoleh variabel prilaku birokrasi dan kualitas layanan publik
memiliki nilai Sig. Sebesar 0,000, kemudian dibandingkan dengan probabilitas 0,05, ternyata nilai
probabilitas 0,05 lebih besar dari nilai probabilitas Sig. Atau 0,05 > 0,000, atau dapat pula dibuktikan
dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel (95%) dengan dk = n – 2 (dk = 121 – 2 = 199)
sehingga  r tabel = 0,138. Karena r hitung lebih besar dari r tabel   atau 0.519 > 0,138 maka disimpulkan
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, artinya prilaku birokrasi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kualitas layanan publik

PENUTUP
Prilaku birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik, secara praktis operasional mempunyai peranan yang
strategis yakni membangun partisipasi masyarakat. Prilaku birokrasi pemerintahan harus mengakomodasi
dan menyalurkan kepentingan rakyat melalui berbagai kebijakan yang sesuai dengan kepentingan umum
dan diarahkan membangun partisipasi  masyarakat dalam mendukung dan mengelola kegiatan
pemerintahan yaitu kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang berpola pada hubungan keduanya.
Demikian halnya dengan  pelayanan publik di Distrik Semangga  yang secara umum cukup tinggi,
kesadaran masyarakat dalam mendukung pelaksanaan pembangunan dapat ditemui dengan tingginya
tingkat kepedulian  pemerintah kepada masyarakat.
Kebanyakan responden menjawab dalam rentang cukup atau pilihan tengah. Hasil analisis korelasi
diperoleh nilai t uji (thitung) sebesar 0.519 dan  ttabel 0,138 (thitung > ttabel). maka Ho ditolak dan Hi diterima.
Dengan demikian pengujian bersifat bermakna atau signifikan, artinya  terdapat hubungan linear antara
prilaku birokrasi dengan kualitas layanan publik. Hasil ini secara empirik  turut memperkuat teori yang
menyatakan  bahwa prilaku birokrasi mempunyai hubungan dengan pelayanan masyarakat.
Keterbatasan penelitian ini, Analisis ini juga tidak mengungkapkan mengapa responden menjawab
demikian. Penelitian ini juga merupakan penelitian awal, yang perlu dikaji lanjut atau dilengkapi dengan
penelitian-penelitian lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, 1989, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis , Bina Aksara, Jakarta.
Benveniste, Guy, 1994, Professionalizing the Organization : Reducing Bureaucracy to Enhance Effectiveness ,
Penterjemah: Sehat Simamora, Grafindo Persada, Jakarta.
Davis, Keith dan John W. Newstrom. 1996, Prilaku Dalam Organisasi, Penerjemah : Agus Dharma, Erlangga, Jakarta.
Garna, Judistira. K. 1996, Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Program Pascasarjana Unpad, Bandung.
Gibson, James L.  John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly. 1996, Organisasi (Prilaku, Struktur dan Proses) ,
Penerjemah : Nunuk Adiarni,  Binarupa Aksara, Jakarta.
Hendrasti, Lily N, 1999, Wacana No. 1, “Analisis Faktor yang dipertimbangkan Mutu Pelayanan”, Program Pasca
Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Hoogerwerf, A. 1983, Ilmu Pemerintahan, Penerjemah : R.L.L. Tobing, Erlangga, Jakarta.
Lukman, Sampara, 1998, Widyapraja No.13, “Reformasi Pelayanan Publik Dalam Menghadapi Era Globalisasi”, IIP
Depdagri, Jakarta.
Munir H.A.S, 1995, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia , Bumi Aksaara, Jakarta.
Nazir, Moh. 1983, Metode Penelitian, Galia Indonesia, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu. 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahaan, Rineka Cipta, Jakarta.
Noorsyamsa, Djumara, 1994, Menuju Format Baru Pelayanan Umum, LAN, Jakarta.
Osborne, David and Geabler, Ted, 1992, Reinventing Government : How The Entreprepreneurial Spirit is Transforming
The Public Sector, A Willliam Patric Book, United State.
Osborne, David  and Peter Plastrik, 2000, Memangkas Birokrasi, PPM, Jakarta.
Rasyid, Muhammad Ryaas, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan Dan Politik Orde Baru , Yasrif Watampone,
Jakarta.
Saefullah, Djaja, 1999, “Reformasi Pelayanan Umum”, dalam jurnal Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
UNPAD, Bandung
Santoso, Priyo Budi, 1995, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Grafindo Persada, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi , 1995, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta
Supranto, J, 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta, Jakarta.
Thoha, Miftah, 1995, Perspektif Prilaku Birokrasi, Rajawali, Jakarta.
Tjiptono, Fandi, 1996, Manajemen Jasa, ANDI, Yogyakarta
Triguno, 1999, Budaya Kerja : Menciptakan Lingkungan Yang Kondusive Untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja ,
Golden Terayon Press, Jakarta.

