Anda di halaman 1dari 8

Hubungan yang erat antara hukum dan masyarakat meniscayakan adanya kesaling pengaruhan antara

kehidupan sehari - hari, kedua entitas tersebut. Dalam berbagai peristiwa dan kejadian silih berganti
mewarnai corak dan bentuk hubungan antara keduanya; naik dan turun frekuensi hubungannya pun
menghiasi bentuk relasinya. Namun satu hal yang pasti bahwa nilai - nilai hukum dalam suatu
masyarakat akan selalu bertali berkelindan dengan dinamika sosial yang ada. Begitupun karenanya,
ketika suatu hukum lahir pasti dilatari oleh berbagai nilai sosial yang hidup pada saat entitas hukum itu
muncul dalam keseharian kehidupan. Jika pandangan relasi resiprokalis antara hukum dan masyarakat
itu dipegangi maka tidak berlebihan jika kita memandang bahwa gerak perubahan hukum akan sangat
ditentukan oleh perubahan - perubahan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Demikian pula
keberlanjutan nilai - nilai sosial tertentu akan mengakibatkan kekenyalan hukum yang ada meskipun ia
telah hidup lama dan berakar. Hukum akan tetap tak bergerak. Dus, keberlanjutan dan perubahan suatu
tradisi hukum sangat bergantung pada dinamika dari entitas sosial yang bersangkutan. Pun demikian
pula dengan hukum Islam; konsekuensi dari pandangan bahwa hukum Islam itu berada dan hidup dalam
lingkaran kehidupan masyarakat, maka tidak ayal bahwa dinamika hukum agama ini sangat ditentukan
oleh sejauh mana keberlanjutan dan keperubahan yang menimpa berbagai nilai masyarakat dimana
tradisi hukum Islam itu eksis. Pertanyaan lanjutannya tentu pada sejauh mana perubahan sosial yang
muncul dalam suatu titik sejarah masyarakat tertentu dapat secara garis lurus menimbulkan perubahan
hukum, baik terhadap hukum sekuler maupun yang sakral. Dalam hal ini, teori - teori perubahan sosial
menjadi kunci pemahaman terhadap kejadian berubahnya hukum yang terjadi dalam masyarakat.

Persoalan bagaimana hukum menghadapi berbagai perubahan sosial sejatinya dihadapi oleh semua
tradisi hukum. baik itu bagi hukum Barat maupun tradisi-tradisi normatif yang sosial selalu menjadi
masalah yang rumit. Apakah hukum harus hidup di belahan Timur, penghadapannya dengan kehidupan
mengikuti perubahan sosial yang ada secara total, atau sekedar memilih perubahan tertentu yang dapat
diikuti, atau bahkan hukum dapat berjalan di depan sebelum perubahan sosial terjadi hal itu merupakan
sekelumit contoh dari banyaknya pertanyaan yang bisa diajukan. Begitu banyaknya riset dan karya
ilmiah yang ditulis dalam persoalan ini mencerminkan seberapa jauh nara ahli telah memikirkan
persoalan hukum dan perubahan sosial tersebut. Dalam perkembangannya, kajian tentang fenomena ini
sering dikesampingkan oleh para pengkaji hukum. Satu sisi, para juris mungkin agak kesulitan untuk
memasuki wilayah kajian sosial itu karena modernisasi hukum cenderung untuk mengisolasi hukum dari
lingkungan sosialnya, disamping masih sedikitnya para pengkaji hukum yang mempelajari secara
mendalam persoalan sosial, dan sebaliknya para pengkaji ilmu sosial pun juga menjadi agak canggung
untuk memasuki wilayah kajian hukum n yang sudah begitu mekanis dan elitis.

