Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342492682

Eh-pH dan Sistem Tanah-Tanaman-Mikroorganisme

Article · February 2019

CITATIONS READS

0 6,016

1 author:

Yohanna Anisa Indriyani


Bogor Agricultural University
15 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pesticide View project

Microbial Fuel Cell View project

All content following this page was uploaded by Yohanna Anisa Indriyani on 01 September 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


7
Eh-pH DAN SISTEM TANAH-TANAMAN-MIKROORGANISME*
(Yohanna Anisa Indriyani)
*Tugas Matakuliah Biokimia Tanah, Diampu oleh Dr. Syaiful Anwar

PENDAHULUAN
Reaksi oksidasi-reduksi dan reaksi asam-basa merupakan reaksi yang sangat penting
untuk keberlangsungan semua organisme. Hanya saja, potensial redoks (Eh) masih mendapat
sedikit perhatian -termasuk di bidang agronomi- jika dibandingkan dengan pH yang lebih
dianggap sebagai variabel kunci.
Tulisan ini bersumber utama dari tulisan Olivier Huston (Olivier Husson. 2013. Redox
potential (Eh) and pH as drivers of soil/plant/microorganism systems : a transdisciplinary
overview pointing to integrative opportunities for agronomy. Plant Soil. 362:389-417), yang
merupakan tinjauan transdisipliner untuk membuktikan bahwa Eh dan/atau pH merupakan
pendorong utama sistem tanah-tanaman-mikroorganisme. Pernyataan ini didasarkan pada
hipotesis bahwa tanaman melakukan fungsi secara fisiologis dalam kisaran Eh-pH tertentu, dan
bersama dengan mikroorganisme berperan mengubah Eh dan pH pada rhizosfer untuk
memastikan homeostasis pada tingkat sel. Perspektif baru ini diharapkan dapat membantu
menjembatani beberapa disiplin ilmu terkait agronomi (dalam skala mikro maupun makro)
sehingga dapat membantu memperbaiki desain manajemen dan sistem budidaya tanaman, pada
pertanian konvensional, organik, dan konservasi.
Albert Szent-Gyorgyi (1960) -penerima hadiah Nobel dalam bidang fisiologi-
menggambarkan, "Apa yang mendorong adanya kehidupan adalah sejumlah kecil arus listrik.”
Kimiawi dari organisme hidup bahkan lebih bergantung pada reaksi reduksi-oksidasi (yaitu
transfer elektron) daripada reaksi asam basa (yang lebih fokus pada transfer proton).
Reduksi-oksidasi secara sederhana diukur berdasarkan potensial redoks (Eh). Eh
umumnya digunakan dalam sejumlah disiplin ilmu yang secara luas berhubungan dengan
organisme hidup, seperti ekologi mikrob, biogeokimia, bioenergetika, hidrobiologi dan studi
tentang ekosistem laut, ilmu tanah, serta fisiologi dan ekofisiologi. Sayangnya, dalam banyak
disiplin ilmu, oksidasi-reduksi dan fluks elektron belum mendapat perhatian yang sama
sebagaimana pH dan fluks proton. Dalam ilmu tanah misalnya, pH seringkali masih dianggap
sebagai variabel kunci. Hal ini juga terjadi pada bidang ilmu fisiologi tanaman.

BAGIAN 1
OKSIDASI-REDUKSI DI DALAM FISIOLOGI SEL DAN TUMBUHAN
1.1 Reaksi oksidasi-reduksi dan energi
Termodinamika dan kinetika reaksi redoks sangat penting untuk memahami fungsi
biokimia sel dan organisme hidup. Di dunia tumbuhan, fotosintesis menggunakan energi cahaya
foton untuk menggabungkan (mereduksi) karbon dioksida dari udara dengan hidrogen yang
diambil dari air. Reaksi ini merupakan reaksi reduksi. Proteosintesis dan liposintesis pada
tanaman juga merupakan reaksi reduksi, dengan akumulasi energi kimia dalam molekul yang
disintesis.
1.2 Kompartemenisasi dan kondisi redoks
Terdapat banyak interaksi antarsenyawa aktif-redoks, serta efek dari berbagai parameter
lingkungan terhadapnya, yang telah dirumuskan ke dalam konsep kondisi redoks sel. Kondisi
redoks sel dipandang sebagai jumlah/total dari molekul-molekul redoks-aktif yang mereduksi
dan mengoksidasi.
Di dalam sel, berbagai organel hanya dapat bekerja dengan baik pada kondisi redoks yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, kondisi redoks yang reduktif pada nukleus sangat penting untuk
factor binding proses transkripsi. Di dalam sel tanpa kloroplas atau di dalam sel fotosintetik
yang berada dalam kondisi gelap, mitokondria bekerja pada tingkat Eh terendah, diikuti secara
berturut-turut oleh nukleus, sitosol, retikulum endoplasma, dan ruang ekstraselular. Kondisi
redoks jauh lebih rumit pada tanaman karena metabolisme fotosintetiknya yang sangat reaktif
(Dietz 2003). Oleh karena itu, kondisi redoks merupakan penentu penting bagi berfungsinya
sel. Ketidakseimbangan kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan parah atau bahkan kematian
sel.
1.3 Redoks homeostasis
Tanaman melakukan proses fotosintesis dan asimilasi di dalam lingkungan yang terus
berubah. Kondisi lingkungan yang fluktuatif ini dapat secara signifikan menekan organisme,
terutama apabila fluktuasi tersebut melampaui ambang toleransi fisiologis normal. Untuk
mencegah perubahan-perubahan besar tersebut menyebabkan kerusakan oksidatif, terdapat
jaringan kompensasi (compensatory), yakni sebuah mekanisme penyangga/buffer. Homeostasis
sel akan dipertahankan selama mekanisme untuk aklimasi tercukupi. Jika dampaknya terlalu
cepat dan aklimasi pada tingkat ekspresi gen tidak dapat terjadi, kerusakan sel dan kematian sel
dimulai.
1.4 Pengaturan redoks, sinyal redoks, fenologi tumbuhan, dan penginderaan lingkungan
global
Regulasi redoks dari banyak enzim tanaman ditandai dengan perkembangan tanaman.
Pada awal tahun 1949, Stout mengamati bahwa induksi terhadap perkembangan reproduksi gula
bit berkorelasi pada perubahan keseimbangan reduksi-oksidasi pada organ-organ tertentu
tanaman. Pertumbuhan akar, pembungaan, perkembangan bunga, daun, dan fotoperiodisme,
semuanya diatur oleh potensial redoks. Saat ini telah diketahui bahwa pengaturan redoks
merupakan elemen penting untuk menyesuaikan metabolisme dan perkembangan tanaman
terhadap kondisi lingkungan. Sebagai contoh, kondisi redoks sel --yang berkaitan dengan
cekaman dingin-- dapat mengaktifkan protein responsif redoks dan mungkin bertindak sebagai
sinyal untuk rekonfigurasi ekspresi gen. Sensor redoks kloroplas mempengaruhi respon
ekspresi gen nukleus dan kloroplas, tidak hanya terhadap intensitas cahaya tetapi juga terhadap
berbagai tekanan abiotik.
Status gizi tanaman mempengaruhi status redoksnya. Defisiensi nutrien N-, P- atau S-
memicu perubahan redoks yang berbeda serta menginduksi stres oksidatif dengan pola yang
relatif jelas dalam konteks perubahan nutrien spesifik di dalam metabolisme. Sebagai contoh,
kekurangan N dapat menyebabkan peningkatan produksi asam askorbat sebesar lima kali lipat
pada daun Arabidopsis thaliana. Defisiensi P menyebabkan peningkatan asam askorbat dan
glutathione. Defisiensi S diketahui menyebabkan penurunan tingkat glutathione menjadi
kurang dari 25% dari kontrol.