Winardi, J. 1992. Manajemen Prilaku Organisasi, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Diposkan oleh JURNAL SOCIETAS FISIP UNMUS di 01.22


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Total Tayangan Laman

6,147

Arsip Blog
 ▼  2012 (8)
o ▼  Juni (8)
 JURNAL INFLUENCE ANALYSIS OF CAREER DEVELOPMENT A...
 JURNAL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK PENGAMBILAN
DA...
 JURNAL PERKEMBANGAN STUDI PEREMPUAN, KRITIK DAN
GA...
 JURNAL KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF (Sebuah Kajian Te...
 JURNAL PENGARUH PRILAKU BIROKRASI TERHADAP
KUALITA...
 PENGANTAR REDAKSI
 PERSYARATAN NASKAH JURNAL
 REDAKSI JURNAL SOCIETAS

Mengenai Saya
JURNAL SOCIETAS FISIP UNMUS
Jurnal Ilmu Administrasi dan Sosial "SOCIETAS" FISIP Universitas Musamus baru
pertama diluncurkan pada bulan April 2012 lalu. Dengan rintisan perdana ini ke depan
Jurnal ini diharapkan dapat menampung setiap karya Dosen untuk kepentingan bersama.
Seiring dengan aturan yang diterapkan maka setiap karya penelitian dan pengabdian
harus dipublikasikan sehingga dapat menjadi sumbangan pemikiran, acuan pembelajaran
tetapi juga sebagai sarana untuk mengurangi adanya tindakan yang tidak diharapkan.
Untuk itulah Jurnal SOCIETAS ini dipublikasikan secara Online sehingga dapat
dipergunakan oleh publik. Memang masih terdapat kekurangan dalam tampilan jurnal
online ini akan tetapi dengan terbitnya jurnal online ini kedepan dapat dilakukan upaya
perbaikan. Semoga setiap karya pada jurnal ini bermanfaat bagi kita semua. Salam,
Redaksi.
Lihat profil lengkapku

Entri Populer
 JURNAL KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF (Sebuah Kajian Teoritis)
KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF (Sebuah Kajian Teoritis) Sil Maria Ungirwalu  
(Dosen Jurusan Administrasi Negara Fisip – Unmus) ...

 JURNAL PENGARUH PRILAKU BIROKRASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN


PUBLIK PADA DISTRIK SEMANGGA

PENGARUH PRILAKU BIROKRASI TERHADAP KUALITAS LAYANAN PUBLIK 


PADA  DISTRIK SEMANGGA Samuel Atbar Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Fis...

 JURNAL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK PENGAMBILAN DAN


PENGOLAHAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI KABUPATEN MERAU

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAJAK PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN


BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI KABUPATEN MERAUKE Edoardus E.
Maturbongs  (Dose...

 JURNAL INFLUENCE ANALYSIS OF CAREER DEVELOPMENT AND


ORGANIZATIONAL COMMITMENT TO CIVIL SERVICE PERFORMANCE
THROUGH JOB SATISFACTION IN EDUCATION AND TEACHING MERAUKE
REGENCY

INFLUENCE ANALYSIS OF CAREER DEVELOPMENT AND ORGANIZATIONAL


COMMITMENT TO CIVIL SERVICE PERFORMANCE THROUGH JOB
SATISFACTION IN ...

 PENGANTAR REDAKSI

Pada edisi perdana ini, kami menawarkan beberapa konsep yang kiranya dapat menjadi
sumbangsih bagi perkembangan pembangunan secara komple...