Alasan utama kegersangan kajian hukum dan perubahan sosial ini menurut Yehezkel Dror lebih
disebabkan karena beberapa persoalan, diantaranya karena masih kurangnya peneliti yang benar-benar
terlatih dalam bidang ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial; disamping, masih belum begitu aspek sosial
dari sistem normatif dalam masyarakat; juga, karena berkembangnya metode riset yang cocok untuk
meneliti aspek terlalu tingginya perhatian dari para ahli ilmu sosial terhadap fungsi kontrol sosial dari
hukum; disamping itu juga karena masih belum berkembangnya kajian-kajian sosial terhadap fenomena
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Teori-Teori Perubahan Hukum

Perubahan hukum pada dasarnya dipahami sebagai perubahan yang terjadi karena adanya perubahan
sosial. Analisa terhadap gejala ini karena itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori perubahan sosial.
Disinilah karenanya kita melihat betapa besar peran dan pengaruh pemikiran para ahli sosiologi untuk
memahami dan menganalisis gejala-gejala perubahan hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Jika nilai nilai sosial berbanding lurus dengan nilai-nilai hukum yang hidup, maka tentu saja perubahan-
perubahan sosial yang terjadi akan dengan secara otomatis menghasilkan perubahan sistem hukum
yang ada dalam kehidupan keseharian.

Perubahan sosial itu sendiri dapat muncul karena berbagai pengaruh dan sebab yang berasal dari
bermacam faktor yang muncul dalam kehidupan masyarakat tersebut, baik itu dari proses internal yang
terjadi dalam masyarakat maupun faktor eksternalnya. Para sosiolog telah sejak paruh kedua abad dua
puluh mendalami tentang perubahan sosial ini dan berusaha memahami apa penyebab dan pola dari
perubahan tersebut. Dalam hal ini, terdapat 3 teori dasar yang dapat digunakan sebagai alat analisis kita
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga teori itu adalah: evolusi,
fungsionalisme dan konflik. Ketiga teori ini meskipun sudah lama namun masih dijadikan sebagai
pegangan dasar dalam membaca fenomena perubahan masyarakat. Karena itu, pada gilirannya dalam
melihat fenomena perubahan hukum, para ahli juga kemudian mendasarkan pada ketiga teori tersebut
serta mengembangkannya lebih lanjut.

1. Teori Evolusi (Evolutionary Theory).

Sejak paruh pertama abad XIX para sosiolog telah sangat terpengaruh oleh pemikiran teori evolusi dari
Charles Darwin (1809-1882). Teori yang semula digunakan oleh Darwin sendiri untuk menganalisis
perkembangan biologis, kemudian digunakan untuk menganalisis fenomena sosial. Dalam logika teori
evolusi sosial ini semua masyarakat mengalami pola perkembangan yang sama dari bentuknya yang
sederhana menuju kepada perubahan yang lebih maju dan sempurna. Pada masyarakat yang simpel,
masyarakatnya selalu berpikir lebih sederhana dengan menggunakan variabel yang juga lebih ringkas
juga. Sedang pada masyarakat yang lebih maju, orang-orangnya cenderung berpikir dengan lebih variatif
dan rumit.

Sebagai "Bapak Sosiologi", August Comte mengajarkan teori evolusi sosial ini dimana ia melihat
kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan sesuai dengan tingkat perkembangannya masing-
masing. Untuk itulah, Comte menyarankan penggunaan metode saintifik untuk mengamati
perkembangan sosial tersebut.

Kemudian hal itu diikuti oleh Emile Durkheim. Sebagai penemu teori fungsionalisme, Durkheim
membangun pemahaman yang sosiologis bahwa masyarakat selalu mengalami kemajuan dari tingkatan
yang rendah menuju pada yang lebih tinggi lagi. Dan ini tentu secara fungsional akan berakibat pada
perilaku dan kebiasaan masyarakat dalam kehidupan kesehariannya yang mengalami penyempurnaan.
Sejalan dengan Durkheim, Herbert Spencer juga melakukan penelitian dengan membandingkan antara
organisme dengan masyarakat manusia, dimana keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang
saling berkaitan dan selalu mengalami perkembangan dengan pola tujuan yang sama, menuju kepada
bentuk yang lebih sempurna. Comte, Durkheim maupun Spencer sama-sama menganut Unilinear
evolutionary theory yang memahami bahwa setiap masyarakat akan selalu berkembang ke arah yang
sama, yaitu kemajuan dan kesempurnaan.

Gerhard Lenski, menjadi figur utama dari madhab evolusi multilinear ini, dan tampaknya menjadi teori
yang banyak diikuti oleh pemikir-pemikir kekinian." Masing-masing kehidupan spesies berevolusi dengan
bentuk dan hasilnya yang berbeda-beda, dengan demikian perubahan yang terjadi dalam masyarakat
tentu dilihat sebagi suatu bentuk evolusi yang variatif; beragam bentuk dan hasil yang diperolehnya.
Evolusi yang multilinear dengan demikian bakal menghasilkan suatu peralihan yang tidak dapat
dipastikan bentuknya. Karena perubahannya beragam maka hasilnya pun juga beragam, tidak dapat
secara fix diprediksi hasil akhirnya.