1.5 Sinyal redoks, respon tanaman terhadap cekaman biotik, dan ketahanan terhadap
patogen
Aktivitas redoks berperan dalam biokontrol patogen tanaman. Spesies oksigen reaktif
(reactive oxygen species, ROS) pada tanaman akan menumpuk saat terjadi cekaman biotik, dan
kompartemen seluler yang berbeda meresponnya dengan sekumpulan antioksidan yang
berbeda. Peningkatan resistensi terhadap penyakit sangat mungkin merupakan efek dari adanya
kombinasi sinyal redoks yang dipicu oleh asam salisilat, H2O2, glutathione, dan senyawa
potensial lainnya yang belum teridentifikasi. Proses oksidasi-reduksi juga terlibat dalam
interaksi antara serangga herbivora dan tanaman. Tanaman menghasilkan senyawa pro-oksidan
sebagai bentuk pertahanan (allelokimia) untuk memperkecil tekanan oksidatif endogen dari
semua organisme aerob.
1.6 Potensial redoks, alelopati, dan pengenalan oleh tanaman parasit
Di antara 20.000 zat alelopati yang telah teridentifikasi, banyak di antaranya bersifat pro-
oksidan dan menekan stres oksidatif. Terdapat kesamaan antara fenomena alelopati dan
pengenalan tanaman oleh tanaman parasit. Sebagai contoh, tanggapan parasit dari faktor inang
oleh tanaman parasit famili Scrophulariaceae seperti Striga sp. terjadi melalui mekanisme yang
terkait dengan redoks.
1.7 Potensial redoks (Eh) dan pH pada sel dan fisiologi tanaman : interaksi Eh-pH yang
terabaikan
Transfer proton dan pH sangatlah penting dalam fungsi energi sel serta sangat
berpengaruh terhadap metabolisme dan katabolisme tumbuhan, seperti misalnya dalam
pembelahan sel embriogenik. Sebagaimana Eh, kompartemenisasi dan regulasi pH intraselular
adalah ciri utama fisiologi sel. Reaksi-reaksi pada sitosol sangatlah peka terhadap perubahan
pH. Sayangnya, penelitian tentang Eh umumnya terpisah dari penelitian-penelitian mengenai
pH, adanya interaksi Eh-pH pun diabaikan. Hal ini jelas merupakan keterbatasan dari
kebanyakan penelitian karena Eh dan pH bukanlah pengaruh independen. Sebagai contoh :
reaksi oksidasi-reduksi dapat melibatkan transfer proton, terutama reaksi-reaksi kimia utama
yang melibatkan perubahan kondisi oksidasi Fe, Mn dan N, yang juga menyiratkan konsumsi
atau produksi H+; dan karenanya merupakan penggabungan dari Eh dan pH.

BAGIAN 2
2.1 Eh, pH, dan mikroorganisme
Eh dan pH lingkungan sangat menentukan jenis metabolisme yang ada pada komunitas
bakteri di lingkungan tersebut. Oleh karena itu, Eh dan pH merupakan parameter yang
signifikan untuk aktivitas biologis. Eh secara nyata mempengaruhi perkembangan
mikroorganisme. Pada awal tahun 1934, Heintze mengusulkan digunakannya variasi Eh tanah
dalam mengkarakterisasi kelompok mikroorganisme. Aktivitas mikrob dan aktivitas enzimatik
berkorelasi negatif dengan Eh pada tanah anaerobik. Selain itu, keadaan redoks pada nodul
dianggap sebagai ciri dari simbiosis legume-rhizobium.
Setiap kelompok mikroorganisme beradaptasi pada kondisi Eh tertentu, yang dicirikan
oleh kemampuannya tumbuh dalam rentang Eh yang lebih luas atau lebih sempit. Sebagai
contoh, bakteri anaerob hanya dapat tumbuh dalam kisaran nilai Eh yang sangat rendah.
Mikroorganisme aerobik seperti Actinomyces sp. atau Azotobacter sp. membutuhkan Eh yang
lebih tinggi, meski tetap dapat tumbuh dalam rentang Eh yang jauh lebih luas. Sementara itu,
fungi lebih dapat tumbuh dan berkembang dibandingkan bakteri di bawah kondisi reduksi
sedang (Eh > +250 mV); sedangkan bakteri lebih dapat tumbuh dibandingkan fungi di bawah
kondisi sangat reduktif (Eh < 0 mV).
Setiap kelompok mikroorganisme juga beradaptasi pada rentang pH tertentu di mana di
luar rentang pH tersebut mereka tidak dapat hidup. Kebanyakan bakteri tanah berkembang pada
rentang pH 4,5-10. Keragaman paling tinggi dijumpai pada tanah-tanah dengan pH netral dan
paling minimum di tanah-tanah masam. Sebagai contoh, Thiobacteria memiliki lingkungan
potensial yang relatif sempit untuk hidupnya, sementara alga ditemukan di mana-mana.
Pada saat yang sama, mikroorganisme diketahui dapat memodifikasi Eh dan pH medium
sekitarnya. Mikrob memiliki kemampuan ini dalam tingkatan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan organisme lainnya. Potter (1911) mungkin menjadi orang pertama yang menarik
perhatian karena menyatakan bahwa kultivasi mikrob menghasilkan penurunan nilai Eh. Di
dalam tanah, mikrob saprofitik dan patogen anaerob menurunkan nilai Eh. Pada tanah-tanah
aerobik, mikroorganisme mengkonsumsi oksigen dan, sebagai konsekuensinya, menurunkan
Eh.