 REDAKSI JURNAL SOCIETAS

JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN SOSIAL SOCIETAS ISSN 2252-603X Volume


01 Nomor 01 April 2012 SUSUNAN REDAKSI Penaggung...

 JURNAL PERKEMBANGAN STUDI PEREMPUAN, KRITIK DAN GAGASAN


(Sebuah Perspektif Untuk Studi Gender ke Depan)

PERKEMBANGAN STUDI PEREMPUAN, KRITIK, DAN GAGASAN ; ( Sebuah


Perspektif Untuk Studi Gender Ke Depan ) Godefridus Samderubun ...

 PERSYARATAN NASKAH JURNAL

PERSYARATAN NASKAH JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN SOSIAL


SOCIETAS 1.      Naskah bersifat ilmiah dan sistematis struktur naskah da...
Template Picture Window. Diberdayakan oleh Blogger.

ETIKA PELAYANAN PUBLIK


=================================================

Oleh: Karjuni Dt. Maani

ABSTRACT

Understanding of ethics in public management is an important and strategic basic competence that has
to be owned and practiced by public bureucrat consistantly in the implementation of government,
development, and public service for society. Therefore a study of understanding and implementation of
the concept of ethics in public service need to be socialized, especially that of related to equality, equity,
loyalty, and responsibility. This article will discuss about how important the understanding and
implementation of ethics in public service.

Kata Kunci: Etika, Birokrasi, Pelayanan Publik

I. PENDAHULUAN
Praktek penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia dewasa ini masih penuh dengan ketidakpastian
biaya, waktu dan cara pelayanan1. Mengurus pelayanan publik ibaratnya memasuki hutan belantara
yang penuh dengan ketidakpastian. Waktu dan biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna
pelayanan. Hal ini terjadi karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur kewajiban dari
penyelenggara pelayanan dan hak dari warga sebagai pengguna. Prosedur cenderung hanya mengatur
kewajiban warga ketika berhadapan dengan unit pelayanan. Ketidakpastian yang sangat tinggi ini
mendorong warga untuk membayar pungli kepada petugas agar kepastian pelayanan bisa segera
diperoleh. Ketidakpastian bisa juga mendorong warga memilih menggunakan biro jasa untuk menye-
1 Agus Dwiyanto, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan (PPSK) UGM.

lesaikan pelayanannya daripada me- nyelesaikannya sendiri. Disamping itu juga sering dilihat dan
didengar adanya tindakan dan perilaku oknum pemberi pelayanan yang tidak sopan, tidak ramah, dan
diskriminatif2. Sebagai konsekuensi logisnya, dewasa ini kinerja pemerintah sebagai pelayan publik
banyak menjadi sorotan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan.
Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh
instansi pemerintah. Semua permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara drastis
dan dramatis

2 Edy Topo Azhari. 2003. “ Upaya Mening- katkan Kinieja Pelayanan Publik”.
Makalah. Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi,
Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia Jakarta.

DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Th. 2010

62

sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya pemerintah dan aparatur pemerintahannya
memiliki kredibilitas yang memadai dan kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Pemerintah yang
memiliki etika dan moralitas yang tinggi dalam menjalankan kewenangan pemerin- tahannya, tentu
memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang dila- yaninya. Dalam pemerintahan yang demikian itu pula iklim keterbukaan,
partisipasi aktif dan pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan, sebagai manifestasi dari gagasan
yang dewasa ini mulai dikembangkan, yaitu penerapan etika dalam pela- yanan publik. Melihat betapa
kompleksnya masalah yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik, maka upaya
penerapan etika pelayanan publik di Indonesia msenuntut pemahaman dan sosialisasi yang
menyeluruh, dan menyentuh semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pela- yanan.
Permasalahannya sekarang adalah sejauhmana pemahaman dan penerapan etika pelayanan publik oleh
birokrasi pemerintah Indo- nesia? Masalah ini perlu pengkajian secara kritis dan mendalam, karena
berbagai praktek buruk dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti: ketidakpastian pelayanan,
pungutan liar, dan pengabaian hak dan martabat warga pengguna pelayanan, masih amat mudah
dijumpai dihampir setiap satuan pelayanan publik. Dengan demikian permasa-lahan pelayanan publik
cukup kompleks,