2. Kedua, teori fungsionalisme.

Teori ini mendasarkan dirinya Pada apa yang membuat masyarakat bertahan, bukan pada apa yang akan
merubahnya. Secara sosiologis, tokoh fungsionalis dalam hal ini adalah Talcot Parsons. Dalam
pandangan dia, masyarakat selalu dalam kondisi "natural state" jika masyarakat tersebut dalam kondisi
stabil dan seimbang. Disinilah dalam keadaannya suatu masyarakat menuju ke dalam situasi
homeostasis. Dengan kata lain, homeostasis ini pada dasarnya adalah kondisi setiap masyarakat, yaitu
suatu keadaan dimana kondisi masyarakat bisa bertahan dalam waktu lama. Menurut Parson, problem
sosial yang muncul dalam masyarakat bukan sesuatu yang akan berlangsung terus namun sebetulnya
hanya sekedar persoalan yang temporer saja dalam hubungan sosial. Bahkan dalam teorinya tentang
equilibrium theory, Parson berpendapat bahwa perubahan yang terjadi dalam satu waktu akan
membutuhkan penyesuaian yang terjadi dalam waktu yang lain. Karena itu, jika penyesuaian itu tidak
terjadi. maka tidak ada keseimbangan yang muncul, karenanya tatanan sosial pun akan terancam. Teori
ini dipengaruhi oleh August Comte, Emile Durkheim serta Herbert Spencer. Mereka ini yang
berpandangan bahwa alam sosial sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis bahwa masyarakat sebagai
organisme biologis yang terdiri dari berbagai unsur yang merupakan organ dalam kehidupan yang saling
bergantung satu dengan yang lainnya, sehingga dengan ketergantungan tersebut mereka dapat
bertahan hidup.

Teori Fungsionalisme mengajarkan bahwa secara teknis masyarakat dapat dipahami dengan melihat
sifatnya sebagai suatu analisis sistem sosial, dan subsistem sosial, dengan pandangan bahwa masyarakat
pada hakekatnya tersusun kepada bagian secara struktural, dimana dalam masyarakat ini terdapat
berbagai sistem dan faktor yang satu sama lain mempunyai peran fungsinya masing-masing dan
mendukung dengan tujuan gar masyarakat dapat terus melanjutkan kehidupannya.

Dalam dunia hukum, fungsionalisme selalu berhubungan dengan teori hukum positif. Seperti ketika kita
bertanya: Mengapa hukum itu mengandung konten begitu dan begini?" Jawabannya akan secara
otomatis adalah: "Karena aturan itu mempunyai peran-peran tertentu...." Teori hukum Marxis pun
sangat bergantung pada penjelasan fungsionalis secara umum, sehingga tidak mengherankan bahwa
banyak penjelasan hukum Marxis bersifat fungsionalis.
Contoh dari penjelasan fungsionalis dalam teori hukum adalah klaim bahwa aturan common law bersifat
efisien. Terkadang klaim-klaim ini disertai dengan laporan tentang mekanisme di mana sistem hukum
bersama bergerak menuju aturan hukum yang efisien. Dapat dikatakan bahwa aturan hukum yang tidak
efisien akan dikenakan tekanan litigasi terus menerus; sedangkan aturan hukum yang efisien, setelah
diadopsi, cenderung memfasilitasi penyelesaian perselisihan.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa fungsionalisme hukum ingin melihat struktur sosial atau
organisasi masyarakat tertentu itu mempunyai kedudukan yang lebih penting dari pada individual.

fungsionalisme hukum pada dasarnya adalah berusaha untuk mengeksplanasikan dan memprediksi
hukum dengan jalan menganalisis hukum tersebut. Sebagaimana diceritakan secara gamblang oleh
Lawrence B. Solum bahwa:

Why do legal rules have the form and content that they do, in fact, have? One answer to this question is
based on the idea that the function of a rule can be part of a causal explanation of the content of the
rule. Why does corporations law limit the liability of stockholders? One kind of answer to that question
might begin: "That rule is the way it is, because it serves the interest of the capitalist class." Or, 'The rule
is that way, because that is the efficient rule, and common law adjudication selects for efficient rules.' In
other words, the content of the rule is explained (causally) by the function the rule serves."