BAGIAN 3
Eh dan pH Tanah pada Skala Lapangan
3.1 Keragaman Eh dan pH Tanah
Eh tanah berfluktuasi secara normal antara -300 dan +900 mV. Tanah yang tergenang
memiliki Eh di bawah +350 sampai di bawah +250 mV dan tanah kering di atas +380 sampai
+400 mV. Menurut Kaurichev dan Shishova (1967), empat kelas utama kondisi tanah dapat
ditentukan berdasarkan Eh : (1) tanah ter-aerasi memiliki Eh di atas 400 mV, (2) tanah sedikit
tereduksi memiliki Eh antara +100 dan +400 mV, (3) tanah reduktif antara -100 dan +100 mV,
dan (4) tanah sangat reduktif memiliki Eh antara -100 dan -300 mV. Tanah yang diolah untuk
budidaya tanaman umumnya memiliki Eh pada kisaran +300 dan +500 mV dalam kondisi.
Namun demikian, Eh dapat mencapai +750 mV pada tanah podzols. Sebagian besar tanah yang
dibudidayakan memiliki pH antara 4 dan 9. Tanah-tanah dengan pH di bawah 3 dapat dijumpai
pada tanah sulfat masam dan di atas pH 10 dijumpai pada tanah-tanah sodik.
3.2 Eh-pH Tanah dan Pertumbuhan Tanaman
Kaitannya dengan tanaman, Eh masih mendapat sedikit perhatian, terlepas dari adanya
pengaruh potensial redoks yang sangat rendah pada tanah-tanah tergenang. Rentang nilai Eh
tanah yang membatasi pertumbuhan tanaman adalah +300 hingga +700 mV. Kondisi reduktif
(< +350 mV) juga sangat membatasi pertumbuhan pada banyak tanaman. Sebagai contoh, pada
tanah sulfat masam di Vietnam, hasil panen padi meningkat tajam saat Eh tanah turun akibat
kondisi reduktif, dan sebaliknya produksi menurun saat Eh naik akibat kondisi oksidatif :
produksi padi tertinggi diperoleh pada tanah yang membentuk jarosit di sekitar akar padi,
menunjukkan nilai Eh lokal sekitar +400 mV .
3.3 Eh-pH Tanah, Solubilitas Nutrien, dan Asimilasi Tanaman
Eh dan pH adalah faktor yang sangat mempengaruhi mobilitas banyak nutrien di
lingkungan kimia dan biologis yang kompleks. Berdasarkan hukum termodinamika, diagram
Eh-pH --yang dikenal dengan diagram Pourbaix-- mewakili daerah stabilitas berbagai bentuk
kimia dari unsur di dalam suatu larutan sebagai fungsi komposit dari Eh dan pH. Sebaliknya,
Eh dan pH dipengaruhi oleh berbagai elemen yang menyusun tanah, terutama yang memiliki
amplitudo tinggi pada bilangan redoksnya, seperti N, P atau S, dan pada konsentrasi tinggi
seperti Fe.
3.4 Nitrogen
Karena NO3- dan NH4+ bersifat soluble/larut, Eh dan pH mempengaruhi bentuk di mana
N diasimilasi oleh tanaman. Bentuk N yang diasimilasi oleh tanaman juga memiliki efek pada
regulasi seluler dari pH. Selanjutnya, karena tanaman menggunakan NH4+ untuk mensintesis
protein, asimilasi NO3--N menginduksi energy-cost yang cukup besar bagi tanaman untuk
mengurangi NO3--N menjadi NH4+-N. Selain itu, karena NO3- sangat mudah larut, terdapat
resiko kehilangan dan resiko menimbulkan polusi. Akhirnya, bentuk nitrogen yang diasimilasi
oleh tanaman memiliki efek yang nyata pada pH rhizosfer serta asimilasi kation-anion lainnya
oleh tanaman.

Gambar 1 Diagram Pourbaix nitrogen (N) yang menyajikan berbagai bentuk N dalam larutan
100 μM pada 25°C sebagai sebuah fungsi Eh (dalam V) dan pH. Diagram diadaptasi dari
Perangkat Lunak MEDUSA. Puigdomenech 2009-2011

3.5 Fosfor
Pada kondisi lapangan, akar tanaman menyerap fosfor inorganik yang terlarut dalam
larutan tanah, terutama sebagai ion fosfat monovalen H2PO4- (yang dapat lebih mudah
ditransportasikan melalui membran plasma) daripada ion fosfat divalen HPO42-. Ion H2PO4-
dominan pada tanah-tanah masam sedangkan ion HPO42- sejauh ini adalah spesies yang
dominan di tanah-tanah alkali. Namun, pH apoplas akar umumnya kurang dari 6, dan bentuk
utama P yang diambil melalui membran oleh tanaman pada tanah-tanah dengan pH tinggi
tetaplah H2PO4-. Eh dan pH juga secara tidak langsung mempengaruhi ketersediaan P dengan
mempengaruhi kelarutan ion-ion logam sebagai oksida dan hidroksida Mn, Al, dan Fe, atau
CaCO3. Semua ion ini mengikat atau mengadsorpsi ion fosfat dan membuatnya tidak tersedia
bagi tanaman.
3.6 Sulfur
Defisiensi belerang sangat jarang terjadi pada lahan-lahan pertanian, terutama pada
kondisi-kondisi aerobik. Dalam kondisi Eh-pH normal, bentuk sulfur stabil adalah sulfat SO42-
(Gambar 2), yang ditransportasikan dan mudah diasimilasi oleh tanaman. Karena reduksi SO42-
menjadi H2S hanya terjadi pada Eh dan pH rendah (sekitar -100 mV pada pH 6), dampak
langsung dari Eh-pH terhadap kelarutan sulfur hanya terbatas pada tanah-tanah tergenang air
atau terendam. Pada tanah-tanah seperti ini, terutama saat tanah-tanah tersebut kaya akan bahan
organik, Eh yang sangat rendah menyebabkan reduksi SO42- menjadi H2S yang sangat beracun
bagi tanaman. Pada Eh dan pH lebih tinggi, ketersediaan sulfur juga secara tidak langsung
terpengaruh, karena Eh dan pH mempengaruhi kapasitas penyerapan (sorption capacity) sulfat
oleh tanah.