variabelnya sangat luas, upaya memperbaiki birokrasi sebagai pelayan publik (public service) termasuk
didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam pelyanan publik, memerlukan waktu
yang panjang dan diikuti dengan kemauan aparat untuk merubah sikap dan orentasi perilakunya ke arah
yang lebih mementingkan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, untuk itu menurut Mertins Jr3
ada empat hal yang harus dijadikan pedoman yaitu: Pertama, equality, yaitu perlakuan yang sama atas
pelayanan yang biberikan. Hal ini didasarkan atas tipe prilaku birokrasi rasional yang secara konsisten
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status
sosial, etnis, agama dan sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan
berlaku jujur, suatu prilaku yang patut dihargai. Kedua, equity, yaitu perlakuan yang sama kepada
masyarakat tidak cukup, selain itu juga perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang pluralistik kadang-
kadang diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama dan kadang-kadang pula di butuhkan
perlakuan yang adil tetapi tidak sama kepada orang tertentu. Ketiga, loyalty, adalah kesetiaan yang
diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan
tersebut terkait satu sama lain, dan tidak ada kesetiaan 3 Martins, Jr (ed).
1979. Professional Stan- dards and Ethics. Washington, DC: ASPA Publisher.

Etika Pelayanan Publik... 63

yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu yang mengabaikan yang lainnya. Keempat,
responsibility, yaitu setiap aparat pemerintah harus setiap menerima tanggung jawab atas apapun ia
kerjakan dan harus mengindarkan diri dari sindorman “saya sekedar melaksanakan perintah dari
atasan”.

II. ETIKA PELAYANAN PUBLIK

Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan
keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan diri sehingga sungguh-
sungguh mema- hami, menghayati, dan menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-
kebajikan moral khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral terlihat
dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six great ideas”4 yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan
(goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), dan keadilan (justice). Dalam
kehidupan berma- syarakat, seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya sejalan
dengan nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap
dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar
tersebut dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar tersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain yang
dianggap ( 4 Denhardt, KG. 1988. The ethics of public service: resolving moral dilemmas in the public
organizations. New York: Green- wood Press).

penting untuk mensukseskan pem- berian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai,
dikembangkan dan dipromosikan. Nilai-nilai tersebut sering dilihat sebagai “muatan lokal” yang wajib
diikuti seperti keteladanan yang baik, rasa empati yang tinggi, memiliki agama yang jelas, bertaqwa, dan
sebagainya. Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan disebut
dengan “profesional standars” (kode etik) atau “right rules of conduct” (aturan perilaku yang benar)
yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik5. Sebuah kode etik meru-muskan berbagai
tindakan apa, kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh para
pemberi pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh
birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan
kedokteran. Kode etik bagi kalangan profesi yang lain masih belum ada, meskipun banyak yang
berpendapat bahwa nilai-nilai agama dan etika moral Pancasila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi
pegangan bekerja atau bertingkah laku, dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana
implementasi dari nilai- nilai tersebut. Pendapat tersebut tidak salah, tetapi harus diakui bahwa tidak
adanya kode etik ini memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengeyampingkan
kepentingan pulik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai kontrol lansung sikap dan
perilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek dalam

5 Ibid

DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Th. 2010

64

bekerja diatur secara lengkap melalui aturan atau tata tertib yang ada dalam suatu organisasi pelayanan
publik. Kode etik tidak hanya sekedar bacaan, tetapi juga diimplementasikan dalam melakukan
pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan
diupayakan perbaikan melalui konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukkan,
agar masyarakat semakin yakin bahwa birokrasi publik sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan
kegiatan pelayanan publik. Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari negara lain yang sudah maju dan
memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik
telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah menetapkan kode etiknya.
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (America
Society for Public Administration), yang telah direvisi berulang-ulang kali dan mendapat penyempurnaan
dari para anggotanya6 (Wachs, 1985). Nilai-nilai yang dijadikan kode etik bagi pelayan publik di Amerika
Serikat adalah menjaga integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, penuh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik, memberi perlindungan terhadap
informasi yang sepatutnya