(Mengapa aturan hukum memiliki bentuk dan konten yang mereka miliki, pada kenyataannya? Satu
jawaban untuk pertanyaan ini didasarkan pada gagasan bahwa fungsi suatu aturan dapat menjadi
bagian dari penjelasan kausal dari isi aturan tersebut. Mengapa hukum perusahaan membatasi
tanggung jawab pemegang saham? Satu jenis jawaban untuk pertanyaan itu mungkin dimulai: "Aturan
itu memang seperti itu, karena melayani kepentingan kelas kapitalis." Atau, 'Aturannya seperti itu,
karena itu adalah aturan yang efisien, dan ajudikasi hukum umum memilih aturan yang efisien.' Dengan
kata lain, isi aturan dijelaskan (secara kausal) oleh fungsi yang dilayaninya.)

Pendekatan fungsionalis didasarkan pada interpretasi Konstitusi yang memandang kekuasaan terpisah
dari tiga cabang pemerintahan sebagai tidak dimaksudkan untuk beroperasi dengan independensi
absolut.... Menekankan checks and balances yang beroperasi antara masing masing cabang, analisis
fungsionalis dimulai dengan memeriksa apakah tindakan tersebut telah menghalangi satu cabang untuk
menyelesaikan fungsi yang ditugaskan secara konstitusional. Ketika menentukan apakah fungsi inti dari
suatu cabang telah terganggu secara tidak masuk akal, tes fungsionalis menekankan fleksibilitas dan
keseimbangan dengan memeriksa seluruh kerangka hubungan antar cabang.

3. Teori ketiga, teori konflik.

Teori ini berpendapat bahwa karena keberadaan kaum kaya yang menentukan segalanya, maka hanya
praktik-praktik dan institusi sosial yang sesuai dengan keinginan mereka yang bakal bisa diwujudkan dan
dilanjutkan, mereka pula yang pada kenyataannya memainkan peranan penting dalam menyembuhkan
ketidakseimbangan sosial dan ketidakadilan. Menurut Karl Heinrich Marx, sejarah masyarakat manusia
adalah sejarah perjuangan kelas, yang melahirkan kelompok borjuis dan kelompok proletar. Menurut
Marx, dalam konteks ini hukum dan pemerintah lebih banyak berpihak pada kaum borjuis ketimbang
proletar.

Pandangan Marx tentang perubahan sosial adalah proaktif; ia tidak bergantung pada orang yang tetap
pasif dalam menanggapi eksploitasi atau masalah lain dalam budaya material. Alih-alih, ini menyajikan
alat bagi individu yang ingin mengambil kendali dan mendapatkan kembali kebebasan mereka. Tidak
seperti fungsionalisme dan penekanannya pada stabilitas, Marx berpendapat bahwa konflik diinginkan
dan diperlukan untuk memulai perubahan sosial dan menyingkirkan masyarakat dari ketidaksetaraan.
Teori konflik ini kemudian memunculkan apa yang dinamakan sebagai perspektif konflik. Perspektif ini
melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika
pemegang kekuasaan yang terus berusaha menjaga dan meningkatkan posisinya. Dalam mencapai
tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik selalu
muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan
memelihara dominasinya.

Dengan demikian, Teori konflik adalah teori bahwa masyarakat berada dalam keadaan konflik abadi
karena persaingan untuk sumber daya yang terbatas. Teori konflik menyatakan bahwa tatanan sosial
dipertahankan oleh dominasi dan kekuasaan (daripada konsensus dan konformitas). Menurut teori
konflik, mereka yang kaya dan berkuasa berusaha mempertahankannya dengan segala cara, terutama
dengan menekan yang miskin dan tidak berdaya. Premis dasar teori konflik adalah bahwa individu dan
kelompok dalam masyarakat akan bekerja untuk memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Dengan
begitu, teori konflik mendasarkan dirinya pada beberapa hal: Teori konflik berfokus pada persaingan
antar kelompok dalam masyarakat atas sumber daya yang terbatas; teori konflik memandang institusi
sosial dan ekonomi sebagai alat perjuangan antar kelompok atau kelas, yang digunakan untuk
mempertahankan ketidaksetaraan dan dominasi kelas penguasa; teori konflik Marxis melihat
masyarakat terbagi sepanjang garis kelas ekonomi antara kelas pekerja proletar dan kelas penguasa
borjuis; dan versi-versi selanjutnya dari teori konflik melihat dimensi-dimensi konflik lain di antara faksi
faksi kapitalis dan antara berbagai jenis kelompok sosial, agama, dan lainnya.