Gambar 2 Diagram Pourbaix sulfur (S) yang menyajikan berbagai bentuk S dalam larutan 100
μM pada 25° C sebagai sebuah fungsi Eh (dalam V) dan pH. Diagram diadaptasi dari Perangkat
Lunak MEDUSA. Puigdomenech 2009-2011

3.7 Besi
Kelarutan besi sangat dipengaruhi oleh Eh maupun pH. Besi diabsorbsi oleh tanaman
dalam bentuk terlarut (Fe2+). Konsentrasi tinggi Fe2+ di dalam larutan tanah dapat dijumpai pada
Eh rendah, dengan penurunan yang cepat ketika Eh naik hingga di atas +350 mV (pada pH 5),
sehubungan dengan pembentukan oksida dan hidroksida besi. Toksisitas Fe2+ sering terjadi
pada Eh dan pH rendah, dan sebaliknya defisiensi besi dapat terjadi pada Eh dan pH tinggi. Di
lingkungan alami, besi secara kuat mempengaruhi karakteristik Eh-pH. Oksidasi-reduksi besi
menggambarkan ambang redoks yang penting dalam pedogenesis.
3.8 Potasium, Sodium, dan Alumunium
Kelarutan kalium, natrium, dan aluminium tidak dipengaruhi secara langsung oleh Eh
karena unsur-unsur tersebut hanya memiliki satu bilangan redoks yang memungkinkan,
masing-masing +1 pada K+ dan Na+, serta +3 pada Al3+; ketiganya tidak dapat menukar
elektron.
Ketersediaan kalium terutama terkait dengan pH tanah, serta kandungan dan jenis klei.
Peningkatan pH meningkatkan fiksasi kalium karena akan mempermudah ion K+ untuk
bergerak mendekati permukaan koloid. Saat mereka bergerak mendekat, ion K+ lebih rentan
mengalami fiksasi oleh klei tipe 2:1, yang memfiksasi kalium dengan sangat mudah dan dalam
jumlah banyak.
Tanah-tanah sodik memiliki pH tinggi karena ion H+ teradsorpsi pada misel klei
menggantikan Na+, yang akan menghasilkan peningkatan konsentrasi OH-. Sodium
Exchangeable Persentase (SEP, didefinisikan sebagai Kapasitas Pertukaran Na) berkorelasi
positif dengan pH tanah. Kelebihan sodium dapat ditukar pada tanah-tanah sodik berpengaruh
nyata terhadap sifat fisik tanah, yang menyebabkan hancurnya agregat tanah, menurunkan
permeabilitas tanah terhadap udara dan air, serta mengubah Eh tanah. Tingginya pH yang
diinduksi oleh kelebihan natrium dapat ditukar juga secara tidak langsung mempengaruhi
konsentrasi nutrien lainnya, seperti P, Ca, Mg, Mn atau Zn.
Kelarutan aluminium tidak hanya dipengaruhi oleh pH tanah, tetapi juga oleh bahan
organik tanah dan kandungan klei. Aluminium dapat ditukar meningkat secara cepat saat
pH(KCl) menurun hingga di bawah 4,3. Aluminium memainkan peran penting dalam
kemasaman tanah. Molekul air membentuk ligat dengan ion aluminium membentuk ion
Al(OH2)63+, mendorong terjadinya disosiasi air yang menghasilkan proton, di mana Al3+
tunggal dapat melepas hingga tiga H+.
3.9 Mikronutrien
Ketersediaan beberapa mikronutrien, seperti Mn, Cu atau Zn, sangat dipengaruhi oleh Eh
dan pH tanah. Terdapat pengaruh dari adanya perubahan biologis secara langsung ataupun tidak
langsung terhadap ketersediaan, kelarutan, atau oksidasi-reduksi Mn, Zn, Cu, Mo, Co, Si, Ni,
dan berbagai unsur lainnya. Sebagai contoh, diagram Pourbaix untuk mangan (Gambar 3)
menunjukkan bahwa pelarutan sebagai ion Mn2+ adalah fungsi dari Eh dan pH tanah. Pada
tanah-tanah basa, defisiensi Mn dapat terjadi pada kondisi aerobik.
Diagram Pourbaix untuk berbagai mikronutrien (tidak ditunjukkan) menunjukkan bahwa
terjadi defisiensi : (i) Cu pada pH tinggi dan/atau Eh rendah, (ii) Zn pada pH tinggi, (iii) Ni
pada Eh sangat rendah atau pH tinggi, dan (iv) Mo pada Eh dan pH rendah. Hal ini terkonfirmasi
oleh pengamatan lapangan terhadap konsentrasi Cu dan Ni yang meningkat di dalam larutan
tanah seiring dengan meningkatnya Eh.
Gambar 3 Diagram Pourbaix mangan (Mn) yang menyajikan berbagai bentuk Mn dalam
larutan 100 μM pada 25° C sebagai sebuah fungsi Eh (dalam V) dan pH. Diagram diadaptasi
dari Perangkat Lunak MEDUSA. Puigdomenech 2009-2011