6 Wachs, M. 1985. Ethics in Planning Center for Urban Policy Research. The
State University of New Jersey.

dirahasiakan, dukungan terhadap “system merit” dan program “affirmative action”. Semua nilai yang
terdapat dalam kode etik pelayan publik ini bukan muncul tiba-tiba tetapi melalui suatu kajian yang
mendalam dan membutuhkan waktu lama, dan didukung oleh diskusi dan dialog yang tidak pernah
berhenti. Kon- ferensi atau seminar berkala diantara para akademisi dan praktis administrasi publik
terus dilakukan, para peserta seminar atau konferensi sangat diharapkan untuk berpartisipasi dalam
diskusi dan dialog terbuka dan mendalam untuk menetapkan nilai-nilai moral dan etika yang harus
diperhatikan dalam bekerja, termasuk dalam kondisi apa seorang birokrasi publik harus bertindak atau
memperhatikan nilai- nilai etika. Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral di
Indonesia, pengalaman negara-negara lain perlu ditimba. Tidak dapat disangkal bahwa pada saat ini
Indonesia dikenal sebagai negara koruptor nomor muda atau paling muda di dunia, perlu berupaya
keras menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral. Etika perumusan kebijakan, etika pelaksana
kebijakan, etika evaluator kebijakan, etika admi- nistrasi publik/birokrasi publik/ pelayanan publik, etika
perencanaan publik, etika PNS, dan sebagainya, harus diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum
berkembangnya budaya yang bertentangan dengan moral dan etika. Prinsip-prinsip etika pelayanan
publik yang dikembangkan oleh

Etika Pelayanan Publik... 65


Institute Josephson America7 dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi publik
dalam memberikan pelayanan, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Jujur, dapat dipercaya, tidak ber-
bohong, tidak menipu, mencuri, curang, dan berbelit-belit; 2. Integritas, berprinsip, terhormat, tidak
mengorbankan prinsip moral, dan tidak bermuka dua; 3. Memegang janji. Memenuhi janji serta
mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian itu secara sepihak; 4.
Setia, loyal, dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan; 5. Adil. Memperlakukan orang
dengan sama, bertoleransi dan menerima perbedaan serta berpikiran terbuka; 6. Perhatian.
Memperhatikan kese- jahteraan orang lain dengan kasih sayang, memberikan kebaikan dalam
pelayanan; 7. Hormat. Orang yang etis mem- berikan penghormatan terhadap martabat manusia privasi
dan hak menentukan nasib bagi setiap orang; 8. Kewarganegaraan, kaum profe- sional sektor publik
mempunyai tanggung jawab untuk meng- hormati dan menghargai serta mendorong pembuatan
keputusan yang demokratis; 9. Keunggulan. Orang yang etis memperhatikan kualitas peker- jaannya,
dan seorang profesional

7 The Liang Gie. 2006. Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Universitas


Ter- buka.

publik harus berpengetahuan dan siap melaksanakan wewenang publik; 10. Akuntabilitas. Orang yang
etis menerima tanggung jawab atas keputusan, konsekuensi yang diduga dari dan kepastian mereka,
dan memberi contoh kepada orang lain; 11. Menjaga kepercayaan publik. Orang-orang yang berada
disektor publik mempunyai kewajiban khusus untuk mempelopori dengan cara mencontohkan untuk
men- jaga dan meningkatkan integritas dan reputasi prosses legislatif. American Society for Public
Administration (ASPA), pada tahun 1981 mengembangkan kode etik pelayan publik8 sebagai berikut: 1.
Pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan kepada diri sendiri; 2. Rakyat adalah berdaulat
dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat;
3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum atau peraturan dirasa
bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan, kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya
kepentingan rakyat sebagai patokan; 4. Manajemen yang efesien dan efektif adalah dasar bagi admi-
nistrasi negara. Suversi melalui penyalahgunaan pengaruh, peng- gelapan, pemborosan, atau
penyelewengan tidak dapat dibenarkan. Pegawai-pegawai ber- tanggung jawab untuk melaporkan jika
ada tindakan penyimpangan;

8 Ibid

DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Th. 2010

66

5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas- asas itikad yang baik akan didu- kung,
dijalankan, dan dikem- bangkan; 6. Perlindungan terhadap kepentingan rakyat adalah sangat penting.
Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritiasme yang merendahkan jabatan publik untuk
keuntungan pribadi tidak dapat diterima; 7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus
dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetisi, dan kasih sayang. Kita
menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya; 8. Hatinurani memegang
peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesa- daran akan makna ganda mora
dalam kehidupan, dan pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah membenarkan
cara yang tak bermoral (good and never justify immoral means); 9. Para administrator negara tidak
hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar melalui
pelaksanaan tanggung jawab engan penuh dan tepat pada waktunya. Nilai-nilai etika di atas dapat
digunakan sebagai rujukan bagi birokrasi publik dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, sekaligus dapat digu- nakan standar untuk menilai, apakah
sikap, tindakan, perilaku dan pelayanan yang diberikannya itu dinilai baik atau buruk oleh publik.