Marx berteori tentang kaum borjuis, sekelompok orang yang mewakili anggota masyarakat yang
memegang mayoritas kekayaan dan sarana. Proletariat adalah kelompok lain: ia termasuk yang
dianggap kelas pekerja atau miskin. Dengan kebangkitan kapitalisme, Marx berteori bahwa kaum
borjuis, minoritas dalam populasi, akan menggunakan pengaruhnya untuk menindas kaum proletar,
kelas mayoritas. Cara berpikir ini terkait dengan citra umum yang terkait dengan model masyarakat
berbasis teori konflik; penganut filosofi ini cenderung percaya pada pengaturan piramida dalam hal
bagaimana barang dan jasa didistribusikan di masyarakat; di puncak piramida adalah sekelompok kecil
elit yang mendikte syarat dan ketentuan untuk sebagian besar masyarakat karena mereka telah
mengecilkan jumlah kontrol atas sumber daya dan kekuasaan.

Teori konflik mengasumsikan bahwa elit akan menetapkan sistem hukum, tradisi, dan struktur
masyarakat lainnya untuk lebih mendukung dominasi mereka sendiri. Dalam teori konflik saat ini, ada
empat asumsi utama yang bermanfaat untuk dipahami: kompetisi, revolusi, ketidaksetaraan struktural,
dan perang.
Max Weber, seorang sosiolog, filsuf, ahli hukum, dan ekonom politik Jerman, mengadopsi banyak aspek
dari teori konflik Marx, dan kemudian, semakin menyempurnakan beberapa gagasan Marx. Weber
percaya bahwa konflik atas properti tidak terbatas pada satu skenario tertentu. Sebaliknya, ia percaya
bahwa ada beberapa lapisan konflik yang ada pada saat tertentu dan di setiap masyarakat. Sementara
Marx membingkai pandangannya tentang konflik sebagai satu antara pemilik dan pekerja, Weber juga
menambahkan komponen emosional pada ide-idenya tentang konflik.

Hukum Islam dan Perubahan Sosial

Agama dicitakan selalu mampu menghadapi segala macam perubahan sosial yang terjadi. Persoalannya
sekarang apakah agama dapat berubah karena perubahan sosial tersebut. Dalam hal ini, perdebatan
sudah lama dalam dunia Islam, baik yang menyangkut kelompok yang pro maupun yang kontra Sebagai
sistem hukum agama yang divine, hukum Islam secara umum dipahami sebagai hukum yang tidak bakal
berubah, namun kepercayaan ini tentu menghadapi gelombang tantangan yang besar sekali dari
perubahan sosial yang terjadi, yang tentu saja mengharuskan adanya fleksibilitas maupun tingkat
adaptasi yang tinggi.

Sebagai agama yang sacred, Islam dipercaya sebagai sebuah sistem kepercayaan yang tidak pernah
menerima ide perubahan. Menurut kaum tradisional yang klasik dan orthodox, hukum Islam sebagai
hukum yang tidak pernah menerima ide perubahan karena adanya perubahan sosial. Sebagai wahyu
Tuhan yang diturunkan untuk umat manusia, Islam secara kuat berakar pada wahyu dan apa-apa yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.. yang tentu semuanya itu harus dipandang sebagai sesuatu yang
sakral, final, eternal dan karenanya dia bersifat tidak berubah (immutable). Para protagonis pemahaman
seperti ini selalu berargumen bahwa:

The law, which is the constitution of the Community, cannot be other than the Will of God, revealed
through the Prophet. This is a Semitic form of the principle that "The will of the sovereign is law", since
God is the sole Head of the Community, and therefore sole Legislator,

(Hukum, yang merupakan konstitusi Komunitas, tidak bisa lain dari kehendak Tuhan, diturunkan melalui
Nabi. Ini adalah bentuk Semitik dari prinsip bahwa "Kehendak kedaulatan adalah hukum", karena Allah
adalah satu satunya Kepala Komunitas, dan karenanya satu-satunya Legislator.)