3.10 Pengaruh Tanaman terhadap Eh dan pH Tanah


Tanaman dapat secara dramatis mengubah Eh dan pH rhizosfer. Akar tanaman
menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi perkembangan komunitas mikrob tertentu di
rhizosfer. Perubahan ini merupakan efek langsung dari eksudasi akar, atau efek tidak langsung
dari perkembangan mikroorganisme spesifik tertentu yang juga dapat mengubah Eh dan pH
tanah.
Tanaman lahan basah, seperti padi, memiliki kemampuan meningkatkan Eh rhizosfer,
terutama melalui transportasi oksigen melalui jaringan aerenkim. Kemampuan untuk
meningkatkan Eh rhizosfer ini berperan dalam melindungi tanaman melawan konsentrasi
fitotoksik dari senyawa-senyawa pereduksi. Dalam kondisi aerobik, rhizosfer dari berbagai
tanaman budidaya kelompok dikotil (Pisum sativum, Vicia sativa, Helianthus annuus)
menunjukkan penurunan nilai Eh pada ujung akar, yang mungkin disebabkan oleh pelepasan
eksudat yang reduktif.
Perubahan pH secara dramatis dapat terjadi sebagai akibat dari oksidasi nitrogen yang
dimediasi oleh mikrob. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (i) pelepasan ion H+ oleh akar
tanaman saat mereka menyerap ion NH4+ untuk mengimbangi kelebihan muatan positif; (ii)
sebaliknya, pelepasan ion OH- ketika tanaman mengabsorbsi ion NO3- untuk mengimbangi
kelebihan muatan negatif; kelebihan OH- juga sebagian dinetralisir oleh 'biochemical pH-stat'.
Selain itu, banyak mikrob tanah seperti ektomikoriza dan fungi saprofit atau patogen yang dapat
menghasilkan asam-asam organik sehingga memasamkan rhizosfer.
3.11 Eh-pH Tanah dan Bahan Organik Tanah
Bahan organik merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi Eh tanah.
Bioavailabilitas bahan organik sebagai sebuah reservoir elektron merupakan sebagian besar
kapasitas reduksi tanah. Bahan organik --sebagian dan secara reversibel-- dapat direduksi oleh
mikroorganisme, serta memainkan peran sebagai electron shuttle, yaitu pembawa elektron.
Peningkatan bahan organik menyebabkan penurunan Eh tanah : pada tanah-tanah kaya akan
bahan organik yang mudah terdekomposisi, proses oksidasi mengkonsumsi sejumlah besar
oksigen, yang menyebabkan pembentukan senyawa-senyawa organik dengan sifat pereduksi.
Jerami segar dilaporkan memiliki Eh sekitar +150 mV (pada pH 5,5 sampai 6). Selama
pengomposan Eh berevolusi dari 0 (pada pH 7,7) pada awal proses menjadi +300 hingga +400
mV pada akhir pengomposan. Sebagai ringkasan, kualitas dan kuantitas bahan organik sangat
menentukan Eh tanah dan kapasitas penyangganya. Bahan organik juga menjadi salah satu
faktor utama penyangga pH tanah, berkontribusi dalam menjaga pH tanah netral hingga sedikit
asam. Pada pH rendah, bahan organik tanah membentuk kompleks dengan Al, yang merupakan
proses utama buffering pH pada tanah. Pada pH tinggi, bahan organik berkontribusi terhadap
pengasaman melalui pembentukan kompleks terlarut dengan kation non-asam seperti kalsium
atau magnesium yang mudah hilang dengan pencucian.
Dalam siklus karbon global, lamanya waktu yang dihabiskan oleh karbon di dalam tanah
sebagai bahan organik padat adalah fungsi dari Eh. Bahan organik mencerminkan waktu tinggal
bagi karbon sekitar satu tahun pada tanah-tanah teroksidasi, serta ribuan tahun dalam kondisi
sangat reduktif. Tingkat dekomposisi bahan organik juga dipengaruhi oleh tiga parameter yang
berkaitan dengan Eh dan pH tanah : (i) jenis metabolisme mikrob, (ii) efisiensi bakteri, dan (iii)
kapasitas sistem tanah untuk memasok akseptor elektron.
3.12 Eh-pH dan Genesis Tanah
Eh dan pH larutan tanah merupakan faktor kunci yang mempengaruhi lintasan genesis
tanah. Lintasan/pathway ini disajikan dalam diagram Eh-pH (Gambar 4). Evolusi kimia tanah
pada dasarnya ditentukan oleh fluks proton dan elektron. Fluks elektron terjadi antara bahan
organik sebagai sumber utama, dengan oksigen.

Gambar 4 Diagram Pourbaix yang menggambarkan


distribusi jenis tanah sebagai fungsi pH dan Eh
Efek dari adanya pemompaan proton dan elektron adalah untuk membatasi sebagian besar
tanah di dalam selaput ruang Eh-pH, dengan tiga dimensi : keasaman, alkalinitas, dan
hidromorfisme (kondisi permanen atau temporer dari air saturasi di dalam tanah). 'Acid salient'
yang mewakili jalur evolusi tiga jenis utama genesis tanah adalah podzolisasi, ferralitisasi, dan
andosolisasi. Tanah-tanah kalkarus, sodik, dan salin berkembang sepanjang 'alkaline salient',
sedangkan tanah-tanah gambut berkembang sesuai dengan 'hydromorphic salient', dengan
adanya kelembaban berlebih yang menyebabkan penekanan faktor-faktor aerobik di dalam
bangunan tanah.
Diagram Eh-pH sangatlah menarik untuk digunakan dalam mempelajari tanah-tanah
sulfat masam. Pada tanah-tanah seperti ini, perubahan Eh secara dramatis mempengaruhi pH,
karena tanah-tanah ini mengandung pirit (FeS2) yang pada proses oksidasinya menghasilkan
sejumlah besar asam sulfat. Tanah-tanah sulfat masam dengan kandungan pirit banyak
ditemukan pada daerah-daerah reduktif. Selama proses oksidasi (> 50 mV pada pH 4), tanah-
tanah sulfat masam berkembang akibat terjadinya proses oksidasi pirit yang menyebabkan
pengasaman secara kuat.