Sejalan dengan penilaian tersebut Jabbra dan Dwivedi9 mengatakan bahwa untuk menjamin kinerja
pegawai sesuai dengan standard dan untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
pemerintah, maka aparat harus mampu mengembangkan 5 macam akuntabilitas, yaitu: Pertama,
akuntabilitas administratif (organisasional). Dalam akuntabilitas ini, diperlukan adanya hubungan
hirarkhis yang tegas diantara pusat- pusat pertanggungjawaban dengan unit-unit di bawahnya.
Hubungan- hubungan hirarkhis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan-aturan
organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk hubungan jaringan informal. Prioritas
pertanggungjawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan diikuti terus ke bawah, dan
pengawasan dilakukan secara intensif agar aparat tetap menuruti perintah yang diberikan. Pelanggaran
terhadap perintah akan diberikan peringatan mulai dari yang palig ringan sampai pemecatan; Kedua,
akuntabilitas legal. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan administratif dari aparat
pemerintah di badan legislatif dan/atau di depan makamah. Dalam hal pelanggaran kewajiban-
kewajiban hukum ataupun ketidakmampuannya memenuhi keinginan legislatif, maka
pertanggungjawaban aparat atas tindakan-tindakannya dapat 9 Jabbra, J.G
dan Dwivedi, O.P. 1989. Public Service Accountability. Conneticut: Kuma- rian Press, Inc.

Etika Pelayanan Publik... 67

dilakukan di depan pengadilan ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan
dengan undang- undang (judicial review); Ketiga, akuntabilitas politik. Para administrator yang terkait
dengan kewajiban menjalankan tugas- tugasnya mengikuti adanya kewenangan pemegang kekuasaan
politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber- sumber dan menjamin
adanya kepatuhan pelaksanaan perintah- perintahnya. Para pejabat politik itu juga harus menerima
tanggung jawab administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan tugas-
tugasnya dengan baik; Keempat, akuntabilitas profesional. Sehubungan dengan semakin meluasnya
profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional (seperti dokter, insinyur, pengacara,
ekonom, akuntan, pekerja sosial dan sebagainya) mengharap dapat memperoleh kebebasan yang lebih
besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Kalaupun
mereka tidak dapat menjalankan tugasnya mereka mengharapkan mememperoleh masukan untuk
perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik profesinya dengan kepentingan
publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan
akuntabilitasnya kepada kepentingan publik; Kelima, akuntabilitas moral. Telah banyak diterima bahwa
pemerintah memang selayaknya bertanggung- jawab secara moral atas tindakan- tindakannya.
Landasan bagi setiap
tindakan pegawai pemerintah seharusnya diletakan pada prinsip- prinsip moral dan etika sebagai- mana
diakui konstitusi dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku
sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku
para politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk
meng- hindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai dan
mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. Namun sayangnya, kata Wahyudi10 tanggung
jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi satu titik lemah yang krusial dalam birokrasi
pelayanan di Indonesia. Berkaitan dengan itu Harbani11 mengatakan bahwa untuk menilai baik
buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat dilihat dari baik buruknya
penerapan nilai-nilai sebagai berikut: Pertama, efesiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam artian bahwa para birokrat secara
berhati-hati agar memberikan hasil yang sebesar- besarnya kepada publik. Dengan demikian nilai
efesiensi lebih 10 Wahyudi Kumorotomo . 2006. “Pelayanan yang Akuntabel
dan Bebas dari KKN”, dalam Agus Dwiyanto,ed .2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 11Harbani Pasolong. 2007. Teori Administrasi Publik.
Bandung: Alfabeta.

DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Th. 2010

68

mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi dapat dikatakan baik (etis) jika birokrasi publik menjalankan
tugas dan kewenangannya secara efesien. Kedua, efektivitas, yaitu pada birokrat dalam melaksanakan
tugas- tugas pelayanan kepada publik harus baik (etis) apabila memenuhi target atau tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam mencapai
tujuannya, bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrasi publik). Ketiga, kualitas layanan, yaitu kualitas
pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat kepada publik harus memberikan kepuasan kepada yang
dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya pelayanan yang diberikan birokrat kepada publik
ditentukan oleh kualitas pelayanan. Keempat, responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab
birokrat dalam merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan
tugasnya dinilai baik (etis) jika responsibel dan memiliki profesional atau kompetensi yang sangat tinggi.
Kelima, akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melak- sanakan tugas dan
kewenangan pelayanan publik. Birokrat yang baik (etis) adalah birokrat yang akuntabel dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dari uraian di atas terlihat bahwa salah satu prinsip dalam
pemerintahan adalah pelayanan, yaitu semangat untuk melayani masyarakat. Untuk mewujudkan hal
itu, maka diperlukan suatu proses perubahan

perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts)
yang didasarkan pada dukungan ling- kungan (enabling strategy) yang diterjemahkan ke dalam standar
tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku birokrasi pelayan publik baik di
pusat maupun di daerah-daerah. Dalam pelaksanaan kode etik tersebut, birokrasi publik harus bersikap
terbuka, transparan, dan akuntabel, untuk mendorong penga- malan dan pelembagaan kode etik
tersebut. Dalam hubungannya dengan pelayanan kepada masyarakat biro- krasi publik jangan
mengedepankan wewenang, namun yang perlu didahulukan adalah peranan selaku pelayan publik, yang
manifestasinya antara lain dalam perilaku “melayani, bukan dilayani”; “mendorong, bukan
menghambat”; “mempermudah, bukan mempersulit”; “sederhana, bukan berbelit-belit”. Standar etika
pelayanan publik yang diperlukan di sini adalah pemenuhan atau peruwujudan nilai-nilai atau norma-
norma sikap dan perilaku birokrasi publik dalam setiap pelayanan dan tindakannya, yang dapat diterima
oleh masyarakat luas. Ini tidak berarti bahwa birorasi pelayan publik sama sekali tidak memiliki standar
etika pelayanan, akan tetapi dimensi pelaksanaan etika tersebut mungkin yang perlu ditingkatkan.

II. PENUTUP
Birokrasi penyelenggara pelayanan publik tidak mungkin bisa dilepaskan dari nilai etika. Karena etika
berkaitan dengan soal kebaikan dan keburukan

Etika Pelayanan Publik... 69

di dalam hidup manusia, maka tugas- tugas dari birokrasi pelayan publikpun tidak terlepas dari hal-hal
yang baik dan buruk. Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, kita menginginkan birokrasi
publik yang terdiri dari manusia-manusia yang berkarakter, yang dilandasi sifat-sifat kebajikan, yang
akan menghasilkan kebajikan-kebajikan yang mengun- tungkan masyarakat dan mencegah tujuan
menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan, bukan hanya menghayati nilai-nilai kebe-
naran, kebaikan, dan kebebasan yang

mendasar, tetapi juga nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena birokrasi pelayan publik ini adalah
pejuang dalam arti menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan, rela
berkorban, dan bekerja keras tanpa pamrih. Dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, akan
sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran,
kebaikan, keindahan, kebebasan, persamaan, dan keadilan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Agus Dwiyanto, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan (PPSK) UGM. Denhardt, KG. 1988. The ethics of public service: resolving
moral dilemmas in the public organizations. New York: Greewood Press. Edy Topo Azhari. 2003. “ Upaya
Meningkatkan Kinieja Pelayanan Publik”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional
Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi & Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober
2003 di Hotel Indonesia Jakarta. Harbani Pasolong. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Jabbra, J.G dan Dwivedi, O.P. 1989. Public Service Accountability. Conneticut: Kumarian Press, Inc.
Martins, Jr (ed). 1979. Professional Standards and Ethics. Washington, DC: ASPA Publisher. The Liang
Gie. 2006. Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka. Wachs, M. 1985. Ethics in
Planning Center for Urban Policy Research. The State University of New Jersey. Wahyudi Kumorotomo .
2006. “Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari KKN”, dalam Agus Dwiyanto,ed .2006. Mewujudkan
Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Th. 2010

70

Anda mungkin juga menyukai