Karena Allah adalah kepala komunitas, maka Dia lah sebagai satu-satunya sumber kekuatan legislasi. Jika
kehendak kedaulatan berada di tangan-Nya, maka kehendak hukum pun harus berada di dalam
genggaman-Nya. Hal itu karena hukum itu hanya menjadi kekuasaan pemegang kedaulatan tersebut.

Argumen di atas tercermin dalam argumen teologis Asy'ariyah ketika berdebat keras dengan Mu'tazilah
tentang masalah agen bebas (free will) dari tindakan manusia. Mu'tazilah menganut gagasan kehendak
bebas yang dikaitkan kepada manusia sebagai satu-satunya otoritas atas tindakannya. Di sisi lain,
Asy'ariyah berpendapat bahwa manusia bukanlah agen bebas dari tindakannya, menyiratkan bahwa
semua tindakan manusia adalah konsekuensi langsung dari Kehendak Ilahi.
Dalam pemikiran Asy'ariah hukum Islam dan perubahan sosial memang tidak pernah bisa disatukan
karena keduanya merupakan hasil dari pandangan yang berbeda tentang epistemologi hukum Islam itu
sendiri. Pandangan dominan menyatakan bahwa hukum Islam bukanlah produk dari usaha intelektual
manusia dan karenanya tidak dapat dibentuk atau digantungkan terhadap mileu sosial yang ada. Hal
seperti inilah yang dikatakan oleh Coulson bahwa hukum Islam itu:

"Floating above Muslim society as a disembodied soul, freed from the currents and vicissitudes of time,
it [Islamic Law] represented the eternally valid ideal towards which society must aspire"

(Melayang di atas masyarakat Muslim sebagai jiwa tanpa tubuh, terbebas dari arus dan perubahan
waktu, itu [Hukum Islam] mewakili cita-cita yang berlaku secara kekal ke arah mana masyarakat harus
bercita-cita),"

Debat klasik tentang akal versus wahyu mewakili puncak dari suatu proses dimana istilah-istilah hukum
tertentu dipahami sebagai Kehendak Allah yang tidak dapat dibatalkan dan tidak dapat diubah. Berbeda
dengan sistem hukum yang didasarkan pada akal manusia dan utilitas, sistem hukum sakral mempunyai
dua karakter yang utama: Pertama, ia merupakan sistem yang rigid dan tidak dapat diubah, yang
mewujudkan norma-norma yang absolut dan validitas abadi yang berada di luar yurisdiksi atau otoritas
legislatif manapun. Kedua, bagi kebanyakan masyarakat Muslim, Syariah ditasbihkan secara syah
mewakili standar keseragaman bersama, yang ini bertentangan dengan berbagai sistem hukum yang
merupakan produk akal manusia yang dibentuk oleh, dan sebagai respons terhadap keadaan dan
kebutuhan khusus komunitas tertentu.

Keadaptasian dan Kemodernan Hukum Islam

Argumen utama para protagonist tentang kekekalan hukum Islam dapat diringkas sebagai berikut: 1)
Karena hukum Islam berakar pada sumber ilahi, maka keputusannya bersifat abadi, absolut, final, dan
tidak dapat diubah. 2) Hukum Islam bukanlah produk dari usaha manusia, oleh karena itu manusia tidak
akan mampu melakukan campur tangan atas nama perubahan. 3) Hukum Islam adalah kode etik atau
moral yang harus tetap konsisten dan karenanya tidak berubah. Dilihat dari 3 sifat ini maka sudah jelas
bagi para pendukung ketidakperubahan hukum Islam, bahwa entitas hukum ini begitu rigid dan tetap
melampaui segala ruang dan waktu. Hukum adalah berada di luar ruang dan waktu tertentu, dan dia
adalah tidak bergerak karena memang dimensinya yang berbeda.