3.13 Eh-pH Tanah dan Permasalahan Lingkungan


Secara umum, konsentrasi logam berat dan polutan metaloid di dalam larutan tanah
dipengaruhi oleh Eh dan pH tanah. Konsentrasi Cadmium (Cd) dan timbal (Pb) rendah pada Eh
rendah, dan akan meningkat saat Eh meningkat. Hal ini erat kaitannya dengan adanya interaksi
dengan karbon organik terlarut dan mangan, serta presipitasi seperti sulfide. Kelarutan Cd
menurun dengan adanya input bahan organik karena bahan organik menginduksi terjadinya
penurunan Eh dan peningkatan pH. Sebaliknya, konsentrasi berbagai bentuk arsen (As) dan
antimon (Sb) menurun tajam saat Eh tanah meningkat, yang menunjukkan bahwa rendahnya
Eh mendorong mobilitas senyawa ini.
Dalam bentuk teroksidasi (Hg2+), merkuri sangat mudah larut tetapi mudah pula
teradsorbsi oleh bahan organik. Adanya belerang dan rendahnya Eh (< -100 mV) menyebabkan
Hg mengendap sebagai HgS yang tidak larut. Hg dalam bentuk metilmerkuri sangat mudah
larut dan beracun. Metilmerkuri hanya dapat diproduksi oleh mikroorganisme yang dapat
memetilisasi Hg, terutama Clostridium spp. yang berkembang dalam kisaran Eh antara -400
mV dan +100 mV.
Sebagian besar reaksi oksidasi-reduksi mendorong proses bioremediasi. Sebagai contoh,
asam humat adalah akseptor elektron yang memungkinkan oksidasi oleh mikrob anaerob
terhadap vinil klorida dan dikloroetena. Eh dapat digunakan sebagai indikator kesehatan tanah
selama proses remediasi dan sebagai indikator terhadap tingkat remediasi tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon aromatik polisiklik. Pada sebagian besar tanah, produksi atau
konsumsi tiga gas utama rumah kaca (N2O, CH4, dan CO2) dalam reaksi oksidasi-reduksi diatur
oleh interaksi antara Eh tanah, sumber karbon, dan akseptor elektron seperti O2, Mn4+, Fe3+,
nitrat, sulfat, atau hydrogen. Faktor-faktor lain seperti suhu, kelembaban, dan pH juga dapat
mempengaruhi reaksi biokimia atau geokimia yang terkait dengan emisi N2O, CH4, atau CO2.
BAGIAN 4
Eh-pH Tanah dan Agronomi
4.1 Pengukuran Eh dan pH
Salah satu kesulitan utama dalam aplikasi Eh dan pH dalam agronomi terletak pada
pengukuran parameter Eh tanah-tanah aerobik. Literatur-literatur pada subjek ini terkadang
kontroversial, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak. Berbagai ulasan tersebut melaporkan dua
permasalahan utama : (i) kualitas dan kehandalan peralatan, terutama untuk pengukuran Eh.
Karenanya, berbagai jenis elektroda telah dikembangkan mengingat kebocoran atau polarisasi
elektroda dapat terjadi sehingga mendistorsi hasil pengukuran, dan (ii) variabilitas spasial dan
temporal yang tinggi pada Eh dan pH tanah. Akibatnya, terdapat keterbatasan dalam metode
pengambilan sampel dan analisis, yang perlu ditangani dengan hati-hati.
Selain itu, Eh dan pH tidaklah independen. Sebagai contoh, di tanah anaerob Eh tanah
meningkat dengan pemasaman atau penurunan pH, dan menurun dengan alkalinisasi atau
dinaikkannya pH. Atas dasar ini, pH di mana Eh diukur harus disebutkan. Fitur yang mencolok
dari berbagai tinjauan literatur mengenai Eh adalah bahwa penelitian hanya sesekali
mengasosiasikan Eh dengan pH, dan mereka jarang memperhatikan kemungkinan interaksi
antara Eh dan pH dalam proses yang dipelajari. Dalam kondisi seperti itu, melakukan komparasi
antarpenelitian sulit dilakukan, yang sebagiannya menjelaskan mengapa Eh belum
mendapatkan perhatian yang cukup mendalam pada studi-studi agronomi.
4.2 Penggunaan Diagram Eh-pH
Dalam bidang agronomi, diagram Eh-pH secara klasik digunakan untuk mempelajari
submerged soil, khususnya sawah. Pada lingkungan yang demikian cepat berubah sebagaimana
sawah, Eh-pH adalah parameter penting, dan diagram Pourbaix merupakan alat yang
bermanfaat dalam memahami kimia lingkungan tersebut.
Penelitian tentang Eh pada tanah-tanah aerobik jarang dilakukan. Meskipun demikian,
studi tentang kondisi tanah aerobik menunjukkan bahwa Eh dapat menjadi alat agronomi yang
bermanfaat dalam mengkarakterisasi kondisi lapangan. Dalam salah satu dari sedikit penelitian,
Snakin et al. (2001) menggunakan Eh dan pH dari fase cair tanah sebagai indikator ekologi.
Dengan memanfaatkan diagram Eh-pH, para peneliti tersebut dapat memisahkan entitas
lingkungan ke dalam berbagai kelompok, yaitu berdasarkan (i) tipe ekosistem : pertanian,
padang rumput, dan hutan; (ii) tipe vegetasi : konifera, tanaman berdaun lebar, padang rumput,
padang rumput-stepa, dan stepa; serta (iii) tipe tanah : podzolik, grey forest, chernozem, dan
chesnut soil (terpisah antara pertanian dengan lingkungan alam). Mereka juga menggunakan
diagram Eh-pH untuk mengkarakterisasi jarak antara tanah pertanian dan lingkungan yang
masih murni (virgin), yang diwakili oleh sebuah vektor.
4.3 Dampak Praktik-praktik Pertanian terhadap Eh-pH Tanah
Empat praktik utama pertanian yang dapat mempengaruhi Eh dan pH tanah di antaranya
(1) aplikasi amandemen tanah (baik organik maupun kimia), (2) pengelolaan air, (3) persiapan
lahan, dan (4) rotasi tanaman. Amandemen dengan bahan kapur dan/atau bahan organik
biasanya digunakan untuk mengubah pH tanah. Berbagai metode telah diusulkan untuk
memperbaiki pH tanah dengan cara pengapuran, khususnya dalam menanggapi toksisitas Al.
Penggunaan senyawa-senyawa agrokimia berpengaruh terhadap Eh dan pH tanah.
Sebagai contoh, pupuk seperti superfosfat bersifat asam, dan yang lainnya seperti Thomas
bersifat alkali. Sementara itu, oksidasi urea atau amonium sulfat oleh mikrob menghasilkan
asam anorganik kuat. Irigasi dan drainase juga sangat berpengaruh terhadap Eh dan pH tanah.
Saturasi tanah mengurangi difusi oksigen ke dalam tanah karena koefisien difusi oksigen ke
dalam larutan sekitar 10.000 kali lebih lambat daripada difusi oksigen di dalam fase gas. Ketika
mikroorganisme mengkonsumsi oksigen untuk respirasinya, terjadi penurunan oksigen tanah
secara cepat.
Persiapan tanah mempengaruhi Eh dan pH tanah karena mengubah struktur tanah.
Kepadatan dan ukuran agregat sangat berpengaruh terhadap desorpsi air tanah dan kedalaman
tanah di mana O2 dapat berdifusi. Pengurangan jumlah pori-pori kasar menyebabkan kondisi
anoksik. Jenis tanaman yang dibudidayakan dan urutannya dalam rotasi tanaman
mempengaruhi Eh dan pH tanah karena dua alasan berikut, (i) tanaman dan mikroorganisme
memainkan peran penting dalam pembentukan serta perubahan tanah, dan (ii) produksi
biomassa tanaman dan berbagai input ke dalam tanah mempengaruhi kandungan bahan organik
tanah, yang akan memberi efek buffer terhadap Eh dan pH tanah.