Dalam responnya terhadap argumen bahwa hukum Islam berakar dalam sumber-sumber ilahiah, para
protagonist dari kelompok keadaptasian hukum Islam berpendapat bahwa dalam kenyataannya jumlah
ayat-ayat yang mengandung hukum dari wahyu Tuhan itu sangat terbatas. Karena itu, para orientalis
seperti misalnya Ostrorog maupun Fritzgerald meyakini bahwa body hukum Islam itu tidaklah di
wahyukan, namun semua berkembang karena sebagai hasil dari jerih payah manusia." Mereka
berpendapat bahwa sistem hukum cenderung menjadi sempurna dan dilukiskan sebagai suatu hal yang
permanen.

Secara klasik, hukum Islam dipercayai terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu pertama mansus alaih,
yaitu bagian yang diterimanya secara langsung dari wahyu Al-Qur'an. Seperti misalnya, ibadah haji,
zakat, atau larangan berbuat zina. Sedang yang kedua, adalah bagian mujtahid fih, yaitu bagian yang
berkembang karena adanya ijtihad manusia dengan akalnya. Dalam hal ini, ketidak-berubahan pada
bagian yang pertama itu jelas. Baik kedua kubu sepakat akan posisinya. Bahkan mereka yang
berpandangan pada adaptability hukum menganggap bahwa hukum yang didasarkan pada perintah ilahi
secara langsung dan eksplisit sebagai permanen dan berada di luar area yang berubah, karenanya, pada
titik ini ada kesepakatan umum. Adalah pada area hukum mujtahid fih bahwa pandangan keberubahan
dalam hal ini diperbolehkan dan selalu terjadi. Pandangan immutabilitas, seperti yang telah kita lihat,
secara teori tidak mengenal bahwa hukum Islam dapat berubah karena tunduk pada gagasan preseden
yang mengikat. Oleh karena itu perdebatan ini bukan tentang historisitas perubahan hukum, tetapi
tentang teori hukum Islam tentang perubahan itu sendiri. Kedua posisi, bagaimanapun, mengakui
pandangan kelompok lawan pada beberapa poin. Sebagai contoh, kelompok yang immutable percaya
kepada lawannya dalam mempertahankan bahwa hukum Islam dapat diadaptasi dalam periode
pembentukannya. Sedang kelompok adaptable di sisi lain berpandangan bahwa setelah "penutupan
pintu ijtihad", hukum Islam menunjukkan kecenderungan kurang untuk beradaptasi karena konsep
taqlid telah memperoleh pengikutnya.

Pada situasi modern seperti sekarang ini, perubahan sosial yang terjadi dan bagaimana efeknya dalam
perubahan hukum sudah sedemikian rincinya dikaji oleh para ahli. Perubahan sosial yang terjadi jelas
merupakan faktor yang dapat membawa kepada perubahan hukum. Demikian pula dengan hukum
Islam, perubahan sosial tersebut sudah tentu menjadi penyebab suatu tuntunan hukum Islam itu
berubah, baik perubahan kecil atau besar. Ini jika kita harus pahami bahwa area mujtahid fih terus
berkembang sejalan dengan perkembangan sosial kemasyarakatan yang terjadi.

Dua tujuan hukum dalam hal ini adalah, pertama, untuk menjaga stabilitas dan memberi kehidupan
yang tertib di masyarakat; dan, Kedua, mengikuti perubahan sosial dengan mengubah dirinya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang berubah. Dalam konteks teori, semua teori baik evolusi,
fungsionalisme maupun konflik dapat digunakan untuk mengkaji fenomena-fenomena hukum yang
terjadi dalam masyarakat Muslim dan bagaimana keterpengaruhan sosial dan budaya dari masyarakat
tersebut dari masyarakat non-Muslim terjadi. Jika demikian maka hukum menjadi agen penting dari
kontrol sosial. Masyarakat mengawasi hukum untuk sosialisasi yang lebih baik. Aturan hukum dalam
konstitusi apa pun adalah landasan bagi kehidupan yang demokratis. Hukum adalah agen yang
membantu untuk kontrol sosial dengan jalan hukum mengatur perilaku orang-orang. Hukum, dengan
menggunakan kekuatan, membuat orang sadar tentang tugas dan kewajiban mereka. Hukum dengan
demikian menyelamatkan konsep-konsep masyarakat yang berharga dan baik. Eksploitasi rakyat dibatasi
melalui hukum. Konstitusi yang ada, hukum pidana, hukum perdata, dan undang-undang lainnya
dirancang untuk mengatasi tujuan ini.

Anda mungkin juga menyukai