BAGIAN 5
Modifikasi Eh dan pH Rhizosfer oleh Tanaman dan Mikroorganisme
dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Fisiologis Optimal

Telah diakui selama bertahun-tahun bahwa penggunaan energi dan metabolisme tanaman
berkontribusi terhadap homeostasis pH internal. Sebuah studi ekologi terhadap 23 spesies
tanaman herba menunjukkan bahwa pH daun tidak bergantung pada pH tanah dan bahwa pH
jaringan (pada tanaman spesies tertentu) dikontrol secara ketat, karena fungsi langsung atau
tidak langsungnya di dalam tubuh tanaman. Perubahan kondisi Eh dan pH lingkungan, misalnya
pada rhizosfer, merupakan bagian dari proses interaksi yang kompleks, yang menjamin
homeostatis Eh dan pH internal tanaman serta proses fisiologis sel.
Berbagai literatur yang ada menunjukkan bahwa nilai Eh-pH di rhizosfer berkaitan
dengan nilai Eh-pH ideal, khususnya di sekitar akar. Sebagai contoh, dalam kondisi reduktif,
akar padi mampu meningkatkan Eh tanah dari +120 mV pada bulk soil menjadi +420 mV pada
permukaan akar, mempengaruhi Eh tanah hingga 4 mm dari permukaan akar. Sebaliknya,
dalam kondisi oksidatif, ujung akar dari kacang faba (Vicia faba L.) yang sedang tumbuh
menginduksi penurunan Eh dari +700 mV menjadi +380 mV saat mencapai mikroelektroda.
Sayangnya, interaksi antara Eh dan pH jarang dipelajari, dan informasi tentang Eh-pH awal
tanah tidak pernah diberikan pada penelitian-penelitian tentang eksudasi dan respirasi akar.

BAGIAN 6
Permasalahan-permasalahan Agronomi
6.1 Karakterisasi Tanah Ideal berdasarkan Eh dan pH Tanah
Olivier Huston mengusulkan bahwa interaksi antara Eh dan pH dapat digunakan sebagai
parameter primer yang relevan untuk mengkarakterisasi tanah dan menentukan apakah tanah
tersebut ideal untuk tanaman tertentu. Konsep tanah ideal bukanlah hal baru. Berbagai disiplin
ilmu terkait agronomi telah mengusulkan karakterisasi tanah ideal berdasarkan (i) parameter-
parameter individu seperti rasio kejenuhan kation basa, kelembaban, dan tarikan kapiler, atau
(ii) parameter-parameter yang terintegrasi.
Kajian ini memungkinkan untuk memperkirakan Eh-pH yang optimum untuk
pertumbuhan tanaman (Gambar 5). pH optimum untuk kebanyakan tanaman budidaya adalah
6,5-7, dan kondisi yang agak menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman ditemukan pada pH
5,5-8. Eh optimal untuk pertumbuhan tanaman mungkin berkisar dari +400 sampai +450 mV.
Di bawah +350 mV, pertumbuhan tanaman menurun dengan cepat. Batas Eh atas sulit
ditentukan berdasarkan informasi-informasi yang ada; namun demikian batasannya bervariasi
tergantung spesies tanaman, pH tanah, dan karakteristik lainnya. Namun, penulis yakin bahwa
pH 6,5-7, dan Eh di atas +450 mV sampai +500 mV tidaklah menguntungkan bagi tanaman
karena beresiko mengalami defisiensi mineral (P, Mn, Fe), terjadi toksisitas logam berat (Cd,
Pb), dan adanya perkembangan patogen.
Nilai Eh-pH optimum ini berkaitan dengan transisi antara dua bentuk utama N di dalam
tanah (NO3- dan NH4+). Pada kebanyakan tanaman, pertumbuhan tertinggi diperoleh melalui
campuran nutrien NO3- dan NH4+. Nilai Eh-pH ini juga berkaitan dengan ketersediaan
makronutrien dan mikronutrien yang tinggi (N, P, Mg, Mn, dll.), serta risiko minimal adanya
toksisitas logam berat, metaloid, Al, atau Fe. Tanah dengan karakteristik Eh-pH ideal seperti
ini akan sesuai dengan kondisi fisiologis optimal tanaman, dan akan mampu menyediakan
semua nutrien tersedia, serta memiliki resiko toksisitas mineral yang rendah. Tanah ideal ini
juga akan memberikan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan mikroorganisme
tanah bermanfaat, serta menjadi tidak menguntungkan bagi perkembangan patogen.

Gambar 5 Sintesis faktor-faktor penghambat agronomis dan perkiraan


kondisi optimum untuk pertumbuhan tanaman berdasarkan Eh dan pH tanah

6.2 Penggunaan Resistivitas (Penghambatan) untuk Karakterisasi Tanah


Kajian ini memperjelas pentingnya Eh dalam sistem tanah-tanaman-mikroorganisme. Di
dalam fisika, fungsi rangkaian listrik tidak dapat dijelaskan hanya dengan voltase (V, Volts),
tetapi juga diperlukan nilai hambatan (R, Ohms). Hukum Ohm (I=V/R) diperlukan untuk
menghitung intensitas (I, Ampere), sebuah parameter penting yang mencirikan aliran elektron
pada sebuah konduktor, atau ion-ion dalam sebuah elektrolit. Analogi dari hukum Ohm ini
digunakan dalam banyak kondisi pada biologi dan ekologi, misalnya pada hukum difusi Fick.
Dengan analogi, dalam sistem tanah-tanaman-mikroorganisme, resistivitas listrik dapat
dianggap sebagai hambatan dalam hukum Ohm. Konduktivitas listrik (EC), kebalikan dari
resistivitas, dapat dianggap sebagai difusivitas dalam hukum Fick.
Resistivitas listrik tanah telah digunakan selama lebih dari satu abad untuk
mengkarakterisasi lingkungan, dan penggunaannya telah meningkat sejak tahun 1970an. Saat
ini, resistivitas listrik tanah digunakan dalam pertanian presisi sebagai indikator yang sangat
menarik untuk karakterisasi tanah. Teknik pengukuran non-invasif ini memungkinkan peneliti
untuk mengkarakterisasi berbagai sifat tanah, seperti kapasitas tukar kation (KTK), salinitas,
nutrien, kelembaban residu dan arus air yang dikehendaki, tekstur tanah dan sifat-sifat yang
terkait dengan tekstur (lapisan pasir, lapisan klei kedap air, dll), bulk density, dan area
compaction, atau bahan organik.

6.3 Perspektif Resistivitas Eh-pH : Sebuah Wawasan Baru dalam Agronomi


Tinjauan terpadu ini telah mengumpulkan bukti dari beberapa disiplin ilmu bahwa Eh,
pH, dan resistivitas, merupakan parameter penting yang dapat diintegrasikan ke dalam model
konseptual yang mengungkap sistem fungsi tanah-tanaman-mikroorganisme. Jika model ini
divalidasi dan diterima bahwa tanah ideal dapat didefinisikan oleh Eh, pH, dan resistivitas
(untuk tanaman tertentu), perspektif analitis ini dapat membuka jalan untuk penyelidikan baru
serta dapat menghasilkan kemajuan ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan
agronomi.
Model konseptual ini mengusulkan beberapa pandangan baru mengenai peran dan
pentingnya bahan organik tanah, khususnya pada pertanian dataran tinggi : bahan organik
mempertahankan Eh-pH pada tingkat yang menguntungkan, yang akan mengurangi energy cost
bagi tanaman untuk mempertahankan homeostasis Eh-pH. Hal ini juga menjelaskan variabilitas
dalam efisiensi pemupukan dan fenomena histeresis selama restorasi produktivitas tanah.
Kandungan bahan organik yang rendah, sehingga tanah dalam kondisi yang teroksidasi,
menyebabkan rendahnya efisiensi pupuk dalam jangka pendek. Hal ini karena tanaman harus
melepaskan sebagian besar hasil fotosintesis sebagai eksudat akar untuk menyesuaikan Eh pada
rhizosfer serta mempertahankan homeostasis sel.
Perspektif integratif tentang pentingnya Eh dalam sistem tanah-tanaman-mikro-
organisme dapat membantu menjelaskan : (i) keberhasilan Revolusi Hijau di Asia dengan
kondisi reduktif pada lahan sawah yang digenangi; adanya praktik-praktik oksidatif (persiapan
lahan dan aerasi tanah, pemupukan mineral, aplikasi pestisida kimia, dll) dengan cepat
meningkatkan Eh tanah ke level yang lebih baik; (ii) adanya kecenderungan penurunan hasil
pada percobaan-percobaan jangka panjang akibat praktik oksidatif yang terus berlanjut selama
periode waktu yang panjang dapat menghasilkan over-oksidasi, yang menyebabkan penurunan
hasil. Hasil yang baik yang diperoleh melalui teknik SRI (System of Rice Intensification) juga
dapat dijelaskan dengan mempertahankan Eh-pH tanah ketika dilakukan irigasi dan drainase
secara bergantian.
Selain itu, framework baru untuk analisis sistem tanah-tanaman-mikroorganisme ini dapat
membantu menjembatani kesenjangan antara fisika-kimia dan biologi, serta merupakan alat
yang berguna untuk mengintegrasikan antardisiplin ilmu, yang tentu saja diperlukan untuk
pengembangan perspektif baru dalam agronomi.

6.4 Menerjemahkan Eh, pH, dan Resistivitas ke dalam Potensial Produksi


Mungkinkah menerjemahkan informasi yang diberikan oleh parameter Eh, pH, dan
resistivitas tanah, menjadi potensial produksi (kaitannya dengan fisiologi tanaman)? Potensial
produksi tanaman tertentu terutama ditentukan oleh faktor iklim seperti suhu, air dan sinar
matahari, serta karakteristik tanah. Eh, pH, dan resistivitas tanah dapat memperbaiki
karakterisasi lingkungan secara memadai, dan dengan demikian menghasilkan evaluasi yang
bermanfaat atas potensial produksi suatu tanah. Namun, tantangan utama untuk agronomi
adalah menentukan resistivitas Eh-pH optimum suatu tanah, guna memaksimalkan potensial
produksi tanaman sebagai sebuah fungsi iklim.

KESIMPULAN
Eh, pH, dan Resistivitas sebagai Alat untuk Merancang dan Mengelola Sistem Tanam
Eh, pH, dan resistivitas dapat menjadi alat untuk pemodelan interaksi tanah-tanaman-
mikroorganisme. Definisi rentang optimum resistansi Eh-pH tanah akan membantu desain dan
pengelolaan sistem tanam. Pembuatan sistem tanam selanjutnya didasarkan pada identifikasi
spesies tanaman, mikroorganisme, serta praktik penanaman yang memungkinkan
pengembangan kondisi tanah yang menguntungkan.
Parameter Eh-pH dan resistivitas dapat digunakan untuk mengembangkan seleksi mikrob
yang berperan di rhizosfer, untuk memperbaiki perkembangan dan kesehatan tanaman. Hal ini
merupakan tantangan utama bagi agronomi untuk masa depan pertanian berkelanjutan.

SUMBER :
Olivier Husson. 2013. Redox potential (Eh) and pH as drivers of soil/plant/microorganism
systems : a transdisciplinary overview pointing to integrative opportunities for agronomy.
Plant Soil. 362:389-417

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai